Badik Buntung 23
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 23
Badik Buntung Karya dari Gkh Tidak akan membiarkan kau hidup lebih lama!" Ma Gwat-sian mandah tertawa tawar, ujarnya. "Jadi miliknyakah batu giok ini!" kelihatannya sendikitpun ia tidak ambil perhatian akan mara bahaya yang bakal menimpa dirinya. Dia tahu nama dan siapakah itu Bu-bing Loni. tapi ia tidak tahu Sin-giok-ling itu. Dia percaya dengan kehebatan Tay-seng-ci-lou gurunya, apa perluja takut menghadapi Hui-sim-kiara-hoat Bu-bing Loni? Kenapa pula harus takut menghadapi dia? Terunjuk rasa heran dan kesangsian pada sorot mata si orang tua, hatinya bertanya-tanya siapakah sebenar-benarnya Ma Gwat-sian ini? Dikata dia tidak bisa main silat, tapi kelihatannya koq tidak gentar menghadapi Bu-bing Loni, bila dikata ia bisa main silat, siapa pula orangnya dikolong langit ini yang pandai main silat yang tidak gentar menghadapi Bu-bing Loni? Demikian ia. merenung, akhirnya ia berkata tertawa. "Nak, siapakah tadi yang telah menyakiti hatimu, kenapa kau bersedih hati?" Tersentak Ma Gwat-sian dibuatnya, cepat ia angkat kepala memandang si orang tua. tampak orang tersenyum welas asih serta memandanginya dengan kasih sayang, seolah-olah jalan pikiran dan janggalan hatinya sudah dapat diraba dan diketahui semua. "Tidak apa-apa!" Akhirnya Ma Gwat-sian menjawab singkat setelah termenung sesaat lamanya. "Jangan kau kelabui aku," Ujar si orang tua tertawa. "Kalau kau katakan mungkin tekanan batinmu akan lebih ringan, jangan kau sekam perasaan hatimu sehingga nanti bisa merusak kesehatanmu sendiri. Kau masih muda maka kau harus dapat membuka dada dan berpandangan jauh ke depan," Ma Gwat-sian tertawa. sahutnya. "Paman, tak perlu membicarakan soal itu. kenapa seorang diri kau tinggal di tempat ini? Apalagi kau tadi berkata sudah lama tidak pernah ketemu orang luar?" "Aku bernama, Kiang Cong-bing!" Akhirnya si orang tua memperkenalkan diri. "Nak. pertanyaanku tadi belum lagi kau jawab bukan!" Melihat orang menarik kembali kepersoalan semula Ma Gwat-sian menjadi bimbang sahutnya. "Sebetulnya tiada apa-apa, hanya karena badanku terasa kurang sehat belaka!" Si orang tua menghela napas, untuk sekian lama mereka sama bungkam, suasana menjadi lelap. Sebetulnya terketuk perasaan Ma Gwat-sian, si orang tua bersikap begitu baik malah sudah memperkenalkan nama dirinya, sebaliknya aku masih mengelabui keadaan diriku yang sebenar- benarnya sudah tentu teraSa betapa hancur sanubarinya, setelah sangsi sekian lama akhirnya bibirnya bergerak namun suaranya tertelan kembali. Mendadak si orang tua tertawa, ujarnya. "Sebetulnyalah aku tidak pantas banyak bertanya pada kau, seumpama aku tahu kesulitanmu akupun tidak bakal bisa bantu kau mengatasi persoalanmu, soalnya, entah mengapa aku menjadi ketarik terhadap segala persoalan yang menyangkut dirimu itu." Sampai disini ia menghela napas, lalu sambungnya pula. "Mungkin aku hanya terbawa oleh keadaan yang kuhadapi ini sehingga mengetuk lubuk hatiku saja. Ketahuilah akupun punya seorang putri, mungkin sekarang juga sebesar kau ini!" "Dimanakah dia sekarang?" Tanya Ma Gwat-sian. Kiang Tiong bing menghela napas, sahutnya. "Akupun tidak tahu dimana dia sekarang. Raut wajah dan bentuk tubuhnya sama benar-benar dengan ibunya, sekarang sudah dua puluh tahun, bila dia berada disini, mungkin secantik kau ini." "Apakah kau dikurung Bu-bing Loni di tempat ini? tiba-tiba Ma Gwat-sian bertanya. Kiang Tiong-bing manggut-manggut, katanya perlahan. "Ya, dua puluh tahun sudah aku terkurung disini!" "Apakah aku bisa bantu mengatasi kesulitan paman?" "Banyak terima kasih. Kau sudah menjemput Sinn-giok-ling itu. kukira takkan lama lagi Bu-bing Loni bakal kemari. Bila dia benar-benar datang aku kuatir kau tidak akan bisa melarikan diri." "Begitu juga baik, aku tidak takut!" "Apa! teriak Kiang Tiong-bing tersentak kaget. "Apa! katamu" Serunya pula menegas. Sungguh tak habis herannya, kenapa Ma Gwat-sian punya nyali begini besar?. Apakah benar- benar dia kuat menerima akibat yang bakal menimpa dirinya nanti? Ma Gwat-sian berkata terbawa oleh perasaan hatinya, setelah melihat reaksi dari Kiang Tiong- bing hatinya menjadi menyesal, serta didesak pertanyaan oleh Kiang Tiong-bing pula ia hanya menjawab tawar. "Berani Bu-bing Loni membunuh aku? Pasti guruku juga akan bunuh dia." Kiang Tiong-bing tercengang, tanya. "Gurumu adalah." "Aku datang dari Thian-bi-kok, bukan warga dari Tionggoan sini.!" Kiang Tiong-bing manggut-manggut, katanya kalem. "Benar-benarkah gurumu mampu membunuh Bu-bing Loni?" Melihat mimik wajah Kiang Tiong-bing yang begitu serius tergerak hati Ma Gwat-sian, katanya tertawa. "Tay-seng-ci-lou apakah paman Kiang pernah mendengar akan ilmu ini." "Jadi nona adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-lou?" "Tapi sekarang aku tidak tahu entah dimana guruku berada!" Seolah-olah Kiang Tiong-bing tidak mendengar lagi ucapannya, kepalanya menengadah memandangi air terjun, air tampak berpercik berhamburan kemana-mana, terbitlah cahaya reflek dari timpaan sinar matahari yang indah dan menakjupkan, titik harapan tampak semakin tumbuh dalam cahaya lembayung yang dilihatnya itu. Melihat orang tenggelam dalam pikirannya, Ma Gwat-sian maklum bahwa orang tentu pernah mengalami masa2 kehidupan pahit getir yang sangat menekan batinnya, sekarang biarlah ia berkesempatan menikmati harapan hidup baru dalam angan2-nya. Tak lama kemudian Kiang Tiong-bing tersentak dari lamunannya, ia menunduk lalu tertawa dan berkata pada Ma Gwat-sian. "Sesaat aku menjadi kehilangan akal dan nalar, harap nona jangan salah paham!" "Bukan maksudku membuat Lo-ciangpwe terlalu bergirang hati, kalau tidak keputus-asaan bakal menimpa lebih berat lagi. Saat ini aku tidak tahu dimana guruku berada, apalagi menurut apa yang dia pernah katakan bahwa Hui-sim-kiam-hoat tidak boleh dipandang enteng, dia sendiripun tiada punya pegangan dapat mengalahkannya!" Dengan mendelong Kiang Tiong-bing menatap Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian tertunduk, lalu dengan suara kering ia berkata. "Tapi aku tahu ada seseorang yang dapat membantu pada kau. Orang ini adalah ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek." "Siapakah dia?" Seru Kiang Tiong-bing kegirangan. Sekonyong-konyong didapatinya nada ucapan Ma Gwat-sian ada ganjil, seolah-olah ada sesuatu ganjalan hati yang menyekam sanubarinya, dengan rasa penuh tanda tanya ia awasi Gwat-sian. "Dia bernama Hun Thian-hi!" Sahut Ma Gwat-sian sembari tertawa getir. "Apakah dia seorang pemuda?" Terketuk lubuk hati Ma Gwat-sian, terangkat kepalanya, matanya terkesima menatap Kiang Tiong-bing, wajahnya rada bersemu merah, seperti ia merasa bahwa Kiang Tiong-bing telah dapat mengorek rahasia hatinya yang sesungguhnya. Sambil tersenyum Kiang Tiong-bing berkata pelan-pelan. "Aku punya seorang putri tahun ini berusia dua puluh. Begitu melihat nona lantas aku teringat padanya." Sampai disini ia berhenti sambil tersenyum lebar, lalu melanjutkan. "Aku belum lagi mengetahui nama harum kau nona." "Aku bernama Ma Gwat-sian!" Sahut Ma Gwat-sian lirih. "Apakah paman tidak percaya akan ilmu silat Hun Thian-hi?" Terasa dari pertanyaan orang tadi bahwa Kiang Tiong-bing rada menyangsikan kepandaian sejati Hun Thian-hi, agaknya ia menyangsikan apakah benar-benar Hun Thian-hi mampu membantu dirinya, maka selanjutnya ia tidak banyak bertanya pula. "Gwat-sian, Gwat-sian, Gwat-sian!" Mulut Kiang Tiong-bing menggumam, dengan cermat ia tatap Ma Gwat-sian sekian lamanya, akhirnya menghela napas, katanya. "Berapa usiamu sekarang?" Dengan menahan sabar Ma Gwat-sian menyahut. "Hampir dua puluh!" Kiang Tiong-bing tersenyum lebar, tanyanya pula. "Lalu berapa usia Hun Thian-ni?" "Kurang lebih dua puluh tahun juga!" "Dua puluhan tahun sudah," Akhirnya Kiang Tiong-bing terhenyak. "hampir dua puluh tahun sudah aku menetap disini." Habis berkata ia menghela napas dengan rawan. Ma Gwat-sian juga menghela napas, pikirnya. "Bila Hun Thian-hi terketuk sanubarinya dan menyesal serta mengejar kemari, alhasil yang ditemui pasti hanyalah Ham Gwat belaka, setelah ketemu dengan Ham Gwat mungkinkah dia mau kemari lagi?" Terdengar Kiang Tiong-bing berkata pula dengan suara kalem. "Sudah dua puluh tahun aku terkurung disini, aku tidak perlu takut mati. tapi aku tidak berani keluar, soalnya, kalau aku keluar putriku itu akan dibunuh oleh Bu-bing Loni!" Mendengar penjelasan ini Ma Gwat-sian berjingkrak bangun, matanya terbelalak besar menatap Kiang Tiong-bing, bibirnya bergerak berkata lirih tertekan. "Jadi kau adalah ayahnya Ham Gwat!" Kiang Tiong-bing juga tersentak bangun, teriaknya. "Ham Gwat! Apakah kau pernah melihatnya?" Ma Gwat-sian meloso duduk lagi dengan lunglai, sahutnya pelan. "Baru belum lama berselang diluar gua yang tak jauh sana kulihat dia, tapi sekarang. mungkin dia sudah pergi!" Terbayang perasaan hambar dari sorot mata Kiang Tiong-bing, iapun jatuh terduduk lagi dengan lesu dan murung, sekonyong-konyong kepalanya terangkat dan bertanya pada Gwat-sian. "Apakah Ham Gwat bersama Hun Thian-hi itu?" Ma Gwat-sian menggeleng, ia tertunduk tak buka suara. "Ai, akhirnya dia datang juga," Demikian keluh Kiang Tiong-bing. "Tapi dia tidak tahu bahwa ayah kandungnya sedang merana di tempat ini, tidak diketahui pula olehnya bahwa ibunya berada jauh diujung langit sana!" tanpa kuasa air mata mengalir membasahi pipinya. Tiba-tiba terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa riwayat hidup Ham Gwat kiranya juga begitu kasihan dan penuh liku-liku yang tidak diketahui olehnya sendiri. Sejak kecil dia dibesarkan dan dibimbing oleh musuh besarnya sendiri tanpa dia sadari, malah diangkat sebagai ahliwarisnya lagi. Baru pertama kali ini ia dapat mengecap betapa manisnya madu cinta itu, namun sayang harapan yang dinantikan setiap saat itu ternyata telah terebut oleh orang lain, betapa hati ini takkan merana, betapa hati ini takkan menjadi gersang. Oh, nasib, apakah aku memang ditakdirkan lahir dalam kehidupan yang sengsara penuh derita ini? Air mata meleleh deras menetes ke atas tanah dan terhisap tanpa bekas. Dengan rada terkejut Kiang Tiong-bing meng-amat-amati Ma Gwat-sian, ternyata Ma Gwat-sian pun dirundung rasa kesedihan yang begitu berlimpah, tapi apakah sebab kesedihannya? "Paman!" Ujar Ma Gwat-sian sambil bangkit berdiri. "Mari kubantu kau keluar mencari dia mungkin saatt ini dia belum lagi pergi, atau biar aku saja yang mencarinya kemari!" Dengan penuh haru dan rasa terima kasih yang tak terhingga Kiang Tiong-bing berkata. "Terima kasih akan kebaikanmu. Nona Ma, kukira dia sudah tiada lagi disana. Jangan kau mencapaikan dirimu!" "Tapi ada lebih baik ku-coba-coba pergi mencarinya!" Melihat sikap dan kekukuhan hati Ma Gwat-sian ini, Kiang Tiong-bing maklum bahwa Ma Gwat- sian pasti berdiri di pihak lawan berat dalam bidang asmara, tapi adalah sikap Ma Gwat-sian yang tanpa pamrih ini sungguh mengetuk jiwanya, sungguh haru dan pilu benar-benar hati si orang tua yang hidup penuh derita ini. Maju dua langkah ia rangkul Ma Gwat-sian ke dalam pelukannya, ujarnya sesenggukan. "Nak, aku entahlah cara bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini!" Tak tertahan air mata Ma Gwat-sian pun mengalir dengan derasnya. Berselang lama baru Ma Gwat-sian kuasa buka suara. "Biarlah aku segera keluar, kalau terlambat kuatir dia sudah pergi!" begitu ia putar tubuh seketika ia menjerit kaget dan mundur dua langkah. Tampak seorang Nikoh tua sedang berdiri tegak di ambang mulut gua, dengan wajahnya yang membeku dingin, sorot matanya yang kaku ia awasi mereka berdua tanpa bersuara. Betapa kejut hati Ma Gwat-sian, tahu dia bahwa si Nikoh tua pasti Bu-bing Loni adanya. Beranjak masuk ke dalam kamar batu dengan pandangannya yang dingin Bu-bing Loni menjengek sinis, dengusnya. "Tak usah pergi. Sudah sejak tadi Ham Gwat meninggalkan tempat ini." Kiang Tiong-bing maju dua langkah, tampak air mukanya mengunjuk kekerasan hatinya yang nekad, dengan kedua tangannya ia tarik Ma Gwat-sian ke dekat tubuhnya, matanya setajam pisau mengawasi Bu-bing Loni. Bu-bing Loni mendengus hidung, katanya kepada Ma Gwat-sian. "Siapa kau? Begitu besar nyalimu berani masuk kemari setelah melihat Sin-giok-ling!" Ma Gwat-sian tertawa tawar, sahutnya. "Guruku berada di sekitar sini, segera dia bakal kemari. Tay-seng-ci-lou apakah kau pernah dengar?" Terpancar sorot cahaya aneh berkelebat di rona Bu-bing Loni, sesaat ia berpikir lalu katanya. "Tapi mungkin kedatangannya sudah terlambat nanti! Karena sekarang juga kau sudah harus menuju ke alam baka!" Selesai berkata setindak demi setindak ia menghampiri Ma Gwat-sian. "Tak kuijinkan kau mengusik dia!" Bentak Kiang Tiong bing menghadang ke depan. Terpancar pula rasa aneh di kelopak mata Bu-bing Loni, serta merta kakinya merandek, kepalanya tertunduk berpikir, sekian lamanya ia bungkam. Akhirnya ia angkat kepala pula serta ujarnya. "Apakah itu permintaanmu kepadaku?" Kiang Tiong-bing mandah menjengek saja tanpa bersuara. Kata Bu-bing Loni pula. "Bila kau yang memohon kepadaku segala permintaanmu pasti kukabulkan!" "Tutup mulutmu!" Bentak Kiang Tiong-bing. "Kalau begitu aku minta segeralah Kau mampus!" Beringas muka Bu-bing Loni, tampak hawa marah telah membakar dadanya, maju dua langkah telapak tangannya lantas menampar ke arah Kiang Tiong-bing. "Plak", kontan Kiang Tiong-bing terhujung mundur dua langkah, pipinya bengap, Ma Gwat-sian terlepas dari cekalannya, ujung mulutnya mengalirkan darah segar, tapi tanpa takut dengan muka gusar dan pandangan berapi-api yang penuh dendam ia deliki Bu-bing Loni. Bu-bing Loni terlongong menjublek di tempatnya, sesaat baru ia bersuara dengan penuh derita. "Tiong-bing, begitu baik sikapku terhadap kau, sebaliknya kau selalu begitu." "Benar-benarkah kau bersikap baik terhadapku?" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Teriak Kiang Tiong-bing. "Apa yang telah kau lakukan terhadap Ging-sia, kau telah merusak wajahnya, kau mengurungnya selama dua puluhan tahun, apakah perbuatan kejimu ini kau anggap baik terhadapku?" waktu berkata-kata ia mengepal tangan, sungguh betapa murka dan gemas hatinya. "Semua perbuatanku ini karena cintaku terhadap kau. Kenapa sampai sekarang kau masih merindukan Ging-sia saja. Dalam hal apa dia lebih baik dari aku?" "Hatinya lebih baik, jiwanya jauh lebih baik dari kau. Sebaliknya hatimu jauh lebih jahat dari bisa ular, apakah yang kau lakukan kukira kau sendiri paham!" Dicercah sedemikian rendah sungguh bukan kepalang murka Bu-bing Loni, matanya membelalak gusar menatap Kiang Tiong-bing. Dari samping Ma Gwat-sian mengelus dada, ia paham apa yang telah terjadi, tidak lebih karena ikatan asmara pula. Tampak olehnya dari muka Bu-bing yang semakin beringas sebuas binatang itu, timbul nafsunya untuk membunuh. Sesaat ia beragu lalu tanpa ayal lagi segera jarinya bergerak lincah memetik harpanya, begitu irama lagu mendengung kontan menerjang ke arah Bu- bing Loni. Begitu mendadak mendengar getaran irama harpa yang deras itu, cepat Bu-bing berpaling ke arah Ma Gwat-sian, hawa membunuh semakin tebal menyelubungi wajahnya. Lekas Ma Gwat-sian duduk bersimpuh, kedua jari tangannya bergerak lincah, irama lagunya segera memberondong keluar dengan tekanan berat mengandung nafsu2 membunuh. Ooo)*(ooO Hun Thian-hi meloncat naik kepucuk hutan bambu. matanya celingukan ke arah sekitarnya, namun bayangan Ma Gwat-sian sudah tidak kelihatan lagi, sesaat ia beragu dan menjadi kesal, entah kejurusan mana Ma Gwat-sian telah pergi. Mendadak terpikir olehnya. "Mungkinkah Ma Gwat-sian beranjak ke arah biara? Bila dia masuk kesana sebaliknya aku mencarinya di luar sudah tentu takkan ketemu lagi" Karena pikirannya ini segera ia terbang melesat ke arah gereja Siau-lim. Para padri dalam biara besar itu kelihatannya sedang sibuk. kelihatan mereka berlalu lalang kian kemari, sekilas pandang dilihatnya sebentuk tubuh yang dikenalnya, lekas ia meluncur turun, setelah dekat betul juga padri itu bukan lain adalah Ti-hay. segera ia menjura dan menyapa kepada Ti-hay. "Ti-hiay Suheng. Harap tanya apakah kau ada lihat seorang perempuan masuk kemari?" Ti-hay beranngkap tangan dan menjawab dengan penuh hormat. "Kiranya Hun-sicu, sejak tadi aku berada di sekitar ini, tiada kulihat ada seorang perempuan masuk kemari!" Berkerut alis Hun Thian-hi, katanya pula. "Terima kasih akan penjelasanmu, aku sedang mencari seseorang, maaf tidak dapat kuberada disini terlalu lama, harap sampaikan salam hormatku kepada Suhumu!" Habis berkata lantas ia terbang melesat dan menghilang. Sepanjang jalan ini ia keheranan dibuatnya, kemanakah sebenar-benarnya Ma Gwat-sian. Demikianlah, dalam berpikir itu tubuhnya melesat terus ke depan. laksana bintang jatuh mengejar ke arah jalanan yang menuju kebawah gunung. Tapi sampai di bawah gunung bayangan Ma Gwat-sian masih belum dilihatnya, dengan putus asa ia menengadah mengawasi mega di atas langit. Mendadak tampak di ujung barat sebelah sana terbang mendatangi seekor burung rajawali yang teramat besar, tergetar hatinya, bukanlah itu Ham Gwat yang putar balik pula? Sungguh girang dan kuatir pula hatinya, sesaat waktu ia kebingunan, disaat burung rajawali sudah semakin dekat tiba-tiba ia membelok dan terbang ke arah timur sana terus menuju ke arah yang lain. Hun Thian-hi terlongong ditempatnya, kenapa Ham Gwat membelok ke arah lain pula? Demikian ia bertanya-tanya, sekonyong-konyong dilihatnya pula dua burung dewata, muncul diujung barat sebelah sana, berdebur keras jantung Thian-hi, Bu-bing Loni muncul pula di tempat ini, tidak heran Ham Gwat segera harus tinggal pergi, tapi untuk apakah Bu-bing Loni ke tempat ini? Ditengah jalan kedua burung dewata itu berpencar. seekor langsung menuju ke arah dirinya, sedang seekor yang lain putar kesamping terus menukik ke arah pegunungan sana. Setelah dekat dan hinggap di tanah baru terlihat oleh Thian-hi Su Giok-lan meloncat turun dari burung dewata. Agaknya Su Giok-lan juga terkejut melihat kehadiran Thian-hi ditetmpat itu. Sesaat Hun Thian-hi menjadi serba salah, sikap Su Giok-lan terhadap dirinya masih rada disangsikan, entah kawan atau lawan, dilain saat terpaksa ia maju menyapa. "Nona Su apa kau baik!" Mulutnya bicara. hatipun berpikir; mungkin Ma Gwat-sian menuju ke arah pegunungan yang lebat sana. Sekarang Bu-bing pun menyusul kesana, apakah yang harus kulakukan? Mendengar sapa Huh Thian-hi Su Giok-lan mandah mendengus hidung saja. setiap kali melihat pemuda ini selalu hatinya merasakan sesuatu yang ganjii, terasa olehnya selalu ia pasti merasa ingin bermusuhan saja tapi setelah kejadian berlangsung akhirnya pasti ia akan menyesal sendiri. Ia maklum bahwa Hun Thian-hj bahwasanya tidak pernah berlaku kasar atau membuat suatu dosa terhadap dirinya, bicara secara lahir batin. justru dirinyalah yang berbuat salah dan menyakiti hati Hun Thian-hi malah, apalagi selama beberapa bulan terakhir ini terasakan pula olehnya betapa kejam dan telengas segala tindak tanduk dari perbuatan Bu-bing Loni, terlihat kedok aslinya yang sudah terbuka itu. Tapi kenapakah aku harus menlcari permusuhan dengan Hun Thian-hi? Entah dia sendiri pun tak kuasa menjawab pertanyaan hatinya. Memang Hun Thian-hi sendiri juga masih beragu apakah Su Giok-lan dipihak lawan atau menjadi kawan, melihat sikap uring-uringan Su Giok-lan, ia berkata. "Aku punya urusan yang harus kukerjakan dipedalaman sebelah sana!" demikian katanya sambil menunjuk kemana tadi Bu-bing Loni menghilang. "Guruku berpesan melarang siapapun menuju ke tempat sana!" Demikian Kata Su Giok-lan tegas. "Jadi gurumu datang karena persoalan itu," Demikian kata Hun Thian-hi tawar. "Tapi Tok-sim- sin-mo dan gembong silat lainnya sudah pergi semua!" Begitu ketemu Hum Thian-hi lantas hendak pergi. sudah tentu Su Giok-lan merasakan sesuatu kejanggalan sikapnya ini. katanya. "Guruku tidak menjelaskan tentang persoalannya, yang jelas kau dilarang kesana!" "Maksud nona Su aku benar-benar dilarang kesana?" "Ya siapapun dilarang kesana! "Nona Su," Ujar Thian-hi tertawa. "Kau angkat Bu-bing Suthay sebagai gurumu, bermula aku ikut bergirang bagi kau, sebaD ilmu silat Bu-bing Suthay nomor satu di seluruh jagad, dengan memperoleh petunjuk dan bimbingannya pastilah harapan dan masa depanmu tak dapat diukur. Tapi toh akhirnya aku merasa kuatir dan kasihan pula terhadap nasibmu, ketahuilah bahwa kekejaman hati Bu-bing Suthay juga merupakan rahasia umum lagi, bila kau selalu tunduk dan harus tunduk melakukan perintahnya aku kuatir kau harus melakukan perbuatan yang melanggar azas2 kemanusiaan. Misalnya aku inilah. sejak berkecimpung di dunia persilatan, segala sepaK terjangku kau pernah melihat dan pernah mendengar pula. satu hal yang paling membuatku paling menyesal adalah bahwa aku telah mempelajari ilmu ganas dari Ang-hwaat-lo-mo!" Sampai disini ia menghela napas dengan kesal. waktu ia pandang Su Giok-lan tampak orang menuduk dengan muka pucat dan murung. Giok-lan maklum bahwa segala pengalaman Thian-hi itu adalah akibat dari perbuatan paman, engkohnya dan dirinya bertiga. Thian-hi berkata lagi. "Sebenar-benarnya tidak menjadi soal mempelajari jurus ganas itu, tapi bagi seorang yang Lwekangnya belum mencapai tingkat yang dibutuhkan bukan saja tidak dapat memanfaatkan ajaran itu menurut kehendak hatinya, malah kadang kala terbawa oleh nafsu kesetanan, tanpa disadarinya bahwa dirinya telah diperalat untuk membunuh manusia." sampai disini ia menghela napas lalu sambungnya. "Waktu pertama kali aku melancarkan jurus ganas itu kau pun pernah menyaksikan. Dan akibatnya kau sendiripun telah lihat dengan mata kepalamu sendiri." Su Giok-lan terbungkam seribu basa, ia maklum bahwa Hun Thian-hi tengah membujuk dirinya supaya jangan mau diperalat oleh Bu-bing Loni, mau tidak mau ia harus berpikir dan merenungkan persoalan ini, akhirnya ia berkata tawar. "Seluruh tokoh silat di kolong langit ini adakah seseorang yang ilmu silatnya lebih unggul dari Bu-bing Suthay?" "Benar-benar, seumpama ilmu silatnya tiada tandingannya di seluruh dunia, bagaimana juga ia tidak kuasa mengubah jalannya sejarah dan jaman, mampukah dia mengendalikan hati nurani manusia?" Su Giok-lan menggeleng dengan pilu, ia menunduk. "Bu-bing Suthay sedang mencarinya ke-mana-mana, bila ketemu pasti celakalah akibatnya. Tapi mungkin ada seseorang tokoh lihay yang sengaja menyembunyikan dirinya kalau tidak mengandal ketajaman mata burung dewata, betapapun ia tidak bakal bisa menghilangkan jejaknya, kalau aku bicara terus terang, aku tidak berani!" Hun Thiani-hi menghela napas, tak bicara lagi. Su Giok-lan tidak tahu entah mengapa mendadak timbul rasa haru dan terima kasihnya terhadap Hun Thian-hi, terketuk benar-benar hatinya bahwa sedemikian besar perhatian Hun Thian-hi terhadap dirinya. Akhirnya ia buka suara pula. "Mo-bin Suseng mengutus seseorang meminta pada beliau untuk membunuh kalian semua, lekaslah kau tinggalksn tempat ini, kalau sampai kepergok dengan dia bagaimana jadinya nanti!" Bercekat hati Thian-hi. "Mo-bin Suseng!" Mulutnya menggumam lirih Seketika berkobar amara hatinya bahwa Mo-bin Suseng kiranya berintrik dengan Bu-bing Loni, terbayang olehnya waktu pertama kali di puncak gunung salju berjumpa dengan Bu-bing Loni, tatkala itu Soat-san-su-gou ada menyinggung nama Mo-bin Suseng tampak biji mata Bu-bing Loni memancarkan sinar aneh yang menakutkan sekali. Rongga dadanya hampir meledak rasanya, namun ia masih tetap berdiri dengan tenang, dua puluh tahun, dua puluh tahun yang lalu, keluarga Ham Gwat tertimpa bencana, dan ayahnya pun karena Badik Buntung sehingga menemui ajalnya dibunuh oleh Mo-bin Suseng, bukankah sangat kebetulan sekali. yang lebih kebetulan lagi justru pada dua puluh tahun yang lalu dikala Ka-yap Cuncia meninggalkan Tionggoan menuju ke Thian-bi-kok, pasti semua kejadian ini bukan terjadi secara kebetulan belaka!" "Kenapa kau?" Tanya Su Giok-lan terkejut melihat perubahan air muka orang. Hun Thian-hi tersentak sadar, ia menyedot hawa dalam-dalam, katanya. "Tiada apa, mungkin sejak mula kita sudah salah langkah, yang terang kita hanya dipermainkan dalam genggaman telapak tangan Mo-bin Suseng tanpa kita sadari, sebaliknya kita anggap diri sendiri terlalu pintar, tapi sampai pada detik ini, belum pernah aku melihat tampang asli dari Mo-bin Suseng!" "Lalu bagaimana sekarang aku harus bersikap?" "Kemana tujuan Bu-bing Loni tadi?" "Aku tidak tahu, kemana dia pergi selamanya tidak pernah beritahu padaku, apalagi tanpa ajakannya kita dilarang ikut, kalau kita membandel kematianlah bagiannya." Hun Thian-hi beragu, kemanakah Bu-bing Loni, ia insaf bahwa kepandaian sendiri masih bukan tandingan Bu-bing Loni, menyusul kesanapun hanya mengantar jiwa saja. Sedang ia berdiri bingung sesosok tubuh kecil pendek tiba-tiba muncul di balik pohon-pohon sana, seketika ia berteriak kejut. "Siau-suhu!" Hwesio jenaka berjalan keluar, katanya tertawa. "Kau baik?" "Siau-suhu, bukankah kau berada di Thian-lam? Masa begitu cepat bisa sampai di Siong-san apakah kau ada ketemu dengan guruku?" "Gurumu sudah ditolong keluar, kau tidak usah kuatir!" Ujar Hwesio jenaka, lalu sambungnya kepada Su Giok-lan. "Bukankah nona Su Giok-lan adalah murid Pedang utara Siau-sicu?" Mendengar orang menyinggung gurunya yang lama yaitu Pedang utara Siau Ling, Giok-lan menjadi hambar, sahutnya. "Wanpwe memang Su Giok-lan, apakah Siau-suhu ada ketemu dengan guruku?" "Suami istri Pedang utara gurumu itu sekarang sedang bersama dengan guru Hun Thian-hi Seruling selatan Kongsun Hong. Mereka baik-baik saja, cuma mereka rada kangen pada kau." Su Giok-lan menunduk rawan, sejak kecil dia dan engkohnya dibesarkan dan dibimbing oleh Pak-kiam suami istri, dianggapnya mereka sebagai anak kandung sendiri, sekarang engkohnya sudah meninggal, sedang dirinya bertekuk lutut angkat guru kepada Bu-bing Loni, sekian lamanya ia tidak pernah jumpa lagi dengan guru tercinta, betapa hati takkan bersedih, terutama bahwa dirinya telah ingkar terhadap ajaran2nya. Begitulah ia berpikir dan menerawang sepak terjangnya selama ini, ia menista dan menyesali perbuatannya yang dianggap durhaka, akhirnya dengan tekad yang keras ia angkat kepala memandang Hun Thian-hi lalu bertanya pada Hwesio jenaka. "Dimana sekarang mereka berada?" Hun Thian-hi sendiri juga sedang dirundung berbagai pertanyaan dan keheranan, gerak-gerik Hwesio jenaka yang serba cepat dan cekatan ini benar-benar sangat mengejutkan dan mencurigakan, kecuali siang malam Hwesio jenaka tidak berhenti menempuh perjalanan dan begitu sampai lantas putar balik, kalau tidak mustahil bisa begitu cepat dia muncul lagi di Siong- san sini. Bab 24 Hwesio jenaka tertawa katanya. "Kau sekarang sudah menjadi murid Bu-bing Loni, apakah dia mau membiarkan kau pergi?" Apa boleh buat Su Giok-lan pandang Hun Thian-hi katanya. "Bagaimanakah aku ini?" "Lam-siau dan Pak-kiam sekarang sama menetap di Jian-hong-kok dipuncak Ui-san. Kalau dugaanku tidak salah dalam waktu dekat ini Bu-bing Loni tidak akan keluar, harus bagaimana kukira kau sendirilah yang mesti memutuskannya." Su Giok-lan tertunduk diam, otaknya bekerja. Lalu Hwesio jenaka berkata kepada Hun Thian-hi. "Hun-sicu, bila kau tidak anggap aku lancang mulut, menurut hemadku seharusnyalah segera kau berangkat ke Cian-hud-tOng." Tergetar hati Hun Thian-hi, kepalanya terangkat dan pandangannya penuh selidik batinnya. "Kenapa? Ada peristiwa apa pula yang terjadi? Gelombang pertikaian lama belum lagi menjadi tenang gelombang pertikaian baru bergejolak lagi, aku sendiri belum lagi menemukan Ma Gwat- sian, mana bisa pergi ke tempat yang begitu jauh? Apakah benar-benar terjadi perkara besar disana?" "Sudah tentu, pergi atau tidak terserah kepada kau!" Demikian tambah Hwesio jenaka tertawa. "Tapi perlu kau ketahui, bahwa tuan penolong jiwamu sekarang sedang menempuh perjalanan kematian!" "Siapa yang Siau-suhu maksudkan?" "Seharusnya kau tahu, orang itu tak lain adalah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo!" "Coh Jian-jo," Keluar dengusan lirih dari mulut Thian-hi, dia merasa sedikit terkejut, dan karena kejutnya ini timbul rasa kecurigaannya. Hwesio jenaka manggut-manggut mengiakan. "Bila tiada Coh Jian-jo sejak lama kau sudah mampus di bawah berondongan Pek-tok-hek-liong-ting, seharusnya kau paham. Tok-sim-sin-mo pun sudah tahu seluk beluk rahasia ini, maka cepat-cepat ia balik pulang ke Jian-hud-tong. Tindakan Coh Jian-jo membuat segala rencananya gagal total, sekembali disarangnya dapatlah kau bayangkan tindakan apa yang akan dia lakukan terhadap Coh Jian-jo?" Thian-hi terlongong, memang dia harus segera menyusul ke Jian-hud-tong. tapi bagaimana pula ia lega meninggalkan Ma Gwat-sian? Seorang diri Ma Gwat-sian menghilang. dapatkah aku tinggal pergi dengan lega hati? "Nak," Ujar Hwesio jenaka menarik muka. "Jangan kau terbelenggu oleh ikatan asmara. segala perbuatan Bu-bing Loni itu justru karena dikejar oleh perasaan tali asmarat itu pula. Janganlah kau tenggelam menjadi pikun karena cinta. pula!" "Siau-suhu" Ujar Thian-hi menghela napas. "Ada kalanya sesuatu urusan yang tidak dapat kau selami dari pendirianmu, tapi aku akan bekerja menurut petunjukmu juga," Lalu ia berpaling ke arah Su Giok-lan, katanya. "Nona Su. selamat ketemu!" "Nanti dulu," Seru Su Giok-lan. "Mari kuantar dengan burung dewata." Sesaat Thian-hi bimbang akhirnya manggut-manggut. "Urusan disini biarlah aku bantu kau menyelesaikan. hati-hatilah sepanjang jalan ini," Demikian Hwesio jenaka berpesan dan berjanji. Lekas-lekas Su Giok-lan naik kepunggung burung dewata diikuti Hun Thian-h:. Kejap lain mereka sudah terbang tinggi ditengah angkasa dan menghilang di ufuk barat. Hati masing-masing dirundung pikiran, sekian lama mereka terbang meninggi tanpa bicara, akhirnya Su Giok-lan yang membuka suara tanyanya. "Tahukah kau orang macam apakah sebenar-benarnya Hwesio jenaka itu?" "Kurang jelas," Sahut Thian-hi menggeleng. "Tapi dia sering membantu banyak kepadaku, beberapa kali malah dia telah menolong- jiwaku." Su Giok-lan manggutZ, dengan suara penuh perasaan ia berkata. "Hun-toakO, setelah urusan di Jian-hud-tong selesai, kita bersama pulang ke Jian-hong-kok menengok guru kita bagaimana?" "Sudah tentu baik sekali." Sahut Thian-hi tertawa dibuat-buat. "Kuatirnya waktunya sangat mendesak, aku masih perlu mengerjakan sesuatu di Siong-an." "Kenapa? Urusan penting apa lagi yang perlu kau kerjakan?" Sudah tentu Thian-hi tidak enak menjelaskan, sahutnya meng-ada2. "Urusan Kecil belaka, tapi cukup penting dan mendesak, kalau tidak aku bakal menyesal dan selalu akan mengganjal dalam sanubariku." Su Giok-lan terdiam, lapat-lapat ia merasa kemana juntrungan kata-kata Thian-hi ini. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bukankah tadi Hwesio jenaka ada memberi nasehat pada Thian-hi supaya jangan kelelap karena ikatan asmara, dan yang dimaksudkan sudah pasti bukan diriku, maka segera ia bertanya lebih lanjut. Apakah urusan itu yang dimaksud oleh Hwesio jenaka tadi?" "Giok-lan," Ujar Thian-hi menghela napas. "Aaa. ucapani yang perlu kukatakan pada kau, coba, Kutanya kau, sudikah kau selamanya menjadi adikku? Aku akan berusaha mencintaimu seperti engkohmu dulu." Merah mata Su Giok-lan, airmata meleleh keluar, ia tertunduk diam. Thian-hi tahu urusan ini harus secepatnya dijelaskan, supaya kedua belah pihak tidak terjerumus semakin dalam karena ikatan perasaan yang tidak terlampias. Katanya pula. "Adik Giok-lan, isi hatiku selamanya belum pernah kulimpahkan kepada siapapun juga, ketahuilah orang yang paling kucintu dalah Sucimu!" "Ham Gwat Suci!" Seru Su Giok-lan sambil berpaling ke belakang, berpaling kemuka hatinya berpikir; kiranya Ham Gwatlah yang dicintai Hun Thian-hi, untuk ini ia tidak perlu banyak komentar lagi. Giok-lan tahu dibanding Ham Gwat dirinya jauh ketinggalan dalam segala bidang, sampaipun dalam pengendalian perasaan, diapun tidak selembut dan seagung Ham Gwat, begitu suci dan murni, rupawan lagi. Su Giok-lan terlongong diam, entah apa yang sedang dipikirkan, mendapat hati Hun Thian-hi bicara lebih lanjut. "Aku sendiri belum tahu bagaimana sikapnya terhadapku, tapi dia sudah beberapa kali menolong aku." Sekarang Su Giok-lan angkat kepala, katanya. "Perasaan Ham Gwat Suci jarang dicurahkan dilahirnya, tapi sebenar-benarnyalah dia seorang gadis yang baik dan bijaksana, dia sangat baik sekali terhadapku." Mendengar ucapan Giok-lan ini, legalah hati Thian-hi, sunggguh ia tidak menduga bahwa Ham Gwat bisa membawa diri begitu rupa sehingga Su Giok-lan bersikap begitu hormat dan simpatik terhadap dirinya, ini betul-betul aneh dan mengherankan. "Yang menolong aku tempo hari adalah Sucimu pula, dia menolong diriku dari cengkeraman Bu-bing Loni, malah dengan burung rajawalinya dia antar aku ke Siong-san, tadi pun dia muncul di Siong-san, tapi entah kemana dia sekarang." "Apakah tadi kau sedang menunggu dia?" "Bukan, aku sedang mencari seorang lain!" "Kau sedang mencari seorang perempuan lain?" Thian-hi manggut-manggut, dengan ringkas pelan-pelan ia menceritakan perihal Ma Gwat-sian kepada Su Giok-lan. Su Giok-lan mendengar begitu asjik, sesaat ia berpikir lantas bertanya. "Dia cantik bukan? Dan lagi kau pun rada ketarik pula padanya?" Thian-hi manggut dengan keraguan, ujarnya. "Itu pun benar-benar, waktu pertama kali kuketemu dia memang hatiku sudah kecantol, akhirnya karena kutahu dia terlalu pintar aku menjadi takut malah, meskipun diapun sangat cantik tapi dibanding dengan Sucimu, kecantikannya tidak lebih unggul dari Ham Gwat!" "Ketahuilah Ham Gwat Suci juga sangat pintar, kelak kaupun bakal takut padanya?" Demikian goda Su Giok-lan. "Rada2 saja," Sahut Thian-hi tersenyum geli. "Bukan karena dia terlalu pintar, adalah karena selama ini aku belum pernah melihat senyum manis di Wajahnya yang kaku dingin itu." "Ajah bunda Ham Gwat Suci sudah meninggal semua, riwayat hidupnya sangat mengenaskan." "Tidak! Aku pernah jumpa beberapa kali dengan ibundanya, sedang ayahnya dikurung di suatu tempat oleh Bu-bing Loni. Ayah ibunya masih hidup dan sehat, cuma dia sendiri tidak tahu!" Su Giok-lan tercengang, serunya. "Kau tahu hal ini kenapa tidak beritahu kepadanya?" "Dimana ayahnya berada aku belum tahu, sedang jbunya ada pesan supaya aku tidak memberitahu dulu kepadanya." lalu ia tuturkan pertemuannya dengan Ong Ging-sia tempo hari. Su Giok-lan terlongong-longong tak bersuara, begitu kejam dan keji benar-benar tindanan Bu- bing Loni sampai adik kandung sendiri pun disiksa dan dibuat cacat begitu rupa, kalau dipikirkan sungguh mendirikan bulu roma. Jalan punya jalan tak lama kemudian mereka sudah tiba di Jian-hud-tong, setelah turun di tanah Giok-lan mengulap tangan membiarkan burung dewata terbang pergi, langsung mereka menuju ke mulut Jian-hud-tong. Kata Hun Thian-hi. "Mungkin Tok-sim-sin-mo sekarang belum pulang, mari kita masuk menyelidiki dulu, lebih baik kalau dapat menolong Coh Jian-jo keluar, supaya tidak menimbulkan bencana di kelak kemudian!" "Tapi siapa tahu dimana Coh Jian-jo berada?" "Kita terobos dulu ke dalam saja!" Tempo Hun Thian-hi dan Sutouw Ci-ko terkurung di Jian-hud-tong dulu, Hun Thian-hi tertolong keluar oleh Ka-yap Cuncia, waktu keluar melalui sebuah jalanan rahasia lain. Maka kali ini Thian-hi membawa Su Giok-lan ke belakang gunung dan menyelinap masuk ke dalam Jian-hud-tong melalui jalan rahasia itu. Beberapa kejap kemudian tampak bayang2 manusia di depan lorong Sana, tampak di berbagai pengkolan dipasang penjaga dan peronda hilir mudik. Thian-hi memperhatikan dengan cermat. pikirnya alat2 rahasia tentu sudah tersebar dimana-mana, dimana letak kurungan Coh Jian-jo belum lagi diketahui, aku harus bertindak hati-hati dan jangan sampai konangan lagi, kalau tidak, besar akibatnya. Sesaat ia menjadi bingung mengawasi orang-orang di dalam gua sana, tak tahu cara bagaimana untuk mencari tahu dimana Coh Jian-jo disekap, dan yang terpenting cara bagaimana nanti dapat membawanya keluar dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Su Giok-lan pun mengerutkan alis, hatinya gundah, pikirnya: kecuali menerjang dengan kekerasan, kalau tidak mana mungkin Coh-jian-jo dapat ditolong keluar. Thian-hi celingukan kesekitarnya, tiba-tiba ia berkelebat sembunyi ke dalam sebuah lorong lain, cepat-cepat Su Giok-lan mengikuti jejaknya, mereka sama sebagai tokoh persilatan tingkat wahid, gerak-gerik cukup cermat lagi, maka tindakan mereka sedikit pun tidak bersuara. Tak lama kemudian tampak sepasukan peronda dari anak buah Hek-liong-pang mendatangi, penjaga di berbagai pos itu satu persatu diganti, kiranya tibalah saatnya aplusan, begitu rombongan peronda itu lewat di depan, sebat sekali Thian-hi ulur tangannya mencengkeram satu diantaranya yang berjalan paling belakang terus diseret ke dalam lorong. Sayang gerak tangannya yang begitu cepat itu toh masih konangan juga, kontan suitan panjang tanda bahaya segera melengking keras dan bersahutan di empat penjuru. Keruan kejut Thian-hi, cepat ia seret orang itu ke dalam lorong terus mepet dinding bersama Su Giok-lan. Suasana dalam Jian-hud-tong menjadi gempar, anak buah Hek-liong-pang sama mengacungkan obor tinggi2, mereka mulai menggeledah dan memeriksa keberbagai tempat. Gugup hati Thian-hi, sungguh diluar tahunya bahwa penjagaan di dalam Jian-hud-tong ternyata begitu keras dan ketat. Mereka ubek2an tanpa hasil, lambat laun suasana menjadi sepi dan akhirnya terang kembali Hun Thian-hi jadi berlega hati. Sekonyong-konyong tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berusia pertengahan lambat-lambat beranjak mendatangi, kelihatannya orang ini adalah komandan jaga, sepasang biji matanya berkilat terang, kelihatannya seorang tokoh persilatan. Sembari jalan kedua biji matanya menjelajah keadaan sekitarnya. Terkejut Thian-hi dibuatnya orang ini begitu cermat, bukan mustahil jejak dirinya bakal konangan olehnya. Akhirnya sepasang mata orang itu mencapai ke atas gua, tanpa ayal segera Hun Thian-hi lemparkan tawanannya ke arah orang itu, lalu bersama Giok-lan melesat turun dan lari sipat kuping kelorong lainnya. Gesit sekali orang itu melejit kesamping berbareng sebelah tangan menyanggah ke atas, sedang tangan kanannya terayun ke belakang, rombongan pemanah dibelakangnya segera menghujani Thian-hi berdua dengan berondongan anak panah. Bagaikan asap entengnya Thian-hi berdua sudah menyelinap hilang ke lorong yang lain. Orang itu mendengus dingin, ia berpaling kekanan kiri lalu berseru dengan suara berat. "Turunkan dua pintu dinding dikedua samping, periksa lagi lebih ketat, paksa mereka mengunjukan diri!" Dia juga heran bahwa pendatang gelap ini berkepandaian begitu tinggi, sungguh ia tidak dapat membayangkan cara bagimana dia berhasil menyelinap masuk ke dalam gua bagian belakang yang serba rahasia. disangkanya orang menyelundup dari pintu muka. Terdengarlah suara gemuruh, pintu samping diantara lorong2 yang menembus kesana sini mulai diturunkan. Thian-hi berdua sembunyi disebelah lain, melihat pintu dinding yang besar dan tebal itu pelan-pelan turun, terkejut dan bimbang pula mereka, tapi urusan sudah sedemikian lanjut terpaksa bertindak menurut perkembangan selanjutnya. Cahaya obor terang benderang menerangi segala pelosok gua, sorotan cahaya pelita berseliweran disamping tubuh mereka. Thian-hi sedang berpikir, jeli dan tajam benar-benar sinar mata orang tadi, agaknya ia punya sedikit kesan terhadap orang itu, hanya bayangannya rada kabur. Tiba-tiba, selarik sinar tepat menyorot kemukanya, mendadak teringat olehnya, bukankah orang ini tokoh yang terkenal di Bulim dengan julukan Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng yang kenamaan itu? Siapa nyana dia pun terima menjadi antek Tok-sim-sin-mo. Pikiran ini berkelebat cepat dibenaknya, pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sebatang tombak melesat menusuk ketenggorokannya. Thian-hi mengayun tangan kanan menyampok jatuh tombak itu, berbareng ia tarik Giok-lan melompat menghilang kebagian lain yang gelap. Sambil menyoroti dengan sinar pelita ke arah mereka, anak buah Hek-liong-pang itu memburu datang sembari berkaok2. Seketika anak buah Hek-liong-pang memburu datang dari empat penjuru. Thian-hi menggerung gemas, seenaknya ia mencomot kedinding terus meremas hancur menjadi kerikil batu dinding yang keras itu terus disambitkan ke depan, terdengarlah suara kesakitan beberapa orang, obor2 di tangan merekapun padamlah keadaan menjadi gelap gulita. Beruntun jari jemari Thian-hi menjentik dua butir kerikil ke atas dinding terus terbang ke depan, laksana dua orang terbang lewat menyentuh dinding ke depan. Seketika semua orang berlari mengejar ke arah sana. Sesaat mereka kena ditipu oleh cara sambitan batu Thian-hi ini. Wan-pi-sin-gan (mata sakti berlengan kera) Nyo Ceng melayang datang, suaranya berat berwibawa. "Jangan ribut!" Kedua matanya menyapu lambat-lambat kesekitarnya. Thian-hi berdua berdiri pematung diam, Nyo Ceng pandang mereka dengan tajam, dengusnya. "Ternyata Hun Thian-hi adanya, besar nyalimu berani menerjang masuk kemari!" Thian-hi tertawa tawar, jengeknya. "Aku bisa terjang masuk kesini tidak perlu dibuat heran. yang lucu dan mengherankan justru Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng ternyata terima menjadi antek Tok- sim-sin-mo." Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng adalah seorang tokoh suci yang kenamaan akan kelurusan dan kejujuran hatinya, sejak lahir ia mempunyai pembawaan yang luar biasa, yaitu sepasang matanya tajam luar biasa melebihi orang lain, ilmu silatnya jarang orang mengetahui sampai dimana tingkatannya, soalnya selamanya jarang ia pamer kepandaian sendiri dihadapan orang, tapi konon kabarnya kepandaiannya tidak lebih rendah dari Giok-yap Cinjin dan Thian-cwan Taysu dari Siau- lim. Entah mengapa sekarang ternyata terima mengekor menjadi anak buah Tok sim-sin-mo. Dingin-dingin saja Nyo Ceng pandang mereka, jengeknya. "Kalian datang karena Ling-lam- kiam-ciang Coh Jian-jo bukan? Hm, kau kira dia sudi pergi bersama kalian?" Hati Thian-hi semakin heran, kiranya Nyo Ceng sudah tahu akan hal ini, diluar tahunya bawa dim-na ia main terobosan ini justru tempat sekitar dimana Coh Jian-jo disekap, maka penjagaan disini justru diperketat dan keras sekali. "Ada aku disini, jangan harap kalian bisa keluar dari tempat ini." Demikian ancam Nyo Ceng menyeringai dingin. Su Giok-lan melolos pedang dari punggungnya, serunya sambil maju ke depan. "Ingin aku mencoba apakah kau punya kepandaian asli sejati, berani kau takabur!" Nyo Ceng menyeringai lebar. tangannya terangkat lagi, hujan anak panah memberondong pula ke arah mereka berdua, Thian-hi menekuk dengkul jadi tubuhnya rada mendak kebawah berbareng kedua telapak tangannya didorong ke depan, Pan-yok-hian-kang dikerahkan menerpa ke depan, kontan hujan anak panah kena disapu runtuh berjatuhan di tanah. "Blang" Tiba-tiba sebuah pintu batu disamping sana meluncur jatuh pula, sekarang mereka menjadi terhimpit diantara alingan dua pintu batu yang tebal. Dari luar suara Nyo Ceng terdengar dingin. "Selama hidupku bila tidak terpaksa tidak pernah aku main silat dengan orang lain!" Thian-hi pandang kedua dinding pintu yang tebal itu, beratnya paling ringan ribuan kati, jarak antar kedua pintu ini empat kaki, bila tidak bisa keluar, ter paksa mereka harus menunggu ajal terkurung disitu. Su Giok-lan menyimpan pedangnya, dengan kedua tangan ia menepuk2 pintu, terdengar suara mendengung yang berat, sedikitpun pintu itu tidak bergeming. Thian-hi berpikir dengan gabungan tenaga dalam dua orang mungkin dapat merobohkan, tapi lalu cara bagaimana menolong Coh Jian-jo? Kelihatannya panjang lorong ini setiap berjarak empat lima meter pasti terpasang sebuah daun pintu, mungkinkah satu persatu dapat membobolnya? Akhirnya Su Giok-lan menghela napas, tanyanya. "Hun-toako, bagaimana sekarang?" Thian-hi melolos serulingnya, katanya. "Giok-lan! Akan kugempur pintu ini, begitu pintu ini runtuh kau harus cepat menerjang keluar. Jangan sampai Nyo Ceng melarikan diri!" Mendengar ucapan Thian-hi begitu mantap Su Giok-lan manggut-manggut, pedang dikeluarkan dan siap-siap. Hun Thian-hi mengerahkan ilmu saktinya, tiba-tiba tubuhnya melambung ke tengah udara berputar satu lingkaran terus menutulkan serulingnya keluar, begitu Wi-thian-cit-ciat-sek dilancarkan pintu itu tergoyang gontai lalu pelan-pelan ambruk ke arah samping sana. "Blum!" Batu krikil dan pasir serta debu bertebangan. laksana anak panah Su Giok-lan melesat keluar, dimana ia gerakkan pedangnya dengan jurus Jiu-si-jjan-tiu setabir sinar pedang laksana ribuan benang sutera mengurung semua hadirin. Berubah air muka Nyo Ceng, setindak pun ia tidak berani maju. dengan bungkam ia menatap Thian-hi berdua. Ujung pedang mengancam tenggorokan. Thian-hi tersenyum manis, serunya. "Nyo-tayhiap! Sekarang boleh kau ajak kami menemui Coh Jian-jo bukan?" Nyo Ceng tertawa-tawa, sahutnya. "Kalian ingin benar-benar kesana? Aku kuatir kau dapat masuk takkan dapat keluar pula!" "Kalau kita mau pergi sudah tentu ada kau Nyo Tayhiap yang menunjukkan jalannya, tidak menjadi soal tak bisa keluar. Pintu2 penghalang macam ini tidak menjadi soal bagi aku!" Nyo Ceng tertawa, ujarnya. "Sekarang aku sudah bekerja bagi Tok-sim-sin-mo, sudah tentu aku harus setia pada tugasku, jangan kau nanti salahkan aku, dapat masuk tak dapat keluar, hal ini kutegaskan sekali lagi pada kau!" "Aku tidak ambil perhatian soal itu!" Sahut Thian-hi dengan sikap wajar. Nyo Ceng tertawa lebar, tanpa bicara lagi ia mendahului jalan di depan, Thian-hi menyapu lihat kedua dinding samping, benar-benar juga banyak terdapat daun pintu yang terporot didinding2 itu, penjagaan diatur sedemikian rapi dan ketat, sungguh sulit dibayangkan. Rada jauh mereka berjalan belak belok akhirnya tercegat sebuah daon pintu yang terbuat dari besi, tebal pintu besi ini kira-kira setengah kaki. pintu bisa tertutup dari luar. Nyo Ceng berkata, sambil tertawa. "Kunasehatkan pada kalian sekali lagi, janganlah masuk kesana!" Sambil memincingkan mata Thian-hi pandang Nyo Ceng, terasa olehnya bahwa kata-katanya ini memang bermaksud baik, sesaat ia berpikir lalu sahutnya tertawa. "Bagaimana juga aku harus masuk kesana!" Sesaat Nyo Ceng termeming lalu ia beranjak masuk lebih dulu, katanya. "Aku tiada punya permusuhan apa dengan kalian, kenapa kalian harus memaksa aku?" "Lekas jalan!" Bentak Su Giok-lan. "Kita masih punya urusan penting yang lain." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pandangan Nyo Ceng rada kecewa, akhirnija ia membalik tubuh dan melangkah lebih lanjut, pintu besi itu pelan-pelan tertutup sendiri dengan mengeluarkan suara gemuruh dan "Blum" Tertutup rapat dan kokoh. Nyo Ceag berpaling kepada mereka. ia melanjutkan ke depan. Thian-hi merasa memang tidak mungkin keluar pula dari sini. Setelah menyelusuri lorOng panjang tibalah mereka disebuah kamar persegi, dalam kamar ini terdapat banyak perabot dan peralatan besi, seorang laki-laki tua beruban tampak duduk di atas kursi sedang tenggelam dalam lamunannya. Begitu mendengar langkah kaki orang ia tersentak kaget dan angkat kepala, dengan pandangan dingin dan tak bersahabat ia lirik mereka bertiga lalu tunduk menepekur lagi. Nyo Ceng tertawa, katanya. "Dia itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo." Segera Thian-hi tampil ke depan Coh Jian-jo, katanya. "Wanpwe Hun Thian-hi, sengaja kemari untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolongan Cianpwe." Coh Jian-jo angkat kepala, ia pandang Thian-hi lekat-lekat. sesaat baru bersuara. "Aku belum pernah menolong jiwamu!" "Kalau bukan Cianpwe, sejak lama aku sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hek-liong- ting milik Tok-sim-sin-mo itu!" Kelihatannya Coh Jian-jo mulai ketarik, dengan nanar ia pandang Thian-hi lalu pelan-pelan berdiri, dengan menggendong tangan ia berjalan sebundaran dalam kamar, katanya. "Meski aku telah mengubah sedikit peralatan itu, mengandal kau rasanya tidak mungkin. terhindar dari bencana!" "Cianpwe!" Sela Nyo Ceng. "Kau harus tahu dia ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek!" Agaknya Coh Jian-jo rada terkejut, ia pandang Thian-hi lekat-lekat dengan rasa kurang percaya, ia berpikir sejenak lalu geleng-geleng kepala, agaknya ia tidak mau percaya, Nyo Ceng tertawa, katanya. "Sekarang kita takkan mampu keluar dari sini, seluruh pintu sudah tertutup rapat dan tak mungkin terbuka lagi!" "Kenapa kau datang kemari?" Tanya Coh Jian-dio aseran. "Tok-sim-sin-mo sudah tahu akan kesengajaanmu memperlemah daya kekuatan Pek-tok-hek- liong-ting itu, tak lama lagi ia bakal kembali, maka kuanggap mungkin cianpwe perlu sesuatu bantuan dari aku!" Coh Jian-jo manggut-manggut, katanya. "Apa gunanya kau menyusul kemari? Bila mereka berani bunuh aku, sejak lama mereka sudah mencabut jiwaku, aku tidak akan bisa hidup sampai sekarang. Perbuatan kalian ini boleh dikata berkelebihan belaka, malah bisa bikin susah aku pula, apakah kalian bisa keluar sendiri dari sini?" "Bukan melulu karena persoalan itu saja kami k-mari, kecuali itu besar harapan kami dapat menyambut Cianpwe keluar dengan bebas." Coh Jian-jo pandang mereka dengan bingung, ia tertunduk bungkam, dengan langkah cepat ia berjalan putar kayun dalam bilik batu itu, agaknya ia sulit mengambil suatu keputusan. "Tiada gunanya Cianpwe tinggal terlalu lama disini", demikian bujuk Thian-hi. "Kalau toh bisa keluar kenapa pula harus main ulur waktu dan menyekat diri terima derita." Terangkat kepala Coh Jian-jo, pandangan matanya mendelik gusar, serunya. "Lekas kau pergi! Tak butuh kudengar ocehanmu. Aku sendiri yang suka tinggal disini, kau ingin bawa aku lari, sedang kau sendiri saja belum tentu mampu keluar dari sini." Thian-hi tertegun, sungguh tidak nyana bahwa Coh Jian-jo bersikap begitu keras kepala, sesaat ia menjadi kememek dan tak tahu apa yang harus dilakukan karena kebandelan orang. Ooo)*(ooO Melihat Bu-bing Loni sudah dihayati nafsu membunuh, terpaksa Ma Gwat-sian memetik harpanya melagukan Tay-seng-ci-lou untuk membela diri. Begitu irama harpa mengalun, Bu-bing Loni mendelik gusar kepada Ma Gwat-sian, Gwat-sian pejamkan mata, kedua jari jemarinya selincah kupu2 menari di atas kuntum bunga, laksana air mengalir awan mengembang irama harpanya mengalun enteng terus berkembang. Bu-bing menggerung murka, ia kerahkan ilmu sakti pelindung badan untuk pertahankan urat nadi dan dadanya, setindak demi setindak ia mendesak maju. Melihat rangsekan irama lagunya tidak kuasa merintangi Bu-bing Loni, semakin gugup dan gelisah hati Ma Gwat-sian, tapi keadaan sudah sedemikian gawat, dengan segala kemampuan yang ia pelajari selama ini mulailah ia kerahkan tenaga mengembangkan lagu Tay-seng-ci-lou cukup untuk membela diri saja. Meski tidak takut Bu-bing Loni segan membuka suara, diam-diam hatinya pun kaget, bila guru gadis ini tiba, kalah atau menang sulit ditentukan, bila sekarang tidak lekas-lekas melenyapkan gadis ini kelak pasti merupakan bibit bencana. Karena tekadnya ini pelan-pelan ia melolos pedang dari punggungnya. "Jangan kau usik dia!" Bentak Kiang Tiong-bing murka. Kiang Tiong-bing menoleh ke arah Ma Gwat-sian, ia maklum bila urusan berlarut begitu terus Ma Gwat-sian pasti berkorban ditangan Bi-bing Loni, maka segera ia menambahi. "Kau sebagai seorang tokoh kenamaan di Bulim, tidakkah kau malu menghadapi seorang gadis remaja!" Bu-bing tertawa sinis. ie menyedot napas melindungi urat nadinya lalu berkata. "Hari ini tak kubunuh dia, besok tentu dia yang akan membunuh aku!" "Dia adalah anak angkatku, bila kau berani bunuh dia, selama sehari aku masih hidnp, akan kubunuh kau juga!" Demikian ancaman Kiang Tiong-bing, Bu-bing Loni terbungkam. pelan-pelan ia simpan kembali pedangnya, dengan dingin ia sapu pandang mereka berdua serta katanya. "Kecuali selama hidup ini tinggal disini, kalau tidak kubunuh dia, meski sembunyi ke ujung langit." Berhenti sebentar lalu ia menambahi. "Dan juga Ham Gwat sekalian!" Kiang Tiong-bing diam saja, ia maklum bahwa Bubing Loni bisa melakukan apa saja sesuai dengan ancamannya, sikap dan kekkuannya terhadap dirinya ini boleh dikata merupakan pemberian ampun dan mengalah. Habis mengancam tadi Bu-bing Loni lantas putar tubuh tinggal pergi. Tersipu-sipu Gwat-sian bangkit, katanya. "Terima kasih banyak akan pertolonganmu paman." "Nak," Sahut Kiang Tiong-bing. "tak perlu kau sungkan-sungkan, terpaksa aku harus bertindak keras, tujuannya juga bukan melulu demi kepentingan kau, aku pun mengambil keuntungannya! "Betapa pun kau telah menolong aku! ujar Ma Gwat-sian tertawa getir. Begitu pahit dan getir tawa Ma Gwat-sian. hal ini terasakan oleh Kiang Tiong-bing, dia pun tersenyum kecut, katanya. "Nak, harus tahu, ada kalanya hidup manusia itu bukan melulu demi kehidupannya sendiri!" Ma Gwat-sian terlongong sekian lamanya, tak tertahan lagi ia menubruk ke dalam pelukan Kiang Tiong-bing dan menangis gerung-gerung. Begitulah mereka bertangis2an. "Nak." Ujar Kiang Tiong-hing sesaat kemudian. "Sudah jangan nangis lagi!" "Paman! Benar-benarkah kau sudi angkat aku sebagai putrimu?" "Oh, nak sungguh aku girang memperoleh anak seperti kau!" Kata Kiang Tiong-bing mengembeng air mata. "Yah! kaupun tidak perlu menangis lagi!" Pandangan Kiong Tiong-bing melayang ke arah air terjun diluar sana, terpikir olehnya bila Ham Gwat juga berada disitu betapa senang dan bahagia hatinya. tanpa merasa ia menghela napas kesal, katanya. "Nak, ada sesuatu yang perlu kukatakan kepada kau." Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo