Badik Buntung 24
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 24
Badik Buntung Karya dari Gkh Ma Gwat-sian duduk bersimpuh di bawah lutut Kiang Tiong-bing. Setelah menghela napas dan memandang keluar Kiang Tiong-bing mulai bicara. "Empat puluh tahun lebih, Bu-bing Loni masih begini kejam!" Demikian gumamnya, lalu ia melanjutkan kepada Ma Gwat-sian. "Nak, urusan ini selamanya belum pernah kututurkan kepada siapapun, inginkah kau mengetahui persoalanku dengan Bu-bing Loni?" Ma Gwat-sian manggut-manggut. ia duduk diam dan tenang. "Dulu," Dutur Kiang Tiong-bing tersenyum, Kangouw Ngo-hong adalah kaum remaja yang menjadi incaran dan kejaran pemuda2 persilatan pada masa itu, Ngo-hong sama punya kepandaian silat yang tinggi, sama cantiknya pula!" merendek sebentar lalu melanjutkan. "Tatkala itu aku baru saja berkecimpung dikalangan Kangouw. Ngo-hong Locu adalah sahabat kental dari keluargaku, sudah tentu dalam pengembaraanku itu aku harus mampir kesana menyampaikan sembah sujud dan hormatku kepada beliau." Mendengar sampai disini lantas Ma Gwat-sian dapat menebak kejadian apa selanjutnya yang telah dialaminya. Kiang Tiong-bing tersenyum geli, sambungnya. "Adalah jamak kalau akupun bertemu dengan kelima putrinya yang remaja itu. Nama asli Bu-bing Loni adalah Ong Ging-hong. dialah yang terbesar diantara lima bersaudara. Sedang ibu Ham Gwat justru yang paling kecil." Sampai disini ia berhenti dan tertawa-tawa, agaknya geli tapi juga seperti menyesali nasibnya sendiri, kelihatannya ia sangat prihatin dan menderita. "sudah tentu!" Demikian ia melanjutkan. "Akhirnya aku menikah dengan ibunda Ham Gwat. Ngo-hong Locu -sang Mertua juga paling sayang pada ibunya Ham Gwat, waktu itu ia jatuh sakit dan keadaan sudah payah, maka ia wariskan kekuasaan dari Ngohong Locu kepada ibunya Ham Gwat." Sampai disini ia terbatuk lirih dan menghela napas. "Maklum sebagai anak yang tertua tidak mendapat warisan keluarga, cintanya pun tidak terbalas lagi, maka akhirnya Bu-bing Loni menghilang dari kalangan Kangouw. Tahun kedua mendadak muncul pula di Bulim, wajahnya kelihatan sudah sepuluh tahun lebih tua, tapi justru ia telah memperoleh pelajaran ilmu silat mujijat. Selama kelana di Kangouw, barang siapa sampai mengganggu atau menyakiti hatinya tentu dibunuh tanpa belas kasihan. Betapa kejam dan Telengas perbuatannya itu sungguh menggiriskan hati." Sampai disini ia geleng-geleng dan mengkirik membayangkan kekejaman2 yang diperbuat Bu-bong Loni dahulu. Sambungnya:"Sudah tentu kau dapat membayangkan, cara bagaimana selanjutnya dia menghadapi kami berdua, meski adik kandung sendiri pun tidak terlepas dari perbuatan keji dan kekejamannya." Mencelos hati Ma Gwat-sian, terasakan olehnya, kasihan riwayat hidup Ham Gwat, adalah lumrah kalau dia mengalah, setindak demi kebahagiaan Ham Gwat. Kiang Tiong-bing tertawa getir, tuturnya "waktu dirumah ia sesumbar bila anak pertamaku lahir itulah saatnya bencana bakal menimpa keluarga kami. Setelah itu tinggal pergi, semula kami takut melahirkan anak! Tapi betapa pun kita harus keturunan! Akhirnya Ham Gwat lahir, kami lantas lari ke tempat yang jauh tersembunyi, tapi kemana pun kami lari tidak terlepas dari kejaran burung dewata bermata jeli dan tajam itu. Aih!" Mendadak tawa digin yang menggiriskan terkiang dipinggir kuping mereka, dengan kaget mereka tersentak bangun. tampak Bu-bing Loni berdiri diluar kamar batu, mulutnya mengulum seringai sadis setindak demi setindak ia melangkah masuk, giginya gemeratak desisnya. "Semua mengkhianati aku, kalian semua adalah berhati busuk dan pembual." Kiang Tiong-bing tertegun sebentar. katanya dengan nada berat. "Segala akibat hari ini adalah maha karya kekejamanmu. tidakkan kau lihat kepada kedua tanganmu sudah berlepotan darah?" Bu-bing menyeringai semakin beringas desisnya. "Aku bersikap sangat baik terhadap kalian, tapi kalian berkhianat terhadapku!" Sekonyong-konyong ia terkial-kial tawa seperti kicauan kokok beluk dimalam sunyi. Kiang Tiong-bing diam saja, ia tahu bahwa orang tentu telah tinggal minggat dan tidak hiraukan lagi pesan dan perintahnya. Pelan-pelan Bu-bing Loni menghunus pedang. katanya. "Selama hidupku ini aku bersikap paling baik terhadap kau. Tapi adalah kau pula yang bersikap paling buruk terhadapku." rona wajahnya semakin kaku dan diselubungi bahwa memutih, jelas napasnya membunuh semakin berkobar. Kiang Tiong-bing tertawa tawar, ujarnya. "Jadi Ham Gwat telah meninggalkan kau?" "Sudah lama ia meninggalkan aku!" Gerung Bu-bing Loni menyeringai iblis. Bukankah itu baik malah?" Seru Kiang Tiong tertawa girang. "Dia akan lebih aman dan terjamin keselamatannya bila meninggalkan kau, bila berada di sampingmu. kalau kau sedang marah2 mungkin jiwanya bisa terancam!" Tangan Bu-bing yang memegang pedang menjadi lemas semampai. mendadak ia angkat kepala, katanya beringas. "Kau tahu. sesaat aku menemukan dia saat itu pula tibalah ajalnya!" Mencekat hati Kiang Tiong-bing. Bu-bing bisa melaksanakan segala ancamannya. Sinar matanya yang dingin menatap ke arah Ma Gwat-sian, katanya. "Dan kau pun tidak usah ingin lebih lama lagi. Giok-lan pun berani mengkhianati aku, tiada gunanya kau tetap hidup." Tadi kau sendiri berkata membebaskan dia dari renggutan pedangmu," Demikian bentak Kiang Tiong-bing. Kenapa sekarang kau jilat ludahmu sendiri" Baru tadi aku tahu. kau bersikap begitu kasar terhadapku karena aku bersikap terlalu baik terhadap kau. Aku tidak bunuh Ging-sia dan mengasuh Ham Gwat sampai dewasa memberi pelajaran ilmu silat. semua itu hanya untuk Kau seorang, dan sekarang akan kusuruh kau melihat dengan mata kepalamu sendiri, akan kubunuh semua orang yang kau kenal dihadapanmu." Kiang Tiong-bing bergidik seram, kekejaman Bu-bing Loni tidak perlu disangsikan lagi akan ancamannya yang serius ini. Ia mandah tertawa getir, katanya. "Mungkin kau mampu melakukan segala ancamanmu, tapi mungkin pula kau tidak mampu melaksanakan hasratmu. Aku tidak akan sudi menonton atau menjadi penonton, seumpama aku harus mati aku tidak akan mau menonton." "Aku kuatir hal ini tidak segampang menurut kemauanmu saja. Kau harus tunduk akan perintah dan kemauanku!" Kiang Tiong-bing pandang Ma Gwat-sian dengan rasa iba, pelan-pelan ia bangkit lalu keluar menuju ke air terjun. Sekali melejit Bu-bing Loni mencengkeram Kiang Tiong-bing, kontan tutuk jalan darah pelemas tubuhnya terus membaringkannya di atas dipan, seringainya. "Kau harus menjadi penonton!" Kiang Tiong-bing pejamkan matanya. Bu-bing Loni tertawa dingin. ujarnya. "Meski tidak melihat, kau pun bisa mendengar, akan kubuat kau mendengar mereka satu persatu meregang jiwa." Selama itu dengan tenang Ma Gwat-sian duduk ditempatnya, dengan wajar ia awasi Bu-bing Loni, ia saksikan kelakuan orang yang hampir setengah gila ini, setelah membaringkan Kiang Tiong-bing sekarang dia menghampiri ke arah dirinya. Pelan-pelan ia menghela napas panjang, dia sudah siap siaga, bila Bu-bing Loni benar-benar mendesak dirinya, ia sudah berkeputusan untuk bunuh diri dengan kekuatan getaran senai harpanya, untuk sesaat hatinya menjadi pilu dan bersedih, sebentuk bayangan yang sangat dikenalnya terbayang dikelopak matanya. Hun Thian-hi bersikap gagah dan ganteng. tapi dia kelihatan berdiri berendeng disana bersama Ham Gwat. Biji matanya basah oleh air mata, engkohnya dan para famili nan jauh dinegeri kelahiran sana terbayang dalam bintik2 air matanya dan menjadi buram dan akhirnya menghilang menetes di tanah. Bu-bing Loni mendesak lebih dekat, tiba-tiba terbayang bentuk tubuh gurunya Poci diambang kelopak matanya yang terkaca2. Akhirnya ia tertunduk, tangannya kanan terangkat siap memetik senar harpa. "Jangan begerak!" Poci membentak keras. Ma Gwat-sian tersentak kaget, cepat ia angkat kepala, bayangan yang dilihat tadi ternyata bukan ciptaan alam pikirannya belaka, tampak Poci berdiri angker sambil memeluk sebuah harpa yang lain pula, sikapnya dingin dan gusar memandang Bu-bing Loni. Bu-bing Loni menyeringai dingin, sebetulnya hatinya rada gentar, dengan penuh selidik ia awasi Poci, begitulah mereka jadi berdiri berhadapan saling pandang, tiada yang berani bergerak lebih dulu. Akhirnya Poci membuka suara lebih dulu. "Bu-bing! Kau seorang tokoh nomor satu di seluruh Bulim, tidakkah kau malu menggerakan pedang terhadap seorang bocah kecil?" "Siapa kau?" "Persetan dengan siapa aku," Jengek Poci. "Cukup kau tahu saja akulah gurunya!" Karena yang dihadapi Bu-bing Loni. tokoh kosen yang lihay, hingga sedikitpun ia tidak berani melirik ke arah Ma Gwat-sian, sedikit lalai besar akibatnya. "Kudengar kau sebagai ahli waiis Tay-seng-ci-lou. Kau berani meluruk ke Tionggoan sebagai lazimnya. satu gunung pantang hidup dua harimau yang menjagai, cepat atau lambat memang kita harus berhadapan, kini tibalah saatnya kita tentukan siapa unggul siapa asor" Habis kata- katanya pedangnya terangkat terus membabat miring. Tampak tangan kiri Poci bergerak, irama kekal abadi kontan berkembang seiring dengan gerak gerik jarinya yang lincah di atas senar harpanya. Seketika Bu-bing Loni berdegup jantungnya, keruan kejutnya bukan main, selanjutnya ia harus bertindak sangat hati-hati, namun setiap gerak pandangnya selalu kandas ditengah jalan, akhirnya ia duduk bersimpuh mengerahkan Lwekang untuk melawan. Puci sendiri sedikitpun tidak berani takabur menghadapi ahli waris Hui-sim-kiam-hoat pertemuan kali ini merupakan pertempuran yang menentukan mati hidup, bila dirinya kalah bukan saja dirinya bakal konyol. Ma Gwat-sian pun takkan tertolong jiwanya. Akhirnya iapun duduk bersila, lagu kekal abadi terus dikembangkan mencapai puncaknya. Ma Gwat-sian dan Kiang Tiong-bing menonton dengan mata terbelalak, sungguh takjub mereka menyaksikan pertempuran lucu dari kedua tokoh terbesar jaman kini. pertempuran macam ini jarang terjadi selama ratusan tahun terakhir ini. Begitulah Bu-bing duduk mematung seperti semadi, jari-jari Poci sementara itu terus bergerak dengan lincah, kedua belah pihak tetap bertahan sampai setengah jam. Mendadak Bu-bing Loni membuka mata, sorot tajam berkilat dari biji matanya menatap ke arah Poci laksana ujung pisau tajamnya, sekonyong-konyong tubuhnya bergerak mencelat bangun, pelan-pelan pedang dilolos keluar pula. Sembari menggerung rendah kaki kanannya terangkat pelan-pelan maju selangkah. Demikian juga tiba-tiba Pici membelalakkan biji matanya, kedua tangannya berhenti bergerak, seketika irama musiknya terputus berhenti. Lekas-lekas Bu-bing Loni menarik balik kaki kanan yang sudah melangkah ke depan itu. Hawa dalam kamar batu rasanya menjadi bergolak tegang, suasana sangat hening lelap sehingga bernapaspun ditahan. Ma Gwat-sian tahu bahwa Poci gurunya sedang mempersiapkan diri untuk melancarkan gelombang suara musiknya yang lihay yaitu Toan-liong-loh-yun, bila perlu biar gugur bersama musuh. Kedua belah pihak harus hati-hati sebelum bertindak, karena sedikit salah langkah akibanya bakal hancur lebur. Dengan cermat Poci awasi setiap tingkah laku Bu-bing Loni, setelah berdiam diri sekian lamanya, lagi-lagi ia angkat kakinya hendak melangkah maju. Sekali lagi tangan kiri Poci menjentik senar, lengking irama harpa yang meninggi terbang keluar langsung menerjang ke arah Bu-bing Loni. Lakas2 pedang ditangan Bu-bing Loni disampokkan ke depan, batang pedangnya memancarkan cahaya kemilau. sekuat tenaga ia berusaha menangkal balik gelombang suara harpa. Tapi kelihatan usahanya sangat memakan tenaga, apa boleh buat kaki kanannya harus ditarik mundur pula. Rona wajah Poci kaku serius, selama ia mempelajari Yay-seng-ci-lou baru hari ini pertama kali menggunakan ilmu saktinya untuk menghadapi musuh tangguh, justru lawannya adalah jago nomor satu dari Tionggoan, yaitu Bu-bing Loni. Lagi-lagi jari-jari tangan kirinya bergerak, serangkaian suara musik bergelombang mengalun pula menyerang ke arah Bu-bing Loni. Kedua biji mata Bu-bing Loni menatap lurus ke depan, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu persoalan yang maha penting, pedang ditangan kanannya bergerak pula maju mundur lalu menusuk ke depan menghalau seluruh rangsakan irama harpa, tapi tak urung ia terdesak mundur sampai dua tindak ke belakang. Poci tercekat, sekarang kelima jari tangan kiri-kanannya menjentik bergantian, dengan seluruh yang paling dahsyat. Dia sudah berkeputusan hari ini kekuatan latihannya, ia lancarkan jurus serangan harus merobohkan Bu-bing Loni atau dirinyalah yang bakal terjungkal kalah. Sementara itu Bu-bing Loni sedang menerawang cara bagaimana memecahkan gempuran musuh yang dahsyat, tapi irama lagu lawan sambung menyambung melandai bagai gelombang samudra membuat segala daya pkirannya kena dikacau balaukan, terpaksa ia pusatkan perhatiannya untuk melawan serangan musuh. Tampak tangan kanan Poci bergerak pula, Bu-bing Loni angkat kepala, air mukanya kelihatan. rada pucat, namun sorot matanya malah mengunjuk rasa girang yang terpendam. lekas pedangnya dilayangkan ke depan, dengan hawa pedangnya yang membentuk seperti kabut putih mengembang lebar menerpa ke depan ia tangkis gelombang suara lawan. Bahwa seluruh usaha penyerangannya selaliu gagal membuat Poci semakin gugup dan kaget, jari telunjuknya segera membelesot di atas senar, suaranya persis seperti gambreng digesek menusuk telinga melesat ke depan. Bu-bing Loni mandah tertawa dingin, pedangnya melintang maju terus diputar ke atas lalu disendal ke samping, gelombang suara musuh kena didesak bujar oleh kekuatan hawa pedangnya. Sekarang Bu-bing Loni mendesak maju sambil melintang pedangnya, selangkah demi selangkah ia menghampiri Poci. Jidat Poci sudah basah oleh keringat dimana telunjuk jari tangan kirinya menggantol. sebuah lengking suara senar harpanya menerjang pula ke arah Bu-bing Loni. Pelan-pelan Bu-bing masih melangkah ke depan, dengan ketajaman pedang dan kekuatan hawa pedangnya ia menyampok pula serangan musuh kesamping, ujung mulutnya mengulum senyum sinis yang dingin, seolah-olah Poci sudah bakal dicengkeram dalam genggamannya. Beruntun Poci kirimkan tiga gelombang suaranya yang berlainan bentuk dahsyat dan hebat serangan tiga rangkaian gelombang musiknya ini sehingga Bu-bing terdesak dan tidak sempat lagi menangkis dengan pedang, ia terdesak mundur setindak, tapi dilain saat kaKinya mendesak maju pula pelan-pelan. Mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan, baru sekarang ia sadari bahwa Tay-seng-ci-lou tidak boleh dihadapi secara hadap berhadapan. Poci diam tak bergerak, biji matanya menatap Bu-bing Loni lekat-lekat. Sudah lama ia mendengar ketenaran nama Bu-bing Loni, kenyataan sekarang ia sudah merasakan kelihayan orang. Bila Bu-bing Loni berani maju setindak lagi apa boleh buat dia harus lancarkan gelombang putus dari senar harpanya untuk gugur bersama Bu-bing Loni. Melihat Poci tidak bergerak Bu-bing Loni juga tidak berani sembarangan maju. Dia tahu akan kehebatan Tay-seng-ci-lou adalah pantang untuk memandang ringan pada musuh, soalnya kepandaian silat sejati Poci terpaut terlalu jauh dibanding dirinya, kalau tidak mungkin sejak tadi Bu-bing Loni sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Bu-bing Loni melangkah pula, Poci masih tak mau bergerak, kedua biji matanya tajam laksana ujung pisau menatap muka Bu-bing, sedikitpun tidak kelihatan rasa takutnya. Adalah Bu-bing sendiri yang menjadi merinding dan berdiri bulu romanya dipandang begitu rupa, serta merta ia menghentikan langkahnya, sesaat ia menjadi bingung maju atau mundur. ia tahu bahwa Poci pasti masih menyimpan jurus-jurus terlihay yang belum dilancarkan, soalnya menanti kesempatan terakhir untuk merobohkan dirinya. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu, ia berpikir cara bagaimana ia harus meruntuhkan rangsakan musuh yang teramat hebat itu. Suasana gelanggang menjadi sunyi senyap. Ma Gwat-sian terlongong mematung, biji matanya saja yang bergerak. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ganti berganti ia melirik ke arah Poci dan Bu-bing Loni. Ia insaf bahwa Poci sudah terdesak di bawah angin, kelihatannya ia sudah bertekad untuk gugur berrama Bu-bjng Loni. Pelan-pelan Bu-bing menudingkan pedangnya ke depan. diapun sudah berkeputusan menggunakan tiga jurus terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat untuk menempuh kemenangan, jalan inilah yang dianggapnya paling aman untuk menyelamatkan jiwa sendiri. Poci juga percaya akan kekuatan Hui-sim-kiam-hoat yang tenar itu, pelan-pelan ia angkat jari- jarinya siap untuk bergerak bila pedang Bu-bing Loni menyerang, dengan irama musiknyai a harus bertahan dan mengadu kekuatan terakhir. Tapi Bu-bing menjadi bimbang lagi, sedetik sebelum mengambil keputusan. terasakan olehnya kacuali ia menghentikan pertempuran hari ini sampai disini, kalau tidak bila keadaan sama bertahan begini terus berlangsung dan tiada kesudahannya. Pedangnya sudah teracung sampai titik ketinggian diharapkan, kebetulan lurus dan selaras dengan alisnya. Inilah letak posisi yang paling serba guna untuk menyerang musuh dan untuk menjaga diri. Sekian lama ia tatap muka Poci, pedang sudah siap dilancarkan dengan serangan yang paling ganas sekonyong-konyong biji matanya memancarkan rasa takut dan gusar yang berlimpah2. Ujung pedangnya yang lempang ke depan itu tampak sedikit gemetar. Ah, besar tekadnya untuk segera mulai menyerang tapi entah mengapa hatinya seperti mengkeret dan tak berani lagi turun tangan. Pandangan Poci mengunjuk rasa hambar dan kosong, tak tahu dia siapakah yang telah muncul karena dia tidak berani menoleh. Pedang Bu-bing masih teracung ke arah dirinya. mungkin orang segera lancarkan serangan fatal yang menentukan. Ooo)*(ooO Melihat Coh Jian-jo tiba-tiba murka Hun Thia-hi tertawa tawar, katanya. "Cianpwe! Meski kedatanganku untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolonganmu, tapi kau harus tahu, betapa banyak orang telah menjadi korban di bawah keganasan Pek-tok-hek-liong-ting, mereka akan menuntut jiwa mereka kepada kau!" Biar mereka kemari!" Bentak Coh Jian-jo dengan suara serak. "Aku toh tidak kenal mereka, tapi justru sanak kadangku harus menjadi korban kelicikan Tok-sim-sin-mo. Itulah yang paling kuperhatikan!" Hun Thian-hi bergelak tawa, serunya. "Kau tidak kenal mereka, memangnya aku kenal mereka!" Lalu berpaling pada Su Giok-lan, katanya. "Sungguh kami menyesal telah datang kemari, marilah kita pulang!" Coh Jian-jo terlongong memandangi punggung mereka. mendadak ia berseru. "Apakah kalian mampu keluar? Pintu besi diluar sudah tertutup semua!" Thian-hi berdua tidak hiraukan seruannya, bersama Su Giok-lan beranjak terus ke depan. Su Giok-lan tidak tahu apa maksud kelakuan Hun Thian-hi ini ia duga mungkin punya tujuan tertentu maka ia menurut saja diseret oleh Thian-hi. Coh Jian-jo menjublek tak bersuara, matanya berkilat-kilat, agaknya sedang memutuskan suatu perkara besar. namun ia masih ragu-ragu dan bimbang untuk memberikan jawabannya. Akhirnya Hun Thian-hi berdua tiba diambang pintu besi, kata Su Giok-lan. "Hun-toako, bisakah kita keluar?" Hun Thian-hi tertawa getir, sahutnya. "Tidak, bisa keluar!" Su Giok-lan jadi melongo, kedengarannya nada ucapan Thian-hi begitu wajar, begitu acuh tak acuh, seakan-akan soal pintu besi yang menghalang jalan ini tidak menjadikan persoalan baginya. Hatinya menjadi heran, tak kuasa ia bertanya lagi. "Lalu untuk apa kita berada disini?" "Selama hidup aku tidak sudi bergaul dengan dua macam manusia," Demikian sahut Thian-hi dengan suara lantang. "Seseorang yang sangat pelit dan ogoistis, dan seorang lain yang berhati ganas dan telengas tidak punya rasa prikemanusian. Umpama tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni merupakan manusia terganas dan keji, sedang Coh Jian-jo ini justru lebih jahat dan lebih menjemukan, sungguh aku menjadi muak melihat tampangnya pula!" Su Giok-lan melengak, pikirnya. "Sejelek2 Coh Jian-jo juga tidak seburuk yang dikatakan ini. Soalnya sanak kadangnya sendiri kena ditawan dan dijadikan sandera oleh Tok-sim-sin-mo sehingga kena diperalat untuk menciptakan berbagai alat senjata rahasia demi kepentingan Toksim-sin-mo!" Coh Jian-jo dan Nyo Ceng menyusul keluar. dengan muka beringas Coh Jian-jo berkata. "Coba kau jelaskan, bagaimana aku jauh lebih buruk dari Tok-sim-sin-mo?" Thian-hi tertawa tawar, katanya kepada Su Giok-lan. "Mari kita istirahat sebentar, kalau Tok- sim-sin-mo kembali suatu kesempatan bagi kita untuk menjebol alat2 rahasia itu untuk lari keluar!" dalam bicara sedikitpun ia tidak hiraukan kehadiran Coh Jian-jo dan Nyo Ceng, setelah mendapatkan tempat yang rada bersih ia duduk bersimpuh dan tak peduli orang lain. Sekilas Su Giok-lan pandang muka Coh Jian-jo, sekarang ia rada paham kemana juntrungan maksud Hun Thian-hi terhadap Coh Jian-jo ini, iapun mencari tempat untuk duduk istirahat, Ganti berganti Coh Jian-jo pandang mereka berdua, air mukanya ganti berganti putih hitam dan merah pula, sesaat mulutnya menggerung lalu katanya. "Kalian hendak memancing kegusaranku bukan? Sayang aku tidak bakal tertipu oleh kalian, selama hidup ini kalian jangan harap bisa keluar. Bila Tok-sim pulang. dia tidak akan begitu gampang mau melepaS kalian dari sini." Thian-hi pejamkan mata, anggap tidak dengar akan ocehan Coh Jian-jo, ujung mulutnya malah menyungging senyum hina dan pandang rendah. Coh Jian-jo menggeram sambil membanting kaki, badannya sudah berputar hendak tinggal pergi. tapi matanya masih pandang Hun Thian-hi, melihat orang tidak mengunjuk reaksi apa? ia hentikan pula kakinya. serunya. "Bila kau tidak katakan alasanmu, aku bisa membuat jiwamu melayang ke alam baka, jangan kau sangka dengan sembarangan obral mulut lantas kau dapat memancing aku." Sesaat kedua belah pihak sama menjublek tak bicara, akhirnya Hun Thian-hi membuka mata. ujarnya. "Bukan saja aku beranggapan demikian, mungkin seluruh manusia di kolong langit inipun punya keyakinan yang sama. Meski kau mampu bunuh aku, apakah kau mampu bunuh seluruh manusia di kolong langit ini? Percaya hati nuranimu tidak akan tentram, kau akan menyesal dan dirundung kekesalan selama hidup!" Agaknya hati Coh Jian-jo menjadi lemas. katanya. "Kalau kau punya alasan dan itu benar- benar. coba terangkan, ingin aku mendengar lebih lanjut." "Masa kau sendiri belum tahu?" Ejek Thian-hi. "Bila kau suruh s(eseorang membunuh orang. dosamu yang lebih besar apa dosa orang itu yang lebih besar?" Coh Jian-jo berpikir sebentar, sahutnya. "Cucuku perampuan dijadikah sandera, dia menekan aku untuk membuatkan alat2 itu, apakah ini terhitung aku yang suruh dia membunuh orang." Hun Thian-hi tertawa, katanya. "Tahu betapa besar akibat dari perbuatanmu, tapi tetap kau laksanakan inilah merupakan dosa terbesar dosa yang tak berampun lagi." Coh Jian-jo terlongong diam. Thian-hi lanjutkan. "Kau tidak kenal mereka, demikian pula aku tidak kenal mereka, tapi ingat bahwa mereka juga punya sanak kandang, apakah kita pantang berbuat sedikit kebaikan demi keselamatan atau kehidupan orang lain?" Coh Jian-jo tertunduk ia menghela napas panjang lalu berbalik berjalan masuk ke dalam kamar. Dari belakang Hun Thian-hi berseru pula. "Mungkin aku sendiri juga rada egois, supaya kau mau membantu sengaja aku menjatuhkan dosa2mu lebih berat, sebenar-benarnya dosa2 itu tidak seberat seperti yang kuucapkan tadi. Bila kau mau, kau rela, aku harap dapat membantu kau!" Coh Jian Jo geleng-geleng kepala, ujarnya. "Biar kubantu kau membuka pintu besi ini, boleh silakan kau pergi. Ynag terang kau tidak akan dapat bantu apa-apa padaku, dan bagimu tiada daya untuk membantu apa-apa kepadamu!" "Tujuan kedatanganku kemari bukan hanya itu belaka, bila ntuk meloloskan diri saja aku pikir tidak perlu datang Hwesio Jenaka membujuk aku supaya kemari menyatakan terima kasihku kepada kau orang tua. Tapi aku maklum tujuan yang sebenar-benarnya adalah agar aku bisa menolong kau dan cucumu keluar dari tempat kotor ini. Dan sekarang aku sudah datang sudah tentu pantang pulang dengan tangan kosong." Coh Jian Jo mengacungkan tangan, selanya. "Kau memang pandai bicara, tapi pandai bicara belum tentu dapat menangkan suatu perkara." Bab 25 "Bila kau sudi membantu kami, itu berarti sudah menambal kekurangan itu!" Coh Jian-jo tertawa ewa, katanya. "Apa gunanya kau tolong aku keluar? Setelah berada diluar, dalam tiga hari pasti aku bakal mampus, apa pula gunanya?" Thian-hi terlengak, pikirnya. "Kiranya begitu, Tok-sim-sin-mo pasti mencekoki semacam obat beracun padanya, obat pemunah Sutouw Ci-ko belum lagi dapat dicari, kecuali aku mendapatkan obat pemunah itu, tiada jalan lain untuk dapat melemaskan hatinya. Dalam waktu dekat ini terang tiada daya untuk menolong Coh Jian-jo keluar." Coh Jian-jo masuk ke dalam kamar, tak lama kemudian keluar pula dengan membawa sebuah gergaji, panjang gergaji ini cuma satu kaki tapi mengkilap hitam agaknya terbuat dari Kiu-thian- ham-giok, tanpa banyak kata segera ia berkerja menggergaji sela-sela antara pintu besi dan batu karang itu, lalu tertawa berkata kepada Hun Thian-hi. "Sekarang kalian boleh tinggal pergi!" Lalu ia membalik tubuh masuk ke dalam pula. Sekonyong-konyong teringat suatu hal oleh Thian-hi, cepat ia berseru keras. "Coh-cianpwe. harap tunggu sebentar!" Coh Jian-jo merendek dan berpaling ke arah Hun Thian-hi, katanya. "Aku sendiri punya perhitunganku, kau tidak usah kuatir akan diriku, tak lama lagi kau akan tahu sendiri!" "Bukan itu maksud saya," Ujar Hun Thian-hi. "Ada sebuah benda yang ingin kuperlihatkan kepada kau!" Coh Jian-jo melenggong. tak tahu ia benda apa yang akan diperlihatkan kepadanya. Tampak Hun Thian-hi pelan-pelan merogoh keluar sarung Badik buntung dari dalam bajunya terus diangsurkan kepada Coh Jian-jo. Mengawasi, sarung Badik buntung itu terpancar sorot aneh dan berkilat dari biji mata Coh Jian- jo, begitu kesima ia mengawasinya tanpa berkedip, akhirnya dia tertawa ujarnya. "Jadi sarung Badik buntung berada ditangan Hun-siauhiap?" Thian-hi manggut-manggut, sahutnya. "Wanpwe ada dengar kabarnya rahasia dari Ni-hay-ki-tin hanya Cianpwe seorang saja yang tahu, maka dengan lancang berani kukeluarkan sarung Badik buntung ini mohon petunjuk. Ingin aku tahu mengapa kaum persiliatan sama ingin memperoleh Ni-hay-ki-tin itu?" Coh Jian-jo tertawa tawar, katanya. "Mengenai soal itu. hakikatnya aku tidak tahu menahu mungkin Hun-siauhiap salah dengar dari obrolan orang yang suka membual!" Tahu bahwa Coh Jian-jo segan membocorkan rahasia ini. Hun Thian-hi pun tertawa saja, katanya. "Sarung Badik buntung ini tiada gunanya selalu ku-bawa2, harap Cianpwe suka menerimanya, mungkin jauh lebih selamat bila Selalu ku-bawa2." Lalu ia berikan sarung Badik buntung itu kepada Coh Jian-jo lalu menyeret tangan Su Giok-lan menerjang-keluar. Sambil memegangi sarung Badik buntung Coh Jian-jo terlogong ditempatnya, sesaat ia menjadi bingung apa yang harus dilakukan. Sungguh mimpi juga ia tidak mengira bahwa Hun Thian-hi sudi menyerahkan sarung Badik buntung itu kepada dirinya. Melihat Hun Thian-hi berdua hendak pergi. cepat Nyo Ceng berseru. "Hun tayhiap, diluar ada Biau-biau-cu berjaga, jangan Hun-siauhiap memandangnya terlalu enteng!" "Blang" Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi tendang pintu besi itu hingga terpental ambruk. Ia insaf sepanjang jalan lorong2 ini pasti terpasang berbagai alat rahasia, yang berbahaya, bersama mengembangkan Ginkang Ling-khong-pu-si (berjalan di tengah udara) mereka berdua melesat keluar laksana anak panah. Peringatan Nyo Ceng akan Biau-biau-cu yang berjaga diluar menimbulkan kewaspadaan Hun Thian-hi, karena Bu-ing-sin-sa atau pasir beracun tiada bayangan Biau-biau-cu merupakan kepandaian tunggal yang paling disegani juga di Bulim. Begitu menerjang keluar dari kamar batu mereka melesat terus ke depan, beberapa jauh kemudian tiba-tiba di depan mereka tampak berdiri seorang Tosu tua, sekilas pandang lantas Thian-hi tahu, pasti dia itulah Biau-biau-cu, cepat ia melolos keluar Serulingnya, bersama Su Giok- lan mereka menerjang terus ke depan. "Berhenti!" Biau-biau-cu membentak dengan suara berat. Hun Thian-hi. tertawa besar. serunya. "Tergantung dari kepandaianmu sejati!" -dia pernah dengar bahwa sambitan Bu-ing-sin-sa tiada mengeluarkan suara dan tiada bayangannya, maka sedikitpun ia tidak berani lalai, seruling ditangannya segera ditaburkan dengan putaran cepat seperti kitiran untuk melindungi badan sendiri dan Su Giok-lan. Keruan Biau-biau-cu naik pitam bahwa seruannya tidak digubris, sambil menggerung gusar kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan menyongsong ke arah Thian-hi. Sementara itu Su Giok-lan juga sudah mengeluarkan pedangnya panjang, bersama ia putar senjatanya menyerbu kepada musuh. Melihat betapa hebat dan dahsyat gabungan rangsakan kedua musuh mudanya ini, bukan kepalang kejut Biau-biau-cu, insaf bahwa dirinya terang bukan tanjngan, dasar berotak cerjk, lekas-lekas ia melejit mundur dan mundur terus. Hun Thian-hi menarik Su Giok-lan berlari terus ke depan, sepanjang jalan ini mereka menjadi leluasa terus menerobos melalui serambi panjang dan lorong sempit akhirnya tibalah mereka dijalan rahasia yang menembus keluar itu. Setelah berada diluar gua mereka sama berpandangan. sejenak Hun Thian-hi berpikir lalu katanya kepada Su Giok-lan. "Giok-lan, kau berangkat dulu ke Jian-hong-kok bagaimana? Setelah urusan disini selesai segera aku menyusul kesana!" Su Giok-lan beragu, katanya tertawa. "Kenapa harus begitu? Biar kutunggu kau menyelesaikan urusan disini lalu berangkat bersama. Kau ingin menolong, Coh Jian-jo dan pula harus mendapatkan obat pemunahnya itu bukan?" Thian-hi manggut-manggut, ujarnya. Urusan ini sangat mendesak, menurut perhitunganku. mungkin Tok-sim-sin-mo segera bakal tiba paling lambat besok pagi. Makaaku harus bekerja secepatnya sebelum dia kembali! Kalau tidak mereka berjumlah begitu banyak. seorang diri mana aku kuasa melawan mereka." Su Giok-lan manggut-manggut katanya. "Tapi Coh Jian-jo toh tidak mau keluar!" "Dia akan mau keluar. Betapapun aku tidak akan meninggalkan dia seorang diri bukan saja Tok-sim akan menyiksanya dengan berbagai cara keji, apalagi kepandaian tehniknya yang hebat tadi sudah kita saksikan sendiri. Betapa tinggi kepandaiannya itu cukup hanya beberapa gerakan tangan yang tidak berarti saja dia mampu membuka pintu besi. Bila dia sampai kena diperalat oleh Tok-sim, dapatlah kau bayangkan akibatnya!" Lalu ia merenung sebentar, katanya. "Dan bukan itu saja persoalannya. Menurut apa yang kudengar dari penuluran Kiu-yu-mo-lo, hanya dialah satu-satunya orang yang jelas tahu akan rahasia disarung Badik buntung itu. Maka dia pulalah orang yang sedang diperebutkan antara I- lwe-tok-kun dan Tok~sim-sin-mo. Maka aku harus dapat menolongnya keluar dari mara bahaya ini, malah harus kulindungi keselamatan jiwanya!" Su Giok-lan tunduk diam, hatinya berpikir. "Entah orang macam apakah sebenar-benarnya Mo- bin Suseng itu, kenapa selama ini belum pernah muncul, tapi dengan langkah-langkahnya yang tersembunyi itu cukup dapat membuat geger seluruh dunia persilatan, sebetulnya apakah tujuan sebenar-benarnya? Apakah benar-benar dia adalah duplikat I-lwe-tok-kun? Hal inilah yang cukup mencurigakan, bila benar-benar dia adalah i-lwe-tok-kun. sudah pasti banyak orang yang mengenalnya, lalu kenapa pula dia harus merahasiakan muka aslinya, bertindak serba misterius?" "Sudah lama gurumu tidak melihat kau, adalah baik bisa sekarang kau menjenguk mereka kesana." Demikian ujar Thian-hi. "Kalau Tok-sim-sin-mO belum kembali, urusan disini cukup dapat kuatasi sendiri. Jika dia sudah pulang. meski kau bantu juga bukan menjadi tandingan mereka!" Su Giok-lan masih tunduk menepekur tak bersuara. Thian-hi lantas melanjutkan. "Tolonglah setiba disana kau sampaikan salam hormatku kepada guruku, katakan tak lama lagi aku akan segera menyusul datang menghadap pada beliau. Sudah begitu saja, berangkatlah!" Melihat Thian-hi bersitegas menyuruh dirinya pergi Su Giok-lan menjadi geli. katanya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Terpaksa aku mengalah saja!" mereka memutar kegunung depan memanggiil burung dewata, dilain saat Su Giok-lan sudah terbang tinggi dipunggung burung dewata. Setelah bayangan Su Giok-lan dan burung dewata tidak kelihatan Hun Thian-hi dapat menghela napas lega, sesaat ia menepekur memikirkan cara bagaimana untuk mendapatkan obat pemunah itu untuk menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan. Mendadak didengarnya langkah kaki yang sangat perlahan di belakang tubuhnya, sudah tentu kagetnya bukan main, di tempat dan disaat seperti itu, ada orang muncul disini, tidak perlu diragukan lagi pasti dia komplotan dari Hek-liong-pang. Sigap sekali ia memutar tubuh, tampak seorang Hwesio tua sedang tersenyum manis menghadapi dirinya. Hun Thian-hi berjingkrak kegirangan seperti putus lotre, Hwesio tua ini bukan lain adalah padri tua yang memberikan buah ajaib dulu kepadanya. Terlihat olehnya si Hwesio tua ini masih segar bugar, wajahnya masih kelihatan begitu welas asih penuh kerendahan hati, namun kedua biji matanya tetap terpejam. Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi hormat, sapanya. "Losuhu, apakah kau baik!" Hwesio itu tertawa. sahutnya. "Nak! Apakah kau baik selama berpisah?" Thian-hi membungkuk tubuh, sahutnya. "Terima kasih atas perhatian dan bimbingan Losuhu tempo hari!" Dengan lekat Thian-hi amati muka orang, tampak orang masih mengunjuk senyum dikulum, timbul rasa hormat dalam hati, tanyanya. "Apakah nama julukan Losuhu adalah Go-cu?" Padri tua itu tertawa-tawa, sahutnya menggeleng. "Salah! Ada seorang lain yang bernama Go- cu Tay-su. Aku bukan Go-cu Taysu!" Hun Thian-hi melengak keheranan, banyak orang mengatakan bahwa padri tua yang ditemui itu adalah Go-cu Taysu, tapi secara langsung sekarang disangkal oleh sipadri tua ini, lalu siapakah sebenar-benarnya padri tua ini? Mungkin seorang Cianpwe lain yang menyembunyikan nama dan asal usulnya. tapi entah apakah nama julukannya? Kata padri tua jambil tersenyum. "Hun-sicu tak perlu banyak pikiran, soal ini kelak Hun-sicu bakal tahu sendiri, tapi sekarang ada sebuah urusan yang perlu kuberitahukan kepada Hun-sicu!" "Ada urusan apa pula harap Cianpwe suka memberi petunjuk!" "Apakah Hun-sicu tahu bahwa Mo-bin Suseng sekarang sudah tiba di Tionggoan. Dan sekarang kira-kira sudah berada disekitar Jian-hud-tong ini. Dia ingin menculik Coh Jian-jo dari sarang musuhnya." Thian-hi tercengang, sejenak ia celingukan keempat penjuru, ingin dia menemukan dimana jejak Mo-bin Suseng. Padri tua tertawa dan katanya. "Hun-sica sekarang tidak akan dapat melihatnya, tapi akan kuberitahu kepada kau, hal ini sudah lama ingin kau ketahui, walaupun sebetulnya sudah kau ketahui, cuma apa yang kau ketahui itu belum lagi pasti dan tepat!" Merandek sebentar lantas ia melanjutkan. "Ketahuilah Mo-bin Suseng bukan I-lwe-tok-kun!" "Bukan?" Desis Hun Thian-hi sesaat kemudian. Padri tua manggut-manggut, ujarnya. "Tapi Mo-bin Suseng adalah murid I-lwe-tok-kun, selamanya tiada seorang pun yang pernah melihat wajah aslinya, tapi bila kau sendiri yang melihat dia, pasti kau kenal padanya!" Hun Thian-hi garuk2 kepalanya yang tidak gatal, ia tidak paham kemana juntrangan kata-kata sipadri tua ini! Terdengar ia melanjutkan. "Mo-bin Suseng adalah saudara kembar Hwesio jenaka! Bentuk tubuh dan wajah mereka satu sama lain sangat mirip sekali!" Lagi-lagi Thian-hi melengak dibuatnya, teringat olehnya waktu ia mendapatkan buah ajaib dulu, adalah Hwesio jenaka yang membantunya sehingga ia berhasil mendapatkan buah ajaib itu. Pernah juga Hwesio jenaka mengajukan syarat yang ditampiknya saat itu, kiranya.Thian-hi menjadi serba sulit, betapa besar budi bantuan Hwesio jenaka terhadapnya, laksana gunung tingginya sedalam lautan pula, bila Hwesio jenaka minta dia menghapus dendam kesumat ini, bagaimanakah dia harus menjawab? Sekian lama mereka berdiam diri, akhirnya si padri tua berkata pula. "Perlu kau ketahui bahwa mereka tiga bersaudara kembar. Orang yang pertama kau temui itu bukan Hwesio jenaka, yang membantu kau dulu adalah muridku, seorang iblis kenamaan di Bulim dulu yang bernama julukan Siau-bin-mo-in (orok iblis bermuka tawa), sekarang nama gelarnya adalah Ngo-sing!" Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, tak tahu dia bagaimana perasaannya setelah mengetahui rahasia ini. Kiranya mereka tiga bersaudara kembar, teringat olehnya waktu Pek Si- kiat pertama kali ketemu dengan Hwesio jenaka sikap dan lagak mereka kelihatannya seperti sudah kenal lama, tapi siapa tahu bahwa Hwesio tambun itu kiranya adalah Siau-bin-mo-in. Terdengar sipadri tua menghela napas. lalu sambungnya. "Diantara mereka tiga bersaudara, Mo-bin Suseng adalah yang tertua, Hwesio jenaka paling kecil. Tapi Hwesio jenaka alalah murid Siau-bin-kim-hud Hoat-pun yang kenamaan itu. Hubungan mereka bertiga justru sangat akrab dan kental sekali, sayang menyajangi. Mo-bin Suseng berbuat begitu lantaran dia harus menolong gurunya, dia ingin membantu gurunya untuk memulihkan ilmunya yang dicapainya dulu, diluar kesadarannya bahwa perbuatannya itu justru telah menimbulkan gelombang pertikaian yang berkepanjangan di Bulim!" Thian-hi menunduk prihatin, akhirnya ia bertanya. "Dapatkah Wanpwe tahu nama gelaran Lo- suhu yang mulia?" Padri tua tertawa ewa, katanya. "Ka-yap sudah meninggal, dalam dunia ini mungkin tiada lagi seorang yang mengenal siapa aku. Tidak tahu lebih baik, aku harus segera pergi, kau harus jaga dirimu baik-baik!" Melihat sipadri tua tidak mau memperkenalkan diri, Thian-hi menjadi bungkam. Padri tua sudah memutar tubuh ke arah hutan, tiba-tiba ia memutar ke arah Thian-ni serta serunya. "Tiada seorangpun dikolong langit ini yang dapat mengatasi tipu daya kelicikan Mo-bin Suseng, kau harus lebih hati-hati." Habis berkata tubuhnya melayang pergi. Thian-hi terlongong ke depan, entahlah bagaimana perasaan hatinya sekarang. Hanya terasa olehnya bahwa segala sesuatu yang diketahuinya sekarang adalah diluar dugaan dan perhitungannya. Hwesio jenaka ternyata ada tiga orang, sedang padri tua ini bukan Go-cu pula, entah siapakah dia, pastilah tingkat kedudukannya sangat tinggi tidak di bawah tingkatan Ka-yap Cuncia. Pikir punya pikir akhirnya ia menghela napas panjang, pelan-pelan kakinya melangkah ke belakang gunung dalam hati ia membatin. "Sementara kukesampingkan dulu soal ini, yang penting sekarang aku harus menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan!" Begitu ia tiba di belakang gunung, mendadak ia berdiri melongo, seseorang yang bentuk dan raut mukanya persis Hwesio jenaka tengah bertengger di puncak sebuah batu besar diketinggian sana, orang itu tersenyum lebar memandang dirinya. Sudah tentu Hun Thian-hi terperanjat, tadi si-hwesio tua yang buta itu memberitahu, padanya bahwa Mo-bin Suseng dan Hwesio jenaka adalah saudara kembar yang sangat mirip rupa satu sama lain. Terpikir olehnya bahwa Siau-bin-mo-in tentu masih berada dibarat laut, sedang Hwesio jenaka jauh berada di Siongsan, jadi Hwesio cebol gemuk dihadapannya ini terang adalah Mo-bin Suseng adanya, mengawasi musuh besar dihadapannya ini seketika menggelora darah dalam ronggo dadanya. Sebaliknya Hwesio cebol gemuk itu masih berseri-seri tawa menghampiri ke arah Hun Thian-hi, ujar-nya. "Hun-sicu, kau tidak menyangka aku bisa selekas ini muncul pula disini bukan!" Dengan cermat kedua pasang mata Hun Thian-hi menatap Hwesio cebol di depannya ini, orang ini memang sangat mirip sekali dengan Hwesio jenaka, mendadak teringat olehnya, walaupun Siau-bin-mo-in berada dibarat laut, tapi dia masih ada kemungkinan bisa muncul juga di tempat ini. Bukankah dirinya sendiri baru saja berpisah dengan Hwesio jenaka di Siong-san toh kenyataan sekarang aku sudan berada disini. Maka bukan mustahil bahwa Hwesio jenaka bisa juga muncul disini? Dalam pada itu Hwesio cebol itu setindak demi setindak menghampiri ke arah Thian-hi. Sesaat itu Thian-hi menjadi bingung tak dapat ia membedakan siapakah sebenar-benarnya orang tambun yang berada di depannya ini, hatinya lebih condong bahwa pastilah orang ini adalah samaran. dari Mo-bin Suseng, karena katanya ia berada di sekitar Jian-hud-tong. Orang tambun itu mendekat lagi dua langkah, hati Thian-hi masih dirundung kegoncangan yang belum menentu. Jika benar-benar adalah Mo-bin Suseng, betapa pun tidak boleh membiarkan orang mendekati diriku, sebaliknya bila benar-benar adalah Hwesio jenaka atau Siau- bin-mo-in yang bergelar Ngo-sing lalu bagaimana? Pikir punya pikir tanpa merasa jidatnya basah oleh keringat. Sulit ia menarik suatu kesimpulan. Akhitnya ia kertak gigi, pikirnya. "Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti, bila dia, berani mendekati lebih jauh, akan kupancing siapakah sebenar-benarnya kau adanya!" Begitu diam-diam Thian-hi sudah bertekad dalam hati, sementara dengan tajam ia awasi orang tanpa bergerak. Mendadak orang tambun itu menghentikan langkahnya agaknya ia heran akan sikap kaku Hun Thian-hi yang ganji ini, tanyanya. "Hun-sicu kenapakah kau? Apakah nona Su telah menghilang?" Hun Thian-hi melengak, pikirnya; apakah benar-benar Hwesio jenaka adanya? Kalau bukan kenapa ia bisa tahu bahwa Su Giok-lan ada bersama diriku? Karena rekaannya ini mulutnya sudah bergerak hendak bicara, tapi ia menarik kesimpulan lain pula, bukan mustahil Mo bin Suseng tadi sudah melihat pula bahwa aku berada bersama Su Giok-lan, maka tidak perlu diherankan jika dia mengajukan pertanyaannya ini. Tergerak hatinya, jangan harap kau dapat mengelabui aku, baik biarlah kucoba isi hatinya. segera ia bertanya. "Siau-suhu! Begitu cepat kau dapat menyusul kemari dari Thay-san yang begitu jauh!" Setelah mengajukan pertanyaan ini hatinya berpikir; coba kulihat cara bagaimana ia menjawab pertanyaanku ini, dari jawabannya akan kuketahui siapa kau sebenar-benarnya! Orang itu agaknya melengak, sahutnya. "Hun-sicu, apa yang kau tanyakan?" Hun Thian-hi menyedot napas. pikirnya. "Sebenar-benarnya Hwesio jenaka atau Mo-bin Susengkah orang ini?" Terpaksa ia bertanya pula. "Kenapa Siau-suhu menyusul kemari pula dari Thay-san?" Dengan lekat ia awasi perubahan air muka orang. pikirnya; betapapun licik kau akan kukenali siapa kau sebenar-benarnya. Ingin Hun Thian-hi coba mencari tahu siapakah orang dihadapannya ini, Hwesio jenaka asli atau Mo-bin Suseng? Maka ia ajukan pertanyaannya pula. "Siau-suhu, bukankah kau berada di Thay-san? Kenapa menyusul kemari pula?" Sejenak orang itu tertegun. sahutnya. "Apa katamu?" Berkilat sorot mata Hun Thian-hi, ia ulangi pertanyaannya. Orang itu tertawa, sahutnya. "Kudengar katanya Mo-bin Suseng hendak kemari, maka cepat- cepat aku susul kemari!" Mendengar jawaban orang Thian-hi membatin pula. "Pintar kau main pura-pura, meski Hwesio jenaka! menanam budi sedalam lautan padaku, terpaksa kebaikannya itu kubalas kelak kemudian hari. Kalau kau ingin lolos dari tanganku, mungkin kau sedang mimpi" Ujung mulutnya mengulum senyum dingin, pelan-pelan ia maju menghampiri ke depan Mo-bin Suseng, mulutnya pun berkata. "Sungguh cepat langkah Siausiuhu!" Agaknya Mo-bin Suseng dirundung persoalan lain, ia berpaling terlongong ke arah hutan lebat di belakang sana, mulutnya pun bersuara. "Urusan ini cukup serius, sudah tentu harus kususul secepatnya?" SetetLah berada di depan Mo-bin Suseng, tangan kanan Hun Thian-hi meraba seruling dipinggangnya, katanya dingin. "Siau-suhu! Apakah kau langsung menyusul kemari dari Thay- san?" Mo-bin Suseng tertawa, katanya. "Hun sicu! Ada sebuah hal perlu kuberitabukan kepada kau!" Menghadapi Mo-bin Suseng dendam kesumat bertahun2 yang mengeram dalam rongga dada Hun Thian-hi seketika bergolak seperti api membara. tapi bagaimana juga ia masih rada gentar menghadapi Mo-bin Suseng musuh besar yang belum pernah dilihatnya ini. Betapa licik dan jahat tipu daya Mo-bin Suseng ia tahu dengan jelas, sekarang ia tidak boleh memberi kesempatan pula pada orang untuk melaksanakan muslihatnya. Dia sudah tidak kuat menahan sabar lagi, kalau ia tahu apa akibatnya bagi diri sendiri bila ia terlambat turun tangan. Dia belum tahu bagaimana kepandaian silat Mo-bin Suseng, bila sekali sergap tidak berhasil pasti sulitlah dibayangkan bagaimana nanti kesudahannya. Pikiran ini secepat kilat berkelebat dalam benaknya, serta merta ia menjengek dingin dan tertawa terkial-kial. serunya. "Mo-bin Suseng, kembalikanlah jiwa orang-orang yang menjadi korban keganasanmu dulu!" seiring dengan bentakannya seruling ditangannya sudah teracung tinggi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyerang Mo-bin Suseng. Sekilas tampak sorot mata Mo-bin Suseng mengunjuk rasa takut dan heran yang aneh, mulutnya sudah bergerak hendak bicara, tapi rangsakan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu sudah melandai tiba, sekuat tenaga ia jejakkan kakinya melompat mundur jumpalitan, berbareng kedua telapak tangannya berputar menepuk ke atas menyongsong ke arah gelombang tekanan serangan Hun Thian-hi. Namun betapa hebat dan dahsyat kekuatan serangan Wi-thian-cit-ciat-sek ini, menghadapi musuh besar pula sudah tentu Hun Thian-hi menyerang dengan sekuat tenaga. Bagaimana cepat dan gesit Mo-bin Suseng berusaha berkelit atau menghindar diri, tak urung ia terpental juga oleh terjangan tenaga dahsyat bagai gugur gunung yang menerpa datang, terdengar mulutnya. menguak seperti babi disembelih kontan badannya terguling2 menyemburkan darah, empat jalan darah mematikan di tubuhnya kena tertutuk buntu, seumpama dewa juga tidak akan mampu hidup kembali. Hun Thian-hi menarik kembali serangan selanjutnya yang sudah disiapkan, dengan berdiri terlongo ia pandang tubuh Mo-bin Suseng yang menggeletak tidak bergerak. Sekarang dendam sudah terlampias, ia sudah menuntut balas sakit hati keluarganya. Tapi benar-benarkah ia sudah menuntut balas? Hati kecilnya tidak merasakan kepuasan sesuai dengan tuntutan nuraninya. Sekarang terbayang olehnya sorot mata dan air muka Mo-bin Suseng sesaat sebelum serangannya mengenai badan orang, terketuk dalam relung hatinya suatu firasat jelek yang menghantui sanubarinya. Mendadak tampak olehnya badan Bo-bin Suseng bergerak-gerak, rasa ketakutan menggedor hati Hun Thian-hi, serta merta kakinya menyurut mundur. Dengan pandangan tidak mengerti ia pandang badan Mo-bin Suseng yang berkelejetan itu. Ternyata Mo-bin Suseng belum lagi mati, sungguh ia tidaK berani membayangkan, setelah kena tertutuk empat jalan darah kematian di tubuhnya orang ternyata masih mampu bertahan hidup sekian saat. Dengan kencang Thian-hi genggam serulingnya, meski ia tahu seumpama Mo-bin Suseng tidak segera mampus, terang jiwanya juga tidak mungkin diselamatkan lagi. Bagi manusla yang tertutuk buntu jalan darah kematiannya adalah tidak mungkin berkepanjangan umurnya, apalagi kena diterjang begitu hebat oleh kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek yang begitu ampuh, terang urat nadi dan sendi tulangnya sudah putus dan hancur, harapan hidup sudah tiada lagi. Mo-bin Suseng menggeliat tubuh dan terbalik celentang, dengan susah payah ia berusaha merangkak bangun. Menyaksikan keadaan yang menyedihkan ini telapak tangan Hun Thian-hi berkeringat dingin, ia tak tahu kekuatan darimana yang dapat melandasi kekerasan hati Mo-bin Suseng sehingga ia mampu bertahan hidup, suatu hal yang mustahil dan tak mungkin terjadi, tapi kenyataan disaksikan di depan matanya. Mo-bin Suseng meronta bangkit dua kali, dua2nya gagal dan akhirnya ia rebah kelemasan, dengan putus asa ia menghela napas panjang, terdengar suaranya lirih dan kalem. "Hun-sicu! Aku bukan Mo-bin Suseng. Kemarilah kau, ada beberapa patah yang perlu kusampaikan kepadamu!" Seakan-akan kepala Thian-hi dipukul godam mendengar ucapan orang, terasa olehnya ketulusan ucapan seseorang yang menjelang ajal adalah jujur, seketika pucat pasi selebar mukanya, keringat segede kacang mengalir dari jidatnya, dengan tertegun mulutnya bicara. "Apa? Kau bukan Mo-bin Suseng? Benar-benarkah itu? Lalu Siapa kau sebenar-benarnya?" Orang itu menghela napas tak bersuara, sesaat setelah menghimpun tenaga baru bersuara lagi. "Kemarilah kau!" Tiba-tiba Hun Thian-hi seperti tersadar siapa sebetulnya orang di hadapannya, serunya terlongong. "Jadi kau adalah Ngo-sing Suhu?" Orang itu berdiam diri! Hati Hun Thian-hi seperti menciut, rasa ketakutan menjalar seluruh sanubarinya bergegas ia memburu maju serta berjongkok disamping orang terus memampah badannya. Pelan-pelan orang itu membuka mata, katanya dengan suara tak bertenaga. "Hun-sicu, aku tidak akan tertolong lagi, tapi sebelum ajal ada sebuah permohonanku terhadap kau, kau harus memberi persetujuanmu." Hwesio cebol yang tambun ini ternyata benar-benar adalah Ngo-sing adanya, sungguh pedih dan seperti ditusuk sembilu perasaan hati Hun Thian-hi, air mata meleleh deras membasahi pipinya, sungguh ia menyesal akan perbuatannya yang gegabah dan ceroboh, sedikitpun tidak terpikir olehnya bahwa bukan mustahil orang yang dihadapi ini adalah Ngo-sing Suhu alias Siau- bin-mo-in. Ngo-sing tertawa halus, katanya lirih. "Hun-sicu tidak perlu bersedih, dosa2ku dulu terlalu keliwat takaran, memang aku sudah ditakdirkan begini, Hun-sicu tidak perlu menyalahkan diri dan menyiksa dirimu karena nasib yang menimpa diriku ini, ini sudah suratan takdir!" "Ngo-sing Suhu!" Ujar Hun Thian-hi mengembeng air mata. "sungguh aku sangat menyesal akan perbuatanku yang bodoh ini!" Ngo-sing pejamkan mata sesaat lamanya, baru kuasa bicara lagi. "Hun-sicu! Selama hidupku ini ada sebuah cita-citaku yang belum terlaksana kukerjakan, aku ingin mohon supaya Hun-sicu suka mewakili aku mengabulkan cita-citaku ini." "Ngo-sing Suhu silakan katakan saja, selama jiwa masih dikandung badan Hun Thian-hi pasti akan melaksanakan pesanmu sekuat tenaga!" Ngo-sing menghela napas lega, katanya tertawa. "Semula aku tidak paham kenapa kau bisa panggil aku Mo-bin Suseng, sampai detik terakhir ini baru aku sadar, tentu kau tadi sudah ketemu dengan guruku bukan?" Hun Thian-hi manggut sambil sesenggukkan, sahutnya. "Benar-benar, baru saja aku jumpa dengan beliau. Menurut katanya Mo-bin Suseng ada memperlihatkan jejaknya di sekitar Jian-hud- tong, dan kenyataan kaulah yang muncul, maka kusangka kaulah Mo-bin Suseng adanya!" "Itulah yang dinamakan takdir," Demikian kata Ngo-sing perlahan. "Kudengar Mo-bin suseng akan tiba disini, dia adalah engkohku tertua maka hendak kutolong jiwanya. sekali2 dia tidak boleh bertemu muka dengan kau, siapa nyana justru kau telah tahu beluk-beluk persoalan ini." sampai disini napasnya memburu dan berhenti bicara, sesaat kemudian baru melanjutkan lagi. "Hwesio jenaka ada beritahu padaku dia berada di Siong-san, sebaliknya pertanyaanmu bilang aku menyusul datang dari Thay-san Kusangka entah karena urusan apa Hwesio jenaka telah pergi ke Thay-san pula." Sungguh Thian-hi menyesal dan gegetun lagi akan perbuatan bodohnya yang tidak punya perhitungan ini, ingin untung menjadi buntung, orang baik-baik macam Ngo-sing yang beberapa kali pernah membantu dirinya disangkanya Mo-bin Suseng dan melukai berat begini rupa, terang tiada harapan hidup lagi, Ngo-sing tersenyum halus. katanya: .Hun-sicu tidak usah menyesal dan salahkan diri sendiri, nasiibku ini memang sudah suratan takdir aku tidak salahkan kau. Mungkin hanya guruku seorang yang mengetahui rahasia persaudaraanku ini di seluruh dunia." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Meski Ngo-sing berkata tanpa pamrih, tapi betapa pedih dan pilu perasaan Hun Thian-hi sungguh susah dilukiskan. Dia kuasa menerima segala cercah dan nista yang ditimpakan dirinya oleh seluruh golongan persilatan di Bulim, tapi dia tidak akan kuasa menerima kesalahan yang diperbuatnya hari ini. Tempo hari dirinya telah dibebani dosa tak berampun oleh seluruh kaum persilatan. tapi dia tolak mentah-mentah. Justru hari ini Ngo-sing mewakili dirinya menolak pula dosa2 ini pula, meski perbuatan ini merupakan suatu kesalah pahaman yang tidak dimengerti, tapi ia tahu, bahwa segala akibat dari perbuatan kelalaian ini harus menjadi beban dan tanggung jawabnya. Sekian lama Ngo-sing pejamkan mata, tiba-tiba ia membuka suara pula. "Guruku itu adalah Suheng Ka-yap Cuncia, beliau bernama gelar Ah-lam Cuncia. Ka-yap Cuncia juga sudah anggap beliau sudah wafat. Beliau paling pantang seseorang mengetahui nama dan asal usulnya." Terbayang oleh Thian-hi akan Hwesio tua yang picak itu, sungguh tidak nyana bahwa Hwesio tua itu ternyata adalah Suheng Ka-yap Cuncia Ngo-sing berkata pula. "Selama hidupku inj tidak sedikit aku menerima budi besar dari beliau orang tua. tapi kedua matanya yang picak sehingga seluruh kepandaian silatnya pun musnah menjadi cacat badan juga lantaran diriku!" Hun Thian-hi berdiam diri. terasa hatinya hambar dan kosong, dia berdiri menjublek tak tahu apa yang sedang terpikir dalam benaknya. "Ai, beliau terkena racun Ban-lian-ceng. meski kepandaian silatnya setinggi langit, tapi sekarang sudah punah dan tak berguna lagi. Untuk menyembuhkan sepasang mata dan memulihkan Lwekangnya kembali. cuma dapat memohon pada seseorang saja!" Demikian Ngo-sing melanjutkan ceritanya. Mendadak tersedar Thian-hi dari lamunannya, tanyanya. "Maksud Ngo-sing Suhu supaya aku pergi mencari orang itu bukan? Ngo-sing harus mengempos semangat dan mengatur napas sebentar baru bisa melanjutkan bicara. "Orang ini adalah Suheng Thaysi Lojin yang kenamaan di Bulim dulu bemama Jing-san- khek. Dulu aku pernah ketemu beliau, tapi selama hidup ini dia membisu diri tak mau bicara sekecap pun Orang ini merupakan seorang cerdik pandai, tiada persoalan yang tidak dapat dibereskan oleh beliau. Akhirnya dapat kuselidiki alasan kenapa dia membisu diri, ternyata karena dia kehilangan semacam barang, dan barang itu adalah milik istrinya yang tercinta. Bila kau dapat menemukan barang itu dan menghadap pada beliau, pasti hasilnya diluar dugaan." Sampai disini napasnya menburu lagi dan terbatuk2 hebat, akhirnya jatuh kelemasan. Cepat-cepat Thian-hi memajangnya bangun, tanyanya cepat. Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Mustika Gaib Karya Buyung Hok