Badik Buntung 25
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 25
Badik Buntung Karya dari Gkh "Barang apakah itu?" Dengan lemah Ngo-sing membuka mata, suaranya tergagap. "Kata mereka.itulah .seekor.seekor kuda.kuda hijau.sampai disini melayanglah jiwanya. Dengan mengembeng air mata pelan-pelan Thian-hi letakkan badan orang terus berdiri, otaknya seperti butek dan tidak punya pegangan lagi, mulutnya menggumam. "Kuda hijau? Kuda yang berwarna hijau?" -Mana mungkin ada kuda warna hijau di dunia ini? Dan lagi Ngo-sing sudah meninggal, dia meninggal begitu saja. Betapa aku takkan malu berhadapan dengan para sahabat Kangouw? Tengah ia terlongong, tiba-tiba dilihatnya Hwesio tua picak yang bernama Ah-lam Cuncia seperti penuturan Ngo-sing berjalan keluar dari hutan. Dengan mendelong Hun Thian-hi pandang Ah-lam Cuncia, hatinya menjadi was-was dan takut, hampir saja ia melarikan diri, Ah-lam Cuncia pernah menanam budi pada dirinya, demikian juga Ngo-sing tidak kecil pula bantuannya terhadap dirinya, Tapi kenyataan Ngo-sing sekarang sudah menjadi korban kelalaiannya. Dengan, perasaan hampa segera ia melangkah kehadapan Ah-lam Cuncia, terus bertekuk lutut dan menangis gerung-gerung dihadapan kaki orang. Ah-lam Cuncia mengelus-elus kepalanya, rada lama kemudian baru ia bersuara. "Dalam hati Siau-sicu sekarang sedang berpikir apa, apakah Siau-sicu sendiri tahu?" Hun Thian-hi geleng-geleng kepala sahutnya sambil sesenggukan. "Wanpwe tidak tahu, harap Taysu suka memberi petunjuk!" Ah-lam Cucia berkata pelan-pelan. "Kalau Siau-sicu sendiri tidak tahu, lalu siapa bakal tahu?" Tergetar dada Thian-hi walau Ah-lam Cuncia mengucapkan kata-katanya ini sangat lirih dan enteng, namun setiap katanya seperti meresap dan memasuki sanubarinya. Sekonyong-konyong sadarlah ia dari pulasnya, bayangan masa lampau dari segala sepak terjangnya yang penuh noda2 berdarah laksana air bah yang menerjang ke dalam relung hatinya, sadarlah ia bahwa dosa2nya membunuh terlalu berat, akhirnya ia berkata perlahan. "Untuk selanjutnya Tecu pasti tidak akan membunuh sembarangan orang!" Lalu perlahan-lahan ia mendongak melihat wajah Ah-lam Cuncia, seketika ia melenggong kaget, tampak kedua biji mata Ah-lam Cuncia terbuka melek, dengan senyum welas asih ia pandang dirinya, biji matanya memancarkan sorot tajam yang menembus kerelung hati orang. Hun Thian-hi masih berlutut dengan mendelong ia pandang muka Ah-lam Cuncia. Ah-lam cuncia tampak tersenyum, ujarnya. "Hawa membunuh Siau-sicu sudah kabur, namun nafsu asmara masih bersemi dalam hati, selanjutnya kau masih perlu berhati-hati dalam segala tindak tanduk. Loceng segera minta diri bila kelak masih jodoh, pasti akan jumpa pula!" Habis berkata dimana lengan jubahnya mengebut jenazah Ngo-sing tahu-tahu sudah berada dikempitannya, sekali berkelebat dilain saat beliau sudah melesat menghilang tanpa bekas. Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, hampir ia tidak percaya pada penglihatan matanya sendiri, Ah-lam Cuncia sudah sembuh kembali, kedua matanya sudah melek dan dapat melihat, betapa tinggi Kepandaiannya, sungguh sukar diukur dan sangat menakjubkan. Apa yang sekarang disaksikan sungguh berbeda terlampau jauh dari penuturan Ngo-sing tadi. Entah berapa lama Hun Thian-hi terlongong tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba ia tersentak sadar akan tugas apa yang harus segera dilaksanaKan sekarang, cepat ia berlari menuju kejalan rahasia yang menembus kegua seribu Buddha. Baru saja ia berada di dalam kegelapan lorong gua, mendadak terasa dua gelombang angin deras menerjang tiba dari kanan kiri, betapa kuat terpaan jalur kedua angin pukulan ini, benar- benar merupakan rangsakan dari tokoh kelas wahid dalam kalangan persilatan umumnya. Sedikit terkejut lantas Hun Thian-hi siaga dengan seluruh kemampuannya, ia insaf bahwa jalan rahasia ini sudah konangan orang lain, malah musuh kedatangan bala bantuan lagi, atau mungkin Tok-sim-sin-mo sendiri sudah kembali pulang dan berada si Jian-hud-tong pula sekarang. Tanpa ada tempo untuk banyak pikir, sebat sekali ia berkelit mundur seraya mengembangkan kedua tangannya kekanan kiri untuk menyampok serangan musuh, berbareng kakinya menjejak tanah, kontan tubuhnya menerjang maju ke depan, lolos dari gencetan dua arus pukulan dahsyat. Begitu menerobos lewat dari gencetan dua arus pukulan angin musuh, gesit sekali ia berdiri membalik dan memasang kuda-kuda siap waspada, dilihatnya dari tempat gelap dari dua samping muncul Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tahu dia sekarang bahwa Tok-sim-sin-mo pasti benar-benar sudah kembali, tanpa merasa berdegup keras jantungnya. Melihat Hun Thian-hi mampu meloloskan diri dari serangan gabungan yang begitu dahsyat dilancarkan secara membokong lagi, sungguh Biau biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho menjadi kesengsem, tanpa banyak bicara mereka bergerak pula dari jurusan masing-masing dengan serangan telak ke arah Hun Thian-hi Tiba-tiba tergerak hati Hun Thian-hi, ia menduga bahwa kedua musuhnya ini pasti belum sempat memberitahu akan jalan rahasia yang ditemukan ini pada kawan2nya yang lain, maka ia berpikir harus bertindak secepatnya, sebaliknya kedua lawannyapun ingin dapat membekuk Hun Thian-hi secara diam-diam pula tanpa mendapat bantuan orang lain yang berarti menurunkan derajat dan mengurangi jasa2 mereka pada pemimpinnya. Begitulah kedua belah pihak sama bertekad untuk merobohkan lawannya. maka masing-masing melancarkan ilmu pukulan dan tipu-tipu yang paling diandalkan. Tiga gelombang pukulan dahsyat seketika berkutet dan saling bentur dengan kekerasan yang dahsyat sehingga menimbulkan suara ledakan yang gemuruh. Badan Hun Thian-hi tergetar sempoyongan tersurut mundur ke belakang. Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho serempak menghardik Keras, mereka mengejar datang pula serta menambahi pula dengan tamparan dan sodokan yang mematikan, sementara kelima jari Bing-tiong-mo-tho terjulur panjang mencakar kemuka Hun Thian-hi. Demikian juga Biau-biau-cu merubah sodokan sikutnya dengan sebuah tutukan jari yang mengarah jalan darah Yu-kin-hiat. Besar hasrat mereka dalam serangan serempak yang dahsyat ini dapat membinasakan Hun Thlan hi seketika itu juga. Tiba-tiba Hun Thian-hi menjengkangkan atas tubuhnya ke belakang, berbareng kedua kakinya terangkat ke atas bergantian menendang ketenggorokan kedua musuhnya yang menyerang maju dengan nafsu yang berkobar itu. Keruan kedua musuhnya kaget bukan kepalang, sungguh mereka tidak nyana bahwa Hun Thian-hi dapat bergerak begitu lincah dan pintar, dalam keadaan terdesak berbalik balas menyerang dengan serangan telak yang sekaligus telah membebaskan diri dari renggutan maut serangan musuh. Lebih diluar dugaan pula bagi kedua musuhnya bahwa gerak serangan Hun Thian-hi ini melulu hanyalah serangan pancingan belaka, begitu kedua kakinya terangkat dan menendang, mendadak tubuhnya melejit mumbul ke atas berbareng berputar satu lingkaran, dimana kedua tangannya menyamber kontan kedua lawannya kena terpukul mundur sempoyongan. Keruan ciut nyali Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho bahwa dengan dua lawan satu ternyata Hun Thian-hi masih mampu mendesak kedua lawannya dan berada di atas angin, bila pihak sendiri tidak mengundang bala bantuan pasti sulit dapat mengatasi keadaan yang terdesak ini. Mendapat angin Hun Thian-hi pun melancarkan serangan yang lebih dahsyat, begitu lincah gerak geriknya terus mendesak maju, sekonyong-konyong kedua telapak tangannya terkembang terus menepuk ke atas batok kepala kedua musuhnya. Melihat Hun Thian-hi melancarkan serangan denganb kekerasan tanpa menjaga lobang kelemahan tubuhnya Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho mendengus gusar, serempak mereka memiringkan tubuh mkenyongsongkan telapak tangan masing-masing menyambut pukulan Hun Thian-hi, cara tangkisan mereka ini cukup licik bukan saja dapat memunahkan sebagian tenaga pukulan Hun Thian-hi berbareng mereka susulkan pula pukulan telapak tangan yang lain dengan tenaga yang lebih dahsyat. Tapi Hun Thian-hi punya perhitungannya sendiri, mana begitu gampang ia bisa dikelabuhi oleh kedua musuhnya. Ia insyaf bila bertempur secara kekerasan jelas dirinya bukan tandingan Biau- biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tapi bila kedua musuhnya ini tidak dapat bekerja sama dan dirinya dapat bertindak menggempur kelemahan mereka masing-masing, meski satu lawan dua ia percaya masih mampu mengatasi, malah ia percaya dapat menang mengandal kecerdikan otaknya. Begitulah seiring dengan jalan pikirannya ini, tampak kedua musuhnya sudah melancarkan pula serangan yang bertujuan sama hendak menggempur dadanya, seketika otaknya yang cerdik dapat meraba cara bagaimana ia harus bertindak, sebat sekali kedua telapak tangannya terkembang berputar di tengah jalan ia robah pukulan telapak tangan menjadi tutukan jari yang mengarah jalan darah Sim-hu-hiat di depan dada kedua lawannya. Sim-hu-hiat adalah salah satu jalan darah mematikan yang berjumlah tiga puluh enam di seluruh tubuh manusia, begitu kena tertutuk jiwa segera melayang. Angin tutukan jari Hun Thian- hi laksana ujung pedang tajamnya, menembus lewat dari arus pukulan mereka sendiri terus menerjang kejalan darah Sim-hu-hiat. Serasa arwah terbang keluar dari badan kasar Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho, mereka insyaf bila dengan gabungan mereka berdua main adu kekerasan sama Hun Thian-hi belum tentu dapat menamatkan jiwa Hun Thian-hi, malah bukan mustahil pihak sendiri yang terkapar binasa di tanah, sedetik sebelum benturan yang menentukan terjadi sebat sekali mereka menarik diri terus menyurut mundur, sekali mundur terus mundur berulang-ulang. Siang-siang Hun Thian-hi sudah bersiap dan sudah memperhitungannya bahwa kedua musuhnya pasti akan mundur. maka segala persiapannya segera diberondong keluar dengan tubrukan maju serta gempuran yang dahsyat dilandasi Pan-yok-hian-kang. gelombang angin pukulan laksana angin topan dan prahara menerpa mereka berdua. Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak mundur terus tanpa mampu balas menyerang, tubuh mereka sungsang sumbel gentayangan, sementara Hun Thian-hi terus mendesak maju dengan gempuran yang susul menyusul, sehingga mereka berdua kena terdesak mundur keluar lorong sempit jalan rahasia itu. Tanpa memberi kesempatan pada kedua musuhnya untuk bertindak sesuatu yang memungkinkan, cepat-cepat Thian-hi angkat sebuah batu besar terus disumbatkan kemulut gua, dilain saat ia sudah berlari keluar dan menghilang dari belokan jalan rahasia yang lain. Begitu Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak keluar gua setelah dapat menenangkan diri baru tahu bahwa mulut gua sudah tersumbat oleh batu besar, sesaat mereka berdiri berpandangan, serempak mereka lancarkan dua pukulan telapak tangan. "Blang" Batu besar itu kena dibobol hancur berantakan. Tapi keadaan dalam gua sunyi senyap tak kelihatan bayangan orang. Mereka tidak tahu apakah Hun Thian-hi masih berada di dalam sana untuk menyergap mereka bila menerjang masuk ke dalam gua. Untuk sesaat lamanya mereka berdiri tertegun tak berani bergerak, sekian lama mereka menjadi serba susah dan kebingunan. Sesaat lamanya mereka berpandangan, dasar licik masing-masing tidak mau mendahului menerjang masuk supaya tidak menjadi korban lebih dahulu, tapi apakah selamanya mereka harus berdiri terlongong di tempat itu? Bila Hun Thian-hi masih berada disana itulah mending, bila dia sudah merat dan menerjang ke dalam gua sebelah dalam dan menimbulkan huru hara, bukankah celaka dan merupakan dosa bagi mereka yang kurang cermat menjalankan tugas? Karena terpikir akan akibat dari hukuman yang berat, akhirnya mereka nekad, perlahan-lahan mereka menggeremet maju bersama memasuki gua rahasia disebelah depan. Begitu sampai di dalam bayangan Hun Thian-hi sudah tidak kelihatan lagi, keruan mereka berseru kaget, bergegas mereka lari mengejar kesebelah dalam. Sementara itu, setelah Thian-hi keluar dari lorong rahasia, dia tidak berani lari menuju langsung ke tempat tahanan Coh Jian-jo, bila dirinya sampai terkurung lagi disana, mungkin sangat fatal bagi dirinya untuk membebaskan diri. Apalagi Tok-sim-sin-mo sudah kembali, bukan mustahil saat ini dia berada disana pula, lalu apa gunanya aku meluruk langsung kesana. Adalah lebih baik disaat Tok-sim-sin-mo tidak berada ditempatnya bila aku dapat mencari obat pemunah itu, dan tindakan selanjutnya baiklah bekerja melihat gelagat. Begitulah sambil menerawang tindakan selanjutnya kakinya berlari-lari kecil ke depan. Jalan- jalan lorong dalam Jian-hud-tong itu seperti jaringan laba-laba yang rumit sekali, sesaat Hun Thian-hi menjadi bingung dan mengerutkan alis, entah kemana ia harus mencari jurusan yang benar-benar!. Setelah menempuh perjalanan belak belok yang cukup jauh, mendadak dilihatnya Tok-sim-sin- mo sedang berjalan mendatangi dari arah sebelah sana. Berdetak jantung Hun Thian-hi, pikirannya. "mungkin Tok-sim-sin-mo hendak menuju ke tempat kurungan Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo." Dalam pada itu tampak kaki Tok-sim-sin-mo melangkah enteng lewat di bawah Hun Thian-hi terus beranjak ke depan. Secara kebetulan baru saja ia lewat di bawah Hun Thian-hi, mendadak ia menghentikan langkahnya, sejenak ia berdiri terlongong seperti sedang memikirkan sesuatu lalu bergegas melanjutkan kelorong sebelah samping. Diam-diam Hun Thian-hi merasa heran. entah mengapa setelah beberapa tindak ke depan Tok- sim-sin-mo memutar kesamping sana, apakah dia sudah mengetahui akan jejakku? Atau melupakan sesuatu? Demikian ia mereka-reka dalam hati. Karena ingin tahu secara diam-diam ia menguntit di belakang Tok-sim-sin-mo, ingin ia tahu kemana tujuan orang. Tampak Tok-sim-sin-mo terus maju ke arah depan tanpa menoleh lagi, tidak lama kemudian ia membelok kesebuah pengkolan, mendadak keadaan disini tampak menjadi terang benderang, kesanalah Tok-sim-sin-mo terus beranjak masuk. Hun Thian-hi menguntit terus, baru saja ia tiba di tempat terang itu, tampak Tok-sim-sin-mo membelok pula ke arah sebuah tikungan di sebelah sana, baru saja ia hendak menyusul kesana, sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh dibelakangnya. Sungguh kejut Thian-hi bukan main, ternyata jalan mundur dibelakangnya kini telah tertutup rapat oleh pintu besi, tahu dia bahwa ia masuk perangkap, cepat ia berlari ke depan mejusul ke arah dimana Tok-sim-sin-mo tadi menghilang. Keruan Thian-hi melengak keheranan. sungguh ia tidak habis mengerti cara bagaimana Tok- sim-sin-mo dapat mengetahui bahwa dirinya sedang menguntit dibelakangnya. Apa boleh buat dengan langkah lemas lunglai pelan-pelan ia melanjutkan ke depan. Bahwa Tok-sim-sin-mo sengaja memancing dan mengurung dirinya di tempat ini pasti dia mempunyai tujuan tertentu. Waktu Thian-hi angkat kepala mendongak ke atas dinding, dengan seksama ia memeriksa keadaan sekitarnya. Bahwa Tok-sim-sin-mo dapat menghilangkan jejaknya dalam waktu yang begitu singkat, pastilah tempat itu ada sebuah jalan rahasianya yang tersembunyi tapi dimana letaknya. Mendadak dilihatnya mutiara besar yang terporotkan di atas dinding itu terbayang bentuk badannya sendiri, baru sekarang ia sadar, meski tadi dirinya sembunyi di atas dinding yang tersembunyi tapi dari bayangan yang terkaca di atas mutiara itu pastilah Tok-sim-sin-mo sudah mengetahui jejaknya, bukan mustahil bahwa dia sudah mengetahui akan kehadiran dirinya. di dalam sarangnya ini. Teringat olehnya waktu Tok-sim-sin-mo mendadak menghentikan langkahnya tadi. persoalannya pasti tidak begitu gampang, tentu dia sedang menerawang cara bagaimana mencari akal untuk menghadapi atau menjebak dirinya. Bila Ling-lam-kiam-ciang terkurung disekitar sjni, bukan mustahil bahwa dalam lorong2 gua yang sempit itu tersembunyi berbagai alat rahasia. Adalah jamak bila Tok-sim-sin-mo tidak sudi mengeluarkan banyak tenaga dan pikiran, cukup dengan alat2 rahasia sudah berkelebihan untuk menghadapi dirinya. Keadaan gua dimana sekarang ia berada jauh lebih benderang dari keadaan gua yang lain. Sesaat Hun Thian-hi menjadi was-was dan curiga. Dari suara gemuruh turunnya pintu besi yang tebal itu dapatlah ia mengukur bahwa mengandal tenaganya tidaklah mungkin ia kuat mencebolnya keluar. Tok-sim-sin-mo sekarang sudah menghilang, kecuali dapat menemukan alat rahasia dan jalan keluarnya, kalau tidak dirinya harus terima nasib mati kelaparan atau bunuh diri saja. Dengan cermat Thian-hi meraba-raba dinding sekitarnya, diperiksanya setiap jengkal dinding batu yang dicurigai apakah disana letak alat rahasia yang bakal menolong dirinya keluar. Tapi kecuali mutiara yang cerlang cemerlang terporot di atas dinding itu. ia tidak menemukan sesuatu yang dapat menolong dirinya. Mendadak ia seperti menemukan sesuatu yang menimbulkan perhatiannya, di bawah mutiara itu, lapat-lapat seperti ada sebuah goresan anak panah yang menunjuk kesuatu arah tertentu, goresan itu begitu ringan sekali sehingga sukar dapat dipandang dengan mata biasa, tapi bagi sepasang biji mata Thian-hi yang jeli dengan bekal Lwekangnya yang tinggi. ia dapat melihat dengan jelas sekali, memang bila tidak diperhatikan orang tidak akan tahu adanya tanda rahasia ini. Berdetak jantung Thian-hi. dengan adanya petunjuk ini apa pula yang perlu kutakuti, mengiringi petunjukan tanda rahasia yang tergores di bawah mutiara2 itu setindak demi setindak ia maju ke depan. Beberapa lama kemudian mendadak ia mendapat firasat yang kurang baik, penerangan dalam gua tetap sama, tapi lambat laun tanah sekitarnya semakin lembab dan basah, empat dinding sekitarnya kelihatan basah dan meneteskan air. Wilajah Tun-hong terkenal dengan gurun pasir yang teramat luas. tanah disini tandus dan kering, letak Jian-hud-tong berada di dalam pegunungan tandus yang geesang pula, tapi kenapa dirinya seperti berada di dalam bawah tanah yang sangat rendah, pikir punya pikir lambat laun timbul rasa ketakutan yang semakin menghantui sanubarinya, pikirnya; Entah apakah yang berada disebelah dalam sana? Thian-hi merasakan keganjilan rasa dalam relung hatinya, timbul was-was dan kewaspadaannya, pelan-pelan ia beranjak maju terus ke depan. Tapi mendadak ia melihat sesuatu yang luar biasa ganjilnya muncul di depan sana, sudah tentu kejutnya bukan kepalang, tanpa terasa ia tersentak mundur selangkah. Dalam lobang gua sebelah dalam sana, ada seseorang sedang berjalan mondar-mandir, orang itu berpotongan sebagai Tojin dan sekilas pandang saja cukup jelas bahwa Tosu ini bukan lain adalah Giok-yap Cinjin itu Cianbunjin Bu-tong-pay yang pernah dikenalnya dan akhirnya terbunuh secara gelap. Jantung Thian-hi melonjak-lonjak sangat keras, apa yang dilihatnya sekarang sungguh sangat mengejutkan hati dan perasaannya, bahwa Giok-yap ternyata belum mati dan muncul di tempat ini, adalah Tok-sim-sin-mo pula yang sengaja memancing dirinya kemari. entahlah kemana maksud tujuannya! Thian-hi menahan gejolak hatinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, tiba-tiba terpikir olehnya, tadi aku hanya melihat dari bayangan samping orang itu, mungkin memang bentuk tubuh dan raut muka orang itu rada mirip dengan Giok-yap Cinjin, yang benar-benar dia adalah seorang yang lain. Tujuan Tok-sim-sin-mo memancingku kemari adalah supaya orang ini membunuh aku. Karena pikirannya ini ia melongokkan kepalanya pula ke dalam, pandangan sekali ini, hampir saja membuat semangat dan arwahnya seperti copot dari badan kasarnya. Ternyata Tosu itu sekarang tahu-tahu sudah berdiri dihadapannya tanpa mengeluarkan sedikitpun suara. Begitu ia melongok ke dalam hampir saja ia beradu muka dengan orang, sekarang lebih jelas dan boleh dipastikan, siapa lagi kalau Tosu ini bukan Giok-yap Cinjin adanya? Meski Hun Thian-hi membekal kepandaian silat setinggi langit, walaupun nyalinya sebesar gajah, menghadapi keadaan yang seram ini tanpa merasa ia tersurut mundur berulang-ulang, seluruh tubuhnya gemetar merinding, dengan pandangan penuh ketakutan ia pandang ke dalam lorong sana. Ooo)*(ooO Munculnya Ham Gwat secara mendadak sungguh merupakan suatu pukulan batin bagi Bu-bing Loni, sedikit terkejut konsentrasinya menjadi bujar, pedang yang sudah bergerak hendak menyerang menjadi batal di tengah jalan. Sesuai dengan tatapan matanya yang dingin Ham Gwat menyapu pandang para hadirin dalam gua itu, rona wajahnya masih kelihatan begitu beku dan kaku Sekonyong-konyong terketuk rasa ketakutan yang menyelubungi sanubari Bu-bing Loni, agaknya ia merasa terketuk dan gentar menghadapi sinar mata Ham Gwat yang kaku dingin dan cemerlang itu, apalagi secara langsung dihadapan Kiang Tiong-bing. Mendadak ia merasa terketuk pula bahwa wibawa dan keangkeran dirinya sudah diinjak2, Ham Gwat adalah asuhannya sejak kecil, sekarang berada di hadapannya berani begitu kurang ajar tidak tahu sopan santun dan tata krama, maka dengan rasa gusar yang berapi-api ia deliki Ham Gwat, mulutnya pun menggeram desisnya. "Ham Gwat! Di hadapanku berani kau berlaku kurang hormat ya!" Sekilas agaknya Ham Gwat terpengaruh akan wibawa dan kekerasan gurunya, pelan-pelan pandangannya tertunduk kebawah, namun dalam kejap lain ia sudah angkat kepala lagi memandang Bu-bing Loni dengan tidak bersuara dan tidak berkedip. Kedua biji mata Bu-bing pun menatap Ham Gwat lekat-lekat, kalau menurut adat kebiasaannya, sejak tadi ia sudah pukul mampus Ham Gwat, tapi betapa pun Ham Gwat adalah buah asuhannya sejak masih baji, seluruh harapan hidupnya ia tumplekkan kepada bimbingannya kepada Ham Gwat pula, sungguh ia tidak rela begitu saja melenyapkan Ham Gwat dari kehidupan ini, apalagi masih ada Poci pula, bila dirinya menyerang Ham Gwat bukan mustahil dia akan bantu mengeroyok dirinya. Bagaimana kepandaian silat Ham Gwat ia paling jelas, tingkat kepandaian silat Ham Gwat tidak terlalu jauh bedanya dengan kemampuannya terutama Ginkangnya malah sudah sebanding dengan dirinya. Bu-bing mendengus, jengeknya gusar. "Dua puluh tahun jerih payah mengasuh dan membesarkan kau sampai sekarang, dan apa yang kudapat sekarang adalah sikap kurang ajaranmu kepadaku ini?" Ham Gwat tidak gubris ucapannya, pelan-pelan sepasang biji matanya beralih memandang ke arah Kiang Tiong-bing, agaknya ia merasakan sesuatu yang aneh, terketuk perasaan sanubarinya bahwa orang tua laki-laki di hadapannya ini seolah-olah adalah familinya yang terdekat, terpancar dalam sorot matanya harapan akan buaian cinta kasih yang belum pernah dirasakan dan diresapi selama hidup ini. Dari samping Poci membuka suara. "Orang tua itu adalah ayah kandungmu!" Tergetar hati Ham Gwat, terasakan olehnya berita yang datang secara mendadak merupakan suatu pukulan yang sulit untuk diterima dengan nalarnya yang masih kebingungan, hampir ia tidak percaya akan pendengaran telinganya, sesaat ia terlongong dan menjublek di tempatnya. Jang paling terkejut justru adalah Bu-bing Loni, ia tahu bahwa rahasia ini sekali2 pantang diketahui oleh Ham Gwat, karena bila Ham Gwat mengetahui seluk beluk persoalan ini, bagaimana akibatnya siang-siang ia sudah dapat membayangkan. Demikian juga Poci telah mengetahui rahasia ini, bertambah pula rasa kejutnya, tapi ini memang akibat yang pasti terjadi, kalau toh Ham Gwat mendadak bisa muncul disini, mana mampu dirinya menutupi atau merahasiakan terus persoalan ini. Sekonyong-konyong berkobar nafsunya, biji matanya berubah buas dan beringas kenyataan mendesak dia harus cepat-cepat turun tangan sebelum Ham Gwat dapat memulihkan kesadaran pikirannya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bila terlambat lagi sesaat lamanya, mungkin kesempatan yang ada dan baik ini sulit dicapai lagi. Pedang di tangan kanannya terayun melengkung, sinar pedangnya berkelebat laksana biang lala menusuk dan membabat ketubuh Ham Gwat dalam dua sasaran atas dan tengah. Melihat Ham Gwat mendadak terlongong mematung di tempatnya, tiba-tiba terasa oleh Poci keadaan yang membahayakan jiwanya ini, Poci menjadi sadar bahwa ucapannya tadi sudah terlalu pagi di katakan sehingga terjadi akibat yang diluar dugaan ini. Begitu pedang Bu-bing Loni menyamber ke arah Ham Gwat segera ia berteriak memperingatkan; "Awas!" baru mulutnya berseru, sebuah pikiran berkelebat pula dalam benaknya, secara reflek tangan kanannyapun segera bekerja menarik kelima senar harpanya keras-keras, begitu kelima senar harpanya putus dan mengeluarkan gelombang suara yang nyaring melengking menembus langit menerjang ke depan, Sungguh dahsyat dan hebat benar-benar suara kelima senar harpa yang terputus itu. Bu-bing Loni tidak men-duga-duga. tubuhnya bergetat hebat. sedang pedang panjang ditangannya pun terlepas jatuh di atas tanah, sekilas pandangan matanya mendelik berapi-api penuh dendam kebencian ke arah Poci, sebat sekali tiba-tiba tubuhnya berkelebat melayang keluar gua dan menghilang Poci masih duduk bersimpuh di tanah, begitu bayangan Bu-bing lenyap kontan mulutnya terpentang menyemburkan darah segar, badannya pun terus roboh lemas. Lekas-lekas Ma Gwat-sian dan Ham Gwat memburu maju. dengan raut muka dibasahi air mata Ma Gwat-sian berteriak-teriak. "Suhu! Suhu! Bagaimana keadaanmu? Perlahan-lahan Poci membuka mata, ia tersenyum manis ke arah Ma Gwat-sian, ujarnya. "Nak, aku tidak apa-apa, kau tak usah kuatir!" Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat serta sambungnya. "Lekas kau tengok keadaan ayahmu!" Sungguh Ham Gwat merasa sesal dan terima kasih pula, tahu dia bahwa Bu-bing Loni pasti terluka dalam yang cukup parah karena serangan getaran suara kelima senar harpa yang putus tadi, kalau tidak masa ia melarikan diri. Tapi luka dalam yang diderita Poci rasanya jauh lebih berat pula, demi akulah sehingga orang terluka berat, tapi sikapnya masih begitu baik pula terhadap aku, demikian batin Ham Gwat dengan haru. Maka dengan penuh keharuan Ham Gwat berkata. "Terima kasih Cianpwe. kelak Wanpwe pasti akan membalas budi kebaikan ini!" Lalu tersipu-sipu ia berlari ke arah Kiang Tiong-bing dan membuka jalan darah yang tertutuk ditubuhnya. Mengawasi Ham Gwat tak tertahan lagi mengalir deras air mata Kiang Tiong-bing, tiba-tiba ia peluk Ham Gwat erat-erat, katanya sesunggukan. "Nak! Beberapa tahun ini sungguh kau banyak menderita." Mendadak Ham Gwat seperti merasai hatinya menjadi kosong. terasa bahwa kekesalan lubuk hatinya selama ini mendadak meledak dan semua membanjir keluar, baru pertama kali ini ia mengalirkan air mata, malah begitu deras dan tak terbendung lagi air mata kesedihan dan kegirangan, serta merta mulutnya berteriak seperti orang histeri. "Ayah! ayah." Ma Gwat-sian terketuk sanubarinya, perlahan-lahan ia menundukkan kepala, tanpa tertahan air matanya pun mengalir juga. Baru sekarang ia mendadak memahami, lambat laun dirinya semakin terpaut menjauh dari rasa kebahagiaan yang didambakan selama ini, berlawanan dengan keadaannya Ham Gwat ia sedang melangkah menuju ke arah bahagia yang sudah tiba diambang sanubarinya, ia sadar bahwa ia harus lekas-lekas kembali ke Thian-bi-kok. Bab 26 Dalam pada itu, Kiang Tiong-bing dan Ham Gwat masih berpelukan dan bertangisan entah berapa lama kemudian. Kiang Tiong-bing tertawa serta berkata. "Nak. sudah jangan bertangisan lagi. Coba kulihat kau!" Lalu ia cekal kedua pundak Ham Gwat dan dipanpangnya dihadapan mukanya dengan cermat ia amati wajah Ham Gwat yang aju rupawan itu, berselang lama baru terdengar pula suaranya tertawa girang. "Dua puluh tahun lamanya, kau sudah tumbuh sedemikian besar, sungguh mirip benar-benar dengan ibumu semasa muda. malah kecantikan ibumu rasanya masih kalah tiga bagian dibanding kau sekarang!" Pertama Kali mendapat pujian dan yang memuji justru ayahnya sendiri Ham Gwat menjadi kegirangan dan malu-malu kucing, lekas ia menunduk dan memukul lengan ayahnya dengan aleman. Kiang Tiong-bing terlongong memandangi muka Ham Gwat, akhirnya ia menghela napas, ujarnya. "Tapi. entah dimana sekarang dia berada!" Ucapannya penuh nada derita dan pilu. "Benar-benar ayah, dimanakah ibu sekarang berada?" Tanya Ham Gwat. Pelan-pelan Kiang Tiong-bing menggeleng kepala. sahutnya tertawa getir. "Ma Gwat-sian adalah seorang anak yang baik, aku sudah menerima dia sebagai putri angkatku. Gurunya tadi pun sudah menolong jiwamu kelak jangan kau membuatnya kecewa!" Ham Gwat mengiakan, dipandangnya Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian maju menghampiri katanya tersenyum. "Ham Gwat Cici, selamat akan pertemuan kalian ayah dan anak!" "Teriina kasih padamu Gwat-sian!" Sahut Ham Gwat terharu. Sekarang terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa sebenar-benarnyalah Ham Gwat jauh lebih sjmpatik dan gampang bergaul dari dugaannya semula. Memang lahirnya bersikap kaku dan berwibawa tidak boleh sembarangan diganggu usik, dia punya keagungan yang suci dan dapat melumpuhkan semangat orang, tapi bila sudah dapat berdekatan dengan akrab akan terasakan bahwasanya iapun mempunyai perasaan luhur yang wajar Tidak congkak atau sombong oleh perasaan sementara orang yang segan kepadanya. Kata Ma Gwat-sian. "Tadi ayahpun telah melindungi aku, kalau tidak mungkin sejak tadi aku sudah mampus oleh keganasan Bu-bing Loni!" Ham Gwat pandang muka Gwat-sian lalu menunduk berpikir, teringat olehnya akan penuturan Poci itu. sadar ia cara bagaimana ia harus bersikap dalam persoalan ini. Meski pun Ma Gwat-sian sangat pintar, tapi dalam hal buah pikiran dia masih belum cukup matang. Sesaat kemudian baru Ham Gwat membuka suara, katanya. "Hun Thian-hi sekarang sedang mencari kau, hati kecilnya sangatlah merindukan kau. soalnya karena kau terlalu baik terhadapnya. Kau harus tahu, bila seorang laki-laki merasa sangat berterima kasih dan jatuh cinta, ada kalanya ia tidak berani menyampaikan rasa cintanya itu secara berhadapan terhadap kekasihnya!" Ma Gwat-sian tertunduk dalam, ucapan Ham Gwat terlalu mendadak bagi relung hatinya untuk menerima dengan nalar dan pikirannya. malah iapun merasa rada kurang senang karena anggap Ham Gwat hanya membujuk dan ngapusi dirinya sebagai anak2 yang mendambakan kasih sayang dan cinta kasih. Namun setelah ia mendongak melihat sorot mata Ham Gwat tulus ikhlas, hatinya menjadi menyesal pula, menyesal akan perasaan curiganya terhadap kebaikan Ham Gwat. Terdengar Ham Gwat telah berkata pula. "Kau sudah lama bergaul bersama dia, seharusnya kau tahu, bahwa ia terlalu banyak menerima budi kebaikan orang lain, maka dia tidak mau lagi menerima budi pertolongan orang lain, inilah yang dinamakan harga diri dan gengsi. Adalah aku murid dari musuh besarnya!" Ma Gwat-sian tertawa, ujarnya. "Ham Gwat Cici, kumohon kau tak perlu membicarakan persoalan ini!" Ham Gwat manggut-manggut, segera ia menghampiri Poci, katanya. "Cianpwe terluka parah, aku bisa bantu kau berobat diri, marilah lancarkan jalan darah dulu!" ~tanpa menanti jawaban Poci kedua telapak tangannya segera menempel dipunggungnya, segera ia kerahkan tenaga dalamnya disalurkan melalui telapak tangannya menembus berbagai jalan darah ditubuh Poci yang buntu. Sebenar-benarnya Poci hendak menolak, tapi belum sempat membuka mulut orang sudah bekerja dengan cekatan, ia tahu bahwa tindakan Ham Gwat ini memang dapat membantu penyembuhan dirinya lebih cepat, tapi akan banyak menguras tenaga Ham Gwat, apalagi bila Bu- bing Loni datang kembali pada saat yang genting ini, mungkin tiada seorang pun yang bisa menyelamatkan diri dari keganasannya. Kira-kira gelombang hawa panas mengalir tiga putaran, seluruh jalan darah dan hawa murni Poci sudah lancar dan bekerja secara normal kembali. Tapi tak urung mereka berdua pun lemas tak bertenaga. Saat itu pula terdengar lambaian baju melayang masuk ke dalam kamar batu itu, tahu-tahu Bu-bing Loni telah muncul pula diambang pintu. Keruan semua yang hadir dalam kamar batu sama terkejut, sekilas Bu-bing melirik ke arah Poci dan Ham Gwat lalu jengeknya dingin. "Kalian heran kenapa aku balik kembali bukan?" ia tertawa terkekeh-kekeh lalu sambungnya. "Selamanya aku tidak pernah menyerah kalah, dan memang tidak pernah kalah, hari ini seumpama aku yang kalah, aku tidak akan begitu saja lantas mengundurkan diri", sampai disini mulutnya menggeram dan hidung mendengus, ejeknya pula. "APalagi aku belum lagi kalah, luka-luka yang kau derita jauh lebih berat dibanding luka-lukaku!" Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat, katanya pula. "Sejak kau lahir lantas kuasuh dan kurawat sehingga kau dewasa, kau anggap aku tidak menyelami watak dan perangaimu? Kau pasti akan memberi pertolongan dengan cara pengobatan khusus, sudah kuperhitungkan waktunya, meski aku datang terlambat setindak, tapi masih keburu waktu." Seringainya semakin beringas, mukanya masam dan biji matanya sudah berubah buas seperti binatang kelaparan. Ham Gwat pelan-pelan bangkit berdiri, katanya. "Tahukah kau siapa yang menolong Hun Thian- hi dari tanganmu? Itulah aku adanya!" Bu-bing Loni rada melengak heran, mulutnya menggeram gusar. Terdengar Ham Gwat melanjutkan kata-katanya. "Kau heran bukan? Kau kira kau hanya takut terhadap Ka-yap Cuncia atau Ah-lam Cuncia, jangan kau melupakan seorang yang lain, orang inilah yang merupakan tandinganmu setimpal, seharusnya kau sadar siapakah orang yang kumaksudkan ini. Dan yang lebih penting kau harus menyadari kenapa aku harus meninggalkan kau, kenyataan bahwa kau tidak mampu menemukan jejakku." Bu-bing Loni tertawa sinis, katanya. "Ham Gwat! Sejak kecil kau kubesarkan, sekarang kau mengkhianati aku, malah sekongkol dengan orang luar melawan aku. Bagaimana sepak terjangmu dahulu aku tidak peduli, yang jelas sekarang kau harus mampus ditanganku!" Dengan tenang dan bersikap tetap dingin Ham Gwat balas menjengek tanpa gentar. "Kau masih ingat Thay-si Lojin tidak?" Berubah air muka Bu-bing Loni, ia tahu bahwa Thay-si Lojin tidak gampang dilayani. Masih segar dalam ingatannya pada dua puluh tahun yang lalu Thay-si Lojin telah menolong seseorang dari cengkeraman tangannya, ia tidak akan melupakan peristiwa itu, itulah tragedi rahasia pribadinya yang disembunyikan kejadiannya, kalau toh Ham Gwat menyinggung soal itu, pasti ia sudah tahu seluk beluk peristiwa itu, sejak waktu itu selama dua puluhan tahun terakhir ini ia sedapat mungkin mengekang diri, tidak lagi mengumbar nafsu dan sifat jahatnya, hari ini betapapun harus menghindari bentrokan dengan orang tua itu. Dahulu Mo-bin Suseng bekerja sama dengan dirinya, hasil dari intrik mereka ia dapat mencapai keinginannya, dan semua itu adalah hasil tipu daya yang diatur oleh Mo-bin Suseng, sekejap saja dua puluh tahun telah berselang, segala akibat yang dihadapi sekarang adalah karena kesalahan pikiran belaka, adalah karena Mo-bin Suseng yang mensetir segala kejadian itu dari belakang. Berkilat-kilat sinar mata Bu-bing Loni, katanya. "Apa gunanya kau katakan itu semua, kau sangka aku takut? Bagaimanapun nanti kesudahannya kau harus mati lebih dulu dari aku! Camkanlah, dengan kedua tanganku inilah aku bimbing kau sampai besar, tapi dengan sepasang tanganku ini pula akan kurenggut jiwamu, memangnya kau anggap aku hendak melepas kau pergi begini saja?" Sikap Ham Gwat juga tidak kalah dinginnya, ujarnya. "Hun Thian-hi juga berada disekitar tempat ini, demikian juga Giok-lan, Hun Thian-hi sudah mengenal burung rajawaliku, bilamana mereka menyusul tiba janganlah saat itu kau menyesal. Wi-thian-cit-ciat-sek latihan Hun Thian-hi sudah jauh lebih maju lagi setelah mendapat petunjuk dari orang tua itu. Kau kan tahu bila Wi- thian-cit-ciat-sek sudah sempurna jauh lebih hebat dan unggul dari tiga rangkaian pedang kepandaianmu itu!" Bu-bing Loni menjemput pedangnya yang menggeletak di tanah tadi, pelan-pelan ia maju menghampiri ke arah Ham Gwat. Diam-diam Ham Gwat menarik napas panjang, tenaga dalamnya belum lagi pulih, ia tahu bahwa Bu-bing Loni tidak akan mau menyerah kalah begitu saja, pedang panjang ditangannya sementara itu sudah terbang menyamber tiba. yang diarah adalah tenggorokan Ham Gwat. Begitu Bu-bing Loni menggerakkan pedangnya lantas Ham Gwat dapat meraba jurus tipu apa yang dilancarkannya. Tapi tidak mudah untuk menangkis atau melawan, bila ia lancarkan serangan balasan atau menangkis tentu Bu-bing Loni sudah tahu juga jurus apa pula yang dilancarkan dirinya. Antara guru dan murid sama membekal kepandaian yang serupa, betapapun sang murid bukan menjadi tandingan sang guru. Beruntun ia menangkis dua kali, Bu-bing Loni mandah menjengek dingin, mulutnya, haha.hehe. mengejek, tapi sebetulnya iapun heran dan takjup akan kemajuan ilmu silat Ham Gwat yang diluar ukurannya, tapi kenyataan sekarang Ham Gwat membekal Lwekang yang tinggi diluar tahunya. Sementara itu Bu-bing Loni sudah melancarkan lima gelombang jurus pedangnya, jurus demi jurus semakin gencar dan ganas, baru saja Ham Gwat angkat pedangnya untuk menangkis tahu- tahu pedang Bu-bing sudah menyelonong tiba menutup jalannya mundur, begitulah berulang kali terjadi, sedang Ham Gwat sendiri tidak berani menggunakan kekerasan, terpaksa ia mandah terdesak mundur, begitu lima jurus kemudian Ham Gwat sudah terdesak mundur dan mundur terus mepet dinding. Poci menjadi kaget, cepat ia rebut harpa yang dipegang Ma Gwat-sian terus jari-jarinya dimainkan, dengan gelombang suara harpa ia berusaha menyerang Bu-bing Loni. Bu-bing menyeringai dingin, tiba-tiba pedangnya berputar balik terus disambitkan ke arah Poci, dimana selarik sinar pedang menyamber tiba kontan harpa dipangkuan Poci tertusuk pecah menjadi dua. Setelah menyambitkan pedangnya Bu-bing Loni menyeringai bengis, Poci sampai merinding melihat tampangnya yang sadis itu. Bahwa Bu-bing berani putar balik pastilah dia sudah bertekad bulat, meski dirinya pun sudah terluka parah betapapun ia tidak rela melepas beberapa orang yang merupakan makanan empuk ini, betapa hebat Lwekang yang dibekalnya itu sungguh sangat mengagumkan memang sulit dicari tandingan. Begitu Bu-bing Loni menyambitkan pedangnya, Ham Gwat menjadi berkesempatan balik menyerang, beruntun ia lancarkan serangan pedang yang hebat. Tapi Bu-bing Loni berani menyambitkan pedangnya pasti dia mempunyai perhitungan yang matang, setiap jurus setiap tipu permainan Ham Gwat adalah hasil ajarannya, dimana badannya berkelebat dan melejit sana melompat sini ia hindari setiap rangsakan Ham Gwat yang hebat, soalnya iapun sudah apal benar- benar jurus apa yang akan dilancarkan Ham Gwat selanjutnya. Meskipun ia sudah tumplek seluruh kepandaiannya kepada Ham Gwat, tapi sedikit banyak masih ada lobang kelengahan yang belum sempurna terlatih oleh Ham Gwat, dan kelemahan2 itu sampai saat itupun belum lagi disempurnakan, justru adanya kelemahan itu pula menjadi kebetulan pula bagi Bu-bing sekarang. Apalagi Ham Gwat sekarang mengkhianati dirinya, meski gencar rangsakan Ham Gwat seenaknya saja seperti berlenggang Bu-bing Loni dapat menghindarkan diri. Sekejap mata puluhan jurus sudah berlangsung. tiba-tiba Ham Gwat lancarkan pula sejurus ilmu pedang, mendadak badan Bu-bing mencelat mumbul ke atas, berbareng kaki kanannya mendadak menendang ke arah jidat Ham Gwat. Terpaksa Ham Gwat harus menolak badan atas ke belakang berbareng ujung pedangnya menusuk ke atas pula tak duga kaki kiri Bu-bing ternyata pun sudah menyusul dengan tendangan yang telak pula, Tring. Ham Gwat tak kuasa menyekal pedangnya lagi, kontan terbang ke tengah udara dan menancap di atas dinding batu. Bu-bing terloroh-loroh panjang, tubuhnya jumpalitan hinggap di tanah, dengan nanar ia pandang Ham Gwat. Tanpa gentar Ham Gwat juga mendelik pandang, ia insaf kekalahan hari ini menjadikan harapan untuk hidup semakin mengecil, bagaimana cara Bu-bing Loni menghadapi musuhnya ia tahu jelas. Apalagi kalau dirinya tertawan hidup2, untuk mencari kematian sendiripun tidak mungkin lagi, bagi dirinya sih tidak menjadi goal, bagaimana dengan keadaan ayahnya, Poci dan Ma Gwat-sian? Akhirnya ia berkeputusan dengan suatu akibat yang cukup mending. Terdengar Bu-bing menjengek dingin. "Tidak berguna, kau kan tahu bagaimana kesukaanku. Dulu waktu aku menempur Soat-san-su-gou bukankah kau juga hadir, dengan Gin-ho-sam-sek mereka berempat mengepung diriku, akhirnya kuberi kelonggaran bagi mereka untuk bunuh diri, kau kira persoalan itu begitu gampang dan begitu sederhana? Sebenar-benarnyalah bahwa aku sebelumnya sudah ada perjanjian dengan Mo-bing Suseng, dia minta supaya aku memberi cara kematian yang cukup nyaman bagi mereka, meskipun mereka berempat tidak tahu siapakah Mo- bin Suseng itu sebenar-benarnya, tapi adalah sebaliknya dia tahu siapa mereka berempat. Karena mereka berempat adalah sahabat kentalnya." Ham Gwat masih bungkam. Bu-bing melanjutkan. "Bagaimana juga diantara kau dan aku masih ada hubungan guru dan murid, akupun tidak akan berlaku keterlaluan terhadap kau, cukup dengan minyak mendidih akan aku goreng daging dan tulang-ulangmu sampai mati." Lagi-lagi ia terloroh-loroh panjang seperti sudah kesetanan, tapi tiba-tiba sebuah suara tawa dingin yang menggiriskan terdengar pula bergelombang dalam ruang batu itu, keruan Bu-bing Loni tersentak kaget bukan main, sebat sekali ia memutar tubuh dilihatnya di ambang pintu sana berdiri seorang nenek peot yang tua renta. Begitu melihat orang ini timbul setitik harapan dalam benak Ham Gwat, karena nenek tua ini bukan lain adalah Kiu-yu-mo-lo, segera ia menghela napas lega. Tapi ia masih bingung kenapa orang tua itu bersikap begitu baik terhadap dirinya, dalam hal ini pasti ada latar belakang yang cukup rumit. Bu-bing Loni membalik ke arah Kiu-yu-mo-lo, dengusnya dingin. "Siapa kau?" Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh katanya. "Jangan kau pura-pura alim, sebenar-benarnyaJah hatimu lebih jahat dari ular, jauh lebih jahat dari aku dulu, terhadap murid sendiri pun kau begitu jahat" Menjengkit alis Bu-bing Loni, ada orang berani bicara begitu takabur padanya, tapi kalau ia begitu besar nyalinya berani bicara besar tentu dia punya pegangan untuk datang kemari, maka selagi ia mendesak. "Siapa kau? Untuk apa kau kemari?" "Akulah Kiu-yu-mo-lo dari salah satu Si-gwa-sam-mo," Sahut Kiu-yu-mo-lo. "Konon kabarnya belakangan ini kalangan Kangouw muncul pula seorang tokoh macam tampangmu ini. tapi mengandal kau masih berani kau mengagulkan she dan nama busukmu ya!" Bu-bing tertawa dingin, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas mencabut pedang Ham Gwat yang menancap dilangit2, disaat tubuhnya meluncur turun pedang ditangannya diobat-abitkan langsung menerjang ke arah Kiu-yu-mo-lo, sinar pedangnya laksana bianglala. menungkrup ke atas kepala Kiu-yu-mo-lo. Bukan dia takut menghadapi Kiu-yu-mo-lo, tapi nama Kiu-yu-mo-lo sebagai salah setorang Si- gwa-sam-mo bukanlah diperoleh secara kebetulan belaka, maka dia harus bertindak lebih dulu dan lebih ijepat. Apalagi Ham Gwat masih ada kemampuan untuk berkelahi, kalau ia tidak bertindak secara kilat mengakhiri pertempuran disini, mungkin dia sendirilah yang bakal dikeroyok dan akibatnya pasti konyol bagi dirinya. Sebenar-benarnyalah hatinya masih dirundung keheranan, kenapa Kiu-yu-mo-lo bisa ikut campur dan menolong keadaan Ham Gwat yang terdesak ini, hakikatnya Ham Gwat tidak pernah saling berkenalan dengan Kiu-yu-mo-lo dan tidak punya sangkut paut apa-apa. Demikian juga dirinya tiada punya dendam permusuhan dengan Si-gwa-sam-mo, kenapa dia meluruk kemari mencari permusuhan. Demikian Bu-bing berpikir2 dalam hati. Setelah memasuki Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin pikiran sesat Kiu-yu-mo-lo akhirnya dapat digugah dan sadar dari penyelewengannya dan karena kembali kejalan lurus dengan pikiran yang sudah jernih itulah maka ia dapat keluar dari sana, setelah mendapat petunjuk serta petuah dari si orang tua itu lantas ia menyusul kemari. Dengan pedang berada ditangan Bu-bing Loni seperti harimau tumbuh sayap, adakah ilmu Hui- sim-kiam-hoat terkenal hebat sekali. maka ribuan sinar pedang Bu-bing bukan kepalang lihaynya dalam gebrak permulaan Kiu-yu-mo-lo rada memandang rendah musuh sehingga ia terdesak mundur terus. Terdengar Bu-bing Loni mendengus hina, hatinya membatin; Si-gwa-sam-imo kiranya juga cuma sebegini saja kemampuannya. Begitulah sinar pedangnya berputar, kontan ia lancarkan Lian-hoan-Ban-kiam, jurus ilmu pedang terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat yang terdahsyat dan terlihay, besar hasratnya dalam gebrak terakhir ini ia bikin mampus jiwa Kiu-yu-mo-lo, adalah gampang nanti untuk membereskan yang lain. Begitu sinar pedang Bu-bing menimbulkan gelombang sinar berlapis2 lekas-lekas Ham Gwat menjemput pedang Bu-bing Loni yang ditimpukan tadi. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo langsung ia merabu dari belakang ke arah Bu-bing. Disebelah depan sana Kiu-yu-mo-lo juga menarikan sepasang telapak tangannya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Bu-bing menjengek dingin, tanpa berpaling ia sudah tahu jurus dan tipu serangan apa yang akan dilancarkan Ham Gwat, adalah mudah sekali ia dapat memunahkan serangan bokongan ini. Tapi baru sekarang pula ia mendapatkan bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo ternyata tidak serendah seperti yang dikiranya tadi bila dalam waktu singkat ia tidak mampu mengalahkan kedua musuhnya ini, akibatnya pasti sangat fatal bagi dirinya karena dikepung dari muka dan belakang. Biji matanya berjelilatan, bagaimana juga ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sangat pendek ini untuk mengambil kemenangan, menurut perhitungannya meski Ham Gwat ikut menerjunkan diri dalam pertempuran. tapi mereka belum dapat bergabung dan bekerja sama dengan rapat, diantara lobang kelemahan yang sulit didapat ini bila aku tidak memanfaatkan dengan tepat, aku sendirilah yang bakal cidera. Sebagai seorang tokoh nomor satu dalam kalangan persilatan pandangan Bu-bing sudah tentu cukup luas, seiring dengan keputusan tekadnya, gerak badannya mendadak berhenti, tahu-tahu membalik tubuh tangkas sekali tumit kakinya melayang ke atas menendang batang pedang Ham Gwat. Tujuan Bu-bing adalah sementara mengendorkan dulu tekanan serangan Ham Gwat dari belakang dengan kesempatan ini ia tumplek seluruh kekuatan dirinya untuk merangsak dan merohohkan Kiu-yu-mo-lo. Tapi begitu kakinya melayang. Ham Gwat juga sudah tahu kemana tujuan serangan Bu-bing ini, maka sengaja ia buang pedangnya, tahu-tahu telapak tangannya yang menyelonong ke depan menepuk keleher Bu-bing Loni. Begitu tendangannya. luput lantas Bu-bing bercekat hatinya. seketika ia rasakan dua arus gelomhang pukulan dahsyat melandai tiba dari belakang dan depan. Terdengar mulutnya berpekik panjang dan nyaring, pedang panjangnya berputar disekitar tubuhnya, dengan seluruh sisa tenaganya iapun berondong keluar kekuatannya untuk menangkis. "Blang" Pukulan dan pedang saling beradu ditengah jalan. Ham Gwat dan Kiu-yu-mo-lo tersurut mundur dan berputar-putar, sebaliknya air muka Bu-bing kelihatan tambah pucat pias, ia terhujung dua langkah baru bisa berdiri tegak lagi, pedang panjang ditangan kanannya tergetar mengeluarkan su-ra mendenging. Setelah berdiri tegak dan memasang kuda-kuda Kiu-yu-mo-lo dan Ham Gwat saling pandang sebentar, serempak mereka berjongkok dua telapak tangan masing-masing didorong ke depan memukul ke arah Bu-bing dari dua jurusan yang berlawanan. Tiba-tiba badan Bu-bing Loni melejit mumbul ditengah udara badannya berputar satu lingkaran, gerak geriknya cukup sigap sehingga ia dapat terhindar dari benturan tenaga yang dahsyat dan begitu kaki hinggap pula tubuhnya sudah berdiri diambang pintu air mukanya masih pucat dan kaku tanpa menunjukkan perasaan hatinya. Ham Gwat dan KAu-yu-mo-lo merasa diluar dugaan, sungguh mereka tidak nyana dalam keadaan terluka dalam begitu berat Bu-bing Loni masih mampu bergerak begitu lincah menghindari diri dari serangan yang dahsyat itu. Bu-bing maklum bahwa dirinya hari ini tidak akan dapat menang, tapi demi nama dan gengsinya ia tidak rela tinggal pergi begitu saja, apalagi mandah menyerah kalah, terlebih pula bila membebaskan hukuman mati orang-orang dihadapannya ini. Begitulah sambil menenteng pedangnya ia berdiri di ambang pintu dengan pandangan mata berapi-api. Kiu-yu-mo-lo menjadi murka, dengan sengit ia terjang ke arah Bu-bing. sebetulnyalah ia tidak pandang sebelah mata Bu-bing Loni. tapi baru saja bergebrak lantas ia kena terdesak di bawah angin. Sergapan Bu-bing selanjutnya yang lebih hebat tadi kalau dirinya tidak memperoleh bantuan Ham Gwat mungkin tubuhnya sudah berlobang dan mampus oleh tusukan pedang lawan. Adalah sekarang Bu-bing sendiri sudah terluka parah. ia harus mengambil keuntungan secara licik mengadu kekuatan dengan satu lawan satu ingin ia menjajaki sampai dimana tinggi kepandaiannya. Melihat hanya Kiu-yu-mo-lo seorang yang mendesak madiu. dengan pandangan dingin Bu-bing menanti, dalam hati rada menganggap ringan, maka matanya segera menantang ke arah Ham Gwat, maksudnya supaya kau pun maju sekalian memang aku gentar? Tapi Ham Gwat tahu maksud Kiu-yu-mo-lo yang ingin bertanding sendiri melawan Bu-bing Loni. maka iapun tinggal diam saja berdiri ditempatnya, bila Kiu-yu-mo-lo memang terdesak dan hampir kalah terpaksa aku harus bantu dia. Bu-bing sendiri sudah terluka dalam betapapun Kiu-yu-mo-lo tidak bakal kena dikalahkan dalam gebrak permulaan. Maka ia jemput pula pedangnya dan berdiri siap waspada. Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah semakin dekat. Bu-bing mendengus hidung, pedang panjangnya teracung tinggi ke samping terus membabat miring ke arah Kiu-yu-mo-lo. Bu-bing sendiri juga maklum begitu Kiu-yu-mo-lo terdesak pasti Ham Gwat akan segera menerjunkan diri dalam pertempuran ini, luka dalamnya cukup parah, betapapun ia pantang menggunakan tenaga dalam yang berkelebihan untuk melawan kekerasan dengan Kiu-yu-mo-lo, kiranya cukup ia hadapi dengan kelihayan gerak pedangnya untuk merobohkan musuh saja. Memang bila perlu harus terluka lebih parah juga tidak jadi soal, asal dengan kekuatan terakhir dapat merobohkan atau membunuh Kiu-yu-mo-lo. Demikian Bu-bing sudah bertekad dalam hati. Kiu-yu-mo-lo juga sudah kerahkan tenaganya, kedua telapak tangannya terangkat naik kesamping menyampok batang pedang, ia insaf dalam keadaan terluka parah tentu Bu-bing cukup mengandalkan kehebatan permainan pedangnya, maka ia harus tumplek seluruh perhatiannya kebatang pedang musuh yang hebat itu. Apalagi setelah luka parah Bu-bing tidak ngacir pergi, pastilah ia bertekad untuk gugur bersama. Kalau musuh ingin mati adalah ia masih ingin hidup, maka telapak tangannya bergerak lincah memngiringi serangan permainan pedang lawan, disamping main sergap ia pun mencari kelemahan musuh untuk bertindak. ingin dia bentrok secara kekerasan untuk menetukan siapa unggul dan siapa asor. Permainan pedang Bu-bing memang sangat lihay, kelihatannya pedangnya melayang miring dengan babatan biasa saja, namun sebetulnya mengandung tusukan berlainan yang cukup mematikan bila mengenai sasarannya. Kiu-yu-mo-lo tahu akan kelihayan perubahan permainan pedang ini, maka kedua tangannya menyamping dan ditekuk ke atas menggetar batang pedang Bu-bing, sehingga serangan lawan kena dipunahkan ditengah jalan. Bu-bing menggeram gusar, ia tarik kembali pedangnya, ia tahu cara permainan Kiu-yu-mo-lo hendak mengulur waktu dan menguras habis tenaganya, cara bertempur begini sangat tidak menguntungkan pihaknya, kalau tidak menggunakan kekerasan sulit dapat memperoleh kemenangan. maka ia harus memancing supaya Kiu-yu-mo-lo menyerang edan2an dengan seluruh kekuatannya. Pikiran ini berkelebat dalam benaknya, sebat sekali mendadak ia lancarkan pula sebuah tusukan yang berbahaia, cara tusukannya ini sengaja diperlihatkan seperti tenaganya sudah hampir habis ditengah jalan dan tak bisa menyambung lagi, tapi ia masih berlaku nekad melancarkan serangannya untuk menutupi kelemahan sendiri! Melihat keadaan Bu-bing, sebagai seorang kawakan Kangouw Kiu-yu-mo-lo maklum akan tipu pancingan lawan, teringat olehnya tadi Bu-bing dapat meloloskan diri dari serangan gabungan yang begitu dahsyat, sekarang dia berbuat demikian bukan mustahil memang sengaja hendak menjebak dirinya. Tapi kenyataan Bu-bing memang sudah terluka parah, tapi toh ia masih dapat lolos dari rangsakan, yang hebat tadi. Sesaat lamanya Kiu-yu-mo-lo menjadi bimbang. kalau Bu-bing terluka pasti lambat laun tenaga dalamnya pasti bakal terkuras habis, kenapa aku tergesa-gesa, yang penting berlaku hati-hati jangan sampai tertipu olehnya,. Begitulah gebrak2 selanjutnya kedua belah pihak masih sama dalam taraf coba-coba dan saling memancing saja, beruntun beberapa jurus sudah berlalu, selama ini Bu-bing Loni belum lagi menunjukkan keletihannya dalam gebrak2 yang berlalu itu kedua belah pihak belum lagi menggunakan tenaga yang berarti. Akhirnya Kiu-yu-mo-lo yang berangasan itu menggerung gusar, kedua telapak tangannya dengan deras melancarkan pukulan sengit, setelah tangannya mencengkeram pundak sedang tangan yang lain menjojoh lambung. Tubuh Bu-bing mendadak bergerak dengan gesit, beruntun ia berloncatan menghindar berbareng pedangnya berputar memunahkan kekuatan tenaga serangan Kiu-yu-mo-lo. Melihat serangannya yang lihay kena dipunahkan musuh, hati Kiu-yu-mo-lo menjadi lesu, mendadak dilihatnya pula gerak pedang Bu-bing Loni mengendor dan gemetar. Berkilat biji mata Kiu-yu-mo-lo, sekarang ditemukan titik kelemahan Bu-bing Loni, sudah berulang kall Bu-bing sengaja menutupi titik kelemahannya ini, tapi sekarang ia tidak mudah lagi dikelabui. Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo