Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 26


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 26


Badik Buntung Karya dari Gkh   Maka sambil menjengek dingin mendadak sepasang telapak tangannya menyerang ketiak dari lambung Bu-bing Loni dengan dilandasi seluruh kekuatannya.   Girang hati Bu-bing Loni bahwa pancingannya berhasil, tapi air mukanya malah mengunjuk rasa gugup yang dibuat-buat.   Semenbara sepasang telapak tangan Kiu-yu-mo-lo memberondong dengan serangan berantai yang ketat, beruntun Bu-bing menyambut dan menangkis dengan tajam pedangnya.   Sekonyong-konyong Kiu-yiu-mo-lo merasakan suatu keganjilan, tadi ia tidak kerahkan setaker tenaganya, sebaliknya Bu-bing mengunjuk rasa kejut dan gugup, sekarang setelah dirinya menggempur mati-matian dengan penuh kekuatannya, sedikitpun tiada berhasil mendesak mundur setapakpun kepada Bu-bing Loni.   jelas sekali bahwa mungkin dirinya sudah masuk dalam perangkap kelicikan musuh.   Karena rekaannya ini serta merta hatinya menjadi was-was dan gerak geriknya menjadi lamban.   Waktu ia angkat kepala mengawasi Bu-bing tampak sorot matanya tetap tajam tidak kelihatan rasa keletihan sedikitpun juga, sebaliknya orang seperti tumplek seluruh perhatian untuk mencari titik kelemahannya sendiri, keruan terperanjat ia dibuatnya.   Begitu merasakan tekanan serangan lawan mengendor lantas pedang Bu-bing teracung ke atas, tapi Kiu-yu-mo-lo berlaku nekad tanpa memikirkan keselamatannya, sepasang telapak tangannya ia menindih kebatang pedang Bu-bing Loni.   Dasar licik sedikitpun Bu-bing tidak kena kecundang, sebat sekali ia menyurut mundur berbareng pedang ditarik mundur terus terbang ke belakang.   Keruan sepasang telapak tangan Kiu-yu-mo-lo menindih tempat kosong.   terdengar Bu-bing menyeringai dingin dari jarak yang cukup jauh itu tiba-tiba ia timpukkan pedang panjangnya, pedang meluncur ketenggorokan Kiu- yu-mo-lo.   Sudah tentu kejut Ham Gwat bukan main, meski ia dapat meraba bahwa Kiu-yu-mo-lo masuk dalam perangkap Bu-bing Loni.   tapi sungguh diluar dugaannya bahwa situasi bakal berubah begitu buruk.   Karena tidak bersiaga sebelumnya.   tahu-tahu pedang Bu-bing sudah meluncur ditengah jalan, untuk menolong terang tidak sempat lagi, terpaksa ia pun timpukkan pedangnya sendiri ke arah Bu-bing Loni, berbareng tubuhnya juga mencelat terbang menyusul ke arah Kiu-yu-mo-lo, sedapat mungkin ia harus selamatkan jiwa orang tua ini.   Sekonyong-konyong sesosok bayangan tubuh manusia berkelebat masuk dari luar, tepat sekali kedatangannya, begitu tiba kedua telapak tangannya segera menyamber miring memukul jatuh pedang sambitan Bu-bing Loni, tahu-tahu dalam gelanggang tambah seorang laki-laki tua.   Waktu Kiu-yiu-mo-lo angkat kepala dengan jantung berdebar, serta merta ia berteriak kegirangan "Samte, kaukah itu!"   Pendatang ini bukan lain adalah tokoh terkecil dari Si-gwa-sam-mo yaitu Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat. Pek Si-kiat tertawa, sahutnya.   "Ya, ditengah jalan tadi kulihat kau, maka kuikuti jejakmu kesini"   Dalam pada itu Bu-bing Loni berkelebat kesamping menangkap kembali pedangnya yang disambitkan, oleh Ham Gwat, inilah pedang miliknya yang tadi ditimpukkan untuk menghancurkan harpa itu kembali ketangannya.   Air mukanya berubah ganti berganti.   dari pucat menjadi merah dan berubah hijau pula.   sorot matanya penuh kegusaran mendelik ke Pek Si-kiat yang telah menggagalkan usahanya.   Pek Si-kiat juga angkat kepala mengawasi Bu-bing lekat-lekat ujarnya.   "Kau anggap tiada tandingan di seluruh kolong langit. Jangan kau lupa, bukan melulu kau seorang hidup dalam dunia, ini."   Tiba-tiba laksana kilat Bu-bing melejit ke tengah gelanggang beruntun pedangnya berkelebat laksana bianglala memencar ketiga jurusan menyerang mereka bertiga dengan sembilan taburan kilat pedang yang hebat.   Ham Gwat bertiga menjadi kelabakan membela diri dengan tarian sepasang telapak tangan masing-masing.   Sungguh mereka sangat terkejut akan kehebatan Lwekang Bu-bing Loni yang tigggi ini, tidaklah malu ia berani malang-melintangdi Kangouw dengan bekal kepandaiannya ini, sudah terluka parah, namun masih berani melancarkan serangan kekerasan yang mengandung banyak risiko.   Pelan-pelan Ham Gwat bertiga berpencar ketiga jurusan, kedududkan mereka berbentuk segi tiga, dari jurusan masing-masing mereka bergantian menggempur dengan gencar.   Rangsakan kesembilan jurus kilatan pedang Bu-bing Loni tadi maki hebat, dan ketiga musuhnya terkejut akan kehebatan lwekangnya yang tiada taranya itu, namun Bu-bing sendiri maklum bahwa tenaga sendiri sudah hampir ludes, sekarang ia harus gunakan sisa tenaganya u8ntuk bertahan supaya mengelabui musuh, tapi pengerahan tenaga yang berkelebihan sudah ia rasakan akibatnya, dalam tubuh, urat nadinya sudah semakin lemah, semakin lama ia rasakan hawa murni sudah tak mampu disalurkan kembali.   Jelas harapan untuk menang tidak mungkin lagi.   Si-gwa-sam-mo sudah muncul dua diantara tiga, ditambah Ham Gwat yang cukup lihay, bila pertempuran diteruskan, mungkin jiwa sendiri bakal melayang secara konyol ada lebih baik gugur bersama, cuma kuatir usahanya bakal sia-sia.   Timbul niat melarikan diri secara teratur, diam-diam ia menerawang keadaan, hari masih cukup panjang, tanpa harus tergesa-gesa dalam waktu singkat ini.   kalau Poci dengan suara harpanya tadi itulah yang menyebabkan keadaan menjadi fatal, kalau tidak dengan dua lawan satu jelas ia akan unggul berkelebihan.   Getaran senar putus yang hebat itu telah membuat kedua pihak terluka berat, menurut pendapatnya kekuatannya jauh lebih hebat tiga bagian dari perbawa Wi-thian-cit- ciet-sek yang dipelajari Hun Thian-hi.   Sekarang Bu-bing berdiri tegak mengkonsentrasikan seluruh perhatian dan semangatnya.   Ham Gwat bertiga juga was-was akan kehebatan rangkaian sembilan jurus pedang kilatnya itu sehingga tak berani sembarangan bergerak.   Untung Bu-bing sudah kelelahan dan cukup payah, kalau tidak betapa hebat Lian-hoan-sam-kiamnya itu, terang tak mungkin mereka bertiga mampu terhindar dari bencana.   Begitulah empat orang sama berdiri diam, tekad Bu-bing Loni untuk mengundurkan diri semakin besar, dirinya tidak rela berkorban secara konyol dan sia-sia, tapi sebelumnya ia harus menggempur ketiga musuhnya ini pontang-panting, ia tidak percaya mereka bertiga mampu bekerja sama menjalin kekuatan yang tak terpecahkan.   Setelah tetap keputusannya serta tenagapun sudah terhimpun kembali mendadak Bu-bing angkat pedangnya di depan dada, matanya menyapu pada tiga musuhnya.   Bercekat hati ketiga lawannya, dengan rasa tegang mereka meningkatkan kewaspadaan.   Sekonyong-konyong badan Bu-bing terbang ke tengah udara.   dimana pedangnya berputar dan membacok turun serta membabat miring, beruntun ia lancarkan pula Lian-hoan-sam-kiam yang paling diandalkan, tiga jurus ilmu pedang sekaligus meluncur laksana lembayung menukik turun menyapu deras ke arah lawannya, SerempaK Ham Gwat bertiga kerahkan tenaga dan menggabungkan tenaga pukulan telapak tangannya untuk membendung rangsakan tenaga kibasan pedang yang hebat itu, sementara mereka repot membela diri, tahu-tahu badan Bu-bing terus meluncur keluar hendaK tinggal merat.   Ham Gwat sudah maklum akan sepak terjang Bu-bing ini sebelumnya, maka ia pula yang mendahului mengejar ke arah Bu-bing, begitulah Pek-si-k-at berdua juga segera mengejar datang, mereka insahari bila b ini Bu-bing sampai berhasil melarikan diri, gelombang pertikaian dikalangan Kangouw tidak akan pernah berhenti.   Begita tiba diambang pintu gua terdengar Bu-bing bersuit nyaring panjang, dari luar seekor burung dewata segera menukik turun.   Ham Gwat sudah hampir dapat menyusul, tiba-tiba dilihatnya langkah Bu-bing Loni sempoyongan sejalur darah segar menyembur dari mulutnya.   tubuhnya pun tersungkur ke depan dan kebetulan jatuh jatas punggunng burung dewata, dalam kejap lain burung itu sudah terbang tinggi tak terkejar lagi.   Ham Gwat menjadi melongo, ia tidak"   Mengejar lebih lanjut.   Betapapun Bu-bing Loni adalah bekas gurunya yang mengasuh dirinya sejak kecil.   dulu ia malang melintang tiada tandingan, namun hari ini ia harus terima kekalahannya secara total malah terluka parah lagi.   tak tertahan lagi hatinya menjadi tidak tega dan bersedih.   Sementara burung dewata sudah melesat terbang pesat sekali.   dalam kejap lain tinggal setitik bayangan yang menghilang dibalik awan.   Ooo)*(ooO MendadaK melihat Giok-yap Cinjin muncul dihadapannya, malah berada di dalam Jian-hud-tong lagi, karuan kejut Hun Thian-hi seperti arwahnya luput dari badan kasarnya, beruntun ia menyurut mundur ketakutan.   Waktu ia mempertegas memang raut wajah orang ini persis benar-benar dengan, Giok-yap Cinjin, cuma rada pucat dan sepasang biji matanya pun rada lesu.   seperti muka mayat hidup.   Tapi sepasang matanya itu dengan tajam menatap lempang kepada dirinya, seakan-akan sedang menyeringai dingin.   Tiba-tiba hidungnya dirangsang bau amis yang memualkan.   serta merta Hun Thian-hi menyurut mundur lagi, dari pinggangnya dicabutnya seruling jade, dengan nanar ia awasi orang di hadapannya ini.   Mendadak dilihatnya di atas muka orang itu terdapat bundaran benang merah, mendadak ia julurkan keluar kedua telapak tangannya seperti cakar setan, setiap jari-jarinya berwarna hitam, begitu kesepuluh jarinya saling jentik bergantian, segulung kabut hitam kontan menyerbu ke arah Hun Thian-hi.   Hun Thian-hi terperanjat, entah siapakah orang ini sebenar-benarnya, tapi jelas bahwa orang ini bukan Giok-yap Cinjin yang sudah meninggal itu.   Ia membekal ilmu jahat yang sangat berbisa, sungguh sangat menggetarkan sukma dan nyali orang.   Cepat ia tepukkan telapak tangan kiri untuk menangkis dengan dilandasi Pan-yok-hian-kang, seketika kabut hitam itu bujar tercerai-berai tersapu balik.   Gerak-gerik orang itu cukup cekatan, mendadak ia berkelebat.   Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, ia tahu lawan sengaja hendak mencegat jalan mundurnya.   sebat sekali ia melompat mundur, telapak tangannya melintang dengan pukulan angin yang cukup keras, ia berusaha merintangi sepak terjang orang, Tapi dalam gerak berkelebat ini orang dapat menerobos lewat dari jurusan tidak terduga sama sekali oleh Hun Thian-hi, sekarang berbalk Hun Thian-hi yang tercegat jalan mundurnya, malah.   Sejenak Hun Thian-hi terlongong, dengan pandangan rasa keheranan dan was-was ia pandang orang itu.   Sungguh ia tidak mengerti darimana Tok-sim-sin-mo dapat mengundang tokoh aneh macam ini, sungguh menggiriskan dan menciutkan nyali manusia.   Betapa aneh dan lihay ilmu silat orang ini benar-benar belum pernah dilihatnya, bilamana ilmu silatnya memang tinggi dan aneh, tak mungkin ia mandah dikurung begitu saja di tempat itu, benar-benarkah ia terbelenggu oleh Tok-sim-sin-mo, masih merupakan tanda tanya, entah mengapa ia rela tinggal menetap di tempat itu? Setelah dapat mencegat jalan mundur Hun Thian-hi dengan seksama orang itu juga mengamatinya.   sorot matanya mengunjuk rasa keheranan, sekian lama mereka beradu pandang, tiba-tiba orang itu berkelebat pula merangsak maju pula.   Melihat orang begitu berani bertangan kosong menempur senjata serulingnya, mau tak mau Hun Thian-hi merasa kagum, seumpama Bu-bing Loni sendiri juga tidak akan berani begitu takabur memandang pada dirinya.   Seruling Hun Thian-hi mendadak terangkat ke atas ujungnya telak sekali mengarah jalan darah Hou-kiat-hiat.   Tapi baru saja ia bergerak, tiba-tiba serasa pandangan matanya kabur, berbareng serumpun angin keras menerjang ke arah badannya, entah cara bagaimana tahu-tahu orang itu sudah mendesak tiba sampai dekat sekali dihadapannya, sebelah telapak tangannya menyelonong tiba terpaut satu dim dari tulang iganya.   Keruan Hun Thian-hi terkejut, cepat ia tarik serulingnya terus putar balik menutuk punggung orang, berbareng kakinya menggeser mundur mencari posisi yang lebih menguntungkan, dalam jarak yang hanya terpaut beberapa mili saja secara untung2an ia berhasil terhindar dari pukulan musuh.   Tapi tak urung keringat dingin sudah membasahi punggungnya saking kagetnya.   Gerak gerik yang begitu aneh benar-benar belum pernah dilihat selama ini, apalagi orang aneh ini membekal racun berbisa yang teramat jahat, sedikit kena seumpama tidak mati pasti celaka jiwanya.   Melihat Hun Thian-hi dapat berkelit dari rangsekan pukulannya orang itupun mengunjuk rasa heran, adalah sangat mustahil ada orang yang bisa lolos dari serangan jahat yang sangat berbisa dan ampuh dari pukulan mautnya.   Tidak heran kalau Hun Thian-hi mengalirkan keringat dingin, tujuan Tok-sim-sin-mo cukup keji, jelas ia sengaja menjebak dirinya kemari supaya dirinya mampus di tangan manusia berbisa yang lihay ini.   Begitulah dengan pandangan mata berkilat warna kebiruan, beruntun ia lancarkan pula tiga pukulan berantai yang aneh, Hun Thian-hi menjadi kelabakan tak tahu dia cara bagaimana ia harus menghadapi atau melawan ilmu silat yang aneh dan lucu itu, terpaksa ia mundur dan menjaga diri.   Semakin dalam, keadaan gua di dalam semakin gelap gulita, kelima jari sendiripun tidak kelihatan lagi.   Tiga pukulan berantai musuh berturut-turut telah disambut oleh Hun Thian-hi secara kekerasan sembari mundur, sampai babak terakhir ini baru Thian-hi mendapatkan bahwa Lwekang musuh ternyata tidak sehebat seperti permainan pukulannya yang lihay dan aneh itu, orang tidak lain cuma mengandalkan gerak tubuh dan langkah kakinya yang aneh.   Dalam pada itu, orang laki-laki itu telah melancarkan pula sebuah pukulan kepada Thian-hi.   Sekonyong-konyong Hun Thian-hi merasakan sesuatu keganjilan.   terasa olehnya orang ini merabukan serangkaian pukulannya dengan gencar tujuannya tak lain tak bukan hanya mendesak dirinya masuk mundur ke dalam gua yang lebih gelap sana, cepat timbul rasa was-was dalam hatinya, entah ada apa di dalam gua gelap dibelakangnya sana, betapapun harus hati-hati supaya tidak terjebak oleh musuh.   Karena kekuatirannya ini segera ia layangkan serulingnya dengan jurus Liu-si-jian-tiu melintang ke depan, sekonyong-konyong ia mendapat firasat jelek, betapapun ia tidak bisa mundur lebih lanjut ke dalam gua gelap sana.   Jurus permainan seruling Thian-hi ini punya ragam yang berlainan, dapat menyerang juga dapat menjaga diri, tapi lagi-lagi orang itu menggerakan badannya dengan kelakuan yang teramat aneh, tahu-tahu sebelah telapak tangannya sudah menyelonong tiba, tiba-tiba pula tubuhnya sudah menyelundup masuk ke dalam taburan sinar serulingnya.   Semakin ciut nyali Thian-hi, sungguh tidak habis otaknya berpikir cara rangsakan serulingnya yang rapat itu tidak mampu merintangi gerak tubuh lawan menurut penilaiannya jurus Liu-si-jiang- tiu merupakan tipu penjagaan yang teramat rapat dan ketat sekali tiada jurus tipu permainan silat lainnya yang dapat dibanding dengan kehebatannya.   Tapi kenyataan dihadapi olehnya sendiri bahwa musuh begitu gampang menyelundup masuk ke dalam tabir sinar serulingnya yang ketat itu, betapa hatinya takkan ciut dan gentar.   Terpaksa Hun Thian-hi mencelat jauh ke belakang, baru saja kakinya menyentuh tanah.   mendadak segulung angin keras menerjang tiba dari arah belakangnya, terjangan angin keras ini begitu pesat dan besar sekali, sehingga Hun Thian-hi tambah terkejut.   Cepat seruling diayun ke belakang dengan seluruh kekuatannya ia sambut terjangan angin keras itu.   Tapi terjangan angin keras itu seperti hidup saja mendadak membelok ke atas mengarah jalan darah mematikan dipunggung Thian-hi, jaraknya terpaut tiga dim saja.   Jantung Thian-hi seperti hampir meledak saking kejut dan takutnya, cara gerak serangan yang membokong dari belakang ini hakikatnya sama dengan permainan Tosu di hadapannya ini, malah cara serangan dan tenaganya yang aneh itu jauh lebih hebat.   Untuk berkelit terang tidak sempat lagi, terpaksa Hun Thian-hi menghardik keras secara reflek serulingnya menyendal ke atas pula melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, dengan kekuatan jurus ilmu pedang yang tiada taranya ini.   segulung tenaga Lwekang yang ampuh berputar menggulung balik menyongsong serangan musuh.   Betul juga usahanya rada berhasil, terjangan angin keras di belakang itu sementara kena dibendung mundur, cepat Hun Thian-hi berdiri mepet dinding dan memiringkan badannya, waktu ia berpaling ke arah sana dilihatnya yang menyerang dari belakang tadi kiranya seekor ular warna putih laksana salju.   Panjang ular ini tidak lebih tiga kaki, kedua biji matanya merah darah menyorong menakutkan, pelan-pelan badannya melingkar dan melata dari tempat yang gelap sana, dengan tajam kepalanya terangkat mengawasi Hun Thian-hi, mulutnya terpentang dan lidahnya terjulur keluar.   Tosu tinggi besar itu mencegat jalan keluar, dengan pandangan keheranan ia awasi Thian-hi, kesudahan dari gebrak terakhir antara Hun Thian-hi melawan ular putih itu sungguh diluar perhitungannya.   Sungguh hebat Hun Thian-hi dapat menangkis serangan si ular putih kecil yang hebat itu.   Tidaklah berkelebihan rasa kejutnya itu karena ia pun mengenali Wi-thian-cit-ciat-sek yang dilancarkan oleh Thian-hi.   Semakin mencelos hati Thian-hi, si Tosu seorang sudah begitu lihay dan sulit dilayani, kini ketambahan seekor ular yang tidak kalah hebatnya, betapapun dirinya tidak akan mampu melawan, untuk lolos dari kepungan seorang manusia dan ular berbisa yang lihai ini, boleh dikata sesulit memanjat ke atas langit.   Sambil memicingkan mata setindak demi setindak si Tosu tinggi besar itu mendesak maju.   Hun Thian-hi berdiri tegak melintangkan seruling di depan dada dan otaknya beruntun memikirkan berbagai persoalan yang tidak terpecahkan olehnya.   Ia curiga akan pengalaman yang aneh ini, masakah aku harus mati secara konyol di tempat ini? Bagaimana mungkin Tosu tinggi besar ini berbentuk begitu mirip dengan Giok-yap Cinjin, apakah dia punya sangkut paut dengan Ciangbunjin Bu-tong-pay itu? Mungkin seperti Hwesio jenaka dan Mo-bin Suseng mereka adalah saudara kembar.   Tengah pikirannya melayang, Tosu itu sudah mendesak dekat, Hun Thian-hi mengertak gigi seruling ditangannya teracung miring ke depan dengan setaker tenaganya ia lancarkan pula Wi- thian-cit-ciat-sek seiring dengan gerak serulingnya badannya pun menerjang maju ke depan.   sergapan mendadak Hun Thian-hi memang cukup dahsyat.   Tosu besar itu rada terkejut dan menyurut mundur ke belakang.   Dengan melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek tujuan Thian-hi bukan melukai orang, maka begitu badannya terbang ke depan terus menerjang kemulut gua.   Tapi ular putih kecil di belakangnya itupun tidak tinggal diam laksana anak panah iapun terbang mengejar, secepat kilat mematuk kepunggung Thian-hi.   Keruan Thian-hi menjadi merinding dan terperanjat, ia tahu bahwa ular macam itu pasti sangat beracun, sedikit kulit kena terluka oleh giginya jelas tidak akan tertolong lagi jiwanya, terpaksa ia harus membalikan tubuh dengan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk membela diri mendesak mundur siular putih itu.   Sedikit merandek karena gangguan serangan siular kecil ini kesempatan lolos Hun Thian-hi menjadi sia-sia, ia terkepung pula diantara gencetan si Tosu dan ular putih kecil yang lihay itu.   Kedua belah pihak sama berdiam diri sama memikirkan cara untuk merobohkan lawan, ketegangan mencekam sanubari mereka.   Tanpa berjanji sebelumnya, mendadak si Tosu dan ular kecil itu sama bergerak dari dua jurusan menerjang kepada Hun Thian-hi.   Bercekat jantung Thian-hi, terpaksa serulingnya ditaburkan pula dengan Wi-thian-cit-ciat-sek, tujuh gelombang angin dahsyat menerpa hebat ke arah si Tosu dan ular kecil itu.   Gesit dan lincah sekali tiba-tiba ular putih melejit lebih tinggi dan menyendal maju melesat ketenggorokan Hun Thian-hi.   Keruan bukan kepalang kejut Thian-hi, bahwa si ular kecil tidak takut keterjang tenaga pukulan Wi-thian-cit-ciat-sek yang dahsyat itu, ia berdiri mepet dinding untuk mundur sudah tidak bisa lagi, terpaksa hanya mengandal keampuhan Wi-thian-cit-ciat-sek saja untuk menggempur dan merintangi serangan ular putih itu.   Diluar dugaan ular kecil itu tersapu mental tiga tombak jauhnya oleh ketukan seruling Hun Thian-hi, tapi karena sampokan kepada ular putih itu sehingga gerakan seruling Hun Thian-hi rada lamban.   dan kesempatan ini dipergunakan pula oleh si Tosu untuk mendesak maju dengan tepukan kedua telapak tangan kedada Hun Thian-hi.   Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi berkelit kesamping, tapi sudah terlambat, pukulan lengan orang itu telak sekali mengenai pundak kiri Hun Thian-hi, seketika Thian-hi rasakan seluruh pudaknya kiri kesemutan dan hilang rasa.   Waktu ia menoleh dalam sekejap waktu seluruh lengan kirinya sudah melepuh besar tiga kali lipat.   Thian-hi insaf bahwa ia telah kena racun yang teramat jahat, mungkin jiwa sendiri sudah tidak tertolong lagi, dengan rasa kecewa dan lesu perlahan-lahan ia meloso duduk bersimpuh.   Begitu pukulannya berhasil melukai Hun Thian-hi Tosu itupun lantas mundur.   gesit sekali ia melejit ke arah ular putih serta memeriksanya dengan teliti.   Ular putih itu rebah dengan lemas, agaknya jatuh pingsan, rada lama kemudian baru bisa bergerak dan melata dengan amat payahnya.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Melihat siular putih sudah dapat bergerak baru si Tosu berdiri lagi.   dengan pandangan dingin mengancam ia awasi Hun Thian-hi.   Sementara itu Thian-hi kerahkan lwekangnya untuk mendesak hawa racun supaya tidak menjalar lebih jauh ke dalam tubuhnya.   Tosu itu menyeringai, jengeknya.   "Ilmu silatmu cukup tinggi, tapi akan kubuat kau mati berangsur-angsur. Kau sudah terkena racunku, kau kira kau bisa mendesaknya supaya tidak menjalar ke dalam tubuhmu?"   Dengan tajam Thian-hi pun pandang orang itu, sesaat kemudian ia bertanya.   "Siapa kau sebenar-benarnya? Kenapa kau harus bunuh aku?"   "Jangan kau peduli siapa aku,"   Jengek orang itu pula.   "Siapapun yang masuk kemari jangan harap bisa hidup ditanganku, dan kenapa sebabnya kau tidak perlu tahu!"   Waktu berkata-kata sedikitpun Tosu ini tidak menunjukkan perasaan hatinya, semakin mencelos hati Thian-hi menghadapi manusia sadis yang tidak diketahui asal-usulnya ini.   Dari nada perkataan orang kedengarannya jiwa sendiri terang tidak tertolong lagi.   Terpaksa ia tinggal diam saja dan memejamkan mata, ia duduk bersimpuh dengan tenang dan mengerahkan tenaga.   Orang itu mengamat-amati Thian-hi lagi, hatinya rada heran, dengan usia Hun Thian-hi yang masih begitu muda, ilmu silatnya ternyata begitu lihay, betul-betul sangat mengejutkan hatinya, kalau tidak menghadapi sendiri ia tidak akan mau percaya.   Mendadak hatinya seperti semakin menciut dan mencelos, air muka Hun Thian-hi tadi sudah berubah ungu dan membiru, tapi sekarang lambat laun semakin menghilang dan segar bugar kembali, ini boleh dikata suatu hal yang luar biasa dan tidak mungkin terjadi.   Barang siapa yang terkena racunnya, mana dapat hidup? Ia yakin betapapun tinggi ilmu silat orang itu umpama setinggi langitpun jangan harap bisa mendesak bujar racun yang mengeram dalam tubuhnya.   Apalagi racun itu adalah racun ciptaannya yang teramat jahat, Saking tidak percaya akhirnya ia bertanya pada Thian-hi.   "Siapa kau? Apa tujuanmu kemari?"   Dengan Lwekangnya Thian-hi berusaha membendung menjalarnya racun dalam tubuhnya, namun hasilnya tetap nihil karena hawa racun terus merembes masuk melalui sendi urat nadinya tersebar luas di seluruh tubuh, ia menjadi putus asa, dengan, membuka mata ia berkata tawar.   "Sekarang baru kau bertanya, apa gunanya?"   Orang itu mendengus, katanya.   "Ingin aku tahu siapa kau sebenar-benarnya?"   Thian-hi pejamkan mata lagi tanpa bersuara. sesaat kemudian baru ia berkata dengan kalem.   "Apa kau ingin mendirikan batu nisanku? Kukira tidak perlulah."   Orang itu rada terkejut, katanya dingin.   "Kau tidak akan mati. Cuma aku ingin tahu dengan cara apa kau dapat memunahkan racunku itu."   Thian-hi tersentak kaget sambil membelalakkan matanya, lambat laun memang ia merasakan semangat semakin segar dan pulih kembali seperti sedia kala, dengan cermat ia menepekur sekian lamanya ia belum mendapat jawaban yang tepat.   Sekonyong-konyong hatinya seperti sadar.   Buah ajaib! Tentu oleh khasiat buah ajaib itulah.   Bukankah ia pernah menelan beberapa butir buah ajaib, maka seluruh tubuhnya sekarang tidak perlu takut menghadapi segala bisa atau racun.   Hatinya menjadi girang, katanya riang.   "Kalau kau ingin tahu sudah tentu boleh kuberitahu kepada kau. Tapi kau harus beritahu lebih dulu padaku, siapa kau sebenar-benarnya. Kenapa bentuk wajahnya serupa benar-benar dengan Ciangbunjin Bu-tong-pay?"   Raut muka orang itu berkerut-kerut agaknya ia menjadi berang, dengusnya.   "Tapi akupun perlu tanya kau lebih dulu. Untuk apa kau kemari? Untuk mencari harta benda itu bukan?"   Bab 27 Thian-hi melengak, bahwasanya ia tidak tahu bahwa di dalam Jian-hud-tong ini ada tersimpan harta benda apa maka ia menyahut tawar.   "Untuk mencari harta? Kalau untuk harta benda apa perluku kemari. yang terang aku dipancing Tok-sim-sin-mo masuk ke tempat ini."   Agaknya orang itu juga merasa diluar dugaan.   "Tok-sim-sin-mo?"   Gumamnya, matanya segera memancarkan rasa gusar yang berapi-api, sesaat kemudian baru ia bersuara pula.   "Kau ahliwaris dari Wi-thian-cit-ciat-sek? Siapa kau? Dan murid siapa?"   Melihat sikap orang sudah tidak segarang semula, Thian-hi menjadi lega, sahutnya kemudian.   "Benar-benar aku ahliwaris Wi-thian-cit-ciat-sek, Aku bernama Hun Thian-hi. Murid Lam-siau!"   "Lam-siau?"   Dengus orang itu.   "Ya!"   Sahut Thian-hi tersenyum ewa.   "Tapi Ka-yap Cuncia menganugerahkan Wi-thian-cit-ciat- sek kepada aku, apakah ada salahnya? Sudan banyak yang kau tanyakan padaku, sekarang giliranku bertanya pada kau. Siapa kau sebenar-benarnya?"   Agaknya orang itu rada melengak akan jawaban dan pertanyaan Thian-hi, sesaat baru ia menjawab.   "Tak menjadi soal kau tahu siapa aku. Akulah Pek-tok-kau Kaucu Pek-tok Lojin!"   Thian-hi tercengang.   Pek-tok-kau bercokol di daerah barat daya.   Pek-tok Lojin merupakan calon seorang iblis yang sangat disegani pada jamannya dulu, sepuluh tahun yang lalu mendadak menghilang dari percaturan dunia persilatan hingga kini belum diketemukan jejaknya, sehingga Pek-tok-kau pun menjadi cerai berai dan bubar karena tiada orang yang memimpinnya.   Siapa duga sepuluh tahun kemudian, Pek-tok Lojin muncul pula di dalam gua yang sempit dan gelap ini, malah membekal ilmu silat yang lebih aneh dan lihay lagi.   sungguh sulit dibayangkan akan kebenar-benarannya.   Dan yang menambah keheranannya bahwa Pek-tok Lojin kenapa bermuka mirip sekali dengan Giok-yap Cinjin.   Tokoh macam Pek-tok Lojin yang diberitakan di Kangouw dulu tidak menyerupai bentuknya sekarang.   Agaknya Pek-tok Lojin tahu apa yang tengah di sangsikan oleh Thian-hi, katanya tertawa dingin.   "Kau heran kenapa aku berubah seperti bentukku ini bukan? Baiklah kujelaskan. Sepuluh tahun yang lalu aku masuk ke Jian-hud-tong dengan tujuan mencari Ni-kay-ki-tin, tapi sepuluh tahun kemudian baru aku berhasil dapat keluar."   Tersentak hati Thian-hi, serunya.   "Ni-hay-ki-tin?" Hampir ia tidak percaya pada pendengarannya bahwa Ni-hay-ki-tin berada di dalam Jian-hud-tong ini, mimpi juga tidak menduga sebelumnya.   "Ya, berada di dalam gua ini,"   Jengek Pek-tok Lojin.   "Jika masuk lebih dalam sana tibalah di Mi- kiong (istana sesat), aku masuk kesana dan menghabiskan waktu sepuluh tahun baru berhasil keluar. Waktu berjalan keluar aku sudah kehabisan tenaga, kebetulan bentrok dengan Tok-sim- sin-mo. Dalam keadaan payah sudah tentu aku bukan tandingannya, gampang saja aku teringkus olehnya, dia mengupas kulit mukaku dan mengganti dengan bentuk lain, ia menekan aku harus mendengar perintahnya!" ~ sampai disini ia bergelak tawa saking murka dan penasaran. Sekarang baru jelas bagi Thian-hi duduk perkara sebenar-benarnya Tok-sim-sin-mo memang sengaja hendak membuat geger dunia persilatan dengan rencana jangka panjang secara diam- diam ia menculik jasat Giok-yap Cinjin dan mengelupas kulit mukanya untuk ditempelkan di muka Pek-tok Lojin, secara berani ia coba-coba melaksanakan rencana jahatnya. Untung Pek-tok Lojin tidak sampai kena diperalat olehnya, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan gelombang pertikaian dunia persilatan. Terdengar pula Pek-tok Lojin melanjutkan.   "Beruntung akhirnya aku dapat lolos dari genggamannya itu, aku sembunyi di tempat ini dan kebetulan ketemu dengan Siau pek-mo (siular putih kecil, pernah terjadi hampir saja Tok-sim~sin-mo menemui ajalnya di bawah keganasan bisa Siau-pek-mo. Sayang ia takut melihat sinar cahaya!" Sampai disini ia merandek lalu sambungnya mendengus dingin.   "Kalau tidak mungkin sejak lama bersama Siau-pek-mo aku sudah keluar dari gua ini. Tapi selama mengeram diri disini aku berhasil juga mempelajari Ling- coa-pou, tapi aku tak kuasa meninggalkan tempat ini."   Hun Thian-hi berpikir sejenak. lalu katanya.   "Cara Bagaimana kau bisa punya hasrat untuk mencari Ni-hay-ki-tin itu. Kalau kau tidak memiliki Badik buntung mana bisa menemukan Ni-hay- ki-tin itu?"   Pek-tok Lojin terkekeh dua kali, ujarnya.   "Bagaimana juga, aku harus menemukan Ni-hay-ki-tin itu. Sepuluh. tahun aku berdiam dalam gua ini, selama sepuluh tuhun ini aku sudah menjelajahi seluruh Mi-kiong (istana sesat), di setiap tempat penting ada kutinggalkan tanda2 rahasia, aku tahu cara bagaimana masuk juga tahu cara bagaimana keluar. Aku percaya sekali lagi aku masuk kesana pasti dapat menemukan Ni-hay-ki-tin itu!"   Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya.   "Mungkin kau bisa, apakah kau yakin benar-benar sekali lagi hendak kesana, kau tidak bakal tinggal terkurung lagi selama sepuluh tahun?" berhenti sejenak lalu ia melanjutkan.   "Kau sudah berkorban sepuluh tahun, sehingga Pek-tok-bun lenyap dan dilupakan para sahabat Kangouw, kau mendapat lebih banyak atau kehilangan lebih banyak? Coba kau renungkan antara untung dan ruginya."   Pek-tok Lojin menggeram, ia menunduk tanpa bersuara. Hun Thian-hi berkata lebih. lanjut.   "Kalau kau sudah tahu bahwa Ni-hay-ki-tin pasti tersimpan di dalam Jian-hud-tong, masa tiada orang lain pula yang tahu? Kenapa mereka tidak meluruk kemari? Bukan mustahil kehilangan atau kerugian yang mereka derita jauh lebih besar dari apa yang mereka dapatkan."   Pek-tok Lojin menggeram sekali lagi, meski wataknya keras dan seperti penasaran tapi hatinya sudah mulai menyesal, tekadnya mencari Ni-hay-ki-tin semula memang menyala-nyala, dan usahanya ini merupakan suatu taruhan yang sangat berbahaya bagi jiwa dan raganya.   Alhasil ia kalah dalam taruhan, apakah aku harus melanjutkan permainan judi ini? Atau berhenti sampai disini saja? begitulah ia sedang menerawang apa yang harus dia lakukan selanjutnya.   Sementara itu Hun Thian-hi juga sedang melayangkan pikirannya, ia rasakan betapa culas dan keji jiwa Pek-tok Lojin ini, bila sekarang dia dapat keluar, pasti harus dua orang bersamaan, tak mungkin seorang diri ia keluar dengan selamat tanpa kurang suatu apa.   Tapi bila dapat keluar.   pasti Pek-tok Lojin bakal menimbulkan bencana bagi kaum persilatan umumnya, ini merupakan suatu persoalan pelik yang sulit dipecahkan.   Ia berpikir cara bagaimana supaya Pek-tok Lojin tidak mengganas pula di Bulim bila nanti bisa keluar? Kecuali Pek-tok Lojin dapat digugah watak dan pikiran sesat menjadi lurus, kalau tidak tiada jalan lain yang lebih sempurna.   Akhirnya Pek-tok Lojin angkat kepala, katanya kepada Hun Thian-hi.   "Apa yang sedang kau pikirkan?"   "Aku terpikir bila seseorang dapat melanjutkan kehidupannya dalam keadaan keputus-asaan, lalu apa yang harus dia lakukan?"   Berkilat biji mata Pek-tok Lojin, dua kali hidungnya mendengus, katanya.   "Aku pun tidak tahu. Kenapa kau harus berpikir sedemikian banyak dan begitu rumit?"   Thian-hi menyahut pelan-pelan.   "Aku merasa itu sangat penting. Sekarang kita harus siap dan menyadari lebih dulu apa yang harus kulakukan sesudah aku dapat keluar?"   "Jangan kau berangan2."   Demikian jengek Pek-tok Lojin.   "Kita berdua tidak akan mampu keluar, seorang diri aku sudah terkurung sepuluh tahun, mendapat kau sebagai teman juga bolehlah"   "Memang mungkin tak bisa keluar. Tapi apakah kau tidak ingin keluar?"   "Keluar? Kerdil benar-benar pikiranmu. Seumpama tiada orang yang merintangi kau, kau takkan mampu keluar seorang diri, apalagi Tok-sin-sim-mo ada diluar sana, memasang berbagai alat rahasia lagi. untuk keluar sesulit memanjat ke atas langit."   Hun Thian-hi tersenyum, katanya.   "Betapapun sukarnya, aku harus keluar. Masih banyak tugas yang harus kurkerjakan, aku harus keluar!"   "Anggapmu aku sendiri tidak punya urusan?"   Hun Than hi pandang Pek-tok Lojin, terlihat sorot matanya mengunjuk rasa kepedihan hatinya ia tertawa lalu berkata.   "O, begitu? Semula kusangka kau tidak ingin keluar?"   Melihat sikap Pek-tok Lojin, ia mereka-reka orang pasti mempunyai ganjalan dalam lubuk hatinya, tapi entah persoalan apa.   Pikirnya siapa saja, setiap manusia bila dia masih punya rasa perikemanusiaan.   hatinya tentu takkan terlalu bejat, sebelum watak kemanusiaannya pudar pasti dia dapat diinsafkan dari perbuatan jahatnya, manusia sejak dilahirkan memang bersifat bijaksana dan kenal cinta kasih.   soalnya cara bagaimana ia menjalani hidupnya dalam pergaulan masyarakat.   Demikianlah Pek-tok Lojin, meskipun ia jahat dan keji.   namun dia masih mempunyai kesadaran jiwa yang masih bisa ditolong dari jurang kesesatannya.   Pek-tok Lojin menjengek hidung, ia menengadah dan berpikir.   Hun Thian-hi tertawa-tawar, katanya.   "Di mulut saja aku bicara; tapi asal percaya bahwa setiap orang tentu mempunyai gagasan hidupnya. masih banyak urusan yang mesti kukerjakan. Dan karena semua urusan itulah aku harus berjuang untuk hidup, maka aku harus keluar dengan tetap hidup. Entahlah dengan persoalanmu!"   "Seumpama kau tadi sudah ajal di tanganku bagaimana?"   "Kenyataan aku masih hidup! Sepuluh tahun lamanya kau tersekap dalam gua ini kau masih tetap hidup, kenapa?"   Pek-tok Lojin tertunduk lebih dalam. terketuk sanubarinya. Hun Thian-hi berkata pula.   "Selama kita masih hidup, meski hanya satu hari. maka kita harus menjadi manusia, secara baik-baik. Kau tahu apakah manusia itu? Manusia itu adalah yang punya jiwa dan prikemanusiaan, bila seseorang telah kehilangan prikemanusiaan, maka dia bukan manusia lagi."   Mendadak Pek-tok Lojin angkat kepala, matanya mendelik gusar kepada Thian-hi desisnya.   "Kau sedang memberi pengajaran kepadaku?"   "Kau tersinggung?"   Ujar Thian-hi tawar.   "Aku tidak tahu asal-usulmu, tidak tahu karaktermu, mana bisa aku menyinggung kau?"   Sampai disini ia menepekur sebentar lalu sambungnya.   "Kau pun tidak tahu riwayat hidupku. Ketahuilah ayahku menjadi korban secara konyol karena memiliki Badik buntung, akhirnya beliau meninggal di tangan Mo-bin Suseng."   Dengan kalem lalu ia menceritakan pengalaman hidupnya selama ini.   Pek-tok Lojin mendengarkan dengan seksama, hatinya mulai tergugah, lambat laun ia seperti baru siuman dari tidurnya yang pulas dan masih ragu-ragu akan impian yang dialaminya.   dalam tidur pulasnya itu.   Dia masih belum mau percaya begitu saja akan ketulusan hati Thian-hi menceritakan segala urusan yang melibatkan dirinya dengan panjang lebar.   Tapi keadaan mau tidak mau mengharuskan dia mesti percaya.   Segala urusan sampai yang paling mendetail semua diceritakan oleh Hun Thian-hi tanpa malu-malu, satupun tiada yang disembunyikan.   Begitulah dalam pendegaran itu, hatinya pun ikut bergejolak akan situasi Kangouw yang timbul tenggelam, ia merasa kuatir pula akan urusan dirinya yang masih mengganjal dalam sanubarinya Ia merasa masih banyak urusan atau pekerjaan yang harus segera ia lakukan.   Sesaat lamanya cerita Hun Thian-hi berakhir, sambil tertawa ia menambahkan.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Adalah sangat gampang bagi seorang manusia untuk berbuat kelewat batas diluar kesadarannya, sebuah urusan yang dianggap sepele atau tidak berarti bagi orang itu, dapat meninggalkan kesan yang mendalam dan diukir di lubuk hati orang lain. Umpamanya aku dengan menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi sekaligus kubunuh puluhan jiwa manusia, tatkala itu aku merasa aku tidak berdosa, mungkin tujuanku melulu untuk membela diri dan demi keselamatan jiwa, tapi orang lain sebanyak puluhan orang harus dikorbankan, seumpama mereka tidak menyesali perbuatanku, aku pun akan menyesal dan selalu menjanggal dalam sanubariku. yang jelas keluarga atau sanak famili orang-orang yang menjadi korban itu akan membenci dan dendam kepadaku selama hidup ini!"   Pek-tok Lojin menepekur diam, agaknya benaknya mulai menyadari akan perbedaan antara baik dan buruk, asal kita berbuat berlandaskan kebenar-benaran dengan kebijaksanaan pula, dengan adanya cinta kasih bagi sesama umat manusia pula, orang akan tergugah dari pikiran sesatnya dan kembali ke jalan benar-benar.   Dengan tertawa Hun Thian-hi menandaskan.   "Aku harus keluar, bagaimanapun akibatnya!."   Pek-tok Lojin menunduk, tekad Hun Thian-hi begitu besar, membuat hatinya merasa sesal dan terketuk, akhirnya ia membuka mulut dan tersenyum, katanya.   "Sepuluh tahun yang lalu waktu aku meninggalkan rumah, keluargaku melarang aku kemari, tapi akhirnya aku kemari juga. Diwaktu aku terkenang pada mereka, mereka sudah tidak berada di sampingku lagi!"   Mendengar ucapan dan sikap Pek-tok Lojin, sungguh berjingkrak hati Thian-hi katanya.   "Mengandal kekuatan kita bersama, mungkin dapat menjebol keluar gua."   Pek-tok Lojin menunjuk memandangi si ular putih kecil yang melingkar di tanah, sambil menghela napas ia ulapkan tangannya ke arah si ular putih serta berkata.   "Kau masuklah, aku hendak pergi, kelak kutengok disini."   Ular kecil putih itu seperti bisa mendengar ucapan manusia, ia berputar satu lingkaran di bawah kaki Pek-tok Lojin sambil menengadahkan kepalanya lalu melata masuk ke dalam gua yang dalam dan gelap sana.   Setelah melihat si ular putih itu menghilang, Pek-tok Lojin menghela napas panjang, keadaan memaksa dia harus meninggalkan tempat ini, mendadak merasa kepercayaan pada dirinya bertambah kuat dan teguh, seolah-olah ia sudah mendapat firasat dan yakin benar-benar bersama Hun Thian-hi mereka akan dengan mudah bebas dari kurungan.   Akhirnya ia berpaling ke arah Thian-hi, katanya.   "Baik, mari kita berangkat!"   Hun Thian-hi tertawa lebar dan puas, terasa olehnya bahwa sekarang Pek-tok Lojin sudah pulih kembali akan kesadaran kemanusiaannya, seolah-olah ia seperti kehilangan suatu tekanan sehingga hatinya terasa longgar dan enteng.   Sementara racun di lengan tangannya pun sudah lenyap dan sudah pulih seperti sediakala.   Begitulah mereka beranjak keluar, dia belum tahu apakah mereka bakal mampu menerjang keluar dari kepungan yang ketat dalam gua yang penuh alat2 rahasia, tapi mereka harus mencoba dan berjuang.   Setelah Tok-sim-sin-mo memancing dan menjebak Hun Thian-hi masuk ke jalan rahasia itu, akhirnya ia meloloskan diri melalui jalan rahasia lainnya, sambil mengulum senyum kemenangan dan sinis ia tinggal pergi, ia tahu akan tabiat Pek-tok Lojin kalau Hun Thian-hi masuk ke sana jelas kematianlah yang bakal menimpa dirinya, apalagi.   muka Pek-tok Lojin sudah dikelupas dan diganti dengan kulit muka Giok-yap Cinjin, dalam keadaan kaget dan ketakutan melihat keadaan yang seram itu, bukan mustahil Hun Thian-hi mesti terbunuh oleh Pek-tok Lojin yang ganas itu.   Begitulah sambil berpikir2 dengan keriangan hatinya langsung ia melangkah ke kamar tahanan Coh Jian-jo.   Kira-kira beberapa kejap kemudian, waktu ia tiba di sebuah jalan lorong yang lurus, dilihatnya Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho berlari-lari mendatangi tergesa-gesa, kontan ia mengerut alis, cepat Bing-tiong-mo-tho maju memberi hormat serta memberi lapor.   "Pangcu! Hun Thian-hi sudah menyelundup masuk di Jian-hud-tong!" Tok-sim-sin-mo menyapu pandang mereka, katanya.   "Dia sudah kupancing menuju ke tempat Pek-tok Lojin, mari kita tengok keadaan Coh Jian-jo!"   Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho saling pandang dengan terkejut, mereka terbungkam seribu basa, betapapun Tok-sim-sin-mo jauh lebih hebat dan lihay dalam segala tindak tanduk, begitulah mereka mengintil di belakang orang.   Waktu mereka sampai di kamar batu itu, tampak Coh Jian-jo sedang duduk terpekur entah memikirkan apa.   Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo maju menghampiri, katanya menjengek dingin.   "Coh Jian-jo! Pek-tok-hek-liong-ting buatanmu itu sungguh baik sekali, ja, aku harus berterima kasih kepada kau. Apakah kau pernah memikirkan cucumu perempuan?" Nadanya sinis matanya berapi-api mengunjuk hawa membunuh. Pelan-pelan Coh Jian-jo bangkit sahutnya.   "Hal itu sejak mula memang kuketahui, meski aku tahu cara membuatnya, tapi baru pertama kali itu kupraktekkan pembuatannya bukan mustahil ada kekurangannya."   Tiba-tiba telapak tangan Tok-sim-sin-mo melayang dan "Plok"   Coh Jian-jo ditamparnya sampai tersungkur jatuh, mulut Tok-sim-sin-mo mendesis dengan kejam.   "Benar-benarkah begitu?"   Perlahan-lahan Coh Jian-jo merangkak bangun, dengan bungkam ia berdiri tegak. Tok-sim-sin-mo menj i katanya.   "Tidak menjadi soal bila kau ingin modar, tapi kau harus ingat cucumu perempuan berada ditanganku, hati-hatilah aku bisa menyiksanya dengan berbagai alat kompes, tahu!"   Raut mata Coh Jan-jo berkerut-kerut dan gemetar, katanya.   "Kau tak perlu berlaku kasar padaku, bila kau baik kepadanya, aku akan bekerja lebih baik bagi kau, persetan dengan orang lain yang terang kau harus baik-baik terhadap cucuku."   Biji mata Tok-sim-sin-mo jelalatan, katanya.   "Jangan kau main-main dengan aku, bila hasilnya tidak memuaskan, akan kupertontonkan kepadamu betapa dia menderita!"   Ternyata Coh Jan-jo menyahut dengan tawar.   "Hun Thian-hi memperoleh Wi-thian-cit-ciat-sek, meski sekarang belum sempurna latihannya sehingga Lwekangnya tidak bisa disalurkan sampai puncak tertinggi, tapi kau sendiri punya perhitungan dan tahu benar-benar lambat atau cepat Pek- tok-hok-liong-ting tidak akan dapat melawannya. Jikalau aku tidak bantu kau, kau akan roboh dan jatuh di tangannya."   Mendengar nada ucapan Coh Jan-jo mendadak berubah begitu ketus jauh berlainan dengan sikapnya semula, Tok-sim-sin-mo rada diluar dugaan, namun dasar cerdik terpikir olehnya dengan sikap Con Jian-jo yang aneh ini, pasti dia mempunyai suatu rahasia yang belum diketahui orang lain, kenapa aku tidak memanfaatkan tenaga dan pikirannya demi kepentinganku? Serta merta ia tertawa menyeringai lagi, ujarnya.   "Sayang ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek sekarang sudah mampus!"   Coh Jian-jo tersentak tertegun, ia tunduk termenung tanpa bersuara lagi! "Bagaimana?"   Desak Tok-sim-sin-mo.   "Adakah yang perlu kau beritahukan kepadaku? Kalau tidak segera aku harus segera kembali, ingat cucumu perempuan berada di genggamanku!"   Coh Jian-jo tertawa tawar, katanya.   "Kalau kau mau melulusi satu permintaanku, akan kubuatkan semacam alat rahasia yang teramat jahat dan berbisa pada Kau, para orang-orang gagah di seluruh kolong langit ini tiada seorang pun yang mampu menyelamatkan diri dari serangan buah tanganku ini"   Terpancar sinar terang dari biji mata Tok-sim-kin-mo, katanya.   "Senjata rahasia apa, coba kau sebutkan dulu!"   "Setelah alat rahasia itu dapat kuciptakan, seluruh kaum persilatan di Bulim pasti takkan memberi pengampunan kepadaku, tatkala itu seumpama kau melepas aku pergi, akupun takkan dapat keluar seorang diri. Tapi hanya satu pengharapanku kepada kau, lepaskan cucuku perempuan. sungguh aku akan sangat berterima kasih kepadamu!"   Tok-sim-sin-mo terkekeh-kekeh, sejenak ia berpikir lalu katanya.   "Kau katakan dulu barang apakah ciptaan barumu itu?"   "Tidak!"   Sahut Coh Jian-jo menggeleng kepala. Kali ini aku tidak akan sebutkan lebih dulu!"   Tok-sim-sin-mo tertawa kering, katanya.   "Kau harus tahu. sekarang kaulah yang memohon kepadaku bukan aku yang meminta2 kepada kau, sedang cucu perempuanmu masih di tanganku, ingatkah kau!"   "Aku tidak akan dapat kau ancam pula sekarang. kau sendiri akan paham, selamanya adalah kau yang meminta2 kepadaku, soalnya karena kau tangkap cucuku untuk dijadikan sandera belaka. Seumpama benar-benar Hun Thian-hi sudah meninggal, toh aku bukan tidak tahu orang pandai dan lihay di dunia ini bukan melulu dia seorang. Terutama Ka-yap Cuncia belum lagi muncul, Bu-bing Loni kau jauh bukan tandingannya. meski jiwamu seorang dapat kau pertaruhkan atas jiwa kita kakek dan cucu tapi cobalah kau berpikir sekali lagi atau akan kutunggu sampai kau berpikir dua belas kali."   Berkilat-kilat sorot kekejaman dimata Tok-sim-sin-mo, dengan geram ia membanting kaki, dengusnya.   "Urusan tidak segampang seperti yang kau katakan, aku boleh mati ditangan Ka-yap Cuncia, atau terbunuh oleh Bu-bing Loni, tapi mungkin cucumu bisa segera mampus dihadapanmu."   Coh Jian-jo rada terpengaruh akan ancaman ini, katanya sember.   "Kau pun tahu Ka-yap Cuncia selamanya tidak membunuh orang, bila dia meringkus kau, mungkin kau bisa disekap lagi selama lima puluh tahun!"   Biji mata Tok-sim-sin-mo semakin mendelik gusar, desisnya.   "Kau sangka aku bakal tunduk akan ancamanmu?"   "Aku tidak tahu apakah kau bakal menyerah,"   Ujar Coh Jian-jo.   "Tapi bila kau melebarkan pandanganmu mungkin kau akan berbuat menurut usulku!"   "Coba kau terangkan dulu, senjata rahasia macam apa?"   Sesaat Coh Jian-jo beragu, akhirnya ia membuka mulut.   "Namanya Kiu-siau-biat-hun-tan! Terbikin dari bahan pembakar yang paling ganas, tiada seorang pun yang kuat bertahan dari semburan api yang dahsyat." "Baik. sesaat berpikir Tok-sim-sin-mo lantas menyetujui.   "Sekarang juga kusiapkan peralatannya, besok dapat kau mulai bekerja" lalu ia menyeringai dingin dengan penuh kemenangan, bergegas ia membalik terus tinggal pergi. Setelah Tok-sim-sin-mo pergi Coh Jian-jo menghela napas, dilihat dari sikap orang terang dia tidak punya ketulusan hati sesuai dengan janjinya, entah apa pula alasan yang diajukan besok pagi, urusan sudah telanjur sedemikian jauh, inilah tindakan terakhir bagi jalan yang harus ditempuh dirinya, jikalau tidak berhasil terpaksa ia harus berbuat menurut rencana, begitulah sambil berpikir2 ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Betapapun Tok-sim-sin-mo tidak perlu disangsikan akan keculasan hatinya, kelihatannya memang dia rada mengalah, namun bukan mustahil dia memang punya rencana dan caranya sendiri. Dia tahu bahwa yang dikuatirkan Coh Jian-jo melulu keselamatan cucunya perempuan, bila cucunya dilepas jadi dia tidak punya kekuatiran pula, maka selanjutnya tidak perlu membuat segala peralatan untuk dirinya. yang terpenting sekarang ia harus cepat bertindak, kelihatannya sikap Coh Jian-jo mulai ketus dan teguh pendirian, kalau salah langkah pasti segalanya akan menjadi runyam, bukan mustahil pula orang akan rela gugur bersama!"   Cepat sekali, hari kedua sudah tiba, disaat Coh Jian-jo masih mondar-mandir berpikir2 Tok-sim- sin-mo sudah mendatangi. Segera ia perintah anak buahnya meletakkan segala peralatan di pinggir kamar, lalu berkata pada Coh Jian-jo.   "Silakan sekarang kau mulai bekerja!"   Coh Jian-jo malah tinggal duduk tenang tanpa bersuara, dengan tenang ia pandang Tok-sim- sin-mo.   Hatinya mulai gundah, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan menepati janjinya, dengan kesabaran dan ketenangan ia duduk ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan Tok-sim- sin-mo.   Semalam suntuk ia tidak pejamkan mata, betapapun ia tidak boleh mundur setapakpun dari urusan ini! Tok-sim-sin-mo menyeringai, katanya.   "Kau persoalkan cucumu perempuan bukan? Biar kuberitahu padamu, tidak mungkin kulepas dia!"   Coh Jian-jo mandah tertawa hambar tak bersuara.   "Bila kulepas dia tiada membawa manfaat bagi kau, sewaktu2 aku bisa menangkapnya kembali, apalagi bila dia tidak tergenggam olehku, maukah kau membuatkan peralatan senjata rahasia itu kepadaku?"   "Persetan bagaimana kelak jadinya yang terang sekarang juga kau harus melepas dia pergi, segala urusan aku tidak perlu urus dan tidak mau tahu."   "Besok kuringkus dia kembali, kau tidak mau peduli?"   "Itupun tiada halangannya!"   Tok-sim-sin-mo melangkah kehadapan Coh Jian-jo, ancamannya.   "Jangan kau main-main dengan tipu daya kepadaku, kau tahu, aku tidak bakal tertipu olehmu!"   "Mau tidak kau melepas cucuku terserah pada kau. Tapi kelak bila Kiu-siau-biat-hun-tan terjadi pula kerewelan jangan kau salahkan aku!"   Bukan kepalang gusar Tok-sim-sin-mo kontan tangannya terayun, Coh Jian-jo kena dihantamnya roboh telentang di tanah.   Bersamaan itu terdengar suara gemerincing, Tok-sim-sin-mo berseru heran, dilihatnya sebuah serangka pedang pendek menggeletak di tanah, sambil menyeringai dingin pelan-pelan dijemputnya, katanya tertawa lebar.   "Ternyata serangka Badik buntung berada di tanganmu. Tapi diluaran sana sedang geger saling berebutan karena barang ini!"   Pukulan Tok-sim-sin-mo cukup keras, sekian lamanya Coh Jian-jo rebah di tanah, sesaat lamanya baru pelan-pelan merangkak bangun lagi.   "Hayo cepat kerjakan,"   Bentak Tok-sim-sin-mo.   "Kalau tidak awas akan kubeset kulit cucumu, kau tahu, aku dapat berbuat sesuai dengan ancamanku."   Melihat Badik buntung jatuh ke tanah Tok-sim-sin-mo sungguh Coh Jian-jo sangat menyesal.   Kenapa ia tidak beritahukan saja rahasia di dalam sarung Badik buntung itu kepada Hun Thian-hi, sekarang terjatuh ke tangan manusia durjana ini, dia pasti akan memaksa pula, aku membocorkan rahasianya, bagaimanakah baiknya? Tok-sim-sin-mo mengamat-amati sarung Badik buntung dengan seksama, akhirnya ia menyeringai senang, katanya.   "Coh Jian-jo, orang yang mengetahui rahasia Ni-hay-ki-tin mungkin cuma kau seorang, banyak orang saling memperebutkan sarung badik ini, aku tidak perlu capai mengeluarkan tenaga, soalnya kau berada di tanganku, sekarang."   "Bahan bakar Kiu-siau-biat-hun-tan perlu diramu dan diaduk sembilan kali, cobalah kau saksikan hasil buatanku yang pertama, bila kau merasa puas silakan kau bebaskan cucuku, sebaliknya bila hasil kerjaku tidak memuaskan terserah apa yang kau hendak lakukan terhadapnya, setuju?"   Tok-sim-sin-mo berpikir sebentar, katanya.   "Baik, syaratmu ini dapat kusetujui, memang jalan inilah satu-satunya yang harus ditempuh. Tapi aku berpendapat ada lebih baik bila dia kubawa kemari supaya dekat dengan kau?"   "Tidak perlu, aku tidak perlu dia berada disini!"   Berubah air muka Tok-sim-sin-mo, tanyanya.   "Kenapa? Apakah kau punya sesuatu rencana keji?"   "Dia masih merupakan gadis kecil yang hijau, setiap hari harus hidup dalam kegelapan dan dalam kamar tahanan yang lembab, kukira kurang baik bagi kesehatannya."   "Sebaliknya aku berpendapat lain!"   Jengek Tok-sim-sin-mo lalu ia ulapkan tangannya keluar serta berteriak.   "Gusur cucunya kemari, biar mereka kakek dan cucu bersua disini!"   Seringainya lebih sadis, ia mendekat lagi serta katanya.   "Sekarang tibalah saatnya kutanyakan soal rahasia Ni- hay-ki-tin itu, sebenar-benarnya dimanakah tersimpan Ni-kay-ki-tin itu, cepat beritahu kepadaku!"   "Sarung badik buntung ini adalah peninggalan leluhurku,"   Demikian sahut Coh Jian-jo tertawa ewa.   "Tapi baru beberapa hari yang lalu Hun Thian-hi memberikan kepadaku, aku belum lagi membukanya, darimana aku bisa tahu?"   "Takdir sudah menentukan aku bakal sukses, tak mengapa kau tidak mau buka mulut, coba nantikan bila cucumu perempuan sudah diantar kemari!"   Coh Jian-jo berjalan dua lingkaran dalam kamar itu, ia insaf bahwa ia harus nekad melaksanakan tekadnya. Sementara terdengar pula Tok-sim-sin-mo berkata.   "Jangan kau mengatur tipu dayamu terhadapku, cucumu perempuan berada di tanganku, bila sampai terjadi hasil kerjamu kurang memuaskan atau kurang sempurna, cucumulah yang akan menerima akibatnya!"   Baru saja kata-katanya habis diucapkan, dari luar pintu terdengar seseorang menyanggah.   "Belum tentu!"   Tok-sim-sin-mo tersentak kaget.   cepat ia memutar tubuh, tampak di ambang pintu kamar tahanan itu berdiri tegak Hun Thian-hi, di sampingnya berdiri pula seorang gadis remaja berpakaian kuning, dia bukan lain adalah cucu Coh Jian-jo yang bernama Coh Siau-ceng! Sudah jamak kalau Tok-sim-sin-mo merasa kaget karena ia menyangka Hun Thian-hi pasti mampus di dalam gua sana, sungguh diluar dugaannya bahwa mendadak Hun Thian-hi muncul dihadapannya laksana setan gentayangan.   malah menolong keluar pula cucu Coh Jian-jo dari tempat kurungannya yang terjaga kuat dan terahasia.   itu.   Setelah menenangkan hati dan gejolak darahnya, ia menyeringai dua kali lalu katanya dingin.   "Hun Thian-hi, kiranya kau belum mampus!"   "Benar-benar!"   Sahut Hun Thian-hi mendengus.   "Aku tidak mati, diluar dugaanmu bukan? Bukan saja tidak mati malah sekarang kuberdiri dihadapanmu!"   "Kau beruntung terhindar dari kematian, tapi kau tidak akan mampu lari keluar dari Jian-hud- tong. hari ini kau akan mampus dalam gua ini tanpa ada tempat untuk mengubur kau!"   "Masa begitu gampang? Apakah tidak pernah terpikir oleh kau cara bagaimana aku bisa keluar? Berani kau takabur mengobral bacotmu!"   "Apa bedanya. Setelah kubunuh kau, buat apa memeras keringat memikirkan cara kau lolos keluar! yang jelas kau bakal mati!"   Tiba-tiba Hun Thian-hi menggapai ke samping, katanya.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Coba kau lihat siapa dia!"   Bagai dedemit tiba-tiba Pek-tok Lojin muncul di samping Hun Thian-hi.   Sudah tentu bukan kepalang kejut Tok-sim-sin-mo, begitu hebat terguncang perasaannya sampai ia tersurut mundur.   Sungguh tidak habis terpikir olehnya bahwa Pek-tok Lojin bakal bergabung dengan Hun Thian-hi untuk menjebol kurungan.   Betapa jahat racun Pek-tok Lojin ia tahu betul, ditambah Wi-thian-cit- ciat-sek"   Hun Thian-hi yang tiada taranya itu. mau tidak mau hatinya menjadi ciut dan gentar ketakutan. Pek-tok Lojin batuk2 dua kali lalu menyeringai tawa, serunya.    Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini