Badik Buntung 27
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 27
Badik Buntung Karya dari Gkh "Tok-sim-sin-mo selamat jumpa kembali! Aku akan bertindak menurut budi dan dendam. Cara bagaimana tempo hari kau perlakukan diriku, kurasa masih segar dalam ingatanmu bukan, sekarang tibalah saatnya aku membalas, akan kukupas pula kulit muka dan seluruh tubuhmu!" Tok-sim-sin-mo melangkah mundur setindak saking ngeri mendengar ancaman orang. namun dasar licik ia masih main garang, jengeknya. "Jangan kau lupa, Jian-hud-tong berada dicengkeraman kekuasaanku. dalam waktu singkat bakal ada bala bantuanku yang datang, hati- hatilah kalian, setelah tiba saatnya bukan aku yang mati tapi adalah kalian yang mampus." Pek-tok Lojin melangkah maju mendesak ke arah Tok-sim-sin-mo, tiba-tiba kedua tangannya didorong ke depan menepuk ke arah lawan. Tok-sim menjengek dingin, kedua tangannya pun diangkat terus menyongsong ke depan merangsak juga ke arah Pek-tok Lojin. Tiba-tiba Tubuh Pek-tok Lojin gentayangan seperti hampir roboh, dengan menggunakan langkah Ling-coa-poiu, tiba-tiba tubuhnya menyusup ke dalam angin pukulan musuh, kedua cakar tangannya langsung mengancam kemuka dan tenggorokan orang. Pandangan Tok-sim-sin-mo menjadi kabur dan tahu-tahu Pek-tok Lojin sudah mendesak tiba di depan, hidungnya, keruan kejutnya seperti disengat kala, sebat sekali kakinya menjejak badannya lantas mencelat mundur ke belakang, tapi tak urung baju di depan dadanya kena tercengkeram robek oleh cakar Pek-tok Lojin. Bergidik dan gemetar seluruh tubuh Tok-sim-sin-mo, bulu romanya berdiri merinding. Melihat kedua cakar tangan Pek-tok Lojin yang mempunyai kuku yang panjang dan runcing melengkung penuh ditaburi racun2 berbisa, hatinya menjadi dingin dan merinding. Dulu waktu Pek-tok Lojin melarikan diri, ia mengejar dan akhirnya kebentur mundur karena terdesak oleh siular kecil putih yang lihay sekali itu. Sekarang gerak-gerik aneh dan lucu itu sudah dapat dipelajari oleh Pek-tok Lojin, untuk menempur dan mengalahkannya dalam waktu dekat rasanya bukan soal gampang. Pek-tok Lojin melangkah ke depan, sebaliknya Tok-sim-sin-mo mundur terdesak, Pek-tok Lojin mengejek. "Kiranya kau pun tahu rasanya ketakutan sekarang?" Dalam pada itu Coh Jian-jo sudah memburu ke depan saling berpelukan dengan cucunya Coh Siau-ceng dan bertangisan gerung-gerung. Cepat Hun Thian-hi berkata. "Sebentar lagi pasti ada orang datang, mari lekas kita mundur." Baru saja ucapannya selesai, didengarnya derap langkah orang banyak berlari mendatangi, Keruan Thian-hi terperanjat, tahu dia bahwa orang-orang yang tadi kena mereka tutuk jalan darahnya itu sekarang sudah keburu datang bersama kawan2nya yang lain. Mendadak Tok-sim-sin-mo mendongak dan bergelak tawa. Pek-tok Lojin mendengus ejek. "Hidupku sudah kebacut hampa, tiada tujuan tiada keperluan, dan yang perlu kuperjuangkan hanyalah mencabut jiwamu! Anak buahmu datang pun tak berguna, yang terang kau bakal mampus ditanganku." Tok-sim-sin-mo memusatkan perhatian dan mengerahkan tenaga. dengan waspada ia hadapi musuh dihadapannya ini, sedikitpun tak berani lalai. soalnya bila dia mendapat kesempatan lebih dulu melancarkan dua kali serangan sudah pasti ia dapat mengambil inisiatif pertempuran, dari terdesak menjadi dipihak yang mendesak dan menang. Tiba-tiba Pek-tok Lojin bergerak pula dengan langkah gentayangan dan badan berlegat-legot menyerupai gerak-gerik ular, begitu aneh ia bergerak tahu-tahu sudah melancarkan serangannya yang sangat berbahaya. Saking gentarnya Tok-sim-sin-mo mengembangkan kelincahan tubuhnya, sebat sekali ia berloncatan terbang, namun gerak gerik Pek-tok Lojin cukup lincah dan aneh pula, kemanapun Tok-sim-sin-mo melejit menghindar selalu diikuti dengan ketat, bagaimana juga ia tidak mampu lolos dari kejaran dan ancaman elmaut. Seperti layaknya seekor anjing yang kepepet dan dihajar pun akan nekad berani melawan dan menggigit majikannya. Demikianlah keadaan Tok-sim-sin-mo, dalam ruang kamar yang tidak begitu besar ia menjadi kelabakan lari pontang-panting seperti tikus dipermainkan kucing, akhirnya ia nekad dan menghardik keras, berbareng kedua telapak tangannya memukul sekuat tenaga kemuka dan perut Pek-tok Lojin. Mulut Pek-tok terdengar mengeram, tubuhnya berkelebat menghilang tahu-tahu melejit tiba di belakang Tok-sim-sin-mo, dengan cara penyerangan yang aneh, ia menyerang sambil membelakangi badan dan yang diarah adalah panggung Tok-sim-sin-mo pula. Begitu mendadak merasakan angin kencang melandai dari belakang, lagi-lagi Tok-sim-sin-mo berjingkrak kaget dibuatnya, sebetulnya ia sudah siap melompat mundur bila serangannya tidak membawa hasil, dan sekarang terpaksa dia harus menghindar ke depan, memang keadaan yang tegang dan membahayakan jiwanya ini memaksa dia harus menjatuhkan diri ke depan. Begitu Tok-sim-sin-mo roboh menyentuh tanah, Pek-tok mengira bahwa serangannya telah mengenai sasaran, ternyatalah Tok-sim cukup licik dan cerdik menghindar dengan cara yang tak terduga. Keruan gusarnya bukan kepalang, dengan sengit ia angkat kakinya kanan terus mendepak ke belakang dan telak sekali tubuh Tok-sim kena didepak mencelat terbang, tanpa menghiraukan keadaan tubuh yang luka-luka Tok-sim berusaha mengendalikan tubuh mengerahkan tenaga untuk meluncur turun pula di tanah sehingga tidak terbanting jatuh. Tatkala itu diluar kamar tahanan sudah penuh sesak berjubel anak buah Hek-liong-pang, diantara mereka terdapat Bing-tiong-mo-tho, Biau-biau-cu, Lan-bing-it-hiong dan lain-lain yang setingkat dengan mereka serta kaki tangannya, mereka berusaha menerjang masuk ke dalam kamar batu itu, namun tak berani sembarangan bertindak. Sejenak Hun Thian-hi menerawang situasi, dengan tajam ia awasi mereka, ia insaf hari ini takkan terhindar dari pertempuran sengit, menang atau kalah sulit diduga pula sebelumnya. Kebetulan Tok-sim-sin-mo melorot jatuh di sebelah samping kamar, tubuhnya sebelah kiri bagian yang kena didepak terasa kesemutan, seolah-olah seluruh tulang belulangnya sudah pecah dan berantakan, tapi ia masih bersyukur dalam hati, untung ia kena tedepak oleh kakinya Pek-tok Lojin, bila kena terpukul atau kesentuh tangannya, jiwanya pasti takkan dapat hidup lebih lama lagi. Jarak tempat dimana ia berdiri dengan Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain kira-kira cuma tiga tombak. tapi dia tidak berani meloncat terbang langsung ke arah mereka. soalnya ia tahu luka-luka dalamnya tidaklah ringan, sedikit bergerak pasti dapat diketahui oleh lawan, apalagi bila Hun Thian-hi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyergap dirinya di tengah jalan, celakalah dirinya. Karena adanya perhitungan ini, sambil menahan sakit ia menyedot napas lalu berseru tertawa. "Kalian berempat hari ini jangan harap dapat lolos dari kamar batu ini!" lalu ia mengumbar tawa gelak-gelak. Hun Thian-hi mengawasi terus segala gerak-gerik lawan, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo pasti terluka, entahlah berat atau ringan luka-lukanya itu, cara untuk dapat menyelamatkan diri cuma berusaha meringkus benggolannya ini dan dijadikan sandera baru mereka dapat melarikan diri. Melihat Thian-hi mengamat-amati dirinya, rada bercekat Tok-sim-sin-mo, nelan2 kakinya bergerak menggelemet keluar, tiba-tiba ia mengulapkan tangan, memberi syarat kepada anak buahnya untuk mengepung dan meluruk ke arah mereka berempat. Thian-hi kaget, sekarang ia yakin bahwa luka-luka Tok-sim-sin-mo pasti cukup parah kalau tidak masa dia nekad memberi perintah pada anak buahnya. Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain sudah menubruk tiba, kontan Hun Thian-hi merasa bila ia tidak segera mencegat jalan mundur dan berusaha meringkus musuh utama ini, keselamatan mereka bakal terancam bahaya, kecuali secara mengadu untung dapat membekuk Tok-sim-sin-mo sebagai sandera untuk lolos, tiada cara lain lagi. Cepat ia mengerahkan hawa murni dari pusernya, mulut bersuit panjang, berbareng seruling jadenya terlolos keluar terus teracung miring ke depan melancarkan Wi-thian-ci-ciat-sek, tabir perak terpancar cemerlang. dalam kamar batu itu terus menerjang ke arah Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya. Memang tiada jalan lain kecuali tindakannya yang terpaksa ini, harapannya cuma begitu ia lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, secepat itu pula Pek-tok Lojin dapat menyadari kemana tujuannya, disaat ia membendung serbuan dari luar, dengan kesempatan ini Pek-tok Lojin harus melaksanakan tugasnya membekuk Tok-sim-sin-mo, inilah jalan yang paling sempurna untuk mereka berempat lolos. Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya bukanlah lawan lemah. sebelum Hun Thian-hi melancarkan serangannya, mereka sudah sama-sama melolos senjata, serempak sinar pedang berkelebat gemerlapan, kekuatan bergabung membendung serangan Hun Thian-hi yang hebat itu. Dalam detik-detik yang sangat berharga itu, dalam waktu dekat Pek-tok Lojin tidak bisa menyimpulkan kemana tujuan Hun Thian-hi sebenar-benarnya, sambil menggerung keras ia melejit ke tengah udara terus menerjang ke arah pintu, niatnya membantu Hun Thian-hi namun ditengah jalan lantas ia sadar akan kesalahannya bertindak, cepat ia menekuk tubuh dan mencelat balik. Dilain pihak begitu melihat Hun Thian-hi melancarkan serangannya yang hebat itu lantas Tok- sim-sin-mo dapat meraba kemana tujuan Thian-hi sebenar-benarnya, dasar cerdik sekilas berpikir saja lantas ia mendapat akal, tidak lari keluar sebaliknya ia menubruk ke arah Coh Jian-jo yang masih berpelukan dengan cucunya. Sudah tentu Pek-tok Lojin menjadi kaget luar biasa, sungguh hatinya menyesal akan tindakannya yang salah langkah, kenapa tidak sejak tadi meringkus Tok-sim-sin mo saja. Ternyata Tok-sim-sin-mo dapat bertindak selangkah lebih cepat, dimana tangannya meraih, Coh Jian-jo beserta cucunya kena diseret mepet dinding, dengan menyeringai ia berkata pada Pek- tok Lojin. "Berani kau maju selangkah kedua orang ini akan melayang jiwanya!" Yang paling terkejut mendengar ancaman ini adalah Hun Thian-hi, ia mengeluh bahwa usahanya ternyata gagal di tengah jalan, Coh Jian-jo jatuh ke tangan musuh, apakah mereka berdua harus menyerah dan terima diringkus pula? Apalagi saat mana ia tengah menghadapi tekanan kekuatan besar dari sekelilingnya, setiap kali Wi-thian-cit-ciat-sek dikembangkan, cukup dalam pergeseran gerak serulingnya dalam jarak beberapa mili saja menyalurkan seluruh kekuatan Lwekangnya untuk menyerang musuh, tapi sekarang ia menghadapi tekanan gabungan dari para musuhnya yang teramat hebat dan kuat, sehingga tekanan yang hebat ini menyulitkan dirinya sampai Wi-thian-cit-ciat-sek sulit dikembangkan lebih lanjut. Ia tahu dan insaf bahwa percaturannya telah kalah dan gagal, Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain pun melancarkan rangsakan yang lebih hebat, mereka berusaha menjebol kekuatan Wi-thian-cit- ciat-sek untuk menerjang masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba, berkelebat sebuah pikiran dalam benak Thian-hi. Bukankah Tok-sim-sin-mo masih berada di dalam kamar itu pula, asal orang tidak sampai lolos keluar serta kuat bertahan membendung Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain tidak menerjang masuk, keadaan yang kaku dan sama bertahan ini, akan jauh lebih menguntungkan bagi harapan hidup mereka berempat. Sekilas memperoleh ilhamnya ini, Thian-hi serempak menghardik keras, seruling jadenya menggentak ke atas melancarkan sisa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek yang belum selesai dilancarkan tadi, beruntung ia dapat mendesak Bing-tiong-mo-tho keluar kamar. mulutnya lantas berterlak. "Kalian dilarang masuk kamar, kalau tidak Pangcu kalian segera kubunuh tahu!" Lawan2nya menjadi keder dan sesaat kebingungan. Di belakang sana Tok-sim-sin-mo mengejek tawa. "Hun Thian-hi, kau harus tahu, Coh Jian-jo dan cucunya berada di tanganku, sembarang waktu aku dapat bikin mampus mereka!" Dengan membelakangi Tok-sim-sin-imo. Thian-hi balas mengancam tanpa berpaling. "Masa kau berani?" Suaranya begitu tegas dan penuh rasa kecongkakan, mau tak mau membuat Tok-sim-sin- mo bergidik dan merinding. Tok-sim-sin-mo maklum bila Thian-hi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyerang dirinya, pasti jiwanya bakal melayang, tapi dia mengeraskan kepala berseru ke arah Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain. "Kalian terjang masuk saja, dia takkan berani berbuat banyak!" dalam berkata-kata itu ia sendiri menjadi ragu-ragu, bagaimana akibatnya nanti hal itulah yang ditakutkan. Sementara Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain masih beragu, maju atau mundur mereka susah berkepastian. Ucapan Tok-sim-sin-mo seperti menganjurkan mereka menerjang masuk, tapi kedengarannya juga seperti menjajal reaksi Hun Thian-hi. "Silakan kalian coba-coba." Demikian tantang Hun Thian-hi. Nadanya begitu tegas dan berwibawa, sehingga keberanian Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain untuk maju menjadi sirna. Beruntun Tok-sim-sin-mo menjengek dua kali, ia sudah dapat menerawang situasi, pihaknya berada dalam posisi yang menguntungkan, Hun Thian-hi tidak lebih seperti binatang buas yang terperangkap dalam kurungan, setindak ia salah langkah begitu Hun Thian-hi nekad dan mengadu jiwa untuk gugur bersama. pasti runyam akibatnya. Sebenar-benarnyalah ia hanya menggertak saja, hakikatnya ia tidak suka menyuruh Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain menerjang masuk. Menyusul ia menggoyangkan tangan memberi isyarat kepada Bing-tiong-mo-tho supaya tidak usah masuk kemari, matanya berkilat-kilat ia pandangi punggung Hun Thian-hi, sementara Pek-tok Lojin berdiri di samping sana mengawasi dirinya. Tok-sim-sin-mo tahu untuk mencapai kemenangan secara gemilang terang tidak mungkin. Cara yang terbaik adalah bertahan seperti sekarang, disamping itu mencari daya upaya untuk tetap menahan Coh Jian-jo dan cucunya di lain pihak berusaha mengantar Hun Thian-hi dan Pek-tok Lojin keluar. Atau tetap menahan Pek-tok Lojin pula dan hanya melepas Hun Thian-hi seorang? Tapi soalnya cara bagaimana ia melaksanakan daya pikirannya ini. Ini tergantung cara bagaimana ia dapat menguasai situasi yang dihadapi sekarang. Sebaliknya Hun Thian-hi seorang yang cerdik pandai, kalau Tok-sim-sin-mo dapat berpikir ke arah itu masa Hun Thian-hi tidak berpikir lebih sempurna, apa yang terpikir oleh lawan paling tidak dapat terpikir pula delapan sembilan bagian dari keseluruhan tujuan Tok-sim-sin-mo. Dalam hati ia sedang memperhitungkan, untuk mundur secara sempurna tanpa kurang suatu apa, kecuali ia menunggu sesuatu keajaiban yang bakal muncul secara kenyataan, untuk dapat keluar iapun harus menunggu perkembangan selanjutnya, tindakan apa yang akan dilakukan oleh Tok-sim-sin- mo. Adalah Pek-tok Lojin yang paling menyesal, bila tadi ia bisa bertindak secara cermat dan berhasil membekuk Tok-sim-sin-mo, jelas mereka berempat pasti dapat keluar dengan selamat dan tidak kurang suatu apa, sekarang keadaan menjadi sama bertahan dan entah bagaimana perkembangan selanjutnya. Tok-sim-sin-mo terus memutar otak mencari akal, tiba-tiba ia berkata. "Hun Thian-hi, ingatkah kau sekarang berada di Jian-hu-tong, disini adalah tempat kekuasaanku, kalau bertahan lebih lanjut, keadaan akan lebih memburuk bagi kalian!" "Hal itu aku tidak banyak tahu dan tidak perlu tahu, yang terang sekarang kau berada dikekuasaanku. sembarang waktu aku dapat menghabisi jiwamu!" Keruan Tok-sim-sin-mo menjadi berjingkrak gusar. "Kau berani?" Seringainya geram. "Kenapa tidak berani!" Jengek Hun Thian-hi. "Yang mengganas dan bersimaharaja di dunia persilatan kau yang paling menonjol, kalau bisa melenyapkan manusia semacam kau, terhitung aku telah mendharma baktikan diriku bagi kepentingan masyarakat umumnya, seumpama harus berkorban akupun tidak perlu menyesal." "Mari, boleh kau coba-coba!" Demikian tantang Tok-sim-sin-mo. "Aku berani meluruk kemari sudah tentu tidak kuhiraukan keselamatan diriku, tapi bukan itu maksud tujuanku yang sebenar-benarnya!" Selama bicara itu Hun Thian-hi tetap menghadap ke ambang pintu dan tidak memutar balik menghadapi Tok-sim-sin-mo, Tok-sim-sin-mo menjadi mati kutu, ujarnya. "Manusia mana di dunia ini yang tidak takut mati? Bila aku mati, maka kalian berempat juga akan mampus dengan tiada tempat untuk mengubur kalian, orang mati takkan hidup kembali. dendam ayahmu belum lagi terbalas, kau harus berpikir pula sebelum mengambil keputusan terakhir!" Mendengar ucapan yang terakhir terbayang dalam benak Thian-hi akan wajah Siau-bin-mo-in, tanpa merasa hatinya menjadi pilu. dilain kejap terbayang pula akan wajah Ma Gwat-sian, Ham Gwat. Mukanya masam terpengaruh oleh perasaan hatinya, sesaat ia menjadi terbungkam. Biji mata Tok-sim-sin-mo berjelalatan, ia sedang meraba-raba jalan pikiran Hun Thian-hi, akhirnya pelan-pelan ia berkata lagi. "Apalagi kau satu-satunya ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek kau pula calon utama dari pimpinan kaum persilatan golongan kependekaran yang akan datang. Cuma Wi-thian-cit-ciat-sek pula yang cukup kuat dan berharga dapat menandingi Hui-sim-kiam-hoat yang hebat itu." "Apakah benar-benar seperti katamu?" "Benar-benar atau tidak kau sendiri lebih paham dari aku!" Secara langsung Hun Thian-hi merasakan akan kebenar-benaran kata-kata Tok-sim-sin-mo mengenai dirinya. Bukan mustahil pula Tok-sim-sin-mo sudah merebut serangka Badik buntung dari tangan Coh Jian-jo, sehingga ia berani begitu takabur, kalau tidak tentu dia akan mengukuhi pendapatnya semula dan tidak akan rela melepas dirinya pergi. Dan itu tidak akan menjadi hal yang mustahil pula bila dia sudah mengetahui rahasia Ni-hay-ki-tin itu. Terdengar Tok-sim-sin-smo berkata pula. "Tapi kau pun harus ingat, bahwa kau merupakan musuhku yang paling utama inilah kesempatanku yang paling baik untuk melenyapkan kau dari muka bumi ini. Tapi selama hidup ini aku belum pernah ketemu tandingan yang setimpal, dan kau pulalah justru yang menjadi musuhku yang setanding. Sekarang dengan senang hati dengan kelapangan dadaku kulepas kau keluar, ingin aku mengadu segala kepintaran dan kecerdikan, kutantang kau untuk mengadu kekuatan dalam langkah-langkah selanjutnya, biarlah kenyataan yang menjadi wasit siapa lebih unggul atau asor!" "Kau melepas aku, banyak terima kasih. Tapi kau harus tahu apakah aku sudi melepas kau?" Terdengar Pek-tok Lojin yang berdiam sejak tadi tertawa terloroh-loroh, selama ini hatinya selalu bersitegang leher. Ia kuatir kalau Hun Thian-hi tinggal pergi begitu saja. tanpa hiraukan pula dirinya, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciait-sek tidak mungkin ia bisa menjadi korban secara konyol di tempat ini, betapapun hatinya akan penasaran sekali sekarang setelah mendengar ucapan Hun Thian-hi, mau tak mau ia memuji dan merasa kagum akan sikap Thian-hi, lain hal bila dirinya lolos dulu lebih penting, soal membalas dendam baiklah diperhitungkan kelak. Saking gusar Tok-sim-sin-mo sampai membanting kaki seraya menggeram, serunya. "Kecuali kau ingin melihat Coh Jian-jo dan cucunya kupukul mampus, Kalau tidak kuperingati kepada kau jangan sembarang bergerak!" Coh Jian-jo tertawa getir dengan penuh kesedihan, serunya. "Hun-siauhiap jangan kau hiraukan aku, aku sudah tua renta tak berguna lagi. tapi berulangkali menyulitkan Hun-siauhiap saja!" "Coh Jian-jo!" Bentak Tok-sim-sin-mo. "Jangan lupa pada cucumu perempuan." Bergetar badan Coh Jian-jo, ia melirik melihat ke arah cucunya perempuan, tampak dengan lemah dan penuh ketakutan cucunya sedang angkat kepala memandang ke arah dirinya, cepat Coh Jian-jo tertunduk, katanya dengan suara lirih tak bertenaga. "Aku kuatir justru sekarang kau tidak berani mengganggu usik seujung rambutnya pun!" Tok-sim-sim-mo terkekeh menyeringai mengunjuk gigi2nya yang sudah banyak ompong sekali gentak ia dorong cucu Coh Jian-jo tersungkur jatuh di tanah. Tapi gadis remaja itu tidak mengenal takut malah. dengan mata mendelik dan berapi-api penuh kebencian ia mendeliki Tok-sim-sin-mo. Berubah hebat air muka Coh Jian-jo, tak tertahan lagi air mata mengalir deras, ia berteriak dengan suara gemetar dan tersendat. "Siau-ceng! Siau-ceng!" Betapa pedih dan pilu rasa hatinya. Tiba-tiba Hun Thian-hi membalikkan badan. matanya mendelik tajam ke arah Tok-sim-sin-mo, begitu biji mata Tok-sim-sin-mo bentrok dengan sorot mata tajam Hun Thian-hi, kontan ia merasa bulu tengkuknya merinding, badan gemetar. Sekilas memandang ke arah Coh Siau-ceng Hun Thian-hi lalu berkata dengan suara berat. "Agaknya kau suka memilih untuk gugur bersama dalam kamar ini bersama Kita? Jangan kau beranggapan setelah kubunuh kau lantas kita tak mampu keluar, seumpama memang tidak berhasil, paling tidak anak buah Hek-liong-pang pasti banyak yang menjadi pengiring kita!" Tok-sim-sin-mo menyeringai lebar, sekarang hatinya lebih mantap bahwa Hun Thian-si sudah merasakan punya pertanggungan jawab yang besar, maka ia berkata dingin. "Sangkamu setelah kau bunuh aku kalian masih bisa keluar? Meski Wi-thian-cit-ciat-sek sangat hebat, paling-paling kau baru mempelajari kulitnya belaka, masa kau ingin merebut kemenangan, masih terpaut terlalu jauh!" Tergerak hati Thian-hi, diam-diam ia mengeluh dalam hati, bila Tok-sim-sin-mo diberi angin dan berada di atas angin dalam perang urat syaraf ini, sungguh konyol dan memalukan, pelan-pelan dengan sikap dingin membeku ia mengacungkan seruling jadenya. Tok-sim-sin-mo juga tidak mau unjuk kelemahan, pelan-pelan ia menggeser kaki kirinya mendekat ke arah Coh Siau-ceng, maksudnya bila Hun Thian-hi berani maju selangkah atau banyak bertingkah, Coh Siau-ceng akan segera diinjaknya mampus. Biji mata Hun Thian-hi tidak tenang, sanubarinya sedang bergejolak menghadapi suatu pertempuran lahir dan batin, darah seperti berontak dalam rongga dadanya, diam-diam ia berkeputusan dalam hati, hanya jalan satu-satunya itulah yang harus ditempuh, atau paling sedikit pihak sendiri harus berkorban dua orang, betapapun dalam saat begini dirinya pantang mengunjuk kelemahan. Seruling jade ditangan Thian-hi semakin terangkat tinggi. Semua orang yang hadir sama menahan napas dan tutup mulut, perhatian semua orang terhanyut oleh ketegangan yang melingkup sanubari mereka. Pek-tok Lojin berkilat biji matanya, diam-diam ia menerawang situasi sekeliingnya, kegagalannya tadi merupakan suatu pengalaman pahit yang harus ditebus mahal dengan perkembangan yang berbuntut seperti keadaan sekarang ini, maka sekarang ia harus meningkatkan kewaspadaannya, ia harus menjaga dan bila perlu mengadu jiwa andaikata Bing- tiong-mo-tho dan lain-lain menerjang masuk. Coh Jian-jo sudah tak kuasa berdiri lagi, matanya dipejamkan dengan mengalirkan air mata, kaki Tok-sim-sin-mo sudah terangkat tinggi di atas jidat Coh Siau-ceng, Coh Siau-ceng sendiri rebah celentang tak bergerak, kedua biji matanya dengan penuh ketekadan dan keberanian yang menyala-nyala mendelik kepada Tok-sim-sin-mo. Rona wajah Hun Thian-hi memperlihatkan keteguhan hatinya, tiba-tiba mulutnya bersuit melengking panjang, pergelangan tangannya rada ditarik menekan kebawah. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekonyong-konyong Tok-sim-sin-mo merasakan hatinya seperti tertekan berat dan dilumuri ketakutan yang luar biasa, ia yakin benar-benar seyakin2nya bahwa Hun Thian-hi tidak akan berani melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, tapi ia tidak kuasa menerima rasa ketakutan yang luar biasa ini, memang gampang saja bila dia mau sedikit tenaga saja cukup menamatkan jiwa Coh Siau-ceng, namun ia tidak berani membayangkan apa akibat dari perkembangan selanjutnya. Seluruh tubuhnya menjadi basah kuyup oleh keringatnya dingin, tiba-tiba ia berseru keras. "Nanti dulu!" Hun Thian-hi menunda gerakan tangannya, telapak tangannya pun sudah basah oleh keringat, dia sendiri juga menyadari akibat apa yang bakal dihadapi, soalnya keadaan sudah kepepet kecuali ia berani bertindak secara drastis pihaknya tidak akan menang. Disebelah sana Tok-sim-sin-mo sudah menarik turun kakinya, baru pertama kali ini ia kena dikalahkan dalam situasi yang tegang ini, ia menjadi patah semangat dan lesu serta uring-uringan, katanya menjengek. "Hari ini terhitung kau yang menang, apa maumu? Coba kau katakan!" "Mari kita adakan pertukaran yang adil, kami tidak akan mempersukar kau, dan kaupun harus melepas kami berempat keluar dari Jian-hud-tong!" "Apakah pertukaran ini kau anggap adil?" "Dengan mempertaruhkan jiwa ragamu, masa kurang setimpal?" "Aku tidak punya jiwa yang sedemikian besar dan berharga!" Thian-hi terdiam, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan mau menyetujui usulnya, ia lantas berpikir, bila tadi waktu berada di atas angin lantas aku bertindak lebih lanjut mungkin hasilnya bakal diluar dugaan. Maka dengan tertawa tawar ia berkata. "Akupun tahu kau tidak setimpal dan tidak berharga bagi aku, tapi masa tidak berharga bagi kau sendiri?" Terkilas senyum dikulum mulutnya. "Jangan kau lupa Coh Jian-jo dan cucunya masih berada digenggamanku, bila kau tidak merasa gentar dan memikirkan keselamatan mereka, cobalah sekarang kau bertindak!" "Agaknya kau memang keras kepala dan mengukuhi pendapatmu, tidak menjadi soal untuk mencobanya sekali lagi!" Tok-sim-sin-mo mengawasi Hun Thian-hi dengan cermat, dalam hati ia mereka-reka, apakah kata-kata Hun Thian-hi betul-betul berani dilaksanakan ataukah melulu gertakan sambel belaka? Kalau dirinya mengukuhi dan tak mau mengalah, apakah dia bakal berlaku nekad tanpa memikirkan akibatnya? Dia tenggelam dalam pemikiran dan pertimbangan, soalnya gebrak selanjutnya merupakan langkah yang menentukan bagi mati hidupnya. Sementara Hun Thian-hi sendiri juga sedang menerawang, entah apa yang sedang dipikirkan oleh Tok-sim-sin-mo, akhirnya ia bersuara. "Suheng Ka-yap Cuncia yang bergelar Ah-lam Cuncia sekarang sudah muncul, ilmu silatnya pun sudah pulih kembali, kau tak usah menguatirkan aku tiada seorang yang dapat menguasai Bu-bing Loni, bila Ah-lam Cuncia sudi mengulurkan tangannya, dua orang Bu-bing Loni juga tidak perlu ditakuti lagi!" Bercekat hati Tok-sim-sin-mo, sedapat mungkin ia tekan gejolak hatinya supaya tidak sampai kentara pada roma wajahnya, ia berpikir sekarang tinggal beberapa langkah permainan caturku saja bila terus kujalankan, dunia persilatan bakal geger, soalnya cara bagaimana ia bisa keluar dengan selamat dan tidak kurang suatu apa. Bab 28 Teringat akan langkah-langkah permainannya Tok-sim-sin-mo jadi menyesal, kenapa ia pancing Hun Thian-hi ke tempat Pek-tok Lojin, sekarang segala rencananya semula gagal total malah. Begitulah ia berpikir2, mendadak ia tersentak sadar kenapa aku berpikiran tidak karuan, yang penting bagaimana aku harus menghadapi kenyataan di hadapanku ini? Maka ia angkat kepala meanandang ke arah Hun Thian-hi, Katanya kalem. "Kalau begitu bila kulepas kau, bukankah keselamatan jiwaku malah terancam bahaya?" "Lalu bagaimana menurut kemauanmu?" "Kau seorang tokoh Bulim kelas wahid, demikianlah aku pula, mari jadikan pertukaran antara aku dan kau saja, akan kuantar kau keluar dari Jian-hud-tong!" "Demikian saja?" Ejek Hun Thian-hi. "Umpama usulmu ini kuterima, apakah kau tidak beranggapan tindakanmu ini malah lebih menguntungkan bagi aku?" Tok-sim-sin-mo terbungkam. diam-diam ia mengakui akan kecerdikan Hun Thian-hi, sungguh ia merasa kaget dan heran akan diplomasi Hun Thian-hi yang cukup lihay ini, sesaat ia menjadi terbungkam tak kuasa menjawab. Hun Thian-hi menarik muka lalu melanjutkan. "Menguntungkan bagi aku, tapi sangat tidak adil bagi mereka bertiga!" Lalu ia tuding ke arah Pek-tok Lojin, sambungnya. "Bila kau bikin dia gusar, lalu menyerang pula kepada kau aku yakin kau bakal konyol pada detik-detik yang mendatang!" Ia menyeringai dingin dan sinis, katanya pula. "Kalau begitu bukankah kau terlebih rendah menilai dirimu sendiri?" "Agaknya kau tidak sudi gugur bersama, marilah kita cari jalan atau penyelesaian lainnya. Marilah kita bicara terus terang. dan sebelumnya perlu kutandaskan bila mau kulepas paling banyak cukup dua orang saja, yaitu kau dan Pek-tok Coh Jian-jo berdua harus tetap tinggal disini, aku masih memerlukan tenaga mereka." Hun Thian-hi tertawa besar serunya. "Sungguh menggelikan ucapanmu ini, kalau begitu kami menjadi kena dirugikan seorang. tadi bila kami bertiga tidak muncul kemari bagaimana kau selanjutnya?" "Bicaramu jangan begitu muluk2, seumpama kalian tidak kemari, betapapun tidak mungkin kalian bisa keluar dengan selamat dari gua ini, apa lagi bertiga!" "Belum tentu, aku mampu menolongnya keluar sudah tentu aku punya caraku untuk mengantarnya keluar!" Tok-sim-sin-mo terdiam lagi. dalam hati ia sudah berkeputusan untuk bertindak menurut rencananya, kalau tidak ia bakal kehilangan segala miliknya. Andai itu sampai terjadi sungguh merupakan Suatu hal yang luar biasa. Hun Thian-hi tertawa tawar pula, katanya. "Kenyataan aku telah muncul bers;ma. malah terkurung di dalam kamar batu ini, tujuanku kemari demi tolong Coh Jian-jo tapi tidak berhasil. Musuh sasaran yang utama adalah aku, menurut hematku biarlah aku saja yang tinggal disini dan biarkan mereka bertiga keluar, bagaimana?" Dengan gusar Tok-sim-sin-mo terkekeh dua kali, ujarnya. "Bicara terus terang tindakkanmu ini hanya cuma merintangi aku supaya Ni-hay-ki-tin tidak terjatuh ketanganku bukan!" Ia merendek sebentar, ujung mulutnya Menyungging senyum sinis lalu menyapu pandang ganti berganti antara Hun Thian-hi dan Pek-tok Lojin, katanya. "Tudiuanku hari ini adalah untuk menemukan Ni-hay-ki-tin itu, jikalau aku bisa memperoleh Ni-hay-ki-tin apa pula yang perlu kutakuti terhadap kalian. Jikalau sebaliknya akupun sudah insaf sulit untuk dapat bercokol selamanya di Bulim. harapanku terlalu kecil. Maka aku harus menahan Coh Jian-jo berdua disini, kalian berdua boleh silakan pergi." "Enak benar-benar kau putar bacot, ketahuilah seluruh manusia dikolong langit ini tidak akan mandah membiarkan kau melaksanakan angan2mu yang gila itu." "Sekarang aku bisa memberi kelonggaran dengan langkahku yang terakhir. cucu Coh Jian-jo ini boleh kau bawa serta, tapi aku tidak akan mengalah lagi, coba kau pikir2 dulu!" Hun Thian-hi maklum setelah mengalah dan memberi kelonggaran sedemikan banyak, betapapun Tok-sim-sin-mo tidak akan sudi mundur lagi, lalu bagaimana ia harus bertindak selanjutnya? "Hun-siauhiap!" Seru Coh Jian-jo biji matanya berkilat-kilat. "Sudah kau setujui saja, aku tidak akan membocorkan rahasia Ni-hay-ki-tin itu kepadanya!" Hun Thian-hi menunduk, hatinya merasa hambar, ia tahu bahwa penyelesaian inilah yang paling sempurna bagi mereka berdua, iapun yakin bahwa Coh Jjan-jo tidak bakal membocorkan Ni-hay-ki-tin kepada Tok-sim-sin-mo, tapi bila ia harus tinggal pergi begini saja, betapapun hatinya tidak tenteram. Waktu ia menunduk sorot mata Coh Siau-ceng justru bentrok dengan pandangannya, sinar matanya penuh mengandung permohonan, meski ia tidak bicara, tapi rasanya ia memohon supaya Hun Thian-hi cepat bertindak. Hun Thian-hi masih beragu sesaat lamanya, akhirnya ia angkat kepala ke arah Tok-sim-sin-mo. "Bagaimana?" Tanya Tok-sim-sin-mo dengan pandangan dingin. "Apa boleh buat akhirnya Hun Thian-hi manggut-manggut, baru saja ia manggut lantas ia merasakan suasana yang ganjil, dilihatnya sorot mata Tok-sim-sin-mo begitu terpengaruh oleh perasaan hatinya, apakah dia mempunyai muslihat keji? Atau mungkin dia punya pegangan untuk mengompes Coh Jian-jo supaya membocorkan rahasia Ni-hay-ki-tin itu? Dengan nanar ia pandang Tok-sim-sin-mo. Tampak biji mata Tok-sim-sin-mo mengunjuk sinar aneh dan kejut. secara tiba-tiba pula Hun Thian-hi merasa ada seseorang telah berada diambang pintu kamar. sigap sekali ia membalikkan tubuh. Muncul sebuah bentuk manusia yang sangat dikenalnya. hatinya berdetak keras. orang ini muncul disini secara mendadak. keruan hatinya sangat kaget. Jang lebih terkejut justru Tok-sim-sin-mo. ia berdiri melongo dan mematung tanpa bergerak. otaknya sedang diperas untuk mencari daya untuk menghadapi situasi yang berkembang lebih lanjut ini. Waktu Hun Thian-hi membalik tubuh menengok ke belakang tanpa merasa iapun ikut terkejut. yang datang ini ternyata bukan lain adalah Mo-bin Suseng, atau mungkin pula Hwesio jenaka, karena bentuk dan wajahnya mirip benar-benar dengan Ngo-sing alias Siau-bin-mo-in yang telah meninggal belum lama berselang. Tok-sim-sin-mo tidak tahu siapakah orang yang baru datang ini, cuma sudah jelas bahwa orang adalah musuh dan bukan kawan, otaknya bekerja cepat, diam-diam ia mencari akal untuk menghadapi perkembangan yang tak terduga ini. Mendadak Ham Gwat dan Su Giok-lan juga ikut muncul. Sebenar-benarnya hati Hun Thian-hi teramat kejut dan heran sekali, ia tahu bahwa Mo-bin Suseng berada di sekitar Jian-hud-tong, selama ini belum pernah muncul lagi, maka sembilan puluh persen dapatlah diyakinkan bahwa manusia cebol tambun ini adalah Mo-bin Suseng adanya. Tapi setelah melihat Han Gwat dan Su Giok-lan ikut muncul, baru ia sadar bahwa orang ini tentu Hwesio jenaka adanya, keruan hatinya sangat senang dan mantep. Kalau pikiran dan hati Hun Thian-hi menjadi tenang dan mantap sebaliknya Tok-sim-sin-mo semakin gentar ketakutan, Su Giok-lan dan Ham Gwat sama adalah murid Bu-bing Loni, entah apakah maksudnya mereka muncul di tempat dan diwaktu yang genting ini, dirinya terluka cukup parah, musuh berada di sekelilingnya lagi, dengan ditambah mereka berdua keadaan dirinya semakin terjepit dan lebih berbahaya. Sekilas melihat situasi dalam kamar lantas Ham Gwat dapat merasakan keadaan yang menyulitkan. Tapi dengan kedatangan bala bantuan mereka berdua posisi Hun Thian-hi sekarang menjadi lebih menguntungkan, cuma Tok-sim-sin-mo terang semakin kukuh menggunakan Coh Jian-jo dan cucunya sebagai sandera untuk mengancam mereka. Su Giok-lan bergerak hendak bertindak, cepat Ham Gwat menarik tangannya, diam-diam Hwesio jenakapun sudah hampir bertindak, tapi melihat isyarat Ham Gwat lantas ia maklum kemana juntrungannya, ia batalkan niatnya. Dengan sikap dan raut wajahnya yang memang dingin Ham Gwat maju selangkah, ia berdiri tegak dan tak bicara, sedikit banyak ia sudah paham akan situasi dalam gelanggang, namun dalam sesingkat ini ia belum berani mengambil keputusan, apalagi bagaimana duduk perkara sebenar- benarnya ia belum jelas, maka lebih baik bersikap diam untuk menumpas segala pergerakan, biarlah salah satu pihak diantara kedua belah pihak ini bicara baru dirinya ikut menimbrung dan bersiap cara bagaimana ikut terjun dalam persengketaan ini. Tok-sim-sin-mo sendiripun seorang yang cerdik pandai, sedikit menerawang lantas ia tahu diantara tiga orang pendatang baru ini, adalah Ham Gwat yang menjadi pentolannya, otaknya terus bekerja mencari akal untuk memecahkan situasi yang Semakin menjepit dirinya. Tapi sebetulnya apa yang hendak dilakukan oleh Su Giok-lan? Dimana pendirian dan kemana tujuan mereka? Inilah pertanyaan yang ingin diketahui. Setelah meneliti sebentar, lantas ia buka bicara kepada Ham Gwat. "Apakah kalian kemari untuk menolong Hun Thian-hi?" dengan cermat ia awasi air muka Ham Gwat. dengan pancingannya ini ia ingin mengetahui dimana pendirian Ham Gwat, bila Ham Gwat benar-benar hendak menolong Hun Thian-hi, maka kedudukannya jelas berlawanan dengan dirinya, maka dengan adanya Coh Jian-jo berdua sebagai sandera ia harus cepat-cepat berlindung keluar. Bila mereka punya tujuan lain, maka perlulah ia berpikir lebih lanjut bagaimana ia harus menghadapi mereka pula. Memang muka Ham Gwat selalu kaku dingin tanpa expresi, laksana kilat otaknya berputar menerawang, pertanyaan Tok-sim-sin-mo adalah pancingan untuk mengetahui tujuan kedatangan mereka bertiga, otaknya dengan cermat memikirkan berbagai jawaban dan berbagai akibatnya pula, bila dia menjawab begini, bagaimana pula akibatnya? Semua berkelebat cepat sekali dalam benaknya, ia harus mencari suatu jawaban yang cukup diplomatis supaya Tok-sim-sin-mo tidak tahu bahwa kedatangannya tidak punya maksud tertentu. Terpikir olehnya segala peristiwa dan kejadian sejak Su Giok-lan meninggalkan Jian-hud-tong ini, maka pelan-pelan ia lantas berkata. "Kudengar katanya serangka Badik buntung terjatuh di tangan Ling-lam-kiam-ciang, kuluruk kemari untuk memintanya kembali!" Tok-sim-sin-mo menggeram dalam mulut, otaknya pun bekerja keras mempertimbangkan kebenar-benaran jawaban Ham Gwat ini, benar-benarkah Ham Gwat kemari karena serangka Badik buntung? Masa tujuannya pun hendak mendapatkan Ni-hay-ki-tin itu? Segera ia dapat meneguhkan jawabannya yang terakhir ini, maka dengan menyeringai ia bertanya. "Apakah gurumu yang suruh kau kemari?" Sejak tadi Ham Gwat sudah meraba. Mungkin sejak Su Giok-lan meninggalkan Jian-hud-tong, Tok-sim-sin-mo pun kebetulan sampai kembali di Jian-hu-tong, dan menemukan Badik buntung berada ditangan Coh Jian-jo. Maka dengan situasi yang dihadapi sekarang, jelas sekali yang paling diberati oleh Tok-sim-sin-mo melulu adalah Coh Jian-jo seorang yang harus tetap tinggal. soalnya cuma dia seorang yang mengetahui rahasia dalam Badik buntung itu, jikalau bisa mendapatkan Ni- hay-ki-tin, tak perlu lagi ia takut menentang seluruh kaum persilatan di dunia ini. Agaknya rekaannya sebagian besar tepat, segera ia memikirkan tindakan lebih lanjut, cara bagaimana kedatangan mereka bertiga bisa membawa manfaat yang paling mengesankan. Ham Gwat menyambung pula dengan suara kalem. "Banyak bertanya tiada manfaat bagi kau. Guruku tidak datang tapi kau harus tahu, sekarang aku minta orang dan minta serangka pedang itu dari tanganmu, apa yang akan kau lakukan dan bagaimana akibatnya, kukira kau sudah maklum!" Memang keadaan semakin runyam dan menyulitkan bagi Tok-sim-sin-mo. Tujuan Ham Gwat bukan menolong Hun Thian-hi, tapi justru demi Coh Jian-jo pula, ia insaf sangat fatal akibatnya bila main keras dengan Ham Gwat, tapi bagaimana juga ia tidak rela menyerahkan Coh Jian-jo apalagi serangka Badik buntung itu, lalu bagaimana baiknya? Otaknya harus diperas dan bekerja keras untuk memecahkan situasi yang serba kontras bagi dirinya ini. Untuk mengulur waktu segera ia meng-ada2 bertanya kepada Ham Gwat, tapi tangannya menuding Hwesio jenaka. "Entah siapakah" Hwesio jenaka meringis lebar, serunya. "Jangan kau bertanya siapa aku, aku toh tidak utang apa-apa pada kau, lebih penting kau lekas jawab pertanyaan penting tadi, apa yang hendak kau lakukan hayo lekas jawab!" Tiba-tiba tergerak hati Tok-sim-sin-mo, mereka bertiga tidak sejalan dengan Hun Thian-hi, tapi tujuan mereka sehaluan sama hendak menolong Coh Jian-jo, kenapa tidak kuadu domba mereka dulu, setelah mereka berhantam sampai keletihan, keadaan selanjutnya bukankah jauh sangat menguntungkan bagi diriku? Segera ia angkat bicara. "Soalnya aku sudah terluka parah, terjepit pula oleh Hun Thian-hi, aku tak kuasa ambil keputusanku sendiri, kalau kau ingin jawaban silakan kau tanya dia, bila ia setuju, aku pun tak perlu banyak bacot lagi!" Terpikir olehnya bahwa Bu-bing Loni merupakan musuh kebujutan Hun Thian-hi, betapapun tak mungkin menyerahkan Coh Jian-jo kepada Ham Gwat soalnya permainanku semula sudah salah langkah sehingga seluruh percaturan ini kalang kabut, seolah-olah aku terjerambab masuk ke dalam jebakan yang kugali sendiri. Dalam pada itu Hun Thian-hi tersenyum tawar, katanya. "Terima kasih akan kebaikanmu untuk menyerahkan Coh Jian-jo kepadaku, tapi entahlah kau memang bertujuan baik ataukah cuma tipu daya belaka!" "Jangan kau kira dengan kata-katamu ini kau hendak membakar kemarahan orang, orang lain tidak berpikiran begitu goblok seperti otakmu yang tumpul itu!" Ham Gwat segera menimbrung, serunya. "Persetan dengan pertikaian kalian, yang terang Coh Jian-jo dan serangka Badik buntung harus segera diserahkan kepadaku!" "Tapi harini aku tak kuasa lagi!" Demikian ujar Tok-sim-sin-mo, lalu ia berdiri minggir kesamping serta melepas tangan Coh Jian-jo, dalam hati diam-diam ia bersorak, ingin ia saksikan Hun Thian-hi dan Ham Gwat dua generasi muda yang sama-sama tokoh kelas wahid, yang satu ahli waris Hui-sim-kiam-hoat yang hebat, dan yang lain adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, biarlah mereka sama bertanding mengadu kepandaian, ingin aku menyaksikan siapakah sebenar- benarnya lebih unggul dan asor. Setelah ia lepas tangan dan menjauhkan diri ia ulapkan tangan menyuruh Bing-tiong-mo-tho memecah diri kedua samping. Ham Gwat lantas melangkah masuk ke dalam kamar sekarang dia berhadapan dengan Hun Thian-hi, pandangan mereka sama berkilat memancarkan sorot aneh yang menakjupkan. Pandangan Hun Thian-hi langsung mengawasi Ham Gwat, dilihatnya orang begitu agung, sederhana dan cukup berwibawa, selamanya belum pernah ia mengawasi orang secara langsung begitu jelas dan cermat, laksana sebuah patung dewi yang membuat ia bertekuk lutut dan memujanya. Mereka berdiri mematung sekian lamanya tak bergerak dan sama bersikap aneh, masing- masing melayangkan pikirannya kembali ke alam yang sudah silam. Lambat laun Tok-sim-sin-mo melihat keganjilan sikap mereka, timbul kecuriagannya, namun cuma sekilas saja karena ia menyangka kedua belah pihak tak berani memandang enteng musuh. keadaan mana sering dilihat sebelum pertempuran sengit antara dua tokoh tingkat tinggi berlangsung. Sungguh diluar tahunya bahwa diantara mereka sebenar-benarnya sudah terjalin tali asmara yang semakin mendalam dan terikat semakin kencang. Sesaat lamanya baru terdengar Ham Gwat membuka suara dingin. "Sekarang Coh Jian-jo berada di tanganmu, apa kau mau kata?" Perasaan Hun Thian-hi menjadi hambar, dia tidak tahu apa yang terpikir oleh Ham Gwat, sebab ia tahu keadaan Tok-sim-sin-mo cukup kepepet dan hanya dapat bergerak dalam lingkungan yang terbatas, kalau tidak mungkin sejak tadi ia sudah keluar melarikan diri. Melihat keraguan sikap Hun Thian-hi, Ham Gwat menjengek dingin, katanya. "Apa pula yang perlu kau katakan?" Thian-hi tahu Ham Gwat terlalu jauh dan panjang menilai persoalan disini, tapi ia segan menghalangi maksud dan segala sesuatu yang telah dipikirkan oleh Ham Gwat, maka dengan tertawa tawar ia berkata. "Ni-hay-ki-tin merupakan incaran setiap insan manusia, umpama Bu-bing Loni sendiri datang pun aku tidak takut, masa aku gentar menghadapi kau!" "Aku belum pernah belajar kenal Wi-thian-cit-ciat-sek marilah kita buktikan apakah Hui-sim- kian-hwat lebih unggul atau wi-thian-cit-ciat-sek lebih hebat!" Hati Tok-sim-sin-mo menjadi mendelu dan keheranan, nada tanya jawab kedua orang agaknya ngelantur semakin jauh dari persoalan, tanya jawab mereka kedengarannya memang saling mengancam, tapi jelas sekali menyimpang dari adat dan kebiasaan sepak terjang mereka pada umumnya. Terutama watak Thian-hi berbeda dengan biasanya, jika menurut rekaannya, Hun Thian-hi pasti tidak akan mengalah dan memberi angin pada lawannya, malah bukan mustahil minta kembali sekalian Badik buntung dari Ham Gwat. Tapi apa yang disaksikan sekarang jauh menyimpang dari dugaannya yang sebenar-benarnya. Sekilas Thian-hi melirik ke sekitarnya, dilihatnya sorot mata Tok-sim-sin-mo yang tajam, sedang mengawasi mereka, ia tahu bahwa pandangan orang hendak menembus isi hati atau sikapnya, tapi perkembangan selanjutnya membuat hatinya semakin tabah, memang ia ingin benar-benar Tok-sim-sin-mo mengumbar adatnya bila perlu memancing kemarahannya malah. Ham Gwat sendiri juga merasa was-was, bila sandiwara mereka berdua kali ini sampai konangan oleh Tok-sian-sin-mo pasiti akan terjadi pertempuran sengit secara terbuka. Terdengar Hun Thian-hi tiba-tiba bergelak tawa lantang. "Kalau kita berdua berhantam. disini bukankah menguntungkan Tok-sim-sin-mo malah?" Diam-diam Tok-sim-sin-mo mengumpat dalam hati, secara tidak langsung ucapan Thian-hi memutar balik mengadu domba antara dirinya dengan Ham Gwat. dan memang itulah tujuan Tok- sim-sin-mo, terpaksa ia menjengek dengan gusar. "Apa kau takut?" Ham Gwat tahu bahwa maksud Thian-hi mendesak supaya Tok-sim-sin-mo memberi peluang pada mereka untuk bertempur keluar gua. Ia diam-diam saja, biji matanya berputar mengawasi To-sim-sin-mo. Bercekat hati Tok-sim-sin-mo, ia menjadi gentar bila Ham Gwat sampai berbalik memusuhi dirinya, Dalam Jian-hud-tong di mana-mana tempat banyak dipasang berbagai alat rahasia yang bisa menembus kesegala penjuru, cuma kamar batu tempat tahanan Coh Jian-jo inilah yang terkecuali, bila disini dipasang pula pintu2 rahasia tentu sejak lama Coh Jian-jo sudah merat menghilang. "Jikalau kalian kurang lega," Demikian kata Tok-sim-sin-mo. "Mari kuantar kalian keluar, lapangan diluar gua sana cukup besar." "Sepanjang jalan ini ada terpasang berbagai alat2 dan pintu rahasia, cara bagaimana kita harus berjaga-jaga dari akal licikmu?" Demikian jengek Thian-hi Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, ujarnya. "Kalian mengharap berhantam diluar gua, tapi tidak berani keluar, apakah kau punya cara lain yang lebih sempurna?" "Benar-benar," Sahut Thian-hi lantang. "Kau ingin kami bertarung maka kau sendiri pun perlu mempertaruhkan dirimu sebagai sandera, marilah kau saja yang melindungi kita beramai sampai di luar gua?" Usul Thian-hi ini cukup pelit, bila dirinya tidak mau menandakan bahwa dirinya tidak tulus hati, bila sebaliknya menyetujui seakan-akan sengaja hendak mengadu mereka bertempur mati-matian, apalagi sekarang dirinya di bawah belenggu Thian-hi, siapa tahu peristiwa apa pula yang bakal terjadi selanjutnya? Akibatnya itulah yang menyulitkan untuk dipikirkan, dengan terlongong ia menepekur, ia menemui kesulitan untuk menjawab. Kau takut apa?" Ejek Thian-hi. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Bila aku mau bertindak terhadap kau sejak tadi aku sudah turun tangan, seumpama sekarang aku bertindak pada kau apa pula yang dapat kau lakukan?" Ucapan Thian-hi memang bukan bualan, bila Thian-hi sekarang turan tangan. Ham Gwat pasti tinggal berpeluk tangan menjadi penonton saja. Sesaat ia terbungkam. Adalah hati Ham Gwat bercekat malah, baru sekarang ia menyadari bahwa kamar batu ini ternyata tiada terpasang alat2 rahasia, jadi sejak tadi bahwasanya Tok-sim-sin-mo sudah menjadi bulus yang terkurung di dalam gentong, hampir saja tadi dirinya melepasnya keluar, Berkilat biji mata Tok-sim-sin-mo, ia semakin merasa situasi semakin buruk dan tidak menguntungkan bagi dirinya. Ia insaf bila Ham Gwat dan Thian-hi sampai bergabung mengeroyok dirinya, jelas jiwanya takkan tertolong lagi, lapat-lapat teraba olehnya bahwa permusuhan antara Ham Gwat dengan Thian-hi tidaklah begitu mendalam seperti yang dia bayangkan sebelumnya. malah secara tidak langsung kelihatannya ada terjalin perjanjian yang tidak mengikat diantara mereka berdua. Sekarang dia insaf cara mengadu domba kepada kedua lawannya ini terang tiada membawa manfaat, akhirnya ia tertawa lebar. katanya kepada Hun Thian-hi. "Begitupun baiklah. kalian sama adalah keturunan dari aliran kenamaan, Bu-bing Loni selamanya tidak pernah menjilat ludahnya sendiri. Lam-siau pun merupakan tokoh pendekar yang budiman, untuk sementara ini baiklah terpaksa aku mempercayai ucapan kalian sekali ini!" Semula Thian-hi yakin bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan menyetujuj usulnya itu, diluar dugaan ia telah setuju, mau tak mau hatinya berdegup dan melengak, diam-diam iapun kagum akan perubahan sikap Tok-sim-sin-mo yang pintar melihat angin memutar haluan dengan cara memuji guru mereka menjadi seperti dipantek supaya tidak berbuat curang. Sebaliknya Ham Gwat yang cerdik dan cermat itu dapat menangkap kemana juntrungan maksud Tok-sim-sin-mo, ia merasa lebih baik ia membekuk Tok-sim-sin-mo walaupun kehilangan kepercaan, ini lebih penting, segera ia mengerling ke arah Su Giok-lan, dengan sebuah kedipan ia beri tanda padanya supaya siap menghadapi musuh. Pelan-pelan Su Giok-lan melolos pedang dari punggungnya, dengan menyoreng pedang ia berdiri siaga. Tok-sim-sin-mo menjadi tegang, terasa olehnya keadaan yang rada ganjil ini, segera ia mengajukan pertanyaan kepada Ham Gwat. "Bagaimana pendapatmu terhadap usulnya?" "Usul kami sama supaya secepatnya membunuh kau. Bila kami biarkan umurmu berkepanjangan menimbulkan bencara di Kangouw, bukankah dosa2 kami yang patut diberi hukuman berat!" Baru sekarang Tok-sim-sin-mo mendadak tersadar akan sikap berlainan dan luar biasa dari Thian-hi dan Ham Gwat, kontan ia bergelak tawa, ia berpaling ke arah Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya, anak buahnya itu kira-kira cukup kuat untuk menghadapi Hun Thian-hi dan Ham Gwat berdua, bila memang bukan tandingannya terpaksa menerjang keluar saja meloloskan diri. Beruntun ia menengadah tertawa kering dua kali, serunya. "Kalian selalu mengagulkan diri sebagai kaum pendekar yang pegang janji dan kebenar-benaran, kiranya sedemikian rendah sampai sifat2 keadilan kebijaksanaan pun kalian injak2 menjiiat ludah sendiri, perbuatan dan kelakuan kalian sungguh hina dan memalukan, bahwasanya kalian sekomplotan kenapa main tipu dan pura-pura bermusuhan dihadapanku?" Ia menyeringai dingin, lalu sambungnya pula. "Tahukah kalian? Inilah penipuan!" Dari samping Hun Thian-hi menyela. "Tidak boleh kehilangan kepercayaan demi untuk memperkosa kebenar-benaran atau keadilan, sejak jaman dulu kala soal ini sudah menjadikan ajaran yang tersurat di dalam setiap ejaan buku. Demikianlah keadaan sekarang, tidak boleh karena kehilangan kepercaan lantas kami melepas kau, apalagi bila sampai kau mengganas dan menimbulkan banyak malapetaka di Kangouw!" Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, ia insaf bahwa Ham Gwat dan Hun Thian-hi akan bergabung menumpas dirinya, sungguh dia sangat menyesal, kenapa tadi ia melepas Coh Jian-jo dan cucunya, harapan untuk hidup menjadi semakin kecil. Tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar tajam menghijau seperti mata binatang jalang yang kelaparan, hanya menerjang dengan kekerasan jalan satu-satunya yang harus ditempuh, asal dapat keluar dari kamar batu ini, diluar sana sekali tangannya bergerak mengerahkan alat2 rahasianya, dalam sekejap saja ia akan dapat meloloskan diri bersama seluruh anak buahnya. Sejenak Tok-sim-sin-mo berpikir, tiba-tiba tangannya kanan diulapkan. Serempak Bing-tiong- mo-tho, Biau-biau-cu, Lam-bing-it-hiong dan lain-lain menggerakkan senjata masing-masing menyerbu ke arah Ham Gwat. Ham Gwat tahu Tok-sim-sin-mo sudah kepepet orang pasti menerjang keluar dengan kekerasan, sedang tenaga dalam sendiri belum pulih seluruhnya, sembari melolos keluar pedangnya kakinya menyurut selangkah. ia berdiri jajar bersama Su Giok-lan, dua jalur sinar pedangnya memetakkan segundukan cahaya gemerdek yang rapat tak tertembuskan membendung terjangan para musuhnya. Hwesio jenaka segera menyingkir kesamping, sambil menggendong tangan ia menonton saja sambil berseri tawa. Hun Thian-hi juga tahu Tok-sim-sin-mo pasti akan menjadi nekad dan berontak, Ham Gwat berdua pasti akan menghadapi banyak kesulitan dikeroyok para musuhnya, sejak tadi ia sudah bersiap, begitu Lam-bing-it-hiong melolos pedang, bersamaan waktunya seruling jadenya segera menutuk dan mengetuk kepunggung Lam-bing-it-hiong dan lain-lain. Sementara itu Tok-sim-sin-mo sudah memperhitungkan, bahwa Hun Thian-hi pasti tidak tinggal diam, begitu melihat Thian-hi bergerak iapun cepat bertindak, langsung ia menyergap ke arah Coh Jian-jo berdua. Thian-hi tahu bahwa Coh Jian-jo berdua berada dalam lindungan Pek-tok Lojin ia percaya dengan kepandaian Pek-tok Lojin akan mampu mengatasi Tok sim-sin-mo maka ia diam-diam saja tanpa menghiraukan lawan, sebaliknya serulingnya dimainkan secepat kilat menyerang Bing-tiong- ho-tho dan lain-lain dari belakang. Adalah diluar perhitungannya bahwa Tok-sim-sin-mo sendiri juga punya pengangan yang cukup mantep, kalau tidak sekali2 ia tidak akan mengambil banyak resiko menempuh bahaya besar melaksanakan niatnya. Begitu ia menerjang ke arah Coh Jian-jo, Pek-tok Lojin lantas menyeringai dingin, pikirnya aku belum lagi mencari kau malah kau sudah meluruk datang sendiri, sungguh kebetulan malah. Gesit sekali ia bergerak melancarkan ilmu pukulannya yang beracun dikombinasikan dengan langkah kakinya yang aneh gentayangan, tahu-tahu telapak tangannya sudah menyelonong tiba di depan dada musuh, sekali tepuk pasti dapat menamatkan jiwa musuh besarnya ini. Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo tertawa dingin, di saat telapak tangan Pek-tok Lojin hampir saja mengenai sasarannya sekonyong-konyong selarik sinar putih kemilau melesat datang langsung menusuk ke tenggorokan Pek-tok Lojin. Keruan bukan kepalang kaget Pek-tok Lojin, bila telapak tangannya diteruskan menepuk ke dada musuh, Tok-sim-sin-mo jelas bakal mampus, tapi dirinya sendiri juga pasti menjadi korban tusukan pedang lawan, sudah tentu ia tidak mengira bahwa Tok-sim-sin-mo masih punya simpanan sebilah pedang tajam, secara reflek cepat luar biasa ia mencelat mundur, batal menyerang sekaligus menyelamatkan diri. Begitu ia mundur cukup setindak saja Tok-sim-sin-mo sudah melintangkan pedang pendeknya dileher Coh Jian-jo, sembari tertawa besar ia berseru. "Semua berhenti!" Waktu ia berpaling pergolakan angin samberan senjata mereka yang bertempurpun sudah mereda, tapi kesudahan pertempuran itu sungguh sangat mengejutkan hatinya. Tampak Lam- bing-it-hiong dan lain-lain sudah kena tertutuk oleh seruling Hun Thian-hi, mereka berdiri kaku mematung. Sedetik dalam waktu yang bersamaan dari hasil seruling Thian-hi menutuk para musuhnya mendadak ia mendengar seruan Tok-sim-sin-mo waktu ia membalik tubuh, iapun dibikin kaget, diam-diam ia gegetun kenapa tadi terlalu mengentengkan penilaiannya pada lawan, sekarang menyesal pun sudah kasep, Coh Jian-jo terjatuh pula ke tangan Tok-sim-sin-mo. Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Perangkap Karya Kho Ping Hoo