Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 28


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 28


Badik Buntung Karya dari Gkh   Coh Jian-jo memejamkan mata tak bergerak atau bersuara.   Pedang pendek Tok-sim-sin-mo mengancam tenggorokannya, nalurinya merasa bahwa pedang Pek-bong-kiam bikinannya yang paling dibanggakan sekarang ternyata dibuat mengancam jiwa penciptanya sendiri, betapa pedih hatinya sungguh seperti diiris-iris pisau.   "Bagus!"   Seru Thian-hi terlongong.   "Sungguh aku kagum akan kecerdikanmu, baiklah hari ini kami mengampuni jiwamu sekali ini!"   "Ya, Coh Jian-jo berada ditanganku, apa yang kuperintah pada kalian harus segera dilaksanakan, kalau tidak bagaimana akibatnya kukira kalian cukup paham!"   "Benar-benarkah ucapanmu itu? Meski Coh Jian-jo berada di tanganmu, tapi apa yang berani kau lakukan terhadapnya?"   "Bebaskan tutukan jalan darah anak buahku!"   Seru Tok-sim-sin-mo, nadanya meninggi dan dingin.   Perang batin sedang bergejolak dalam benak Hun Thjan-hi, ia berdiri tegak mengawasi Tok- sim-sin-mo kelihatannya tekanan Tok-sim-sum-mo bisa berhasil dengan gemilang, bila aku tidak menuruti perintahnya mungkin jiwa Coh Jian-jo bisa terancam atau piaing ringan mendapat siksaan yang cukup membuatnya menderita, apakah yang harus dilakukan? Mengorbankan Coh Jian-jo atau menuruti perintah Tok-sim-sin-mo yang berarti bertekuk lutut padanya? Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, bentaknya.   "Bagaimana kau tidak patuh?"   Dalam hati Thian-hi masih rada bimbang, serunya mendengus.   "Apa yang berani kau lakukan pada Cih Jian-jo silakan kau laksanakan. Tapi sekali kau salah bertindak awaslah kau, seumpama harus mengorbankan dia seorang kita tidak akan memberi ampun kepada kau. Kau harus tahu semakin keji dan telengas cara turun tanganmu mungkin kau sendiri nanti pun tidak akan tahan menerima pembalasannya!"   Tok-sim-sin-mo mengertak gigi, baru saja ia siap bertindaj mendadak terkilas dalam pikirannya bahwa betapapun seluruh jerih payahnya ini akhirnya bakal sia-sia, Hun Thian-hi cukup hebat, betapa pun ia tidak mau mengalah sehingga ia mati kutu, Memang ia tidak akan berani bertindak apa-apa kepada Coh Jian-jo, akhirnya ia mengalah dengan penuh kekecewaan, serunya.   "Baiklah, kalian minggir. mari kuantar keluar sampai dipintu Jian-hud-tong, nanti kuserahkan dia kepada kalian!" Besar harapannya sepanjang menuju keluar gua sana, banyak kesempatan dapat digunakan untuk mengubah keadaannya yang terdesak ini menjadi orang yang dipihak unggul. Thian-hi tahu bahwa perjalanan ini teramat berbahaya, namun kecuali cara ini tiada penyelesaian yang lebih baik. Betapapun Tok-sim-sin-mo tidak akan sudi mengalah pula. Tapi jika ia menyetujui prakasa ini. lalu cara bagaimana ia harus bersikap dan berjaga-jaga dari segala kemungkinan? Dasar Tok-sim-sin-mo memang seorang licik dan licin yang sulit dihadapi, apalagi Coh Jian-jo berada ditangannya lagi, maka dia akan lebih pongah dan takabur, untuk menghindari segala tipu muslihatnya sungguh sulit sekali. Terpaksa akhirnya ia manggut-manggut.   "Baik! Tapi jangan kau main curang, kalau tidak kau tidak akan bakal lolos dalam lima tindak cukup lima langkah aku dapat membereskan jiwamu dengan seluruh tubuhmu hancur lebur!"   Tok-sim-sin-mo menyeringai leoar, hatinya melonjak kegirangan, ia pernah melihat kepandaian silat Hun Thian-hi, naga-naganya memang rada lebih unggul dari kemampuannya, tapi alat2 rahasia dalam Jian-hud-tong ini teramat banyak dan sulit diraba, betapa pun tinggi ilmu silatnya, juga sulit mengembangkan dengan sempurna.   Lima langkah? Hanya tiga langkah saja dirinya dapat menghilang, kenapa harus lima langkah? Sampai berpikir2 dalam hati diam-diam ia tertawa geli, sungguh senang dan bersorak hatinya, tak perlu disangsikan bahwa kali ini ia bakal gagal lagi, menang atau kalah merupakan babak yang menentukan, maka jangan sekali2 menyia-nyiakan kesempatan ini, Begitulah sembari tertawa dingin Tok-sim-sin-mo beranjak keluar sambil menyeret Coh Jian-jo.   Rona wajah Coh Jian-jo yang sedih dan lesu mendadak lenyap sama sekali, biji matanya memancarkan cahaya berkilat yang terang, terunjuk keteguhan hati pada air mukanya, ia mandah saja diseret oleh Tok-sim-sin-mo keluar dari kamar batu itu.   Sebelum berangkat Hun Thian-hi melirik ke arah Bing-tiong mo-tho dan lain-lain, sesaat ia kehilangan akal, mereka sama adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, kalau dilepas bakal menambah beban kalau tidak dilepas tak bisa digusur keluar, sesaat ia menjadi kebingungan.   Kebetulan Pek-tok Lojin maju mendekat, berturut-turut ia amat-amati orang-orang itu lalu satu persatu membuka tutukan jalan darah mereka.   Semula Hun Thian-hi rada terperanjat, tapi karena Pek-tok Lojin yang melakukan ia tahu pasti perbuatannya punya alasannya sendiri.   Setelah dapat bebas Lam-bing-it-hiong dan lain-lain tanpa kuasa sama bergidik dan gemetar.   hati semua orang sama mendelu.   mereka tahu bahwa Pek-tok Lojin sudah menaruh racun pada tubuh mereka, entah kapan racun itu bakal kumat dan tibalah ajal mereka.   Pek-tok Lojin merupakan tokoh tertinggi dan terlihay dari Pek-tok-bun.   cara buatan dan permainannya dalam menggunakan racun punya kepandaian khusus yang amat lihay, bagi korban yang kena racunnya sulit dapat diobati sendiri.   Sudah tentu Tak-sim-sin-mo samgat gusar, namun ia dapat berpikir panjang, nanti bila dapat membekuk Hun Tnian-hi dan lain-lain, pertama-tama ia harus menekan Pek-tok Lojin untuk menyerahkan obat pemunahnya.   Setelah mengerjain para korbannya Pek-tok Lojin lantas berkata.   "Sekarang kalian sudah terkena racunku, dimana kusimpan obat pemunahnya tiada seorang pun yang tahu." Habis berkata ia tertawa dingin. Kejadian ini merupakan suatu tekanan pula bagi sepak terjang Tok-sim-sin-mo selanjutnya, soalnya orang-orang ini masih sangat diperlukan tenaganya untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo kelak, tapi urusan sudah lanjut maka ia harus dapat bertindak secara tepat dan tegas. Begitulah segera ia berseru.   "Marilah kita berangkat!"   Sambil menenteng serulingnya Hun Thian-hi memburu dibelakangnya, Su Giok-lan menggandeng Coh Siau-ceng berada dibelakangnya, sedang Lam-bing-it-hiong dan lain-lain berada ditengah, sedang Ham Gwat berada dipaling belakang.   Begitu berada diluar kamar.   Coh Jian-jo lantas bersuara.   "Hun-sauhiap hati-hatilah, di depan sebelah kiri ada sabuah pintu rahasia, malah ada jebakannya pula!"   Mendengar peringatan ini lekas-lekas Hun Thian-hi melangkah dua tindak lebih dekat, sudah tentu Tok-sim-sin-mo gusar bukan main, tapi apa yang dapat ia perbuat pada Coh Jian-jo.   Tiba- tiba ia menghentikan langkahnya.   dan menyeringai kepada Coh Jian-jo.   Sungguh diluar dugaannya bahwa Coh Jian-jo dapat menunjuk tempat-tempat rahasia itu sedemikianhapal dengan cara yang sepele lagi kalau keadaan ini berlangsung lebih lanjut, mana dirinya dapat menjebak dan meringkus Hun Thian-hi dan lain-lain.   Kecuali menggunakan akal licik lainnya, begitulah otaknya berputar memikirkan cara yang lebih bagus dan lebih licik.   Dari belakang Hun Thian-hi mengejek.   "Jangan kau mengatur tipu dayamu yang lain, aku berani bertaruh kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa, mungkin malah mempercepat keruntuhan cita-citamu yang gila2an itu!"   Sebagai seorang ahli bangunan dengan kepandaian tehniknya yang luar biasa, adalah mustahil kalau mau mengelabui Coh Jian-jo akan segala peralatan rahasia di dalam Jian-hud-tiong ini, tapi justru Tok-sim-sin-mo harus mencari akal cara bagaimana ia harus menghilangkan duri yang merupakan ancaman langsung bagi tindakan dirinya selanjutnya.   Sedikit berpikir akhirnya ia seret pula Coh Jian-jo melanjutkan ke depan.   Sepanjang jalan ini sering Coh Jian-jo memberi peringatan dimana ada dipasang alat2 rahasia, tapi kelihatannya Tok-sim-sin-mo sudah tidak terpengaruh akan hal-hal ini, ia terus gusur Coh Jian-jo dengan pelan-pelan.   Lambat laun tekanan batin Hun Thian-hi semakin kendor, dengan adanya Coh Jian-jo disitu menjadi banyak lega dan tidak perlu kuatir lagi akan segala lintangan alat2 rahasia itu.   Berselang agak lama perjalanan itu terus dilanjutkan dengan situasi yang sama Hun Thian-hi semakin lega tapi mendadak Coh Jian-jo berseru keheranan, seakan-akan ia menemukan sesuatu keganjilan yang menarik perhatiannya.   Thian-hi menjadi tegang mendengar seruannya itu, cepat ia mendekat dua langkah.   Terdengar Coh Jian-jo berkata.   "Sepanjang jalan ini bukankah tadi sudah pernah kita lalui?"   "Apakah kau tidak salah lihat, Jian-hud-tong ini seperti istana sesat di belakang sana, cara bangunannya sangat mirip dan serupa!"   Dalam percakapan itu mereka beranjak terus ke depan, Hun Thian-hi menjadi was-was, sebagai seorang ahli pasti Coh Jian-jo punya alasan mengucapkan kata-katanya.   Tapi Tok-sim-sin-mo tidak peduli apa yang terpikir oleh Hun Thian-hi, ia seret terus Coh Jian-jo ke depan.   Memang Coh Jian-jo punya pandangannya sendiri.   ia tahu siapapun meski ia seorang ahli dalam bidangnya, tak mungkin dapat menciptakan dua barang yang sangat mirip bentuk dan rupanya.   Sekarang Tok-simsin-mo berputar-putar dalam gua yang rumit dan menyeramkan ini, entah apakah tujuannya.   Sementara Tok-sim-sin-mo sendiri belum tahu bahwa akal liciknya ini sudah diraba oleh Coh Jian-jo tapi dia harus bertindak secepat mungkin sebelum Hun Thian-hi dan lain-lain tahu kemana tujuannya lantas melaksanakan tindakan selanjutnya itulah yang bakal menjadi kunci penentuan.   Tiba-tiba ia menyeret Coh Jian-jo melangkah lebih cepat mencapai sebuah serambi panjang tiba di sebuah pengkolan lalu secepat kilat menyusup ke dalam belokan itu.   Ham Gwat lebih dulu dapat meraba permainan licik Tok-sim-sin-mo ini.   Orang sengaja membawa mereka putar kayun sehingga ketegangan semakin mengendor dan perhatianpun tidak terhimpun lagi.   lalu dengan caranya yang kilat ia berkelebat menghilang ke dalam jalan rahasia.   Tangkas sekali tubuh Ham Gwat.   Tiba-tiba melambung tinggi terus menukik turun menubruk ke arah Tok-sim-sin-mo.   Tetapapun Tok-sim-sin-mo merupakan seorang yang licik dan licin punya pengalaman luas, langkah permainan ini sudah dipersiapkan begitu rapi dan sulit diketahui sebelumnya, begitu cepat ia bergerak sampai Coh Jian-jo tidak sempat berteriak, tahu-tahu badannya ikut terseret masuk ke jalan rahasia itu.   Cepat sekali jalan rahasia itu sudah tertutup kembali, sedikit terlambat sedetik Ham Gwat sudah tercegat di depan pintu, pedangnya panjang membacok di atas pintu batu yang keras itu, sehingga memercikkan lelatu api.   Sesaat semua orang sama berdiri terlongong, Ham Gwat menghela napas dengan kecewa, Hun Thian-hi sendiri yang paling menyesal akan kelalaiannya, otaknya diperas dengan keras memikirkan cara meloloskan diri, tiba-tiba ia dapat firasat betapa berbahayanya mereka tetap tinggal di tempat itu, segera ia berseru.   "lekas! Kita tinggalkan tempat ini dulu!"   Tapi Lam-bing-it-hiong dan kawan2nya tegap berdiri tak bergerak, melihat Tok-sim-sin-mo dapat lolos, terang Hun Thian-hi terjatuh pula dalam belenggu majikannya, harapan mereka untuk hidup lebih besar, asal mereka tidak mau pergi, apa yang Hun Thian-hi dapat perbuat pada mereka, bagaimana juga Hun Thian-hi masih memerlukan lindungan mereka.   Hun Thian-hi menjadi gemes dan gegetun, ia paham akan situasi yang berbahaya ini bakal digunakan Tok-sim-sin-mo untuk mengatur tipu daya yang lebih keji sekali ia menggerakkan alat2 rahasianya, mereka pasti menjadi korbannya yang pertama.   Maka Lam-bing-it-hiong dan lain tidak boleh ketinggalan, segera ia mengancam.   "Hayo jalan! Kalau tidak kubunuh kalian, kalian sudah kena racun, masa dapat hidup berapa lama lagi!"   "Justru karena tidak dapat hidup lebih lama lantas kau berani berbuat apa terhadap kami, bila kami mati kau pun bakal modar dengan tiada tempat kubur kalian!"   Demikian jengek Bing-tiong- mo-tho. Sekilas Ham Gwat pandang Siang Bu-ki dan lain-lain, lalu berkata tawar.   "Biar mereka tinggal disini, mari kita tinggal pergi saja!"   Sesaat Hun Thian-hi beragu, akhirnya ia manggut-manggut bersama Pek-tok Lojin dan lain-lain mereka maju ke depan.   Ia insaf sebagai manusia durjana Tok-sim-sin-mo tidak akan melepas mereka hanya karena Bing-ting-mo-tho dan lain-lain berada bersama mereka.   Sebagai musuh besar rasanya.   Tok-sim-sin-mo tidak akan lega sebelum mereka sama dilenyapkan.   Baru saja mereka mulai bergerak, tiba-tiba diempat penjuru sekelilingnya terdengar suara gemuruh, tampak dua lembar papan batu tebal pelan-pelan maju menghimpit dari dua samping mereka, jadi mereka terkurung di tengah lorong gelap itu.   Hun Thian-hi tertegun, menurut perkiraannya setiap lembar papan batu ini paling ringan ada ribuan kati beratnya, tenaga manusia tidak akan mungkin kuasa menjebolnya keluar.   Jelas mereka terkurung rapat dan tinggal menunggu waktu untuk ajal belaka.   Untung Tok-sim-sin-mo masih memerlukan tenaga Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain, sehingga mereka masih punya.   setitik harapan.   kalau dapat bertindak secepat-cepat dan tepat mungkin nanti ada kesempatan untuk meloloskan diri meskipun cuma satu atau dua diantara mereka.   Selama itu Hwesio jenaka tinggal berdiri diam menggendong tangan.   Melihat orang teringat oleh Hun Thian-hi akan Siau-bin-mo-in, serta merta hatinya terharu dan pedih rasanya.   Semua orang sama melayangkan alam pikirannya masing-masing, tapi mereka sama pula harus meronta untuk hidup sebelum ajal mendatang.   Lapat-lapat terdengar gema gelak tawa Tok-sim-sin-mo yang menggila kesenangan dalam gua sebelah dalam sana, begitu lantang dan bergelombang suara tawa itu, bagi pendengaran Hun Thian-hi sangat menusuk perasaan.   Dari tempat yang agaknya sangat jauh itu Tok-sim-sin-mo berteriak.   "Bagaimana, sebenar- benarnyalah siapa yang menang dan siapa yang kalah?"   Suara begitu bangga dan mendengung.   "Syarat apa yang hendak kau ajukan, lekas katakan!"   Lalu terdengar pula tawanya terbahak- bahak. Dengan pandangan dingin Thian-hi pandang Bing-tieng-mo-tho dan lain, katanya.   "Lepaskan kami keluar nanti kami serahkan anak buahmu ini."   Tok-sim-sin-mo tergelak-gelak menggila, serunya.   "Begitu saja."   Thian-hi menjadi gusar, serunya.   "Cukup begitu saja, hanya itulah syarat yang dapat kuajukan!"   "Kalau hanya itu syaratmu aku tidak bisa terima, kau kan paham, akupun ingin ajukan syaratku yang tidak boleh dibantah lagi, kau, Ham Gwat dan Pek-tok bertiga tetap tinggal disana, tiga orang yang lain boleh silakan pergi untuk mengganti jiwa mereka!"   "Jadi syarat yang kuajukan tidak dipertimbangkan sama sekali."   "Jangan kau tekan aku dengan alasan seenak udel-mu sendiri, sekarang kaulah yang meminta2 kepadaku, tidak menjadi soal bagi aku sembarang waktu dapat ku turun tangan tanpa pedulikan mati hidup mereka! coba kau berpikir kembali!"   "Kaum persilatan bukan melulu beberapa orang seperti kami ini, seumpama kami mati semua, bulu sayapmu juga bakal dipreteli, akibat ini teramat fatal bagi kau sendiri ingat Ang-hwat-lo-mo akan semudah membalikKan tangan menumpas kau serakang. Kau memutar balik persoalan, coba kau pikir lebih lanjut adalah kepentinganku terhadapmu? Cobalah kau pikirkan dengan seksama!"   Gelak tawa Tok-sim-sin-mo terdengar semakin menjauh dan akhirnya sirna tiada terdengar suaranya pula.   Sementara dua papan batu dikiri kanan itu pelan-pelan pula bergerak menggeser ke tengah menggencet mereka.   Bercekat hati Thian-hi.   kelihatannya Tok-sim-sin-mo punya pegangan yang sudah matang, pertanyaan Thian-hi ia jawab dengan reaksi yang kenyataan ini, kelihatannya sedikitpun ia tidak ragu-ragu lagi mengambil keputusannya.   Semula Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya memang mengemban setitik harapan, tapi dalam keadaan yang sudah gawat dan kenyataan ini, mau tak mau mereka menjadi mencelos hatinya.   ternyata Tok-sim-sin-mo begitu tega membuang mereka seumpama membuang sampah, dan yang lebih celaka mereka bakal ikut menjadi korban keganasannya bersama musuh2nya.   Hwesio dienaka yang jarang buka bicara itu, tiba-tiba berseru kepada Tok-sim-sin-mo.   "Tadi kau hendak melepas aku keluar, apakah kau tahu siapa aku sebenar-benarnya, begitu rendah kau menilai diriku?"   Dari jauh terdengar jawaban Tok-sim-sin-mo.   "Persetan siapa kau, setelah kubereskan kau siapa kau adanya tak berguna lagi!"   Berkilat-kilat mata Hwesio jenaka, serunya.   "Akulah saudara Lam Im!"   Agaknya Tok-sim-sin-mo tersentak kaget. kedua papan batu itu segera berhenti"   Bergerak, sebenar-benarnya ia hanya ingin menggertak dan menakut2i Hun Thian-hi dan lain-lain, demi mendegar ucapan Hwesio jenaka, segera ia berhenti menggerakkan alat2 rahasianya.   Hatinya berpikir2, apakah benar-benar? Benar-benarkah Lam Im punya saudara? Ia jelas sekali akan watak dan tabiat Lam Im, bila smpai membikin dia gusar, urusan pasti sulit diselesaikan, cuma soalnya apakah benar-benar Lam Im punya saudara sedikitpun ia tidak tahu, maka ia pun tidak berani segera mengambii kepastian.   Hwesio jenaka mengunjuk seri kegirangan.   waktu pertama kali melihat tampang Pek-tok Lojin lantas ia pernah mimikirkan ke arah itu, orang yang dapat mengulupas kulit manusia dengan cara yang begitu rapi dan bagus mungkin hanya Sin-jiu-mo-ih Lam Im seorang.   Kalau benar-benar dia, betapapun Tok-sim-sin-mo pasti merasa segan turun tangan kepadanya.   Begitu Hwesio jenaka buka bicara lantas Hun Thian-hi maklum kemana juntrungannya.   dikolong langit ini mungkin memang hanya Sin-jiu-mo-ih seorang yang dapat mengoperasi muka orang dengan begitu sempurnanya.   Adalah Tok-sim-sin-mo ragu-ragu dan bimbang, raut wajah dan bentuk tubuh Hwesio jenaka jauh berbeda dengan Lam Im, apalagi sesudah keadaan mendesak baru Hwesio jenaka mengajukan persoalan ini, kemana juntrungannya, sungguh mencurigakan.   Tapi iapun heran dari mana Hwesio jenaka kenal akan Lam Im, pikirannya; bila hal ini sampai tersiar luas dikalangan Kangouw, pasti besar akibatnya, sebentar ia berpikir lalu serunya kepada Hwesio jenaka.   "Seumpama benar-benar kau adik kandungnya pun tak berguna, ketahuilah dia sudah meninggal!"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Hwesio jenaka melengak, tapi bukan kesana tujuannya, segera ia menyahut tertawa.   "Aku hanya ingin tahu siapakah orangnya yang begitu pintar dapat mencari jenazah Giok-yap Cinjin, setelah sekian lama aku mereka-reka baru sekarang kuteringat pada beliau!"   Tok-sim-sin-mo tertawa dingin., ia insyaf akan akibatnya terlalu fatal bila hal ini sampai diketahul orang luar kalau sampai geger pasti Lam Im tidak mau keluar pula membantu dirinya.   Begitu hwesio jenaka selesai mengucapkan kata-katanya.   papan batu itu pelan-pelan bergerak lagi, bercekat hati Hwesio jenaka, serunya.   "Kenapa begitu sempit pikiranmu, bila kau ketemu dia harap bertanya kepadanya bahwa orang yang ingin dia cari sekarang sudah datang, nama gelaranku adalah Ceng Gwat!"   Tek-sim-sin-mo berjingkrak mundur saking kaget, matanya terbelalak, ucapan Hwesio jenaka terakhir ini bukan main-main, Ceng Gwat adalah murid Siau-bin-kim-hud yang berhubungan kental dengan Lam Im! Tapi dalam keadaan yang kontras ini ia tak bisa banyak pikir lagi, ia harus tetap bertindak menurut keputusan terakhir, cuma Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain cukup disayangkan.   Dinding batu itu bergerak terus semakin dekat hati semua orang sudah sama diliputi pikiran gelap dan bayangan kematian, mereka insaf bahwa dewa elmaut sudah dekat dan siap mencabut nyawa mereka bersama.   Sekonyong-konyong, sebuah batu bergeser disebelah samping depan sana dan terbukalah sebuah lobang yang cukup besar, tampak Pek Si-kiat seperti melayang turun dari kajangan bagai dewa penyelamat saja layaknya berdiri diambang lobang besar itu, Hun Thian-hi sampai tersurut kaget, dilain saat ia berjingkrak kegirangan, sebenar-benarnya ia sudah siap begitu dinding batu itu bergerak semakin dekat Ia hendak kerahkan seluruh kekuatan gabungan semua orang untuk berontak bersama, apakah dinding batu setebal itu mampu bertahan terhadap pukulan bersama dari sepuluh lebih tokoh-tokoh kelas wahid.   Pek Si-kiat segera menggapai tangan ke arah Hun Thian-hi, bergegas Thian-hi seret Ham Gwat dan lain-lain memburu kelorong rahasia sebelah sana, katanya sembari berlari.   "Paman Pek, kenapa kau mendadak muncul disini?"   Pek Si-kiat tertawa, ujarnya.   "Empat puluh tahun lamanya aku bersemajam dalam gua ini, daerah mana saja sudah pernah kujelajahi!"   Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain jadi serba runyam. Untung segera Pek Si-kiat berkata.   "Aku jauh lebih mendalami sifat Tok-sim. Kalian harus sadar, sesuatu yang bergabung demi kepentingan pribadi akhirnya pasti akan bujar pula karena kepentingan itu pula. Dan ini kenyataan, disaat dia tidak lagi meimerlukan tenaga kalian, atau dia tidak akan ragu-ragu lagi untuk meninggalkan kalian tetap hidup!"   Dalam pad itu begitu Tok-sim-sin-mo menggerakkan alat2 rahasianya lantas tinggal pergi, tapi meski ia sudah tak hadir di tempat itu, ia tahu bahwa urusan sudah menyimpang atau telah terjadi sesuatu perubahan.   yang jelas bahwa Hun Thian-hi dan lain-lain sudah berhasil meloloskan diri dan menghilang dilorong yang lain.   Keruan kejut dan murka pula hatinya, siapakah orang yang datang menolong, begitu pintar dia mampu menolong keluar Hun Thian-hi dan lain-lain.   Sementara itu Pek Si-kiat membawa Thian-hi dan lain-lain menyusuri lorong2 panjang yang belak belok, dia jauh lebih apal akan segala seluk beluk lorong2 itu dari Tok-sim-sin-mo.   Ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo pasti juga sudah tahu bahwa seseorang telah datang membebaskan para tawanannya, mungkin tindakan selanjutnya segera bakal terjadi, sejenak ia menerawang sekelilingnya, lalu berkata.   "Menyelusuri sepanjang lorong ini bila tidak terjadi suatu perubahan kita bakal tiba diluar gua, Thian-hi harus cepat putar balik bersama aku untuk mengejar Tok-sim- sin-mo. kalau terlambat, mungkin dia sudah menghilang!"   Thian-hi merasa diluar dugaan akan tekad Pek Si-kiat yang teguh itu.   Apakah dia akan menurut usul orang, samar-samar ia merasa rada berat untuk meninggalkan sesuatu tapi mau tak mau harus segera mengintil di belakang Pek Si-kiat, beberapa langkah kemudian ia berpaling memandang ke arah Ham Gwat wajah orang kelihatan tetap dingin kaku, sedikitpun tidak memperlihatkan perasaan hatinya.   Mencelos hati Thian-hi, cepat ia memburu di belakang Pek Si- kiat.   Pek Si-kiat juga tahu akan tindak tanduknya, tapi saat ini lebih penting dari persoalan asmara muda mudi, segera ia bawa Hun Thian-hi menyusup kesebuah jalan rahasia disebelah samping.   Beberapa kejap kemudian, Pek Si-kiat membalik tubuh dan berkata lirih kepada Hun Thian-hi.   "Perlahan-lahan sedikit. kalau tidak salah dia semestinya berada disekitar sini!"   Perasaan Hun Thian-hi menjadi tegang, berulang kali Tok-sim-sin-mo dapat berinisiatif mengambil kedudukan yang menguntungkan dari posisi yang terdesak, ini merupakan hal yang tidak terlalu enteng dan mudah, mau tak mau ia harus memuji dan kagum akan kecerdikan otaknya, kini ia harus berhadapan pUla, dengan Tok-sim-sin-mo lawannya yang setimpal, sedang Ling-lam-kiam-ciang berada ditangannya pula, bukan saja ia harus berhadapan secara kekerasan bila perlu iapun harus mengadu kecerdikan otak dan kepintaran.   Dengan seksama Pek Si-kiat meneliti keadaan sekelilingnya, iapun merasa bahwa musuhnya sulit dihadapi, kalau tidak ia tidak perlu minta bantuan Hun Thian-hi.   Pek Si-kiat sendiri juga merasa was-was apakah Tok-sim-sin-mo dapat mengetahui akan kedatangannya, yang jelas dia pasti sudah tahu bahwa Jian-hud-tong telah kedatangan seseorang tamu yang tak diundang, malah bisa menggunakan alat2 rahasia dalam gua ini untuk menolong para tawanannya, entahlah dimanakah Tok-sim sekarang berada.   Sebelum melihat jejak dan orangnya Pek Si-kiat sulit menentukan dimana kedudukan Tok-sim- sin-mo sekarang, ia tidak perlu takut Tok-sim-sin-mo bakal menggunakan alat2 rahasia dalam gua mengurung dirinya, soalnya seluk-beluk mengenai alat2 rahasia dalam gua ini ia jauh lebin matang dari Tok-sim-sin-mo sendiri malah mungkin lebih jelas dan menyeluruh, tapi bagaimana juga ia harus berjaga-jaga dari segala muslihat musuh, seumpama Tok-sim-sin-mo menyergap dengan caranya yang licik, bukan mustahil dalam kalapnya ia gunakan segala daya upayanya untuk menyerang mereka kalau itu terjadi mereka bisa terdesak dalam bahaya.   Setelah menyelusuri sebuah serambi panjang, mendadak terdengar jengekan dingin dari tempat yang gelap disebelah sana, mereka berpaling bersama, tampak sepasang biji mata yang terang kemilau berkelap kelip di kegelapan sana, Tok-sim-sin-mo beranjak keluar dari sebuah jalan rahasia yang lain katanya.   "Jite! Sungguh tak kuduga Kau adanya. Ternyata kau jauh lebih apal keadaan seluruh Jian-hud-tong ini dari aku!"   "Benar-benar atau tidak, kau sendiri paham,"   Sahut Pek Si-kiat masam.   "Empat puluh tahun lamanya kita tersekam bersama dalam gua ini, kalau kau dibelenggu tak mampu bergerak sebaliknya aku dapat bebas bergerak kemana aku suka, sudah tentu aku jauh lebih jelas segala seluk beluk dalam gua ini."   "Marilah sekarang kita bicara secara gamblang, segala peralatan dalam gua ini aku tidak sepaham kau, untuk melawan kau, jangan kata dua lawan satu, apalagi aku sudah terluka, satu lawan satu diantara kalianpun aku bukan tandingan lagi. Tapi perlu kuingatkan Coh Jian-jo masih berada di tanganku, kalau kau ingin dia tetap hidup kalian harus dengar ucapanku, aku masih mampu untuk melaksanakan rencanaku yang terakhir!"   Thian-hi ikut beragu, ia rasakan juga situasi sekarang yang menyulitkan, secara gamblang Tok- sim-sin-mo gunakan Coh Jian-jo untuk menekan dan mengancam mereka, terpaksa ia ikut bicara.   "Kau punya permintaan apa silakan katakan saja."   "Yang terang aku tidak akan bebaskan dia sebelum Ni-hay-ki-tin dapat kucapai. Tatkala itu aku pasti punya caraku sendiri untuk meloloskan diri!"   "Menanti kau memperoleh Ni-hay-ki-tin? Bukankah terlalu ngelantur dan jauh persoalannya? Seumpama kau tidak mampu memperoleh Ni-hay-ki-tin itu lalu bagaimana?"   "Coh Jian-jo tidak akan kubebaskan. Begitulah keputusanku!"   "Syarat yang kau tawarkan ini terlalu tinggi, begitu besar hasratmu untuk mendapatkan Ni-hay- ki-tin, tapi kenyataan kau tidak akan mungkin memperolehnya!"   "Kau kan belum tahu akan kemampuanku!"   "Bilamana kau mampu mencapainya, sejak lama orang lainpun sudah mengambilnya. Bukti menunjukkan selama sepuluh tahun Pek-tok Lojin masuk kesana, akhirnya ia kembali dengan bertangan kosong, agaknya kau menilai urusan ini menurut pandanganmu yang sempit, ketahuilah banyak aral rintangan yang tidak mungkin dapat kau jebol atau dapat kau atasi menurut akal sesatmu yang cupat itu. Jikalau kau mengukuhi pendapatmu, betapapun kami tidak akan tinggal diam!"   Bab 29 "Ucapanku cukup sampai disini saja. Terserah apa yang hendak kalian lakukan!"   "Begitu pun baiklah,"   Ujar Hun Thian-hi sambil mengeluarkan seruling jadenya.   "sebelum kau lepas kan Coh Jian-jo, kau pun takkan kulepaskan, Ingin kulihat apa yang berani kau perbuat atas dirinya."   "Begitupun baik, akupun tidak perlu takut apa yang bakal kau lakukan terhadap diriku, memangnya kalau tidak bisa memperoleh Ni-hay-ki-tin aku sudah bertekad untuk mati. Tapi kau perlu berpikir dua belas kali, seumpama kau yang melakukan hal-hal itu dapatkah kau mengambil keuntungan? Jiwa Coh Jian-jo masih tergenggam dalam tanganku."   Habis berkata ia mandah bergelak tawa dengan sikap acuh tak acuh.   Hun Thian-hi jadi mati kutu.   kalau orang sudah pasrah pada nasib dan menyerah dengan cara demikian, apa pula yang dapat aku perbuat atas dirinya, tapi bukan mustahil ia hanya pura-pura.   Hanya sebuah kemungkinan saja untuk menghadapi sikap Tok-sim-sin-mo ini, tapi betapapun ia tidak bisa mempertaruhkan jiwa Coh Jian-jo dalam langkah-langkah perhitungannya yang berbahaya ini, dia perlu menyelidiki dan main sandiwara pula seumpama Tok-sim-san-mo memang berpura-pura muka belum terlambat ia bertindak selanjutnya.   Sebaliknya bila tindak tanduknya ini memang kenyataan tiada soal kali ini ia membahayakan jiwanya.   Biarlah situasi lebih matang dan jalan lebih lapang bagi dia, tapi menurut anggapannya adalah sebaliknya bagi dirinya.   Sejenak menerawang Thian-hi lantas bertanya pada Tok-sim-sin-mo.   "Apakah kau tahu benar- benar bahwa Ni-hay-ki-tin berada di dalam sana?"   "Memang aku belum tahu pasti, tapi itu soal waktu saja bila kutanyakan pasti segera dapat kuketahui. Ingat Coh Jian-jo pasti tahu, menurut Pek-tok katanya berada di dalam sana, tapi itu menurut. dugaan belaka, aku justru tidak sepaham akan pendapatnya itu, mana mungkin Ni-hay- ki-tin berada dalam Jian-hud-tong ini?"   "Apakah kau sudah pasti bahwa Coh Jian-jo benar-benar mengetahui rahasia Ni-hay-ki-tin itu, mengandal apa dia bisa tahu?"   Tok-sim-sin-mo menyerihgai lebar, katanya.   "Rahasia Ni-hay-ki-tin adalah rahasia turun temurun dari kakek mojangnya, masa perlu disangsikan lagi?"   Hun Thian-hi tertawa, ujarnya.   "Belum tentu bukan? Warisan keluarganya cuma Badik buntung, yang dia ketahui melulu bahwa tempat rahasia penyimpanan harta benda itu tersembunyi di dalam serangka pedang, sebelum dia berhasil mengeluarkan gambar rahasia itu dari serangka pedang itu takkan seorangpun yang dapat tahu!"   Tok-sim-sin-mo mendengus tanpa bicara, diapun tidak bisa menyangkal akan kebenar-benaran analisa Thian-hi ini, jikalau tiada gambar petanya, ia percaya Coh Jian-jo sendiri juga tidak akan mampu menunjukkan tempatnya. Kata Hun Thian-hi pula.   "Katamu tadi setelah berhasil mendapatkan Ni-hay-ki-tin kau punya caramu sendiri untuk meloloskan diri, jadi jelasnya seorang diri cukup kau dapat bekerja, kenapa pula Coh Jian-jo harus menyertai kau?"   "Pendek kata begitulah syarat yang kuajukan, terserah kau setuju atau tidak."   "Tapi kau harus berpikir dua belas kali, perbuatanmu ini tidak bakal mendatangkan keuntungan bagi kedua belah fihak, malah mungkin ada manfaat bagi kau, bagaimanapun aku tidak setuju!"   ToK-sim-sin-mo mengawasi sekelilingnya lalu berkata pula"   "Kalau begitu tiada kompromi lagi, silakan kalian maju aku tidak akan mundur setapakpun juga!"   Berkilat biji mata Hun Thian-hi, ia tahu bahwa sikap Tok-simsin-mo ini hanya pura-pura belaka, aku harus bertindak secara cermat dan mencobanya secara untung2an.   Sudah lama Tok-sim-sin- mo mengatur segala sesuatunya dalam rencana mendapatkan Ni-hay-ki-tin, betapapun ia tidak akan nekad dan rela rencananya sampai gagal, jalan satu-satunya aku mau mencoba dengan main gertak saja.   "Kalau begitu apa boleh buat, demikian ujar Hun Thian-hi sambil menggeser kakinya melangkah kehadapan Tok-sim-sin-mo, sementara itu mulutnya bicara lebih lanjut.   "Kalau begitu seumpama kami setuju juga tiada gunanya, sebaliknya bila kami berhasil meringkus kau, buat Coh Jian jo pasti lebih melegakan" .   "Umpama kalian bisa menawan aku. Coh Jian-jo pasti segera mampus!"   Thian-hi tertawa lebar, katanya.   "Kalau itu benar-benar maka cara kematianmu bakal lebih mengenakan, tidak percaya marilah kita coba!"   Tok-sim-sin-mo berdiri tegak dan siaga, biji matanya lekati mengawasi gerak gerik Hun Than- hi.   Sementara itu Hun Thian-hi sudah melolos seruling jadenya, sesaat lamanya mereka beradu pandang tanpa bergerak.   Pek Si-kiat mundur selangkah kesamping, ia tahu menghadapi orang macam Tok-sim-sin-mo harus menabahkan hati dan berani bertindak dengan segala resiko, dengan mundur selangkah ia memberi peluang pada mereka berdua untuk mengadu kekuatan, disamping itu sengaja iapun ingin mepet dinding untuk mengendalikan alat2 rahasia supaya dapat merintangi Tok-sim-sin-mo melarikan diri.   Sekilas Tok-sim-sin-mo melirik kesamping, lambat laun timbul rasa gentar dalam sanubarinya, jelas ia sudah punya langkah-langkah yang sempurna untuk jalan mundurnya, diam-diam ia menerawang apakah perlu ia main gertak dan main ancam terhadap musuhnya, kalau langkah itu bisa mempermudah dirinya mencapai tujuannya paling tidak bisa mengurangi tekanan batin yang terasa gentar dan takut ini.   Pikir punya pikir akhirnya ia berkata.   "Jikalau Coh Jian-jo mau bantu aku memperoleh gambar peta rahasia Ni-hay-ki-tin serta sudah dapat kuselami, tiada halangannya kulepas dia." "Begitu sederhana? Apa kau tidak kuatir tempat rahasia itupun dapat kita ketahui? Bukankah kau memperoleh saingan malah?"   "Itu, urasanku sendiri. kenapa kau kuatir malah. Aku punya caraku sendiri untuk mengetahui pul rahasia gambar peta, kukira tidak semudah seperti kalian duga!"   "BaiKlah, aku tidak perlu kuatir lagi. Tapi aku masih sangsi cara bagaimana kau dapat menemukan Ni-hay-ki-tin itu seorang diri? Bila berita ini sampai bocor, bukan saja kami berdua, mungkin para tokoh-tokoh persilatan semua bakal meluruk datang mengikuti jejakmu. Tatkala itu cara bagaimana kau akan menghadapi mereka?"   Memangnya Tok-sim-sin-mo sudah merasa jeri terhadap Hun Thian-hi, serta mendengar ucapan Thian-hi mau tak mau ia merasa kuatir pula. Bukan tidak beralasan ucapan Hun Thian-hi yang mengandung kebenar-benaran ini. Kata Hun Thian-hi pula.   "Hendaklah Pek-tok Lo-jin dijadikan contoh, sepuluh tahun ia meluruk masuk ke dalam Jian-hud-tong dan istana sesat baru bisa keluar, sekarang masih berusaha untuk keluar. Dengan berani menempuh bahaya tentu diapun punya pegangan dan yakin akan tekadnya. Siapa tahu bahwa Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di Jian-hud-tong, kalau itu benar-benar bukankah banyak menghemat tenaga dan pikiran malah." Dengan sorot mata yang mengandung pertanyaan dan curiga Tok-sim-sin-mo pandang Thian-hi lekat-lekat, ia jadi sangsi kenapa Hun Thian-hi begitu baik hati mau memberri saran dan jalan sempurna kepada dirinya, mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan, bagaimana juga Thian-hi merupakan musuh besarnya yang utama. pikir punya pikir akhirnya ia mendengus, mulutnya bicara tawar.   "Betulkah begitu?"   "Jangan kau terlalu curiga terhadapku,"   Demikian Thian-hi tersenyum.   "Kuharap urusan ini lekas selesai supaya tidak membawa buntut yang berkepanjangan dan membawa manfaat bagi dua belah pihak. Apalagi aku percaya umpama kau tahu jelas dimana letak simpanan Ni-hay-ki-tin itu belum tentu kau mampu mengambilnya.   "Berani kau berkata begitu, lalu bagaimana menurut maksudmu? Adakah cara lain yang lebih sem purna?"   Sebelum menjawab Thian-hi berpaling ke arah Pek Si-kiat seraya mengedipkan matanya, ia memberi isyarat supaya Pek Si-kiat memperhatikan segala gerak gerik Tok-sim-sin-mo, lalu ia berpaling kemuka pula dan berkata kepada Tok-sim-sin-mo.   "Aku punya usul. Silakan kau bawa Coh Jian-jo kemari, bila kau yang tanya belum tentu dia sudi memberi tahu, sebaliknya, bila kami yang mengajukan pertanyaan mungkin dia mau menjelaskan, sesudah itu kita berunding lebih lanjut. Seumpama Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di dalam Jian-hud-tong ini, urusan menjadi lebih mudah, kau lari masuk pun kami tidak akan berani mengejar. Sebaliknya seandainya tidak berada dalam Jian-hud-tong kita pun boleh mencari jalan lainnya yang lebih sempurna!"   Mendengar uraian ini Tok-sim-sin-mo beranggapan bahwa Hun Thian-hi teramat goblok dan ceroboh, urusan selanjutnya bakal lebih menguntungkan bagi dirinya.   Maka sambil menyeringai dingin baru saja badannya bergerak mendadak hati kecilnya merasakan bahwa urusan tidaklah begitu gampang, masakan benar-benar Hun Thian-hi begitu baik hati memberi kelonggaran kepada dirinya, bukankah perbuatannya ini demi keselamatan Coh Jian-jo.   Bilamana urusan belum mencapai titik penyelesaiannya lantas mempertemukan mereka sama Coh Jian-jo, situasi pasti akan semakin menyulitkan dirinya.   Serta terpikir hal ini ia merandek dan putar balik, wajahnya mengulum senyum dingin, naga-naganya ia bersyukur bahwa dirinya belum sampa, kena tipu.   Tapi tanpa disadarinya perbuatannya ini justru telah memperlihatkan tanda2 yang mencurigakan, cuma tidak diketahui olehnya.   Selama itu Pek Si-kiat selalu mengawasi gerak gerik Tok-sim-sin-mo, begitu orang bergerak hendak memutar tubuh ia lebih memperhatikan, meskipun badan Tok-sim-sin-mo belum seluruhnya berputar tapi sudah membalik sebagian besar, di bawah pengawasan Pek Si-kiat dapatlah diketahui kemana tujuan pandangan kedua biji matanya, serta merta lantas tersimpul dalam benaknya, bukan mustahil disanalah Coh Jian-jo disembunyikan.   Bukankah tadi dia mengatakan bahwa Coh Jian-jo ada disekitar sini.   Agak lama Tok-sim-sin-mo mandah menyeringai dingin tanpa bicara, matanya mengawasi Thian-hi Sekian lamanya baru berkata.   "Usulmu tadi tidak dapat kulaksanakan, biar aku sendiri yang tanya padanya."   Tita2 Hun Thian-hi memberi tanda kepada Pek Si-kat, serempak mereka bergerak bersama, Pek Si-kiat langsung terbang miring kesamping berbareng kedua telapak tangannya memukul ke arah dinding samping, kontan dinding batu itu pecah berhamburan dan munculah dua pintu dari dua kamar kurungan.   Benar-benar juga Coh Jian-dio ada di dalam salah satu kamar itu.   Sementara dalam waktu yang sama Hun Thian-hi menubruk ke arah Tok-sim-sin-mo sambil berusaha mencegat jalan mundurnya.   Begitu melihat Hun Thian-hi memberi tanda kepada Pek Si-kiat lantas ToK-sim-sin-mo mendapat firasat jelek.   seketika dilihatnya Pek Si-kiat mencelat terbang menerjang ke arah kamar tahanan Coh Jian-jo, keruan kejutnya bukan kepalang, tahu dia bahwa urusan semakin mendesak dan tidak mungkin tertolong lagi, hari ini dirinya kena dikalahkan dan gagal total, terpaksa harus lari untuk menyelamatkan diri.   Maka tanpa ayal iapun bergerak teramat gesit dan cepat, kedua telapak tangan bergerak kedua jurusan, tangan kanan menghantam ke arah Thian-hi merintangi tubrukan lawan, sedang sebelah tangan yang lain menggempur dinding di sebelah belakangnya membuka sebuah jalan rahasia terus melesat masuk dan menghilang.   Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi menerjang masuk mengejar, demikian juga Pek Si-kiat tak mau ketinggalan, mereka.   mengejar dengan kencang.   Diam-diam bercekat hati Pek Si-kiat, Tok- sim-sin-mo lari ke arah lorong2 sempit dibagian gua paling belakang dimana merupakan jalan- jalan yang paling rumit dan penuh terpasang alat rahasia, bila Tok-sim-sin-mo sampai mencapai daerah itu untuk membekuknya tentu sukar sekali .   Begitulah kejar mengejar berlangsung sekian lamanya, mereka keluar masuk lorong2 panjang mengejar Tok-sim-sin-mo.   Meski Pek Si-kiat jauh lebih apal jalan-jalan lorong itu, soalnya gerak- gerik Tok-sim-sin-mo sulit diduga sebelumnya, kemana ia hendak menuju, maka jarak mereka bertahan sekian jauhnya, kelihatan bayangannya.   tapi tak kuasa meringkusnya.   Sembari lari kencang seperti dikejar setan diam-diam Tok-sim-sin-mo berpikir.   "Pek Si-kiat bersama Hun Thian-hi mengejar terus seperti bayangan tubuh sendiri, betapapun akhirnya dirinya takkan kuasa lolos, kalau hal ini berlangsung lama, luka dalamnya bisa kambuh dan semakin berat, beberapa kejap lagi pasti dirinya akan kehabisan tenaga dan terima dibekuk saja."   Begitulah sembari lari ia mencari akal cara bagaimana ia harus meloloskan diri.   Namun Hun Thian-hi berdua sudah semakin dekat, jarak mereka tinggal sepuluh tombak, keruan kejut dan gugup pula hatinya, tiba-tiba tergerak hatinya biji matanyapun berkilat terang, mendadak ia membelok memasuki sebuah lorong rahasia.   Hun Thian-hi berdua terus mengejar masuk ke sana.   Jalanan dalam lorong itu menjurus ke arah tempat yang semakin rendah dan lembab, jadi semakin lama semakin menurun.   Tok-sim-sin-mo tidak hiraukan keadaan sekelilingnya, ia lari terus turun kebawah.   Sebaliknya Hun Thian-hi berdua menjadi kaget, lorong jalan ini justru yang menjurus ke arah istana sesat itu.   Bila Tok-sim-sin-mo sampai menerjang masuk kesana, betapapun mereka berdua tidak akan mampu mencapainya.   Cepat ia menyedot napas tiba-tiba tubuhnya melayang seringan asap secepat anak panah melesat ke depan.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tok-sim-sin-mo sendiri juga insaf bila ingin hidup satu-satunya jalan hanyalah masuk ke dalam istana sesat, Thian-hi berdua takkan berani mengejar kesana.   Kalau Pek-tok Lojin sepuluh tahun tidak mampus di sana, kenapa aku harus takut? Apalagi aku menggembol serangka Badik buntung, Ni-hay-ki-tin pasti dapat kutemukan, demikian pikirnya.   Dalam pada itu suara, pernapasan Hun Thian-hi seakan terdengar begitu dekat jbelakangnya, cepat ia mengempol semangat dan menyedot napas dalam-dalam.   tubuhnya segere melejit tinggi terus meluncur turun laksana meteor jatuh langsung melayang masuk ke dalam istana sesat.   Hampir saja Hun Thian-hi sudah dapat menyandak tinggal kurang sejangkauan tangan, namun Tok-sim-sin-mo berhasil pula meloloskan diri dari kejarannya, sungguh hatinya teramat menyesal tak terperikan.   Dalam detik lain Pek Si-kiat juga sudah mengejar datang, sejenak ia terlongong.   lalu katanya kepada Hun Tnian-hi.   "Sudahlah! Mari kami pulang. Jalan selanjutnya tiada pintu. untuk dapat kembali, tak usah dikejar ke dalam sana!"   Pelan-pelan Hun Thian-hi manggut-manggut, bersama Pek Si-kiat ia putar balik ke tempat semula dimana Coh Jian-jo masih menunggu. Setelah dapat bergerak bebas Coh Jian-jo bertanya.   "Kemana Tok-sim-sin-mo? lari masuk ke dalam istana sesat bukan?"   Perlahan-lahan Thian-hi manggut sebagai jawaban, lalu katanya.   "Apakah Coh-cianpwe tahu bahwa Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di dalam istana sesat sana? Atau mungkin merupakan lagenda belaka?"   "Sebenar-benarnyalah bahwa Ni-hay-ki-tin memang berada, di dalam istana sesat itu,"   Demikian ujar Coh Jian-jo kalem.   "Tapi mungkin tiada seorang pun yang bakal mampu menjangkaunya. Demikian juga Tok-sim-sun-mo akan sia-sia masuk kesana!"   "Kenapa begitu?"   Tanya Thian-hi tidak mengerti. Coh Jian-jo menghela napas panjang seraya menggeleng kepala, agaknya ia segan bicara, sesaat setelah merenung baru ia buka suara pula.   "Istana sesat memang punya sangkut paut yang sangat erat dengan leluhurku. Dulu kala pernah terjadi gelombang pertikaian dalam dunia Kangouw, seorang-orang gembong iblis yang berkepandaian tinggi entah dari mana dapat memperoleh se   Jilid buku Ni-hay-pit-kip, kemudian kepandaian silatnya teramat tinggi dan sukar diukur, tiada seorangpun tokoh-tokoh persilatan dalam Bu-lim yang menjadi tandingannya, entah berapa banyak yang sudah menjadi korban keganasannya.   Tapi akhirnya, ia insaf dan sadar akan kelalimannya.   ingin ia membakar Ni-hay-pit-kip itu, tapi merasa sayang dan eman2.   Belakangan ia memperoleh suatu ilham, bersama seluruh benda-benda mestika koleksinya yang tak ternilai itu ia suruh leluhurku membuat istana sesat itu.   seluruh miliknya ia pendam dan simpan di dalam istana sesat itu, harapannya supaya segaia milik yang bakal ditinggalkan itu akan selalu terpendam dan tidak bisa muncul pula dialam semesta ini."   Sampai disini ia menghela napas, lalu menunduk diam, sesaat kemudian baru melanjutkan pula.   "Tapi tak lupa ia meninggalkan sebuah peta bergambar yang teramat rahasia."   Thian-hi maklum kemana arah tujuan ucapan Coh Jian-jo ini.   Kalau tokoh lihay itu tidak suka mewariskan seluruh miliknya kepada generasi mendatang, jadi leluhur Coh Jian-jo itulah yang secara sembunyi dan terahasia mewariskan gambar peta itu, maka tidaklah heran jika Coh Jian-jo sukar membuka mulut.   Sekali lagi Coh Jian-jo menghela napas, ujarnya.   "Menurut ajaran dan pesan leluhur kami turun temurun supaya jangan timbul sifat tamak dan mengincar Ni-hay-ki-tin itu, malah dilarang pula untuk membicarakannya. Pek Si-kiat tertawa tawar, timbrungnya.   "Kalau begitu Ni-hay-ki-tin akan lebih memincut perhatian khalayak ramai. Kalau toh dia menyimpannya di dalam istana sesat dan tidak menghancurkan benda-benda itu, ini berarti bahwa dia sengaja memang hendak mewariskan kepada generasi mendatang."   Coh Dian-jo tertawa getir. ujarnya.   "Biarlah aku bicara terus terang saja, Leluhurku itu memang akhirnya timbul sifat tamaknya, dengan nekad ia masuk ke dalam istana sesat itu hendak mengambilnya keluar, tapi sekali masuk selamanya tidak pernah keluar lagi. Putranya menunggunya sampai sepuluh tahun dan diapun menyusul masuk kesana, setelah kembali saketika pun ia tidak bicara dan tidak pernah menyinggung persoalan ini. Gambar peta itu ia simpan ke dalam kerangka Badik buntung itu, dan untuk selanjutnya persoalan Ni-hay-ki-tin ini menjadi terpendam dan dilupakan orang. dan untuk selanjutnya pula beliau menegakkan undang2 keluarga itu."   Pek Si-kiat tak bicara lagi. Sebaliknya Hun Thian-hi membatin.   "urusan ini rada ganjl, istana sesat yang dibangunnya sendiri kenapa setelah dia masuk kesana tidak bisa keluar pula, entah peristiwa apa yang telah terjadi?"   Begitulah dengan langkah tenang dan mantap mereka beranjak keluar beriringan. Dari saku bajunya Pek Si-kiat merogoh keluar buntalan kantong obat diangsurkan kepada Hun Thian-hi, katanya.   "Obat pemunahnya semua dapat kurampas!"   Sebenar-benarnya hati Thian-hi juga sedang memikirkan obat pemunah racun ini, ia merasa sangat kebetulan serta ujarnya tertawa.   "Untuk selanjutnya hakikatnya Tok-sim-sin-imo tidak akan punya pegangan untuk mengancam dan menekan kami. Lam-bing-it-hiong dan lain-lain selanjutnya juga bisa merubah haluan kejalan lurus. Persengketaan Bu-lim utk selanjutnya mencapai titik penyelesaiannya, semoga selanjutnya semua orang dapat hidup sejahtera dan sentosa!"   Tak lama kemudian mereka sudah tiba diambang mulut gua, Ham Gwat dan lain-lain sedang menunggu dengan hati kebat kebit.   Begitu mereka keluar Coh Siau-ceng lantas berpekik kegirangan dan memburu maju ke dalam pelukan Coh Jian-jo, mereka menangis berpelukan.   Sekilas Thian-hi pandang Ham Gwat lalu menghampiri ke arah Hwesio jenaka, katanya tergagap.   "Siau-suhu."   Tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, kepala tertunduk. Berkilat biji mata Hwesio jenaka, katanya tertawa lebar.   "Tak perlu diungkat lagi, soal itu aku sudah tahu seluruhnya. Sebab musahabab persoalan ini kelak kau akan tahu jelas. Bila kau ketemu Ah-lam Cuncia, beliau bisa memberi penjelasan kepadamu hal-hal yang ingin kau ketahui, sekarang jangan kau risaukan persoalan ini."   Thian-hi tidak paham akan kata-kata Hwesio jenaka. Dalam pada itu, Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain maju ke depan Hun Thian-hi serta kata mereka.   "Sekakarang kami sudah sadar, untuk selanjutnya kami tidak akan turun gunung dan berkecimpung di Kang-ouw. Hun-siauhiap kami mohon diri!"   "Ah kenapa para Ciaupwe begitu sungkan!"   Cepat Thian-hi menyahut Lam-bing-it-hiong berkata sambil menghela napas.   "Kelak bila Hun-siauhiap memerlukan tenaga kami silakan panggil saja, kami pasti bantu sekuat tenaga, Hun-siauhiap tidak usah rikuh!"   "Memang tidak lama lagi mungkin aku perlu bantuan kalian, biarlah lain waktu kita bicara lagi, bila ada waktu aku pasti bertandang ke tempat Cianpwe masing-masing."   Be-ramai-ramai Lam-bing-it-hiong dan lain-lain lantas ambil berpisah. Sekarang ganti Ham Gwat yang maju kehadapan Hun Thian-hi katanya perlahan.   "Hun- siauhiap. Gwat-sian sudah berangkat pulang ke Thian-bi-kok!"   Thian-hi jadi melongo, tahu dia bahwa Ham Gwat pasti sudah bertemu dan bicara dengan Gwat-sian, dan yang jelas bahwa hubungan mereka adalah begitu intim. Melihat sikap Thian-hi itu Ham Gwat melanjutkan berkata.   "Dia adalah adik angkatku, kuharap kau tidak me~nyia-nyiakan cintanya. Bagaimana keadaannya kau kan sudah jelas, sekarang juga kau harus cepat menyusul kesana."   Sekian lama Thian-hi terlongong, bicara menurut sanubarinya memang ia harus segera menyusul ke selatan, apalagi jiwa hidup Ma Gwat-sian tinggal tiga bulan lagi, betapapun ia tidak tega meninggalkan kesan buruk kepada gadis remaja yang lemah lembut.   Soalnya adalah kata- kata ini terucapkan oleh Ham Gwat maka kepentingan ini menjadi lain pula artinya, seolah-olah ia dibayangi kekuatiran lain, bahwa dia tidak sepantasnya melakukan hal itu, Mendadak terasa olehnya bilamana ia melakukan hal ini, berarti dia telah menipu Ma Gwat-sian, dapatkah dibenar-benarkan kelakuanku ini.   Begitulah perang bathin berkecamuk dalam benaknya, entahlah sesaat ia sulit mengambil kepastian.   Kata Ham Gwat lagi.   "Kuharap kau segera Berangkat, tapi bila kau tidak sudi menyusul kesana akupun tidak memaksa, tapi dapatkah kau mempertanggung jawabkan kepada sanubarimu?"   Thian-hi mengertak gigi, ia menunduk penuh penderitaan batin, bayangan Gwat-sian selalu terbayang dalam benaknya.   Tapi sekarang dia menghadapi Ham Gwat.   sedang Ham Gwat minta dia segera pergi, bila benar-benar dia melaksanakan kehendaknya, entah bagaimana akibatnya kelak.   Tak berani ia memikirkan lebih lanjut, apalagi kedengarannya Ham Gwat menggunakan nada yang ganjil bicara padanya.   serta merta timbul rasa sungkan dalam hatinya untuk menampik permintaannya itu, tapi ia tidak kuasa menampilkan rasa hatinya itu dengan kata-kata, seolah-olah dadanya menjadi sesak dan sulit terlampias.   Dengan lekat Ham Gwat pandang Thian-hi agaknya iapun dapat memaklumi perasaan Thian-hi, pelan-pelan ia menambahkan.   "Ajahku pergi mencari ibuku, sengaja kukemari memberitahu akan hal ini!"   Lalu ia menunduk serta sambungnya, suaranya lebih lirih.   "Kecuali itu aku tiada cara lain untuk mengatasi persoalan ini! Gwat-sian adalah anak angkat ayah, hubungan kami sangat baik, aku tidak tega melihat ia pulang dengan hati yang hancur dan putus asa, ini akan membawa akibat yang lebih fatal bagi kesehatan badannya yang lemah itu."   Thian-hi menjadi haru, katanya angkat kepala.   "Biarlah kuajak dia kembali, nanti kubawa ke Bu-lu-si untuk mencari kalian bagaimana?"   Ham Gwat manggut-manggut dengan tersenyum.   Thian-hi berdiri kesima, matanya mengawasi Ham Gwat tanpa bicara, sejak ia melihat Ham Gwat dulu selamanya belum pernah melihat orang unjuk tawanya.   Baru pertama kali ini ia melihat senyum dan tawa orang.   Senyum laksana sekuntum bunga mekar berpeta di wajahnya nan aju elok, hatinya menjadi hangat dan terhibur, segala kerisauan hatinya seketika tersapu lenyap.   Dikejap lain senyum Ham Gwat hilang dan matanya mengawasi tajam memancarkan sorot aneh, seketika Thian-hi seperti dibuat sadar, mukanya menjadi panas, katanya cepat.   "Sekarang juga aku berangkat menyusul ke Thian-bi-kok!"   "Hun-toako,"   Segera Su Giok-lan maju menghampiri.   "Aku sudah pergi ke tempat Suhu dan lain-lain, malah ayahku juga berada disana. Bersama Ham Gwat Cici kami menuju ke Bu-la-si lalu membawa ibunya tinggal di Jian-hong-kok, kau langsung kesana saja menunggu kami!"   Thian-hi manggut-manggut, tanyanya.   "Apakah Suhu dan lain-lain baik-baik saja?"   "Mereka ada berpesan setelah ketemu kau supaya kau tidak usah kuatir pada mereka malah keadaanmu yang serba sulit ini harus hati-hati."   Thian-hi manggut-manggut.   "Untuk menyusul ke selatan pasti sulit dapat menemukan jejak mereka, dan belum tentu bisa kecandak, lebih baik kau naik burung dewata saja lebih cepat."   Demikian usul Giok-lan.   Thian-hi mengiakan sambil tertawa.   Su Giok-lan segera memanggil burung dewata, cepat Thian-hi naik ike atas punggungnya terus ambil berpisah sama Ham Gwat dan lain-lain, kejap lain burung dewata sudah pentang sayap dan langsung terbang ke arah selatan.   Begitulah selama satu hari satu malam Thian-hi diajak bertamasya di atas udara, hari itu burung dewata menukik turun dan masuk ke dalam hutan mencari buah2an, menurut perhitungan Thian-hi dimana.   sekarang dia berada sudah termasuk wilajah Thian-tom, tak lama lagi pasti ia dapat menyusul Ma Gwat-sian.   Thian-hi duduk di bawah sebuah pohon rindang untuk istirahat.   Begitulah tengah ia menepekur mengawasi awan yang berbondong-bondong di atas langit, mendadak sebuah suara lirih berkeresek di belakangnya.   Sebagai seorang persilatan lantas Thian-hi tahu bahwa seorang tokoh lihay telah muncul berada di belakangnya, ia pura-pura duduk tenang, pikirnya; dalam hutan belukar begini tokoh- tokoh persilatan macam apakah yang muncul disini. Suara keresekan itu semakin dekat dan jelas, tak tahan lagi secepat kilat Thian-hi mencelat berputar, tubuhnya melayang ke depan, waktu ia berdiri menginjak tanah dalam jarak setombak lebih badannya sudah berputar ke arah hutan.   Terdengarlah gelak tawa yang menggila, tampak Ang-hwat-lo-mo muncul dari dalam hutan.   Bercekat hati Thian-hi, pikirnya.   "Keparat kenapa ketemu dia lagi, apakah dia memang sedang menguntit aku? Tidak mungkin!" alisnya segera terangkat tinggi, jengeknya.   "Kukira siapa, ternyata kau!"   Thian-hi heran waktu di Siong-san Ang-hwat-lo-mo mengadu domba sebelum melarikan diri kenapa sekarang berani muncul pula di hadapannya, pasti dia punya pegangan untuk menghadapi dirinya.   Serta merta Thian-hi meningkatkan kewaspadaannya.   Setelah puas dengan gelak tawanya, Ang-hwat-lo-mo membuka kata.   "Aku tahu kau pasti datang, maka kutunggu kau disini!"   Thian-hi tatap orang dengan pandangan curiga, ia tidak percaya bahwa Ang-hwat-lo-mo bisa tahu bahwa dirinya bakal datang, sesaat kemudian baru ia membuka kata pula.   "Begitukah? Aku sendiri tidak tahu sebelumnya bahwa aku akan kemari."   "Sebaliknya aku tahu pasti bahwa kau akan datang,"   Demikian ujar Ang-hwat-lo-mo.   "Demi Ma Gwat-sian masakah kau tidak kemari?"   Lalu ia menyeringai dengan sinis.   Tersentak sanubari Thian-hi, serta merta terasa olehnya bahwa Ma Gwat-sian pasti sudah mengalami kesulitan, kalau tidak mustahil Ang-hwat-lo-mo bisa menyinggung dan mengetahui persoalan ini, sedapat mungkin ia kendalikan gejolak hatinya, sesaat baru berkata.   "Ma Gwat-sian yang kau maksudkan? Sekarang aku sedang mencarinya!"   "Selamanya aku teramat kagum dan simpatik terhadap kau, Dalam keadaan yang terpaksa baru aku ambil sikap yang bermusuhan dengan kau. Seperti peristiwa di Siong-san tempo hari, kenyataan mendesak aku untuk berbuat menurut tuntutan nuraniku. Kalau tidak masa aku suka bersikap berlawanan dengan kalian!"    Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini