Badik Buntung 29
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 29
Badik Buntung Karya dari Gkh Mendengar orang tidak mau menyinggung persoalan Ma Gwat-sian hati Hun Thian-hi menjadi gundah, namun ia pendam dalam batin, supaya Ang-hwat-lo-mo tidak bersikap terlalu takabur dan main paksa terhadap dirinya. Dengan tawar ia berkata. "Apa gunanya kau kagum atau simpatik terhadapku. yang terang justru aku sangat benci padamu, terutama sepak terjangmu terlalu memualkan." Dengan cercahannya ini ia berusaha memancing kemarahan Ang-hwat-lo-mo supaya orang suka memberitahu sampai dimana keadaan bahaya yang dialami Ma Gwat-sian. Dengan demikian ia bisa mempersiapkan diri mencari daya untuk menolongnya. Tapi Ang-hwat-lo-mo adalah seorang yang licik dan pintar juga, ia mandah tertawa tawar saja, ujarnya. "Meski kau membenci aku, tapi ada kalanya kau harus bekerja sama dengan aku, betul tidak?" "Bisa saja kau berkesimpulan begitu, tapi mungkin pula selamanya aku tidak akan sudi kerjasama dengan kau!" "Jangan kau bicara begitu pasti. kerja sama yang kumaksudkan bukan dalam arti yang sesungguhnya, adalah kau yang harus melaksanakan sesuatu kepentingan untukku." lalu ia angkat pundak dan melebarkan tangannya, sambungnya. "Anak muda jangan mengumbar adat, sesuatu peristiwa kadang kala terjadi diluar dugaan, maka jangan kau terlalu yakin akan dirimu, benar-benar tidak?" Hun Thian-hi mendengus tanpa bersuara. "Bukankah kau sedang mencari Ma Gwat-sian? Aku dapat mempertemukan kau dengan dia, baiklah kujanjikan besok pagi2 di Bik-hiat-kok terletak di depan yang tak jauh sana boleh kau ke sana untuk menemuinya." habis berkata ia tersenyum penuh arti, tubuhnya mendadak berkelebat dan berlari pergi sekencang angin. Thian-hi melenggong, akibat ini sudah sejak tadi terpikir olehnya, namun mau tak mau ia berkuatir juga bahwa Ma Gwat-sian terjatuh ke tangan Ang-hwat-lo-mo. Meski ilmu silat Ang-hwat-lo-mo menurut ukuran Thian-hi sekarang tidak begitu tinggi, namun dia lebih sukar dilayani dan lebih licin dari Tok-sim-sin-mo, bukan saja lebih pintar dia pun jauh lebih sabar dan tahan uji, benar-benar sulit untuk menghadapi persoalan rumit ini. Pikiran Thian-hi semakin gundah dan kusut, berbagai persoalan sama menumpuk di dalam benaknya, bagaimana karakter Ang-hwat-lo-mo ia paham benar-benar, dialah manusia telengas dan kejam. mampu melaksanakan segala kekejian tanpa pandang bulu dan tidak hiraukan akibatnya, entah rencana apakah jaug hendak diatur oleh Ang-hwat-lo-mo untuk menyambut kedatangannya di Bik-hiat-kok besok pagi. Apakah aku pantang kesana? Tidak mungkin, Ma-Gwat-sian berada di tangan Ang-hwat-lo-mo entah akibat apa yang bakal menimpa dirinya. Begitulah Thian-hi merenung dan berpiklr bolak-balik, terasa bahwa selama ia belajar silat kepada gurunya dan terjun di dunia persilatan belum pernah ia hidup sehari pun dalam ketenangan, setiap waktu selalu menghadapi berbagai ancaman dan kesulitan yang melibatkan diri sehingga selalu terancam elmaut, dan yang lebih celaka bahwa setiap persoalan itu semua memeras keringat dan daya pikirnya sehingga akhirnya tentu tele2 kehabisan tenaga. Mendadak terdengar suara lirih dibelakangnya, bercekat hati Thian-hi, pengalaman mengetuk nalarnya bahwa disebelah belakang ada seorang tokoh persilatan kelas wahid, suara lirih itu adalah pertanda orang memberitahu kepada dirinya akan kehadirannya. Hati-hati sekali Thian-hi berpaling ke belakang, sesosok bayangan abu-abu mencelat tinggi terus menerobos masuk ke dalam hutan laksana segulung asap, gerakannya begitu gesit dan seenteng burung walet. Melihat gerak-gerik orang Thian-hi menjadi ragu-ragu entah pendatang ini kawan atau lawan, yang terang ia memberi tanda supaya dirinya mengejar kesana, sedikit berpikir tanpa ayal segera ia melejit terbang-mengejar dengan kencang pula. Kepandaian silat bayangan abu-abu itu ternyata cukup hebat, kejar mengejar ini tetap berlangsung dalam jarak antara beberapa tombak, meski lari mereka cukup pesat tapi Thian-hi tahu bahwa orang belum menggunakan seluruh tenaganya, yang terang memang ia sengaja memancing supaya Thian-hi mengikuti jejaknya. Dalam kejap lain mereka sudah menempuh jarak lima li lebih, bayangan orang itu mendadak menyelinap hilang ke dalam hutan disebelah depan. Diam-diam Thian-hi merasa heran, kalau toh orang itu memancing dirinya kemari kenapa dia menyembunyikan diri tidak mau memberi petunjuk seperlunya? Adakah persoalan lainnya? Karena pikirannya serta merta timbul kecurigaannya larinya pun diperlambat, namun ia maju terus sampai tiba di depan hutan, keadaan sekelilingnya hening lelap tak kelihatan lagi jejak orang itu." Tanpa sangsi sedikitpun Thian-hi langsung menerobos masuk ke dalam hutan, di atas sebuah dahan terlihat olehnya tergantung secarik kertas, Thian-hi lantas meraihnya, tampak kertas itu tertulis demikian. "Tidak begitu menakutkan seperti yang dihebohkan." Tulisan ini tiada tanda tangan dan juga tidak dibubuhi nama terang, Thian-hi mandah tertawa tawar saja lalu melempitnya dan disimpan di dalam sakunya sementara matanya menjelajah kesekitarnya. Disebelah kanan diujung hutan sana tampak sebuah aliran sungai yang mengalir keluar. Tahu- tahu jantungnya berdetak dan menjadi tegang, karena secara mendadak didapatinya bahwa sekarang dirinya sudah tiba diambang mulut Bik-hiat-kok yang dijanjikan Ang-hwat-lo-mo itu dalam mengejar bayangan abu-abu tadi. Entah Ang-hwat-lo-mo sudah tahu belum akan kedatangannya ini. Baru saja pikiran ini berkelebat dalam benaknya, ternyata Ang-hwat-lo-mo tiba-tiba muncul dimulut lembah darah kemala. Ang-hwat-lo-mo tertawa-tawa, serunya. "Agaknya kau terburu nafsu, kujanjikan kau datang besok pagi, ternyata malam2 begini kau sudah meluruk kemari, apakah kau tidak merasa terlalu berbahaya?" Thian-hi terpikir. "Menemui Ma Gwat-sian lebih pagi agak baik, apalagi Ang-hwat-lo-mo tentu belum selesai mengatur tipu muslihatnya, siapa tahu aku dapat mengambil sekedar keuntungan" maka Thian-hi lantas berkata. "Dapatkah sekarang juga aku menemui dia?" "Kenapa tidak boleh?" Ujar Ang-hwat-lo-mo. "Mari ikut aku!" -Lalu ia bawa Hun Thian-hi masuk ke dalam lembah. Sambil berjalan Ang-hwat-lo-mo berkata dengan tertawa. "Dulu tiga puluh enam tokoh-tokoh Bulim dari kelas wahid yang masuk kemari tiada seorang pun yang ketinggalan hidup. Maka lembah ini lantas dinamakan Bik-hiat.kok (lembah darah kemala), setiap langkah dalam lembah ini merupakan pertaruhan jiwa bagi setiap manusia, maka kau harus berlaku hati-hati, kalau tidak dapat kau masuk takkan mampu keluar pula" Sikapnya wajar dan tertawa-tawa, sedikitpun tidak unjuk permusuhan. Diam-diam Thian-hi meningkatkan kewaspadaannya, kalau Ang-hwat-lo-mo berani membeberkan rahasia ini tentu dia sendiri punya pegangan untuk mengatasi keadaan, bagaimana watak dan karakter Ang-hwat-lo-mo ia tahu. meskipun bicara ilmu silat dia belum memadai ToK- sim-sin-mo tapi daya pikirannya jauh lebih luas dan cermat serta jauh lebih licik dan licin dari Tok- sim-sin-mo, maka tidaklah tanggung2 bila kaum persilatan mengangkatnya sebagai tokoh sesat nomor satu dikolong langit ini pada jamannya dulu. Begitu berada di dalam semakin jauh, Thian-hi lantas celingukan kian kemari empat penjuru sekelilingnya membentang rumput-rumput kemilau hijau pupus, kelihatan segar dan hidup subur. sedikitpun tiada kelihatan bercahaya, jauh di depan ditengah-tengah lembah sana lapat-lapat kelihatan sebentuk bangunan rumah batu. Setelah dekat Ang-hwat-lo-mo berkata. "Ma Gwat-sian dan gurunya tinggal dalam rumah batu itu, kau boleh masuk menemui mereka." Dalam berkata-kata ini biji matanya menyorotkan sinar kilat yang tajam, katanya pula. "Sudah beberapa kali selalu aku gagal dalam tanganmu. selama hidup ini boleh dikata belum pernah aku kena dikalahkan secara total, kuharap kali ini aku bisa sukses." Thian-hi tersenyum tawar. ujarnya. "Kau akan gagal atau bakal sukses secara kenyataan akan segera kau ketahui. Kenapa pula kau risaukan antara gagal dan sukses ini?" Ang-hwat-lo-mo mandah tertawa lebar tak bersuara. segera ia mengundurkan diri. D engan cermat Thian-hi jelajahkan pandangannya keempat penjuru, tak dilihatnya dimana ada tersembunyi jebakan yang berbahaya atau bisa mengancam jiwanya. tapi Ang-hwat-lo-mo tidak akan menipu dirinya. Pikir punya pikir akhirnya ia melangkah ke depan, matanya dengan seksama menyapu keadaan sekelilingnya. Baru puluhan langkah Thian-hi ke depan, mendadak ia melihat suatu yang sangat mengejutkan hatinya. didapatinya sekarang bahwa rumput-rumput kemilau hijau pupus yang dinamakan rumput kemala ini sebenar-benarnyalah bukan rumput sembarang rumput, bagaikan ular-ular kecil ternyata kakinya sekarang sudah kena gubat oleh rumput disekitar kakinya. Hati Thian-hi rada bercekat. namun mengandal kepandaiannya ia tidak perlu jeri terhadap rumput ular ini, sekali menyedot hawa ya kerahkan hawa murni terus disalurkan kekedua kakinya, semakin gubat rumput-rumput ular itu semakin kencang, begitu tenaga Thjan-hi dikerahkan mendadak ia menggentak keras, anggapnya dengan sekali sendal cukup dapat memutus hancurkan rumput-rumput ular itu, tapi kenyataan jauh diluar perhitungannya, rumput-rumput itu cuma mengendor sebentar lalu menggubat lagi lebih kencang. Baru sekarang Thian-hi benar-benar terkejut. seumpama rumput-rumput ini dibuat dari besi juga pasti putus oleh gentakan tenaganya yang hebat itu, tapi kenyataan sedikitpun tidak goyah, tidaklah berkelebihan bila hatinya terperanjat. Baru saja Thian-hi merasa kewalahan. suatu kejadian lain yang lebih mengejutkan muncul pula. Dari sela-sela rumput-rumput ular itu mendadak berbondong-bondong keluar banyak sekali laba- laba putih kehijauan yang mengeluarkan sinar kemilau, warna dari laba-laba ini hampir sama dengan warna rumput ular sehingga Thian-hi semula tidak melihat karena kurang memperhatikan, maka munculnya laba-laba yang sekian banyak ini mau tak mau membuat hati Thian-hi mencelos dan panik ketakutan. Waktu Thian-hi berpaling ke arah sekelilingnya, di atas rumput-rumput kemilau itu tampak bermunculan laba-laba yang tak terhitung banyaknya, yang lebih mengejutkan bahwa setiap laba- laba itu sebesar telapak tangan manusia, sekali pandang saja cukup menyedot nyali orang. Thian-hi maklum bahwa laba-laba ini tentu mengandung racun yang teramat berbahaya, kedua kakinya sudah dibelit tak mampu berkutik, ia jadi kurang leluasa untuk menghadapi serangan laba- laba ini. Mendadak laba-laba itu terbang menyerang secara serempak, semua meluruk ke arah badan Thian-hi seperti binatang serigala yang kelaparan untuk gegares mangsanya. Thian-hi jadi mengkirik, tanpa ayal seruling jadenya segera diputar secepat kitiran, dimana sapuan tenaga murninya melandai, banyak sekali laba-laba kehijauan yang tersapu jatuh, tapi serangan laba-laba ini tidak kenal putus asa, roboh satu bangkit dua sehingga mau tak mau Thian- hi terpaksa melancarkan jurus-jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, dimana serulingnya teracung miring terus bergerak sedikit saja hawa udara lantas bergolak dan berputar-putar di sekitar badannya, tiada seekorpun dari laba-laba hijau itu yang niampu mendekat ke arah badannya. Tangan bekerja otak Thian-hipun bekerja dengan cepat, tak tahu cara bagaimana ia harus menghadapi dan mengatasi kesulitannya ini, Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus ilmu pedang tingkat tinggi, setiap kali dilancarkan pasti hanyak menguras tenaga dalam, dia takkan mampu bertahan terus sekian lamanya, bila gerak-geriknya sedikit lamban, kontan lantas ia merasakan betapa ancaman laba-laba hijau ini terhadap jiwa raganya. Sekejap saja setengah jam sudah berlalu, mendadak terpikir oleh Thian-hi cara bagaimana Ma Gwat-sian dan gurunya bisa dikurung orang di dalam lembah ini? Lalu siapakah yang membangun gubuk batu itu? Tentu ada jalan rahasia lain yang dapat menembus ke gubuk batu itu dengan aman, atau ada cara lain pula untuk mengatasi rumput-rumput ular dan laba-laba berbisa ini, Begitulah pikiran Thian-hi menjelajah mencari daya untuk menghadapi kesulitan yang dihadapinya, yang paling penting adalah ia harus menolong dirinya sendiri keluar dari ancaman bahaya ini. Sungguh ia rada menyesal kenapa tadi tidak dipikirkan dulu secara cermat baru menerjang ke dalam lembah ini, maka cara satu-satunya untuk menyelamatkan diri ia harus secepatnya mundur dan keluar dari lembah. Pikiran Thian-hi semakin gundah, mendadak serulingnya bergerak semakin gencar dari bertahan sekarang ia ganti menyerang. serombongan laba-laba yang terbang menyerang sekaligus kena disapunya hancur luluh, dimana serulingnya bergerak lebih lanjut berturut-turut tiga jurus berantai menggasak seluruh laba-laba yang serabutan menerjang ke arah dirinya, sedikit peluang saja lantas serulingnya menukik kebawah berputar menggores ke arah rumput-rumput ular yang membelit kedua kakinya. Kontan rumput-rumput ular itu lantas mengendor dan layu, meringkel kebawah, Thian-hi tidak mengira bahwa usaha untung2an ini justru membawa hasil di luar dugaan, keruan betapa girang hatinya, seiring dengan muluthja bersuit panjang, kakinya lantas dijejakkan, badanpun melambung tinggi terbang keluar dari arena rumput-rumput ular yang berbahaya ini. Suasana lembah menjadi hening dan lelap kembali, begitu kehilangan sasaran laba-laba hijau itu lantas sama menyelinap masuk pula ke dalam rumput-rumput ular. Dengan cermat Thian-hi masih dapat melihat dengan jelas bahwa di bawah sela-sela rumput-rumput itu ada sembunyi entah berapa banyak laba-laba hijau beracun. Rumput yang tadi kena diketok dan menjadi layu sekarang sudah tumbuh segar dan berdiri tegak pula bergoyang2 terhembus angin seperti tak terjadi apa-apa. Thian-hi celingukan sekian saat menerawang keadaan lembah ini, bila tidak melalui mulut lembah mungkin belakang lembah ada jalan, ancaman rumput-rumput ular ini pasti jauh lebih ringan, bukan saja mengurangi kesulitan juga menyingkat waktu. Pikir punya pikir Thian-hi tidak memperoleh kesimpulan yang lebih baik, maka setelah dipertimbangkan segera ia melesat ke depan langsung menuju ke puncak gunung. Baru saja kakinya menginjak puncak gunung, ia tersentak kaget pula, sedemikian luas puncak ini tapi selayang pandang dimana-mana terdapat ular besar kecil berkelompok2, sedemikian luas dan rapatnya sehingga setiap tindak kakinya harus menginjak ular-ular itu, dengan serulingnya Thian-hi menjungkit beberapa ekor ular di sekitar kakinya, tak lupa ia berpikir lagi mencari jalan lain. Kenyataan terpapar di hadapannya, keadaan puncak gunung tidak lebih baik dari dalam lembah sana, apalagi ini baru dimulai, apakah nanti masih ada rintangan lain yang jauh lebih berbahaya belum dapat diperhitungkan. Heran Thian-hi kenapa dalam lembah ini bisa terdapat begitu banyak binatang2 berbisa. Baru saja Thian-hi berpikir2 tiba-tiba rombongan ular di depannya sama lari serabutan sembunyi masuk ke dalam lobang atau sela-sela batu, dimana pandangan Thian-hi tertuju tampak di depannya sana muncul seekor ular yang berbentuk sangat aneh, ular ini panjang lima enam kaki, badannya panjang dan lencir, kepalanya gepeng dan besar melebar, sekilas pandang seperti sebentuk papan, kulitnya berwarna kuning luju. Begitu muncul ular aneh ini langsung legat-legot menghampiri ke arah Thian-hi. Thian-hi belum pernah melihat ular aneh macam ini. diam-diam ia meningkatkan kewaspadaann, sedikitpun tak berani lena. Ular aneh itu melata semakin dekat, Thian-hi menggerakkan seruling jadenya berputar satu lingkaran ditengah udara lalu mengetuk ditengah kepala diantara kedua matanya. Pikir Thian-hi setiap makluk dalam dunia ini pasti punya kelemahan ditengah diantara kedua matanya, kecuali berkelit kalau tidak pasti lawan harus mundur menghindar. Tapi ular aneh itu mengebaskan ekornya, sedikit bergerak saja badannya lantas melejit ke atas terus melesat ke depan langsung menerjang ke arah Thian-hi, badannya yang panjang itu membelesut lewat di bawah ketukan seruling jade Thian-hi terpaut serambut saja. Thian-hi tidak menduga bahwa ular aneh ini mampu meluputkan diri sedemikian gampang dari serangannya, malah menggunakan kesempatan itu pula balas menyerang, kelihatannya gerak- gerikhja memang lamban dan tidak pandang sebelah mata pada Thian-hi, tapi sebenar- benarnyalah ular ini begitu lincah dan seperti punya bekal yang cukup sempurna untuk menghadapi Hun Thian-hi. Thian-hi menjadi sengit, sedikitpun ia tidak mau unjuk kelemahan, beruntun serulingnya menutuk dan menyapu, tahu-tahu ujung serulingnya menegak ke atas menjojoh perut si ular aneh itu, pikirnya kali ini cara bagaimana kau hendak menghindar. Agaknya ular aneh itu cukup waspada, tiba-tiba badannya menggeliat, entah bagaimana mudah sekali ia meluputkan diri lalu tubuhnya melenting ke depan, mulutnya terpentang mematuk ketenggorokan Thian-hi. Thian-hi tahu bahwa serangan serulingnya Ini pasti tidak akan membawa hasil, tapi sedetik ia mendapat peluang disaat siular menekuk tubuh dan sedikit bergerak lamban Itu tangan kirinya dirangkapkan dan ketiga jarinya menyanggah ke atas hendak mencengkeram leher siular. Ular aneh melejit ke tengah udara dan menyerang tenggorokannya, kelihatan ia sudah tidak akan mampu berkelit dari cengkeraman tiga jari Thianhi, namun secara mendadak badannya menggetar dengan ekornya menyapu turun ke depan, langsung menepuk dan menangkis tiga jari tangan kirl Thian-hi itu. Posisi Thian-hi lebih menguntungkan, dengan mendapat angin mana dia mau menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat ia tarik tangannya kiri, berbareng seruling ditangan kanan juga ditarik balik serempak kaki pun mundur selangkah, dengan mundur selangkah ini dia menjadi lebih leluasa mengetukan pula serulingnya ke atas kepala siular yang diarah adalah ditengah kedua matanya pula. Agaknya siular juga dapat meraba cara serangan Thian-hi ini tidak meuggunakan jurus tipunya dengan sungguh-sungguh, kuatir menghadapi perobahan serangan yang lebih rumit ia tidak berani sembarangan menyerbu pula, cepat ia menarik diri meluncur mundur dan jatuh di atas tanah. Thian-hi sama-sama mundur bersama siular aneh, dua belah pihak sama dapat menjelajahi kekuatan dan kemampuan lawannya, untuk selanjutnya mereka menjadi berhati-hati untuk melancarkan serangannya lebih duiu. Setelah berada di tanah ular aneh itu berputar kayun seperti jalan-jalan, sikapnya wajar dan acuh tak acuh seperti tidak terjadi suatu apa. Thian-hi tahu dia sedang mencari siasat untuk melakukan penyerangan lebih lanjut. Demikian juga Thian-hi harus berpikir mencari jalan cara2 mengatasinya. Sebagai seorang tokoh kosen dari dunia persilatan, sebagai ahli waris Wi-thian-ci- ciat-sek pula, masa tidak mampu mengatasi seekor ular belaka. Tapi cara bagaimana baru serangannya bisa telak mengenai sasarannya? Berbagai bayangan berkelebat dalam benaknya, tapi semua cara yang tersimpul itu tiada satupun yang menyocoki seleranya. Sekonyong-konyong ular aneh itu menerjang pula dengan lejitan tubuhnya yang lebih keras, yang diserang adalah pergelangan tangan Hun Thian-hi. Terpaksa Thian-hi menekan pergelangan berbareng serulingnya mengetuk pula kebatok kepala lawan. ia tahu bahwa serangan balasan ini tidak akan mengenai sasarannya. Benar-benar juga siular menggerakan kepalanya mendak kebawah terus menerjang ke depan dengan nekad, agaknya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri, yang terang mulutnya terpentang hendak menggigit pergelangan tangan kanan Thian-hi. Mendadak timbul rasa curiga Thian-hi akan gerak-gerik siular aneh ini, sunguh sukar dipercaya seekor ular berbisa yang ganas bisa melakukan serangan yang begitu ceroboh, kecuali dia sendiri punya rencana lain lebih lanjut, betapapun sulit untuk melaksanakan pertempuran adu kekuatan secara keras, bilamana Thian-hi cukup dengan sejurus dapat memukul mundur siular, lalu merangsak lebih lanjut dengan gencar, pasti ia dapat mengambil posisi yang sangat menguntungkan. Tapi kenyataan menghambat jalan pikiran Thian-hi untuk menerawang keadaan dirinya, gesit sekali serulingnya melintang miring lalu menyapu keras dari samping ke atas. Kebetulan siular menggerakan ekornya, lincah sekali mendadak ia berhasil membelit batang seruling Thian-hi, seiring dengan itu badannya lantas meneguk, laksana ujung anak panah yang melesat. dari busurnya mulutnya yang bertaring runcing itu melesat ketenggorokan Thian-hi. Keruan Thian-hi terkejut setengah mati, untuk menyelamatkan diri terpaksa ia harus melempar serulingnya. Tapi ia insaf bila serulingnya lepas dari tangannya pasti dirinya bakal kalah total. Maka bagaimana juga ia harus berusaha tanpa membuang-buang waktu untuk melepaskan serulingnya, mendadak ia menggentakan serulingnya dengan sepenuh tenaga, pikirnya hendak menggetar lepas belitan ekor siular aneh dari batang serulingnya Siular aneh hanya gemetar sedikit oleh getaran tenaga dalam Thian-hi, tapi belitan ekornya tetap kencang dan tak sampai tergetar jatuh, tahu-tahu malah kepalanya menegak kembali dengan mulut terpentang lebar, yang diarah tetap adalah tenggorokan. Saat mana kebetulan tangan kiri Thian-hi sudah terangkat ke atas, langsung kedua jarinya secepat kilat lantas menyelentik ke arah batok kepala siular. Betapa sulit siular mendapat kesempatan ini, sudah tentu ia tidak menyia-nyiakan begitu saja, tapi selentikan jari Thian-hi yang hebat ini mau tak harus dihindari kalau tidak mau konyol. Terpaksa mulutnya berdesis gusar dan memiringkan kepala meluputkan diri. Namun dengan berkelit ini ia menjadi kehilangan kesempatan yang paling baik tadi, begitu jari- jari Thian-hi menjelentik keluar langsung ketiga jarinya menyongsong seiring dengan gerakan lanjutan tangannya mencengkeram tempat terlemah yang terletak tujuh senti di bawah kepala siular. Apa boleh buat siular harus membatalkan rencananya mematuk tenggorokan Thian-hi, begitu menundukkan kepala menyusuri batang seruling lawan taringnya yang tajam mengancam jari-jari Thian-hi yang menggenggam seruling. Thian-hi menjadi serba sulit, ia tahu keadaan memaksa ia harus melepaskan serulingnya, namun bagaimana juga ia tidak rela membuang serulingnya begitu saja, sekonyong-konyong ia mengempos hawa murni dalam pusarnya, mulut lantas bersuit panjang dan nyaring melengking, serulingnya lantas diayun dan dilempar ke tengah udara laksana roket menjulang tinggi ke angkasa. Waktu ia melontarkan serulingnya ini diam-diam ia kerahkan Lwekangnya dibatang serulingnya untuk menggetar lukai siular aneh, pikirnya meski tidak sampai menggetar lepas dan menjatuhkan sang musuh, paling tidak pasti tergetar luka parah. Seruling itu menjulang tinggi seperti hampir lenyap ditelan mega, setelah mencapai tick ketinggian akhirnia menukik balik meluncur turun lebih pesat. Belum lagi seruling itu jatuh di tanah, sekonyong-konyong siular aneh itu melenting miring menerjang ke arah Thian-hi, yang diarah lagi-lagi adalah tenggorokannya. SunggUih takjup dan jeri pula hati Thian-hi, sungguh diluar dugaannya bahwa siular aneh ini begitu lihay jauh lebih hebat dari perhitungannya semula, bukan saja tidak terluka oleh getaran tenaga dalamnya, malah masih mampu balas menyerang lagi dengan gerakan yang begitu lincah. Tapi tidak diketahui olehnya bahwa sebenar-benarnyalah siular seperti sibisu menelan biji teratai yang pahit getir. menderita tapi tak kuasa bicara, begitu ia dibawa naik turun oleh lontaran seruling yang sangat tinggi itu kalau ia tidak segera melepaskan gubatannya di atas batang seruling dan hanya menggunakan ekornya mennggantol. kalau tidak entah bagaimana kesudahan dirinya saat itu, meski demikian tak urung iapun tak kuasa menahan diri lagi. Begitu meluncur turun dengan kegusaran yang berlimpah2 kontan ia serang Thian-hi lebih ganas. Thian-hi sudah bersiap, cepat ia kerahkan Pan-yok-hianJ-kang mendorong kedua telapak tangannya menyongsong ke depan. siular aneh kena dipukul terpental kesamping. Begitu jatuh di tanah gesit sekali siular legal-legot berputar mengelilingi Thian-hi. Posisi Thiar-hi semakin sulit lambat-laun ia terdesak di bawah angin, jelas melihat serulingnya jatuh disebelah sampingnya. tapi ia tidak berani membongkok badan menjemputnya, sementara siular aneh itu dengan garang mengancam dirinya. Setelah ular aneh mengitari Thian-hi satu putaran, tanpa gentar sedikitpun pelan-pelan ia maju mendekat dari arah depan Thian-hi. Dengan tanpa membekal senjata untuk menang adalah mustahil bagi Thian-hi. Apalagi ular aneh ini cukup cerdik dan cekatan, sukar dihadapi lagi, soalnya keadaan memaksa sehingga ia harus menguras tenaga untuk mempertahankan diri belaka. Disamping itu otak Thian-hi pun diperas untuk mencari jalan keluar, kesempatan satu-satunya supaya dapat mengambil kemenangan dengan sekali serang secara telak mengenai tempat kelemahan siular, soalnya dengan bersenjata saja ia tidak mampu menang, apalagi sekarang bertangan kosong mana mungkin melaksanakan keinginannya ini, teorinya gampang namun prakteknya sulit. Tiba-tiba terbayang oleh Thian-hi adegan di dalam Jian-hud-tong waktu ia ketemu Pek-tok Lojin dan Siau-pek-mo dengan Ling-coa-pounya yang lihay itu, bilamana iapun bisa Ling-coa-pou, adalah sangat tepat untuk menghapi ular aneh ini. Maka terbayanglah akan garak-gerik Pek-tok Lojin waktu menyerbu dirinya dengan gerak langkah yang aneh itu, soalnya waktu itu ia terlalu tegang sehingga tidak terlalu menaruh perhatian sehingga ingatannya sekarang rada samar-samar. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sementara itu si ular aneh dihadapannya ini secepot kilat sudah merangsak datang pula. Tanpa punya kesempatan berpikir lagi. tersipu-sipu Thian-hi ayun telapak tangannya menampar ke arah siular. Badan siular melengkung lalu melenting laksana pegas yang keras, badannya melengkung ditengah udara berputar ke belakang terus mematuk kepunggung Thain-hi. Sekonyong-konyong terbayang oleh Thian-hi akan serangan Siau-pek-mmo waktu ia menerjang keluar dari dalam gua dengan jelas sekali, tanpa ayal segera kakinya menggeliat kesamping, berbareng tubuhnya membelesut kepinggir, gerak geriknya seperti Ling-coa (ular sakti) dalam jarak serambut saja ia berhasil menghindari pagutan siular yang lihay dan berbisa ini, bersama itu dua jari tangan kanannya laksana jepitan besi mengarah tujuh senti di bawah lehernya. Agaknya ular aneh ini tidak menduga bahwa Thianhi bisa melancarkan langkah aneh. seketika ia mundur dengan jeri. Cukup sejurus saja Thian-hi mendapat hasil diluar dugaannya, situasi menjadi banyak berubah, mengandal ingatannya ia gunakan pula Ling-coa-pou mendesak maju lebih lanjut. Agaknya ular aneh ini mengenal juga Ling-coa-pou dan jeri, begitu Thian-hi semakin dekat tiba- tiba ia berteriak ketakutan terus mundur ke belakang kira-kira satu tombak jauhnya lalu melingkar dan menegakkan kepala siap bertahan, tak berani pula ia sembarangan bergerak. kalau tadi bersikap acuh tak acuh adalah sekarang kelihatan sangat tegang dan ketakutan. Melihat si ular membentuk pertahanan yang agaknya cukup kuat Thian-hi juga tidak berani sembarang menyerang. Ia tahu lawan menggunakan ketenangan untuk mengatasi pergerakan, apalagi kesan-nya mengenai Ling-coa-pou samar-samar dan yang dilan-carkan tadi tidak lebih cuma kulitnya saja, bila ia bergerak terlalu banyak seandainya menunjukkan lobang kelemahan sendiri pasti celaka akibatnya nanti! Bab 30 Karena kekuatirannya. ini maka Thian-hi tidak maju lebih lanjut, pelan-pelan ia membungkuk menjemput serulingnya. Dengan nanar ular aneh itu mengawasi Thian-hi sambil memainkan lidahnya, setelah mengalami kekalahan tak berani ia menerjang pula dengan nekad. Ia tak tahu apakah tingkah laku Thian-hi ini merupakan pancingan belaka, bila pertahanan dirinya kendor dan Thian-hi lantas menyerang pasti runyam akibatnya. Maka ia mendelong saja mengawasi Thian-hi menjemput serulingnya, tak bergerak dan tak berani menyerang pula. Setelah seruling berada di tangan, Thian-hi melirik ke arah si ular, dia tak bisa terlalu lama berada di tempat ini, Ma Gwat-sian yang terkurung di dalam lembah sana perlu segera ditolongnya, maka ia harus cepat-cepat menerjang masuk. Tengah ia berpikir2 mendadak dari jauh sana terdengar lengking suara panjang, ular aneh itu seketika menegakkan badannya tinggi2, kepalanya celingak-celinguk, seperti tengah mendengarkan apa. Beruntun suara lengking itu semakin dekat dan keras, si ular menjadi bersitegang leher, cepat- cepat ia putar balik ke arah datangnya semula dan merajap cepat sekali sekejap saja sudah menghilang dari pandangan mata. Thian-hi terheran-heran, sesaat ia menjadi kesengsam dan lupa melancarkan serangan, sementara itu si ular aneh sudah pergi dengan cepat. Thian-hi bertanya-tanya dalam hati; peristiwa apakah yang telah terjadi disana, kenapa begitu tegang, ia celingukan ke empat penjuru, sedemikian banyak ular yang tersebar dimana-mana itu sekarang sudah lenyap sama sekali. Baru saja Thian-hi berniat memburu ke arah depan, sekonyong-konyong hidungnya dirangsang bau harum semerbak terbawa angin, bau harum ini begitu merangsang membuat ia seperti hampir mabuk, disadari oleh Thian-hi bahwa mungkin disekitar sini terdapat sesuatu rumput sakti yang sudah tiba saatnya masak. Waktu Thian-hi berpaling memandang kebawah lembah, kejadian yang lebih aneh seketika terbentang di depan matanya, dimana bau harum itu tersiar terbawa angin, rumput-rumput ular di bawah sana seketika menjadi lemas dan rebah semua. Thian-hi heran dan bertanya-tanya, cepat ia melayang turun begitu berada di dalam lembah didapati semua rumput-rumput ular itu seperti lumpuh sama sekali, tak bergerak lagi rebah dengan lemas lunglai. Demikian juga laba-laba hijau itu semua sama menggeletak seperti sudah mati semua. Semakin besar rasa heran Thian-hi, entah benda apakah yang dapat. menundukkan rumput dan laba-laba berbisa ini? Begitu lihay, sedikit merandek cepat ia melayang masuk ke dalam lembah sebelah dalam sana terus menerjang ke arah gubuk batu itu. Belum lagi ia mencapai gubuk batu itu, di tengah jalan sekonyong-konyong didengarnya suara aneh di sebelah depan samping, tiba-tiba seekor laba-laba warna merah darah merangkak keluar dari sela-sela rumput lebat, sepasang matanya yang besar dengan garang menatap ke arah Thian- hi. Kejut Thian-hi bukan kepalang, selamanya belum pernah dilihatnya makhluk aneh sebesar ini, serta merta ia menyurut mundur dengan gentar. Laba-laba yang teramat besar seperti gantang merangkak maju ke arah Thian-hi, kelihatannya sembarang waktu ia sudah siap menyerang. Dengan menenteng serulingnya Thian-hi siap waspada, segala gerak-gerik si laba-laba besar ini tak lepas dari pandangan matanya. Setelah maju dua langkah pula laba-laba merah besar itu mendadak mencelat menubruk, ditengah udara mulutnya lantas menyemburkan gelagasi warna merah yang bertaburan seperti hendak menggubat seluruh badan Thian-hi. Thian-hi mendengus hidung, gesit sekali ia melompat menyingkir, sambil mengertak gigi serulingnya ia jojohkan menutuk kelambung laba-laba yang gendut besar. Sementara Laba-laba besar itu meluncur turun hinggap di belakang Thian-hi, bersama gelagasinya yang disemburkan semakin banyak berusaha mengepung Thian-hi. Terpaksa Thian-hi melejit ke atas. Agaknya si laba-laba merah ini sudah tahu bahwa Thian-hi tentu akan menghindar dengan jalan mencelat ke atas, cepat iapun melejit tinggi pula, gelagasinya laksana jala bertaburan di tengah angkasa menungkrup ke badan Thian-hi. Thian-hi sudah waspada bila ia tidak cepat-cepat lolos dari kepungan, gebrak selanjutnya tentu lebih sukar untuk menerjang keluar dari kepungan gelagasi ini, jelas pula bahwa gelagasi itu pasti mengandung racun yang teramat jahat, sedikit mengenai kulit badannya jiwa pasti melayang. Tanpa ragu-ragu mulutnya menggertak nyaring, serempak serulingnya ditaburkan dengan jurus Bangau terbang menembus awan mega, selarik sinar putih kemilau menembus tinggi menerjang ke berbagai penjuru, sementara itu hawa murni Thian-hi pun sudah dikerahkan untuk melindungi badannya yang turut menerjang pula. Seketika hawa udara bergolak seperti terjadi angin ribut, laba-laba merah itu kena terpental mundur terdesak oleh kehebatan kekuatan permainan tenaga Thian-hi. Thian-hi jadi mendapat kesempatan terbang melesat keluar, di tengah udara ia jumpalitan setengah lingkaran terus terbang lurus ke depan. Laba-laba merah itu mengeluarkan jerit aneh, kelihatan badannya kembang kempis, secepat kilat tiba-tiba melesat maju, gelagasi menyembur pula dari mulutnya merintangi jalan mundur Thian-hi. Bau harum itu semakin tebal memenuhi udara dalam lembah agaknya laba-laba merah itu terpengaruh oleh bau harum ini, serangannya semakin gencar, seolah-olah ia ingin menelan Thian-hi bulat2. Karena kena dihalangi terpaksa Thian-hi putar balik melawan lagi. Sementara laba-laba merah sudah melejit tiba pula dihadapan Thian-hi, badannya seperti gentong, terutama perutnya semakin membesar menyedot gelagasi ke dalam perutnya, matanya yang besar madelik ke arah Thian-hi. Dalam keadaan genting dan saling bertahan ini tiba-tiba kuping Thiah-hi mendengar gelak tawa yang nyaring, tampak Ang-hwat-lo-mo tengah lari mendatangi bagai terbang. Diam-diam Thian-hi meningkatkan kewaspadaan, benar-benar diluar dugaannya bahwa Ang- hwat-lo-mo bakal muncul pula dalam situasi yang gawat ini, entah apakah maksud tujuannya, kalau dia bersikap memusuhi dirinya tentu sulit dihadapi bagaimana pun aku harus lebih hati-hati. Demikian batinnya. Sambil bergelak tawa Ang-hwat-lo-mo berseru ke arah Thian-hi. "Sungguh beruntung kau, tepat kedatanganmu!" Tergerak hati Thian-hi, tahu dia bahwa dalam lembah ini pasti terdapat sesuatu rahasia yang tersembunyi, mungkin Ang-hwat menyusul datang karena mengendus bau harum itu, dapatlah diterka kemana tujuan kedatangannya ini. pasti karena sesuatu benda mestika itulah. Adalah sebaliknya tujuan dirinya bukan kesana. tujuannya hanyalah ingin menolong Ma-Gwat- sian yang terkurung di dalam gubuk batu itu, sejenak ia merenung lalu katanya kepada Ang-hwat- lo-mo. "Dengan cara apa laba-laba merah ini dapat ditaklukkan?" Ang-hwat-lo-mo menggeram, serunya. "Tiga puluh tokoh-tokoh Kangouw dulu semua sama menemui ajal oleh keganasannya, menurut hemadku tiada sesuatu benda yang kuasa menundukkan binatang ini." Sekilas laba-laba merah melirik ke arah Ang-hwat-lo-mo, badannya sudah bergerak hendak menyerang tapi diurungkan. Thian-hi tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo pasti membual belaka, kalau benar-benar kata-katanya kenapa pula dia harus muncul pula disini? Jelas bahwa diapun punya tujuan tertentu, sedang dirinya cuma diperalat belaka. Kata Ang-hwat-lo-mo. "Ma Gwat-sian berada di dalam gubuk batu itu, coba kau pikir kenapa dia bisa. masuk kesana. dari sini mungkin kau dapat menyimpulkan sesuatu." Thian-hi tidak tahu maksud kata-kata Ang-hwat-lo-mo dia bungkam tak bersuara lagi. Dalam hati ia menerawang cara bagaimana ia harus bertindak lebih lanjut. Tahu-tahu sesosok bayangan manusia meluncur turun pula dalam lembah, sedikit mengerlingkan mata hati Thian-hi lantas bercekat, pendatang baru ini bukan lain adalah Bok-pak-it-koay (sianeh dari gurun utara) yang dulu berebutan buah ajaib dengan Hwesio jenaka. Lama tak ketemu tak duga beliau mendadak muncul di tempat ini, entah apa pula tujuannya kemari. Begitu menginjak tanah Bok-pak-it-koay menyapu pandang ke arah Thian-hi berdua, ujung mulutnya mengulum senyum sinis, agaknya ia tidak pandang sebelah mata mereka berdua. Ang-hwat-lo-mo mendelik ke arah. Bok-pak-it-koay, hatinya rada gusar dan kejut, diam-diam ia kagum akan kepandaian orang yang dengan cepat dapat mendengar kabar ini lantas meluruk datang, agaknya kedatangannya ini memang punya tujuan tertentu, dari rona wajahnya dapatlah diandalkan bahwa dia punya cara untuk mengatasi laba-laba merah ini. Dugaannya ini bukanlah tidak beralasan karena sebenar-benarnya Bok-pak-it-koay juga kenal dirinya kalau tidak punya andalan tidak mungkin ia bersikap begitu memandang rendah dirinya. Dasar licik dengan tertawa cengar-cengir ia menyapa lebih dulu. "Tak duga kaupun menyusul datang!" Dengan sikap congkak dan menengadah Bok-pak-it-koay melirik ke arahnya, ia menggendong tangan tanpa mengeluarkan suara, anggap tak mendengar sapaan Ang-hwat-lo-mO. Sudan tentu bukan kepalang terbakar hati Ang-hwat-lo-mo tak nyana bahwa Bok-pak-it-koay begitu congkak berani memandang rendah dirinya, hampir saja ia sudah tak kuasa menahan gejolak amarahnya hendak melabrak Bok-pak-it-koay, tapi niatnya ia urungkan karena. ia berpikir. "Kenapa aku begitu goblok mencari perkara padanya. Lebih baik kutonton saja cara bagaimana ia menghadapi laba-laba merah itu, bila ia berhasil membunuhnya, belum terlambat aku turun tangan kepadanya. Seumpama ia tidak kuasa melawan laba-laba merah itupun tiada jeleknya bagiku." Dalam pada itu Bok-pak-it-koay sudah menghampiri dekat ke arah laba-laba merah itu. Agaknya laba-laba merah menjadi murka, ia delikkan matanya semakin besar. kakinya bergerak- gerak siap menyerang. Kelihatannya Bok-pak-it-koay tidak gugup dan tidak gentar, agaknya ia yakin benar-benar akan kepandaiannya, kakinya beranjak semakin dekat. Tiba-tiba laba-laba merah menubruk maju dengan kecepatan kilat, mulutnya menyemburkan gelagasi warna merah yang bertaburan laksana benang sutra, seluruhnya beterbangan menggubat keseluruh badan Bok-pak-it-koay. Mulut Bok-pak-it-koay mengeluarkan suara aneh, nadanya rendah dan serak, tiba-tiba tubuhnya melambung tinggi ke tengah udara lantas berputar satu lingkaran terus melesat melampaui atas kepala laba-laba merah, dan berlari bagai terbang ke arah lembah yang sebelah dalam sana. Agaknya laba-laba merah sudah siaga, seperti sudah tahu bahwa Bok-pa-it-koay bakal bertindak begitu licik menerobos lewat dari penjagaannya, maka begitu serangan luput, badannya lantas berputar terbang mengejar dengan kencang, puluhan jalur gelagasi laksana rantai disemburkan menungkrup ke badan Bok-pak-it-koay. Mulut Bok-pak-it-koay menggerang rendah, tangan kanannya diayun seketika bertaburanlah bubuk-bubuk putih laksana kabut pagi menerpa ke arah laba-laba merah. Agaknya laba-laba merah sangat takut dan terkejut, cepat-cepat ia mencelat mundur sejauh mungkin. Sementara Bok-pak-it-koay merandek sejenak, ia berpaling ke arah Ang-hwat-lo-mo dan Hun Thian-hi sambil unjuk seringai dingin lalu berlari bagai terbang ke dalam lembah. Belum lagi Bok-pak-it-koay memutar tubuh Ang-hwat-lo-mo juga sudah melejit dengan kecepatan bagai anak panah meluncur ke depan langsung menerjang dengan pukulan berat ke punggung Bok-pak-it-koay. Bok-pak-it-koay menggertak gusar, tanpa membalik tubuh dengan kaki masih berlari ke depan sebelah telapak tangannya menepuk ke belakang. Ia tahu seorang lawan Ang-hwat-lo-mo saja sudah terlalu berat baginya, apalagi ada Hun Thian-hi pula jelas dirinya bukan tandingan, saat mana obat bubuknya masih berhamburan semakin luas di tengah udara, laba-laba merah pasti tidak akan berani sembarangan bergerak, jikalau mereka berdua bergabung mengeroyok dirinya, tentu usaha yang sudah diatur dan direncanakan sempurna bakal gagal total. Di lain pihak, begitu melihat dua belah sudah bergebrak Thian-hi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dua harimau saling cakar justru merupakan kesempatan dirinya untuk menerobos kesana, kalau daya kekuatan bubuk obat itu sudah punah laba-laba merah itu tentu akan menerjang lagi merintangi mereka, dengan kekuatan mereka bertiga juga belum tentu mampu membunuhnya, demikian terpikir dalam benak Thian-hi laksana kilat tiba-tiba badannya melambung ke tengah udara terus menerobos ke depan. Dalam pada itu dengan sebelah tepukan tangan ke belakang Bok-pak-it-koay meminjam tenaga benturan yang kuat itu tiba-tiba badannya jumpalitan ke arah sebelah depan dalam jarak yang lebih jauh lagi. Tapi serta dilihatnya pula Hun Thian-hi juga tengah menerobos ke dalam sana, ia sangka tujuan orang sama dengan kemauannya, saking gugup segera ia gentayangan mencegat di depan Thian-hi. Ang-hwat-lo-mo menyeringai, sudah tentu iapun ingin berkesempatan menerjang masuk dulu kelembah, tapi ia cukup licik bila ia menerjang langsung ia harus menghadapi rintangan dua orang di depannya, ini akan memakan banyak waktu dan tenaga, setelah berpikir sebentar tiba-tiba ia menubruk maju kedua telapak tangannya berbareng menepuk ke jalan darah mematikan di punggung Thian-hi. Gesit laksana kera Thian-hi menggenjot dan menendang mundur Bok-pat-it-koay lalu menggeser kaki dua langkah kesamping dengan sedikit memutar tubuh, ia tahu bahwa dirinya sudah terkepung dan sedang digasak dari dua jurusan depan dan belakang, tanpa sempat berpikir, dua tangannya berkembang kedua arah yang berlawanan, masing-masing menangkis serangan Bok-pak-it-koay dan hantaman Ang-hwat-lo-mo. Begitu tenaga tiga belah pihak saling bentur badan Thian-hi lantas mencelat terbang menghindari benturan telak yang mungkin bisa menghancur leburkan isi perutnya, untung ia cukup cerdik. dengan pukulan gabungan musuh yang berlawanan ini ia malah berhasil lolos dan terhindar dari elmaut. Tak nyana bahwa pukulan telapak tangan Ang-hwat-lo-mo tadi juga cuma gertakan sambel belaka, begitu tenaga pukulannya kebentur oleh perlawanan Thian-hi, orangnya pun sudah mental ke atas seperti kena pegas meluncur lempang ke depan, dilain kejap kakinya sudah berlari-lari kencang ke dalam lembah. Sedikit kurang siaga Bok-pat-it-koay menjadi mencak-mencak gusar bahwa Ang-hwat-lo-mo berhasil menerjang masuk ke dalam sana, dengan menghardik keras ia mengejar dengan kencang. Adalah dengan tipu pukulannya tadi Ang-hwat-lo-mo berhasil masuk ke dalam sudah tentu girangnya bukan main, tanpa hiraukan Bok-pak-it-koay dan lain-lain, ia percepat gerak kakinya, anggapannya tentu kali ini ia bakal berhasil mencapai harapan. Diluar tahunya burung dewata tiba-tiba muncul di atas udara, setelah pekik burung berkumandang ditengah udara semakin dekat, tiba-tiba kelihatan pula Bu-bing Loni meluncur turun, tepat ia menghadang di depan Ang-hwat-lo-mo. Begitu melihat Bu-bing Loni muncul disini, bercekat hati Thian-hi. Adalah Ang-hwat-lo-mo lebih kejut dan gusar pula, diam-diam ia mengumpat dalam hati. "Lagi- lagi tua renta ini kemari, setiap usahaku yang hampir berhasil selalu dihalangi olehnya!" Namun Bu-bing Loni jauh sukar dihadapi maka ia hentikan kakinya tak berani sembarangan bertindak. Bu-bing menyeringai lebar, katanya. "Kalian bertiga sama ingin mendapatkan Jian-lian-hok-ling itu bukan? Aku kuatir tiada seorang pun diantara kalian bertiga yang membabat untuk memperolehnya!" "Jadi Suthay juga mau ikut merebut?" Demikian jengek Ang-hwat-lo-mo. Dengan hambar Bu-bing pandang mereka bertiga, ujarnya. "Setelah aku berada disini, kalian harus cepat-cepat keluar dari Bik-hiat-kok ini, tiada keperluan yang harus kalian kerjakan disini." Sambil menahan rasa amarah yang bergejolak dalam dada, Ang-hwat-lo-mo tertawa dibuat- buat. jengeknya. "Mampukah Suthay seorang diri menghadapi makhluk aneh itu?" "Urusanku tak perlu orang luar ikut campur." Demikian sentak Bu-bing Loni. Meski Bok-pak-it-koay pernah dengar ketenaran nama Bu-bing Loni, tapi melihat sikap dan tindak-tanduknya tidak merupakan pambek seorang tokoh persilatan nomor satu apalagi wataknya begini congkak dan takabur, hatinya menjadi terbakar gusar, ejeknya menantang. "Kau ingin memonopoli sendiri, coba kau hadapi aku lebih dulu." "Siapa kau?" Tanya Bu-bing. Rasa gusar Bok-pak-it-koay men-jadi2, nada pertanyaan Bu-bing Loni terdengar begitu hina dan memandang rendah dirinya, betapapun sabar hatinya tak kuasa lagi ia mengendalikan diri, serunya bergelak tawa. "Siapa aku? Aku adalah aku, jangan harap kau dapat memonopoli Jian- lian-hok-ling itu. Agaknya kau sedang berangan2 kosong!" Berjangkit alis Bu-bing Loni, matanya beringas memancarkan nafsu membunuh. Hati Bok-pak-it-koay menjadi ciut, tapi kekuatan lain menyanggah dirinya untuk memberanikan diri melawan Bu-bing Loni lebih lanjut, katanya dingin. "Laba-laba merah segera bakal menerjang datang pula, ingin kulihat cara bagaimana kau dapat merobohkannya!" Bu-bing Loni mandah melirik saja, memang Laba-laba merah saat itu sudah mulai bergerak menghampiri ke arah mereka berempat. Sekilas pandang saja Bu-bing Loni lantas tersenyum dingin. jengeknya. "Kau sangka cuma kau saja yang mampu menunjukkan dia?" pelan-pelan ia malah menghampiri ke arah laba-laba merah itu. Bok-pak-it-koay menggendong tangan, dengan acuh tak acuh ia perhatikan Bu-bing Loni bertindak, ingin dia melihat cara apa yang digunakan Bu-bing Loni untuk membekuk laba-laba merah yang jahat itu. Begitu Bu-bing Loni muncul hati Ang-hwat-lo-mo menjadi jeri, tapi ia dapat berpikir dengan kekuatan gabungan tiga orang masa gentar menghadapi Bu-bing Loni. Terutama Wi-thian-cit-ciat- sek menurut anggapannya tidak bakal kalah dibanding ilmu pedang Bu-bing yang Lihay itu. apalagi Ang-hwat berdua membantu dari samping tentu tidak sulit mengalahkan Bu-bing seorang. Tapi bila perlu saja mereka tiga orang bergabung mengeroyoknya, tiga buah pihak sama-sama adalah musuh kebujutan, bukan mustahil bila masing-masing ingin mencari keuntungan sendiri2. Adalah jalan pikiran Hun Thian-hi lain pula, yang terpikir olehnya hanyalah cara bagaimana supaya dia dapat menerjang masuk ke dalam gubuk batu itu untuk membuktikan apakah benar- benar Ma Gwat-sian beserta gurunya ada di dalam sana. Entah cara bagaimana mereka berdua bila digelandang masuk ke dalam sana, bagaimana Ang-hwat-lo-mo bisa keluar masuk mengantar mereka, justru sekarang dirinya tidak kuasa masuk ke dalam lembah. Dalam pada itu laba-laba merah itu sudah maju semakin dekat ke arah Bu-bing Loni. Bu-bing Loni berdiri diam siap siaga, bahwasanya ia sendiri pun tidak berani memandang rendah musuh binatangnya ini, kalau toh dirinya sudan datang dan bersikap takabur adalah aib bila ia mundur dan tak kuasa melawan. Agaknya laba-laba merah itu juga merasa bahwa musuh yang dihadapi kali ini rada kuat dan merupakan lawan berat, sedikit pun ia tidak berani ceroboh, segala tindakan harus diperhitungkan lebih dulu. Pancaran biji mata Bu-bing Loni semakin tajam dengan lekat ia perhatikan setiap gerak-gerik kedelapan kaki2 panjang laba-laba merah itu, pelan-pelan setapak demi setapak ia menggeser maju lebih dekat. Dalam jarak kira-kira setombak lebih laba-laba merah menghentikan langkahnya, agaknya ia belum pernah melihat seorang manusia yang berani menantang dirinya, sesaat seperti ragu-ragu apakah musuh dihadapannya ini punya andalan untuk mengalahkan dirinya ataukah merupakan gertak sambel belaka. Demikian ia bertanya-tanya dalam hati. Lambat dan pasti ujung mulut Bu-bing mengulum senyum dingin. Tiba-tiba laba-laba merah merangkapkan seluruh kaki2nya kontan badannya yang segede gantang itu mencelat terbang, ditengah udara kakinya berkembang pula langsung menubruk kebatok kepala Bu-bing Loni. Bu-bing menggerakkan badan tanpa menggeser kaki seolah-olah ia bergaja hendak berkelit kesebelah kiri,laba-laba merah lantas menyemburkan gelagasinya ke sebelah kiri, tapi secepat itu pula Bu-bing Loni merubah arah kekanan seperti hendak menghindar, laba-laba merah lagi-lagi menyemburkan gelagasinya membendung jalan mundur Bu-bing Loni, beberapa kali Bu-bing bergerak ke berbagai arah selalu dirintangi atau dicegat oleh gelagasi, suatu ketika mendadak ia melesat langsung menubruk ke arah laba-laba merah itu. Berulang kali laba-laba merah menyemburkan gelagasinya untuk merintangi Bu-bing melarikan diri, kini mendadak melihat Bu-bing menubruk langsung ke arah dirinya, agaknya ia tercengang, tanpa sempat banyak pikir iapun mencelat maju menyongsong ke arah Bu-bing Loni. Ditengah jalan tangan kiri Bu-bing Loni merogoh ke dalam lengan bajunya, selarik sinar hijau kemilau berkelebat tiba-tiba Badik buntung melesat keluar dari timpukan tangannya langsung meluncur ke arah tengah-tengah diantara kedua mata laba-laba merah, sementara tangan kanan Bu-bing sendiri juga memutar pedang panjang, gelombang hawa pedangnya sekaligus menangkis dan memental balikkan seluruh gelagasi yang membendung dirinya hingga ia sempat mencelat keluar. Sambitan Badik buntung Bu-bing Loni adalah begitu telak dan cepat luar biasa, belum lagi laba- laba merah menyadar dan tidak sempat berkelit, lagi kontan Badik buntung amblas seluruhnya ditengah kedua matanya, seketika ia menjerit keras dan aneh, lambat laun badainya menjadi lemas dan roboh mati. Setelah mencelat keluar dan berdiri tegak Bu-bing Loni unjuk tawa dingin yang sangat bangga. Sebenar-benarnyalah hatinya pun kebat-kebit, caranya menghadapi laba-laba merah memang teramat berbahaya sekali, seumpama sambitannya tadi tidak mengenai sasarannya, pasti seluruh tubuhnya bakal terlibat gelagasi yang beracun itu, ini berarti jiwanya tidak akan tertolong lagi. Melihat Bu-bing sudah mengunjuk kepandaiannya sejati membunuh laba-laba merah, tengkuk Bok-pak-it-koay jadi berkeringat dingin. Betapa lihay dan tinggi kepandaian Bu-bing Loni, mengandal kemampuan sendiri masa kuasa melawannya? Dasar licik dan berpengalaman luas Ang-hwat-lo-mo dapat meraba kemana jalan pikiran Bok- pak-it-koay. ia tahu bila ia bantu Bok-pak-it-koay menghadapi Bu-bing tentu orang akan berhutang budi pada dirinya, tapi yang penting sekarang dengan cara, apa pula sampai Hun Thian-hi sudi berpihak pada mereka, Sekilas ia melirik Thian-hi otaknya mendapat akal, lalu katanya tawar pada Bu-bing Loni. "Bukankah yang kau gunakan tadi Badik buntung?" Tujuan Ang-hwat-lo-mo adalah mengadu domba antara Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni, bila mereka sudah saling berhantam baru dirinya ikut terjun ke dalam gelanggang, begitulah rencananya. Saat mana Bu-bing sedang mendelik ke arah Bok-pak-it-koay, tiba-tiba mendengar pertanyaan Ang-hwat-lo-mo, sebagai kawakan Kangouw masa ia tidak tahu kemana juntrungan pertanyaan ini, dengan geram ia pandang Ang-hwat-lo-mo dengan tajam. Sudah tentu Hun Thian-hi sendiri juga maklum akan maksud Ang-hwat-lo-mo, ia cuma tersenyum belaka tanpa bersuara. Laba-laba merah sudah mampus, bila Bu-bing Loni saling gebrak melawan Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay, tentu dirinya berkesempatan menerobos kesana. Maka terdengarlah Bu-bing Loni mengancam. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kuperintahkan kalian segera keluar dari lembah ini!" Melihat Hun Thian-hi tidak menunjukkan reaksi apa atas adu dombanya, sedang Bu-bing sudah unjuk gigi. dengan tertawa tawar ia bertanya kepada Hun Thian-hi. "Apakah kau sudi keluar?" Dengan kalem Thian-hi tertawa, ia tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo sedang mendorong dirinya terjun ke dalam pertikaian ini, demi tujuannya sudah tentu ia tidak sudi keluar, namun bila ia bicara secara langsung, bukankah berarti ia berdiri dipihak Ang-hwat-lo-mo? Tadi ia sudah melihat gerak gerik Bu-bing Loni sudah tidak begitu gesit dan tangkas seperti dulu waktu bertempur melawan laba-laba merah, sahutnya tertawa. "Lihat keadaannya dulu!" Diam-diam Ang-hwat-lo-mo mengumpat Thian-hi akan jawabannya yang licin ini, hidungnya mendengus, lalu serunya kepada Bu-bing Loni. "Benar-benar, kami akan bertindak setelah melihat situasi selanjutnya!" Thian-hi jadi dongkol, dengan jawaban Ang-hwat-lo-mo ini berarti dirinya sudah diseret kepihaknya secara paksa. Bu-bing Loni menyapu pandang mereka bertiga, ia insyaf bahwa luka dalamnya belum lagi sembuh, tujuan kali ini merebut Jian-lian-hok-ling justru untuk mengobati luka-luka dalamnya ini, sudah tentu dalam keadaan sekarang ia tidak ingin bersikap bermusuhan dengan Thian-hi yang merupakan lawan paling berat, bila mereka tiga musuh bergabung betapapun dirinya bukan tandingan. Sebentar ia berpikir lalu katanya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo. "Baik! Akan kulihat cara bagaimana kau bertindak menurut situasi. Sekarang kau mau keluar tidak?" Ang-hwat-lo-mo menyeringai, ujarnya. "Masa sekarang?" lalu ia berpaling ke arah Hun Thian-hi. Ia tahu bahwa Bu-bing Loni bertujuan membereskan mereka satu persatu. Tidak menanti Ang-hwat-lo-mo banyak bacot, Bu-bing bertindak lebih cepat mengambil posisi yang menguntungkan, tanyanya kepada Hun Thian-hi. "Aku ada sebuah urusan hendak kuselesaikan dengan kau, kau boleh tetap tinggal, setelah mereka berdua pergi baru kita bicarakan!" Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo, ia tahu bahwa Bu-bing sedang memelet Thian-hi ke pihaknya, bila Thian-hi sampai akur dan kerja sama dengan Bu-bing Loni, maka mereka berdua pasti menghadapi rintangan terbesar untuk keluar dari lembah ini. Ia dapat memastikan kemungkinan ini karena tujuan Bu-bing Loni dan Hun Thian-hi berbeda, bila sampai mereka saling mengutarakan tujuan masing-masing, bukan mustahil mereka bisa bersekongkol. Namun masih ada setitik harapan, yaitu bahwa Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni adalah musuh kebujutan, tak perlu disangsikan bahwa Hun Thian-hi tentu tidak mengharap Bu-bing bisa memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, demikian juga Bu-bing tidak akan membiarkan Hun Thian-hi mencapai tujuannya, hanya selisih paham inilah yang dapat membuat mereka berdua saling bermusuhan. Cepat Ang-hwat-lo-mo berkata kepada Thian-hi dan Bu-bing Loni. Persekutuan Pedang Sakti Karya Qin Hong Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo