Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 30


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 30


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Kepandaian silat kalian terpaut tidak banyak, siapa yang dapat memperoleh Jian-lian-hok-ling itu kelak pasti dapat menjagoi Kangouw sebagai tokoh Bu-lim nomor satu yang tiada tandingannya?"   Bu-bing Loni mendengus ringan.   Jikalau Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak hadir disini, ia tidak perlu kuatir menghadapi Hun Thian-hi, dengan adu domba Ang-hwat-lo-mo ini ia menjadi sukar membuka suara lebih lanjut.   Setelah berpikir Hun Thian-hi lantas menimbrung dengan suara tawar.   "Tujuanku ke Bik-hiat- kok ini bukan karena Jian-lian-hok-ling. Aku cuma ingin menolong orang belaka!" ia tahu bila ia turut campur merebutkan Jian-lian-hok-ling jelas ia tidak punya harapan, tujuan semula adalah menolong Ma Gwat-sian, kenapa pula harus ikut campur urusan tetek bengek? Bu-bing rada tercengang mendengar penjelasan Thian-hi, dengan lekat ia pandang rona wajah Thian-hi agaknya ucapannya memang sungguh-sungguh, hatinya menjadi girang, namum ucapan Thian-hi ini tidak bisa dipercaya seratus persen, bagaimana juga ia harus hati-hati dan berjaga, sesaat setelah ia berkata.   "Itu tidak menjadi soal."   Tanpa menanti orang bicara habis tiba-tiba Ang-hwat-lo-mo menukas.   "Tidak menjadi soal? Belum tentu ia insyaf bila, situasi berkembang terus demikian tentu tidak menguntungkan bagi dirinya, terpaksa harus mengubah keadaan, betapapun Hun Thian-hi harus diadu domba supaya menempur Bu-bing Loni. Melihat Ang-hwat-lo-mo begitu berani menukas kata-katanya, malah nada ucapannya mengejek dan menyindir, serta merta menegak tinggi kedua alisnya, sorot matanya juga lantas beringas. Dengan sikap kasar dan tukasan kata-katanya terhadap Bu-bing Loni ini, sudah tentu Ang- hwat-lo-mo sudah punya ancang2 dan pegangan, maka ia berkata lebih lanjut.   "Jangan kau tergesa-gesa. Bagaimana juga Hun Thian-hi harus masuk ke dalam lembah, memang tujuannya hendak menolong orang, tapi siapa dapat menduga bahwa dia tidak akan mengincar Jian-lian-hok- ling itu? Bila sekarang kau hendak main paksa terhadap kami kurasa tidak gampang terlaksana. Hun Thian-hi masih berada disini, dia tidak akan begitu goblok, bukan mustahil kau nanti bakal menghadapi gebrak terakhir yang menentukan nasibmu!"   Bu-bing termakan oleh profokasi Ang-hwat-lo-mo, sesuai dengan perkataan Ang-hwat tidak mungkin ia menyampingkan Hun Thian-hi untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it- koay.   Benaknya lantas bekerja, terpikir olehnya cara yang sempurna bagi kedua belah pihak yaitu; kecuali dapat memastikan bahwa Hun Thian-hi benar-benar tidak mengincar Jian-lian-hok-ling, urusan selanjutnya gampang diselesaikan. Setelah dipikir bolak balik akhirnya Bu-bing bertanya kepada Thian-hi.   "Siapa yang terkurung di dalam rumah batu itu?"   Thian-hi tahu maksud pertanyaan Bu-bing ini, bicara sejujurnya sebenar-benarnya ia tidak rela membiarkan Bu-bing Loni merebut Jian-lian-hok-ling itu, tapi situasi dapat membenar-benarkan cuma dia saja yang ada harapan, jawahnya.   "Seorang kawan!"   Sebelum angkat bicara lagi Bu-bing menatap Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay katanya kepada Hun Thian-hi.   "Marilah kuiringi kau masuk kesana, setelah kau tolong keluar kawanmu itu kau harus segera keluar dari Bok-hiat-kok, tak kuijinkan kau ikut andil dalam perebutan ini, apakah kau setuju?"   "Begitupun baiklah!"   Sahut Thian-hi tersenyum.   Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo menjadi gugup mencak-mencak, naga-naganya Thian-hi tidak ambil perhatian bila Bu-bing memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, malah setuju kerjasama dengan Bu-bing Loni, bila ini benar-benar terlaksana, pihak dirinya dengan Bok-pak-it-koay bakal terjepit dan takkan tertolong lagi, entahlah bila muncul suatu kejadian ajaib.   Situasi sudah terbalik, apakah memang sudah nasib dirinya hari ini bakal terjungkal.   Adalah hati Bu-bing menjadi senang, harapannya segera bakal terkabul, bila luka-luka dalamnya sembuh, ditambah Lwekangnya maju berlipat ganda, masa gentar menghadapi Hun Thian-hi.   Setelah ia lirik ke arah Ang-hwat-lo-mo lalu ia ajak Thian-hi masuk ke dalam gubuk batu itu.   Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak mau tinggal diam, setelah saling beradu pandang, cepat mereka maju mengejar di belakang mereka, cepat atau lambat hal ini bakal terjadi, kenapa harus bimbang dan takut? Tak lama kemudian mereka sudah berada di dalam gubuk batu itu, namun gubuk batu itu kosong melompong, sesaat Thian-hi mendelong, tiba-tiba ia berpaling mengawasi Ang-hwat-lo-mo sambil memicingkan matanya.   Ang-hwat-lo-mo sendiri rada diluar dugaan, agaknya heran bagaimana mungkin kedua orang kurungannya itu bisa lenyap tanpa bekas.   Tiba-tiba tergerak hatinya, ujarnya tertawa.   "Bagaimana? Ketemu tidak?"   Geram dan dogkol hati Thian-hi, katanya menyeringai.   "Ang-hwat, jangan kau main bacot dan ngelantur. Dimana mereka kau sembunyikan?"   "Urusan ini kita kesampingkan dulu,"   Demikian ujar Ang-hwat, main ulur waktu.   "Mari kita selesaikan dulu urusan Jian-lian-hok-ling itu."   "Apa-apaan maksudmu ini?"   Sentak Hun Thian-hi berang.   Bu-bing Loni tersenyum ejek, ia tahu Ang-hwat-lo-mo sedang berusaha menarik Thian-hi kepihaknya, betapapun ia tidak akan tinggal diam, kalah atau menang gebrakan kali inilah yang bakal menentukan.   Tapi Hun Thian-hi cuma ingin menolong orang yang terkurung disini tanpa perduli dengan Jian-lian-hok-ling, adakah ia punya akal supaya Thian-hi tidak memihak kepada Ang-hwat-lo-mo? Waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya diujung dinding sana ditempel secarik kertas.   Tiba-tiba terbayang oleh Bu-bing akan sikap Ang-hwat-lo-mo tadi, tahu dia bahwa urusan tidaklah sederhana begitu saja, jelas kedua orang itu memang tadi ada disini, tapi sekarang sudah pergi, hal ini mungkin Ang-hwat-lo-mo sendiri juga belum tahu.   Maka ia bertanya kerada Ang-hwat.   "Maksudmu mereka berdua tidak berada di dalam gubuk batu ini?"   "Sudah tentu tidak disana."   Demikian sahut Ang-hwat sambil bergelak tawa.   "Bila ada matamu kan tidak lamur masa tidak melihat mereka berada disitu."   "Waktu masih berada di mulut lembah tadi apakah kau tahu bila mereka sudah tidak lagi berada di dalam gubuk ini?"   Demikian jengek Bu-bing Loni.   "Begitukah anggapanmu?"   Seru Ang-hwat masih bergelak tawa.   "Bila benar-benar mereka ada di dalam lembah, cara bagaimana bisa pergi meninggalkan tempat ini?"   "Jadi maksudmu bahwa hakikatnya mereka tidak pernah terkurung di dalam gubuk ini?"   Demikian Bu-bing Loni menegas.   Ang-hwat-lo-mo merasakan betapa genting urusan ini, ia maklum bahwa Bu-bing pasti menemukan sesuatu bukti di dalam gubuk itu, sudah tentu ia sudah membayangkan bagaimana akibatnya nanti.   Maka dengan tajam biji matanyapun main selidik ke dalam ruangan gubuk sana, ingin dia tahu benda apakah yang telah ditemukan oleh Bu-bing.   Thian-hi sendiri juga sudah berpikir ke arah itu, bila Gwat-sian dan gurunya tidak terkurung di dalam gubuk ini, adalah mustahil Ang-hwat-lo-mo berani memancing dirinya untuk datang kemari, dan urusan tidak bakal berlarut-larut sampai sekarang.   Sorot mata mereka berbareng ketumbuk pada secarik kertas yang tertempel didinding itu.   Begitu melihat secarik kertas itu, tanpa ayal Ang-hwat-lo-mo lantas mencelat maju, bila ia dapatkan kertas itu, cukup untuk menekan dan mengancam Hun Thian-hi pula.   "Jangan bergerak!"   Bu-bing Loni menghardik rendah seraya melolos pedang.   Apa boleh buat Ang-hwat-lo-mo harus berlaku nekad.   ditengah jalan pedangnya pun dikeluarkan langsung menyongsong ke arah tabasan pedang Bu-bing dari arah samping, sementara tubuhnya tiba-tiba melambung tinggi, dengan kekerasan ia coba terjang kesana.   Pedang Bu-bing Loni ditaburkan sekencang kitiran, tiba-tiba ujung pedangnya menyelonong keluar langsung menusuk ke depan mengarah tenggorokan Ang-hwat-lo-mo.   Karena serangan gencar yang mematikan ini Ang-hwat-lo-mo terdesak mundur berulang-ulang, sungguh hatinya teramat kejut dan ciut bahwa sekali turun tangan Bu-bing tidak tanggung2 melancarkan ilmu pedangnya yang ganas untuk merangsak dirinya, taburan sinar dan hawa pedang yang menyamber dingin membuat semangatnya seolah-olah tersedot kaluar dari badan kasarnya.   Selama itu Hun Thian-hi masih berdiri tenang menonton Bu-bing Loni melabrak Ang-hwat-lo- mo, tiba-tiba tergerak hatinya, terpikir olehnya bukan mustahil kertas itu tertulis sesuatu hal yang tidak boleh diketahui orang lain.   Maka tanpa ayal cepat ia lantas bertindak.   seruling jade teracung miring, Wi-thian-cit-ciat-sek ia lancarkan dengan segala kemampuannya.   serempak ia serang Bu- bing Loni berdua.   Sudah tentu Bu-bing menjadi gentar, tak disangka olehnya bahwa Thian-hi bakal menyergap dirinya, apalagi disaat ia tumplek seluruh tenaga untuk merangsak Ang-hwat-lo-mo, tak sempat menangkis terpaksa ia berkelit ke arah samping kiri.   Tujuan serangan Thian-hi ini memang hendak mendesak Bu-bing menyingkir rada jauh dari tempat kertas itu.   maka sekali lompat Thian-hi berhasil meraih kertas itu, sekilas pandang ia dapati tulisan di atas kertas itu berbunyi sebagai berikut.   "Untuk mengetahui jejak kedua perempuan ini, datanglah ke pesisir Ni-hay di Thian-lam!" tulisan ini tidak dibubuhi tanda tangan atau nama terang, qaja tulisanaja sama dengan tulisen yang ia baca diluar hutan tadi. Thian-hi berdiri terlongong. otaknya jadi berpikir, siapakah sebenar-benarnya orang ini? Sejak kecil ia dibesarkan di Thian-lam tak diketahui olehnya tokoh siapakah yang punya kepandaian silat sedemikian tinggi dapat menolong keluar dua orang dari Bik-hiat-kok, kejadian, ini benar-benar suatu hal yang luar biasa. entah apa pula kepentingannya ia menghendaki aku menyusul kesana? Melihat Hun Thian-hi berhasil merebut kertas itu Bu-bing membanting kaki, baru saja ia hendak membuka mulut. tiba-tiba rona wajahnya berubah, agaknya ia sedang dirundung sesuatu kesulitan. Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sama berdiri diam. rona wajah mereka bertiga mengunjuk mimik yang berlainan, ada yang gusar ada yang rada keheranan tercampur aduk. Adalah Hun Thian-hi sendiri mengerutkan kening, sekonyong-konyong ia seperti sadar peristiwa apa yang telah terjadi, hawa harum yang mengembang luas ditengah udara lambat laun sudah sirna. segera teringat olehnya kejadian apa pula yang bakal terjadi. Baru sampai disini jalan pikiran Thian-hi, tiba-tiba Bu-bing Loni, Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menyerbu ke arah dirinya, tujuan mereka sama hendak merebut kertas rampasannya, cepat Thian-hi gosokkan kedua telapak tangannya, kontan kertas itu remuk berhamburan, berbareng kakinya menjejak tanah tubuhnya mencelat mundur berulang-ulang.   "Hun Thian-hi!"   Seru Bu-bing Loni dengan geram.   "Besar benar-benar nyalimu, berani kau berlawanan dengan aku, apa yang tertulis di atas kertas itu?"   Thian-hi tersenyum sinis tak bersuara, tahu dia bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya sudah tertolong orang, dan tuan penolong itu, sekaligus telah mencangking Jian-Lian-hok-ling sekalian. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, katanya.   "Kalau kita terlalu lama tinggal di tempat ini, mungkin takkan dapat keluar pula dari sini!"   Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan lain juga maklum akan hal ini, tapi Bu-bing Loni menjengek dingin.   "Aku tidak menjadi soal, burung dewata akan cepat membawaku terbang keluar, tak usah kau kuatir lagi keselamatanku."   Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa, serunya.   "Suthay! Kalau begitu maaf kami berdua harus mundur lebih dulu, kami nantikan Suthay dimulut lembah untuk berundingkan caranya untuk menyelesaikan hal ini." habis kata-katanya cepat mereka lantas berlari-lari kencang kemulut lembah. Mendengar kata-kata Ang-hwat-lo-mo Bu-bing tahu kemana juntrungannya. cepat ia berseru.   "Nanti dulu! Maksudmu kalian hendak mengejar orang itu?"   "Suthay dapat menyelamatkan diri menunggang burung dewata, apakah kau ingin kita menunggu ajal secara konyol?" Betapapun Bu-bing Loni tidak suka orang lain mendahului dirinya mengejar orang itu, maka dengan mendengus ia berkata pada, Thian-hi.   "Kau harus ikut kami kesana, setelah tiba diluar Bik- hiat-kok biar Kami membuat perhitungan dengan kau!"   "Apakah Suthay tidak merasa tindakanmu ini terlalu berbahaya? Hun Thian-hi merupakan lawan yang tidak gampang diatasi, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan apa pula yang dapat kau perbuat?"   "Itu urusanku dan aku yang bertanggung-jawab. Kau tak usah cerewet!"   Begitulah semprot Bu- bing.   Begitulah akhirnya Ang-hwat mengalah bergegas mereka barlari keluar dari Bik-hiat-kok.   sepanjang jalan ini kelihatan laba-laba hijau dan rumput-rumput ular sudah mulai bergerak- gerak.   terlambat sedikit lagi pasti sulit untuk keluar.   Begitu tiba diambang mulut lembah Bu-bing Loni.   Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menghadang ditengah jalan, tanya Bulbing kepada Hun Thian-hi.   "Siapakah orang yang meninggalkan catatan kertas itu?"   Bila Bu-bing menunggang burung dewata mengejar tuan penolong itu pasti bisa kecandak dan orang itu belum tentu mampu meloloskan diri, maka Thian-hi menyahut tertawa.   "Akupun tidak tahu, tulisan kertas itu tidak tertanda penulisnya!"   Bu-bing mencak-mencak gusar.   ia tahu dengan menunggang burung dewata ia mampu mengejar, tapi kalau niatnya ini sampai kentara, pasti tiga orang lawannya ini berusaha merintangi dan menyerang dirinya, kesempatan untuk tinggal pergi pun tiada lagi.   Akhirnya ia bertanya pula dengan suara rada kalem.   "Sebenar-benarnya apa yang tertulis di atas kertas itu?"   Thian-hi sengaja main ulur waktu, sahutnya tertawa.   "Aku tahu, tapi tak sudi kukatakan. Bukankah kau bisa mengejar naik burungmu?"   Ia mendongak memandang kelangit tampak burung dewata terbang berputar-putar ditengah udara.   Semakin berkobar amarah Bu-bing Loni, menurut perhitungannya semula memang disaat mereka tiga orang tidak siaga ia hendak mencelat naik ke punggung burung dewata, tapi setelah dibeber terang-terangan oleh Thian-hi kesempatan ini menjadi hilang.   Akhirnya Bu-bing berkepastian hendak berlaku nekad, bagaimana juga ia harus berhasil merebut Jian-lian-hok-ling itu, waktu tidak boleh berlarut-larut lagi.   Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sudah menaruh perhatian, mereka tahu bahwa harapan untuk memperoleh Jian-lian-hok-ling adalah kosong belaka, namun merekapun tidak rela bila Bu-bing Loni yang bakal mendapatkan, serempak mereka melolos pedang, rona wajah mereka memperlihatkan tekad yang besar untuk merintangi Bu-bing Loni supaya tiada kesempatan tinggal pergi naik burung dewata.   Bu-bing mundur kesamping bersiaga, posisi dirinya menjadi serba sulit, namun lahirnya ia berlaku tenang dan mengulum senyum dingin.   Kata Ang-hwat-lo-mo sembari tertawa.   "Bu-bing Suthay, bila kau benar-benar hendak tinggal pergi, bukankah kau terlalu memandang rendah kami bertiga?"   Bu-hing mendengus sambil mengertak gigi, mau tak mau ia harus berkeputusan menempur tiga musuhnya bersama, asal dia dapat mencapai punggung burung dewata, segala urusan ini pasti tak perlu direwes lagi.   Ia tahu ketika itu burung dewata sedang terbang rendah berputar di atas kepalanya cepat ia bergaja hendak mencelat naik.   Serentak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menggerakkan pedangnya, yang satu membabat perut yang lain menusuk dada, kilauan tabir pedangnya sangat menyolok mata, serangan dua pedang yang hebat ini mandah dianggap enteng oleh Bu-bing Loni, yang menjadi perhatiannya paling utama cuma Hun Thian-hi melulu, melihat Hun Thian-hi tidak turut menyerang, hatinya menjadi rada hambar dan seperti kecewa, soalnya ia tidak tahu kapan Thian-hi baru akan bertindak menghalangi perjalanannya.   Sedikit ia beragu sementara serangan pedang kedua musuhnya menyerang tiba terpaksa Bu- bing tidak berani anggap enteng, dimana pedangnya panjang berputar lalu disendal keluar segulung hawa pedang yang berkilauan kontan menindih ke depan, sekaligus memunahkan rangsakan kedua pedang musuhnya.   Sementara mendapat peluang ini tubuhnya mendadak melambung tinggi terus meluncur ke arah punggung burung dewata Tiba-tiba dalam waktu yang sama Hun Thian-hi juga melejit ke atas, serulingnya teracung- acung ke atas melancarkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, ia serang punggung dan lengan kiri Bu-bing untuk merintangi orang melarikan diri.   Bu-bing Loni menggerung murka, pedang panjangnya membalik dengan setaker tenaganya menyongsong ke arah gelombang tenaga pancaran dari Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu.   Baru saja ujung pedangnya saling sentuh di tengah jalan, kontan Bu-bing merasa aneh dan kejut bukan main, bahwa tingkat latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dan Lwekang Hun Thian-hi sekarang benar-benar diluar perkiraannya semula.   Kekuatan Wi-thian cit-ciat-sek laksana angin lesus yang bergelombang tinggi sukar ditembus, hampir saja pergelangan tangannya yang memegang pedang tergetar lepas dari tangannya.   Tak berani berayal lagi Bu-bing cepat merubah permainan pedangnya, beruntun ia lancarkan tiga rangkaian ilmu pedangnya yang paling diagulkan, sinar pedangnya bagai lembayung memancarkan sinar kemilau menggasak ke arah muka Hun Thian-hi.   Tiba-tiba Hun Thian-hi jadi heran, kelihatannya Bu-bing Loni tidak mampu lagi melancarkan serangannya yang hebat ini dengan landasan tenaga dalamnya yang kuat itu, tapi waktu terlalu mendesak untuk ia banyak pikir, harapan satu-satunya cuma ingin merintangi perjalanan Bu-bing Loni belaka.   Cepat ia pun merubah permainan serulingnya dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap salah satu jurus dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou yang ampuh sekali untuk mengurung dan membendung jalan keluarnya.   Diluar dugaan seiring dengan perubahan permainannya ini, tiba-tiba pedang panjang Bu-bing melesat terbang dan berhasil membobol keluar, sedikit terlambat saja pertahanan Hun Thian-hi menjadi pecah, sehingga Bu-bing Loni berkesempatan mencelat terbang ke atas dan tepat sekali hinggap di punggung burung dewata, kejap lain ia sudah menghilang di tengah udara.   Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay jadi berdiri melongo, semula mereka beranggapan bahwa Hun Thian-hi cukup berkelebihan untuk merintangi Bu-bing Loni, sungguh diluar dugaan akhirnya toh Bu-bing berhasil lolos.   Bagi Hun Thian-hi sendiri juga tidak menyangka begini kesudahan usahanya, begitu tubuhnya meluncur turun dan menyentuh tanah, dalam hati ia sudah berkeputusan untuk tetap menghadang perjalanan Bu-bing Loni, maka tanpa ayal cepat ia berlari-lari kencang melesat keluar lembah.   Ang-hwat-lo-mo insaf tiada manfaatnya ia merintangi cepat ia menyingkir kesamping.   Tapi justru Bok-pat-it-koay berteriak dan mengejar di belakangnya.   "Hun Thian-hi tunggu dulu, ada suatu hal hendak kuberitahukan kepada kau!"   Thian-hi sudah berhasil melampaui mereka di sebelah depan, ia tidak perlu kuatir apa lagi, terpaksa ia hentikan langkahnya, tanyanya.   "Ada urusan apa lagi?"   Ang-hwat-lo-mo awasi Bok-pak-it-koay dengan pandang heran tak mengerti, entah urusan apa yang dimaksud dengan Bok-pak-it-koay untuk menahan Hun Thian-hi. Kata Bok-pak-it-koay.   "Tujuanku merebut Jian-Lian-kok-ling bukan untuk kepentingan sendiri, soalnya ada orang lain membutuhkan, tapi Jian-lian-hok-ling sekarang sudah lenyap gara-gara kalian!"   Sampai disini ia menyapu pandang Hun Thian-hi dan Ang-hwat-lo-mo lalu sambungnya.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Selanjutnya mungkin beliau bisa mencari perkara pada kalian, maka hati-hatilah!" habis berkata ia berkelebat lari ke arah timur sana.   "Nanti dulu!"   Teriak Ang-hwat-lo-mo menyusul. Bok-pak-it-koay berhenti dan membalikan badan ke arah Ang-hwat-lo-mo. Ang-hwat-lo-mo beranjak mendekati, Bok-pat-it-koay menjadi tidak sabar, serunya.   "Ada omongan lekas katakan, berani maju lagi kutinggal pergi aku tidak akan gampang kau tipu."   Ang-hwat-lo-mo ingin tahu siapa yang dimaksud oleh Bok-pak-it-koay itu, sangkanya bila ia dapat membekuk Bok-pak-it-koay tentu orang itu tidak akan mampu berbuat apa-apa atas dirinya, tapi sekarang terpaksa ia harus berhenti, tanyanya.   "Siapa orang yang kau katakan tadi?" ia tahu Bok-pak-it-koay bukan sembarang tokoh persilatan yang bernama kosong, kalau toh dia dikendalikan orang lain pasti orang itu teramat lihay. Sebelum membuka suara Bok-pak-it-koay menyeringai tawa sinis, ujarnya.   "Kukatakan juga tidak menjadi soal, beliau adalah Sin-jiu-mo-ih!"   Kali ini ia benar-benar berlari pergi tanpa rintangan.   Rada bercekat benak Thian-hi, sepak terjang Sin-jiu-mo-ih pernah ia saksikan sendiri, bilamana ia mau menimbulkan gelombang persengketaan di dunia persilatan, mungkin kalangan Kangouw bakal geger dan tiada seorang tokoh pun yang mampu mengatasinya.   Sesaat lamanya Ang-hwat-lo-mo terlongong ditempatnya, ia tahu siapa Sin-jiu-mo-ih dan apa pula kerjanya, dengan hambar ia mendongak keangkasa, akhirnya ia tersenyum pahit dan berkata pada Hun Thian-hi.   "Sudah puluhan tahun aku berkecimpung dalam Kangouw, tapi tahun2 terakhir ini sering terjungkal dan gagal total, selamanya aku belum pernah dikalahkan sekian kalinya!"   Ia tertawa pula dengan hambar.   "Kenapa kau begitu berputus asa. Bila tadi kau tidak masuk ke dalam lembah sana kau tidak akan mengalami segala pahit getir ini."   Demikian ujar Thian-hi. Sesaat merenung Ang-hwat-lo-mo berkata pula tawar.   "Yahhhhh! Mungkin tidak seharusnya aku muncul kembali dalam dunia ramai ini!"   Ia tenggelam lagi dalam alam pikirannya, lalu tambahnya tertawa.   "Tapi kenyataan aku sudah naik kemari!" ~lalu ia berpaling ke arah Thian-hi serta katanya.   "Selamat bertemu dilain kesempatan!" ia tinggal pergi dengan langkah goyang gontai. Membayangi punggung Ang-hwat-lo-mo yang menghilang dikejauhan sana. tiba-tiba terasa sesuatu keanehan dalam benak Thian-hi, terasa olehnya bahwa Ang-hwat-lo-mo ini membekal suatu sifat atau watak manusia yang ganjil dan istimewa. Meski berulang kali dirinya hampir menjadi korban akan keganasannya, namun ia tidak pernah merasa dendam terhadap Ang-hwat, Thian hi sendiri juga heran akan perasaan hatinya dan sulit untuk memberi jawaban akan pertanyaan diri sendiri. Mungkin dalam sesuatu hal ada titik persamaan atas dirinya dengan Ang- hwat-lo-mo ini. Begitulah Thian-hi melayangkan pikirannya dengan berdiri terlongong. Tak lama kemudian sudah berlari-lari di dalam hutan langsung menuju dimana ia berpisah dengan burung dewata. Setelah tiba tampak burung dewata sedang berbaring di atas rumput, segera ia naik kepunggung burung dewata terus terbang ke atas langit. Burung dewata terbang berputar mengitari sekeliling lembah berbahaya itu, namun tiada sesuatu yang mencurigakan, tiada kelihatan jejak orang dari Ni-hay itu, juga tidak kelihatan bayangan Bu-bing Loni, Diam-diam ia merasa heran, akhirnya terpaksa ia turun lagi kebumi. Sesaat Thi-hi menjadi bingung, apakah harus menyusul ke Ni-hay? Atau mengerjakan apa lagi, kalau sekarang juga langsung menyusul ke Ni-hay mungkin Ni-hay Lojin itu belum sampai disana, lalu apa yang harus diperbuat dalam waktu senggang ini? Waktu ia berdiri kebingungan tiba-tiba sesosok tubuh manusia getajangan menerobos keluar dari dalam hutan, muka orang ini berlepotan darah segar. puluhan langkah kemudian tak tahan lagi ia tersungkur jatuh ke depan. Begitu melihat keadaan orang itu lantas Thian-hi berjingkrak kaget seperti disengat kala, sungguh tak duga bahwa dia bakal menghadapi peristiwa yang menggiriskan ini, karena orang yang terluka parah ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-mo yang baru belum lama berpisah. Cepat ia memburu maju, tampak Ang-hwat-lo-mo rebah celentang, raut mukanya sudah tak dikenal lagi, mulutnya terlihat kemak-kemik tapi suaranya samar-samar tak jelas. Jantung Thian-hi kebat-kebit dan badan gemetar saking seram, entah siapakah orang yang sampai hati melukainya sampai sedemikian rupa, Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh, tapi kenyataan ia telah dilukai berat sekali, bukanlah tidak beralasan rasa kejut dan keheranan Thian-hi Sedang ia berpikir2 ini sementara Ang-hwat-lo-mo sudah tidak bergerak lagi, jiwanya telah melayang. Hun Thian-hi terlongong mengawasi jazat Ang-hwat-lo-mo, hatinya kosong entah betapa perasaan hatinya, kejadian berubah begini cepat, sehingga ia sulit mempersiapkan diri untuk menanggung akibatnya. Tiba-tiba terdengar kesiur angin serta lambaian baju orang. Thian-hi sadar bahwa telah kedatangan seorang musuh yang kuat, tanpa berani angkat kepala, ia mencelat mundur lempang ke belakang. Tampak seorang tua yang mengenakan jubah putih tengah berdiri tenang diluar hutan sebelah sana, orang tua ini angkat kepala menghadap kelangit, mulutnya terdengar menggumam.   "Setindak terlambat aku jadi kehilangan Jian-lian-hok-ling!"   Menghadapi orang tua berjubah putih ini Thian-hi merasakan hatinya tertekan berat, tenggorokannya menjadi sesak, ia duga bahwa orang tua ini pasti Sin-jiu-mo-ih Lam In yang telah membunuh Ang-hwat-lo-mo.   Naga-naganya kepandaian silatnya tidak begitu hebat tapi kenyataan Ang-hwat-lo-mo sudah ajal ditangannya dalam waktu yang begitu singkat, mungkin dia punya suatu ilmu luar biasa yang ganas sekali, maka aku harus lebih hati-hati.   Seorang diri Sin-jiu-mo-ih menggumam lalu dengan sikap acuh tak acuh Lam In mengerling ke arah Thian-hi, tanyanya.   "Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?"   Pelan-pelan Thian-hi manggut-manggut. Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In tertawa kering dua kali, katanya sambil menunjuk jenazah Ang- hwat-lo-mo.   "Kau lihat dia? Dia sudah mati bukan?"   Dengan was-was Thian-hi pandang orang lekat-lekat. entah apa yang hendak dia perbuat atas dirinya. Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata pula.   "Kau sedikit lebih pintar dari dia, kalau tidak kau pun sudah mampus sejak tadi. Aku rada takabur sehingga dia masih kuasa lari puluhan langkah baru roboh sampai disini."   Bergidik badan Thian-hi, tengkuknya jadi merinding, diam-diam ia bersyukur bahwa jiwanya telah lolos dari lobang elmaut, untung Ang-hwat-lo-mo gentayangan puluhan langkah kemudian baru roboh, jika dirinya tadi memburu maju memajang tubuhnya pasti jiwanya pun sudah celaka dikerjain oleh Tabib iblis bertangan sakti Lam In ini.   Dalam pada itu tabib sakti bertangan sakti Lam In berkata pula.   "Betapa pun kau tidak akan lolos dari tanganku, segera kau pun bakal terkapar di tanah tanpa jiwa." sampai disini tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar hijau berkilat seperti mata srigala kelaparan yang haus darah. Thian-hi menenangkan hati, katanya.   "Mengandal apa kau berani bicara begitu pasti? Kejadian selanjutnya tidaklah bakal berakhir seperti apa yang kau bayangkan."   "Coba kau lihat. Apakah Ang-hwat benar-benar sudah mati?"   Seringai Lam In. Thian-hi tertegun, entah apa tujuan Lam In mengucapkan kata-katanya ini. Lalu terdengar Lam In tertawa dingin, katanya.   "Salah dugaanmu!" sembari berkata ia mengeluarkan sebuah buntalan kertas dari buntalan kertas ini ia menjemput dua butir pil warna hitam terus membungkuk tubuh dijejalkan kemulut Ang-hwat. Sebetulnya Thian-hi hendak maju mencegah, namun kuatir Lam In sengaja mengatur tipu daya ia tidak berani semharangan maju, terpaksa ia saksikan saja setiap gerak gerik Sin-jiu-mo-ih Lam In yang aneh ini. Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo memang sudah meninggal, tapi saat mana kelihatan mulai bergerak-gerak, Thian-hi tersentak mundur lalu berdiri dengan kesima, hampir ia tidak mau percaya akan pandangan matanya. Ternyata Lam In mampu menghidupkan orang setelah jiwanya melayang. Pelan-pelan Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata kepada Ang-hwat-lo-mo.   "Kau majulah, bereskan manusia kerdil itu!"   Lagaknya Ang-hwat-lo-mo sudah kena dipengaruh kata-kata Sin-jiu-mo-ih, pelan-pelan ia berdiri dan terus melangkah maju ke arah Thian-hi dengan kaku.   Bahwasanya hati Thian-hi gentar setengah mati.   namun sedapat mungkin ia berlaku tenang, dengan sikap acuh tak acuh ia menatap ke arah Ang-hwat-lo-mo yang sedang menghampiri dirinya, pelan-pelan ia berkata kepada Lam In.   "Gertak sambelmu ini hanya cukup menakuti bocah kecil belaka, beranikah kau menempur aku?"   Sin-jiu-mo-ih menggerung gusar, tahu dia bahwa tipu muslihatnya gagal, maka sekali mengayunkan tangan, jazat Ang-hwat-lo-mo kontan roboh terbanting di tanah, serunya dingin.   "Tapi seluruh kejadian ini benar-benar berada diluar dugaanmu bukan?"   Bab 31 Semangat dan nyali Thian-hi semakin besar, dengan tak kalah dinginnya iapun balas menjengek.   "Begitukah sangkamu? Yang terdahulu memang aku merasa diluar dugaan, tapi untuk selanjutnya justru kau sendirilah yang bakal merasa diluar dugaan!"   Sin-jiu-mo-ih mengunjuk tawa sinisnya, tangannya mengulap ke belakang, dari dalam hutan pelan-pelan berjalan keluar seseorang, sekali pandang mencelos hati Thian-hi, yang muncul ini bukan lain adalah salah satu dari Si-gwa-sam-mo yaitu Kiu-yu-mo-lo.   Berkatalah sin-jiu-mo-ih kepada Kiu-yu-mo-lo.   "Ajo bantu aku membekuk Hun Thian-hi itu!" cepat Kiu-yu-mo-lo berkelekat maju terus menubruk ke arah Thian-hi. Jang membuat Thian-hi terkejut adalah bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah sadar dan tergugah imannya dari sesat kejalan terang, tapi sekarang muncul di tempat ini, pasti dia telah dikerjain oleh tabib sakti bertangan jail ini. Begitu Kiu-yu-mo-lo melesat tiba Thian-hi lantas mencelat menyingkir, kelihatannya kepandaian Kiu-yu-mo-lo sudah jauh lebih maju, setelah terhindar segera ia berteriak kepada Lam In.   "Berhenti dulu!"   Sin-jiu-mo-ih rada bimbang, tapi akhirnya ia berseru kepada Kiu-yu-mo-lo.   "Tahan sebentar. Coba dengar apa yang hendak dia ucapkan!"   Kata Hun Thian-hi.   "Bahwasanya apakah tujuanmu coba bicara terus terang saja, mungkin persoalan ini masih bisa kita rundingkan, jikalau kau keras kepala ingin main kekerasan, aku bisa naik burung dewata tinggal pergi, apa yang mampu kau perbuat atas diriku?"   "Tujuan apa? Tujuanku adalah Jian lian-hok-ling itu, jikalau kau bisa menyerahkan sekarang aku tidak ambil panjang urusan ini. Kalau tidak meski kau bisa naik burung dewata, aku berani bertaruh kau tidak akan mampu lari dari tanganku."   "Kalau begitu marilah kami coba-coba!"   Demikian tantang Thian-hi sambil tertawa tawar, lenyap suaranya tiba-tiba ia melejit naik kepunggung burung dewata, burung itu segera pentang sayap terbang keudara.   Sin-jiu-mo-ih terkekeh-kekeh dingin, mendadak sepuluh jarinya terkembang, puluhan ekor burung-burung kecil berbulu hijau seketika beterbangan, bau obat yang tebal segera beterbangan di tengah udara dari badan burung-burung hijau kecil itu, kontan terdengar burung dewata memekik panjang, sayapnya terpentang menggelepar tapi tak mampu terbang ke tengah udara, kelihatannya seperti berat sekali tak mampu lagi membawa badannya.   "Bagaimana, percaya tidak?"   Demikian jengek Sin-jiu-mo-ih sambil menyeringai dingin.   Bercekat hati Thian-hi, seruling jade seketika dilolos keluar badan pun cepat melambung tinggi terus diputar sambil meluncur ke atas, sekaligus ia serang puluhan burung-burung kecil berbulu hijau yang terbang teramat gesit, tujuannya hendak memukul roboh sekali hantam.   Tapi Sin-jiu-mo-ih ternyata tidak tinggal diam, lagi-lagi ia tertawa panjang, badannya melejit tinggi laksana seekor burung rajawali langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi.   Sebagai tokoh kelas wahid pada jaman ini sudah tentu Thian-hi tidak gentar menghadapi segala permainan Sin-jiu-mo-ih, terdengar ia mendengus dingin, serulingnya ditukikkan miring turun ia lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, segulung sinar putih kemilau segera menyongsong kedatangan Sin-jiu-mo-ih Berani menghadapi Hun Thian-hi yang terkenal hebat dan lihay ini, sudah tentu Sin-jiu-mo-ih Lam Im punya bekal yang cukup berkelebihan untuk mengatasi serangan lawan, tampak begitu ia meluncur tiba Hun Thian-hi sudah merobah jurus permainannya untuk menyerang dirinya, tangkas sekali ditengah udara sebelah kakinya menjejak sebelah kaki yang lain, seenteng asap badannya tiba-tiba melambung lebih tinggi lagi menghindari serangan musuh.   Sudah tentu Thian-hi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, jikalau sekarang ia tidak segera turun tangan, babak selanjutnya belum tentu bisa memperoleh kesempatan sebaik ini.   Tanpa ayal iapun layangkan tubuhnya menerjang lebih tinggi mengejar pula dengan rangsakan yang lebih dahsyat.   Tiba-tiba Sin-jiu mo-ih mengebutkan sepasang lengan bajunya yang panjang lebar, bubuk obat warna putih seketika beterbangan di tengah udara, dan yang lebih hebat seluruhnya menerjang ke arah kepala Thian-hi.   Sudah tentu bukan kepalang kejut Thian-hi melihat permainan licik musuh, cepat serulingnya digentakkan serta dibolang-balingkan di depan tubuhnya, syukur ia berhasil menghalau bubuk obat itu dengan kekuatan tenaga dalamnya, gebrak selanjutnya ia menjadi jeri mengejar pula, cepat ia lorotkan tubuhnya meluncur turun ke tanah.   Meski ia cukup cekatan tak urung ada sebagian bubuk obat yang berhasil tersedot ke dalam hidungnya, kontan ia rasakkan dadanya sesak dan mulut menjadi mual hendak muntah2, yang lebih celaka lagi kepala terasa pusing dan pandangan berkunang-kunang.   Thian-hi insaf bahwa ia sudah menyedot racun, cepat ia loncat pula ke belakang keluar dari lingkupan bubuk-bubuk putih itu, terus berdiri tegak mengempos semangat dan tak berani sembarangan bergerak.   Terdengar Sin-jiu-mo-ih tertawa menggila ditengah taburan bubuk obatnya yang beracun, badannya segera menukik turun secepat burung elang menerkam anak ajam langsung menepuk ke batok kepala Hun Thian-hi dengan kedua telapak tangannya.   Meski Thian-hi cuma menyedot sedikit saja bubuk obat itu, tapi ia sendiri maklum bahwa ia sudah keracunan cukup berat, sebisanya ia mengerahkan serulingnya ke atas memunahkan rangsakan Sin-jiu-mo-ih Lam Im yang sangat berbahaya itu.   Sementara Sin-jiu-mo-ih sendiri juga teramat heran, bagaimana mungkin Hun Thian-hi tidak segera roboh mampus setelah menyedot obat beracunnya yang sangat jahat, setelah mencelat mundur sejenak ia berpikir lalu katanya dingin.   "Tiada gunanya, meski kau pernah menelan buah ajaib, sama saja kau bakal mampus ditanganku!" lalu ia terbahak-bahak lagi lebih menggila. Dengan berhasilnya Thian-hi menghalau rangsakan Lam Im yang mematikan itu, kepala Thian- hi pun terasa semakin berat pikirannya mulai kabur, setiap perkataan Lam Im seakan-akan sebuah pukulan godam yang mengetok batok kepalanya sehingga kepalanya terasa hampir pecah. Selesai berkata segera Lam Im mendesak maju pula kepada Thian-hi, ingin rasanya sekali hantam ia bikin lawan kecilnya ini mampus seketika, adalah setimpal hukuman ini bagi Thian-hi karena dialah yang telah menggagalkan usahanya dalam memperoleh Jian-lian-hok-ling itu. Pandangan Thian-hi kepada Lam In yang berada di depannya semakin kabur, tahu dia bahwa sembilan bagian dari sepuluh jiwa raganya sudah tercengkeram di tangan Lam Im, bayangan beberapa raut wajah yang sangat dikenalnya berkelebatan dalam benaknya, terasa olehnya betapa penderitaan seseorang dalam mendekati ajalnya, banyak alasannya untuk memperjuangkan hidupnya karena banyak urusan yang belum selesai ditunaikan, dan lagi segan dan berat rasanya meninggal dunia fana yang membawa banyak kenangan bagi sanubarinya, suatu pemikiran yang cukup dapat menghibur hatinya cuma bila ia benar-benar mati, meski ia belum berhasil menunaikan tugasnya tapi tiada seorang pun dalam dunia ini yang bakal menanggung sengsara karena dirinya. Dengan menyeringai sadis Lam Im menghampiri pula ke arah Thian-hi, didapatinya sekarang dengan pasti bahwa Hun Thian-hi sudah kehilangan daya pertahanan terhadap serangannya. Sekonyong-konyong ditengah udara kumandang sebuah teriakan.   "Lam Im nanti dulu!"   Sin-jiu-mo-ih terkejut, sekilas ia melengak, dalam jaman ini orang yang berani gembar-gembor memanggil namanya cuma beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, sedang para sahabat karibnya yang aneh2 banyak yang sudah wafat, tak terpikir olehnya siapakah orang ini yang berani meneriakan namanya secara langsung, cepat ia menengadah melihat ke atas udara.   Thian-hi sendiri juga tersentak sadar mendengar teriakan ini, timbul setitik harapan dalam sanubarinya, dengan susah payah ia coba angkat kepala mendongak ke atas angkasa.   Seekor burung rajawali yang besar berbulu emas pelan-pelan menukik turun dan hinggap dimuka bumi, kiranya pindatang ini adalah murid Thay-si Lojin.   keruan kejut dan girang pula hatinya.   Thay-si lojin merupakan seorang tokoh yang berjiwa luhur dan berwatak aneh berkepandaian tinggi pula, maka muridnya itu pasti bukan sembarang tokoh pula, sekarang dia berani muncul dalam keadaan yang gawat ini.   maka harapan hidup jiwanya semakin besar, dari teriakan atau panggilan tadi dapatlah diduga bahwa beliau pasti kenal akan Sin-jiu-mo-im Lam Im.   Begitu melihat siapa pendatang ini, tergetar benak Sui-jiu-mo-ih Lam Im, cepat ia memapak maju lalu menjura serta sapanya hormat.   "Kiranya kau orang tua yang datang, Lam Im tidak tahu harap maaf bila kurang hormat!"   Melihat kelakuan orang semakin lega sanubari Thian-hi, tingkat kedudukan Thay-si Lojin di Bulim teramat tinggi dan cukup diagungkan tiada yang tidak mengindahkan ketenaran namanya, dilihat gelagatnya mereka saling berkenalan, maka tiada sesuatu pula yang perlu dikuatirkan dirinya.   Terdengar si orang tua berkata pada Lam Im sambil tertawa.   "Selama berpisah apakah kau baik-baik saja?"   Lam Im menundukkan kepala tidak bersuara.   Gurunya Sin-chiu-ih-sing adalah keponakan Thay- si Lojin, beliau banyak mendapat bimbingan dan asuhan sangat berharga dari tokoh agung ini, demikian juga dirinya tidak sedikit mendapat petunjuk dan bimbingan dari Thay-si Lojin.   Orang tua itu tertawa.   ujarnya.   "Ilmu ketabiban adalah untuk menolong jiwa orang, sekali2 pantang digunakan, untuk mencelakai jiwa manusia, ketahuilah hukum karma, sesuatu yang pernah kau perbuat kelak akan menimpa pula akan dirimu."   Karena berlega hati pertahanan Thian-hi semakin kendor dan akhirnya tidak tertahan lagi, kepalanya semakin berat, tampak bayangan si orang tua, dan Sin-jiu-lo-jin sama semakin kabur dan beterbangan di depan matanya, beberapa kali ia melihat Sin-jiu-mo-ih membuka mulut hendak bicara tapi suaranya tidak terdengar, pelan-pelan kepalanya tertunduk dan kaki menjadi lemas pula setelah sempoyongan akhirnya ia meloso jatuh dan tidak ingat diri.   *** Entah berapa lama berselang, akhirnya Thian-hi pelan-pelan siuman dari pulasnya, tatkala itu cuaca sudah gelap gulita, bintang-bintang beterbaran dicakrawala yang cerah cemerlang, sesaat kemudian ia celingukan kian kemari, sekelilingnya kosong melompong tiada sesuatu pun yang menarik pandangan matanya.   Thian-hi menjadi keheranan, masih jelas dalam ingatannya ia pernah kena racun yang sangat jahat.   kebetulan si orang tua datang menolong jiwanya, tapi apa yang telah terjadi selanjutnya ia tidak tahu.   Pelan-pelan ia bangkit berdiri, terlihat serulingnya menggeletak di tanah sebelah kakinya, pelan-pelan dijemputnya senjatanya itu, tampak pada batang serulingnya itu tertempel secarik kertas, dimana tertulis.   "Lam Im sudah kubawa pergi, lekas menyusul ke Ni-hay!"   Thian-hi tahu bahwa orang tua itulah yang meninggalkan pesan ini, sejenak ia terlongong, lalu menjelajahkan pandangannya kesekelilingnya.   tampak burung dewata masih mendekam di bawah pohon sana, cepat ia menghampiri terus naik ke atas punggungnya dan terbang langsung menuju keselatan, ke Ni-hay.   Waktu terang tanah Thian-hi sudah sampai di Ni-hay dan turun di pesisir yang berpasir halus, ia periksa keadaan sekelilingnya, dalam hati ia bertanya-tanya siapakah sebenar-benarnya yang mengundangku kemari kenapa si orang tua juga menyuruhku kemari juga? Sekarang aku sudah tiba di tempat tujuan jelas tidak akan salah kaprah, kenapa takut-takut lagi, orang yang mengundang aku pasti akan muncul menemui aku sendiri.   Ia ulapkan tangannya menyuruh burung dewatanya menyingkir pergi, seorang diri ia beranjak dipesisir Ni-hay yang tak berujung pangkal.   Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang dari sebuah kapel yang terdapat dipinggir sebelah atas yang dibangun di atas batu karang dipinggir laut sebelah depan.   sana, Thian-hi menghentikan langkahnya, dalam waktu sepagi ini, masa mungkin ada orang berkunjung ke tempat ini.   jelas pasti orang yang mengundang aku itulah yang memanggil diriku.   Dengan cermat Thian-hi mengawasi ke arah kapel di depan sana, sekarang ganti terdengar suara gelak tawa yang lantang, tapi arah suaranya sudah berganti tempat disetelah sana.   Thian-hi jadi mengerutkan kening, sabenar-benarnya orang macam apakah yang mengundang aku kemari? Demikian ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa begini humor dan suka berkelakar agaknya, entah bagaimana aku bersikap nanti setelah ketemu dengan beliau.   Tampak sebuah sosok bayangan abu-abu berkelebat keluar dari kapel itu lalu berlari-lari kencang menyelusuri pesisir yang berpasir.   Cepat Thian-hi melompat mengejar, dari kejauhan ia berteriak.   "Cianpwe harap tunggu sebentar!"   Agaknya orang itu tidak peduli atau mungkin anggap tidak dengar akan teriakan Thian-hi, langkah kakinya malah dipercepat.   Apa boleh buat terpaksa Thian-hi kerahkan tenaganya mengejar lebih pesat pula.   Bayangan abu-abu itu melesat secepat kjlat menuju ke arah sebuah kapel lain disebelah depan sana, sekali berkelebat tiba-tiba bayangannya lenyap dibailk kapel itu.   Thian-hi langsung mengejar masuk, setiba ia di dalam kapel didapati keadaan kosong melompong tiada jejak manusia, mau tak mau ia mengerutkan alis.   hatinya menjadi gelisah dan cukup kesal, tapi agaknya orang sengaja main sembunyi2 dan kelakar padanya.   Thian-hi jelajahkan pandangannya mengawasi kesegala pelosok kapel yang tidak begitu besar ini, tapi sungguh ia tidak habis mengerti kemana orang itu bisa sembunyi dengan mengelabui matanya, saking kewalahan ia berdiri mematung diam saja, sesaat kemudian ia baru bersuara.   "Untuk keperluan apakah sebenar-benarnya Cianpwe mengundang Wanpwe kemari, kenapa tidak mau unjuk diri untuk bicara?"   Baru saja habis ia berkata, mendadak terlihat sesosok bayangan melesat terbang dari puncak kapel terus melesat keluar jauh sana.   Cepat Thian-hi melesat keluar kapel belum jauh ia mengejar tiba-tiba tampak orang itu membalikkan tangan, tampak ia melemparkan segulung benda kecil warna putih melesat pesat ke arah mukanya.   Sekali raih Thian-hi berhasil menangkap, kiranya itulah segulung kertas, waktu ia angkat kepala lagi tampak bayangan itu sudah menghilang pula dibalik kapel di depan sana, cepat Thian-hi membuka lempitan kertas itu, dimana ada tertulis.   "Bahwasanya kita tidak pernah mengundang kau kemari!"   Saking dongkol Thian-hi menjublek ditempatnya, sesaat ia sukar berkata-kata.   Gerakkan tubuh orang itu sungguh teramat pesat, ia insyaf bahwa dirinya tidak akan lebih unggul dan berhasil menyandaknya, tapi apakah dia mudah dipermainkan demikian saja? Tidak! Betapapun aku harus mencari dan mengejar sampai orang itu muncul, bila orang mau unjukan diri segala urusan pasti bisa diselesaikan.   Karena pikirannya ini cepat Thian-hi melesat pula ke kapel disebelah depan sana.   Baru saja kakinya bergerak tampak pula olehnya sebuah bayangan abu-abu yang lain melesat keluar dari kapel semula terbang pesat ke arah jurusan lain.   Thian-hi jadi melengak heran, pikirnya.   "Kiranya bukan melulu seorang saja, tak heran dalam tulisan itu ia menyebut "kita", naga-naganya sedikitnya mereka berjumlah dua orang!"   Ia tidak hiraukan bayangan yang bergerak belakang ini, langsung ia menyusul ke Kapel yang ada di sebelah depan sana.   Baru saja kakinya tiba di ambang pintu secarik kertas melayang jatuh dari langit2 kapel, sekali raih Thian-hi mengambilnya, keadaan kapel kosong melompong tiada jejak manusia.   Gesit sekali Thian-hi jejakkan kakinya melompat mundur keluar kapel, waktu ia baca tulisan dalam kertas itu seketika darah bergolak di rongga dadanya, saking marah ia mematung ditempatnya sambil kertak gigi, kiranya tulisan itu berbunyi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Bujung kau terlambat datang, aku tinggal pergi, jangan kau marah lho!"   Sesaat lamanya Thian-hi masih terlongong li tempatnya, ia pikir aku terhitung seorang tokoh kelas wahid juga, sungguh tidak nyana di tempat sejauh ini aku dipermainkan orang, sukar dipercaya ada orang yang mampu lolos dari pengamatan sepasang matanya yang jeli.   Akhirnya ia bersuara ke arah kapel di depannya itu.   "Cianpwe harap jangan main sembunyi lagi. aku tahu bahwa kau orang tua masih belum meninggalkan kapel ini, harap suka unjukkan diri untuk bicara dengan Wanpwe!"   Tidak terdengar penyahutan. Thian-hi berkata lagi.   "Cianpwe jangan permainkan aku lagi, kepandaian silat Cianpwe sungguh membuatku kagum dan takluk benar-benar, silakan kalian keluar saja!"   Maka terdengarlah sebuah suara tawa dari dalam kapel itu, berkatalah sebuah suara serak yang bernada rendah.   "Bujung macammu ini kiranya cerdik juga, tapi aku orang tua tidak gampang kena kau tipu!"   Berdiri diluar kapel Thian-hi menyahut tertawa.   "Akupun tidak akan kena dikelabuhi lagi, cukup aku berdiri diluar sini, kecuali kau melarikan diri. kalau tidak betapa pun kau akan muncul juga!"   Sesaat lamanya suasana menjadi sunyi, kemudian terdengar sebuah dengusan hidung, suara serak itu berkata pula.   "Untuk apa kau bujung ini selalu menguntit aku? Kerjaan penting tidak kau selesaikan, sehari2an kau melakukan pekerjaan tak genah!"   Diam-diam Thian-hi lantas membatin.   "Entah siapa yang bekerja gegabah, usiamu sudah sedemikian lanjut, tapi bersikap edan2an tak tahu adat. sekarang kau menegur aku malah" dalam hati ia membatin begini, tapi mulutnya berkata lain.   "Jadi maksud Cianpwe supaya aku lekas-lekas meninggalkan tempat ini?"   "Benar-benar!"   Suara serak itu menyahut.   "usiamu masih semuda itu tapi sehari2an mengejar2 perempuan, tidak tahu malu, hayo lekas pulang!"   Thian-hi jadi menyengir, ia garuk2 kepalanya yang tidak gatal, teguran orang tidak masuk alasan, sejenak ia berpikir lalu serunya.   "Kalau begitu baiklah Wanpwe segera pulang, harap Cianpwe suka capaikan diri merawat mereka berdua." ia siap melangkah pergi.   "Hai nanti dulu!"   Suara serak itu berteriak tinggi. Sebenar-benarnya Thian-hi cuma pura-pura belaka, mendengar teriakan itu, ia putar balik lagi, katanya.   "Ada urusan apa lagi? Cianpwe?"   Kedengarannya orang itu menjadi gugup, katanya.   "Masa mau tinggal pergi begitu saja!"   "Habis apa yang harus Wanpwe lakukan?"   Demikian sahut Thian-hi.   "Cianpwe tidak mau unjuk diri untuk bicara, terpaksa tinggal pergi saja, urusan boleh kita bicarakan lagi lain kesempatan!"   Orang itu mendengus, katanya.   "Jangan kau gunakan alasan itu untuk main ancam terhadap aku ya!"   "Sedikitpun Wanpwe tidak berpikiran begitu,"   Demikian Thian-hi berdiplomasi sambil tertawa.   "soalnya aku menurut kehendak Cianpwe supaya aku lekas pulang bukan!"   Baru saja ia selesai bicara mendadak didengarnya kesiur lambaian baju dibelakangnya, luncurannya sedemikian pesat jarang ditemui selama ini.   Sebat sekali ia berkelebat menyingkir.   Tahu-tahu seorang tua yang berbadan kurus kecil sudah muncul dihadapannya.   Mulut orang tua kurus kecil ini mengeluarkan suara aneh, lalu berkata ke arah kapel.   "Lotoa, bocah ini rada aneh sedikit, pukulanku kiranya berhasil dihindari olehnya."   Orang didalam.   kapel itu mendengus, dilain kejap tampak sesosok bayangan melayang turun bentuk orang tua ini hampir sama dengan orang tua yang terdahulu, cuma raut mukanya tampak sedikit lebih gemuk dan lebih tua.   Sejenak ia mengawasi Thian-hi lalu ia tanya.   "Naga-naganya kau memang punya banyak kepandaian tulen, hari ini akan kupaksa kau membojong seluruh kepintaranmu itu."   Mendadak Thian-hi ingat secara reflek tadi ia sudah gunakan langkah Ling-coa-pou untuk meluputkan diri dari sergapan si orang tua kurus kecil ini, tidak perlu dibuat heran bila mereka menjadi takjup dan ingin menjajal kepandaiannya.   Cepat ia menjura serta berkata.   "Wanpwe Hun Thian-hi, harap tanya nama mulia Cianpwe berdua!"   Orang tua yang rada gemuk menjadi kurang sabar, katanya.   "Aku bernama Goan Tiong, dia bernama Goan Liang, orang menyebut kami Ni-hay-siang-kiam, sudah cukup bukan, mari sekarang kau boleh unjuk sejurus dua gebrak kepandaianmu."   Dari samping Goan Liang ikut menyela.   "Toako main sungkan apa segala? Makin sungkan kepalanya semakin besar, justru aku tidak percaya kepandaian sejati apa yang dia miliki, biar kujajal dia lagi betapa tinggi kepandaian bocah keparat ini."   Sembari berkata kakinya sudah melangkah ke depan, keruan Thian-hi merasa kaget, melihat gerak gerik kedua orang tua yang begitu gesit dan tangkas tadi, Thian-hi tahu bahwa dirinya bukan tandingan mereka berdua, cepat ia melangkah mundur serta berteriak.   "Nanti dulu!"   Goan Liang menghentikan kakinya, tanyanya.   "Masih mau ngobrol apa lagi kau?"   Melihat sikap kasar orang Thian-hi jadi gemas dan dongkol, tapi apa boleh buat, sejenak ia merandek lalu katanya.   "Cara ini kurang adil! Kalian menindas bocah kecil, berdua main keroyok lagi, apakah kalian tidak takut ditertawakan orang, Ni-hay-siang-kiam yang kenamaan kok mengeroyok bocah kecil?" ~sebenar-benarnyalah baru hari ini ia pertama kali mendengar nama Ni-hay-siang-kiam ini. Cepat Goan Tiong mencegah Goan Liang.   "Loji jangan main kasar. Ucapan bujung ini memang benar-benar, masa begitu gampang kau hendak menjatuhkan pamor kita selama puluhan tahun?"   Terpaksa Goan Liang mundur pula ke tempatnya semula. Kata Hun Thian-hi.   "Cianpwe berdua mengundang aku kemari entah ada keperluan apa?"   "Konon kabarnya kau bakal menjadi jagoan nomor satu di seluruh kolong langit ini, apalagi sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, maka kuundang kau kemari untuk belajar kenal!"   "Kalau hanya untuk keperluan itu, tidak perlulah dilanjutkan persoalan ini, bagaimana ilmu silatku Cianpwe berdua tadi sudah menyaksikan, terpaut terlalu jauh dibanding kalian berdua, kabar angin kenapa harus dipercaya!"   Goan Tiong menggeleng kepala.   "Belum tentu begitu, bukan mustahil hal itu bisa kenyataan."   Thian-hi tertawa besar.   "Wah, aku terlalu diagulkan, tapi tokoh-tokoh silat yang berkepandaian tinggi dalam dunia ini jumlahnya laksana bintang-bintang yang tersebar, di cakrawala, siapa yang berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu?"   Goan Tiong berdua melengak, sesaat mulut mereka terkancing. Kata Goan Liang.   "Tapi toh pasti ada yang nomor satu bukan, apakah kau sendiri tidak berani mengakui?"   Thian-hi menggeleng kepala, ujarnya.   "Soal ini tidak bisa dibicarakan secara khusus, ilmu teramat luas dan tergantung dari orang-orang yang mempelajarinya, seperti pepatah ada berkata ada gunung yang lebih tinggi dari gunung yang lain, orang pintar ada pula orang lain yang melebihi kepintarannya, sulit untuk menentukan nomor satu itu dengan suatu kepastian dalam teori belaka"   "Jite."   Sela Goan Tiong.   "ucapannya memang benar-benar, sudah jangan main debat lagi, yang terang kami akan menjajal sampai dimana tingkat kepandaiannya, kenapa melantur segala"   "Ya benar-benar, kenapa aku menjadi linglung!"   Ujar Goan Liang tertawa geli sendiri. Maka berkatalah Hun Thian-hi.   "Kalau Cianpwe berdua sudah berketetapan, akupun tidak bisa mengelak lagi, cuma bila bertarung secara keras lawan keras bukan mustahil salah satu pihak bisa terluka dan hal ini akan merugikan nama Cianpwe berdua, maka kuharap Cianpwe berdua suka mencari cara lain yang lebih sempurna!"   Goan Tiong bergelak-gelak, serunya.   "Kau hendak main gertak untuk mempersukar kami berdua? Betapa pun kami tidak akan dapat kau kelabui, bukankah tadi kau katakan pelajaran ilmu tergantung bakat dan ketekunan orang yang mempelajarinya? Kepandaian apa yang paling kau banggakan silakan pamor pada kami, bila kami berdua memang tidak ungkulan, kami rela mengaku kalah, cara ini kukira cukup menguntungkan bagi kau!"   Thian-hi tertawa-ewa, ujarnya.   "Tapi tiada sesuatu pelajaran yang boleh kubanggakan!"   Goan Tiong menarik muka, katanya bersungut.   "Jangan kau pungkir lagi, kalau tidak aku tidak akan main sungkan-sungkan lagi pada kau!"   Apa boleh buat akhirnya Thian-hi berkata.   "Bicara mengenai ilmu kebanggaanku, sebenar- benarnyalah tiada satupun yang kumiliki, tapi Cianpwe mendesakku begini rupa, terpaksa kuanggap segala pelajaran yang kumiliki itu sebagai ilmu bekalku, lalu bagaimana baiknya?"   "Sombong benar-benar kau,"   Semprot Goan Liang.   "Cobalah nanti kau pamer segala kemampuanku itu, apakah kami berdua mampu melayani kau. Bagaimana cukup puas belum!"   Hun Thian-hi tertawa lebar, memang kesanalah tujuannya semula, untuk gebrak2 yang akan datang betapapun ia pantang menyerah, jika sampai kalah, bila Ni-hay-siang-kiam dua bangkotan aneh ini mengajukan persoalan2 pelit, pasti dirinya menjadi semakin runyam.   Sejenak Thian-hi berpikir lalu ia berkata.   "Guruku diberi julukan Seruling selatan, seperti apa yang kalian lihat aku pun menggunakan seruling sebagai senjata, maka aku lebih peka dalam pengetahuanku mengenai nada atau ritme musik, sekarang cobalah kalian dengarkan irama lagu serulingku ini!"   Goan Tiong tertawa besar. serunya.   "Sejak lama kudengar huhwa Seruling selatan punya kepandaian khusus menggunakan irama serulingnya untuk menundukkan musuhnya, dengan irama seruling menutuk jalan darah sangat kenamaan di dunia persilatan. fsungguh tak duga hari ini kami memperoleh kesempatan untuk menikmati kepandaian yang tiada taranya ini!"   Thian-hi tertawa-tawa, kesepuluh jarinya sudah mulai bergerak pada posisi masing-masing di atas lobang batang seruling itu, pelan-pelan ia lekatkan di depan bibirnya, dengan cermat ia pandang kedua orang di depannya.    Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini