Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 31


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 31


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Silakan tiup saja,"   Demikian ujar Goan Tiong dan Goan Liang bersama.   "Jangan kau kuatir kami tidak akan kuat bertahan."   Sebetulnya Thian-hi punya perhitungan atau rencananya sendiri, melihat sikap orang ia maklum bahwa kedua orang ini tentu sudah menelan Jian-lian-hok-ling itu, kalau tidak masa berani mereka begitu takabur, agaknya untuk menang dan mengalahkan kedua musuhnya ini teramat sulit sekali.   Tapi bagaimana juga ia harus mencobanya.   mengandal lwekang betapapun aku tidak rela kena dikalahkan tanpa diuji sebelumnya meski aku harus dikeroyok dua.   Dalam kejap lain irama serulingnya sudah mengembang ditengah udara, suaranya lembut rendah dan merdu sekali irama musik ini kedengaran kalem tapi sebenar-benarnya sekaligus Thian-hi sudah melagukan Ngo-im-ho-bing (paduan lima nada), sedemikian merdu dan mengasjikkan sekali mengili hati seperti aliran sungai mengalir gemercik lembut, pendengarnya pasti teralun ke dalam alam inilah yang mempesonakan.   Gioan Tiong dan Goan Liang berdua diam-diam menjadi heran, sebagai murid Lam-siau adalah jamak bila Thian-hi punya kepandaian yang tinggi dan mendalam dalam ilmu serulingnya ini dan kepandaian ini tentu juga merupakan ilmu khusus yang dipelajarinya sejak kecil tapi kenapa rasanya begini longgar dan cetek saja pengetahuannya dalam bidang ilmu musik ini.   Tapi meski punya pikiran memandang ringan betapapun mereka selalu siap waspada, soalnya ini baru merupakan gebrak permulaan.   Irama seruling masih mengembang terus dan nadanya semakin meninggi lalu mengalun turun pula menyelusuri dataran rendah melebar kesegala penjuru, sekelilingnya seolah-olah sudah diramaikan oleh kicauan irama berbagai bunyi kicauan burung, baru sekarang Goan Tiong dan Goan Liang mulai terkejut dan terkesiap hanya kiranya Thian-hi memang cukup cerdik memancing pendengarannya terjebak ke dalam khayalan pikirannya, sedikit kurang hati-hati celakalah mereka, cepat mereka mulai mengerahkan hawa murni dan tenaga untuk bertahan.   Tanpa disadari oleh mereka bahwa irama lagu yang dikerahkan dengan kekuatan hawa murni yang hebat itu bahwasanya sudah merasuk ke dalam hatinya, begitu mereka mengerahkan tenaga untuk melawan, kontan irama seruling lantas menerjang seperti gelombang laut yang mendampar batu-batu karang tidak berkeputusan.   nada lagunya juga semakin tinggi dan cepat, suara kicauan burung yang mengasjikkan dan bau kembang yang menyejukkan badan telah lenyap, kini berganti auman binatang buas yang saling berpaduan dengan rupa rendah, laksana ratusan kuda berderap langkah dengan lari kencang.   Lambat laun Goan Tiong dan Goan Liang mengunjuk kepayahan, jidatnya basah oleh keringat, betapa kuat mereka mengerahkan pertahanan namun karena dasarnya semula kurang kuat dan keterjang pula dari luar dan dalam.   sehingga pertahanan yang terjepit itu lama kelamaan semakin kendor dan hampir bobol sama sekali, jelas mereka sudah tidak kuat lagi mempertahankan diri.   Biji mata Thian-hi berkilat-kilat, tiba-tiba bibirnya bergerak irama serulingnya melambung tinggi, seolah-olah membawa semangat kedua lawannya naik ke atas awan mengembang ditengah angkasa lalu dibantingnya jatuh pula ke tanah, begitulah berulang kali diombang ambingkan turun naik seperti sebuah sampan kecil dihempas naik turunkan dalam gelombang samudra yang mengamuk.   Goan Tiong sudah tak kuasa lagi mengendalikan diri, cepat ia membuka mulut lebar-lebar dan menggembor sekeras-kerasnya, demikian juga Goan Liang tidak mau ketinggalan, mulutnya pun mengeluarkan pekik tinggi yang nyaring, kedua suara mereka berpadu sejajar melawan irama seruling yang sedang mengamuk seperti angin puyuh ditengah padang pasir.   Begitu dua macam suara saling bentrok, irama seruling Thian-hi rada kena terdesak, keruan Thian-hi kaget, tahu bahwa bila dilanjutkan cuma membuang-buang tenaga dan belum tentu bisa menang, ia turunkan serulingnya dan seketika lenyaplah irama lagu yang mengamuk dan memistik hati itu.   Sambil membasut keringat di jidatnya Goan Tiong tertawa dibuat-buat, katanya.   "Gebrakan ini jelas kau tidak mampu mengalahkan kami, coba kau masih punya kepandaian apa lagi, silakan boyong keluar!"   Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya.   "Irama serulingku tak dapat menang, kepandaian lain apa lagi yang aku miliki?"   "Tidak menjadi soal? bukankah kau tadi mengatakan setiap ilmu yang kau bekali merupakan kepandaian yang sama-sama kau banggakan?"   Demikian olok Goan Tiong.   "Cobalah belum tentu kau bakal kalah."   Terpikir oleh Thian-hi suatu cara untuk memperoleh kemenangan, namun dalam mulut ia masih merendah, katanya.   "Mengandal kepandaian Wanpwe yang masih begini cetlk mana berani aku bertanding lebih lanjut dengan Cianpwe berdiua?"   Goan Tiong menjadi senang, katanya tertawa lebar.   "Kenapa main sungkan-sungkan, bukankah kau ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek? Cobalah dengan ilmu ini? Konon ilmu ini cuma merupakan sejurus tunggal yang teramat lihay dikalangan persilatan, hayo beri kesempetan pada kami berdua untuk menyaksikannya."   "Adanya perintah dari orang yang lebih tua, aku yang lebih muda harus patuh dan menurut saja. sebelumnyalah meski Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya di seluruh kolong langit ini, dalam pembawaan Wanpwe yang kurang becus ini, pasti bukan apa-apa bagi Cianpwe berdua."-demikian Thian-hi masih merendah diri. Karena diagul2kan Goan Tiong dan Goan Liang menjadi kesenangan. serunya tertawa besar.   "Masa ija. marilah dicoba-coba!"   Pelan-pelan Thian-hi mengacungkan serulingnya. serunya.   "Awas Cianpwe! Wanpwe akan mulai."   "Dengan tertawa Goan Tiong dan Goan Liang membuka tangan, maksudnya supaya Thian-hi mulai saja tak usah kuatir pada mereka, terang sikap mereka ini memandang rendah. Mereka tetap bertangan kosong, diam-diam Thian-hi mengupat dalam hati. karena jelas sekali orang terlalu memancang rendah pada Wi-thian-cit-ciat-sek, hal ini malah membuatnya kuatir, tak enak rasanya mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi dalam keadaan terdesak begini mau tak mau ia harus melancarkan jurus-jurus ilmunya itu, maka begitu jejakkan kakinya badannya melambung ke tengah udara dan berputar setehgah lingkaran, serulingnya menutul kesamping terus ditukikkan kebawah, itulah jurus Wi-thian-cit-ciat-sek salah satu dari kembangan variasinya, segulung tenaga dahsyat kontan menerjang ke arah Goan Tiong berdua. Goan Tiong dan Goan Liang berdiri jajar, serempak menekuk dengkul, gerak gerik mereka serasi benar-benar, sama-sama mendorong kedua telapak tangan ke depan menyongsong rangsakan Thian-hi. Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya dikolong langit, masa dapat digempur dan dipunahkan begitu gampang oleh Ni-hay-siang-kiam cukup dengan songsongan empat pukulan telapak tangan belaka, tujuh jalur tenaga dahsyat berputar dan saling silang bergantian berputar menyampok balik gelombang pukulan mereka berdua, malah jauh berkelebihan tenaga yang mendampar itu terus menerpa ke arah mereka berdua. Seketika dada kedua orang seperti dipukul godam, saking kejutnya serempak mereka melompat mundur, begitu berdiri tegak pula tangan masing-masing sudah menghunus pedang. Sebenar-benarnia Thian-hi sendiri tidak melancarkan serangannya sepenuh hati, apalagi sikap kedua lawannya terlalu memandang enteng, apa boleh buat terpaksa ia kendorkan tenaga serangannya, tapi saat mana Ni-hay-siang-Kiam sudah keburu melolos pedang, cuma Thian-hi sudah menarik serangan lebih lanjut maka ia batalkan rangsakan selanjutnya. Goan liong dan Goan Liang saling pandang, kata Goan Tiong.   "Kenapa kau mundur dan batalkan seranganmu?"   Hun Thian-hi tertawa, sahutnya.   "Tenaga Wanpwe kurang kuat tak kuasa meneruskan lagi."   Ia tahu bila ia mengatakan dirinya sudah menang kedua lawannya ini pasti tidak terima, betapapun harus dicoba sekali lagi, kini mereka sudah menghunus pedang, ada lebih baik aku mundur setapak, siapa tahu dengan caraku ini aku bakal memperoleh keuntungan.   Dengan memicingkan mata Goan Liang mengawasi Hun Thian-hi, katanya.   "Tapi jikalau kau kalah. jangan harap kami suka menyerahkan kedua orang itu kepada kau!"   Hun Thian-hi tertawa, katanya.   "Sudah tentu aku maklum. tapi tidak mudah aku mengambil kemenangan!"   Goan Tiong dan Goan Liang sama adalah tokoh-tokoh silat kelas tinggi. sudah tentu mereka tahu kemana jutrungan ucapan Thian-hi. soalnya mereka sudah kebiasaan bersikap sombong dan takabur, mana bisa mereka mau mandah menyerah? "Bagaimana?"   Kata Goan Tiong.   "Silakan kau coba sekali lagi!"   Hun Thian-hi sudah tahu bahwa kedua musuhnya pasti akan mendesaknya, ia mandah tertawa ewa, sahutnya.   "Tak perlulah, coba-coba juga sama saja, bila Cianpwe berdua suka memberi kelonggaran Wanpwe punya suatu cara, tapi entahlah Cianpwe berdua apa setuju?"   "Cobalah kau sebutkan caramu itu!"   Seru Goan Tiong berdua. Hun Thian-hi girang, bila dua lawannya ini setuju kemenangan jelas bakal dicapainya, betapapun usul yang akan diajukan ini sulit untuk ditampik oleh kedua lawan tuanya ini. Maka ia menambahkan.   "Tapi usulku ini agaknya rada kurang menguntungkan bagi Cianpwe berdua."   Goan Tiong dan Goan Liang beradu pandang, terpaksa mereka kertak gigi, sahutnya.   "Baiklah silakan kau sebutkan, sebetulnya cara baik apa?"   Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia berpendapat mengandal ilmu silat ia tidak mampu mengalahkan kedua lawannya, tapi ia harus mencari suatu akal untuk menundukkan mereka, akhirnya ia berkata.   "Aku ada beberapa persoalan yang sulit dipecahkan. entah apakah Cianpwe berdua suka memberi petunjuk?"   Lagi-lagi Goan Tiong berdua beradu pandang, kata Goan Tiong.   "Maksudmu kau hendak menguji kami dengan persoalanmu itu untuk menentukan menang kalah?" "Bukan begitu maksudku seluruhnya, cuma aku ingin tahu beberapa persoalan, dengan pengalaman dan pengetahuan Cianpwe berdua yang luas. tentu kalian dapat memberi penjelasan padaku!"   Alis Goan Tiong bertaut, ia merenung sekian lamanya, tidak bisa tidak ia harus menyetujui permohonan Thian-hi ini.   cuma persoalan apakah yang hendak Thian-hi tanyakan? Ini sulit diketahui, bila perlu nanti setelah kami menang secara kebesaran jiwa kami serahkan Ma Gwat- sian dan gurunya kepada Hun Thian-hi, betapapun aku tidak boleh kalah.   Sejenak ia berpikir apa boleh buat terpaksa ia manggut-manggut, katanya.   "Baik, tapi harus ada batasnya, kau hanya boleh mengajukan tiga pertanyaan!"   Thian-hi manggut-manggut, dengan mengajukan cara ini sudah tentu dia sudah punya persiapan, setelah berpikir sebentar ia lantas berkata.   "Ingin aku tahu cara bagaimana Ma Gwat- sian diantarkan masuk dan cara bagaimana pula keluar dari lembah itu?"   Goan Tiong menyengir girang, sejak tadi hatinya kebat-kebit, entah pertanyaan apa yang hendak diajukan oleh Hun Thian-hi? Sekarang mendengar pertanyaan yang sepele ini ia menjadi geli dan berlega hati, bahwasanya mereka paling jelas mengenai hal ini, kalau tidak masa begitu gampang mereka bisa mendapatkan Jian-lian-hok-ling itu? "Masa hal yang sepele itu tidak dimengerti! Dimana terdapat Jian-lian-kok-ling itu disekitarnya pasti terdapat pula Laba-laba darah, laba-laba darah ini setiap setengah bulan pasti tertidur.   Tatkala Cian-lian-hok-ling itu hampir matang baunya yang harum tersuar luas dan memabukkan, kebetulan pula laba-laba merah itu sedang tertidur, kesempatan inilah digunakan Ang-hwat untuk memasukan Ma Gwat-sian berdua kesana, begitulah kejadiannya! Soal cara bagaimana kami menolong mereka keluar, hal ini jauh lebih gampang lagi, kami turun dari belakang gunung, bukanlah seperti menjinjing kantong saja kami mengeluarkan mereka?" Thian-hi manggut-manggut sambil tersenyum, tanyanya pula.   "Masih ada sebuah pertanyaan, yaitu mengenai kuda hijau, apakah Cianpwe berdua tahu soal ini?"   Goan Tiong berdua beradu pandang lagi, tampak rona wajah mereka rada berubah, kata Goan Tiong pada Hun Thian-hi.   "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan ini kepada kami?"   Rada kaget juga Thian-hi mendapat pertanyaan balasan ini, sangkanya kedua orang ini pasti tidak tahu, dikolong langit ini masa benar-benar ada kuda warna hijau, pasti obrolan Siau-bin-mo- im saja sebelum ajal, atau mungkin Jing-san-khek itu sengaja hendak mempersukar Siau-bin-mo- im, seumpama memang benar-benar ada kejadian ini, tidak mungkin sekali ia ajukan pertanyaannya lantas tepat pada orang yang berkepentingan.   Dari perubahan air muka kedua orang ini agaknya mereka pasti tahu seluk beluk kuda hijau itu, malah persoalan ini agaknya cukup penting, kalau tidak masa mereka kelihatan bersikap waspada dan hati-hati.   Dalam hati ia terkejut namun lahirnya tetap tenang-tenang saja, katanya pula sambil tertawa.   "Aku cuma dengar dikolong langit ini ada seekor kuda hijau, kukira Cianpwe pasti tahu akan kebenar-benaran ini maka kuajukan pertanyaan ini, sebenar-benarnya aku tiada punya maksud apa-apa!"   Goan Tiong menarik muka, katanya dengan sungguh-sungguh.   "Apakah benar-benar dan dapat dipercaya ucapanmu ini?"   Thian-hi tidak tahu apa hubungan atau sangkut paut kedua orang ini dengan Kuda hijau itu, maka iapun tidak berani memberitahu apa yang dia ketahui. dari cerita Siau-bin-mo-im, katanya.   "Berani sumpah bahwa aku memang tidak tahu bila Cianpwe berdua ada mengetahui soal kuda hijau itu!"   "Urusan ini bukan persoalan sembarangan, dikolong langit cuma beberapa orang saja yang tahu perihal kuda hijau itu, dari mana kau kisa tahu, lekas kau jelaskan padaku."   Thian-hi menjadi ragu-ragu, entah mengapa begitu penting dan kelihatannya sangat gawat perihal kuda hijau itu, sebetulnya akulah yang mengajukan persoalan ini kepada mereka, sekarang berbalik menjadi aku yang diperas keteranganku, serta merta ia menjadi kecewa dan menyesal, cuma mencari kesulitan sendiri saja.   Sudah tentu iapun segan menjelaskan keseluruhannya, katanya.   "Bagaimana keadaan sesungguhnya aku tidak tahu jelas, aku tidak bisa sembarangan omong!"   Goan Tiong mendengus, sebaliknya Goan Liang lantas bertanya.   "Kalau begitu, percakapanmu ini bisa disimpulkan bahwa persoalan ini menjadi tidak begitu penting menurut penilaianmu semula!"   Hun Tliian-hi manggut-manggut, katanya.   "Boleh dikata begitulah, tak tahu aku kenapa Cianpwe berdua kelihatannya menjadi tegang, sudah tentu aku menjadi segan untuk meneruskan persoalan ini!"   Tanya Goan Tiong lagi.   "Persoalan lain aku tidak peduli, tapi bila kau mendapatkan kuda hijau itu. cara bagaimana kau hendak mengurusnya?"   Thian-hi harus hati-hati, ia tahu bahwa Goan Tiong berdua sedang menyelidik dan mengorek isi hatinya, nanti akan diketahui olehnya dimana pendirian kedua belah pihak.   ia harus berpikir lebih cermat perlukah ia menjelaskan, bila ia terus terang bukan mustahil mereka akan bersikap bermusuhan terhadap dirinya, kalau hal ini sampai terjadi bukan saja perihal kuda hijau itu tidak berhasil dikorek, Ma Gwat- sian dan gurunya pun tidak akan dapat diketemukan atau mungkin pula tidak akan diserahkan pada dirinya.   Thian-hi harus termenung sekian lamanya, Goan Tiong menjadi tidak sabar, desaknya.   "Mau tidak kau menjelaskan terserah pada kau, tapi bila tidak kau jelaskan Ma Gwat-sian berdua tidak akan kami serahkan kepada kau!" berhenti sebentar ia melirik memberi isyarat kepada Goan Liang lalu sambungnya.   "CobaJah kau pikir lebih matang, tiga hari lagi kau boleh datang kemari!"   Lalu mereka bergerak hendak tinggal pergi.   "Hai, nanti dulu!"   Teriak Thian-hi membantu maju.   "Apa sekarang juga kau hendak bikin penyelesaian? Begitupun baik!"   Kata Hun Thian-hi.   "Ketahuilah bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya pernah menolong jiwaku, mereka tidak punya sangkut-paut dengan persoalan ini, boleh kujelaskan cuma setelah kuterangkan, Cianpwe berdua harus berjanji mau melepas mereka keluar!"   Goan Tiong berpikir sebentar lalu manggut-manggut ujarnya.   "Begitupun baiklah!"   Pelan-pelan Hun Thian-hi menghela napas, terasa olehnya bahwa urusan tidak bakal bisa lancar menurut dugaannya semula, maka katanya.   "Soal kuda hijau itu, aku mendapat tahu dari penuturan Siau-bin-mo-im!"   Goan Tiong menggeram sambil membanting kaki dengusnya.   "Siau-bin-mo-im?"   Thian-hi menjadi kurang senang melihat sikap orang yang kurang simpatik, kenapa pula dengan Siau-bin-mo-im? Kenapa pula kelihatannya kau memandang rendah dan menghina pribadinya? "Beliau teringat akan perihal kuda hijau itu,"   Demikian Thian-hi melanjutkan.   "sebelum ajal beliau ada pesan padaku supaya menanyakan hal ini kepada Jing-san-khek, tapi aku harus memperoleh Kuda hijau itu lebih dulu, kalau tidak Jing-san-khek tidak akan mau memberi tahu padaku."   "Agaknya kau salah lihat, orang itu adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im,"   Demikian Goan Tiong menjelaskan dengan sikap dingin.   "Kecuali Mo-bin Suseng tiada orang kedua yang mau membeberkan rahasia ini kepada orang luar!"   Thian-hi terkejut, namun lahirnya tenang tertawa-tawa, katanya.   "Mereka tiga bersaudara berbentuk sama, kuyakin bahwa beliau Siau-bin-mo-im adanya!"   Goan Tiong menjengek bibir, sindirnya sinis.   "Anggapmu aku tidak tahu? Ketahuilah cuma Mo- bin Suseng seorang saja yang tahu perihal ini, Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im sama sekali tidak tahu menahu soal ini!"   Thian-hi tertegun, sungguh tak nyana bahwa urusan bisa berubah begini besar, soalnya ia sendiri tidak bisa membedakan mana Siau-bin-mo-im atau Mo-bin Suseng tulen.   Betapapun ia tidak percaya manusia tambun pendek yang meregang jiwa itu adalah Mo-bin Suseng, dengan mata kepalanya sendiri ia saksikan Siau-bin-mo-im mangkat, begitu juga seperti bayangan setan tahu-tahu Ah-lam Cuncia sudah muncul dihadapannya lalu menghilang pula dengan langkah seenteng asap mengembang, beliau membawa jenazah Siau-bin-mo-im, mana mungkin orang itu adalah Mo-bing Suseng! Tengah Thian-hi tenggelam dalam keraguannya, terdengar Goan Tiong berkata dingin.   "Apapun alasanmu tidak berguna lagi, kalau toh kau sudah datang kemari karena pesan Mo-bin Suseng itu marilah kita bicara terus terang saja, kuda hijau memang berada di tempat kami, maka silakan bicara terus terang pula padaku saja!"   "Hun Thian-hi semakin melenggong, katanya tertawa.   "Moh-bin Suseng adalah musuh besar yang membunuh ayahku, mana sudi aku mendapat pesannya, harap Cianpwe berdua tidak salah paham!"   Goan Liang segera menibrung.   "Berani dia membocorkan perihal ini kepada orang luar, malah berpura-pura dan bermuka2 begitu mirip sekali, tapi ketahuilah kami berdua tidak begitu gampang dapat dikelabui dan ditipu mentah-mentah. Gurunya I-lwe-tok-kun kan berada disini juga, dia sendiri tidak berani datang kemari justru kaulah yang diutusnya kesini!"   Tak habis heran Thian-hi, dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Goan Tiong berdua begitu kukuh berpendapat bahwa orang yang memberi tahu perihal itu kepadanya adalah Mo-bin Suseng adanya, malah menuduh dirinya adalah utusan Mo-bin Suseng pula, begitulah pikir punya pikir semakin besar tanda tanya yang mengganjal sanubarinya, seluruh persoalan ini benar-benar luar biasa.   "Kalau kau benar-benar ingin minta kuda hijau itu boleh kami berikan kepada kau, cuma asal kau sendiri punya akal dan mampu bekerja sendiri! Mari kau ikut kami." lalu mereka mendahului beranjak lari ke arah depan sana. Tanpa banyak pikir Thian-hi segera mengintil di belakang mereka, pikirnya, Ah-lam Cuncia agaknya sudah sehat kembali, matanya sudah melihat dan ilmu silatnya sudah pulih kembali, pastilah tiada sesuatu keperluan apa-apa lagi, aku sendiri tidak punya kepentingan atas kuda hijau itu, cuma Ma Gwat-sian masih berada ditangan mereka, terpaksa aku harus ikut kemanapun mereka menuju, Begitulah dengan berlari-lari kencang Ni-hay-siang-kiam membawa Hun Thian-hi masuk ke pedalaman terus manjat ke atas gunung, tak lama kemudian mereka sudah beranjak di dalam hutan-hutan yang lebat di dalam pegunungan yang tinggi dan terjal. Segala rintangan tidak menjadi penghalang yang berarti bagi mereka, mereka terus berlari bagai terbang, setiba disebuah tikungan tiba-tiba Goan Tiong berdua berhenti dan berpaling ke belakang, sekejap saja tahu-tahu Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun di belakang mereka, sejenak mereka beradu pandang, mata mereka sama memancarkan sorot terang yang membayangkan rasa kejut hati mereka. Cepat Hun Thian-hi pun menghentikan luncuran tubuhnya, katanya kepada Goan Tiong.   "Tujuanku cuma minta Ma Gwat-sian bisa dikembalikan secepatnya, tiada niatku mencari gara- gara soal kuda hijau apa segala!"   "Kenapa? Apa kau jadi ketakutan?"   Demikian jengek Goan Tiong dingin. Thian-hi tertawa2, ujarnya.   "Selamanya aku tidak gampang dipancing atau dibuat marah, aku menjadi heran kenapa Cianpwe berdua agaknya hendak mempersukar diriku hanya karena soal kuda hijau itu?"   Kalau aku tidak gampang terpengaruh oleh keadaan itulah baik", demikian Goan Liang menyeletuk.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "sebaliknya aku menjadi bersedih bagi temanmu itu, bukankah kau sendiri mengatakan sudah menyanggupi untuk mengurus persoalan ini menurut pesannya, kenapa sekarang kau harus berhenti ditengah jalan dengan hampa!"   "Ah, memang mungkin aku yang salah. Cuma ilmu silat Ah-lam Cuncia sudah pulih kembali, jadi agak nya tidak perlu aku bersusah payah lagi,"   Demikian Hun Thian-hi coba membela diri dengan alasannya Tak duga Goan Tiong menggeram sambil menjebir bibir dengan sinis, katanya.   "Dapatlah seseorang yang pernah menelan Ban-lian-ceng bisa sembuh kembali? Dalam hal ini bocah berumur tiga tahun pun jangan harap dapat kau apusi. Apalagi bila ilmu silatnya sudah pulih betul- betul, kenapa pula muridnya harus berpesan kepada kau sebelum ajal."   Thian-hi jadi terbungkam, ia sendiri juga bingung dan sulit meraba kemana juntrungan persoalan ini, mau tidak mau keyakinan hatinya menjadi goyah, memang ia jadi bingung bagaimana harus beri penjelasan lebih lanjut.   Tersimpul olehnya cara penjelasan paling baik yaitu diakui bahwa orang yang berpesan sebelum ajalnya itu benar-benar adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im, tapi apakah mungkin hal ini terjadi? Ia tenggelam dalam renungannya.   Terdengar Goan Tiong berkata dingin.   "Penjelasan paling baik bagi kau adalah bahwa orang itu bukan Siau-bin-mo-im, tapi Mo-bin Suseng adanya. Gurunya berada di tangan kami betapapun ia tidak akan berani membocorkan rahasia ini, kalau tidak gurunya bakal mengalami derita dan ancaman elmaut."   Bercekat hati Thian-hi, mukanya menjadi masam, batinnya jadi benar-benarlah orang itu adalah Mo-bin Suseng adanya, hatinya menjadi mendelu dan entah pahit entah getir atau ia harus bergirang, sesaat lamanya ia jadi sukar merasakan perasaan hatinya.   Goan Tiong mendengus keras-keras lalu menarik Goan Liang berlari pula menuju ke sebuah perkampungan dan terus lari masuk.   Keruan Thian-hi jadi gugup cepat ia mengejar, teriaknya.   "Nanti dulu Cianpwe, omonganmu belum selesai."   "Sekarang tak perlu banyak bicara lagi, marilah kau ikut!"   Goan Tiong berseru tertawa.   Tatkala itu cuaca baru saja terang tanah, jalan menuju ke perkampungan masih sepi tak kelihatan ada bayangan manusia, laksana dikejar setan saja mereka bertiga beriringan melesat lari ke dalam perkampungan itu.   Dalam kejap lain mereka sudah tiba di sebuah kebon kembang yang teramat luas.   Thian-hi loncat ke atas tembok, tampak taman kembang ini kira-kira seluas beberapa li, dalam kebon kembang ini terdapat berbagai aneka ragam kembang yang indah dan gunung2an besar kecil serta jembangan yang tersebar dimana-mana.   Begitu berada di dalam taman kembang ini bayangan Ni-hay-sian-kiam lantas lenyap.   Thian-hi jadi dongkol, kenapa kedua orang itu tidak tahu aturan, entah apa sangkut pautnya kedua orang ini dengan kuda hijau itu, lagaknya mereka tidak sudi menyerahkan kuda hijau itu kepada Jeng-san-khek, inilah kejadian yang aneh dan amat mengherankan hatinya.   Dari ketinggian tempatnya berdiri terlihat di depan rada jauh sana terdapat sebuah bangunan gedung yang tinggi megah, sekitarnya dikelilingi pohon-pohon pendek dan bunga2 yang sedang mekar saling berlomba memperlihatkan keindahannya.   Pasti mereka menuju ke sana itulah, demikian pikir Thian-hi, dua orang itu paling suka menonjolkan diri dan suka jaga gengsi, betapapun segan untuk melarikan diri, apalagi ilmu silat mereka sudah sedemikian lihay tentu takkan terjadi hal-hal seperti dugaannya ini.   Thian-hi rada was-was untuk bertindak ke dalam, kuatirnya dalam kebon ini ada dipasang alat2 rahasia untuk menjebak orang, terpaksa ia melolos serulingnya sekali enjot tubuh enteng sekali kakinya hinggap di tanah.   Baru saja ia berdiri tegak, tiba-tiba Goan Tiong menerobos keluar dari belakang sebuah gunung2an menghadang di hadapan Thian-hi sambil menghunus pedang, katanya dingin.   "Kami berdua cuma ingin merintangi kau, bilamana kau berhasil menerjang masuk ke dalam gedung itu, segala urusan bisa segera diselesaikan."   Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, Goan Tiong muncul lagi begitu cepat dan tak terduga-duga, bila tadi ia langsung menyerang pasti aku terdesak di bawah angin, sekarang ia menghadapiku dengan persyaratannya ini, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, meski mereka pernah menelan Jian-liang-hok-ling, agaknya sulit untuk mencapai kemenangan, tapi kalau cuma menerjang ke sebelah dalam mencapai pintu gedung itu rasanya tidak terlalu sukar.   Tanpa bicara lagi Thian-hi acungkan serulingnya, sementara kakinya beranjak mendekat, langsung ia menerjang dengan tutukan kedada Goan Tiong.   Sangkanya dengan mengajukan syaratnya itu tentu Goan Tiong akan mati-matian merintangi dirinya, tak nyana bukan saja menangkis atau melawan ternyata Goan Tiong berkelit mundur lalu lenyap dibalik gunung2an batu.   Thian-hi tidak hiraukan kemana Goan Tiong melenyapkan diri, ia berlari kencang menerjang terus ke depan.   Tapi belum berapa langkah ia maju.   tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang telah muncul pula mencegat jalannya, dua batang pedang menyamber bersilang dari kanan kiri membabat keleher Hun Thian-hi, serangan ini cukup ganas dan lihay sekali.   Tergerak hati Thian-hi, kenapa aku tidak main gertak saja terhadap mereka yang maju dan menyergap bersama ini, meminjam tenaga mereka untuk jumpalitan menerjang ke arah depan malah? Seiring dengan pikirannya ini, serulingnya cepat ditutukkan ke depan menangkis tepat pada persilangan kedua pedang lawan.   Tak duga baru saja serulingnya menyetuh kedua senjata musuh kontan ia rasakan segulung tenaga besar menerjang ke arah badannya seketika ia terpental mundur dan mencelat tinggi sampai terlempar keluar tembok.   Cepat Thian-hi menyedot hawa, mengendalikan badan memberatkan tubuh, waktu meluncur tubuh tepat kakinya berhasil hinggap di atas tembok, waktu ia angkat kepala pula bayangan Goan Tiong dan Goan Liang sudah menghilang tanpa bekas.   Berkerut alis Thian-hi, tiba-tiba ia berlari-lari kencang sekali di atas tembok yang memagari kebon kembang yang luas itu, tak lupa kedua matanya yang jeli mengawasi ke dalam kebon, apakah bayangan Goan Tiong dan Goan Liang ada kelihatan, tapi sedemikian jauh ia tak berhasil melihat bayangan apapun kecuali kembang2 dan pepohonan yang hidup subur, sekali berkelebat Thian-hi mencari posisi lain dari tempatnya yang baru ini ia coba menerjang ke dalam.   Tapi baru saja ia mencapai tanah, tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang sudah muncul pula terus menyerang dengan pedang masing-masing.   Thian-hi tercengang kaget, sungguh tak duga bahwa gerak kedua orang ini sedemikian tangkas dan cepat, apalagi seolah-olah sudah tahu sebelumnya dirinya bakal menubruk dari jurusan mana dan di tempat itu pula mereka sudah menanti.   Betapapun sekali ini aku harus menjajal sampai dimana kepandaian mereka, demikian pikirnya, seruling teracung tinggi miring, pelan-pelan ia kerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek.   Bab 32 Kelihatannya Goan Tiong berdua bersikap acuh tak acuh, pedang mereka tetap bergerak menyilang dari kanan kiri, bergerak cepat dan lambat maju mundur langsung menyongsong ke ujung seruling jade lawan.   Baru saja Hun Thian,hi lancarkan serangan serulingnya, mendadak terasa gelombang tenaga yang lunak dan kuat mengurung dirinya dari berbagai penjuru, meski kekuatan Wi-thian-cit-ciat- seknya sanggup menggugurkan gunung membelah bumi juga seketika menjadi sukar dikembangkan lebih lanjut, begitu tenaga sendiri menjadi bujar badannya lantas membal balik dan terpental mundur ke atas tembok lagi, sedemikian hebat tenaga lontaran ini sehingga ia bergoyang gontai di atas tembok hampir terlempar keluar.   Hatinya mencelos, selama ia melancarkan Wa-thian-cit-ciat-sek belum pernah ketemu tandingan sedemikim tangguh, nyata bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek sedikitpun tidak mampu menunjukkan perbawanya.   Sungguh tidak habis heran hatinya, apakah mungkin tenaga yang dikerahkan telah salah salurannija? Ataukah jurus permainannya yang kurang sempurna? Terbayang olehnya waktu pertama kali dirinya terjun kegelanggang percaturan dunda persilatan, Ang-hwat-lo-mo cuma mengajar sejurus Pencacat langit pelenyap bumi, mengandal Lwekang sendiri pada waktu itu, kenyataan jurus itu dapat menambah sepuluh lipat tenaganya sendiri.   Apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang tiada taranya yang tiada bandingannya, masa lebih asor dibanding Pencacat langit pelenyap bumi? Sebaliknya kalau benar-benar cara penggunaannya.   tak mungkin dirinya sedemikian gampang dipermainkan lawan, yang terang dalam sekejap ia akan dapat angkat nama dan menggegerkan seluruh dunia persilatan.   Begitulah pikir punya pikir tak terasa ia berdiri berjublek di atas tembok, Akhirnya pandangannya meneliti keadaan sekitar kebon kembang itu, lambat laun didapatinya sesuatu yang ganjil dari tumbuhan bunga itu, kiranya setiap tanaman kembang dan pepohonan yang satu sama lain mempunyai letak yang persis dan jarak yang tertentu teratur rapi sekali.   terang itulah bentuk dari sebuah barisan.   Hatinya jadi was-was bahwa kebon kembang inipun ternyata diatur dengan bentuk sebuah barisan, kalau tidak.   tidak mungkin Goan Tiong dan Goan Liang dapat bergerak sedemikian lincah dan cepat sekali dalam waktu yang sedemikian singkat pula.   Thian,hi insaf untuk menerjang masuk dan menembus langsung ke gedung besar itu adalah sesukar memanjat langit, apa lagi bila ia teringat pengalamannya di dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin dulu, ia jadi jeri untuk sembarangan beranjak ke dalam.   Terpaksa ia putar kayun mengelilingi pagar tembok.   Diam-diam ia mencari akal cara bagaimana.   untuk menjebol barisan ini, tapi hakikatnya ia tidak akan memperoleh kunci pemecahannya karena ia sendiri tidak tahu segala seluk beluk mengenai barisan apakah yang dihadapinya ini.   Saking gemes lalu terpikir olehnya.   "Bila Ham Gwat ada disini perkembangan selanjutnya tentu gampang diatasi, bukankah Ham Gwat juga bisa menyelami intisari dari rahasia barisan Thay-si-ciang-soat-lian,mo-tin?"   Semakin dipikir hatinya menjadi gundah, berbagai pikiran menggejolak dalam becaknya, akhirnya ia menghirup napas dalam-dalam menghilangkan segala pikiran yang membutakan otaknya, dengan seksama ia mulai lagi meneliti keadaan dan kedudukan posisi barisan yang aneh ini.   Sekonyong-konyong sesosok bayangan abu-abu berkelebat diujung pandangan matanya, sesosok bayangan itu melayang turun dari tengah udara seringan daun melayang jatuh ke tanah dan akhirnya hinggap di atas tembok disebelahnya.   Waktu menegas lihat seketika hatinya menjadi girang2 kejut, karena pendatang ini bukan lain adalah Ah-lam Cuncia adanya.   Sungguh tak kira bahwa Ah-lam Cuncia bisa muncul dalam saat dan keadaan yang sulit ini.   ini benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan menggirangkan pula hatinya.   Tapi untuk tujuan apa pula Ah-lam datang kemari? Sambil tersenyum lebar Ah-lam Cuncia menyapa dulu kepada Hun Thian-hi.   "Hun-sicu apa baik- baik saja selama berpisah?" Cepat-cepat Hun Thian-hi menjura hormat serta tanyanya.   "Entah untuk apakah Taysu datang kemari?"   Ah-lam Cuncia menyapu pandang keadaan kebon kembang di dalam tembok lalu tertawa, katanya.   "Hun-sicu sampai meluruk kemari apakah karena persoalan kuda hijau itu?" dengan tawa berseri ia pandang muka Hun Thian-hi. Dari nada pertanyaan Ah-lam Cuncia, Hun Thian-hi bisa menarik kesimpulan bahwa beliau pun karena urusan itu pula sehingga datang kemari, keruan hatinya rada terhibur, sebagai Suheng dari Ka-yap Cuncia, sebagai angkatan tua yang aneh dan serba misterius bagi dunia persilatan. pasti beliau dengan gampang saja dapat memecahkan rahasia barisan kembang yang rumit ini. mengandal kepandaiannya, tidak perlu takut lagi menghadapi Goan Tiong berdua. Belum lagi Hun Thian-hi angkat bicara, keburu Ah-lam Cuncia berkata lagi.   "Jikalau Hun-sicu kemari juga karena kuda hijau, maka Loceng menganjurkan supaya Hun-sicu lekas pulang saja!"   "Semula tujuan Wanpwe bukan kuda hijau itu, hendak menolong Ma Gwat-sian. Tapi sekarang urusan sudah menjadi berkepanjangan, mau tak mau kedua urusan ini harus kuselesaikan sekalian!" lalu ia jelaskan asal mula kejadian ini sampai keadaan yang menyulitkan ini. Ah-lam Cuncia berpikir sekian lamanya, ujarnya.   "Sebab musabab kuda hijau itu terlalu panjang dan rumit untuk dijelaskan. Mo-bin Suseng memang terlalu membawa adatnya sendiri, bekerja tanpa perhitungan sehingga terjadilah keadaan yang menyulitkan ini."   Berdetak jantung Thian-hi mendengar ucapan orang, ditariknya suatu kesimpulan pula bahwa orang yang telah terbunuh oleh pukulannya tempo hari memang benar-benar adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im seperti yang diduganya semula.   Agaknya Ah-lam Cuncia dapat meraba alam p kiran Thian-hi, dengan tertawa welas asih ia berkata.   "Orarg yang mati itu memang Mo-bin Suseng adanya, sekarang dia sudah ajal maka budi dan dendam sudah himpas sama sekali." Tak tahu Thian-hi bagaimana perasaan hatinya saat itu, Mo-bin Suseng adalah musuh besar pembunuh ayahnya, ternyata musuh besar sudah mampus oleh tangannya sendiri, bukankah itu berarti bahwa dia sudah berhasil menuntut balas? Sebenar-benarnyalah ia tidak terpengaruh akan perasaan haru atau senang, selama ia kelana di Kangouw, cita-citanya cuma menuntut balas bagi kematian ayahnya, sampai ke ujung langit pun Mo-bin Suseng akan dikejar sampai berhasil dibunuhnya, tapi selama itu muka asli dan bagaimana bentuk Mo-bin Suseng itu belum pernah dilihat atau diketahuinya, namun sekarang mendadak diketahui bahwa sebenar-benarnyalah Mo- bin Suseng sejak beberapa saat lamanya sudah mampus di tangannya sendiri. Dengan perasaan kosong ia termangu-mangu mengawasi Ah-lam Cuncia, seolah-olah bentuk atau raut muka Mo-bin Suseng sudah tidak berkesan lagi dalam ingatannya, dengan keheranan ia bertanya pada sanubarinya sendiri.   "Apakah cita-citaku sudah terkabul?" sedikit pun ia tidak merasakan hal ini! "Kau masih punya banyak tugas harus kau kerjakan, banyak pula harapan yang harus kau kejar demi masa depanmu, apakah hidupmu ini melulu cuma demi menuntut balas saja. Kalau demikian saja pandangan dan pendapatmu, rasanya terlalu kecil kau menilai norma2 hidup manusia ini. Apa pula yang perlu kau kejar dan kau capai, kukira hanya kau sendiri yang tahu!"   Hun Thian-hi tertunduk, ia bertanya pada dirinya sendiri.   "Apakah aku hidup demi menuntut balas dendam? Rasanya bukan, dan masa itu sudah silam, kalau tidak tiada manfaatnya aku hidup lebih lanjut dalam dunia ini!"   Sekarang ia mulai menyelusuri kembali pengalamannya selama ia terjun ke gelanggang percaturan dunia persilatan, segala sepak terjangnya memang bukan melulu untuk mengejar musuh dan menuntut balas dendam.   Mo-bin Suseng sudah mampus sediki tpun tidak terasa senang dalam hatinya, bukan saja tidak gembira iapun tidak merasa bahwa ia sudah menang dan berhasil menunaikan tugas.   Kata Ah-lam Cuncia lagi.   "Kau harus tahu, Mo-bin Suseng bukan seorang durjana yang teramat jahat, jangan kau pandang rendah martabatnya. Pesannya sebelum ajal semua ia curahkan dari lubuk hatinya yang paling dalam dan itu benar-benar, tiada terkandung maksud-maksud jahat. Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im tentu tidak akan salahkan kau, bahwasanya memang Mo-bin Suseng yang berbuat kesalahan, ia melakukan perbuatan yang sebenar-benarnya tak perlu ia lakukan!"   Hun Thian-hi tersenyum, katanya.   "Sekarang sedikitpun Wanpwe tidak punya angan2 untuk menuntut balas apa segala, cuma masih tersekam suatu perasaan aneh, tapi aku sendiri tidak dapat mengatakan perasaan aneh apakah itu!"   "Itu tidak perlu dibuat heran,"   Ujar Ah-lam Cuncia.   "adalah jamak kejadian itu bagi manusia. Dikala seseorang mengejar sesuatu benda umpamanya, sangkanya setelah ia memperoleh benda itu pasti hatinya akan puas dan kegirangan. Jikalau Mo-bin Suseng sekarang muncul di hadapanmu, dan dia belum lagi meninggal, pasti kau tidak akan hiraukan nasehat atau bujukan orang lain dan melabraknya mati-matian, setelah kau berhasil mencapai kemenangan maka kau sendiri tidak akan merasakan kemenangan itu, tak lain sama seperti biasa saja."   Thian-hi bungkam dan merenung, memang begitulah keadaannya sekarang, tanyanya kepada Ah-lam Cuncia.   "Taysu, lalu bagaimana aku harus menempatkan diri supaya tidak terbelenggu oleh semua itu?"   "Jangan ceroboh dan jangan serampangan bertindak setelah kau memperoleh hasil!"   Demikian ujar Ah-lam Cuncia sambil merangkap tangan di depan dada. Tersadar benak Thian-hi, cepat ia menjura, serunya.   "Terima kasih akan petunjuk Taysu."   Sesaat lamanya mereka berdiam diri, akhirnya Ah-lam membuka suara pula.   "Ni-hay-siang-kiam punya hubungan yang sangat mendalam dengan Jing-san-khek, ada beberapa persoalan adalah urusan intern rumah tangga mereka, kita sebagai orang luar tidak perlu turut campur, begitu juga soal kuda hijau itu tidak perlu kau terlalu mendesak pada mereka, Tapi Ma Gwat-sian dan gurunya adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-kou, kau harus menolong mereka keluar, tapi rasanya Ni-hay- siang-kiam tidak begitu gampang mau menyerahkan mereka padamu!"   "Taysu apakah kau punya cara memasuki barisan ini?"   "Aku juga punya hubungan erat sekali dengan pencipta barisan ini, biarlah kucoba-coba, tapi belum tentu aku bisa berhasil."   Timbul setitik harapan dalam benak Thian-hi, bahwa ucapan Ah-lam jelas memberi tahu bahwa beliau mampu memecahkan barisan ini, cuma kami berdua sama masuk kesana ataukah dia sendiri yang akan menjebolnya.   Rada lama Ah-lam Cuncia meneliti keadaan barisan kembang ini, raut mukanya semakin kelam, Hun Thian-hi menjadi heran, tapi ia sungkan untuk bertanya, dalam hati ia bertanya-tanya entah hubungan apa adanya pencipta barisan ini dengan Ah-lam Cuncia.   Tak lama kemudian terdengar Ah-lam Cuncia berkata.   "Mari kuberi petunjuk, coba kau masuk ke dalam barisan."   Thian-hi rada kaget dibuatnya, pikirnya.   "Bahwasanya aku tidak tahu menahu tentang seluk beluk barisan ini, beberapa patah kata-katamu biia dibanding kedatangan Goan Liang berdua rasanya terpaut antara bumi dan langit, bukankah sia-sia saja aku masuk ke dalam barisan sana, sekali kena dirintangi, masa aku mampu melarikan diri!"   Ah-lam dapat melihat sikap ragu-ragu Hun Thian-hi, ia jadi geli dan berkata.   "Kau dengar dulu petunjukku! Coba kau lihat!"   Sembari berkata ia menunjuk ke arah sebuah pohon kenari lalu tambahnya.   "Kau boleh menuju ke arah pohon kenari itu, setelah di bawah pohon kekiri tiga kekanan dua dan terus kau tempuh cara yang sama, dengan mudah kau bisa masuk dan menerobos keluar dari barisan!"   Thian-hi memandang ke arah pohon kenari itu, disekitar pohon sana terdapat banyak sekali batu gunung-gunungan dan liku2 aliran sungai kecil yang serba rumit, selayang pandang lantas menimbulkan kejerihan hatinya.   Tapi justru Ah-lam Cuncia menghendaki dirinya menerobos ke tempat yang paling rumit itu, serta merta semakin ciut nyalinya, tapi perintah Ah-lam Cuncia tidak bisa tidak harus dituruti dan anjuran orang pasti tidak akan salah, jalan itu pasti benar-benar dan tidak perlu disangsi lagi.   Cuma masih terkandung kesangsian dalam benaknya, apakah mungkin barisan kembang yang sangat rumit ini dapat begitu gampang dipecahkan?.   Segera Thian-hi melayang turun di bawah pohon kenari itu, ternyata Goan Tiong dan Goan Liong tidak muncul mencegat jalan lagi, mau tak mau terhiburlah hatinya.   Tanpa ayal lagi Thian-hi melangkah lebih jauh ke depan pohon kenari, dan belum lagi ia beranjak lebih lanjut tiba-tiba Goan Tiong berdua muncul mengadang di depannya sambil menyoreng pedang.   Menghadapi gunung2an batu yang berserakan tidak genak dan kilauan batang pedang yang menyilaukan mata, serta merta hati Thian-hi menjadi keder, kalau ia nekad maju lebih lanjut entah apa yang akan diperbuat oleh Goan Tiong berdua, tapi pesan Ah-lam Cuncia harus dipatuhi dan itu berarti bahwa dia harus maju lebih lanjut.   Tiba-tiba tergerak hatinya sebat sekali ia melejit enteng beberapa inci di atas tanah, laksana air menglir bagai awan mengembang badannya melayang seringan asap berkelebat ke arah kiri terus membelok kekanan pula dengan luncuran yang cepat seperti membresut lewat di atas salju.   Tepat disaat Thian-hi bergerak Goan Tiong dan Goan Liang juga menggerakan kedua pedangnya menyilang ke arah yang berlawanan, terus menerjang ke depan, tapi Thian-hi keburu sudah melesat menyingkir sehingga daya serangan mereka menjadi susut, maka dalam detik lain Hun Thian-hi sudah berhasil menerobos lewat dari kilauan samberan pedang mereka terus meluncur lagi ke arah kiri tapi saat itu ia sudah berada di belakang mereka.   Sudah tentu Goan Tiong berdua merasa diluar dugaan, selamanya belum pernah mereka mengalami kejadian begini aneh, sejenak mereka melengak dilain saat mulut mereka membentak2 dan berkaok mencaci maki.   Kedatangan Ah-lam Cuncia sebetulnya sudah diketahui oleh mereka, percakapan Hun Thian-hi berdua juga sudah mereka dengar dengan cermat, cuma mereka jadi semakin heran dan kaget bahwa Ah-lam bisa begitu cepat memberi petunjuk ke arah pintu hidup dari barisan yang rumit ini, tapi betapa pun mereka tidak mau percaya dengan langkah tiga kanan dua kiri orang akan berhasil menerjang masuk dan bebas tanpa kena rintangan ke dalam barisan.   Begitu permainan langkahnya yang aneh membawa hasil seketika berkobar semangat Thian-hi, semakin besar pula keyakinan hatinya, begitulah ia bergerak lebih lanjut menuruti petunjuk yang didengarnya tadi, dilain saat ia sudah masuk semakin dalam ke dalam barisan, bayangan Goan Tiong berdua kadang-kadang kelihatan di lain saat sudah lenyap pula di sebelah belakangnya, selama itu mereka masih mengejar terus dengan kencang rangsakan pedang mereka tetap bersilang kekanan kiri dan membabat bergantian, tapi dalam jarak cuma serambut saja selalu Thian-hi dapat meluputkan diri dari aambaran pedang yang ganas ini.   Tanpa hiraukan dua orang pengejar dibelakangnya Thian-hi lari sipat kuping menuju ke arah gedung besar.   Bahwa serangan mereka berulang kali selalu gagal mau tak mau membuat Ni-hay-siang-kiam menjadi uring-uringan dan mencelos hatinya, sungguh tidak pernah terpikir oleh mereka bahwa dengan kerja sama ilmu pedang mereka yang begitu serasi masih belum mampu mencapai sasarannya, cukup dengan langkah tiga kiri dan kanan koq dapat mengobrak abrik barisan kembang ini.   "Hai, berhenti dulu!"   Akhirnya Goan Tiong berteriak.   Sekarang Thian-hi sudah tidak takut dan percaya benar-benar akan kemampuannya, maka segera ia menghentikan langkahnya, dengan tersenyum penuh arti ia pandang kedua orang tua kurus kecil ini.   Dengan mendelik Ni-hay-siang-kiam sama melotot kepada Thian-hi, lalu Goan Tiong berpaling ke arah Ah-lam Cuncia.   dan bertanya.   "Siapakah kau sebenar-benarnya, dari mana kau dapat tahu rahasia dari barisan ini?"   Ah-lam Cuncia tersenyum manis, ujarnya.   "Lo-ceng Ah-lam, tentang barisan ini sejak kecil memang pernah kupelajari!"   Goan Tiong menjengek bibir, ejeknya.   "Kau bergelar Ah-lam Cuncia aku sudah tahu, cuma aku ingin tahu asal usulmu yang sebenar-benarnya. Ketahuilah bahwa barisan ini diciptakan oleh Hui- sim Sin-ni dari Ngo-bi-pay, kalau mau dikata kau sejak kecil sudah kenal akan barisan ini, bukanlah kau sengaja hendak meng-olok2 kami. Mungkin hanya beberapa orang saja yang kenal barisan ini di seluruh kolong langit ini."   Ah-lam tetap tersenyum lebar, ujarnya.   "Sebagai orang beribadat aku tidak suka membual, adalah benar-benar sejak kecil aku sudah pernah mempelajari barisan ini, karena aku kenal dan bersahabat kental dengan penciptanya, apakah hal ini perlu dibuat heran?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kau kenal dengan pencipta barisan ini sejak kecil?"   Jengek Goan Tiong tidak percaya, jelas ia sudah mulai marah dan dongkol.   "Bila sedikit kujelaskan mungkin kau mau percaya,"   Demikian tutur Ah-lam Cuncia.   "Sebetulnya kamu berdua pun sejak kecil sudah kukenal."   Sampai disini ia tertawa lebar penuh arti.   Adalah Thian-hi menjadi semakin keheranan.   Benar-benarkah Ah-lam Cuncia punya hubungan yang begitu kental pula dengan Ni-hay-siang-kiam? Kalau hal ini benar-benar, buat apa lagi ia susah2 bertempur menghabiskan tenaga dan waktu? Goan Tiong melenggong, bahwasanya ia tidak percaya akan ucapan Ah-lam Cuncia.   Namun jelas bahwa Ah-lam Cuncia memang merupakan seorang beribadat yang agung dan mencapai tingkat yang tinggi, semua nasehat dan petuahnya terhadap Hun Thian-hi tadi seakan-akan masih terkiang juga dipinggir telinganya, sungguh ia merasa tunduk dan patuh benar-benar akan petunjuknya itu, apalagi sikap Ah-lam sekarang adalah begitu serius begitu sungguh-sungguh, sedikit pun tiada kelihatan berpura-pura atau bermuka2, hati kecilnya menjadi goyah dan terketuk, mau tak mau ia harus percaya pada ucapan Ah-lam Cuncia.   Setelah merenung, akhirnya Goan Tiong berkata.   "Siapakan kau sebenar-benarnya, coba kau jelaskan mungkin aku memang tahu siapakah kau adanya!"   "Waktu mudaku pernah aku bersikap teramat baik terhadap seorang teman perempuan, demikian juga dia sangat baik terhadapku, sampai kami pernah bersumpah sehidup semati. Tapi suatu ketika aku harus keluar pintu masuk perguruan, sekali pergi sampai dua puluh tahun lamanya baru aku bisa kembali, tapi perempuan itu ternyata sudah meninggal sekian lamanya."   Goan Tiong mendengarkan dengan cermat, ucapan Ah-lam Cuncia ini kedengarannya memang sangat sepele, secara cekak aos saja mengisahkan pengalamannya dulu, namun hal ini sudah cukup melimpahkan perasaan hatinya.   Sekarang Goan Tiong sudah dapat mereka siapakah orang dihadapannya ini.   Goan Tiong masih termangu-mangu, baru saja ia hendak membuka mulut, Goan Liong sudah keburu berseru lantang.   "Jadi kaulah Ing Su-hing dari keluarga Ing itu!"   "Benar-benar,"   Ah-lam Cuncia manggut-manggut.   "Akulah Ing Su-hing adanya!"   Goan Liong tertawa ejek, katanya.   "Kukira siapa yang begitu apal dan dapat memecahkan barisan ini, ternyata kaulah orangnya!"   Nadanya kedengarannya mengundang rasa penasaran dan amarah yang berlimpah2.   Jantung Hun Thian-hi berdebar semakin keras mengikuti perkembangan yang semakin gawat ini, semula ia mengira bahwa Ah-lam Cuncia bakal berbesanan dengan Goan Tiong berdua, tak nyana ternyata adalah dua keluarga yang saling bermusuhan.   "Urusan sudah berlalu sekian lamanya, meski kesalahanku itu tidak disengaja, tapi kenyataan sudah terjadi, aku yakin diapun tidak akan menyalahkan aku."   Muka Goan Liong merah padam.   "Apa?"   Teriaknya gusar.   "Kau bicara seenak udelmu sendiri, kalau toh kau sudah punya janji sepuluh tahun kenapa harus terlambat sepuluh tahun pula baru kembali, dan yang terang kami tidak pernah melihat kau pula, mana kami tahu apakah benar- benar kau pernah pulang tidak?"   Ah-lam Cuncia tersenyum tanpa bersuara. Bujuk Goan Tiong dengan suara kalem pada Goan Liang.   "Jite jangan begitu kasar, betapa pun dia adalah angkatan tua kita, kenapa kau mengumbar adat saja, apakah kau sudah melupakan pesan bibi yang terakhir sebelum ajal?"   Goan Liong mendengus, sahutnya.   "Justru watakku memang tidak sealim bibi!"   Biji mata Ah-lam Cuncia kelihatan berkilat m-mancarkan sinar terang.   Hun Thian-hi mengawasinya diam-diam, ia tahu dari sorot mata Ah-lam Cuncia dapatlah diketahui bahwa perasaannya sedang bergejolak, kelihatan pula sikapnya yang tenang berusaha menekan dan mengendalikan perasaannya sendiri, dapat pula terasakan dari mimik wajahnya betapa derita sanubarinya, Thian-hi menjadi heran, kenapa sinar pancaran biji mata Ah-lam Cuncia menyorotkan cahaya gelap dan kabur, hal ini terlalu janggal bagi seorang tokoh silat macam Ah-lam Cuncia yang sudah punya dasar Lwekang yang kokoh dan dalam, sungguh ia tidak mengerti.   Goan Tiong tidak hiraukan Goan Liang lagi, katanya pada Ah-lam Cuncia.   "Semua itu adalah kejadian yang sudah lampau, tidak perlu kami singgung dan ungkap2 lagi, yang terang diantara kita tiada sesuatu hubungan yang mengikat, cuma ingin aku tanya pada kau, untuk apa pula kau sekarang datang kemari? Apakah mau memusuhi kami berdua?"   "Ah-lam Cuncia tertawa, ujarnya.   "Sebenar-benarnyalah aku tiada maksud demikian."   "Kalau tidak bermaksud demikian boleh silahkan kau pergi secepatnya,"   Demikian tukas Goan Liong yang aseran.   "kalau tidak kami tidak akan bersikap sungkan-sungkan lagi terhadap kau, kami sama ratakan kau terhadap orang-orang lain yang menjadi musuh kami!"   "Goan Tiong,"   Ujar Ah-lam Cuncia.   "tidak patut kau bersikap begitu kasar, bila bibimu masih hidup beliau tidak akan membiarkan kau begini pongah. Ma Gwat-sian dan gurunya adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-lou, mana boleh kau menyekap mereka? Untuk urusan inilah aku meluruk kemari!"   Goan Liong tetap bandel, dengan ejek dingin ia bertanya.   "Konon kabarnya kau terkena bisa Ban-lian-ceng (muda abadi), kau berusaha mendapatkan kuda hijau untuk menemui Jeng-san- khek mohon petunjuk dan pengobatannya untuk menyambung jiwamu?"   "Kenapa begitu dipastikan?"   Sahut Ah-lam Cuncia tertawa getir.   "Apakah Jing-san-khek benar- benar mampu memunahkan bisa Ban-lian-ceng itu? Kau harus tahu bahwa racun itu sudah enam puluh tahun mengeram dalam tubuhku!"   Goan Liong mengejek pula.   "Aku tidak percaya, siapa tahu apa yang terpikir dalam benakmu!"   "Apa?"   Goan Tiong berteriak kejut.   "sudah enam puluh tahun lamanya kau terkena bisa Ban- lian-ceng itu?"   Segera Goan Liangpun merasakan sesuatu yang tidak beres, tanpa merasa ia bergidik dan merinding sendiri, sudah enam puluh tahun lamanya, jadi hal ini terjadi sepuluh tahun sebelum bibinya wafat, jadi jelaslah bukan Ah-lam Cuncia yang tidak menepati janji soalnya karena dia sudah keracunan Ban-lian-ceng itulah.   "Ya. sudah enam puluh tahun,"   Ah-lam Cuncia menjelaskan lebih lanjut.   "Kalian tahu sejak dilahirkan aku sudah diambil murid oleh perguruan Thay-i-sin-ceng, tapi sampai dua puluh tahun kemudian baru aku diangkat sebagai murid secara resmi, maka meskipun Ka-yap terhitung lebih lama masuk perguruan, tapi dia terhitung menjadi suteku. Enam puluh tahun yang lalu karena persoalan dengan Sin-chiu-mo-kay itu, sehingga Suhu mangkat dan saat itu pula aku terkena bisa Ban-lian-ceng itu!" ia coba tersenyum lagi, tapi mimik wajahnya kelihatan masam dan gelap. Agaknya Goan Liang menjadi haru dan terketuk hatinya, sikapnya tidak sekasar tadi, katanya.   "Paling tidak seharusnya kau kembali atau memberi kabar!"   Ah-lam Cun-cia memejamkan mata, ujarnya.   "Sebelumnya aku tidak menduga urusan bakal berlarut sampai sedemikian jauh, sebelum Suhu mangkat beliau mencukur gundul kepalaku dan minta aku berpikir masak2, tapi aku sudah berkeputusan dan aku berpendapat cuma jalan inilah yang harus kutempuh demi bibi kalian berdua, bahwasanya racun Ban-lian-ceng dalam tubuhku sudah mulai bekerja, jangan kata berjalan, bergerak saja aku tidak mampu, mana aku bisa kembali kesini."   Goan Tiong dan Goan Liang tertunduk, akhirnya Goan Tiong menutur.   "Setiap saat bibi selalu menanti dan meng-harap2 kedatanganmu, tapi para kerabat dalam keluarganya dan guru bibi yaitu Hui-sim Sinni dari Ngo-bi mendesaknya untuk menikah dengan Jing-san-khek!"   Ah-lam memejamkan mata, ia bungkam saja! Goan Tiong tahu bahwa Ah-lam Cuncia tentu ingin tahu pula keadaan bibinya Ceng-i Siancu waktu itu, tuturnya lebih lanjut.   "Tapi bibi menolak mentah-mentah, entah berapa lama berselang desakan dan ancaman datang berulang-ulang, hampir saja beliau mau bunuh diri karena putus asa!" sampai disini Goan-liong tertawa getir, lalu sambungnya.   "Kau juga tahu, Jing-san-khek merupakan tokoh yang kenamaan dan disegani dalam Bulim pada masa itu, sedang kabar beritamu tiada seolah-olah tenggelam dalam lautan, meski kau sebagai murid Thay-i-sin-ceng, tapi kabar yang tersiar diluar mengatakan bahwa kalian guru dan murid sudah gugur bersama. Dan bila kau benar-benar sudah mati maka calon satu-satunya tinggal Jing-san-khek seorang!"   Ah-lam menengadah, terlongong memandang angkasa tanpa bersuara.   "Akhirnya,"   Goan Tiong meneruskan.   "Orang tuanya berkeputusan menjodohkan bibi dengan Jeng-san-khek, akibatnya."   Sampai disini Goan Tiong tertawa menyengir, suaranya sedih dan pilu.   "Bibi meninggal dengan merana!"   Mata Ah-lam Cuncia berkedip2 mengembeng air mata, Hun Thian-hi juga ikut bersedih. Setelah batuk2 Goan Tiong melanjutkan.   "Sejak kecil bibi paling sayang pada kami berdua, kami benci kepada kau, bila kami tahu kaulah Ah-lam adanya, sejak lama dulu tentu kami sudah mencarimu. Masih ada seorang lagi yaitu Jing-san-khek, dia mendesak begitu keterlaluan, bila dia seorang Kuncu seorang sastrawan, punya sikap dan pambek sebagai seorang yang terpelajar, bibi tidak akan meninggal begitu menyedihkan!"    Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini