Badik Buntung 32
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 32
Badik Buntung Karya dari Gkh Ah-lam berdiri diam dan mendengarkan cerita Goan Tiong, orang menyangka dirinya tidak tahu kejadian itu, sebetulnyalah apa yang dia ketahui jauh lebih banyak lebih jelas dari apa yang diketahui oleh Goan Tiong berdua. Dia tahu kenapa Jing-san-khek begitu kukuh, dan iapun tahu cara kematian Ceng-i Siancu serta sebab musababnya, dan semua kejadian ini pernah membuat hatinya haru, gegetun dan pilu. "Sekarang baru aku tahu bahwa kau tidak salah," Demikian Goan Tiong menyambung. "tapi kuda hijau adalah satu-satunya benda peninggalan bibi, malah kau pula yang memberikan kepadanya, betapapun kami tidak rela memberikan kepada Jeng-san-khek, kecuali kau sendiri yang punya maksud demikian!" Ah-lam Cuncia menghela napas panjang, katanya sambil menunduk. "Apa kalian tahu kenapa hari ini aku kemari?" ia menghela napas pula lalu sambungnya. "Jeng-san-khek diapun akan kemari!" Goan Tiong dan Goan Liang menggeram bersama, serunya. "Dia juga datang kemari!" Kata Ah-lam pelan-pelan. "Walaupun dia pernah berbuat salah, bagaimana juga dia termasuk tokoh dari kalangan lurus, aku ada omongan yang hendak kusampaikan padanya, aku harap kalian suka memberi hak kuasa kepadaku untuk kali ini." Goan Tiong bungkam saja pikirannya bekerja. Hun Thian-hi menyangka kali ini pasti Goan Tiong suka memberi muka dan melulusi, tak nyana dengan tegas ia menggeleng dan sahutnya. "Uhtuk urusan lain boleh saja, untuk urusan ini aku tidak setuju!" Thian-hi melengak, tak diketahui olehnya alasan apa Goan Tiong tidak setuju, tapi kenyataan memang begitu. "Bagaimana juga beliau adalah bibi kami berdua," Demikian Goan Tiong menjelaskan. "Sebagian tanggung jawab urusan ini perlu pertimbangan kami pula, maka keputusannya kami juga perlu tahu, mana boleh kau sendiri yang pegang kuasa." "Segala urusan yang kalian tahu, akupun tahu semua," Demikian ujar Ah-lam Cuncia. "Memang Jing-san-khek salah, tapi urusan sudah lampau sedemikian lamanya, sang waktu sudah cukup berkelebihan memberi hukuman padanya, apalagi dia pun sudah sangat menyesal!" "Sekarang tak perlu kami persoalkan hal ini, nanti kita bicarakan lagi bila dia sudah tiba. Bila kau dapat menyelesaikan dengan sempurna, sudah semestinya aku memberikan persetujuan kami!" Ah-lam tidak banyak kata lagi, pelan-pelan ia menghela napas. Pada saat itulah tampak sesosok bayangan hijau muncul di kejauhan sana, meluncur berlompatan dengan enteng bagaikan burung bangau, sekejap saja tahu-tahu sudah mendekat. Tampak oleh Thian-hi pendatang ini mengenakan jubah hijau, tahu ia bahwa orang ini pasti Jing-san-khek adanya, usia Jeng-san-khek agaknya sudah lanjut, rambut dikepalanya serta alis dan jenggotnya sudah ubanan, sorot matanya juga guram, orang yang tidak mengenalnya tidak akan mau percaya bahwa orang tua yang kelihatan lemah ini ternyata adalah Jing-san-khek, tokoh aneh nomor satu dari Bulim di daerah selatan. Begitu Jeng-san-khek hinggap di atas tembok ganti berganti ia pandang para hadirin lalu berhenti pada muka Ah-lam Cuncia. Ah-lam Cuncia juga tidak bersuara. sesaat kemudian mereka berdua sama-sama lompat turun terus langsung menuju ke dalam gedung besar itu. Hun Thian-hi bersama Goan Tiong dan Goan Liang sama mengintil di belakang mereka. Seolah-olah tidak menemui rintangan apapun Ah-lam Cuncia dan Jeng-san,khek beranjak ke depan dengan lenggang kangkung dengan mudah dalam waktu singkat mereka sudah tiba di dalam gedung dan terus masuk ke dalam. Dengan cara tiga kiri dua kanan menurut petunjuk itu Hun Thian-hi pun berhasil sampai masuk ke dalam gedung besar itu. Ah-lam Cuncia berdua langsung memasuki sebuah pendopo yang amat luas. kira-kira empat lima puluh meter persegi luasnya, mereka duduk berhadapan ditengah-tengah pendopo, sama memejamkan mata tanpa bergerak dan membuka suara. Dalam kejap lain Goan Tiong dan Goan Liang juga sudah tiba di dalam pendopo itu. mereka mencari duduk disebelah kiri dan kanan- Jang paling dikuatirkan Hun Thian-hi cuma keselamatan Ma Gwat-sian dan gurunya, tengah ia celinguk, kebeulan Ma Gwat-sian bersama gurunya sedang melongok ke dalam pendopo ini dari sebuah pintu disebelah pojokan sana. Sudah tentu girang Thian-hi bukan main, bergegas ia bangkit terus menghampiri ke arah sana, begitu melihat Hun Thian-hi kelihatannya Ma Gwat-sian sangat kaget, sesaat ia melenggong lalu menyurut mundur dengan tersipu-sipu. Poci menyingkir kesamping mengawasi Ma Gwat-sian tanpa bersuara. Sambil tunduk Ma Gwat-sian mundur pelan-pelan. Cepat Hun Thian-hi menjura hormat kepada Poci, tanpa menanti balasan hormat orang lekas-lekas ia memburu ke arah Ma Gwat-sian, panggilnya lirih tertahan. "Gwat-sian!" "Ada urusan apa kau mencari aku?" Akhirnya Ma Gwat-sian berhenti dan bertanya. Sekejap itu Thian-hi tak kuasa bicara, terpaksa meng-ada2. "Jeng-san-khek dan Ah-lam Cuncia sama-sama berada di dalam sana, marilah kita masuk kesana dulu?" Ma Gwat-sian kelihatannya rada bimbang, namun akhirnya manggut-manggut, beriring mereka lantas masuk kependopo dan duduk mengelilingi mereka berempat, selama ini Ma Gwat-sian selalu menundukkan kepala. Dalam waktu dekat ini Thian-hi harus menyampingkan urusannya ingin ia tahu bagaimana perkembangan urusan Jeng-san-khek dengan Ah-lam serta Goan Tiong dan Goan Liang. Kira-kira seperminum teh kemudian baru Jeng-san-khek membuka mata dan berkata kepada Ah-lam Cuncia. "Sudah lama sekali aku mencari kau sampai yang terakhir ini baru kudengar tentang kabar beritamu." Pelan-pelan Ah-lam juga membuka mata, sahutnya. "Aku tahu kau sedang mencari aku, kalau tidak masa aku bisa mengundang kau, untuk berkumpul disini!" "Kalau begitu berarti hubungan persahabatan kami sudah sejak lama berselang." Ah-lam tersenyium manis, tidak berkata-kata lagi. Kata Jeng-san-khek lagi. "Urusan tempo duiu sungguh aku merasa bersalah kepada kau!" Ah-lam Cuncia tertawa wajar, ujarnya. "Itu urusan yang sudah lampau, kenapa disinggung lagi sekarang? Urusan yang sudah lampau. tak perlu diungkat2 lagi." "Itu hanya pendapatmu sendiri," Tiba-tiba Goan Tiong menyela. "Adalah kami bersaudara justru akan memperpanjang persoalan itu, betapa pun kami tidak rela peristiwa itu menjadi silam ditelan sang waktu." Jeng-san-khek tertawa getir, katanya. "Sekarang akupun tidak mampu memutar balik kenyataan, jika kalian merasa tidak senang terhadapku! boleh aku pasrah diri pada kalian terserah bagaimana kalian hendak bertindak atas diriku!" "Marilah kita berdua coba membicarakan urusan kita dulu"" Demikian, ajak Ah-lam. Goan Tiong berjingkrak bangun sambil mengebut lengan bajunya, serunya gusar. "Kalau urusan dulu kalian anggap himpas dan selesai sampai disini saja, aku tidak mau terima, bagaimana juga pembicaraan kalian nanti jangan sekali2 menyinggung tentang permohonan sesuatu kepada kami!" Ah-lam Cuncia dan Jeng-san-khek sama-sama pejamkan mata tak bersuara lagi. Sebetulnya Goan Tiong dan Goan Liang sudah sama berdiri dan berniat tinggal pergi, tapi entah teringat sesuatu atua akhirnya mereka batal dan duduk kembali. Jeng-san-khek angkat kepala memandang Ah-lam Cuncia, katanya. "Kabarnya kau terkena racun Ban-lian-ceng, semula aku belum tahu bahwa Ah-lam adalah duplikatmu, seharusnya sejak dulu kau datang mencariku, urusan tentu tidak berlarut sampai sekarang." Ah-lam Cuncia cuma tersenyum saja tak menjawab. Setelah menarik napas Jeng-san-khek berkata pula perlahan-lahan. "Tapi aku sendiri juga ada salah, seharusnya aku tahu kecuali kau seorang di seluruh kolong langit ini tiada setorang pun yang pantas terkena racun Ban-lian-ceng itu!" Ah-lam tertawa-tawa, ujarnya. "Agaknya kau terhanyut oleh perasaanmu sendiri." Jeng-san-khek manggut-manggut, katanya. "Kita sudah sama tua. tulang dan urat2 kita sudah kaku sudah tiba saatnya sinar guram dan minyak habis." Ah-lam Cuncia tidak bicara, ia sudah tahu kemana harus menempatkan diri, namun sedikitpun ia tidak takut atau gentar, ia anggap kematian seperti pulang ke tempat asal, kalau bisa istirahat dengan tentram dan aman itulah memang kehendaknya. Thian-hi semakin bingung dibuatnya, jelas kedua orang ini saling bermusuhan dalam asmara, tapi dalam nada bercakap-cakap kok seperti sahabat lama yang sudah lama tidak jumpa. Waktu ia melirik dilihatnya Ma Gwat-sian sudah angkat kepala, dengan penuh perhatian ia mendengar percakapan orang, tapi begitu Thian-hi melirik ke arahnya seakan-akan ia mempunyai indra keenam lekas-lekas ia pejamkan mata menunduk kepala. Selama itu Poci diam saja mengawasi kedua anak muda ini, akhirnya iapun memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam. Berselang agak lama kemudian terdengar Jeng-san-khek membuka kesunyian, katanya. "Kau masih ada urusan apa yang perlu kubantu kerjakan?" Pelan-pelan Ah-lam Cuncia berpaling kepada Hun Thian-hi, katanya kepada Jeng-san-khek. "Bocah ini adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, bagaimana menurut penilaianmu?" Dengan seksama Jeng-san-khek mengamati Thian-hi, katanya kalem. "Cukup bagus, tulang muda berbakat baik merupakan tunas harapan masa mendatang, tapi Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang paling tinggi dan dalam, entahlah apakah dia mampu menyelami intisari dari kemujijatan ilmu itu? Kalau tidak tak berguna ia pelajari ilmu pedang yang tiada taranya itu!" Kata Ah-lam Cuncia kepada Hun Thian-hi. "Hun-sicu sudikah kiranya kau tunjukan ilmu pedang Wi-thian-cit-ciat-sek itu, supaya Jeng-san-khek Cianpwe memberi penilaian dan petunjuk yang berharga!" Thian-hi maklum bahwa Ah-lam memang hendak memupuk dirinya, tanpa diminta lagi segera ia bangkit lalu menjura terus mundur beberapa tindak sambil melolos seruling jadenya. Goan Tiong dan Goab Liang sama mendengus dan menjebir bibir, mereka tidak bicara, tapi dari sikap mereka ini kelihatan bahwa mereka merasa tidak senang akan tingkah laku Hun Thian-hi. Setelah mengkonsentrasikan pikiran dan semangat pelan-pelan tumit kaki Thian-hi terangkat naik lalu turun lagi, sementara serulingnya sudah teracung miring, maka dilain kejap tubuhnya sudah melambung ke tengah udara berbareng seruling ditangannya bergetar dalam pergeseran antara jarak yang cuma beberapa mili itu lantas kekuatan dari jurus Wi thian-clt-ciat-sek ini sudah melandai keluar dengan dahsyatnya, dari batang seruling jade itu memancarkan cahaya gemilang yang berkilauan seperti kabut perak menerpa ke arah depan, hawa dalam pendopo seketika seperti bergolak, terdengarlah suara gemericik dari desiran deru angin yang hebat itu. Wi-thian-cit-ciat-sek ini cukup dilancarkan dalam waktu sekejap, dikala Thian-hi meluncur tiba di tanah iapun sudah merubah gaya dan berdiri pula seperti semula. Goan Tiong berdua diam- diam bercekat dalam hati, Wi-thian-cit-ciat-sek yang dipamerkan Hun Thian-hi ini benar-benar tidak boleh dipandang rendah, dengan daya kekuatannya yang begitu dahsyat jelas satu persatu mereka tidak akan kuasa melawan, meski bergabung pun belum tentu dapat menyambut gelombang tenaga yang begitu dahsyat. Setelah Thian-hi berhenti Jeng-san-khek termenung sebentar, tanya Ah-lam Cuncia. "Bagaimana menurut penilaianmu akan latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya?" Jeng-san-khek menyahut tawar. "Tidak lebih cuma dapat menggertak orang belaka, tiada manfaaatnya yang dapat diketengahkan!" Hun Thian-hi menjadi melongo, pikirnya seumpapama Jeng-san-khek tidak memberi pujian tidak mungkin beliau mencercah dan menilai sedemikian rendah akan latihan Wi-thian-cit-ciat-sek yang dapat ia lakukan dengan sempurna sekali, sedemikian memalukan cuma dikatakan peranti menggertak orang, sudah tentu terketuk perasaannya, dengan terlongong ia pandang Jeng-san- khek, ingin ia mendapat teguran lebih lanjut. Agaknya Goan Tiong dan Goan Liang juga merasa terpukul oleh kritikan Jeng-san-khek, sombong dan takabur benar-benar kau ini, jurus pedang yang begitu dahsyat laksana gugur gunung koq dikatakan permainan untuk menggertak orang belaka, demikian batin mereka. Ma Gwat-sian pun angkat kepala memandang ke arah Jeng-san-khek dengan penuh tanda tanya. Demikian juga Poci punya perasaan yang sama. Pelan-pelan Jeng-san-khek pandang semua hadirin satu persatu lalu berhenti pada muka Ah-lam Cuncia. dilihatnya rona wajah Ah-lam tiada menunjukkan perubahan apa-apa, mimiknya tetap wajar, kelihatannya ia sudah tahu apa yang bakal diucapkan tadi. mau tak mau, ia merasa kagum dan memuji akan ketenangan orang. Dari balik punggungnya ia turunkan sebilah pedang bersama serangkanya, lalu berkata pada Hun Thian-hi. "Mungkin kau tidak percaya, namun boleh dicoba, silahkan kau gunakan serulingmu menyerang sekuatmu kepadaku!" Semula Thian-hi rada bimbang tapi terpikir olehnya, kalau orang berkata demikian tentu punya maksud-maksud tertentu dan hal ini tentu ada manfaatnya yang cukup bernilai, orang tentu punya pegangan sehingga tidak kuatir apa-apa, begitulah pelan-pelan ia angkat pula serulingnya, begitu tenaga disalurkan langsung ia menyerang kepada Jeng-san-khek. Belum lagi getaran serulingnya yang berpindah tempat dalam jarak beberapa mili itu sebanyak tujuh kali, ujung pedang Jeng-san-khek sudah menutul tiba yang diarah adalah ketiak sebelah kanan, mulut Thian-hi bersuit panjang tubuhnya mencelat naik ke tengah udara, berbareng ia kembangkan lebih lanjut jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu menungkrup ke atas batok kepala Jeng-san-khek. Sebelum seruling Hun Thian-hi sempurna melancarkan serangannya, tiba-tiba Jeng-san-khek menarik balik pedangnya, keruan Hun Thian-hi melengak, tak duga olehnya bahwa tusukan pedang lawan cuma gertakan sambel belaka. Tapi serulingnya sudah kebacut melancarkan Wi- thian-cit-ciat-sek, tenaga sudah dikerahkan sampai puncaknya, maka terlihat Jing-san-khek lagi- lagi menggerakkan pedangnya, beruntun tiga macam gerakan ia melancarkan tiga ilmu pedang yang sangat dahsyat mengancing dan menutup jalan luncuran seruling lawan, seketika Hun Thian- hi mati kutu dan tidak mampu menyelesaikan permainan Wi-thian-ciat-seknya karena tenaga dalamnya seolah-olah membentur jalan buntu tak mampu dikerahkan pula. Setelah berdiri tegak sekian lamanya ia menjublek di tempatnya, sebaliknya Jing-san-khek duduk tenang seperti tak terjadi apa-apa, pedang panjangnya melintang di atas pangkuannya, tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan tanpa menggerakkan tubuhnya dengan cara yang sederhana dan mudah sekali ia sudah memecahkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang ampuh, sirnalah perbawa kekuatannya yang teramat dahsyat itu. Hun Thian-hi sendiri baru sekarang menyadari bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek yang dilancarkan tadi masih terdapat lobang kelemahannya, cuma ia sendiri tidak tahu dimana letak kelemahannya sendiri, adalah sebaliknya Jing-san-khek dapat sekali serang mengarah titik kelemahannya sendiri untuk mematikan ilmu yang tiada taranya ini. Goan Tiong dan Goan Liang juga terlongong, mereka sudah saksikan sendiri betapa dahsyat permainan Hun Thian-hi yang hebat tadi, namun akhirnya toh gagal juga ditengah jalan karena tidak mampu lagi melansir tenaga dalamnya untuk menyambung kekuatan pondasi yang diperlukan dalam melancarkan ilmu pedang yang tiada taranya ini. Terdengar Jing-san-khek membuka suara, katanya kepada Hun Thian-hi. "Tahukah kau dimana letak kelemahan sendiri?" Hun Thian-hi tenggelam dalam pikirannya, tiba ia berlutut dan menyembah, serunya. "Harap Cianpwe suka memberi petunjuk!" Sekilas Jing-san-khek melirik ke arah Ah-lam Cuncia lalu berkata pula kepada Hun Thian-hi. "Coba kutanya dulu, jurus apakah yang kau lancarkan tadi?" Hun Thian-hi jadi bingung, entah apa maksud Jing-san-khek menanyakan hal ini, tapi ia menyahut. "Wanpwe menggunakan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek bukan?" "Masa benar-benar?" Balas tanya Jing-san-khek. "Benar-benarkah kau tadi melancarkan Wi- thian-cit-ciat-sek?" Thian-hi tertegun, ia tidak tahu kemana juntrungan kata-kata Jing-san-khek. Kata Jing-san-khek. "Dikala kau melancarkan permainanmu itu apakah tidak pernah terpikir olehmu jurus permainan apakah Wi-thian-cit-ciat-sek itu? Itulah jurus ilmu pedang, mana boleh kau gunakan dalam permainan serulingmu, maka daya kekuatannya paling sedikit menjadi berkurang lima puluh persen!" Hun Thian-hi mendengarkan dengan cermat, akhirnya ia jadi sadar bahwa pedang dan seruling merupakan dua macam senjata yang berlainan bentuk dan berlainan pula guna dan manfaatnya, apalagi dalam penggunaan pada ilmu tingkat tinggi dari aliran Lwekeh yang teramat dalam, betapapun kurang mencocoki selera, terutama Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang yang tiada taranya, memang Wi-thian-cit-ciat-sek diciptakan khusus dalam permainan dengan senjata pedang. Berkatalah Jing-san-khek lebih lanjut. "Bukan itu saja inti-sarinya, kaupun harus tahu, setiap kau melancarkan seranganmu tujuannya adalah menyerang musuh. Kalau kau lancarkan permainanmu secara serampangan dan tanpa dilandasi keyakinan yang besar lebih baik kau berpeluk tangan saja jangan bergerak mandah digorok lehermu. Bagi tokoh silat tingkat tinggi setiap melancarkan permainan tipu-tipu silatnya sekali tidak mengenai sasarannya, pasti harus pula memikirkan akibat dari kegagalan serangan itu, resikonya teramat besar sekali, ini merupakan pantangan paling besar dan lagi dikala kau lancarkan tipu-tipu silatmu kau harus dapat membuat suatu tekanan paling besar bagi musuhmu untuk merasakan bahwa seranganmu itu merupakan maut bagi jiwa musuhmu baru kau dihitung berhasil." Hun Thian-hi insaf bahwa segala kegagalannya selama ini karena permainan ilmu pedangnya tidak sempurna sesuai dengan dua persoalan yang jang ditunjuk tadi, sekarang baru ia sadari bahwa ia terlalu gegabah dalam melancarkan tipu silatnya, demikian juga latihannya memang belum cukup matang benar-benar. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba-tiba Jing-san-khek angsurkan pedangnya panjang kepada Hun Thian-hi serta berkata. "Kulihat kau belum punya pedang, pedang ini sudah lama s-kali menyertai aku, sekarang kuberikan kepada kau, kuharap kau menyimpannya baik-baik!" Dengan hidmat Thian-hi maju menerima serta menyatakan terima kasih pada Jing-san-khek. Kata Jing-san-khek. "Sebetulnya pengetahuanku dalam ilmu silat juga sangat cetek, sebaliknya ilmu silatmu memang sudah mencapai titik kesempurnaannya, sudah tiba saatnya kau dapat mencapai puncak tertinggi yang cukup gemilang, tapi jurus permainanmu harus dapat kau mainkan dalam sekali gebrak permainan jangan dipetel2 dan jangan diberikan terlalu banyak variasi!" Maka terbayanglah oleh Thian-hi akan jurus-jurus permainan Wi-thian-cit-ciat-sek itu, jurus demi jurus Wi-thian-cit-ciat-sek ia renungkan secermat-cermatnya, akhirnya parasnya menjadi terang dan berseri kegirangan. Setelah bicara sedemikian panjang lebar kelihatannya Jing-san-khek menjadi kelelahan, pelan- pelan ia pejamkan mata dan duduk diam pula. Demikian juga sejak tadi Ah-lan Cuncia sudah pejamkan matanya, mereka duduk berhadapan pula, sambil menenteng pedangnya Thian-hi kembali ke tempat duduknya semula. "Adakah urusan lain yang perlu kubantu?" Agak lama kemudian Jeng-san-khek membuka kesunyian pula. Ah-lam Cuncia tersenyum, katanya. "Apakah kau tahu tentang Tay-seng-ci-lou?" Jing-san-khek berpaling ke arah Ma Gwat-sian dan gurunya, katanya. "Apakah kedua orang ini ahli waris dari Tay-seng-ci-lou?" sejenak ia menggeleng kepala lalu sambungnya. "Sekali ini aku tidak mampu membantu, psnyaMt Liok-im-ciat-tin itu sudah tidak mungkin dapat diobati lagi!" Tergetar badan Thian-hi. waktu Ah-lam menunjuk Ma Gwat-sian ia sudah tahu kemana maksud pembicaraan ini, ternyata Jing-san-khek sendiri juga tidak mampu menolong seketika ia menjadi terlongong hampa. Dengan sorot mata yang penuh kejut dan ngeri Ma Gwat-sian angkat kepala, ia sendiri tahu bahwa badannya dihinggapi suatu penyakit, cuma tidak terpikir olehnya bahwa Liok-im-ciat-tin kalau itu benar-benar berarti jiwanija tinggal hidup ratusan hari lagi. Sungguh ia tidak pernah membayangkan bahwa kenyataan ternyata lebih kejam dan lebih mengerikan dari apa yang pernah dibayangkan. Poci Berdiri juga hampir berjingkrak bangun saking kaget waktu mendengar Jing-san-khek membeber rahasia ini, soal penyakit itu Ma Gwat-sian sendiri tidak tahu mana boleh rahasia ini dibeber secara terus terang? Sekejap itu Jing-san-khek juga merasakan akan keganjilan ini, ia menjadi menyesal dan haru. tapi ia sudah kebacut buka mulut betapapun tak mungkin ditarik kembali. Ma Gwat-sian merasa sorot mata semua orang sedang tertuju kepada dirinya. sekonyong- konyong benaknya merasa kepedihan yang tak terbendung lagi, timbullah kekerasan jiwanya dalam menghadapi pukulan batin yang amat berat ini, pelan-pelan ia bangkit berdiri lalu keluar pintu. Bercekat hati Hun Thian-hi, ia berpaling ke arah Poci lalu bergegas bangkit mengejar ke arah Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian tahu bahwa Hun Thian-hi telah mengejar tiba. tapi ia tidak berpaling, kakinya melangkah terus dengan langkah halus dan cepat. Ah-lam Cuncia pandang Jing-san-khek sambil menghela napas panjang, ia menunduk lalu geleng-geleng kepala lagi, sekecap pun ia tidak bersuara lagi. Gwat-sian!" Sepu Thian-hi lirih diibelakangnya. "Ada apa kau kemari?" Tanya Ma Gwat-sian. Dalam lubuk hatinya yang dalam ia merasa bahwa pandangan semua orang memancarkan rasa iba dan kasihan terhadap nasibnya. tapi ia tidak mau menerima segala rasa kasihan atau sayang, termasuk pula Hun Thian-hi. "Gwat-sian, jangan kau bersikap begitu terhadapku, bukankah hubungan kami baik-baik saja? Kenapa, kau berubah sedemikian cepat?" Badan Ma Gwat-sian gemetar, agaknya ia menahan perasaan hatinya, namun air mata tak tertahan lagi meleleh keluar, katanya, sesenggukan. "Kalau tidak ada urusan jangan kau ganggu, aku tidak suka ada orang mengganggu usikku sekarang!" "Sudah sering dan banyak kali kau pernah bantu aku, sungguh aku sangat terima kasih dan sayang pada kau, apalagi dengan engkohmu akupun bersahabat baik, aku tahu kau akan paham akan diriku!" Ma Gwat-sian tahu ucapan Thian-hi menyinggung tentang hubungannya dengan Ham Gwat, setelah diam sebentar ia berkata dingin. "Aku tidak perlu rasa ibamu, soal engkohku itu urusan kalian berdua tiada sangkut paut dengan aku. Kalau kau suka menuruti permintaanku, harap cepat kau tinggalkan aku seorang diri, aku hendak mencari tempat yang sunyi dan tenang untuk menenteramkan hatiku!" Ma Gwat-sian sendiri tidak tahu kenapa ia bisa punya keyakinan untuk melawan segala kehendak orang lain, dalam kesimpulannya, betapapun baik dan besar cinta Hun Thian-hi terhadapnya, semua itu tidak lebih karena dilandasi rasa kasihan belaka, sebaliknya ia sendiri menyadari bahwa ia tidak perlu akan segala2nya itu. "Gwat-sian!" Berselang agak lama baru Hun Thian-hi berkata pula setelah berpikir secara masak. "Aku dapat memaklumi perasaammu sekarang, tapi tahukah kau betapa perasaanku pula? Bagaimana jalan pikiranku mengenai dirimu? Banyak sekali isi hatiku yang perlu kulimpahkan kepada kau!" Ma Gwat-sian menunduk diam, hati kecilnya memang mengharap apa yang hendak dikatakan Hun Thiani-hi, apakah sebenar-benarnya isi hatinya! "Marilah bicara diisebelah sana saja!" Demikian ajak Hun Thian-hi, lalu mereka duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Sekian lama mereka membungkam diri, agaknya Hun Thian-hi sedang memusatkan pikiran, akhirnya ia tertawa-tawa katanya. "Menurut hemadku bila seseorang ingin mengerjakan pekerjaan yang dia cita-citakan, mengucapkan kata-kata yang ingin dia limpahkan, meski apapun akibatnya sanubarinya pasti bakal menjadi terang dan tentram." Ma Gwat-sian menunduk diam, tangannya mempermainkan ujung bajunya. Berhenti sebentar Thian-hi melanjutkan pula. "Kedatanganku di Thian-bi-kok adalah atas perintah Ka-yap Cuncia, semula aku diharuskan menyembunyikan diri, apalagi mengenai kepandaian ilmu silat harus dirahasiakan." Sampai disini ia tertawa lalu sambungnya. "Hal ini kau sendiri juga sudah tahu! Sampai terakhir baru aku sadar kenapa Ka-yap Cuncia menyuruh aku sembunyi di Thian-bi-kok, kenapa pula melarang aku menggunakan ilmu silat! Tujuannya adalah supaya aku bisa melatih kesabaran dan tahan uji! Disana. waktu pertama kali aku melihat kau, seolah-olah seperti melihat bidadari dalam sekelebatan saja, namun cukup sekilas melihat bentuk tubuhmu saja kesannya teramat mendalam dilubuk hatiku. sampai sekarang masih segar dalam ingatanku betapa perasaan hatiku tatkala itu kau muncul secara tidak terduga?. memhuat aku rada takut dan was-was, sebab kukenal kau sebagai ahli waris dari Tay-seng-ci-lou, sehingga seolah-olah aku merasa berdosa besar, disamping ada pula perasaan aneh yang menyekam dalam sanubariKU, besar hasratku melihat paras wajahmu yang asli, sebetulnya siapakah kau adanya yang menjaj ahliwaris Tay-seng-ci-lou ini! Sebagai murid Lam-siau betapa besar hasratku untuk mengetahui rahasia ini." Alam pikiran Ma Gwat-sian terbawa kembali oleh uraian Hun Thian-hi pada masa pertemuan mereka pertama kali dulu, waktu itu. Ia-pun rada gelisah dan Kaget bahwa seseorang telah mengenal akan Tay-seng-ci-lou. Terasakan oleh Ma Gwat-sian perasaan apa yang terkandung dari ucapan Thian-hi dari nada kata-katanya ini, sejak mula memang Hun Thian-hi sudah sangat mengharap berkenalan dengan dirinya, dan ini adalah jamak. "Akhirnya? aku bisa berhadapan muka dengan kau!" Demikian sambung Hun Thian-hi. "Biasanya aku tidak pernah berbohong, sebenar-benarnyalah sekali pandang lantas hati kecilku tertarik amat kepadamu, tapi kau pun tahu bahwa lama sebelum pertemuan kita aku sudah bersua dengan Ham Gwat, aku tidak suka perasaan hatiku tercerai berai, besar harapanku supaya dia mempunyai masa depan yang cukup gemilang! Tatkala itu sungguh aku merasa hampa dan terombang ambing oleh keadaan. Ham Gwat adalah murid Bu-bing Loni, apalagi dia menyangka akulah musuh besar pembunuh ayahnya, kalau aku ingin mengikat persshabatan dengan dia adalah mustahil. Tahukah kau pernah aku ingin melimpahkan perasaan macam itu kepada kau. cuma soalnya kau sendiri tidak menghendaki hal ini!" Ma Gwat-sian yang berdiam sejak tadi kelihatannya seperti terkejut. memang jatungnya berdebar-debar, ia tahu dan maklum akan perasaan Thian-hi pada waktu dulu, cuma ia tidak pernah menyangka bila seseorang terlebih dulu sudah mengetuk kalbunya. Dulu ia sangat bangga, pada pribadinya sendiri, anggapannya Thian-hi tidak akan mungkin bisa punya teman yang setaraf lebih unggul dari segala kepintaran dan kecerdikan otaknya, maka sikapnya waktu itu cuma acuh tak acuh tanpa ambil sedikitpun perhatian khusus dalam persoalan ini, tidak pernah ia memperhatikan atau melimpahkan pikirannya pada perasaan Hun Thian-hi ini. Masa2 itu ia sangat bangga dan terlalu jumawa menghadapi Hun Thian-hi, karena ia menganggap bahwa Hun Thian-hi akan menetap selama hidupnya di Thian-bi-kok, tapi setelah ia sadar bahwa kenyataan tidak seperti apa yang pernah ia bayangkan semula, segalanya sudah kebacut dan terlambat, tak mungkin dirubah pula. Uraian Hun Thian-hi pelan-pelan dan cukup terang, perasaan Ma Gwat-sian semakin tertekan dan menyesal sekali, bilamana waktu itu ia tidak bersikap tahan harga, akan menghadapinya dengan sikap yang simpatik, sejak lama ia sudah menang dalam kompetisi yang jujur ini. Tapi sekarang hidup jiwanya cuma tinggal ratusan hari lagi, kenapa aku berpikir muluk2 ataukah memang jalan yang kutempuh ini sebenar-benarnya tidak salah. pikir punya pikir ia jadi tertawa ewa, katanya. "Tiada, sesuatu yang perlu diperbincangkan pula, kejadian selanjutnya aku jelas mengetahui. demikian juga persoalanmu aku tahu juga, dalam berbagai bidang memang Ham Gwat tiici mempunyai ciri2 yang jauh lebih kuat dan menang dari aku, kau harus mencari dia!" Thian-hi tidak menanggapi langsung ucapan Ma Gwat-sian ini, cuma ia menambahkan. "Apa yang kukatakan adalah limpahan dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak perlu main sembunyi dan menutup-nutupii hal ini, aku harap kau bisa memahami diriku!" "Apakah Ham Gwat Cici yang menyuruhmu mengajak aku kembali?" Tanya Ma Gwat-sian. Hun Thian-hi manggut-manggut sambil mengiakan. "Kalau begitu baiklah aku ikut kau pulang!" sekarang hatinya sudah longgar rada terhibur dan cukup puas. Betapapun Hun Thian-hi pernah mencurahkan perhatiannya terhadap diriku, sebelum ajal aku harus melaksanakan sesuatu demi kepentingan Hun Thian-hi dan ia pasti suka dan rela menerima uluran bantuan ini. Kejut2 girang pula hati Hun Thian-hi, sungguh diluar dugaan bahwa Ma Gwat-sian suka kembali ikut dirinya, sesaat ia terlongong mengawasi paras Ma Gwat-sian nan elok rupawan, tak tahu apa pula yang harus dia ucapkan. Dalam kejap lain mereka sudah masuk kembali ke dalam pendopo, tampak Jing-san-khek dan Ah-lam Cuncia. masih bersimpuh berhadapan. Setelah mereka duduk kembali, Jing-san-khek membuka mata serta berkata kepada Ah-lam Cuncia. "Kau tidak punya urusan lain, kini tiba giliranku minta bantuan kau!" Sahut Ah-lam Cuncia sambil membuka mata. "Kalau urusanmu itu menyangkut paut diriku, sudah tentu aku suka membantu sekuat kemampuanku." "Sudah tertu sangat erat sangkut pautnya dengan kau!" Ujar Jing-san-khek tersenyum. "Sebelum ajal Ceng-i Siancu sudah membakar seluruh benda-benda peninggalannya, cuma kuda hijau itu yang masih ketinggalan, tapi sekarang sudah bukan menjadi milikku lagi, aku tidak punya hak akan binatang itu," Demikian Ah-lam Cuncia memberi penjelasan lebih dulu. Bab 33 Jing-san-khek tertawa seraya manggut-manggut, ujarnya. "Cuma di tempat inilah baru aku bisa mendapatkan kuda hijau itu." "Tapi cuma akulah yang berhak memutuskan persoalan ini," Demikian sela Goan Tiong. Jing-san-khek meliriknya tanpa bicara, akhirnya ia berkata. "Tahukah kau kenapa aku harus memperoleh kuda hijau itu? Pernahkah kau pikirkan sebab musababnya?" GoaK Tiong geleng-geleng kepala, sahutnya tegas. "Aku tidak peduli apa alasannya, selamanya aku tidak akan sudi menyerahkannya kepada kau!" "Kuda itu sangat mahir dan teramat cerdik," Demikian ujar Jing-san-khek. "Setelah bibimu bunuh diri jazatnya dibawa menghilang oleh kuda hijau, kalau kita bisa mendapat petunjuknya, mungkin bibimu tidak sampai meninggal!" Hoan Tiong mendengus, jengeknya. "Sejak lama sudah kutahu akan polahmu ini, sebelum ajal bibi ada berpesan bahwa dilarang seseorang pun yang melihat jazatnya, sudah tentu tiada kekecualian pada dirimu untuk diperbolehkan menemukannya." Jing-san-khek kewalahan, ujarnya. "Tapi jikalau dapat menemukan dia, semakin cepat semakin baik, mungkin bisa tertolong hidup kembali!" "Jelas sekarang tidak mungkin lagi," Demikian jengek Goan Tiong pula. "Kami sendiri tidak rela menyerahkan kuda hijau itu kepada kau!" Pelan-pelan Jing-san-khek berkata. "Jangan kau anggap kuda hijau itu seperti kuda umumnya, aku sudah merasa curiga mungkin bibimu masih belum meninggal sunguh2, sekarang sudah sembuh dan hidup mengasingkan diri." Muka Goan Tiong menjadi masam katanya. "Agaknya kau terlalu kukuh pada hasratmu ini, baiklah biar kutunjukan kepadamu supaya kau tidak banyak rewel lagi." Cepat-cepat ia bangkit lalu melangkah kepinggir tembok sebelah samping sana menarik sebuah daun pintu besar, maka terlihatlah seekor kuda hijau sedang bertengger di dalam petak kecil itu, kuda hijau ini sudah lama sekali mati. Beruhah pucat paras Jing-san-khek, mulutnya mengumam. "Tiada harapan lagi! Kalau ini menjadi kenyataan segala sesuatunya tiada harapan lagi!" Goan Tiong mandah mendengus lalu duduk kembali pada tempatnya semula. Badan Jing-san-khek tampak gemetar, keringat dingin membasahi selebar mukanya, ia duduk diam terlongong, sinar matanya semakin guram. Pelan-pelan ia menunduk sambil berkata. "Selama ini aku masih yakin bahwa dia belum meninggal, kalau dia masih hidup, tapi." "Segala perubahan kejadian dalam dunia ini tak mungkin dapat diraba lebih dulu oleh tangan manusia, urusan inipun tidak perlu dibuat duka!" Demikian ujar Ah-lam Cuncia. Jing-san-khek tersenyum ewa, pelan-pelan ia menggeleng kepala, sesaat baru bicara pula. "Aku selalu berdoa, kuharap dia belum meninggal! Atau ingin aku bertemu sekali lagi, ini sudah cukup menghibur sanubariku, tapi sekarang sudah menjadi hampa" pelan-pelan ia pejamkan mata. Ah-lam Cuncia menghela napas ringan, keduanya menunduk diam. Goan Tiong dan Hun Thian-hi serta yang lain-lain juga bersimpuh diam saja, tunggu punya tunggu sekian lamanya tiada tampak perubahan apa-apa, akhirnya Goan Tiong berdua merasa urusan rada ganjil, cepat mereka maju mendekat meraba badan mereka, ternyata sudah kaku mulai dingin, jelas mereka sudah mangkat bersama! Hun Thian-hi berjingkrak bangun saking kaget, ia menjublek ditempatnya, urusan terjadi diluar dugaan, sungguh ia tidak habis mengerti kenapa kedua orang angkatan tua ini meninggal begitu saja, Sebenar-benarnyalah hal ini itidak perlu dibuat heran, soalnya mereka berdua sudah berusia amat lanjut, selama ini mereka menguatkan diri untuk bertahan, terutama Ah-lam Cuncia yang terkena racun Ban-lian-ceng, betapapun ia tidak mungkin bisa hidup lebih lama lagi, kalau toh ilmu silatnya mendadak pulih lagi itu tidak lain karena tunjangan dari kekuatan batinnya, meminjam kekuatan Lwekang dan latihan ilmunya selama puluhan tahun untuk memperpanjang hidupnya belaka. Demikian juga Jing-san-khek sudah puluhan tahun duduk diam tidak bergerak dan tidak bicara. pikirannya sudah linglung, seperti orang setengah gila, sekarang kena pukulan batin yang besar ini sudah tentu tak kuat memepertahankan diri lagi, syukurlah ia meninggal dengan tenang. Goan Tiong Goan Liang sama menghela napas gegetun, sungguh tidak kira Jing-san-khek bakal meninggal dengan cara yang demikian ini, setelah Jing-san-khek tiada baru mereka mau percaya pada ucapannya tadi, sayang sudah terlambat menyesal pun sudah kasep. Hun Thian-hi saling berpandangan dengan Ma Gwat-sian dan Poci tanpa bersuara, kejadian ini benar-benar sangat mendadak dan diluar dugaan. Selesai mengurus penguburan jenazah kedua tokoh angkatan tua ini, Hun Thian-hi bertiga lalu menempuh perjalanan menuju ke Tionggoan pula. Sungguh betapa besar hati Thian-hi, segala urusan yang harus dikerjakan boleh dikata sudah diselesaikan semua dengan sempurna kalau hari2 selanjutnya tiada kejadian lain, sejak saat ini ia bisa kembali ke tempat istirahat gurunya untuk hidup tentram dan bahagia. Berhari2 mereka menempuh perjalanan yang jauh ini, semakin dekat perasaan mereka semakin longgar, tapi diluar tahu mereka bahwa kejadian yang mengejutkan justru sudah menanti kedatangan mereka, dan saat itu sudah mulai berlangsung. Kejadian yang selalu dikhawatirkan dalam benak Hun Thian-hi ternyata betul-betul menjadi kenyataan. Secara kebetulan ia menemukan jejak Tok-sim-sin-mo yang disangkanya sudah mati di dalam istana sesat itu, bukan saja durjana ini belum mati malah sekarang meluruk datang! Sudah sekian lama ia menguntit mereka bertiga, kadang-kadang kelihatan tapi cepat-cepat menghilang pula. Meski Hun Thian-hi melihat jejak Tok-sim-sin-mo tapi cuma sekelebatan saja lantas menghilang lagi, selamanya belum pernah berhenti pada titik yang tertentu pula jaraknya cukup jauh, Hun Thian-hi menjadi was-was, entahlah apa pula tujuan Tok-sim-sin-mo, sebelum ia tahu maksud hati orang ia tidak berani sembarangan bergerak, apa lagi mengejar dan membekuknya, siapa tahu bila orang sengaja memancing dirinya meninggalkan dua orang seperjalanan di bawah perlindungannya ini. Tiga hari sudah berlalu tetapi masih belum dapat kepastian jejak Tok-sim-sin-mo yang sebenar- benarnya, curiga dan was-was pula hati Thian-hi, cara bagaimana Tok-sim-sin-mo dapat lolos keluar dengan selamat, apakah ia sudah memperoleh Ni-hay-ki-tin itu? Hari keempat pagi2 benar-benar mereka sudah melanjutkan perjalanan, Ma Gwat-sian merasa adanya gejala2 yang tidak wajar, memang ia tidak terlalu persoalkan Tok-sim-sin-mo tapi ia melihat tindak tanduk Thian-hi yang tidak tentram. ia maklum dan menyadari bahwa sesuatu kejadian yang luar biasa bakal mereka hadapi. kalau tidak Thian-hi tidak akan mengunjuk tingkah laku yang kurang wajar. Sepanjang jalan Thian-hi selalu celingukan kekanan kiri. Tok-sim-sin-mo sudah menemukan Ni- hay-ki-tin atau tidak ia harus bersiap dan waspada mendiaga sergapannya. Benar-benar juga dugaannya, sekonyong-konyong dari arah hutan sebelah depan sana terdengar gelak tawa yang menggila lantang menusuk telinga, hati Thian-hi jadi tegang beberapa hari lamanya Tok-sim-sin-mo belum berani mengunjuk diri berhadapan langsung dengan mereka, sekarang dia berani mengunjukkan diri dengan sikap yang begitu takabur tentu sebelumnya mempunyai persiapan yang cukup matang, pertempuran seru tidak bisa dihindari lagi. Melihat Hun Thian-hi menjadi tegang, biji mata berkilat mendelik Ma Gwat-sian jadi heran, tanyanya. "Siapa yang datang?" "Tok-sim-sin-mo!" Sahut Thian-hi singkat sambjl tersenyum. "Tak asah kuatir." Poci ikut menimbrung. "Bila kita bertiga selalu bersama dia tidak akan berani turun tangan. mari lanjutkan perjalanan, coba dia berani berbuat apa!" Thian-hi manggut-manggut membenar-benarkan, mereka maju lebih lanjut Tak seberapa jauh kemudian dari dalam hutan melangkah enteng sesosok bayangan orang. tahu-tahu Tok-sim-sin- mo sudah muncul dihadapan mereka bertiga tanpa mengunjuk rasa takut sedikitpun, sepasang biji matanya yang berkilat dingin memutih seperti mata dracula. mendelik ke arah mereka. mulutnya mengulum senyum sinis. Bahwa Tok-sim-sin-mo berani muncul dan berhadapan secara terang-terangan membuat kekuatiran Thian-hi himpas sebagian besar, soalnya bukan karena gentar menghadapi ilmu silat orang, cuma sepak terjang lawan yang banyak menggunakan akal muslihat licik dan licin itulah yang perlu ditakuti. Tatkala mana mereka sudah mencapai sebuah belokan, daerah itu dikeliliingi hutan bambu, hembusan angin pagi yang cukup keras membuat daun-daun bambu mengeluarkan suara geresekan menambah ketegangan hati semakin memuncak. Dilain kejap terdengar Tok-sim-sin-mo menyeringai tawa, katanya. "Jangan kau berusaha melarikan diri dan kau tidak akan mampu lolos dari pengawasanku. Kalau toh aku berani menghadapimu secara berhadapan tentu aku punya cara untuk menghadapi kau!" Hun Thian-hi bersikap tenang, ujarnya pelan. "Sudah lama kutahu akan jejakmu, kalau aku takut masak berani melanjutkan perjalanan ini!" "Kalian sama mengira aku sudah terkurung di dalam istana sesat dan tak mungkin dapat keluar lagi, tapi kenyataan sekarang aku sudah muncul dihadapanmu, hatimu takut bukan!" "Takut? Haha, walau aku tidak tahu cara bagaimana kau dapat keluar dari istana sesat, maka dapatlah disimpulkan bahwa hakikatnya kau tidak masuk ke dalam istana sesat itu sungguh- sungguh ja, bukan?" "Terserah bagaimana kau ambil kesimpulan yang terang segala dugaanmu meleset sama sekali, ketahuilah gambar peta yang berada di dalam serangka Badik buntung sudah dapat kukeluarkan!" Mau tidak mau terkejut juga hati Thian-hi. ia menyangsikan kebenar-benaran obrolan orang. Ujung mulut Tok-sim-sin-mo mengunjUk senyum dikulum yang penuh arti, tiba-tiba ia melesat mundur beberapa meter jauhnya serta berkata. "Kalian harus hati-hati, dalam jangka sepuluh li di depan sana kau akan takluk terhadap kelihayanku." Selesai memberi ancaman ia unjuk tawa misterius lalu berkelebat terbang menghilang jdalam hutan bambu. Bergejolak hati Thian-hi. sesaat lamanya ia menjublek ditempatnya. "Thian-hi Toako." Setelah menanti sekian lamanya akhirnya Ma Gwat-sian menegurnya. "Menurut hematku lebih baik kami pulang ke Thian-bi-kok saja lebih baik." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-hi tersentak sadar, namun serta mendengar ucapan Ma Gwat-sian ia tertegun pula. pikirannya sedang kacau dalam waktu singkat ia belum dapat menangkap juntrungan kata-kata orang, secara spontan ia bertanya. "Kenapa?" "Apa kau tadi tidak dengar? Tok-sim-sinmo sendiri tidak punya pegangan dapat mengalahkan kau. tapi dia pasti menggunakan akal muslihatnya yang jahat, aku cuma menjadi beban beratmu belaka, lebih baik pulang ke Thian-bi-kok saja, kukira jalan ini sempurna daripada menambah rasa kuatirmu." Thian-hi jadi geli mendengar alasan Ma Gwat-sian ini, katanya. "Gwat.sian. kau tidak perlu kuatir, aku percaya aku cukup berkelebihan menghadapi Tok-sim. Kalian pun tahu setelah mendapat petunjuk langsung dari Jing-san-khek Cianpwe Wi-thian-cit-ciat-sek latihanku sudah setapak lebih maju!" Demikian Hun Thian-hi menghibur, karena dia sendiripun ingin lekas-lekas kembali keutara dengan tertawa lalu menambahkan. "Marilah lekas jalan. Jangan takut pada ancamannya!" Justru tanpa disadari dengan melanjutkan perjalanan ini malah dia mengalami berbagai rintangan dan kesulitan, hampir saja Ma Gwat-sian menemui ajalnya ditangan Tok-sim-sin-mo. sedang dia sendiripun menghadapi persoalan lain yang cukup rumit pula. Poci sendiri sependapat dengan Hun Thian-hi, mengandal kehebatan ilmu silat Hun Thian-hi kenapa gentar menghadapi Tok-sim-sin-mo, bila mereka selalu bersama tak perlu takut menghadapi akal licik musuh. Mereka maju lebih lanjut, dimulut Thian-hi memang takabur dan ini cuma untuk menghibur Ma Gwat-sian, sebenar-benarnyalah hati kecilnya tidak berani memandang ringan Tok-sim-sin-mo. Beberapa jauh kemudian mendadak puluhan batang bambu melintang berserakan ditengah jalan merintangi perjalanan mereka. Thian-hi menggeram rendah, diam-diam ia mengumpat akan perbuatan rendah Tok-sim-sin-mo ini, sebagai tokoh yang kenamaan di Bulim kiranya membuat permainan rendah yang memalukan ini. Setelah dekat ia berhenti dan memeriksa sekelilingnya. empat penjuru sekitarnya sunyi senyap tak kelihatan sesuatu yang bergerak. Sekonyong-konyong desiran angin lirih menerjang kepunggungnya dari sebelah belakang, siang-siang Thian-hi sudah waspada sigap sekali ia membalikkan badan di atas tunggangan berbareng sebelah tangannya menyimpok ke belakang. Terdengar tawa, aneh yang lantang, tampak selembar daun bambu melayang jatuh di atas tanah, berkilat tajam biji mata Hun Thian-hi, sekejap saja gelak tawa itu lenyap tak keruan parannya. Thian-hi mendengus ejek, hatinya gusar namun ia harus berlaku hati-hati supaya tidak terjebak oleh muslihat Tok-sim-sin-mo, akhirnya ia melompat turun menyingkirkan bambu2 yang berserakan ditengah jalan itu. Hun Thian-hi sudah berada di atas punggung kuda, otaknya juga sedang menerawang, tak habis herannya tujuan apa yang sedang diperbuat Tok-sim-sih-mo, paling-paling ia cuma bisa menerka2 bahwa Tok-sim-sin-mo pasti belum mendapatkan Ni-hay-ki-tin itu dan tujuan kali ini semata2 cuma hendak mengelabui dirinya dan membalas dendam belaka. Ma Gwat-sian tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Thian-hi. cuma ia maklum tujuan Tok-sim- sin-mo membuat rintangan dan tipu muslihat ini hanya untuk memancing kemarahan Hun Thian- hi, meski sekarang Hun Thian-hi belum dibuat gusar tapi bukan mustahil lama kelamaan ia akan marah juga, jelas sekali dari raut mukanya yang gemas dan gegetun bahwa dia merasa penasaran akan tingkah polah musuh. Sejak kecil Hun Thian-hi diasuh dan dibimbing oleh Lam-siau Kongsun Hong, dididik untuk berbuat jujur dan bajik, cuma dasar pembawaan sifatnya keras kepala dan tinggi hati, kalau sekarang dia, cuma seorang diri tentu Tok-sim-sin-mo sudah dilabraknya habis2an, soalnya ia mengutirkan keselamatan Ma Gwat-sian dan Poci. Beberapa li kemudian lagi-lagi mereka dihalangi oleh dahan2 pohon yang malang melintang ditengah jalan, berjengkit alis Thian-hi, hawa amarah sudah mulai terbakar dalam rongga dadanya, laknat benar-benar Tok-sim-sin-mo itu anggapnya aku bisa dipermainkan dengan permainan liciknya ini? Ingin aku tahu betapa tinggi ilmu silat yang kau miliki. Setelah meneliti keadaan dengan luncuran lempang ke depan ia lompat turun dari tunggangannya sekali kakinya menyapu ke arah dahan2 pohon, yang malang melintang bertumpukan itu. Kontan semua aral rintang itu kena disapu bersih. Dan tepat saat itu pula tampak Tok-sim-sin-mo meluncur keluar dari hutan sebelah kiri sana. Setelah berdiri ia unjuk senyum lebar kepada Hun Thian-hi, senyum yang menganduug ejekan dan memandang rendah dan hina. Tok-sim-sin-mo terkekeh dua kali lalu serunya. "Hebat, kepandaian cakar ajam begitu tidak lebih cuma pertunjukan pasaran belaka. Sudah kukatakan dalam jarak sepuluh li, sekarang kan belum sampai menempuh setengahnya!" "Kepintaran apa yang kau miliki silakan pamer dihadapanku permainan mengelabui anak2 macam ini juga kau tunjukkan dihadapanku, sungguh memalukan!" Demikian jengek Thian-hi. "Hahahaha. jangan kau takabur!" Ejek Tok-sim-sin-mo sambil terbahak-bahak. "Agaknya kau salah menilai tumpukan bambu dan dahan2 pohon yang berserakan itu- ketahuilah jangan kau harap bisa lewat jarak sepuluh li ini dengan leluasa!" "Aku tidak takut menghadapi segala muslihatmu, silakan kau atur segala tipu dan akal busukmu, bambu dan dahan2 pohon ini tidak berarti menghalangi aku! Jangan kau bermimpi disiang hari bolong!" Tok-sim-sin-mo terloroh-loroh. sekali berkelebat ia menghilang pula ke dalam hutan. Hun Thian-hi naik ke atas kudanya pula, maka Gwat-sian lantas berkata. "Thian-hi Toako, kau harus lebih hati-hati, jangan kau pandang rendah Tok-sim-sin-mo yang busuk itu, sepak terjangnya, teramat licik, bukankah dulu kau pun pernah menghadapinya?" Memang Thian-hi tidak berani gegabah, waktu di Jian-hud-tong tempo hari kalau Pek Si-kiat tidak keburu datang mungkin ia sudah lama ajal disana. teringat pengalaman yang lalu ia lebih meningkatkan kewaspadaan, pahit getir di dalam gua seribu Budha merupakan pelajaran yang sangat berkesan dalam sanubarinya, kalau dulu ia menghadapi berbagai alat rahasia yang serba rumit kenapa sekarang aku harus takut, sekali aku kena digertak akibatnya pasti fatal. Maka dengan tertawa ia berkata. "Gwat-sian jangan gentar, kalau kau tidak berpisah dengan aku dia tidak akan dapat berbuat apa-apa!" Girang hati Ma Gwat-sian. ujarnya. "Benar-benar kau tidak berpisah lagi dengan aku!" bila Thian-hi tidak meninggalkan mereka berdua seratus persen keselamatan mereka pasti terjamin. Hun Thian-hi mengiakan sambil manggut-manggut, mereka melanjutkan perjalanan tanpa bicara lagi. Sementara itu, mereka sudah menempuh sejauh tujuh delapan li. hutan bambu dikiri kanan mereka jang tumbuh subur dengan daun-daunnya yang hijau mulus kini berganti dengan bambu kuning ke-merah2an. diam-diam bercekat hati Thian-hi, sungguh tak diketahui olehnya bahwa di tempat ini ada tumbuh bambu kuning, sepanjang jalan ini mereka dapat menempuh sejauh ini dengan sejamat, bukan mustahil dalam hutan bambu kuning inilah Tok-sim-sin-mo sudah mengatur muslihatnya. Thian-hi dibesarkan di daerah Thian-lam, ia tahu bambu kuning jarang didapat di daerah selatan, bambu kuning yang umumnya tumbuh dilaut kidul jauh lebih kuat dan keras punya daya pegas yang lebih besar pula dibanding bambu umumnya, sedemikian kerasnya tidak mudah dibacok kutung oleh alat senjata umumnya. Beberapa kejap kemudian mereka sudah jauh menjelajah di dalam hutan bambu kuning itu. lagi-lagi mereka dihalangi oleh batang2 bambu yang malang melintang ditengah jalan dari kanan kiri, tapi batangan bambu kali ini tidak berserakan dan bertumpukan di tanah tapi sama meliuk ke tengah jalan dari kedua pinggir jalan. Thian-hi mandah tersenyum ejek, segala muslihatmu; jangan harap dapat menghalangi perjalananku? Segera ia keprak kudanya menerjang ke depan, ia maklum akan kekuatan bambu kuning ini tapi ia percaya akan kepandaian sendiri, masa menyingkirkan bambu2 yang sepele ini tidak mampu, demikian batinnya. Kuatir Tok-sim-sin-mo ada mengatur muslihat lain. Poci dan Ma Gwat-sian juga keprak kudanya mengintil di belakang Thian-hi. Baru saja Thian-hi kerahkan tenaga hendak memukul ke depan dengan kekuatan hantamannya menjjngkirkan bambu2 itu, tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik keras, keruan kagetnya bukan kepalang, belum lagi ia menyadari apa yang sudah terjadi, kuda tunggangan Ma Gwat-sian dan Poci juga sama meringkik kesakitan terus roboh terjungkal, sudah tentu lebih kejut pula hatinya. Tanpa menghiraukan segalanya tersipu-sipu Thian-hi memburu maju menolong Ma Gwat-sian. Maka terdengarlah gelak tawa yang lantang kumandang di dalam hutan, entah kapan Tok-sim-sin- mo sudah muncul pula dipinggir hutan. Dengan teliti Thian-hi memeriksa ketiga kuda tunggangan mereka, kiranya masing-masing kakinya kena tertusuk duri2 yang amat tajam dan runcing, keruan bukan kepalang amarahnya, tiba-tiba ia jejakkan kakinya terus menerjang ke arah Tok-sim-sin-mo. Kalau gerakan Thian-hi gesit tapi kaki Tok-sim. sin-mo pun tidak kalah cepatnya. menghilang ke dalam hutan. Hun Thian-hi meragu. kejar atau tidak, kalau kejar kuatirnya kena dipancing dan terjebak muslihat musuh. tapi kalau tidak membekuk Tok-sim-sin-mo rasa penasarannya tidaklah terlampias. Rasa benci terhadap Tok-sim-sin-mo sampai ketulang sungsumnya, Tok-sim-sin-mo cuma seorang diri, kalau aku dapat selalu mengamati geral geriknyamasa mampu dia menjebak aku, apalagi kepandaian silat Poci juga sebagian besar sudah pulih kembali, agaknya ia cukup kuat bertahan beberapa kejap melawan Tok-sim-sin-mo. Dengan dasar pertimbangan ini Thian-hi tidak bimbang lagi, secepat kilat badannya melenting laksana anak panah menerjang ke dalam hutan. Baru saja ia masuk tampak disebelah kirinya berkelebat sebuah bayangan terus menghilang, Thian-hi tercengang, tiba-tiba sejalur angin keras menerjang ke arah dirinya, kiranya sebatang bambu yang meliuk sekarang membal lembang ke atas dan tepat menyapu kedua kaki Hun Thian- hi. Untung Thian-hi cukup waspada sambil menggantak, kedua telapak tangannya. menepuk bersama dengan dilandasi kekuatan Pan-yok-hian-kang, alhasil usahanya dan malah menimbulkan samberan angin keras yang memberondong ke arah dirinya dari berbagai penjuru, kiranya banyak bambu2 yang membal bagaikan pegas sama bergoyang gontai menyabat ke arah dirinya bergantian. Thian-hi insaf bahwa dirinya sudah terjebak masuk ke dalam tipu daya, Tok-sim-sin- mo yang licin. sungguh ia menyesal kenapa begitu gegabah sembarangan bertindak sampai kena dipermainkan. Hun Thian-hi menggembor sekeras-kerasnya, kaki tangannya bergerak bersama, menghantam dan menendang balik semua bambu2 yang menyerang dirinya, tapi ia merasakan betapa besar daya pegas bambu2 kuning yang besar2 itu, kiranya tidak lebih rendah dari kekuatan. pukulan seorang tokoh silat kelas tinggi. Begitu terpental mundur bambu2 itu semakin keras pula daya pegasnya membal kembali, ciut nyali Thian-hi, diam-diam ia mengumpat akan kebodohannya sendiri, kalau ia main kekerasan dirinya bakal mati konyol kehabisan tenaga, apalagi bambu kuning disekitarnya tumbuh subur dan rapat sekali tiada jalan untuk lolos keluar. Dalam keadaan tidak berdaya kedua telapak tangannya bekerja lebih lanjut untuk menjaga diri. jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri cuma memberantas kutung semua bambu2 kuning ini. Maka teringat olehrja akan pedang pemberian Jing-san-khek, tanpa ayal cepat ia melolos keluar. dimana cahaya merah melambung tinggi terus membabat silang turun naik bambu2 kuning sekelilingnya sama rontok berhamburan. Girang dan terpesona pula Thian-hi dibuatnya, sungguh ia tidak nyana pedang pemberian Jing- san-khek itu merupakan sebilah pedang pusaka. waktu ia memunduk meng-amat-amati batang pedang didapati dua huruf yang terbunyi "Cu-hong" (pelangi darah). Tiada waktu ia membuang waktu memeriksa pedangnya lagi, sebat sekali ia meleaat keluar memburu ke tempat semula. Dari jarak yang cukup jauh tepat dilihat Tok-sim-sin-mno sedang berlari sipat kuping, di bawah ketiaknya masing-masing mengempit satu orang. Keruan bukan kepalang gugup Thian-hi, sambil menggertak dan bersuit panjang laksana burung bangau badannya terbang mengejar. Tok-sim-sin-mo terkial-kial, serunya sambil berpaling. "Kau mengaku kalah tidak? Tiada gunanya kau kejar aku, kuanjurkan kau pulang saja, atau datanglah ke Jian-hud-tong untuk mengambil dua orang ini!" Kejut dan teramat gusar hati Thian-hi, gugup lagi, bagaimana ia harus menjelaskan duduk persoalannya kepada ham Gwat bahwa Ma Gwat-sian sampai tertawan oleh Tok-sim-sin-mo sikeparat itu. Nada ucapan TOk-sim-sin-mo cukup mengancam kalau aku mengejar jejaknya keselamatan Ma Gwat-sian bisa terancam bahaya, setelah ragu-ragu sebentar ia bertekad untuk mengejar lebih lanjut. Dalam pada itu bayangan Tok-sim-sin-mo sedang menerobos kian kemari diantara tumbuhan bambu yang lebat itu, dengan ketajaman pedangnya Thian-hi membabat kekanan kiri, sementara kakinya terus menerjang ke depan memburu ke arah Tok-sim-sin-mo, tapi setelah ia berhasil membabat segala rintangannya sementara itu bayangan Tok-sim-sin-mo sudah menghilang, sesaat ia jadi menjublek lemas putus asa. Bagaimana ia harus bertindak selanjutnya? Kalau tadi ia tidak meninggalkan Ma Gwat-sian berdua tentu mereka tidak sampai dibekuk musuh, baru sekarang ia menyesal, tapi sudah kasep. Bagaimana ia harus menceriterakan hal ini kepada Ham Gwat? Sungguh ia menjadi kehilangan akal sehatnya. Dengan penuh putus asa akhirnya ia melenggong keluar hutan. Tiba-tiba pandangannya seperti kabur, entah kapan tahu-tahu dihadapannya berdiri seorang Nikoh pertengahan umur. Pendekar Bego Karya Can Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo