Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 33


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 33


Badik Buntung Karya dari Gkh   Nikoh ini mengenakan jubah hijau kelam, wajahnya putih halus, tangan kanannya menggembol sebuah kebutan, kedua biji matanya hitam kelam dan putih jenuh, tapi dalam penglihatannya selayang pandang seperti samar-samar, Thian-hi seperti merasa seolah-olah ia menghadapi seorang manusia suci dari luar dunia.   Thian-hi tertegun, serta merta ia merasa bahwa telah muncul seorang orang aneh, orang ini muncul dalam kejap yang tidak bisa dirasakan, jelas ilmu silatnya tentu sudah mencapai tingkat yang tidak bisa diukur lagi, tapi entah siapa yang membekal ilmu silat yang begitu tinggi, selamanya belum pernah ia dengar adanya seseorang tokoh kosen macam Ini.   Pendatang ini entah kawan atau lawan, demikian ia meraba-raba, kalau kawan itulah untung, kalau musuh tidak berani ia membayangkan akibat apa yang akan dihadapinya.   Dengan segala ketenangan hatinya ia masukan pula pedangnya ke dalam karangkanya.   Dengan mendelong Nikoh itu mengawasi pedangnya, pelan-pelan lalu berkata.   "Kedua kawanmu kena diculik orang, apakah kau perlu bantuan untuk menolong mereka?"   Berdetak jantung Thian-hi, sejenak ia berpikir, tiba-tiba terasa bahwa kedatangan si Nikoh terlalu aneh dan mendadak, urusan apakah begitu gampang diselesaikan karena keraguannya ini cepat ia menjura hormat serta sahutnya.   "Entah siapakah nama Cian-pwe yang mulia?"   Nikoh itu menggeleng kepala, sahutnya kalem.   "Aku sedang tanya kau, masih ada urusan penting yang harus segera kuselesaikan, siapa namaku kau tidak perlu tahu dan tiada sangkut- pautnya dengan kau!"   Siapa Nikoh ini Thian-hi tidak tahu, tapi jelas ilmu silatnya tinggi luar biasa, belum pernah ia menyaksikan kepandaian begitu hebat, mengandal Ginkangnya yang diperlihatkan tadi sungguh hatinya takjub dan kagum sekali, apa yang harus ia lakukan sekarang? Kata si Nikoh pula.   "Kalau mereka tidak ditolong mungkin jiwa mereka terancam oleh kekejamam Tok-sim-sin-mo, jelas tujuannya akan tercapai karena kau harus menyusul ke Jian- hud-tong!"   Thian-hi mengakui kebenar-benaran kata-kata si Nikoh, kalau ia terlambat datang menolongnya, bila mereka mati, masa ada muka ia memenuhi Ham Gwat kelak? Tapi.mendadak terpikir olehnya, dari nada ucapan si Nikoh jelas ia tidak membantuku secara gratis, mungkin iapun akan mengajukan syarat imbalannya.   Maka dengan lantang ia bertanya.   "Entah Cianpwe ada petunjuk apa lagi?"   "Agaknya kau dapat memaklumi maksud hatiku."   Demikian ujar si Nikoh.   "permintaanku mungkin sulit dapat kau setujui, tapi hal itu ada manfaatnya bagi kau!"   "Silahkan Cianpwe katakan saja, biar Wanpwe mempertimbangkan!"   "Tiada yang perlu kau pertimbangkan! Mau atau tidak kau harus mematuhi pesanku, mengandal kemampuanmu sekarang kau belum berdaya menolong mereka berdua!"   Thian-hi jadi kurang senang, ucapan si Nikoh rada meragukan kemampuannya, ini berarti merendahkan gengsinya seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada dirinya, meski ilmu silatnya setinggi langit, tidak sepantasnya ia begitu menghina orang.   "Apa yang sedang kau pikirkan aku tahu,"   Demikian kata si Nikoh pula.   "Mungkin kau tidak terima, marilah kita coba-coba. cabutlah pedangmu, seranglah aku tiga jurus, aku tidak akan melawan, jikalau kaki tanganku sampai bergerak anggaplah aku yang kalah, maka secara sukarela tanpa syarat aku membebaskan kedua temanmu. kalau sebaliknya maka kau harus patuh pada perintahku!"   "Seumpama kepandaianmu setinggi langit masa kuasa menandingi tiga jurus seranganku tanpa menggerakkan kaki tangan, Nikoh ini sungguh jenaka main kelakar dengan aku."   Demikian batin Hun Thian-hi.   "Hayo lekas, waktu sangat mendesak!"   Si Nikoh mendesak tidak sabaran. Thian-hi melolos pedang lalu menjura serta katanya.   "Kalau begitu maaf Wanpwe akan berlaku kurang ajar!"   Nikoh pertengahan umur manggut-manggut, sambil tersenyum ia memberi tanda supaya Thian-hi mulai menyerang.   Thian-hi menghirup hawa segar, kakinya melangkah ringan mengitari si Nikoh satu putaran, dari nada ucapan si Nikoh tadi agaknya ia cukup mampu untuk menang, mungkin si Nikoh tadi sudah menyaksikan permainan silatku maka berani besar mulut tapi sekali-kali aku pantang jual lagak, betapa pun aku harus hati-hati bertindak.   Tampak Cu-hong-kiam mulai bergerak.   dengan jurus Liu-si-jian-tiu (benang sutra beribu utas), cahaya merah sinar pedangnya mentiung seperti lembayung terus menerjang ke arah si Nikoh.   Diam-diam Thian-hi berpikir; ingin kulihat tanpa menggerakan kaki tangan cara bagaimana kau menghadapi jurus pedangku ini! Pandangan si Nikoh mengikuti gerak Cu-hong-kiam ditangan Thian-hi, begitu pedang menyambar tiba entah dengan gerakan apa tiba-tiba seringan angin tubuhnya melayang naik mundur ke belakang, benar-benar juga kaki tangannya sedikitpun tidak bergerak.   Terkejut Thian-hi dibuatnya, cepat ia menubruk maju, jurus pedangnya dirobah dengan tipu Si- biau-liau-loan (sutra terbang dahan liu berantakan), sinar pedangnya silang menyilang simpang siur tak menentu arah, merangsak begitu cepat dari berbagai arah ketubuh si Nikoh.   Si Nikoh kelihatannya seperti tidak punya berat badan, seenteng asap dapat melayang naik turun di tengah udara, seiring dengan kiblatan sinar pedang Hun Thian-hi badannya ikut terombang ambing selulup timbul, jelas jurus kedua inipun tidak mampu menyentuh ujung bajunya.   Apa boleh buat Hun Thian-hi menarik pedang menghentikan serangan selanjutnya.   Sementara Nikoh itu juga melayang turun dihadapannya.   Heran dan tidak habis mengerti Thian-hi dibuatnya meski kedUa jurus rangsakkannya dapat dilancarkan sekaligus dalam gerakan berantai, jadi baru terhitung satu jurus, tapi sisa dua jurus selanjutnya jurUs permainan apa pula yang perlu dilancarkan? Ginkang Nikoh ini sungguh luar biasa bagusnya, begitu hebat sampai sukar dibayangkan keindahannya.   Bagaimana jurus selanjutnya? Agaknya Nikoh itu juga tenggelam pikirannya, agaknya ia sedang mereka-reka jurus permainan apa yang hendak dilancarkan Hun Thian-hi, bagaimana pula ia harus menghadapinya.   Setelah direnungkan akhirnya Hun Thian-hi tersenyum lebar, pedangnya digerakkan lagi, kali ini ia gunakan jurus pertama dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek yaitu Tam-lian-hun-in-hap, cahaya merah yang menyolok mata beterbangan membentuk gugusan gunung yang memuncak semakin runcing, nyata sinar pedangnya mulai membabat dan menusuk dari arah atas dan bawah bergantian, batinnya; kali ini dapatkah badan si Nikoh berkelebat mundur menghindar, sementara tajam pedang Hun Thian-hi sudah menindih turun dari atas, naga-naganya si Nikoh seperti sudah menduga Hun Thian-hi bakal menggunakan permainan pedangnya ini, secepat kilat ia melesat mundur, sebelum sinar pedang Hun Thian-hi menukik turun.   siang-siang ia sudah berhasil meloloskan diri dan menghindar kesamping.   Lagi-lagi Thian-hi takjup dan terkesima dibuatnya, sungguh diluar dugaannya bahwa gerak- gerik si Nikoh begitu sigap dan cekatan, begitu cepat sampai ia tidak mampu melayani permainan orang, sekian lama ia menjublek lalu pelan-pelan membalik badan.   Nikoh itu manggut-manggut lagi, agaknya ia menyuruh Thian-hi meneruskah serangannya terakhir.   Inilah jurus terakhir, kalah atau menang jurus inilah yang bakal menentukan, dua jurus yang terdahulu ia telah gagal, kegagalan ini banyak mempengaruhi semangat tempur Thian-hi, keyakinannya mencapai kemenangan menjadi gugur dan lenyap sama sekali, dalam keputus- asaannya ini teringatlah akan Wi-thian-cit-ciat-sek, cuma Wi-thian-cit-ciat-sek lah satu-satunya harapan untuk mencapai kemenangan itu.   Begitulah ia berkeputusan, soalnya cara lain sudah buntu.   Setelah pikirannya mantap Thian-hi menggentakkan tangan kanan, pedang teracung miring ke atas terus bergerak menyerang ke arah si Nikoh, Kelihatannya Si Nikoh sudah siap siaga dan punya pegangan mengatasi serangan hebat ini, melihat serangan pedang Wi-thian-cit-ciat-sek.   Thian-hi melandai tiba, sedikit pun tidak menjadi gugup, sekarang ia tidak bergerak juga tidak berusaha berkelit atau menghindar dengan tajam matanya mengikuti gerak ujung pedang ditangan Thian-hi.   Hati Thian-hi jadi bimbang, tapi seranggan pedang sudah dilancarkan tak mungkin dibatalkan, dalam kejap itu ujung pedangnya sudah mengancam tubuh si Nikoh malah sudah menyentuh jubah hijau orang, Berbagai pertimbangan berkelebat dalam benak Thian-hi, kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi ia kerahkan, kalau itu terjadi betapapun tinggi ilmu silat si Nikoh jiwanya tentu amblas.   Begitulah hatinya ragu-ragu dan gerak tangannya pun jadi kendor, kenapa si Nikoh tidak mau berkelit? Apakah dia tidak mengenal jurus yang dilancarkan ini adalah Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat ini? Keraguan ini melintas cepat di dalam benaknya, sang waktu tidak memberi kesempatan bagi Thian-hi untuk banyak pikir, serta merta secara reflek ia menarik mundur ujung pedangnya.   Biji mata si Nikoh memancarkan sorot yang aneh dengan suara datar ia bertanya.   "Kenapa kau menarik pedang membatalkan seranganmu?"   "Kau tidak berkelit aku tidak tega untuk melanjutkan seranganku!"   Demikian jawab Thian-hi, suaranya datar rendah. Mata si Nikoh memancarkan cahaya aneh yang sulit dijajaki juntrungannya, suaranya tetap tawar, katanya.   "Tapi kau sudah melancarkan tiga jurus serangan. Kau sudah kalah!"   Memang Thian-hi sudah melancarkan tiga jurus serangan, meski serangan terakhir ia batalkan sendiri, tapi sudah masuk hitungan juga, terpaksa ia menyahut.   "Silakan Cianpwe katakan perintah apa yang harus kulaksanakan!"   Si Nikoh manggut-manggut, ujarnya.   "Tidak malu kau sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, sekarang akan ketolong mereka, tapi setelah berhasil kuselamatkan mereka ikut aku! Hal ini akan lebih baik dan tiada jeleknya!" habis kata-katanya lenyap pula bayangannya, sekali mencelat ia menghilang ke dalam hutan. Thian-hi terlongong-longong, sekian lamanya ia termenung-menung, tak tahu dia bagaimana perasaan hatinya saat itu, ia tidak bisa menyangkal kebenar-benaran ini, kalau si Nikoh membawa Ma Gwat-sian pergi tentu dia punya akal untuk menyembuhkan penyakitnya itu, cuma ia tidak tahu siapakah sebenar-benarnya Nikoh itu? Akhirnya ia menghela napas gegetun, Nikoh itu pasti dari kalangan lurus, hal ini tidak perlu disangsikan, namun kapan baru dia bisa bertemu lagi dengan Ma Gwat-sian? Sekarang apa pula yang harus dikerjakan? Setelah dipikir2 akhirnya ia berkeputusan untuk meluruk ke Jian-hud-tong untuk menyelidiki apakah Ma Gwat-sian berdua benar-benar sudah tertolong keluar. Meski ia harus menerjang sarang harimau dan gua naga, apalagi Tok-sim-sin-mo belum lagi mampus, Badik buntung pun masih berada di tangannya. Tengah ia terombang-ambing dalam pikiran, sekonyong-konyong didengarnya suara percakapan yang lirih tapi berisi, dapatlah diraba bahwa pendatang ini pasti tokoh kaum Bulim. Bergegas ia melejit menyembunyikan diri. di dalam hutan, dalam hati ia berpikir2 siapakah yang sedang mendatangi. Tak lama kemudian dari arah depan sana mendatangi dua orang, begitu melihat jelas kedua pendatang itu, Thian-hi melengak heran, kiranya mereka bukan lain adalah Bun Cu-giok beserta gurunya, sungguh tidak habis mengerti untuk apa Bun Cu-giok meluruk kemari dari barat daya yang berjarak begitu jauh. Paras Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang tampak kecut, agaknya ada sesuatu peristiwa yang mengganggu pikiran mereka, diam-diam Thian-hi heran, entah kejadian apa pula yang telah mereka alami. Ce-hun Totiang sebagai tokoh kosen angkatan Bulim yang kenamaan, entah kenapa raut wajahnya kok mengunjuk rasa duka dan masam. Thian-hi diam saja mengawasi kedua orang ini semakin dekat, pikirnya setelah mereka lewat segera ia hendak menyusul ke Jian-hud-tong. Mendadak didengarnya Ce-hun Totiang menghela napas panjang, katanya kepada Bun Cu-giok.   "Kalau Hun-siauhiap ada disini tentu lebih baik, mengandal ilmu silatnya, urusan ini pasti dapat diselesaikan dengan mudah,"   Habis berkata ia berkeluh kesah lagi. Terdengar Bun Cu-giok ikut bicara.   "Belum tentu dia sudi membantu kita, mungkin dia mambenci kami setengah mati!"   "Cu-giok, jiwamu tertalu sempit Hun-siauhiap bukan orang macam itu!"   Thian-hi mendengarkan percakapan mereka, ia sedang mempertimbangkan diri, perlukah ia keluar mengunjukkan diri, sementara itu Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah semakin dekat. Akhirnya Thian-hi ambil putusan, serunya.   "Totiang tunggu sebentar!"   Rupanya Ce-hun Totiang tidak mengira di tempat itu ada orang, cepat ia memutar tubuh serta berteriak tanya.   "Siapakah itu?" tapi serta melihat yang muncul adalah Thian-hi ia jadi kememek, akhirnya ia berseru kegirangan.   "Kau!", namun begitu teringat peristiwa dulu yang memalukan itu ia jadi menyesal dan menunduk, rasanya ingin ia menyembunyikan mukanya. Thian-hi cepat maju sapanya kepada Bun Cu-giok.   "Cu-giok, bagaimana keadaanmu selama berpisah?" lalu ia pun bertanya kepada Ce-hun Totiang.   "Kudengar Totiang mencariku untuk sesuatu urusan, entah untuk keperluan apakah?"   Muka Ce-hun berubah serius, katanya tegas.   "Sungguh Pinto tidak mengira bakal bertemu Hun- siauhiap di tempat ini, sungguh kebetulan!", sebetulnya ia rikuh untuk menjelaskan cuma urusan sudah ketelanjur terpaksa ia harus memberi penjelasan.   "Sudah lama kami guru dan murid ingin mohon ampun akan dosa2 yang lalu, tapi selama ini belum ketemu dengan Hun-siauhiap!"   Thian-hi menjadi rikuh sendiri, sahutnya tertawa ewa.   "Kejadian dulu cuma karena kesalahan paham belaka tak usah diungkat2 lagi, apalagi dulu akupun pernah mendapat pertolongan jiwa dari Cu-giok ke-beberapa kali, budi pertolongan inipun belum semua kubalas!"   Sungguh malu dan menyesal pula hati Bun Cu-giok serta mendengar ucapan Thian-hi ini.   Perbuatan dirinya yang terakhir begitu tercela dan hina, bukan saja tidak dinista malah orang bicara begitu sungkan, maka dengan penuh haru dan menyesal ia berkata.   "Hun-siauhiap bicara sungkan, betapa hina dina aku Bun Cu-giok ini, cuma aku harap Hun-siau-hiap suka memaafkan! Betapa cupat dan sempit jiwaku, tapi kau tak dendam akan kesalahanku yang memalukan itu, sungguh aku Bun Cu-giok berhutang budi dan banyak terima kasih!"   "Saudara Cu-giok main kelakar saja, soalnya dulu terdesak oleh keadaan tidak bisa aku bekerja menurut situasi, mana bisa menyalahkan kau!"   Lalu Hun Thian-hi bertanya lebih lanjut kepada Ce-hun Totiang.   "Totiang sebenar-benarnya apakah yang telah terjadi, bolehkah beri penjelasan kepada Wanpwe?"   Ce-hun Totiang menghela napas, ujarnya.   "Dikata soal besar ya besar, dianggap soal kecil yang sepele. Ciok Yan kena diculik orang, Hoan-hu popo juga terluka oleh orang itu."   "O,"   Seru Thian-hi heran, tanyanya pula.   "Siapa penculiknya?"   "Kalau orang lain sih mending, soalnya penculik itu adalah Bian-hok Lojin (situa kelelawar)", Thian-hi bercekat, serunya kejut.   "Situa kelelawar maksudmu!" sungguh ia tidak menduga, karena si tua Kelelawar merupakan tokoh aneh yang disegani pula di Bulim, seorang diri ia menempati sebuah gedung besar, tiada seorangpun yang pernah melihat ia keluar dari sarangnya, tapi tiada seorangpun juga yang berani memasUki gedungnya itu, orang yang pernah masuk kesana, tiada seorangpun yang bisa keluar dengan selamat. Cuma tiada seorangpun kaum persilatan yang menanam permusuhan atau berhutang budi terhadapnya, maka ia tidak menduga orang yang disegani dan diindahkan ini justru telah menculik seorang gadis remaja.   "Bagaimana bisa terjadi hal ini?" tanya Thian-hi minta penjelasan. Pelan-pelan Ce-hun Totiang menggeleng kepala, katanya.   "Aku sendiri juga kurang jelas, sudah sekian lamanya Hoan-hu popo belum sadar waktu peristiwa ini terjadi kebetulan kami tidak ada dirumah!"   Tidak habis heran Thian-hi kenapa situa Kelelawar meluruk jauh kegurun utara, melukai berat Hoan-hu popo serta menculik Ciok Yan. Tempat tinggal situa Kelelawar tidak jauh dari sini setelah berpikir masak segera ia berkata.   "Mari kuiringi Cianpwe meluruk kesarangnya!"   Tanpa minta bantuannya Hun Thian-hi sudah menyatakan diri bersedia ikut mengurus persoalan ini, keruan bukan kepalang senang dan haru hatinya. ujarnya.   "Kalau begitu bikin susah Siauhiap saja!"   "Marilah kita berangkat!"   Demikian ajak Hun Thian-hi, lantas ia mendahului lari ke arah tenggara. Sebelum cuaca menjadi gelap mereka sudah tiba diluar sebidang hutan lebat, Hun Thian-hi menghentikan langkahnya seraya membalik badan, katanya.   "Sarang situa Kelelawar berada di dalam hutan inikah!" langsung mereka menerobos masuk hutan berapa jauh di hadapan mereka berdiri tegak sebuah gedung menjulang tinggi keangkasa, bangunan yang sudah setengah rusak tidak terpelihara berdiri dikegelapan malam seolah-olah seperti bayang2 jin raksasa. Selayang pandang seluruh rumah sudah hampir terbungkus oleh tanaman rotan yang merambat subur ke-mana-mana, suasana sunyi senyap seperti tiada kehidupan insan manusia, mungkin selama ratusan tahun gedung ini tidak pernah dihuni manusia. Melihat keadaan yang seram ini mau tak mau hati Thian-hi menjadi tegang, selama puluhan tahun tiada seorang pun yang tahu orang macam apakah yang tinggal di dalam gedung raksasa yang bobrok ini, jelasnya seorang tua berusia lanjut, Tidak seorang pun yang tahu betapa tinggi ilmu silat situa Kelelawar itu. Karena siapa saja yang pernah masuk ke dalam gedung tiada yang bisa keluar dengan masih bernyawa. Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sampai tidak berani bernapas keras-keras, mereka berdiri diam di belakang Hun Thian-hi, jantung mereka berdebar keras menanti perkembangan yang bakal terjadi. Akhirnya Hun Thian-hi membuka suara.   "Mari kita masuk bersama!"   Ce-hun manggut-manggut, sambil menggandeng Bun Cu-giok pelan-pelan mereka memasuki gedung besar itu.   Sepasang mata Hun Thian-hi dengan tajam meneliti setiap tempat yang mencurigakan, tapi keadaan sekelilingnya hening lelap, mereka maju lebih lanjut sampai diambang pintu.   Setelah dekat di ambang pintu Thian-hi memburu dua langkah ke depan.   kedua telapak tangannya mengerahkan tenaga mendorong pelan-pelan ke arah pintu besar itu baru saja kedua daun pintunya terbuka sebagian segulung angin dingin dan gerombolan kelelawar yang tidak terhitung banyaknya beterbangan menerjang keluar.   Thian-hi bertiga dibuat terkejut oleh keributan suara dari kelelawar besar2 yang berbau amis dan busuk, hampir saja arwah mereka copot dari badan kasarnya.   mereka tahu bahwa situa kelelawar pasti sudah mengetahui jejak kedatangan mereka.   Dengan membesarkan hati Ce-hun Totiang mendahului melangkah masuk.   dengan seksama ia amat-amati keadaan gedung besar itu, lalu berpaling bertanya kepada Hun Thian-hi.   "Entah bagaimana keadaan dalam gedung sana, maksud Hun-siauhiap kita langsung terjang ke dalam saja atau mengundang situa kelelawar keluar?"   "Maksud Cianpwe."   "Menurut hematku keadaan di dalam kita tidak jelas. kalau masuk kesana mungkin terjebak, lebih baik kita pancing situa kelelawar keluar saja!"   Thian-hi manggut-manggut sahutnya.   "Cuma apakah ia sudi keluar!"   Cepat Ce-hun Totiang menarik napas lalu berseru lantang ke arah gedung.   "Pinto Ce-hun, dari jauh sengaja memburu datang harap penghuni gedung ini suka keluar untuk bicara!" karena ia mengerahkan Lwekang suaranya mengguntur seperti gema genta yang bertalu2, sengaja ia hendak menunjuk kepandaian Lwekangnya untuk memancing situa kelelawar keluar. Tapi setelah gema suaranya sirap, dari dalam gedung tidak terdengar reaksi apa-apa. Ce-hun, menggeram dongkol. teriaknya pula.   "Kalau toh berani menculik orang, kenapa main sembunyi2. silakan keluar berhadapan!"   Sebuah tawa dingin yang menusuk kuping mandengung dari dalam gedung, keruan Thian-hi bertiga berjingkrak kaget dibuatnya, terdengar orang dalam gedung berseru.   "Kalau kau bernyali besar, silakan masuk saja!"   Ce-hun Totiang menjadi gusar. sambil menggerung murka ia siap menerjang ke dalam. Buru- buru Thian-hi berseru mencegah.   "Totiang, nanti dulu!"   Dari suara tawa dingin, yang menusuk kuping itu Thian-hi tahu bahwa Lwekang situa kelelawar setingkat lebih tinggi dari kepandaian Ce-hun Totiang, apalagi musuh di tempat gelap, kalau secara serampangan Ce-hun Totiang meluruk ke dalam mungkin kena dikerjain musuh.   Ce-hun Totiang membatalkan niatnya.   tanyanya.   "Ada urusan apa lagi Hun-siauhiap?"   "Musuh di tempat gelap kita jadi makanan empuk. Sangat berbahaya kalau kita langsung menerjang masuk tanpa perhitungan, menurut pendapat Wanpwe lebih baik Totiang dan saudara Cu-giok tunggu diluar saja, biar aku masuk membuat penyelidikan dulu!"   Ce-hun Totiang maklum akan tujuan Thian-hi. Iapun tahu situa Kelelawar bukan sembarangan tokoh yang dapat dibuat main-main, dengan tertawa tawar ia, berkata.   "Seharusnya kami patuh pada petunjuk Hun-siauniap, tapi soal ini adalah urusan kami dua orang mana bisa membiarkan Hun-siauhiap masuk seorang diri menempuh ancaman elmaut, sebaliknya silakan Hun-siauhiap yang tunggu diluar saja, biar aku sama Cu-giok yang masuk ke dalam."   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Hun Thian-hi terbungkam, ia maklum sebagai tokoh kosen yang kenamaan di Bulim adalah aib bagi Ce-hun untuk membiarkan orang lain berkorban demi kepencngan sendiri sedang jiwa sendiri berat dikorbankan.   Meski kepandaian sendiri tidak becus betapa pun cdak boleh kehilangan gengsi sebagai laki-laki sejati.   meski harus menempuh bahaya sampai jiwa melayang, betapapun ia pantang mundur.   "kalau begitu maksud Totiang sebetulnya Wanpwe tidak bisa menolak,"   Demikian kata Thian-hi setelah berpikir.   "Soalnya kita datang bersama, ada lebih baik kita masuk bersama pula, bagaimana pendapat Totiang?"   "Begitupun baik", sahut Ce-hun Totiang manggut-manggut. Ia maklum cuma bersama Cu Giok menempuh bahaya ini, harapan untuk menang dan berhasil sangat kecil. Agaknya gedung besar ini berlapis2, mereka dihadang pula oleh sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Ce-hun Totiang meng-usap2 pintu itu, alisnya terangkat tinggi, mendadak ia menghardik keras, kakinya rada menyurut mundur tenaga dikerahkan pada kedua telapaknya terus mendorong ke depan.   "blang"   Daun pintu yang tebal dan berat seketika semplak dan terbang terpental jauh kena hantaman Ce-hun Totiang yang hebat itu, begitu jatuh di dalam pendopo mengeluarkan suara gedubrakan.   Seketika suasana dalam pendopo menjadi ribut, kelelawar yang tidak terhitung banyaknya segera terbang keluar serabutan, cepat mereka mundur tiga langkah, berselang agak lama baru kelelawar terbang keluar semuanya, keadaan pendopo hening lelap lagi.   Ce-hun mendengus hidung.   dengan langkah lebar ia mendahului bertindak masuk.   Namun baru saja setindak ia maju agaknya Ce-hun menghadapi sergapan yang mendadak, tubuhnya kelihatan mencelat berkelit berbareng tangan kanannya mencakar ke depan sedang tangan kiri merogoh gagang pedang sendiri, tapi belum lagi pedang sempat terlolos ia sudah keburu melompat mundur.   Kejut dan tegang puia Thian-hi dibuatnya, cepat ia memburu maju.   Tampak tangan kiri Ce-hun mendekap pundak kanannya, bersuara dengan suara berat.   "Awas dalam rumah ada yang membokong! Lihay sekalj!" suaranya kedengaran gemetar dan jeri. Thian-hi merasa kaget, pundak kanan Ce-hun seperti terkena oleh senjata tajam, mengandal Lwekang Ce-hun Totiang ternyata kena disergap sebelum ia maju lebih lanjut, cukup segebrak saja sudah terluka, apalagi pedang sendiri belum sempat pula dilolos. maka dapatlah dibayangkan musuh dalam rumah ini pasti tokoh lihay yang kuat, mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan. Dalam pada itu Bun Cu-giok juga memburu maju, cepat Hun Thian-hi berseru.   "Saudara, Cu- giok! Kau tolong obati gurumu dulu, biar aku yang coba-coba, akan kulihat apa yang terdapat di dalam sana!"   Terpaksa Bun Cu-giok mengiakan. Ce-hun Totiang menambahi pesannya dengan suara tertekan.   "Hun-siauhiap, hati-hati1ah!"   Sekilas Thian-hi periksa dua samping daun pintu.   lalu pelan-pelan maju ke dalam.   Dan baru saja langkah kaki Thian-hi yang pertama masuk diambang pintu, tiba-tiba dari depan belakang dan sebelah kiri tiga jurusan terasa samberan tajam dari senjata pedang menusuk dan membabat secepat kilat ke arahnya.   secara reflek ia berkelit ke arah kanan, berbareng tangan kanan membalik hendak melolos pedang.   Sekonyong-konyong ia merasa juga sebatang pedang tahu- tahu sudah menyentuh punggungnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, ujung pedang ini bukan menusuk maju, sebaliknya ia sendiri yang membiarkan punggumg menggelendot ke belakang, berarti sengaja membiarkan punggungnya tertusuk pedang.   Thian-hi terkejut namun ia cukup cekatan, sekejap mata ia sudah paham kenapa dalam segebrak saja Ce-hun Totiang sudah terjungkal oleh musuh, waktu tidak memberi kesempatan untuk banyak pikir lagi.   harapan satu-satunya dalam keadaan yang kepepet dan gawat ini ia harus berhasil meluputkan diri dari tusukan pedang ini.   Dalam keadaan waktu sependek ini tiada kesempatan bagi Thian-hi untuk berpikir lebih cermat, tak perlu disangsikan bahwa tusukan pedang dibelakangnya ini jelas sekali akan menusuk punggungnya lebih dulu dari pada samberan pedang dari tiga jurusan yang lajn.   sebat sekali ia miringkan tubuhnya, tapi kejadian selanjutnya sungguh sangat mengejutkan hatinya, kiranya tusukan pedang disebelah belakang cuma gertakan belaka, sedikit pun pedang itu tidak bergerak sesuai dugaannya.   Baru sekarang Thian-hi menyadari dirinya telah ditipu mentah-mentah.   tepat pada saat itulah serangan dari tiga jurusan sudah bergabung tiba mencapai satu titik penyerangan yang hebat sekali menusuk kedadanya sebelah kiri, begitu kuat dan deras sekali tusukan pedang ini sampai batang pedangnya mendengung mengeluarkan deru angin yang keras.   Tak sempat Thian-hi mengeluarkan pedang, gesit sekali ia mendakkan tubuh sambil miring kebawah berbareng kaki menjejak tanah melesat miring kesamping, dalam jarak cuma serambut beruntung ia dapat terhindar dari serangan telak yang berbahaya itu.   samentara ditengah jalan tubuhnya berputar setengah lingkaran, begitu kakinya mencapai tanah, sementara pedang sudah terlolos terus menusuk miring dari samaping ke arah musuh.   Dari kegelapan terdengar orang itu berseru memuji.   "Kepandaian yang hebat!"   Dimana sinar merah berkelebat Cu-hong-kiam sudah menukik turun menusuk tiba, agaknya orang itu tahu diri.   tak berani melawan lekas-lekas ia memutar tubuh teruS lari terbirit2 ke arah tangga loteng.   Begitu menemukan jejak musuh sudah tentu Thian-hi tidak membiarkan musuh melarikan diri cepat ia membentak keras.   "Lari kemana kau!"   Seiring dengan suara badannya mencelat terbang di belakang orang.   Terpaksa orang itu membalik tubuh sambil lancarkan serangan pedang yang cukup ganas, laksana kepala ular mematuk langsung menusuk kedada Hun Thian-hi.   Tergerak hati Thian-hi, dalam hati ia sudah berkepastian betapapun orang ini jangan sampai lolos, keadaan dalam ruang pendopo sangat gelap, waktu orang ini membalik tubuh, Thian-hi dapat melihat jelas perawakan dan muka asli dari orang yang membokong ini.   Orang ini kira-kira berusia lima puluhan, perawakannya tinggi besar, raut mukanya tumbuh jambang bauk yang lekat biji matanya berkilat terang.   Pedang Thian-hi juga kebetulan menusuk ke depan terus dipuntir kesamping, tapi orang tua itu agaknya juga seorang ahli pedang, terdengar hidungnya mendengus, cepat ia menarik mundur pedangnya seraya mencelat kesamping, serunya.   "Lebih penting kau rawatlah dulu kawan2mu itu!" selesai berkata terus melesat naik dan menghilang. Thian-hi terkejut, mungkinkah dalam gedung ini masih ada orang lain? Karena kuatir cepat ia lari keluar, tampak Bun Cu-giok dan Ce-hun masih berdiri ditempatnya, ia jadi melengak, batinnya, aku kena ditipu pula oleh orang itu, hatinya jadi gemas dan dongkol. Bun Cu-giok bersama Ce-hun Totiang melangkah masuk, kata Ce-hun Totiang.   "Siauhiap apa sudah melihat Bian-hok Lojin?"   "Cuma kulihat seorang tua, entah siapa dia, dia lari ke atas loteng, ilmu silatnya tidak rendah!"   "Tak nyana Bian-hok Lojin serasi dengan nama. Kelelawar tidak punya nyali dan penakut, melihat orang lantas lari atau main bokong tidak berani berhadapan secara langsung."   Thian-hi sendiri sedang bertanya-tanya kenapa tanpa bertempur sampai menang atau kalah si orang tua itu lantas merat, apakah dia memang kerjanya membokong dan mencelakai jiwa orang dengan akal licik? Rasanya tidak mungkin, didengar dari lengking tawanya yang menusuk pendengaran tadi, tokoh Bulim yang mampu mengalahkan dia rasanya boleh dihitung dengan jari, mana bisa dia mengandal akal liciknya dengan berbagai jebakan mengalahkan musuh! Soalnya orang tadi belum gebrak sungguh-sungguh dengan dirinya, apakah dia benar-benar Bian-hok Lojin belum ada kepastian.   Kata Bun Cu-giok kepada Ce-hun Totiang.   "Biar aku naik kesana memeriksa, sebenar-benarnya apa yang sedang dia lakukan!"   Ce-hun menghela napas, ia geleng kepala, katanya.   "Tidak perlu, tak berguna meski kau ketemukan dia."   Lalu ia berpikir sebentar dan berseru keras ke dalam rumah.   "Bian-hok Lojin, kalau kau tidak berani keluar, kita akan membakar habis seisi gedungmu ini!"   Terdengar tawa ejek dari dalam rumah, sahutnya.   "Boleh kau coba-coba, kalian bertiga jangan harap bisa keluar dengan masih hidup."   "Kenapa kan main sembunyi dan longak-longok tak berani berhadapan."   Ejek Ce-hun. Jawab orang dalam rumah itu.   "Orang yang pernah datang kemari selamanya tiada seorang pun yang keluar dengan masih hidup, harapan hidup kalian bertiga sudah nihil, kenapa putar bacot selalu, menyebalkan!"   Thian-hi jadi getol, serunya.   "Kau anggap gampang menghabisi jiwa kami bertiga, soalnya kami terpaksa harus meluruk kemari, urusan gampang diselesaikan asal kau lepaskan nona Ciok Yan, kami bertiga segera keluar dari sini."   Keadaan sunyi senyap, tak terdengar penyahutan. Bertaut alis Thian-hi, katanya.   "Harap kalian tunggu disini, biar aku naik melihatnya!" -sekali lejit tubuhnya terbang lempang ke atas, baru saja sampai di tengah jalan, tahu-tahu ujung sebilah pedang panjang sudah menutuk dekat di depan mukanya mengarah tengah-tengah kedua alisnya. Thian-hi menyedot napas lalu bersuit nyaring, di tengah udara badannya berputar jumpalitan, sementara pedangnya ikut berputar menyelonong keluar miring menyampok turun terus memapas naik membabat ke tubuh Bian-hok Lojin. Agaknya Bian-hok Lojin juga tidak sungkan-sungkan lagi. sengaja ia hendak jajal Lwekang dan kepandaian Thian-hi yang sejati, begitu kedua batang pedang saling sentuh miring, yang satu masih terapung ditengah udara, sedang yang lain berdiri tegak di atas papan loteng dengan cara yang cukup aneh ini mereka sudah saling mengadu kekuatan dalam. Terdengar Bian-hok Lojin berseru heran, pikirnya.   "bocah ini terlalu takabur, badan masih terapung di tengah udara berani beradu kekuatan dengan Lohu. Soalnya ia tidak tahu bahwa Thian-hi adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, cara adu kekuatan macam ini benar-benar si orang tua minta gebuk dan harus diberi hajaran, seumpama Bu-bing Loni disini dia pun tidak akan berani mengadu kekuatan secara kekerasan begini, apalagi Bian-hok Lojin, meski Lwekangnya tidak lemah, namun mana dia kuasa bertahan diri menghadapi kedahsyatan tenaga Wi-thian-cit-ciat-sek yang tiada taranya ini. Bab 34 Begitu Bian-hok Lojin menyendal pedangnya, sementara Hun Thian-hi masih belum kerahkan tenaga pendamnya, sehingga seluruh tubuhnya ikut terangkat naik. Agaknya Bian-hok Lojin sangat bangga, ia sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menjungkir balikkan tubuh Thian-hi berbareng kirim sebuah tusukan dengan getaran pedangnya yang dahsyat untuk mencelakai jiwa Hun Thian-hi. Thian-hi sudah meraba jalan pikiran Bian-hok Lojin, tapi ia pun segan mengerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menggetar balikkan kekuatan lawan supaya membinasakan jiwanya, seluruh batang pedangnya sudah gemetar dan melengkung, seluruh batang Cu-hong-kiam memancarkan cahaya merah dadu, itulah pertanda bahwa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek sudah dikembangkan menggempur lang-sung ke arah Bian-hok Lojin. Sekonyong-konyong Bian-hok Lojin merasa segulung tenaga besar laksana gugur gunung meluruk ke arah dirinya dari berbagai jurusan yang berlawanan, keruan kejutnya bukan kepalang, baru sekarang ia menyadari kejadian apa yang bakal terjadi akan keselamatan jiwanya. Hawa pedang segera bergolak ditengah udara, tanpa kuasa pedang panjang kena tersedot dan terpental terbang ke tengah udara, terdengarlah suara gemeratak batang pedang itu tergempur putus berantakan ditengah udara menjadi beberapa potong, sementara tubuhnya juga terdorong pontang-panting oleh terjangan tenaga besar yang melandai. Belum lagi Bian-hok Lojin sempat berdiri dan bernapas Cu-hong-kiam di tangan Thian-hi sudah membabat tiba mengarah tenggorokannya. Tampak mata Bian-hok Lojin memancarkan rasa kejut dan ketakutan, tapi dalam kejap lain mendadak ujung mulutnya mengulum senyum kegirangan pula. Thian-hi jadi melengak, bersama itu terasa angin dingin menyampok tiba dari belakangnya, sigap sekali ia menggeser kaki seraya memutar tubuh, ternyata Ce-hun Totiang tengah meluncur datang, keruan ia jadi kaget, ia sadar dirinya telah tertipu lagi, waktu ia membalik lagi sementara Bian-hok Lojin sudah terbang keluar rumah seraya tertawa gelak-gelak. Thian-hi menghardik keras, badannya mencelat mengejar. Disaat badan Bian-hok Lojin melayang turun kebetulan Bun Cu-giok sedang memburu datang, ditengah gelak tawanya Bian-hok Lojin mengebutkan lengan bajunya, jaraknya dengan Bun Cu- giok kira-kira setombak lebih, kontan Bun Cu-giok tergetar sempoyongan oleh tenaga kebutan lengan baju orang, dalam kejap lain si orang tua sudah menghilang pula di dalam rumah. Bagai terbang Hun Thian-hi mengejar dengan ketat, tapi ia tidak berhasil menyandak musuhnya, begitu mengejar masuk ke dalam rumah, keadaan gelap gulita, jejak Bian-hok Lojin sudah menghilang. Mau tak mau ia memuji dalam hati, mimpi juga tak terduga olehnya dikala Ce- hun Totiang mengejar datang malah dia mengunjuk senyum dikulum, daya pikiran dan ketenangan hatinya yang besar ini sungguh harus dipuji, serta merta ia menghela napas gegetun. Kejap lain Ce-hun Totiang juga telah tiba, dengan geregetan ia berkata.   "Saking gugup Pinto sampai berbuat ceroboh, usaha Siauhiap yang mendekati hasil gemilang menjadi berantakan oleh kecerobohanku!" -saking sesal ia banting kaki.   "Totiang tidak perlu salahkan diri sendiri, aku sendiripun belum tentu dapat berhasil mengalahkan dia, cuma ia salah perhitungan mau jajal adu kekuatan sehingga kena kecundang, kecerdikan otaknya betapa pun sangat mengagumkan, meski ia berhasil lolos pun tidak perlu dibuat getun, yang terang dia masih berada di dalam gedung ini! Cepat atau lambat kita akan menemukan dia pula!"   Hari sudah terang tanah, Hun Thian-hi bertiga semalam suntuk ubek2an menjelajahi segala pelosok gedung besar itu tanpa menemukan jelak Bian-hok Lojin, mereka jadi gemes dongkol, kalau Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri tidak mau keluar, mereka tidak mampu berbuat apa-apa.   Sinar matahari menerangi semua pelosok gedung itu, kata Hun Thian-hi kepada Ce-hun Totiang.   "Cuaca terang benderang, kita bisa melihat dan memeriksa.lebih teliti, aku akan periksa sekali lagi, aku tidak percaya masa dia menyembunyikan diri tanpa bisa diketemukan."   Ce-hun Totiang insaf dirinya sudah terluka, ilmu silat Bun Cu-giok terpaut jauh sekali dibanding Thian-hi, mereka cuma bakal merupakan beban saja, maka ia mengangguk setuju, katanya.   "Kalau begitu menyulitkan Siauhiap saja, Siauhiap harus hati-hati jangan sampai dijebak!"   Thian-hi manggut-manggut, di lain saat ia sudah mulai pencariannya dengan teliti.   Di bawah penerangan sinar matahari, keadaan dalam gedung bobrok jelas sekali, kelihatannya seperti sudah ratusan tahun tidak pernah dihuni atau diperbaiki lagi, banyak tempat yang sudah keropos dan mulai gugur.   Thian-hi memasuki sebuah serambi panjang dari serentetan kamar2 yang terdiri dari papan, sekian lama Thian-hi ubek2an dalam rumah papan ini tanpa menemukan sesuatu yang mencurigakan, lambat laun hatinya menjadi kecewa dan putus asa.   Baru saja ia bergerak hendak kembali keluar, tiba-tiba didengarnya suara keresekan yang lirih sekali.   Thian-hi terkejut, cepat ia membalikkan tubuh, dilihatnya si tua Kelelawar sedang berdiri di belakangnya.   Mengawasi orang tua di hadapannya Hun Thian-hi melongo dibuatnya, ia heran kenapa selama ini dirinya ubek2an Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri, sebaliknya kini muncul secara mendadak membuat kaget orang saja.   Sekian lama mereka beradu pandang tanpa bergerak dan tidak bersuara, akhirnya Thian-hi jadi rikuh sendiri, katanya sambil menatap tajam si orang tua di depannya.   "Kau harus segera membebaskan Nona Ciok Yan!"   Pandangan Bian-hok Lojin dingin tanpa perasaan, sahutnya.   "Kaukah Hun Thian-hi yang mulai menanjak namanya di Kangouw akhir2 ini?"   "Ya, aku yang rendah memang Hun Thian-hi."   "Bagus, memang tidak bernama kosong. semalam hampir saja aku terjungkal dalam tanganmu karena kurang hati-hati. Ternyata kau adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek!"   "Kalau kau tahu itulah baik,"   Sahut Thian-hi dengan nada mengancam, suaranya berat.   "Kau bukan kaum keroco yang tidak bernama, kenapa tanpa sebab menculik bini orang!"   "Tiga puluh tahun lamanya belum pernah aku melakukan perbuatan yang mengotori nama dan mendurhakai sanubariku. Meski sudah ratusan manusia yang binasa di tanganku, tapi mereka mati bukan tanpa sebab atau alasan yang cukup setimpal."   "Kalau begitu mohon keteranganmu, apa alasan dan tujuanmu kau menculik nona Ciok Yan?"   "Ciok Yan? Hahaha, siapa yang bernama Ciok Yan hakikatnya aku tidak tahu, tiga puluh tahun lamanya aku belum pernah meninggalkan gedung ini setapakpun, orang yang kukerjain tiada seorang pun yang masih ketinggalan hidup dari mana aku menculik orang? Kau sedang kelakar agaknya!"   "Apa benar-benar?"   Tanya Thian-hi terkejut.   "Memangnya aku orang yang suka ngobrol?"   Jengek Bian-hok Lojin kurang senang.   Waktu Thian-hi kebingungan, tiba-tiba didengarnya derap langkah mendatangi dari sebelah belakang, tahu ia bahwa Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah menyusul tiba.   Setelah mendengar percakapan mereka.   Timbul pertanyaan dalam benak Thian-hi, ia berpaling hendak bertanya, tapi dilihatnya Ce-hun Totiang sudah menerjang masuk langsung menubruk ke arah Bian-hok Lojin.   "Totiang nanti dulu!"   Teriak Thian-hi.   Baru saja suaranya lenyap lantas dilihatnya air muka Ce-hun Totiang rada ganjil, kontan ia mendapat firasat jelek, seolah-olah sesuatu peristiwa bakal terjadi, cepat ia memutar tubuh lagi, tapi dalam sekejap itu bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap tak keruan parah.   Ce-hun Totiang melesat kesamping menghindari rintangan sebelah tangan Thian-hi terus menggempur dinding papan disebelah depan sana.   "Blum!"   Seluruh rumah menjadi hureg hampir ambruk, debu beterbangan memenuhi seluruh rumah.   Tapi dinding papan yang kena pukulan itu sedikitpun tidak bergeming ambrol.   Bercekat hati Thian-hi, ia tahu dikala Ce-hun Totiang menerjang masuk ke dalam rumah ini kebetulan melihat Bian-hok Lojin melarikan diri kebalik dinding papan ini, maka ia mengejar datang sambil mengirim pukulan, tak terduga gerak gerik Bian-hok Lojin jauh lebih cekatan.   Tidak heran sekian lama tadi ia mencari ubek2kan tanpa menemukan jejak Bian-hok Lojin, kiranya rumah ini ada dipasang alat rahasia.   Tapi yang peniting sekarang bukan cepat-cepat menyusul atau menemukan jejak musuh, ia harus mencari tahu dulu duduk perkara yang sebenar- benarnya.   Maka tanyanya kepada Ce-hun Totiang.   "Cian-pwe, tadi Bian-hok Lojin sudah bicara dengan Wanpwe, ada berbagai persoalan aku mohon penjelasan secara terperinci!"   Bian-hok Lojin berhasil lari, hati Ce-hun jadi gegetun dan kecewa, kini mendengar pertanyaan Thian-hi lagi, ia jadi terkejut dan tegang, entah untuk persoalan apa. Dengan penuh tanda tanya ia pandang Thian-hi, katanya.   "Ada urusan apa silakan Siau-hiap bicara saja?"   "Totiang, aku ingin ketegasan, apakah benar-benar nona Ciok diculik oleh Bian-hok Lojin?"   Agaknya Ce-hun tidak menduga Thian-hi bakal mengajukan pertanyaan ini, dengan kurang mengerti ia balas bertanya.   "Benar-benar! Adakah sesuatu yang kurang beres?"   "Dari mana Totiang bisa tahu bahwa penculik itu adalah Bian-hok Lojin?"   Ce-hun Totiang merasa urusan kurang beres, nada pertanyaan Thian-hi sudah mempertegas dugaannya bahwa peristiwa ini jauh menyimpang dari dugaan semula, sejenak ia berpikir lalu sahutnya.   "Kami mendapat tahu dari penuturan Hoan-hu popo sebelum pingsan!"   "Tadi Bian-hok Lojin berkata padaku, hakikatnya ia tidak tahu siapakah nona Ciok itu, ia tidak pernah menculik orang. Tiga puluh tahun lamanya belum pernah ia meninggalkan gedung ini setapak pun."   Ce-hun Totiang melengak, sekian lama terlongong tak bicara. Sebaliknya Bun Cu-giok menjadi gusar dan uring-uringan, teriaknya.   "Dia bohong!"   "Cu-giok!"   Cegah Ce-hun, matanya menatap tajam pada Bun Cu-giok. Bun Cu-giok menjadi lemas dan tertunduk, air mata mengalir membasahi pipinya.   "Wanpwe sendiri masih kabur akan duduk persoalan ini yang sebenar-benarnya, tapi dari raut mukanya waktu bicara aku yakin dia tidak membual, tapi bagaimana juga kupikir pasti urusan ini ada sangkut pautnya dengan dia. Jejak nona Ciok tentu dapat kita temukan dari keterangannya, untuk ini kalian tidak usah kuatir!"   "Sungguh aku tidak menduga urusan bisa berlarut dan ruwet, aku cuma mengharap dapat menemukan Ciok Yan saja!"   "Lebih baik Totiang dan saudara Cu-giok tetap diluar saja, biar aku sendiri mencari Bian-hok Lojin.   "Tidak"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sahut Ce-hun tegas.   "ini adalah lurusan perguruan kami, membikin Siauhiap ikut bercapai lelah kami sudah rikuh dan tak enak hati, kalau Siauhiap boleh meski ilmu silat kami terlalu rendah. kami ingin ikut menerjang ke dalam lebih lanjut!"   "Kenapa Totiang bicara begitu sungkan, aku cuma kuatir luka-luka Totiang yang perlu perawatan, gerak-gerik kurang leluasa lagi, kalau Totiang memang ingin meluruk ke dalam itulah memang amat baik!"   Thian-hi melolos Cu-hong-kiam, tenaga dikerahkan terus menusuk ke dalam dinding papan, begitu ditekan pada ujung pedang pelan-pelan lalu menggores telak, pedangnya menusuk masuk seketika Thian-hi dibuat terkejut heran, rumah papan ini kelihatannya sudah keropos dan hampir roboh kenyataan masih sedemikian kokoh dan kuat serta keras sekali dindingnya, mengandal ketajaman Cu-hong-kiam sudah mengerahkan setaker tenaganya lagi, hampir saja pedangnya tidak berhasil menusuk masuk.   Dimana ia gerakkan tangannya, Cu-hong-kiam menggores sebuah lingkaran bundar sebesar mulut sumur akhirnya dengan sedikit tenaga sendalaan seketika papan yang tergores bundar itu jatuh di tanah mengeluarkan suara kerontangan yang nyaring, kiranya itulah papan hitam yang terbuat dari logam keras.   Thian-hi melengak heran, waktu diraba tangannya menyentuh dinding keras yang dingin, kiranya terbuat dari papan besi, tak heran pukulan Ce-hun Totiang yang dahsyat tadi tidak membuatnya cebol berantakkan.   Dilain kejap satu persatu mereka sudah masuk melewati lobang bundar itu, Thian-hi berada paling depan sambil jalan ia celingukan ke kanan kiri, kiranya dalam lobang ini ada ruangan lain, terdapat tiga terowongan bersilang yang menembus ke tempat lain entah kemana! Thian-hi meneliti sekitarnya lalu memilih jalan tengah, didapati oleh Ce-hun dan Cu-giok bahwa sepanjang jalan lorong ini dibuat dari dinding besi semua, hati mereka jadi gundah dan was-was, selama mereka masuk ke dalam rumah gedung ini, Ban-hok Lojin selalu main bokong dan bertahan, belum pernah melancarkan serangan yang sesungguhnya kepada mereka, entah si orang tua apa benar-benar mempunyai kepandaian sejati.   Jalan punya jalan mendadak Bian-hok Lojin muncul lagi disebuah tikungan tak jauh di depan sana, matanya berapi-api memandang ke arah mereka.   desisnya geram.   "Berani kalian meluruk sedemikian jauh kesini!"   Bun Cu-giok menghardik keras terus menerjang ke arah musuh. Thian-hi tidak menduga Bun Cu-giok berlaku begitu gegabah, raihan tangannya luput, sementara Ce-hun Totiang juga berseru.   "Cu-giok!"   Tapi Bun Cu-giok sudah seperti serigala kelaparan terus menubruk dengan kalap, Thian-hi mengeluh celaka, sebat sekali ia melompat maju mengejar, Bian-hok Lojin mandah tersenyum dingin, kedua telapak tangannya dikembangkan lalu ditepukkan pula bersama, segulung tenaga kontan menyongsong kedada Bun Cu-giok.   Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok, dengan menggembor sekeras-kerasnya ia dorong kedua telapak tangan balas menyerang.   Thian-hi jadi keripukan lekas-lekas sebelah tangannya mengebas berbareng tangan kanan bergerak miring memotong ke depan, sekaligus ia punahkan terjangan dua tenaga yang bakal saling bentur, sementara tubuhnya ikut menubruk maju pula, tapi dalam kejap itu pula setelah ia berdiri tegak bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap entah kemana.   Bun Cu-giok menjublek kesima, Ce-hun mengejar tiba, katanya menghela napas ringan.   "Hun- siauhiap untung kau keburu menolong! Bikin susah kau pula!"-lalu ia geleng-geleng kepala.   "Tak menjadi soal, mari kita kejar ke depan!"   Sahut Thian-hi sambil mendahului lari ke depan.   Sesal dan haru pula Bun Cu-giok dibuatnya, sanubarinya terketuk dan hampa, sesaat ia terlongong tak bersuara.   Urusan mengenai keselamatan istrinya, bukan saja ia main gagah2an, celakanya bukan saja tidak berhasil malah lebih malu lagi, Bian-hok Lojin berkesempatan melarikan diri pula.   Entah berapa panjang mereka menyelusuri lorong gelap tiba-tiba di depan sana tampak cahaya terang, sebuah gedung besar yang lain bentuknya tiba-tiba menjulang tinggi dihadapan.   mereka, Hun Thian-hi menghentikan langkah, hati-hati ia maju beberapa langkah, seraya melongok ke dalam.   gedung yang terbuka lebar, seketika ia berjingkrak kaget dibuatnya.   Seorang orang tua berambut uban tengah duduk samadi ditengah pendopo dalam gedung itu, tangan kanannya menyekal sebilah pedang panjang, dimana tangan kanannya bergerak ke atas, beruntun ia obat-abitkan pedangnya ditengah udara sebanyak puluhan jurus dengan tipu-tipu yang aneh dan menakjupkan, setiap kilasan sinar pedangnya mengeluarkan deru angin yang santer tanda betapa besar tenaga tabasan pedang itu, begitu cepat puluhan jurus itu dilancarkan, tahu-tahu dalam kejap lain sudah ditarik kembali, terlihat mukanya berseri-seri tawa, lalu menghela napas pula.   Terkejut dan bertanya-tanya benak Thian-hi, di tempat yang tersembunyi ini sungguh tidak kira ia menjumpai seorang ahli pedang yang begitu lihay, entah siapakah si orang tua berambut uban ini, kepandaian Lwekangnya yang hebat itu kiranya tidak di bawah kemampuan Bian-hok Lojin! Terutama permainan ilmu pedangnya yang aneh dan sulit diraba alirannya itu sungguh menakjupkan.   Berulang kali si orang tua mengulangi latihannya, akhirnya ia letakkan pedangnya di pangkuannya lalu memejamkan mata.   Tiba-tiba Bian-hok Lojin muncul dari pintu sebelah samping sana, katanya sambil memandang ke arah mereka.   "Kalian sudah berani kemari, kenapa tidak keluar unjukan diri?"   Thian-hi rada ragu-ragu, akhirnya melangkah keluar dan masuk ke dalam gedung itu. Si orang tua beruban membuka mata mengamati Thian-hi, katanya kalem.   "Apa maksud kalian datang kemari?" mendadak sorot matanya berubah setajam ujung pisau. Dari samping segera Bian-hok Lojin menanggapi dengan tersenyum ejek.   "Untuk apa? Pasti untuk barang-barang itulah. Bocah itu mengagulkan diri sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, anggapnya ia tanpa tandingan dikolong langit, berani main terjang di tempat terlarang ini, masih pura-pura gunakan alasan menuduh aku menculik orangnya!"   "Bohong!"   Tak tahan lagi Bun Cu-giok membentak gusar. semprotnya.   "Terang kau yang menculik isteriku. masih pura-pura mungkir. Kami menyusul dari tempat jauh di gurun utara kemari, masa kami kau anggap kelakar belaka?"   "Kalian menyusul dari gurun utara?"   Si orang tua beruban menegas dengan penuh perhatian.   "Silakan kau tanya dia saja!"   Sahut Bun Cu-giok sambil menuding Bian-hok Lojin.   "Begitu?"   Seringai Bian-hok Lojin.   "Baik, tak peduli kalian sengaja meluruk kemari atau cuma kebetulan tidak menjadi soal, yang terang kalian sudah sampai disini, demi Suhengku ini, jangan harap kahan bertiga bisa keluar dengan nyawa masih hidup!"   "Sute!"   Ujar si orang tua beruban.   "kali ini tidak perlu kau bersitegang leher, kalau rekaanku tidak meleset, tuduhan mereka memang cukup beralasan!"   "Apa!"   Teriak Bian-hok Lojin.   "Suheng jadi kau anggap akulah yang menculik gadis itu?"   "Bukan begitu,"   Sahut si orang tua beruban sambil geleng kepala.   "Gadis itu memang diculik orang kalau rabaanku benar-benar, tamu agung dari gurun besar tentu sudah menyelundup ke dalam gedung kita ini!"   Mendengar uraian si orang tua beruban bercekat hati Ce-hun, teringat olehnya; mungkinkah si orang tua beruban ini adalah Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar yang kenamaan itu? Menurut berita yang pernah didengarnya dulu Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar merupakan jago silat nomor satu dari luar perbatasan pada jamannia dulu, tapi karena ia memiliki sebilah senjata pusaka yang menjadi incaran dari berbagai golongan sesat akhirnya ia dikepung dan dikeroyok puluhan musuhnya, sejak itu jejaknya menghilang peristiwa ini sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, tak kira, hari ini ia bersua di tempat ini. Baru saja suara si orang tua beruban lenyap, orang laki-laki pertengahan umur yang mengenakan pakaian sastrawan tiba-tiba muncul dari balik gedung sebelah lain, tangan kirinya mengempit Ciok Yan yang sedang dicari ubek2an itu.   Seketika Bian-hok Lojin menggeram gusar, serentak ia melolos pedang.   Bun Cu-giok juga sudah bergerak hendak melabrak kepada laki-laki pertengahan umur itu.   Keburu sastrawan itu berkata.   "Bocah gendeng, istrimu berada ditanganku, terima kasih kuucapkan kau telah bantu aku mendatangkan seorang pembantu yang berkepandaian tinggi!"   "Cay Siu!"   Ujar si orang tua beruban dengan nada rendah.   "Akhirnya kau datang juga!"   Ce-hun Totiang sendiri sudah lama bersemajam di daerah gurun utara, bagitu mendengar nama Cay Siu disebut seketika berubah air mukanya.   Cay Siu, Leng-bin-siu-su Cay Siu.   Dulu Cay Siu dan Pek Kong-liang merupakan dua tokoh tandingan yang paling lihay dari kalangan putih dan hitam, masing-masing tidak mencocoki satu sama lain, mereka sudah bentrok berulang kali, kaum persilatan umumnya mengira mereka sudah sama-sama mati, tak kira ke-dua2nya muncul bersama di tempat ini.   Terdengar Leng-bin-siu-su Cay Siu tertawa sinis, sahutnya.   "Benar-benar! Dulu aku ikut keroyok kau, untung kau dapat melarikan diri dan belum modar sampai sekarang. Hari ini kebetulan hadir pula ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek disini, maka Kiam~hoan-kiam-boh milikmu itu harus kau serahkan kepadaku!"   Mencelos hati Thian-hi, sungguh licik dan ganas pula hati sastrawan bermuka dingin ini.   cara kerjanya cukup keji pula, dengan meringkus Ciok Yan, sebagai sandera ia mengancam kami bertiga untuk beKerja bagi kepentingannya.   Dengan penuh kebanggaan Leng-bin-siu-su angkit alis.   katanya kepada Hun Thian-hi.   "Bagaimana? kalian bertiga bantu aku, setelah Kiam-hoan-kiam-boh itu dapat kurebut, gadis ini segera kubebaskan!"   "Cay Siu, sungguh picik dan rendah amat perbuatanmu ini!"   Demikian maki si orang tua.   "Picik dan rendah?"   Leng-bin-siu-su menyeringai sadis.   "Saudara Pek yang mulia apakah tidak keterlaluan kau maki aku! Ini kan cuma suatu usaha demi mencapai tujuan belaka."   "Kau bicara begitu pengecut dan hina."   Demikian timbrung Thian-hi. jengeknya lebih lanjut.   "Kau bukan tandingannya bukan?"   "Siapa tahu mana yang lebih unggul?"   Demikian sahut Cay Siu dengan seringainya.   "Mungkin kau belum pernah dengar nama besarku, lihatlah sepasang kaki Sin-heng-siu Pek Kong-liang sudah buntung, mengandal apa dia berani turun tangan dengan aku. sayang seorang diri aku tidak bisa membagi tubuh untuk melawan dua musuh!"   "Sedemikian sombong kau mengandal lidahmu, seolah-olah mereka berdua sudah menjadi mangsa makan perutmu. Apakah kau tahu sudikah kami bantu kau?"   Cay Siu pandang Hun Thian-hi lekat-lekat, katanya tawar.   "Kau berani tidak tunduk pada perintahku."   "Pikiranmu terlalu jenaka, kalau kejadian bisa terjadi menurut jalan pikiranmu, jangan karena kau menawan orang kami sebagai sandera lantas mau main perintah dan dapat menguasai Bulim, kalau begitu anggapanimu kenapa pula kau harus merebut Kim-hoan-kiam-boh itu?"   Berubah paras putih Cay Siu. tapi sekilas saja wajahnya berubah wajar pula, serunya.   "Apapun yang kau katakan tidak berguna lagi, kalau hari ini kau tidak bisa merebut Kim-hoa-kiam-boh itu, gadis ini bakal mampus dihadapan kalian!"   Amarah Bun Cu-giok kelihatannya sudah sukar berunding lagi, berulang kali ia sudah bergerak hendak melabrak musuh, tapi selalu dapat ditekan oleh Ce-hun Totiang, sebenar-benarnyalah jantung Ce-hun Totiang juga kebat-kebit, bila Hum Thian-hi tidak mampu menghadapi persoalan yang gawat ini, jiwa Ciok Yan pasti celaka, bagaimana juga mereka tidak mungkin bantu Cay Siu.   tapi juga serba sulit untuk menggunakan kekerasan.   "Jangan kau main gertak! Kami tidak perlu gentar!"   Sahut Thian-hi dengan suara tawar, diam- diam ia sudah menerawang situasi yang terjepit ini, terpikir olehnya suatu cara yang cukup sempurna, ia harus berusaha untuk mengendalikan situasi menjadi lebih tenang.    Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini