Badik Buntung 34
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 34
Badik Buntung Karya dari Gkh Dalam berkata-kata diam-diam ia sudah kerahkan Pan-yok-hian-kang, tiba-tiba sebelah tangannya mencomot kedinding yang keras itu, dimana jari jemarinya mencengkeram dinding besi yang keras itu seketika menjadi remuk berhamburan, seperti meremas lempung saja, disusul ia gosokkan kedua telapak tangannya, secomiot besi ditangannya itu hancur lebur menjadi bubuk besi. Cay Siu dan lain-lain berubah pucat melihat demontrasi kekuatan yang hebat sekali, tiada seorang pun yang hadir menyangka bahwa Thian-hi membekali ilmu sakti yang tiada taranya ini. Thian-hi menenangkan hati dan mengatur pernapasan sebentar lalu berkata kepada Leng-bin- siu-su Cay Siu. "Jangan kau lupa, akulah ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek." Tambah terkejut Cay Siu dibuatnya, nada Thian-hi secara tidak langsung balas mengancam padannya, betapapun ia tidak mandah diancam semena-mena, mengandal Lwekang Thian-hi yang mengejutkan itu, ditambah permainan pedang Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti pula, para hadirin tiada seorangpun yang menjadi tandingannya, menang atau kalah jelas tergenggam ditangannya. Cay Siu berusaha mengendalikan rasa Kejut dan takutnya, dengan tertawa dibuat-buat ia berkata. "Pembantu yang kuperlukan justru orang macam kau yang punya kepandaian tinggi, kalau kau yang menghadapi orang tua she Pek itu, persoalan pasti tidak akan berbuntut panjang." "Jadi ada persoalan kalau menghadapi kau?" "Kau berani!" Bentak Cay Siu dengan muka pucat. "Darimana kau tahu aku tidak berani. Hari ini terhitung kau masuk ke dalam jala dan menempuh jalan buntu, seluruh hadirin kalau bekerja sama, meski ditambah lagi seorang Leng- bin-siu-su juga bakal mampus dibuatnya!" Semakin pucat muka Cay Siu, ancamnya. "Sedikit kau berani bergerak, jiwa Ciok Yan segera kutamatkan!" "Eh, kenapa sih kau Leng-bin-siu-su! Sudah ketakutan ya?" Demikian sindir Bian-hok Lojin. "Sayang sampai hari ini luka-lukamu dulu baru sembuh, tapi begitu muncul lantas ketemu batunya." "Urusan masa begitu gampang sesuai dengan bacotmu," Demikian balas jengek Cay Siu. "Persoalan Kim-hoan-kiam-boh itu hari ini harus dibikin penyelesaian." -lalu ia berpaling ke arah Thian-hi dan sambungnya. "Sekarang juga kau harus turun tangan atau jiwa Ciok Yan segera kubikin tamat!" Meski terkejut Thian-hi masih bisa berlaku tenang, sahutnya tertawa wajar. "Cukup sedetik saja jiwanya melayang, maka jiwamu juga segera akan menyusul ke akhirat. Cobalah kau pikir sekali lagi lebih masak, terserah bagaimana keputusanmu nanti!" Selamanya belum pernah Leng-bin-siu-su Cay Siu dibikin terdesak serba runyam begini, hatinya menjadi gundah pikirnya. "Apakah bantuan yang kupancing kemari dengan daya upaya yang memeras keringat ini menjadi hampa sama sekali?" lalu terpikir pula. "Dengan jerih payah kuculik gadis ini, apakah harus kuserahkan kembali begitu saja? Tidak mungkin terjadi!" pikir punya pikir gengsinya merasa terpukul, ia tidak percaya Hun Thian-hi punya nyali begitu besar, cepat ia angkat sebelah tangannya serta mengancam kepada Hun Thian-hi. "Apapun yang kau ucapkan tiada gunanya lagi, orang ini berada di tanganku, hidup atau mati akulah yang menentukan, sebelum aku menghitung sampai sepuluh kalau kau tidak turun tangan menggasak bangsat she Pek itu, akan kuhabisi jiwanya!" Lalu ia mulai menghitung. "Satu. dua. tiga." Thian-hi tidak menduga Cay Siu berani memilih jalan keras, kalau ancamannya ini berani dilaksanakan, pihak sendiri menjadi terdesak malah, biji matanya dipicingkan ia mencari akal, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah menolong dulu Ciok Yan dari belenggu Cay Siu, urusan lain gampang diselesaikan. Kalau Hun Thian-hi kebat-kebit, adalah Bian-hok Lojin lebih gelisah, mendadak ia bersuit panjang. "sreng!" Pedangnya terlolos keluar badannya lantas mencelat naik ke tengah udara, dimana sinar pedangnya terayun ia membacok dan menusuk, sekaligus ia lancarkan tiga serangan pedang yang hebat kepada Leng-bin-siu-su. Leng-bin-siu-su tertawa gelak-gelak, dimana tangannya membalik sebat sekali iapun sudah melolos pedangnya terus mencelat terbang pula memapak ditengah udara. Bian-hok Lojin berada di sebelah atas menyerang dengan musuh. Hun Thian-hi merasa takjup juga melihat permainan pedang kedua musuh yang sallng seiang itu, begitu lincah dan cukup ganas pula, selayang pandang sukar dinilai siapa lebih unggul dan asor. Tapi posisi Bian-hok Lojin lebih menguntungkan karena menyerang dari sebeiah atas, sehingga gebrak pertama ini sama kuat, jadi kalau dinilai secara wajar, dengan posisi yang lebih menguntungkan tapi ia tidak berhasil berada di atas angin, ini berarti ia sudah kalah seurat. Kejap lain mereka sudah melompat mundur dan hinggap di tanah pula. Tanpa menanti Bian- hok Lojin menyerang lebih lanjut Leng-bin-siu-su membentak ke arah Hun Thian-hi. "Lekas turun tangan, kau dengar tidak?" "Begitu saja kau menghendaki aku turun tangan?" Thian-hi balas bertanya dengan suara datar. "Gampang saja bagi aku, cuma setelah mendapatkah Kim-hoan-kiam-boh itu lalu bagaimanaa penyelesaiannya? Kau inginkan Kiam-boh Wi-thian-cit-ciat-sek sekalian?" Sementara itu Bian-hok Lojin sudah melabrak pula kepada Leng-bin-siu-su, ia tahu persoalan ini tidak gampang diselesaikan, dalam waktu singkat ini tak mungkin tersimpul cara penyelesaian yang sempurna oleh Thian-hi. Melihat Bian-hok Lojin menerjang pula, Leng-bin-siu-su menjadi gusar, bentaknya. "Orang tua keparat, ingin modar kau!" pedang panjangnya mendadak berputar memuntir laksana lembayung yang melingkar2 dengan cahaya yang menyala. "trang!" Cukup sekali gentak ia berhasil menggetar lepas pedang panjang Bian-hok Lojin dan menancap di atas belandar. Si orang tua berubah tertawa dingin, selanya. "Selama tiga puluh tahun ini kiranya kau tidak buang-buang waktu, jurus Hwi-hong-kian-jit (lembayung terbang menggulung matahari) yang merupakan kebanggaanmu ini kiranya berhasil kau latih dengan sempurna!" Leng-bin-siu-su menyeringai bangga, sindirnya dengan sinis kepada Bian-hok Lojin. "Bagaimana, masih ingin coba-coba?" Diam-diam terkejut juga Hun Thian-hi melihat permainan pedang dengan jurus Hwi-hong-kian- jit yang hebat itu. Kali ini Leng-bin-siu-su menghadapi Hun Thian-hi pula, katanya. "Jangan kau kira Wi-thian- cit~ciat-sekmu itu cukup berharga dan menjadi rebutan semua insan persilatan, ketahuilah meski ilmu pedangmu itu tinggi dan hebat, Kim-hoan-kiam-boh ini pun bukan kepalang lihaynya. Kim- hoan itu sendiri dapat mengobati segala racun. kau kira aku sudi mengincar Wi-thian-cit-ciat- sekmu itu?" Thian-hi tertawa besar, ujamja. "Siapa tahu obrolanmu ini benar-benar atau tidak, Wi-thian-cit- ciat-sek merupakan pelajaran pedang tingkat tinggi yang tiada bandingannya, masa kau rela kehilangan kesempatan yang baik ini?" "Sudah diangan cerewet." Sentak Leng-bin-siu-su. "Apa yang kuperintahkan harus kau lakukan, kalau tidak diangan kau salahkan aku tidak sungkan-sungkan lagi!" Thian-hi menjadi naik darah, ancamnya. "Berani kau menyentuh seujung rambutnya akan segera kubuat badanmu dedel dowel." Gagah dan penuh wibawa pula kata-katanya yang tandas itu, pelan-pelan ia pun sudah melolos Cu-hong-kiam. Mimpi pun Lengbin-siu-su tidak mengira reaksi Hun Thian-hi begitu ketus, melihat sikap Thian- hi yang berapi-api, sesaat ia jadi kesima. dan mematung sekian saat, mau tidak mau ia harus berpikir kembali dua belas kali menghadapi sikap keras Hun Thian-hi ini, bila ia sembarangan bergerak bukan mustahil jiwanya bakal segera melayang di bawah ujung pedang Hun Thian-hi! Sin-heng-siu Pek Kong-liang memperdengarkan gelak tawa yang terkial-kial, serunya kepada Hun Thian-hi. "Hun-siauhiap harap kendalikan dulu amarahmu!" Leng-bin-siu-su berkesempatan mengendalikan ketenangannya. dengan kebencian yang meluap-luap dia main ancam lagi. "Aku tidak percaya kau tidak akan tunduk padaku, jikalau Ciok Yan mampus, cara bagaimana kau ada muka bertemu dengan orang-orang gagah di seluruh kolong langit?" Thian-hi pun tidak mau kalah gertak, dengan lantang ia balas menyindir. "Aku cuma, merasa kalau aku bantu kau merebut Kim-hoan-kiam-boh itu, cara bagaimana aku harus memberi keadilan terhadap seluruh manusia dikolong langit ini!" Sin-heng-siu Pek Kong-liang menghela napas panjang, katanya kepada Hun Thian-hi. "Siauhiap sambutlah ini!" Berbareng ia sambitkan tangan kanannya, dua butir bola emas sebesar telur angsa melesat terbang dari telapak tangannya langsung terbang ke arah Thian-hi. Semula Thian-hi tercengang, namun dalam sekilas itu lantas ia paham tentu bola emas yang ingin direbut Leng-bin-siu-su itulah, cepat ia ulur tangan kirinya meraih ketangah udara. Terdengar Leng-bin-siu-su menggertak gusar, tiba-tiba tubuhnya mencelat secepat kilat menubruk ke arah Thian-hi, berbareng pedang panjangnya menusuk dan menyontek kebawah ketiak kiri Hun Thian-hi. Begitu memgulurkan tangan kiri Thian-hi berhasil menyambut kedua bola emas itu, berbareng ia rasakan angin tajam sudah menerpa tiba, keruan bercekat hatinya secara reflek kedua kakinya menggeser kedudukan melesat kesamping, tepat ia meluputkan diri dari tusukan pedang musuh yang sangat ganas. Sudah tentu Leng-bin-siu-su tidak menyia-nyiakan kesempatan yang bagus dalam inisiatif penyerangan ini, lagi-lagi pedang panjangnya bergerak lebih lanjut, begitu membalik sinar pedangnya memetakan kuntum demi kuntum titik sinar kemilau yang merabu keseluruh badan Hun Thian-hi tujuannya hendak merebut bola emas yang digenggam ditangan kiri Thian-hi. Terdengar Bian-hok Lojin menggertak nyaring, sebat sekali ia meluruk pula ke dalam gelanggang pertempuran, kedua telapak tangannya menggablok dan menghantam dari dua jurusan. Baru saja Thian-hi berhasil menghindari tabasan pedang Leng-bin-siu-su, jurus kedua serangan lawan tahu-tahu sudah menggasak tiba pula, serangan jurus kedua ini jauh lebih keji ganas dan mematikan. Amarah Hun Thian-hi sudah berkobar, terdengar ia menggeram murka, laksana kilat mendadak badannya melambung tinggi ke tengah angkasa, disaat tubuhnya melesat keataa kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan Leng-bin-siu-su. jurus ini dia lancarkan kepada musuh sehingga pihak lawan berbalik terdesak harus membela diri lebih dulu. Sementara kaki kirinya pun tidak tinggal diam mendepak kemuka orang. Cukup dengan menekuk dengkul dan menundukkan kepala Leng-bin-siu-su menghindari mukanya dari tendangan kaki lawan, berbareng pedangnya diputar untuk membabat kedua kaki Thian-hi. Hun Thian-hi sudah memperhitungkan jurus balasan Leng-bin-siu-su ini, sejak tadi ia sudah siaga. sementara pedang ditangannya pun tidak tinggal diam, laksana seutas sabuk panjang tiba- tiba pedangnya menukik turun menyapu kemuka Leng-bin-siu-su pula, maka terdengarlah lengking panjang laksana pekik naga, kontan pedang panjang Leng-bin-siu-su kena dipapas kutung menjadi dua potong, dimana lembayung merah melandai tiba pula, tersipu-sipu Leng-bin- siu-su jejakkan kedua kakinya mencelat mundur sejauh mungkin. meski selamat tak urung mukanya pucat pias, terang ia sudah jeri. Dalam pada itu serangan Bian-hok Lojin kebetulan sudah menghantam tiba pula dari sebelah belakang. menghadapi serangan bokongan yang dahsyat dari arah belakang ini Leng-bin-Siu-su memutar badan secepat gangsingan terus menerobos miring Ke arah kiri, untung ia berhasil menerobos lewat dari gencetan kilasan ujung pedang dan samberan pukulan telapak tangan. Meski jiwanya selamat, ujung pedang Thian-hi toh berhasil memapas kutung lengan bajunya. Dalam pada itu. menyusul Leng-bin-siu-su menjejakkan kedua kakinya menjulang tinggi kebetulan mencapai pedang Bian-hok Lojin yang menancap di atas belandar, waktu ia meluncur turun lagi sambil menenteng pedang kebetulan ia hinggap pula ditempatnya semula. Dengan beringas ia awasi Thian-hi. Serangan, jotos dan samberan pedang ketiga lawan ini terjadi dalam waktu yang teramat singkat Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang yang menonton disamping sampai berkeringat dingin dan berdebur jantungnya, baru pertama kali seumur hidup mereka menyaksikan pertempuran yang begitu dahsyat begitu mempesonakan dan tegang. Si-heng-siu Pek Kong-liang sijago kawakan dari gurun utara pun sulit menekan perasaan hatinya yang tegang dan takjup, alisnya yang putih bertaut dalam. Adalah Bian-hok Lojin mau tidak mau harus mengakui kelihayan dan takjup pada Leng-bin-siu-Su yang berhasil meluputkan diri dari gencetan dua pukulan tingan dan sejurus serangan pedang yang hebat itu, setelah berputar-putar menjauh dan berdiri tegak lagi dengan waspada ia awasi Leng-bin-siu-su, berjaga- jaga menghadapi sergapan balasan musuh yang jahat ini. Sementara Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun, tak urung hatinya heran dan terperanjat juga, jurus pedangnya tadi meski lanjutan dari permainannya yang berhasil memapas kutung pedang lawan, tapi perbawanya bukan olah-olah hebatnya. Dari hasil adu kepandaian segebrak ini Thian-hi dapat menilai bahwa kepandaian Lengbin-siu-su agaknya tidak di bawah Tok-sim-sin-mo, Bahwa sergapannya tidak membawa hasil malah jiwa yang hampir saja dikorbankan, sunggun membuat Leng-bin-siu-su giusar tak terperikan. Saking marah mukanya sampai pucat bersemu hijau dan berdiri mematung. Ia harus memeras otak cara, bagaimana menghadapi Hun Thian-hi lebih lanjut. Sin-heng-siu Pek Kong-liang berkata kalem kepada Leng-bin-siu-su Cay Siu. "Kau tidak perlu menyebul jenggot mendelikkan mata, diantara kita tiada seorang pun yang menjadi tandingannya, menurut pendapatku kau terima takluk saja!" Leng-bin-isau-su Cay Siu menyeringai ejek, belum sempat ia membuka suara Pek Kong-liang sudah berkata pula. "Aku punya cara penyelesaian yang lebih menguntungkan bagi kau, bukankah kau pandang rendah diriku? Sekarang tibalah giliran kita untuk menyelesaikan urusan ini sendiri, kita tentukan satu babak pertempuran, pihak yang menang boleh mengambil Kim-hoankiam-boh itu bagaimana pendapatmu?" Leng-bin-siu-su menyeringai iblis, katanya sambil menetap tadiam ke arah Pek Kong-liang. "Kau bukan berkelakar bukan!" Agaknya ia belum yakin akan kebenar-benaran kata-kata Pek Kong- liang. Pek Kong-liang tertawa besar, ujarnya. "Kapan kau pernah melihat aku guyon-guyon, bicara terus terang mengandal kepandaian permainan pedangmu yang tidak berarti itu, tidak kupandang sebelah mataku, hayolah maju, kau tak usah kuatir!" "Jangan kau menyesal dan pungkir janji ya?" Leng-bin-siu-su menegas. "Pelajaran ilmu dari bola emas itu sudah tercetak dalam otakku, kenapa aku harus takut pada kau. Besarkan nyalimu, cuma aku kuatir kaulah nanti yang bakal terjungkal!" Mau tak mau termakan juga kata-kata Pek Kong-liang oleh Cay Siu. pikirnya. "Bola emas itu sudah tiga puluh tahun digembol olehnya, bukan mustahil dia sudah apal diluar kepala seluruh pelajaran silat itu. Aku harus waspada!" Menganalisa situasi yang dihadapi sekarang, pihak Hun Thian-hi jelas tidak kena digertak, kedua kaki Pek Kong-liang sudah cacat, seumpama ilmu silatnya maju berlipat ganda, perbawanya juga pasti banyak berkurang. Apalagi dirinya pun tidak pernah berhenti berlatih selama tiga puluh tahun terakhir ini, meskipun karena luka-lukanya dulu sehingga latihannya belum mencapai titik kesempurnaannya, tapi ia yakin bahwa hasil yang dicapainya pun cukup hebat, menghadapi seorang lawan yang cacat sepasang kakinya kiranya cukup berkelebihan bekal ilmu silatnya, dengan keyakinan yang teguh ini berlipat ganda pula keberaniannya!. Sambil menengadah Leng-bin-siu-su bergelak tawa. serunya. "Begitupun baik, urusan kami biar kami berdua yang menyelesaikan sendiri, tak perlu orang lain ikut campur dalam penyelesaian urusan ini. Kau sudah mempelajari ilmu dalam bola emas itu, begitupun tiada jeleknya, supaya orang tidak menyebar kabar angin mengatakan aku menghina seorang yang sudah buntung kakinya." Lalu ia, tertawa lebih keras lagi. Mendengar Leng-bin-siu-su bernada menghina, tak tahan bergelora amarah Pek Kong-liang, sambil mengeluarkan pedangnya ia menantang. "Jangan cerewet! Silakan mulai!" Leng-bin-siu-su terkial-kial, tawanya semakin menggila bernada dingin mengandung pada menghina, Ciok Yan yang dikempit ditangan kirinya tidak mau dilepaskan, begitu pedang panjangnya bergerak langsung ia menyerang kepada Pek Kong-liang. Diam-diam Hun Thian-hi kuatir bagi keselamatan Pek Kong-liang. tadi ia sudah mengukur sampai dimana tingkat kepandaian Leng-bin-siu-su, Sin-heng-su Pek Kong-liang sudah buntung kedua kakinya. untuk menghadapi rangsakan pedang lawan yang begitu hebat rasanya tidaklah mudah. Gebrak yang menentukan menang dan kalah, pertaruhan jiwa antara hidup dan mati ini. sulitlah dibayangkan bagaimana kesudahannya nanti. Dengan segala kekuatan dan kemampuannya Leng-bin-siu-su mulai lancarkan serangan pedangnya. tapi Sin-heng-su Pek Kong-liang mandah tertawa ejek. "Cay Siu, jangan kau takabur!" Sikap Leng-bin-siu-su tidak berubah hakikatnya ia anggap tidak dengar cemoohan lawan, pedang panjangnya malah bergerak semakin kencang dengan serbuan yang mematikan, menusuk menabas dan menggores dengan berbagai kembangan yang rumit, terakhir ujung pedangnya menyelonong keluar menusuk diantara kedua mata, Pek Kong-liang. Sin-heng-siu Pek Kong-liang cukup menegakkan pedangnya terus digentak kesamping, tapi pedang Cay Siu tidak berhenti sampai disitu, beruntun ia ganti pula dengan empat lima jurus tipu pedang yang lihay dan licik, namun semua serangannya menjadi kandas ditengah jalan dipatahkan oleh perlawanan Pek Kong-liang yang mainkan pedangnya tidak kalah lihay dan hebatnya, akhirnya ia jadi gugup dan kaget juga. Sungguh ia tidak nyana setelah kedua kakinya cacat Sin- heng-siu masih membekal Lwekang yang begitu tinggi, perbawa ilmu pedangnya jauh lebih hebat dibanding masa mudanya dulu, rasanya malah setingkat lebih tinggi. Giris hati Leng-bin-siu-su, pedang panjangnya tidak bergerak selincah tadi, sekarang ia amat hati-hati pada setiap gerak pedangnya, setiap kali ia mengganti posisi dan kedudukan pedang panjang baru pelan-pelan ditusukkan, setiap tusukan dan tabasan pedangnya selalu mengarah tempat penting yang mematikan ditubuh Sin-heng-siu Pek Kong-liang. Hun Thian-hi menonton dengan cermat. Beberapa gebrak kemudian baru hatinya jadi tentram, didapatinya bahwa kepandaian silat Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar itu tidak kalah hebatnya dari Leng-sin-siu-su Cay Siu. Dalam hal ilmu pedang dan Lwekang malah setingkat lebih tinggi, terutama permainan ilmu pedangnya yang begitu ketat, rapat dan hebat itu terang Leng- bin-siu-su tidak mungkin dapat menyamai. Tanpa bergerak dari tempat duduknya Sin-heng-siu Pek Kong-liang menggerakkan pedangnya melawan musuh, sekejap mata ratusan jurus sudah lewat, tiba-tiba tergerak hatinya, sambil bersuit nyaring panjang sebeiah telapak tangan kirinya menepuk tanah, kontan badannya melejit mumbul ke tengah udara, laksana bintang meteor langsung menubruk ke arah Leng-bin-siu-su, pedang panjang ditangannya tergetar memetakan berlapis2 sinar pedang yang berkembang melebar laksana sapu jagat. Kiranya ia sudah kembangkan jurus Pat-hong-hong-hi (hujan angin didelapan penjuru angin) dari pelajaran Kim-hoan-kiam-boh itu. Lapisan sinar pedangnya semakin melebar besar laksana jala berkilauan menyilaukan mata, lalu merangsak bersama dari delapan penjuru angin ke arah Leng-bin-siu-su. Tercekat hati Leng-bin-siu-su, untung pengalaman tempurnya sudah matang, dalam keadaan yang kurang waspada dan tidak bersiap ini, seluruh tubuhnya sudah terkenang oleh jurus Pat- hong-hong-hi. Apa boleh buat demi keselamatan jiwa sendiri secara licik ia lemparkan tubuh Ciok Yan ke tengah udara. Dengan seksama Hun Thian-hi menonton dipinggir gelanggang, begitu tubuh Ciok Yan terlempar ke tengah udara, laksana naga meluncur tangkas sekali ia melesat terbang mengejar sekali raih tepat ia dapat mengempit tubuh orang. Dengan akal liciknya ini memang Leng-bin-siu-su berhasil menyelamatkan jiwanya. Sementara Thian-hi langsung menyerahkan Ciok Yan yang ditolongnya kepada Bun Cu-giok, cepat Cu-giok membuka jalan darahnya serta mengurut urat2nya, melancarkan darah yang tersumbat sekian lamanya. Kuatir melukai orang lain waktu lawan dengan akal licik melemparkan tubuh orang bagi umpan pedangnya, syukur Sin-heng-siu cukup cekatan dan waspada pula, luar biasa cepatnya ia tarik balik dan batalkan seluruh kembangan serangannya lalu melayang balik kembali ke tempat duduknya semula. Diam-diam girang hatinya, baru pertama kali ini ia mengembangkan pelajaran baru yang dipelajari dari Kim-hoan-kiam-boh, nyata hasilnya luar biasa sekali, cukup sejurus dengan mudah ia sudah memaksa Leng-bin-siu-su melemparkan Ciok-Yan. Setelah berdiri tegak dengan nanar Leng-bin-siu-su mengawasi Sin-heng-siu, sungguh ia tidak habis berpikir ternyata begitu gampang ia terjungkal di bawah tekanan pedang lawannya yang buntung ini, semakin dipikir semakin berkobar amarahnya, geram sekali ia membentak. "Pek-lo- thau, tak nyana selama tiga puluh tahun ini kiranya kau sudah menggembleng diri, pelajaran Kim- hoan-kiam-boh itu terhitung sudah dapat kau curi belajar sebagian." Sin-heng-siu tertawa besar, ujarnya. "Jangan sungkan! Ilmu kebanggaanmu sendiri belum lagi kau kembangkan, kenapa begitu cepat mengaku asor?" "Jangan kau takabur", semprot Leng-bin-siu-su. "lihat saja nanti, aku masih berkelebihan dapat membereskan kau!" ia insaf bahwa posisinya sudah mulai terdesak di bawah angin, Ciok Yan yang tadi dijadikan sandera kini sudah tertolong oleh Hun Thian-hi, harapan satu-satunya sekarang ia harus berhasil mengalahkan Pek Kong-liang, kalau tidak tiada jalan hidup bagi dirinya. Dalam pada itu Ciok Yan sudah pelan-pelan siuman, betapa girang ia melihat dirinya di dalam pelukan suaminya, BUn Cu-giok. Dipihak lain, Leng-bin-siu-su sudah tak sabar lagi, dengan memekik seperti kesetanan pedangnya dibolang balingkan mengeluarkan deru angin yang ribut, dengan kepandaian permainan pedangnya yang hebat ia menyerbu pula kepada Sin-heng-siu Pek Kong-liang, Gebrak kedua ini ia betul-betul sudah kerahkan segala tenaga dan kemampuannya, bertekad untuk mengadu jiwa sampai titik darah penghabisan. Cukup sejurus ilmunya yang hebat tadi Sin-heng-siu memperoleh kemenangan, keyakinan hatinya semakin teguh, menghadapi rabuan pedang lawan ia mencelat naik keudara lagi, tak ketinggalan pedangnya pun berkelebat menyongsohg kemuka Leng-bin-siu-su. Leng-bin-siu-su sudah bertekad untuk gugur bersama, begitu Sin-heng-siu maju memapak justru sesuai dengan keinginannya, terdengar ia terkekeh dingin, seluruh tenaga dikerahkan di atas pedangnya, tanpa mau kalah wibawa iapun songsongkan pedangnya ke depan. Dua batang pedang saling bentrok ditengah udara, terdengarlah suara nyaring yang menusuk telinga bergema sekian lamanya, dua belah pihak mengerahkan setaker tenaga, kesudahannya tetap sama kuat. Sekonyong-konyong sebelum tubuh meluncur turun Sin-heng-Kiu percepat gerak pedangnya memberondong dengan serangan pedang yang cukup dahsyat, yang terlihay justru tiga jurus tabasan pedang terakhir yang mengarah muka tenggorokan dan dada Leng-bin-siu-su. Semula Leng-bin-siu-su tidak mengira begitu dua pedang saling bentrok, Sin-heng-siu pura- pura menarik pedang dan meluncur turun, disaat ia tercengang itulah mendadak Pek Kong-liang sudah lancarkan tiga serangan pedangnya. Tiada tempo bagi Leng-bin-siu-su untuk memeras otak, sambil kertak gigi sebisa mungkin ia ayunkan pedangnya dengan jurus Hwi-hong-kian-jit, inilah jurus pedang kebanggaannya yang dilancarkan dengan tenaga besar dilandasi terbakarnya rongga dadanya, cuma satu harapannya berusaha menangkis atau menyelamatkan jiwa dari tabasan pedang Pek-Kong-liang yang hebat itu. Sebetulnya posisinya jauh lebih menguntungkan bagi Sin-heng-siu, sayang ditengah jalan ia ragu-ragu, kalau tidak tentu pedangnya sudah berhasil mencopot kepala Leng-bin-siu-su dari badannya. Cuma sedikit merandek itulah kedua pedang paling bentrok lagi, tapi suaranya tidak senyaring tadi, sebaliknya malah terdengar suara "cras, cras!" Lalu didengarnya pula gerungan mereka seperti babi disembelih. Kiranya jurus Hwi-hong-kian-jit Leng-bin-siu-su betapa pun tidak kuasa menandingi ilmu pedang lawan, keruan kejut hatinya bukan main, Lwenkang Sin-heng-siu bahwasanya sudah jauh melompat lebih tinggi dibanding beberapa tahun yang lalu, keruan bercekat sanubarinya. Tapi dasar licik sekilas dilihatnya kedua kaki Sin-heng-siu yang buntung itu. kontan ia mengulum senyum dingin diujung mulutnya. Bentrokan kedua pedang lawan sama-sama tidak mau mengalah, agaknya Sin-heng-siu juga sudah terhanyut dalam mengejar kemenangan, semangat diempos hawa murni dikerahkan tenaga dalam pun kontan melandai keluar. Sekali tekan kebawah ia bikin badan Leng-bin-siu-su terdesak turun kebawah. Tapi Leng-bin-siu-su sendiri sudah nekad dan melawan sekuat tenaga, ia insaf bila gebrak ini kalah, untuk meloloskan diri dengan selamat tidaklah mudah, mau tidak mau ia harus berusaha mati-matian. Karena sama-sama mau menang, kedua belah pihak sudah mempertaruhkan jiwa masing- masing, Hun Thian-hi yang menonton diluar gelanggang jadi kebat kebit dan kuatir, jikalau lintasan selanjutnya Sin-heng-siu Pek Kong-liang tidak berhasil memperbaiki posisinya yang lebih unggul, alhasil ia sendiri yang bakal terjungkal kalah, apalagi kedua kakinya sudah buntung, bagaimana juga ia tidak akan kuasa bertahan lama. Sudah tentu Pek Kong-liang sendiri juga sudah menginsafi kelemahannya ini, hatinya pun semakin gelisah, menurut perhitungannya saat itu ia pasti sudah berhasil mengalahkan Leng-bin- siu-su, kenyataan sukar sekali diluar perhitungan. Dia sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pedang panjang ditangan kanannya ditekankan sekuat tenaga, lalu ia mengirup hawa mengganti napas, baru ia berusaha menarik pulang pedangnya, lalu disusul dengan melancarkan tipu Kim-in-ho-tong (bayangan emas berkelebatan) menggasak musuhnya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tak nyana Leng-bin-siu-su sudah dapat meraba jalan pikirannya sekuat tenaga ia pun kerahkan tenaganya mendempel pedang lawan dan tidak dilepaskan sehingga lawan tak berkesempatan membebaskan diri merubah posisinya. Dalam perang batin dan pikiran ini Leng-bin-siu-su terang berada di atas angin, serta merta ia mengumbar rasa hatinya dengan tertawa panjang, pedang panjangnya masih bertahan sekuat2nya, sedikitpun ia tidak beri kesempatan Sin-heng-siu- Pek Kong-liang menghirup napas. Semakin gundah hati Pek Kong-liang, sekali kurang hati-hati atau lena jikalau sampai kena dikalahkan lawan, bagaimana baiknya nanti? Apakah secara rela menyerahkan Kim-hoan-kiam-boh kepada Leng-bin-siu-su yang jahat ini? Tidak mungkin terjadi! Dalam keadaan bertahan adu kekuatan tenaga dalam ini, meski ia membekali tipu pedang yang beraneka ragam dan lihay juga tidak berguna lagi. Leng-bin-siu-su juga maklum dirinya tidak akan mampu balas menyerang, tapi ia pun tidak akan membiarkan Pek Hong-liang melepasKan diri, begitulah kedua musuh ini saling berkutat, kalau posisi begini berlangsung terus jelas pihak sendiri yang bakal menang. Beberapa saat sudah berselang, Pek Kong-liang jelas tidak kuasa lagi mempertahankan diri, otaknya diperas akhirnya tersimpul suatu cara, kecuali cara yang nekad ini ia tidak bakal memperoleh kemenangan. Setelah mantap tiba-tiba ia dorongkan pedangnya ke depan dengan sisa tenaganya, Leng-bin- siu-su mandah menyeringai dingin, tanpa menanti Leng-bin-siu-su Cay Siu menduga-duga atau menyimpulkan pikiran lain, Sin-heng-siu Pek Kong-liang melanjutkan usahanya supaya orang menyangka bahwa dirinya berusaha meloloskan diri, secara tiba-tiba telapak tangan kirinya secepat kilat menggablok kebawah ketiak Leng-bin-siu-su, serangan kali ini ia lancarkan dengan seluruh sisa tenaganya. Mimpi juga Leng-bin-siu-su tidak menyangka bahwa Pek Kong-liang bakal berani menyerang dirinya dengan menempuh resiko besar. Keruan ia terkejut, tapi bagaimana juga ia pantang mundur, sekali ia tersurut mundur jelas dirinya pasti terjungkal, tapi bagaimana kalau tidak menyurut mundur meluputkan diri? Tiada tempo berkelebihan memberi kesempatan otaknya berpikir, dalam kejap yang hampir sama telapak tangan kirinya juga balas menggempur kelambung Pek Kong-liang, terpaksa ia harus menempuh cara adu jiwa. Kalau Pek Kong-liang masih sayang pada jiwanya sendiri pasti ia lekas-lekas batalkan serangannya. Terdengar Pek Kong-liang menggerung pendek, ia insaf bila ia batalkan serangannya pasti ia kalah, jelas Kim-hoan-kiam-boh harus terjatuh ketangan Leng-bin-siu-su, akibat apa yang bakal terjadi sungguh ia tidak berani bayangkan. Ia cukup bijaksana untuk memilih akibat yang berat dari pada yang ringan, demi kepentingan ribuan jiwa manusia ia rela mengorbankan jiwa sendiri, cepat ia kerahkan hawa pelindung badan menjaga tubuhnya, sementara telapak tangan kiri bukan saja tidak ditarik balik tidak kendor malah dipercepat dan kekuatan pun dilipat gandakan. Mata Leng-bin-siu-su memancarkan rasa takut dan jeri, sungguh ia tidak nyana bahwa akibatnya bakal begini fatal, apa boleh buat terpaksa ia harus menyambut dengan kekerasannya. Maka terdengar pula dua suara menguak yang keras seperti hampir muntah2, seketika bayangan dua orang terpental jauh lepas kedua jurusan, seluruh hadirin sama terkejut, tiada seorang pun menyangka pertempuran adu jiwa ini bakal berakibat begitu parah, sesaat saking kesima mereka jadi lupa memburu maju memberi pertolongan. Luka yang diderita Leng-bin-siu-su jauh lebih parah, terbanting lagi dengan keras di atas tanah, kontan ia semaput tak sadarkan diri. Pek Kong-liang sendiri juga muntah darah, setelah mengatur pernapasannya ia berkata tertawa. "Untung aku tidak sampai kalah!" Habis berkata ia menyemburkan darah lagi, selanjutnya ia pejamkan mata istirahat. Dengan menggeram Bian-hok Lojin memburu maju ke arah Leng-bin-siu-su, kaki sudah terangkat hendak menginjak hancur batok kepala Cay Siu. Bab 35 Keburu Pek-kong-liang membuka mata, cepat ia berseru mencegah. "Sute, jangan lakukan." "Suheng!" Seru Bian-hok Lojin. "Apakah perbuatan jahatnya masih kurang, kalau tidak dibunuh kelak bakal menimbulkan bencana lagi, mana boleh dia tetap hidup!" Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah siuman dari pingsannya, sekian saat ia menggape2 berusaha hendak merajap bangun, tapi ia sudah tidak kuasa bergerak lagi. Hun Thian-hi tidak tega, katanya kepada Bian-hok Lojin. "Lukanya sangat parah, tinggalkan saja jiwanya!" Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah berhasil merajap duduk, dengan gusar ia mendelik teriaknya serak. "Berani kalian melepas aku, kelak tunggulah pembalasanku!" "Kau ingin menuntut balas? Besar benar-benar tekadmu, mengandal kau sekarang masa kau mampu!" Demikian cemooh Bian-hok Lojin. "Jangan kau takabur, jangan cuma kau ditambah sepuluh orang pun aku tidak gentar terhadap kau, soalnya aku kurang hati-hati sehingga terluka!" Demikian maki Leng-bin-siu-su dengan amarah yang meluap-luap. Mendengar ucapan orang Thian-hi tahu bahwa Leng-bin-siu-su tengah menggunakan akal pancingan supaya Bian-hok Lojin melepas dirinya. Tapi kelihatannya Bian-hok Lojin bukan kaum kroco, dengan tertawa panjang ia berkata. "Tiada gunanya kau membakar hatiku, ketahuilah aku punya caraku untuk menyelesaikan jiwamu!" Habis berkata tubuhnya melejit maju kedua jari tengahnya terangkap telak sekali menutuk jalan darah Sam-kiau-hiat, Leng-bin-siu-su berusaha menghindar tapi apa daya tenaga sudah lemas kontan ia mengeluarkan suara menguak mulut terpentang menyemburkan darah segar. Thian-hi terkejut, perbuatan Bian-hok Lojin cukup keji, tutukannya itu sekaligus memunahkan ilmu silat dan memecahkan tenaga dalamnya, selanjutnya Leng-bin-siu-su menjadi orang cacat dan tidak akan bisa mengganas pula. Sekuat tenaga ia berusaha merangkak bangun terus mengelojor pergi tanpa berani banyak cingcong lagi. Sampai tahap sekarang urusan menjadi beres, hati Hun Thian-hi menjadi lega ia kembalikan pula bola mas itu serta katanya. "Urusan sudah selesai. Karena terpaksa kami menerobos ke tempat terlarang ini, harap Lo-cianpwe suka memberi maaf. Sekarang kami mohon diri." Bian-hok Lojin menyambuti bola mas itu serta ujarnya. "Sudah, urusan tak perlu diungkat kembali. Selama tiga puluh tahun tiada seorang pun yang tinggal hidup bila berani masuk ke dalam gedung ini. Dan kalian pun tidak punya maksud jahat terhadap bola mas ini, bolehkah kalian silakan saja." Tiba-tiba Pek Kong-liang membuka mata, teriaknya. "Saudara-saudara, tunggu sebentar!" "Cianpwe ada petunjuk apa?" Tanya Hun Thian-hi membalik. "Terhitung aku sudah ketemu dengan ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, kelak pasti kau dapat mengembangkan ilmu pedang tiada taranya ini dan menjagoi seluruh Kangouw, untuk itu kau harus menandingi Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni, kuharap kau tidat sampai kalah." "Terima kasih akan petuah Cianpwe!" Segera Thian-hi menjura hormat. Pek Kong-liang manggut-manggut lalu pejamkan mata pula. Setelah pamitan Thian-hi berempat segera keluar dari gedung kayu itu langsung melanjutkan perjalanan ke arah timur. Belum jauh mereka menempuh perjalanan, terdengar pekik suara burung kumandang di angkasa, tampak seekor burung dewata terbang menukik ke arah mereka. Thian-hi jadi kebat-kebit dan girang pula, entah Ham Gwat atau Bu-bing Loni yang datang. Kejap lain burung dewata sudah meluncur turun, sekilas pandang dilihat oleh Thian-hi, Bu-bing Lonilah yang bercokol di punggung burung dewata itu, suatu perasaan aneh yang menghantui sanubarinya timbul dalam benaknya. Wibawa Bu-bing Loni betapa pun masih berpengaruh dalam hatinya. Sambil menyeringai dingin Bu-bing Loni menatap Hun Thian-hi tanpa bersuara. Dengan berani Thian-hi pun balas menatap dengan tajam. "Akhirnya kita ketemu pula." Akhirnya Bu-bing membuka kesunyian. Lalu ia menyapu pandang Ce-hun bertiga. "Benar, benar," Sahut Thian-hi sinis. "Sayang tempo hari kau tidak berhasil mendapatkan Jian- lian-hok-ling itu, sungguh sangat disesalkan." Sebetulnya Bu-bing sendiri juga rada gentar menghadapi Hun Thian-hi yang merupakan musuh paling tangguh satu-satunya pada masa itu. Ia insaf bahwa tingkat kepandaian silatnya tidak terpaut jauh dibanding kepandaian Hun Thian-hi sekarang. Dia harus bekerja cepat melenyapkan musuh besar ini sebelum orang tumbuh sayap dan unjuk gigi, dengan segala cara yang dapat ia gunakan. Maka Bu-bing Loni tertawa dingin, katanya. "Tidak menjadi soal. Sekarang tibalah saatnya untuk menentukan siapa menang dan siapa asor." "Tepat, kiranya hampir tiba saatnya untuk penentuan itu," Demikian tantang Thian-hi sambil mengerut kening. "Aku harus membalas sakit hati para Cianpwe dari Soat-san, dan kau sudah cukup malang-melintang selama empat puluh tahun dengan ilmu pedangmu, hari ini aku harus jajal sampai dimana kehebatan ilmu pedangmu itu." Lalu dilolos pedang di punggungnya. Begitu melihat pedang yang dipegang tangan Thian-hi, berkilat pandangan Bu-bing, seringainya. "Ternyata kau sudah ganti senjata menggunakan pedang, malah sebilah pedang pusaka." "Jangan cerewet!" Sentak Thian-hi gusar. "keluarkan pedangmu!" Diluar dugaan Bu-bing tidak keluarkan pedangnya, mulutnya malah menjengek dingin. "Kenapa ke-susu, aku sendiri tidak tergesa-gesa, apa pula yang kau ributkan?" "Aku tidak biasa membunuh orang yang tidak bersenjata." Berkobar amarah Bu-bing Loni mendengar cemooh orang, selamanya belum pernah ada manusia berani begitu kurang ajar terhadap dirinya, pelan-pelan ia sudah lolos pedangnya, tapi baru separo ia urungkan niatnya, katanya. "Dalam sepuluh hari ini kunanti kedatanganmu di Jian- hud-tong!" tanpa bicara lagi ia naik ke punggung burung dewata terus terbang pergi. Thian-hi tertegun, mulutnya menggumam. "Sepuluh hari kemudian di Jian-hud-tong!" Tak perlu disangsikan lagi bahwa Bu-bing sudah sekongkol dengan Tok-sim-sin-mo untuk menghadapi dirinya, mau tak mau bergejolak pikirannya. Tengah ia menjublek di tempatnya, mendadak dari dalam hutan di depan sana muncul seorang gadis, pandangan Thian-hi menjadi terang, ia tersentak kaget dan berteriak girang, yang muncul ini bukan lain adalah Ham Gwat yang selalu dikenangnya itu. Sungguh tidak habis heran hatinya, bahwa Ham Gwat tiba-tiba muncul di tempat itu. Cepat ia berlari maju memapak. Sekian lama mereka berpandangan, akhirnya Ham Gwat membuka suara. "Bukankah kau sudah menemukan mereka? Dimana mereka sekarang?" Thian-hi tahu maksud pertanyaan orang, cepat ia menjawab. "Mereka telah ditolong seorang Cianpwe aneh yang berkepandaian tinggi." "Siapa dia?" "Beliau tidak mau menjelaskan." Ham Gwat terbungkam sekian lamanya, akhirnya berkata. "Ucapan Bu-bing tadi kudengar semua, sepuluh hari kemudian, kau harus menghadapi bahaya yang paling besar selama hidupmu ini." Hun Thian-hi manggut-manggut. Tanyanya. "Apakah paman dan bibi baik?" Muka Ham Gwat jadi masam, lekas ia berpaling muka, sesaat baru terdengar jawabannya. "Mereka ditawan oleh Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni." Mencelos hati Thian-hi, perkembangan ini sungguh diluar dugaannya. Sekian lama mereka sama menjublek tak bersuara. Ce-hun Totiang bertiga juga mendengar kabar jelek ini, mereka sama ikut merasakan tekanan batin yang berat ini. Siapa akan menduga Bu-bing Loni yang congkak dan tinggi hati itu ternyata sudi merendahkan derajatnya bersekongkol dengan orang orang lain. "Marilah sekarang juga kita susul ke Jian-hud-tong." Demikian ajak Thian-hi nekad. Ham Gwat menggeleng kepala, sahutnya. "Meluruk secara serampangan takkan ada gunanya." Thian-hi angkat pundak. Urusan berlarut semakin ruwet sulit ditanggulangi, ia jadi termenung memikirkan daya upaya. Sekonyong-konyong didengarnya langkah kaki yang lirih, Thian-hi terkejut cepat ia putar tubuh terlihat dari dalam hutan berjalan keluar dua Hwesio tua. Begitu melihat kedua Hwesio ini tiba-tiba Ciok Yan memburu ke depan seraya berteriak kegirangan. "Ajah! Kemana saja kau selama ini." Kedua Hwesio ini bukan lain adalah Go-cu Taysu dan Ciok Hou-bu, melihat Ciok Yan memburu tiba tersipu-sipu Ciok Hou-bu berkelit kesamping sambil bersabda buddha dan merangkap tangan. Ciok Yan lantas menubruk dan memeluk kedua kaki Ciok Hou-bu serta menangis sejadi2nya. Sementara Ciok Hou-bu sedang bicara dengan putri dan menantunya Bun Ciu-giok. Segera Thian-hi berdua unjuk hormat kepada Go-cu Taysu. "Jangan sungkan," Cegah Go-cu. "Bisa jumpa dengan tunas muda yang gagah perwira sungguh Lolap sangat senang." Sudah lama Hun Thian-hi kenal nama Go-cu Taysu, baru sekarang ia sempat bertemu, tampak orang berperawakan kurus kecil, tapi sepasang matanya bersinar terang, jidatnya sudah berkeriut, selintas pandang orang akan menaruh hormat dan segan pada padri. yang kenamaan ini. Berkatalah Go-cu taysu. "Agaknya kalian punya jdoh dengan kalangan agama kami, baru pertama kali ini aku berkesempatan ketemu, sebetulnyalah sejak lama sudah kenal." Thian-hi merendah, katanya. "Wanpwe pun sudah lama mendengar kebesaran nama Taysu dan ingin bertemu, sayang tidak berjodoh, beruntung hari ini bisa ketemu disini, harap Cianpwe Sudi memberi petunjuk!" Go-cu menghela napas, ujarnya. "Bu-bing Loni dan Tok-sim-sin-mo ada intrik dan melakukan perbuatan kotor yang terkutuk, mereka bertekad mendapatkan Ni-hay-ki-tin, ayah bunda Ham-sicu ini juga ditawan dijadikan sandera dikurung di dalam istana sesat, mereka perlu segera diberi pertolongan." Berubah pucat paras Ham Gwat, tubuhnya terhujung hampir roboh. Cepat Hun Thian-hi memapah tubuhnya. Ham Gwat menenangkan pikiran dan membesarkan hati, ia berdiri tegak pula. Go-cu Taysu berkata lebih lanjut. "Tak berguna sekarang kalian meluruk kesana, yang penting kalian harus lekas-lekas melaksanakan urusan lain yang lebih penting. Sebab Bu-bing dan Tok- sim-sin-mo sudah mendapatkan gambar peta dari rahasia Ni-hay-ki-tin itu, cuma belum dapat memecahkan inti rahasianya, kalau tidak tentu Ni-hay-ki-tin sejak lama sudah berada di tangan mereka, keadaan pasti lebih runyam dan tak tertolong lagi." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apakah Cianpwe punya cara untuk mengatasi?" Tanya Hun Thian-hi. "Sekarang kalian harus memohon bantuan pada seseorang, bila beliau suka memberi petunjuk, urusan betapa sulit pun akan dapat dipecahkan." Hati Ham Gwat sedang gundah dan gelisah, ia hampir tidak percaya ada seseorang bisa mengatasi persoalan rumit ini sedemikian gampang. Agaknya Go-cu merasakan kesangsian Ham Gwat ini, ia tertawa, ujarnya. "Kusebut seseorang, mungkin kalian tidak akan mau percaya." "Siapa dia?" Tanya Thian-hi. "I-lwe-tok-kun!" "Dia?" Teriak Hun Thian-hi tercengang. Memang ia tidak menyangka bila Go-cu bisa menyebut I-lwe-tok-kun, itu gembong sesat nomor satu pada jamannya dulu. Go-cu manggut-manggut, katanya tersenyum. "Sedikit orang yang tahu bahwa dia sudah lama lolos keluar, malah sekarang sedang mawas diri dan mengasingkan diri di suatu tempat tersembunyi." "Betulkah dia?" Thian-hi menegas. "Kau tahu siapa dia sebenar-benarnya?" Go-cu melanjutkan. "Dia adalah majikan dari Jian-hud- tong pada empat puluh tahun yang lampau, setelah dia terkalahkan oleh Ka-yap Cuncia dia masih menetap di dalam Jian-hud-tong itu. Banyak tempat gang orang lain belum pernah mencapainya ia sudah pernah pergi kesana, kuduga kepandaian ilmu silatnya yang tinggi itupun ia peroleh di tempat itu. Sebab dia tidak punya perguruan, menurut hemadku, mungkin dia pun pernah menjelajahi istana sesat itu. Tempat pengasingannya tidak jauh dari tempat ini," Demikian Go-cu menambahkan. "Aku bisa ajak kalian kesana, tapi dia menderita luka dalam yang tak mungkin disembuhkan lagi, belum tentu beliau suka membantu kesukaran kalian ini." Hun Thian-hi menepekur, I-lwe-tok-kun adalah guru Mo-bin Suseng, muridnya terbunuh olehnya entah bagaimana sikapnya nanti terhadap aku. Tapi dalam keadaan kepepet ini cuma akulah yang harus mohon bantuan padanya, terpaksa ku-coba-coba saja." Go-cu Taysu membawa Thian-hi berdua menyelinap ke dalam hutan yang semakin lebat, setelah melampaui sebidang tanah lapang di pengkolan sebelah hutan terdapat sebuah mulut gua yang teramat besar. Kata Go-cu Taysu pada Thian-hi berdua. "I-lwe-tok-kun menetap di dalam gua besar itu, bekerjalah menurut gelagat, semoga kalian berhasil, Lolap mohon diri" lalu ia putar balik mengajak Ciok Hong-hu, Ce-hun Totiang, Bun Cu-giok dan Ciok Yan pergi. Thian-hi berdua terus maju sampai diambang gua, kata Thian-hi. "Nona Ham Gwat, silakan kau tunggu disini, biar aku saja yang masuk?" "Apakah tidak lebih baik kita masuk bersama?" Usul Ham Gwat dengan suara lembut. Thian-hi tidak berani menyatakan apa-apa, terpaksa manggut-manggut. Pelan-pelan mereka langsung masuk, setelah berjalan beberapa kejap terasa bahwa gua ini sangat panjang, mengandal ketajaman mata mereka tidak kelihatan sampai dimana ujung pangkal dari gua besar ini. Semakin ke dalam gua semakin gelap, jantung Thian-hi jadi kebat-kebit dan tegang. Beberapa kejap kemudian terasa dari langit2 gua ada air menetes jatuh, jalan yang diinjak pun berlumut sangat licin. Keadaan gelap dan hening membuat hati mereka rada heran. Gua ini begini panjang lalu dimana I-lwe-tok-kun bersemajam, untungnya jalan gua ini cuma satu, kalau bercabang dua atau tiga entah kemana mereka harus mencari. Sekonyong-konyong dilihatnya dari sebelah dalam sana berkelebat dua sosok bayangan hitam menubruk datang ke arah mereka. Hun Thian-hi terperanjat, secara reflek ia tarik Ham Gwat ke belakangnya, sebelah tangannya cepat mengeluarkan pedang. Begitu menubruk dekat tanpa bersuara kedua bayangan itu lantas menyerang dengan kedua telapak tangan masing-masing. Hun Thian-hi menegakkan badan, kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh, pedangnya teracung miring ke depan atas, sekali putar dan babat beruntun ia punahkan serangan kedua musuhnya yang hebat. Tapi kedua musuh beruntun lancarkan puluhan pukulan, agaknya mereka hendak mendesak Thian-hi berdua mundur keluar gua, maka serangan mereka tidak mengarah tempat-tempat penting yang mamatikan. Pedang Thian-hi beterbangan, setiap kali gerakan pedangnya selalu berhasil memunahkan daya pukulan musuh. Diam-diam hatinya menjadi heran dan girang pula, batinnya. "Entah siapa kedua orang ini, sedemikian ampuh dan tinggi Lwekang mereka." Melihat Thian-hi berdiri tak tergoyahkan, kedua penyerangnya itu semakin gugup, salah seorang sembari menyerang tiba-tiba bersuara. rendah tertahan. "Keluar!" Begitu mendengar suara itu Hun Thian-hi tertegun, pikirnya. "Suara yang amat kukenal!" serta merta gerak pedangnya diperlambat kontan ia terdesak mundur satu tindak. Tanpa memberi kesempatan banyak pikir terdengar seorang yang lain juga membentak rendah tertahan. "Tidak mau mendengar kita ya?" Tergetar hati Thian-hi, sekarang baru ia sadar. "Ternyata kedua orang ini adalah Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-in, mengapa nada ucapan mereka begitu ketus dan begitu serius. Apakah terjadi sesuatu peristiwa yang luar biasa? Kalau tidak masa begitu tegang." Karena pikirannya ini tanpa ayal cepat ia tarik Hum Gwat, laksana meteor jatuh ia berlari terbang mundur kemulut gua. Hwesio jenaka seorang saja yang mengejar sampai diluar gua, mukanya sudah kehilangan senyum tawanya yang selalu berseri lucu itu, dengan nada sedih ia bertanya. "Untuk apa kau datang kemari?" Melihat sikap Hwesio jenaka ini heran Thian-hi dibuatnya, katanya tertawa. "Siausuhu, apakah I-lwe-tok-kun benar-benar ada di dalam gua!" Hwesio jenaka tersentak, matanya menatap tajam, sahutnya. "Benar-benar, darimana kau bisa tahu!" "Wanpwe ada urusan yang mendesak mohon petunjuknya." "Kau ada urusan apa?" Tanya Hwesio jenaka penuh tanda tanya. Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan kejadian belakangan ini, ia jelaskan pula maksud kedatangannya, iapun jelaskan sudah bertemu dan mendapat petunjuk dari Go cu Taysu. "Sudah tidak mungkin!" Sahut Hwesio jenaka sesaat kemudian. "Kalian terlambat tiba." Thian-hi terkejut, teriaknya. "Apa! Datang terlambat? Maksudmu beliau sudah meninggal?" Hwesio jenaka menepekur, ia geleng-geleng kepala tanpa bicara. Thian-hi girang timbul setitik harapan. "Asal orang belum ajal saja." Demikian batinnya. Setelah menghela napas Hwesio jenaka berkata. "Keadaannya seperti orang sudah mati, sekarang dia sudah gila, betapapun panjang usianya, takkan kuasa hidup beberapa hari lagi." Hun Thian-hi tertegun, katanya. "Siau suhu." "Aku tahu maksudmu," Demikian tukas Hwesio jenaka. "Kau masih ingin bertemu dengan beliau?" Thian-hi manggut-manggut, tambahnya. "Urusian ini sangat penting, betapa pun aku harus bertemu dengan beliau." "Bukan aku tidak mengijinkan, yang benar-benar dia sudah tidak bisa membedakan orang, kami bersaudara pun dilarang mendekat, apalagi kalian." "Bagaimana juga aku mengharap bisa menemui beliau sebentar saja." "Baiklah. Tapi harapannya terlalu kecil, mengandal kalian tentu, tidak mudah terluka ditangannya, tapi harus berhati-hati," Kembali ia bawa Hun Thian-hi berdua masuk ke dalam gua. Tak berapa lama mereka sudah tiba diujung gua. Dimana Siau-bin-mo-in sedang berjaga diambang pintu sebuah kamar batu, melihat Hwesio jenaka membawa Hun Thian-hi dan Ham Gwat ia mengerutkan alis, tapi tidak bicara. Hwesio jenaka berbisik-bisik dengan Siau-bin-mo-in, lalu Hwesio jenaka berbisik pula dipinggir telinga Thian-hi. "Tok-kun sedang tidur, mari kuajak masuk, kalian harus hati-hati." Hum Thian-hi berdua dibawa masuk ke dalam kamar batu itu, lalu ia mengundurkan diri keluar. Begitu berada di dalam kamar batu Hun Thian-hi merasa hawanya sangat lembab, dinding sekelilingnya ada mengalir air, dari celah-celah sebelah depan sana ada lobang kecil selarik sinar menyorot masuk sehingga keadaan kamar batu rada terang. Ditengah membelakangi dinding sana terdapat sebuah dipan batu, dimana duduk bersila seorang tua kurus kering, kedua matanya terpejam, suara napasnya terlalu berat. Hun Thian-hi membatin orang inikah I-lwe-tok-kun, sekian saat ia amat-amati orang tua di hadapannya ini. Kedua biji matanya sudah cekung, mukanya pucat berpenyakitan, tak serupa sabagai seorang gembong iblis yang sangat ditakuti, yang terang tak lain sebagai kakek tua renta yang sudah loyo, berpenyakitan lagi, serta merta ia menghela napas. Bersama Ham Gwat, Thian-hi berdiri diam ditengah-tengah kamar. Suasana hening lelap cuma tetesan air yang tak-tik saja yang terdengar, tak lama kemudian cahaya matahari yang remakin dojong menyinari muka I-lwe-tok-kun, tiba-tiba terdengar tenggorokannya bersuara lirih, pelan-pelan ia mulai membuka mata. Hati Thian-hi dan Ham Gwat menjadi tegang, entah bagaimana sikap 1-lwe-tok-kun serta melihat kehadiran mereka di dalam kamar ini? Menyerang atau mencaci maki mereka? Sungguh mereka tidak berani membayangkan akibatnya, dengan rasa tegang mereka awasi gerak-gerik I- lwe-tok-kun. Begitu membuka mata, I-lwe-tok-kun seperti tidak melihat mereka, dengan pandangan redup ia menyapu keadaan sekelilingnya baru akhirnya pandangannya jatuh pada wajah mereka. Semula matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti, mendadak sorot matanya berubah beringas dan mendelik tajam laksana ujung senjata menghunjam ke ulu hati mereka. Akhirnya tercetus pertanyaannya. "Kalian untuk apa datang kemari?" Hun Thian-hi jadi melenggong, bukankah tadi Hwesio jenaka mengatakan I-lwe-tok-kun sudah gila? Kenapa bisa mengajukan pertanyaan yang genah ini. Desak I-lwe-tok-kun pula. "Siapa kalian adanya?" Melihat sikap orang yang kalem dan sadar, Hun Thian-hi tidak beragu lagi, cepat ia menyahut. "Wanpwe Hun Thian-hi bersama Ham Gwat, ada sesuatu urusan mohon petunjuk Cianpwe." I-lwe-tok-kun termangu sekian lama, pelan-pelan berkata. "Kau bernama Hun Thian-hi? Kaukah murid Ka-yap Cuncia itu?" "Memang Wanpwe adanya." I-lwe-tok-kun menghela napas lalu menunduk, tak lama kemudian ia bersuara pula. "Jadi kau benar-benar adalah murid Ka-yap Cuncia, kalau begitu ada urusan apa silakan katakan saja." Hun Thian-hi semakin mendapat hati dan tabah, katanya. "Konon kabarnya Cianpwe dulu pernah menetap di dalam Jian-hud-tong, apakah kabar ini benar-benar?" Perlahan-lahan I-lwe-tok-kun manggut-manggut. "Ada sebuah urusan mohon Cianpwe suka bantu memecahkan. Sekarang Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni ada sekongkol dan menjadikan Jian-hud-tong sebagai markas mereka. Kami mohon petunjuk mengenai rahasia dari istana sesat itu. Cianpwe lama berdiam disana tentu sudah apal mengenai segala seluk beluk disana, harap suka memberi penjelasan." Terbayang senyum lebar dimuka I-lwe-tok-kun, katanya kalem. "Aku tahu aku bakal segera mati, aku kuatir tak mampu lagi bantu kalian." Hun Thian-hi terbungkam dan termangu tak bicara. "Tentu kau tidak mau percaya, ya bukan?" Ujar I-lwe-tok-kun tertawa ringan. "Tapi aku sendiri punya perhitunganku, dalam sepuluh hari ini, baru sekarang aku sadar dan pulih ingatanku!" Ia mendehem dan manggut-manggut lalu sambungnya. "Aku tahu ini cuma pertanda bahwa ajalku sudah semakin dekat." Thian-hi berdua masih bungkam tak bergerak. "Kau tidak perlu kubantu lagi," Demikian I-lwe- tok-kun melanjutkan. "Dalam kolong langit sekarang kecuali aku mungkin tiada orang kedua yang pernah menjelajah istana sesat." "Dapatkah Cianpwe memberi petunjuk tentang cara keluar masuknya istana sesat itu." "Tidak! Apakah Tok-sim-sin-mo punya cara keluar masuk." Ia tertawa-tawa, lalu sambungnya. "Siapa tahu jalan masuk ke dalam istana sesat, dia bakal mampus seketika." Thian-hi tercengang tanpa bicara, tak terpikir olehnya kenapa I-lwe-tok-kun mengatakan begitu. "Mungkin kau tidak percaya," I-lwe-tok-kun melanjutkan. "Sebelum ajal biarlah kuberi tahu pada kau. Dulu aku sudah berdaya upaya menghabiskan tenaga dan memeras otak untuk masuk ke dalam istana sesat, Kupikir di dalam istana sesat itu pasti ada dipendam harta benda yang tak ternilai dan tak terhitung banyaknya, kalau tidak masa orang sudi membangun Istana sesat di tempat itu. Tapi setelah aku berada di dalam istana sesat kudapati tempat itu merupakan daerah mati, mungkin memang ada harta terpendam, tapi dibagian lebih dalam ada tersebar luas hawa beracun yang teramat jahat. Aku dijuluki Tok-kun, aku berani membanggakan diri segala racun pernah kuperoleh, tapi kalau dibanding hawa beracun disana bedanya antara langit dan bumi, sedikit kulitmu tersentuh hawa beracun itu, seketika kau akan mampus dan cara kematianmu adalah sedemikian mengerikan!" Sampai disini I-lwe-tok-kun tertawa-tawa lagi, katanya lebih lanjut. "Maka tadi kukatakan tak usah kau urus dan bercapek lelah mengenai istana sesat itu, tak usah kuatir Tok-sim-sin-mo berbuat apa-apa, sekali dia berani menerjang masuk kesana, kematian akan menunggunya." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Banyak terima kasih akan petunjuk Cianpwe!" Tersipu-sipu Thian-hi menjura. "Sampai tahap sekarang ini baiklah kuberitahu kepada kau," Demikian I-lwe-tok-kun menambahkan. "Sebelum melakukan sesuatu sebelumnya harus dipikir biar masak, jangan kau menyesal sesudah kasep, itu tidak berguna!" Bercekat hati Thian-hi, ia tunduk diam mendengar petuah ini, banyak akibat dari perbuatannya yang harus disesalkan. "Dulu," Demikian, ujar I-lwe-tok-kun sambil mengawasi muka mereka. Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Perintah Maut Karya Buyung Hok