Badik Buntung 35
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 35
Badik Buntung Karya dari Gkh "Aku malang melintang bersimaharaja anggapku akulah yang paling berkuasa melebihi raja. tapi kenyataan toh aku dikalah-kan oleh Ka-yap Cuncia. Sampai sekarang meski aku ingjn berjuang dan mencapai puncak kedigjayaan itu akhirnya toh mampus juga." "Cianpwe sekarang sudah insaf dan menyesal, bukankah ini suatu hal baik?" Tanya Thian-hi. "Orang purba mengatakan, tahu salah dapat memperbaiki, betapa bahagia dan bijaksananya ini memang tidak salah, tapi jauh lebih baik kalau kau tidak berbuat kesalahan itu bukan? Cuma orang purba itu pun tidak menyadari bahwa nyawa, atau hidup manusia itu ada batasnya, adanya batas nyawa itu tidak mungkin ada batas penyesalan." Thian-hi merenungkan petuah I-lwe-tok-kun yang mengandung arti yang dalam ini, ini merupakan suatu kritik yang mendalam pula bagi dirinya, jiwa mannsia memang cukup pendek dan terbatas, nyawa itu serdiri tidak akan membiarkan manusia berbuat penyesalan yang tiada batasnya, disadari olehnya apa pula yang harus segera dikerjakan sekarang, dia tidak boleh main lambat-lambat dan ragu-ragu lagi. Selama itu Ham Gwat diam saja, iapun tenggelam dalam pikirannya, banyak yang dapat ia simpulkan dari percakapan ini, dan pendapatannya justru yang paling banyak. "Aku sudah letih," Tiba-tiba I-lwe-tok-kun mengeluh. "kalian boleh segera keluar!" pelan- pelan ia pejamkan mata. Waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat keluar Hwesio jenaka sudah menyongsongnya diambang pintu, katanya tertawa. "Sungguh beruntung nasib kalian." Lalu, ia menghela napas serta ujarnya pula. "Dengan memejamkan mata, tentu Tok-kun tidak akan membuka mata lagi selamanya." Hun Thian-hi manggut-manggut, ia maklum kemana juntrungan ucapan orang. "Tujuan kalian sudah tercapai, mungkin kalian masih ada urusan lain, maaf, kami tidak mengantar kalian." Segera Hun Thian-hi nyatakan terima kasih terus keluar bersama Ham Gwat. Tanpa membuang waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat langsung menempuh perjalanan menuju ke Jian-hud-tong. Sepandiang jalan itu mereka jarang bicara. Suatu ketika mereka kepergok dengan sebuah bayangan orang, tiba-tiba Hun Thian-hi berjingkrak kegirangan dan memapak maju. Ternyata dilihatnya Sutouw Ci-ko muncul di tempat itu. "Sutouw cici bagaimana kau datang!" Teriaknya. "Ya, aku datang bersama Gihu (ajah angkat), tapi beliau ada urusan nanti akan menyusul, kemari," Lalu ia berpaling mengamati Ham Gwat, katanya berseri tawa. "Bukankah ini nona Ham Gwat! Sungguh cantik sekali, tak heran adik Hun terpincut kepada kau," Demikian godanya. Ham Gwat tertunduk ke-malu-maluan, katanya lirih. "Cici tentu nona Sutouw adanya!" Melihat muka dan sikap Ham Gwat yang murung itu Sutouw Ci-ko hertanya kepada Thian-hi. "Eh. kenapakah kalian, kok tidak bicara." Setelah bersua dengan Sutouw Ci-ko perasaan Hun Thian-hi rada ringan, sahutnya tortawa. "Tidak apa-apa, cuma ayah bunda nona Ham Gwat kena tertawan oleh Tok-sim-sin-mo dan Bu- bing Loni." "O, Sungguh maaf," Sutouw Ci-ko tersipu-sipu minta maaf. "Aku tidak tahu ada kejadian ini." "Ci-ko cici!" Ham Gwat berkata sambil memandang ke arah Thian-hi. Sutouw Ci-ko maklum maka segera ia berkata,. "Adik Thian-hi, coba kau menyingkir, kami hendak bicara" Apa boleh buat terpaksa Hum Thian-hi menyingkir rada jauh. "Ci-ko cici." Ujar Ham Gwat setelah Thian,-hi menyingkir. "Boleh aku panggil begitu?" "Sungguh aku senang mendapat adik secantik kau, entah siapa yang bakal beruntung dapat mempersunting putri secantik bidadari ini!" Ham Gwat tertunduk malu, ujarnya pula. "Ci-ko cici, apakah kau merasa seolah-olah aku tidak punya perasaan?" Bercekat hati Sutouw Ci-ko, tapi ia tertawa dibuat-buat, sahutnya. "Adik Ham Gwat, kenapa kau berpikiran begitu? Sedikit pun aku tidak punya perasaan begitu." Dengan nanar Ham Gwat pandang rona wajah Sutouw Ci-ko, sesaat ujung mulutnya maengulum senyum manis, katanya pelan-pelan. "Perjalanan ke Jian-hud-tong ini, sungguh aku sangat kuatir bagi keselamatan Thian-hi. Dia harus bertempur untuk menentukan mati atau hidup melawan Bu-bing Loni, sedang ayah bundaku tertawan pula oleh mereka, menurut pendapatmu bagaimana aku harus bertindak!" Haru dan tersentuh sanubari Sutouw Ci-ko serta. mendengar curahan hati Ham Gwat yang penuh membawa perasaan hatinya. Terdengar Ham Gwat melanjutkan. "Kau tahu, dia terlalu ceroboh. gugup dan lalai lagi, bila sampai tertipu tak berani aku membayangkan akibatnya." "Kau tak usah kuatir." Sutouw Ci-ko coba menghibur. "Bukankah kau selalu mendampinginya? Aku dan Gihu juga akan kesana, kau tidak perlu kuatir!" "Tapi dia akan berpencar dengan kita, bagaimana baiknya." "Itu tergantung pada kau, asal kau dapat mengendalikan dia, kutanggung tidak akan ada persoalan" Demikian ujar Sutouw Ci-ko sambil tertawa penuh arti. "Aku tahu sanubarimu penuh mengandung perasaan, tapi tak pernah kau tunjukkan dilahirmu. Hubunganmu dengan Thian-hi terasa sangat asing bagi dia, kalau kau bisa mengumbar sedikit perasaanmu aku percaya Thian-hi akan menyetujui segala perintahmu. Aku dapat menyelami isi hatinya, kalau huhungan kalian sudah erat dan terbuka hati kalian bisa saling mengisi, dia akan tanya padamu apa yang harus dia lakukan, yakinlah akan hal ini!" "Memang Thian-hi rada jerih terhadap kau," Demikian Sutouw Ci-ko melanjutkan. "Tapi cuma kaulah yang kuasa mengendalikan dia, hal ini tak perlu disangsikan." "Aku kuatir aku tidak punya wibawa begitu besar," Timbrung Ham Gwat tertawa. "Dihadapan orang lain biasanya Thian-hi terlalu bebas dan berani, tapi dihadapanmu seperti bicara pun tak berani keras. Kukira sejak mula kalian sudah sama-sama canggung dan risi sehingga sikap kalian sama-sama kurang wajar." Ham Gwat menjadi geli. Dalam hati ia mengakui akan kebenar-benaran ini, kini setelah ganjalan hati ini terbuka ia menjadi paham dan lapanglah dadanya, katanya. "Untuk selanjutnya kukira tidak akan terjadi pula!" "Itulah baik. Aku salut pada kalian!" Demikian ujar Sutouw Ci-ko, lalu ia berpaling ke arah hutan serta berteriak. "Thian-hi, keluarlah!" Tapi berulang kali ia berkaok2 tanpa mendapat penyahutan, hati mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya. Lekas mereka memburu ke dalam hutan, keadaan disitu sunyi dan melompong, agaknya Thian-hi sudah tinggal pergi lebih dulu. Sekilas pandangan Ham Gwat menjelajah sekitarnya dilihatnya sebaris tulisan didahan pohon yang berbunyi. "Paman Pek menghadapi bahaya, aku pergi menolong." Mereka maklum setalah berhasil menolong Pek Si-kiat tentu Thian-hi langsung menyusul ke Jian-hud-tong, maka mereka pun tidak banyak kata lagi, buru-buru mereka melanjutkan perjalanan. Ooo)*(ooO Melihat Ham Gwat berdua mau bicara segera Thian-hi menyingkir ke dalam hutan, tengah ia keisengan tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang berlari kencang saling kejar di kejauhan, jelas terlihat olehnya orang yang dikejar itu adalah Pek Si-kiat, sedang dua orang pengejarnya adalah Ciang-ho-it-koay dan Ce-han-it-ki. Cepat ia menulis beberapa patah kata di atas pohon terus lari mengejar dengan kencang, Kira- kira sepul"uh li kemudian baru ia melihat tiga bayangan di depan, segera ia kerahkan tenaganya mengejar lebih pesat. Untung tiba-tiba dilihatnya ketiga orang yang saling kejar itu mendadak sama berhenti, sementara laksana terbang Hun Thian-hi sudah menyandak dekat, cuma sebelum tahu duduk persoalannya ia tak mau muncul unjukkan diri, lekas ia melesat naik kepuncak sebuah pohon lebat dan sembunyi disitu. Diam-diam heran dan bertanya-tanya benak Thian-hi, entah karena urusan apa ketiga tokoh kelas tinggi ini saling kejar. Tampak Pek Si-kiat membelakangi sebuah pohon besar menghadapi kedua pengejarnya, katanya. "Aku sudah bersabar, tapi kalian mendesak begini rupa, apa maksud kalian?" "Pek Si-kiat jangan banyak bacot lagi, persoalan empat puluh tahun yang lalu masa pura-pura kau lupakan?" Demikian jengek Ce-han-it-ki "Benar-benar, memang dulu tidak sedikit aku membunuh orang. tapi sekarang aku sudah sadar dan insaf, apa kalian masih mendesak sedemikian rupa?" "Menyesal dan sadar apa?" Demikian jengek Ciang-ho-it-koay. "Dengan menyesal dan sadar lantas cukup kau tebus jiwa orang-orang yang kau bunuh itu?" "Jadi maksud kalian aku Pek Si-kiat harus menembus dengan jiwaku?" "Dulu Pek-kut-sin-kangmu menggetarkan Bulim biar hari ini aku mencoba pukulan saktimu itu," Demikian Ciang-ho-it-koay tampil ke depan terus menyerahg dengan kedua telapak tangannya. Pek Si-kiat. melejit mundur menghindar. Kalau dua lawan satu terang ia bukan tandingan, maka ia harus berusaha mencari kesempatan melarikan diri, segera ia kerahkan delapan kekuatan Pek-kut- sin-kang balas menggempur. Begitu dua pukulan saling bentur, hawa bergolak debu dan pasir beterbangan memenuhi angkasa, kedua belah pihak sama tergetar mundur lima kaki. Begitu tersentak mundur Ciang-ho-it-koay segesit kera sudah melompat maju pula seraya kirim lagi tamparan maut. Sementara itu Pek Si-kiat berdiri tegak, ia sudah siap menghadapi rangsakan musuh lebih lanjut, tapi ia cukup cerdik untuk memancing kelengahan musuh, tiba-tiba ia melejit mundur lagi, Ciang-ho-it-koay menjadi gemas. tanpa. menghiraukan seruan Ce-han-it-ki ia mengejar maju seraya menjengek. "Iblis tulang putih hayo jangan lari!" Kini persiapan Pek Si-kiat sudah sempurna, tanpa berkelit lagi ia songsongkan pukulan telapak tangan dengan dilandasi kekuatan Pek-kut-sin-kang. Waktu mendengar peringatan Ce-han-it-ki, paling tidak Ciang-ho-it-koay sudah waspada, begitu melihat lawan menyongsong pukulannya ia berusaha mengijak. hakikatnya sikap Pek Si-kiat ini tidak pandang sebelah mata dirinya, berani dia menyongsong gempuran pukulannya cuma dengan sebelah tangannya saja. Seketika berkobar amarahnya sambil kerahkan seluruh tenaganya, kedua telapak tangan menggempur ke arah Pek Si-kiat. Diluar tahunya siang-siang Pek Si-kiat sudah memperhitungkan dengan masak, begitu melihat lawan menggempur dengan kekerasan, cepat ia tarik pukulannya seraya berkelit kesamping. Memang Ciang-ho-it-koay menduga Pek Si-kiat tidak akan berani melawan secara kekerasan, begitu melihat lawan berkelit, tiba-tiba ia memutar setengah lingkaran berbareng kedua tangannya menyapu miring terus menggempur pula kehadapan Pek Si-kiat. Mimpi pun Pek Si-kiat tidak menduga bahwa lawan bisa tergerak begitu cepat dan tangkas, tak sempat berkelit atau merubah permainan, terpaksa ia angkat tangan menangkis dengan sisa tenaga yang masih terkerahkan. Suara gemuruh seketika menyentak mundur kedua pihak dua tindak ke belakang. Secara langsung dapatlah dinilai dalam adu kekuatan pukulan ini, bahwa Pek Ki-kiat setingkat lebih tinggi dari kepandaian Ciang-ho-it-koay, karena hasilnya seri, pada hal Pek Si-kiat cuma menggunakan sisa tenaga yang masih terkerahkan. "Lwekang yang hebat," Derdengar Ce-han-it-ki memuji. "Cukat Lote! biar kucoba-coba kepandaian sejati Iblis tulang putih ini!" Ciang-ho-it-koay maklum bahwa diri sendiri bukan tandingan orang, segera ia mengundurkan diri. Melihat Ce-han-it-ki tampil ke depan, bercekat hati Pek Si-kiat, ia maklum kepandaian orang jauh lebih tinggi dari Ciang-ho-it-koay, mau tak mau ia harus mengempos semangat dan meningkatkan kewaspadaan. Dalam pada itu Ce-han-it-ki sudah saling berhadapan, seperti dua jago aduan mereka saling pandang tak berani sembarangan bergerak, mereka menanti kesempatan yang paling baik untuk turun tangan. Sekonyong-konyong Ce-han-it-ki bergerak dulu, kakinya melangkah miring ke depan menduduki posisi yang menguntungkan terus menggempur berhadapan ke arah Pek Si-kiat Mencelot hati Pek Si-kiat. Cara Ce-han-it-ki menyerang ini entah mengunakan tipu silat apa. Karena itu dia tidak berani gegabah sedikit angkat kedua tangannya cukup mebendung gempuran tenaga lawan, sementara sebelah kakinya menyurut selangkah. Tak duga gerakan Ce-han-it-ki ini merupakan pancingan belaka, melihat Pek Si-kiat tidak berani balas menyerang, ia tertawa panjang, cepat sekali permainan pukulannya berubah, ia kembangkan Nu-hun-ciang-hoat (pukulan comot awan), gambaran telapak tangan berkelebatan menerbitkan gelombang angin yang menderu keras, jari-jari kedua telapak tangannya bagai cakar burung mencomot ketubuh Pek Si-kiat. Karena inisiatif penyerangan didahului lawan, kontan Pek Si-kat terdesak di bawah angin dan mati kutu, Pek-kut-ciang sulit dikembangkan lagi, paling-paling cukup untuk membela diri saja. Namun demikian ia kuat bertahan sampai ratusan jurus, sementara kedudukan Ce-han-it-ki semakin unggul, permainan pukulan telapak tangannya semakin ganas dan deras. Dalam pengalaman bertempur untung Pek Si-kiat jauh lebih matang dari Ce-han-it-ki, detik- detik permulaan tadi lantas ia menginsafi kedudukannya yang kejepit ini, tanpa balas menyerang ia menjaga diri dengan rapat. Tapi setiap kali lawan mengunjuk setitik lobang kelemahan pasti ia menyergap dengan rangsakan yang cukup membuat lawan kelabakan. Kira-kira dua ratusan jurus mereka saling hantam, Pek Si-kiat jadi mengerutkan kening, sebaliknya Ce-han-it-ki semakin bernafsu. Mendadak Pek Si-kiat mengendorkan pukulan tangannya, Ce-han-it-ki segera menerjang dengan sebelah pukulan tangan, gesit sekali Pek Si-kiat miringkan tubuh sambil balas menggempur. Sudah tentu Ce-han-it-ki tidak sudi gugur bersama, terpaksa ia sampokan sebelah tangan menangkis. "blang!" Dua musuh sama-sama tersurut mundur, sekarang mereka berdiri berhadapan lagi. Sekonyong-konyong eesosok bayangan orang meluncur turun dan hinggap ditengah gelanggang. Kedua belah pihak sama kaget Melihat Hun Thian-hi, Ce-han-it-ki semakin beringas, desisnya. "Apa kau ingin membela Pek Si- kiat?" Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya. "Aku cuma menuntut keadilan saja, harap Cianpwe tidak terbawa oleh perasaan hati." "Pek Si-kiat dulu terlalu banyak membunuh orang, berani kau menghadapi kemarahan kaum Bu-lim?" "Lain dulu lain sekarang, kenyataan sekarang ia tidak pernah membunuh orang." "Hun Thian-hi," Sela Ciang-ho-it-koay. "Persoalan Giok-yan Cinjin belum beres, berani kau bertingkah disini?" "Kukira Cianpwe masih belum pikun. seseorang yang berlatih ilmu Lwekang dari aliran murni macam tokoh Giok-yap Cinjin apakah mungkin bisa tersesat latihannya?" Ciang-ho-it-koay jadi melengak, ia cuma percaya obrolan orang dan belum pernah memikirkan secara cermat. Kini baru ia jelas duduk persoalannya, jadi kematian Giok-yap memang bukan perbuatan Hun Thian-hi. Seketika ia bungkam seribu basa. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sekarang kita tidak mempersoalkan kematian Giok-yap. Kami menagih hutang jiwa Pek Si-kiat pada empat puluh tahun yang lalu." Ce-han-it-ki mengembalikan persoalan semula. "Bagaimana kejadian empat puluh tahun yang lalu aku tidak tahu. Memang kudengar sepak terjang Si-gwa-sam-mo dulu terlalu ganas dan telengas. Tapi paman Pek sekarang sudah sadar dan bertobat, malah Ka-yap Cuncia sendiri yang membebaskan beliau. Masakah empat puluh tahun kemudian, hari ini kalian masih mengungkat2 urusan lama dan mendesak sedemikian rupa." Demikian debat Hun Thian-hi. "Baiklah, kami tidak usah menuntut balas pula padanya," Demikian ujar Ce-han-it-ki menjadi sabar kembali. "Tapi seperti katamu tadi kau harus memberi keadilan bagi keluarga kami yang dibunuh olehnya, bagaimana penyeleaaiannya?" "Bagaimana menurut pendapat Cianpwe?" Dasar cerdik Hun Thian-hi kembalikan persoalan ini supaya orang jawab sendiri. Ce-han-it-ki tidak menduga bahwa Hun Thian-hi mengembalikan peraoalan ini pada dirinya diam-diam ia mengumpat dalam hati, sekian lama ia berpikir dan tak kuasa mengambil kepastian. Tiba-tiba Ciang-ho-it-koay menimbrung dari samping. "Dalam jangka tiga bulan suruh dia datang kegunung Tiang-pek langsung minta maaf kepada kami." Hun Thi-hi tertegun. Pek Si-kiat pun menjadi marah, sungguh ia tidak ingat lagi siapa yang ia bunuh sehingga kedua orang ini menuntut balas pada dirinya, sekarang suruh aku datang ke Tiang-pek-san minta ampun pada mereka. Mana bisa jadi, hampir saja ia mengumbar amarahnya pula, tapi sekilas pikir, ia mengakui kesalahan terletak dipihak sendiri, mana boleh bekerja menurut adat sendiri. Bahwasanya kaum persilatan yang terjungkal jatuh pamor sudah umum dan biasa terjadi, tapi kalau minta orang minta ampun kerumah orang belum pernah terjadi. Kedengarannya pembicaraan mereka cukup ramah dan tanpa syarat apa-apa lagi, tapi pelaksanaannya bagi Pek Si-kiat justru sangat berat. Thian-hi maklum akan hal ini, ia, jadi bingung dan sulit ambil kepastian, seumpama dia sendiri pun belum pasti mau, tapi soalnya sekarang kalau ditolak mentah-mentah pertempuran sengit tentu berulang kembali, dan ini tidak ia kehendaki. Pek Si-kiat sendiri menjublek ditempatnya, terbayang penghidupan empat puluh tahun di dalam gua yang sunyi, kumandang nasehat dan petuah Ka-yap Cuncia dipinggir kupingnya, ia pun sudah berjanji tidak akan membunuh orang lagi. Sekilas dilihatnya sikap kebingungan Hun Thian-hi, tiba- tiba ia merasa persoalan adalah kesalahanku asal aku mengangguk kepala, segalanya menjadi beres, kalau dulu aku membunuh keluarga mereka, tuntutannya cuma mohon ampun belaka, imbalan ini terlalu ringan bagi dirinya. Mendadak ia bersuara. "Baik! Kululusi syarat kalian ini." Keruan Hun Thian-hi bertiga menjadi terkejut. Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay sama heran dan tak mengerti, mimpi juga mereka tidak menduga Pek Si-kiat begitu polos menerima syarat yang mereka ajukan. Kenyataan sudah mereka hadapi, sesaat menjadi bungkam. Mengandal kedudukan Pek Si-kiat di Bulim, kata-kata yang sudah diucapkan tidak bakal dijilat kembali, apalagi ada Hun Thian-hi menjadi saksi, untuk menyesalpun sudah kasep. "Kalau begitu, baiklah kami mohon diri, Kutunggu kedatanganmu." Demikian ujar Ce-han-it-ki lalu mendahului berlari pergi. Setelah bayangan kedua orang ini menghilang tak tertahan lagi, Hun Thian-hi berseru haru. "Paman Pek!" Pek Si-kiat tersenyum, ujarnya. "Untung kaulah yang datang, kalau tidak entah bagaimana akibatnya tadi Kau sudah ketemu Sutouw Ci-ko belum?" "Tadi memang aku bersama mereka, tapi melihat paman Sedang dikejar mereka maka kususul kemari lebih dulu." "Mereka? Siapa saja yang kau maksudkan?" "Sekarang Ci-ko bersama nona Ham Gwat Kemungkinan mereka langsung menuju ke Jian-hud- tong!" "Agaknya hubunganmu dengan Ham Gwat sudah lebih akrab. marilah kita pun menyusul kesana." Demikian ajak Pek Si-kiat. sambil berjalan ia menambahkan. "Kulihat kalian memang jodoh yang setimpal. ini soal besar yang menentukan hari depanmu. Nona Ham Gwat adalah gadis yang baik, berkobar perasaan di dalam sanuharinya, soalnya sejak kecil ia, dibimbing Bu-bing dalam suasana dingin dan mengikuti watak gurunya, sebetulnyalah riwayat hidupnya. harus dikasihani, maka perasaan hatinya sulit ia limpahkan dengan kata-kata." Hun Thian-hi tertunduk, ia renungkan setiap kata Pek Si-kiat yang banyak membawa manfaat besar bagi diranya. "Kau dapat memahami maksudnya tidak?" Tanya Pek Si-kiat "Kurang begitu paham!" Sahut Thian-hi terus terang. "Sedikitnya." Pek Si-kiat memberi petunjuk. "Setiap kali berhadapan dengan dia kau tidak boleh terlalu canggung dan kikuk, bawalah kewajaran dalam hubungan kalian. Kalau tidak perasaan dingin di dalam sanubarinya itu tidak akan luber, perasaan hatinya pun sulit dilimpahkan." Sementara Hun Thian-hi merenungkan kata-katanya, Pek Si-kiat menamhahkan. "Yang terpenting belum kututurkan kukira kau masih teringat akan Sin-jiu-mo-ih Lam In bukan?" Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia tertegun, ia sendiri pernah saksikan sepak terjang tabib iblis bertangan sakti itu, adakah terjadi sesuatu diluar dugaan? Demikian ia bertanya-tanya dalam hati. "Persoalan tidak terletak pada Lam In itu sendiri, sekarang dia berada di tempat Kim-eng Lojin, orang tua pemelihara burung rajawali mas besar itu." "Jadi maksudmu tentang obat2an ciptaannya yang menjadi persoalan?" Pek Si-kiat manggut-manggut, katanya. "Dulu Sin-jiu-mo-in pernah berjanji akan memberi bubuk obat Kiu-li-san, orang yang dicekoki obat ini akan kehilangan akal sehatnya, dia patuh segala perintah orang yang memberi obat beracun ini. Waktu dia pulang kerumah ternyata bahwa bubuk obat itu sudah jcuri oleh Tok-sim-sin-mo" "Dengan hasil obat curiannya ini, Tok-sim-sin-mo yang berhasil lolos itu meracun Bing-tiong- mo,tho. Lam-bing-it-hiong dan lain-lain kaki tangannya dulu. Apalagi sekarang dia telah berintrik dengan Bu-bing Loni maka kekuatannya berlipat lebih besar." Bab 36 Thian-hi semakin terkejut, melawan Bu-bing saja sudah berat ditambah orang-orang yang dicekoki racun kena dipengaruhi itu, semakin sulit lagi dilawan "Kini dia lebih apal lagi keadaan dalam Jian-hud-tong, aku kuatir sulit untuk membekuk dan mengatasi mereka. Cuma untung dari Lam In sendiri atas prasaran Kim-eng Lojin aku mendapat obat pemunah racun Kiu-li-san itu." Thian-hi jadi berjingkrak girang. "Obat pemunah macam apakah?" Tanyanya. "Berupa bubuk juga. Cukup ditebarkan saja, sekali mereka mengendus bau obat yang harum itu seketika mereka akan sadar, dan tidak terkendali lagi oleh Tok-sim-sin-mo." "Kalau begitu kita tidak perlu gentar menghadapi bangsat laknat itu." "Tapi obat itu cuma sebungkus, sebungkus ini harus sekaligus dapat mengobati sekian banyak orang. Untuk meramunya lagi waktunya terang tidak keburu lagi." Thian-hi terbungkam kuatir, ia terlongong sekian saat. "Kau simpanlah obat ini, ujar Pek Si-kiat menyerahkan sebungkus obat. "jelas dia akan menghadapimu sekuat tenaganya." Thian-hi sambuti bungkusan obat itu, ujarnya. "Sebungkus ini lebih baik kubagi menjadi dua saja." lalu ia membuka bungkusan itu dan dibagi menjadi dua lalu dibungkus lagi, sebungkus yang lain ia berikan kepada. Pek Si-kiat. "Nak, marilah percepat, mungkin Ci-ko dan Han Gwat sudah tiba disana." Demikian ajak Pek Si- kiat. Thian-hi mengiakan, mereka langsung menuju ke Jian-hud-tong. Waktu terang tanah Sotouw Ci-ko dan Ham Gwat sudah tiba diambang mulut gua seribu buddha. Sekian lama mereka berdiri menjublek susah ambil ketetapan. Akhirnya Sutouw Ci-ko berkata. "Adik Ham Gwat, kita terjang ke dalam atau menunggu kedatangan Hun Thian-hi." "Entah Thian-hi sudah tiba atau belum, mungkin sudah tiba dan langsung menerjang masuk maka kita pun tak perlu beragu lagi. Cuma untuk menjaga segala kemungkinan, lebih baik kita tinggalkan beberapa patah kata disini, umpama mereka terlambat segera bisa menerjang masuk." Sutouw Ci-ko manggut-manggut, dengan ujung pedang ia menggores beberapa huruf dibatang pohon. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara dingin. Waktu berpaling seketika berubah air muka mereka, yang datang ini kiranya bukan lain Bu-bing Loni adanya, dengan dingin ia menatap muka Ham Gwat. Dengan dingin dan takabur Ham Gwat balas tatap Bu-bing Loni, saat mana sedikitpun ia tidak lagi merasa gentar menghadapi Bu-bing. Setelah dia jelas mengetahui riwayat hidupnya sendiri, lebih besar pula rasa bencinya terhadap Bu-bing musuh ayah bundanya. Hawa amarah bergejolak dirongga dadanya menggantikan perasaan takutnya. Semula Bu-bing tidak percaya bahwa Ham Gwat berani bersikap begitu garang dan kurang ajar terhadap dirinya. Ham Gwat, jengeknya dingin. "Setelah berhadapan, kau masih berani melawan aku?" "Jangan toh melawan melihat kau, melihat musuh besarku, aku benci kau ketulang sungsummu, ingin rasanya kusayat dagingmu kubeset kulitmu." Sembari berkata ia melolos pedang. Bu-bing menyeringai sadis, ia tahu Ham Gwat sudah terlalu benci padanya, Ham Gwat harus dilenyapkan dulu dari depan hidungnya, maka iapun melolos pedang, ejeknya. "Permainan pedangmu hasil ajaranku, kau berani melawan gurumu, agaknya kau sedang mimpi!" Ham Gwat mandah menyeringai dingin, setindak demi setindak ia menghampiri kehadapan Bu- bing Loni. Sutouw Ci-ko menjadi Kuatir, murid mana bisa menang melawan guru, situasi membuat hatinya menjadi tabah, rasa takutnya terhadap Bu-bing sudah lenyap, pelan-pelan iapun keluarkan pedangnya ikut mendesak maju. Ham Gwat tahu juga akan tindakan Sutouw Ci-ko ini, cepat ia mencegah tanpa menoleh. "Ci-ko cici kau mundur saja, aku punya cara menghadapi dia!" Sutouw Ci-ko tertegun, sambil menyoreng pedang ia berdiri disamping. "Apa kemampuanmu kau berani melawan aku." Demikian cemooh Bu-bing. Sementara pedangnya sudah terangkat lempang pelan-pelan menuding ke arah Ham Gwat Langkah Ham Gwat tak berhenti, kedua biji matanya sedingin es menatap Bu-bing, dalam hati ia sedang menerawang cara menghadapi musuh besar ini. Rasa gusar sudah menghayati keberaniannya. Adalah Bu-bing sendiri sebaliknya menjadi bersitegang leher, pandangan Ham Gwat yang dingin setajam sembilu menusuk sanubarinya, bertambah besar rasa jerinya. Tiba-tiba Ham Gwat tersenyum sinis, badannya pun melejit ke depan, pedangnya panjang menyampok miring terus menutul bergantian. sekaligus ia menutuk jalan darah Thay-yang-hiat dikedua pelipis Bu-bing Loni. Mencelos hati Bu-bing, tipu serangan ini bukan dia yang mengajarkan, bukan pula pelajaran dari ibu kandung Ham Gwat. Ong Ging-sia, belum pernah ia melihat jurus serangan aneh ini, begitu ganas dan cepat sekali, keruan bertambah kebat-kebit hatinya, serta merta meningkatkan perhatiannya. Mungkinkah Ham Gwat mendapatkan hasil kemujijadan? Kalau tidak dari mana ia peroleh jurus aneh ini. Tidak berani balas menyerang ia cuma gerakan pedangnya memunahkan serangan Ham Gwat ini ditengah jalan Benar-benar diluar tahunya, bahwa serangan pedang aneh yang dilancarkan seenaknya ini justru membawa pukulan batin yang teramat besar bagi Bu-bing Loni, hampir saja karena rasa curiganya itu Bu-bing sudah hendak berlari masuk ke dalam gua. Sebelum kedua batang pedang saling bentur, Ham Gwat memuntir pedangnya, seketika bianglala berkelebat melambung, dengan jurus permainan Hui-sim-kian-hoat ia menyerang secara ganas kepada Bu-bing. Melihat Ham Gwat tidak melancarkan jurus aneh lagi, rada lega hati Bu- bing, tapi hatinya sudah tertekan dan dihantui oleh kekuatiran sendiri, ia jadi was-was bila Ham Gwat melancarkan jurus pedang aneh, maka ia tidak berani balas menyerang setaker tenaganya. Dengan permainan pedang yang sama, mereka serang menyerang tak berkeputusan, tahu-tahu seratus jurus sudah lewat. Baru sekarang ia sadar bahwa jurus permulaan dari permainan pedang Ham Gwat tadi melulu cuma gertakan belaka, terang dirinya kena tipu belaka. Keruan ia naik darah, dari berjaga kini ia balas menyerang dengan gencar, seketika Ham Gwat terdesak kerepotan di bawah angin. Tapi Haa Gwat sudah tidak merasa takut lagi terhadan Bu-bing, bahwasanya Lwekangnya sekarang terpaut tidak terlalu jauh dibanding Bu-bing, apalagi permainan pedang Bu-bing pun dipahami pula, dalam seratus jurus betapa pun ia tidak akan terkalahkan, asal Bu-bing tidak melancarkan Lian-hoan-sam sek, jurus berantai terakhir yang paling hebat. Dari bertahan sekarang Bu-bing berinisiatif menyerang, hawa pedangnya berkembang melebar melingkupi gelanggang pertempuran, tapi Ham Gwat tumplek seluruh perhatian dan semangatnya melayani setiap rangsakan lawan, sedemikian rapat dan hati-hati ia menghadapi lawan sehingga musuh tak berikesempatan menyelinap membokong atau mencari lobang kelemahannya. Jurup demi jurus terus berlalu, lama kelamaan Bu-bing jadi uring-uringan dan dongkol, masa murid didiknya sendiri ia tidak mampu membereskan, ini merupakan pukulan batin dan kejadian yang sangat memalukan. Soalnya Ham Gwat bermain semakin mantap sehingga ia tidak kuasa berbuat apa-apa lagi. Semakin lama serangan Bu-bing semakin gencar, nafsunya membunuh semakin berkobar pula, tidak melabrak dengan kesengitan tiba-tiba ia menarik mundur pedangnya malah dan terus menyurut mundur. Ham Gwat juga melintangkan pedang mundur beberapa tindak, ia tidak mengejar lebih lanjut. Permainan ilmu pedang Bu-bing sedemikian sampurna, Lwekangnya pun tinggi setingkat di atas kemampuannya, cuma berjaga membela diri saja ia sudah kepayahan, mana ia berani maju mengejar. Setelah mundur sampai jarak yang tertentu Bu-bing berhenti dan mengawasi Ham Gwat dengan rasa kebencian yang meluap-luap, hawa membunuhnya sudah menghantui sanubarinya, sorot matanya berubah beringas buas seperti mata serigala kelaparan. Dia sudah berkeputusan untuk menggunakan ilmu pedang Lian-hoan-sam-sek yang menjadi permainan pedang rahasia pribadinya, besar tekadnya melenyapkan jiwa Ham Gwat seketika itu juga. Pedang panjang sudah terangkat pelan-pelan, sekonyong-konyong tergerak hatinya, dengan menuruti kemauan hati melulu ia merasa betapa goblok dirinya ini, bukankah masih ada musuh besar yang paling tangguh macam Hun Thian-hi belum lagi sempat kulenyapkan. Bukankah Ham Gwat merupakan bahan sandera yang paling bermanfaat? Kenapa aku tidak meringkus Ham Gwat untuk kujadikan kaki tangan dan alat melawan musuh. Dengan berbagai akal akhirnya berhasil menawan ayah bunda Ham Gwat kesini, dan sekarang tibalah saatnya mereka dimanfaatkan. Karena pikirannya ini. Bu-bing mengurungkan niatnya, pedang ditarik kembali, tiba-tiba ujung mulutnya mengulum senyum licik, tanpa bersuara tiba-tiba ia membalik dan lari ke dalam Jian- hud-tong. Heran dan tak habis mengerti Ham Gwat dibuatnya. Tadi ia lihat Bu-bing sudah mengkonsentrasikan diri untuk melancarkan Lian-hoan-sam-sek dengan setaker tenaganya, pertarungan yang bisa bikin dirinya kalah dan konyol daripada menang ternyata batal dan terhenti. Keruan bukan kepalang rasa lega dan syukurnya. Pelan-pelan iapun simpan kembali pedangnya, pandangannya menjadi kosong mengawasi mulut gua di mana tadi Bu-bing menghilang, hatinya tengah menerawang tindakan Bu-bing untuk selanjutnya. Sudah lentu segala sepak terjang dan tindak tanduk Bu-bing tidak lepas dari pengawasannya karena sekian tahun ia hidup berduaan dengan Bu-bing, maka watak dan perangai orang sedikit banyak sudah diselami olehnya. Setelah menyadari tindakan apa yang akan dilakukan oleh Bu-bing Loni, ia jadi termenung dan menekan perasaannya, terpikir olehnya. "apa yang harus kulakukan sekarang? Masuk ke Jian-hud-tong? Apa yang bakal terjadi di dalam nanti sebelumnya sudah dapat ia bayangkan, sampai ia. menjadi ragu-ragu terhadap diri sendiri apakah aku punya keberanian itu? Tapi bisakah aku tidak usah masuk? "Marilah kita masuk!" Dari samping Sutouw Ci-ko mengajak. Setelah direnungkan akhirnya Ham Gwat berkepastian, ia manggut-manggut, dengan kalem mereka melangkah masuk ke dalam Jian-hud-tong. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tak berapa jauh mereka masuk, tahu-tahu mereka dihadapi sebuah jalan bercabang, mereka jadi bingung jalan mana harus mereka tempuh. Disaat Ham Gwat berdua sangsi itulah mendadak Ham Gwat memutar tubuh dengan sebat. sesosok bayangan tahu-tahu sudah mengindap dekat di belakang mereka, begitu Ham Gwat bergerak orang itu lantas menubruk dengan kecepatan kilat seraya menghantamkan kedua telapak tangannya. Ham Gwat mendengus berat, serta merta pedang panjangnya berkelebat menyontek miring terus ditegakkan ke atas menusuk dada lawan. Nyata gerak gerik sipembokong ini sebat luar biasa. ditengah jalan mendadak ia jumpalitan mencelat mundur, disaat yang sama berbareng bayangan hitam yang lain sudah menyergap datang pula dari sebelah samping. Dikala mendesak mundur penyergap pertama tadi sekilas pandang Ham Gwat sudah dapat melihat orang itu adadah Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko, hatinya bercekat, dalam hati ia membatin bukankah dia sudah berjanji kepada Thian-hi untuk menyembunyikan diri tidak terjun kedunia Kangouw pula? Kenapa sekarang kembali ke Jian-hud-tong? Waktu ia membalik tubuh dan menangkis sergapan musuh kedua dari samping lagi-lagi bertambah besar kejutnya, mereka adalah gembong-gembong iblis yang pernah berjanji pada Thian-hi untuk mengasingkan diri. Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi, begitu terdesak mundur tangkas sekali mereka sudah merangsak maju pula. Terpaksa Ham Gwat tidak pandang bulu, sambil menghardik nyaring sebelah tangan kiri menarik Sutouw Ci-ko berbareng pedang ditangan kanan berkelebat laksana lembayung memancarkan cahaya merah dadu, dengan sejurus Wi-thian-tong-te (menjungkir langjt menggetar bumi), ia lancarkan serangan pedang yang dahsyat untuk membela diri. sekaligus ia berhasil mendesak kedua musuhnya mundur pula, selintas kesempatan mereka berhasil membelakangi dinding, dengan cermat mereka siap menghadapi situasi di depan mata. Bing-tiong-mo-tho membawa dua kawan, mereka mengepung dan merangsak dari tiga jurusan, sementara itu mereka tengah berhenti menghimpun tenaga dan mengatur napas untuk melancarkan serangan gelombang kedua. Saking uring-uringan cepat Ham Gwat menghardik. "Tahan! Bukankah kalian dulu pernah berjanji tidak akan terjun kedunia persilatan lagi?" Tapi ketiga orang itu tidak hiraukan segala ocehan Ham Gwat, pelan-pelan mereka sudah angkat tangan, berbareng melancarkan gempuran ke arah Ham Gwat dan Sutouw Ci-ko. Mencelos hati Ham Gwat, tak sempat banyak pikir, gelombang dahsyat laksana gugur gunung dari gempuran gabungan ketiga musuh sudah melandai tiba, menghadapi rangsakan tenaga raksasa ini Ham Gwat tidak berani menyambut secara keras, sambil menggeret Sutouw Ci-ko, laksana seenteng asap terbawa angin. tahu-tahu mereka melayang menyingkir sebelum gempuran dahsyat musuh tiba, begitu badan melejit terbang mereka mencari tempat berpijak di dalam lorong gua sebelah lain. Gerak-gerik ketiga musuh juga tak kalah gesitnya, serempak mereka memutar dan memburu maju, enam pasang mata mendelik ke arah Ham Gwat berdua. Begitu melihat sinar mata ketiga orang ini baru bercekat hati Ham Gwat, sorot mata mereka guram dan kaku seperti orang mati, lapat-lapat sanubarinya menyadari sesuatu keganjilan yang sudah menjadi kenyataan, tak heran mereka tidak mau hiraukan seruannya, kiranya mereka sudah sama dikerjain oleh Tok-sim-sin-mo. Sementara itu ketiga musuh sudan menghampiri dekat, pikiran Ham Gwat bekerja cepat, kedua matanya yang jeli dan tajam menerawang keadaan sekelilingnya. sambil menarik Sutouw Ci-ko ia berkata. "Cici! Mari cari tempat lain untuk memghadapi mereka." sembari bersuara badan mereka pun sudah melambung tinggi melesat masuk ke dalam sebuah mulut gua disebelah atas dipojok Sana. Cepat Sutouw Ci-ko ditarik ke belakangnya, dengan sebilah pedang ia rintangi ketiga musuh yang mengejar datang. Di tempat yang sangat sempit ini Bing-tiong-mo-tho bertiga menjaj mati kutu, apalagi mulut gua itu cukup tiba untuk lewat satu orang saja, tak mungkin mereka bisa merangsak bersama pula. Meskipun Bing-tiong-mo-tho bertiga sama tokoh-tokoh kosen, tapi kepandaian Ham Gwat rasanya tidak lebih asor dari mereka, apalagi dengan bersenjatakan pedang, dalam sekejap saja ia mampu mentaburkan batang pedangnya laksana kitiran membentuk gugusan sinar pedang laksana gunung kokohnya, maka dengan tenang dan mantap tanpa takut sedikitpun selalu ia berhasil menghalau setiap gempuran mereka bertiga. Sekejap saja saking cepat pertarungan mereka, seratus jurus sudah berlalu. Ham Gwat lantas berkata kepada Sutouw Ci-ko. "Cici! Kau mundur dulu, segera kususul kau!" Sutouw Ci-ko insaf kehadirannya di tempat itu menjadi penghalang dan mengganggu konsentrasi permainan Ham Gwat melulu, cepat ia manggut mengiakan terus mundur ke belakang. Setelan berjaga sekian lamanya dan dirasa temponya sudah mencukupi, pedangnya mendadak menggelegak getar, hawa pedang lantas luber kesekelilingnya, sekaligus ia gempur ketiga musuhnya tersurut mundur berulang-ulang, mendapat kesempatan ini gesit sekali ia memutar tubuh dan berlari ke sebelah dalam. Sudah tentu Bing,tiong-mo-tho bertiga tidak rela melepaskan Ham Gwat berdua. mereka mengejar dengan ketat. Sekian saat Ham Gwat berlari-lari akhirnya ia tiba dimulut gua sebelah sana, tapi seketika ia tersentak menjublek ditempatnya. Kiranya Bu-bing Loni sudah menunggu disebelah depan sambil menyeringai iblis. Sutouw Ci-ko meringkuk dibawan kakinya. Tanpa dipikir Ham Gwat lantas maklum apa yang telah terjadi, sudah tentu parasnya berubah merah padam, dengan sengit segera ia labrak dengan seluruh tenaganya, pedangnya memancarkan kuntum sinar pedang yang berkelompok2 sama menggempur ke arah Bu-bing. Bu-bing kelihatan beringas, ujung kaki kanannya tiba-tiba diangkat serta mengancam dijalan darah kematian dikepala Sutouw Ci-ko, serunya dengan gusar. "Jangan bergerak!" lalu ia tertawa dingin beberapa kali. Relung hati Ham Gwat laksana kena dipukui godam, kalau ia turun tangan paling banyak cuma berhasil mendesak mundur Bu-bing, tapi jiwa Sutouw Ci-ko bakal melayang dengan mengenaskan di bawah injakan kakinya. Serta merta ia menghentikan gerak tubuhnya, serta mundur dua langkah, pedang semampai turun dengan lemas, dengan putus asa. ia menghela napas. Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho bertiga sudah mengejar tiba pula dibelakangnya, serentak mereka menghentikan kaki karena bentakan Bu-bing Loni. Tanpa berpaling Ham Gwat sudah tahu bahwa tiga pengejarnya sudah menyandak tiba. dalam keadaan ke depan tiada jalan dan belakang ada pengejar datang, Ham Gwat menjadi tenang malah. Otaknya diperas untuk mencari jalan meloloskan diri, ia sudah dapat meraba perbuatan Bu-bing ini pasti ada latar belakang yang tertentu. tujuannya bukan hendak membunuh dirinya. Sambil tersenyum sinis Bu-bing Loni berkata. "Sekarang apa pula yang dapat aku katakan?" Dalam waktu dekat Ham Gwat menjadi serba sulit. di belakang ada tiga musuh tangguh, tempatnya pun sempit. di depan ia cuma menghadapi Bu-bing yang tidak membekal senjata untuk menerjang keluar mungkin bisa berhasil cuma Sutouw Ci-ko yang meringkuk di bawah Bu-bing itulah yang menjadi kekuatirannya. Tujuan Bu-bing hendak memperalat Ham Gwat. sudah tentu ia tidak menghendaki orang mampus saat ini juga. jikalau mau dengan sergapan dari dua jurusan, tambah seorang Ham Gwat lagipun jangan harap dapat lari keluar. Cuma ia sudah mengenal karakter Ham Gwat, orang tidak akan begitu mudah dikekang, bukan mustahil dalam keadaan yang kepepet ia terima bunuh diri saja. "Ham Gwat!" Bu-bing menyeringai pula. "Sekarang masih dapat kuampuni jiwamu, dimana Hun Thian-hi sekarang?" Mendengar ucapan Bu-bing Loni, tekanan perasaan Ham Gwat menjadi kendor, asal Hun Thian- hi keburu datang situasi bakal berubah dengan cepat. Akal yang menguntungkan satu-satunya bagi dirinya yaitu mengulur waktu, setelah melihat tulisan yang ditinggalkan di atas pohon sekejap saja Hun Thian-hi pasti dapat menyusul tiba. Tapi dilahirnya sengaja ia mengunjuk rasa keheranan, tanyanya kepada Bu-bing. "Kau dapat mengampuni aku?" Kini ganti Bu-bing merasa diluar dugaan, ia tahu perangai Ham Gwat maka bukan kepalang herannya setelah mendengar pertanyaan Ham Gwat ini. Kalau menurut biasanya, tentu dengan sikap dingin dan menantang ia balas mengejek dirinya. Sambil mendengus ia berpikir. "Mungkin setelah bertemu dengan sanak kadangnya, perangainya sudah berubah. Masa ada manusia yang benar-benar tidak takut menghadapi kematian?" Demikian pikir Bu-bing, maka cemoohnya. "Jadi kau sudah takut mati?" Pertanyaan Bu-bing ini justru menepati tujuan Ham Gwat. ia jadi berkesempatan melantur lebih jauh. "Apakah begitu anggapanmu?" ia pun balas menyeringai. "Ya, orang yang ikut bersama aku tiada yang takut mati, namun sekali dia berpisah dengan aku, selalu kalian akan dikejar2 rasa ketakutan itu." Demjkian jengeknya. Memang siapa saja yang pernah hidup bersama Bu-bing apalagi sejak kecil ia sudah biasa melihat adegan2 seram yang lebih menakutkan dari kematian, dalam ini Ham Gwat memaklumi kata-katanya, karena dia sendiri pernah menyaksikan betapa kejam Bu-bing menyiksa korbannya, tidak begitu gampang mereka mencari kematian. Terbayang senyum manis diparas Ham Gwat, katanya tawar. "Orang yang hidup bersamamu tidak akan merasa bahwa hidup di dunia banyak kejadian yang bisa meninggalkan kesan mendalam dalam sanubarinya, lain pula bagi mereka yang hidup bebas, justru mereka terbenam dalam kenangan indah yang selalu akan menghayati lubuk hati mereka." "Jadi menurut katamu, kau ini merasa berkesan dan berat pula bagi kehidupan manusia di dunia fana ini? Tapi kau harus ingat bahwa aku mampu membuatmu melenyapkan segala kenangan dan kesan yang mendalam itu." Berubah air muka Ham Gwat, entah tindakan apa yang akan dilakukan Bu-bing atas dirinya. Bu- bing terkenal berhati culas dan kejam, perbuatan2 kejinya itu sudah menjadi kebiasaan bagi tontonan. Dasar cerdik Ham Gwat tidak mau kalah adu mulut, ejeknya. "Aku kuatir justru kau sendirilah yang tidak akan sempat lagi mengenang masa silammu. Ketahuilah Wi-thian-cit-ciat-sek latihan Hun Thian-hi sudah sempurna. dan kau tidak akan lama tinggal hidup dalam dunia ini." "Betulkah begitu? Tadi sudah kutanyakan jejaknya bukan? Dimana dia sekarang?" "Dimana masa kau belum tahu? Sejak tadi dia sudah masuk! Tuh dibelakangmu!" Tanpa sadar Bu-bing melengak dibuatnya, mengandal kepandiaian Thian-hi sekarang kemungkinan dia sudah berada dibelakangnya tanpa diketahui, seketika dingin perasaan hatinya. Tanpa bersuara Ham Gwat gunakan kesempatan yang balk ini, mendadak laksana anak panah melesat ia berkelebat ke arah samping Bu-bing Loni. Dikala Bu-bing sadar telah kena tipu, ia menghardik dengan amarah yang berapi-api, kedua telapak tangannya menepuk melintang menempiling kepala dan membabat kepinggang. Ham Gwat juga menggembor keras, pedang panjangnya tergetar mendengung ujung pedangnya menusuk telak kedua biji mata Bu-bing Loni. Apa boleh buat terpaksa Bu-bing urungkan serangan tangannya, ia membela diri lebih dulu untuk menyelamatkan kedua matanya, sementara tubuh Ham Gwat sudah berkelebat pergi menyingkir jauh. Tapi baru saja kakinya menginjak tanah. Bu-bing sudah membentak keras. "Ham Gwat, apakah kau tidak hiraukan ayah bundamu lagi?" Ham Gwat jadi tertegun. niatnya hendak menyingkir dulu baru mencari daya menolong Sutouw Ci-ko. Namun ayah bundanya memang berada dicengkeraman musuh, mendengar ancaman itu mau tidak mau ia harus berhenti dan lekas berpaling. Tampak Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing sedang berdiri disebelah sana, mereka sama mengawasi dirinya. Tiba-tiba tergerak hati Ham Gwat, ia insaf bila ia tetap tinggal disitu keadaannya pasti semakun runyam, cepat ia bergerak hendak tinggal pergi pula. Tak duga tiba-tiba didengarnya suara Ong Ging-sia membentak. "Gwat-ji, Jangan pergi!" Lagi-lagi Ham Gwat tertegun, karena kesangsiannya ini, sementara itu Bu-bing sudah berkesempatan mencegat jalan larinya pula, sedang Bing-tiong-mo-tho bertiga pun sudah mengepung dirinya juga. Sekilas Ham Gwat melirik ke arah ayah bundanya. ia tahu bahwa mereka tentu sudah dicekoki obat beracun dan mendengar perintah Bu-bing, maka ia menyurut mundur terus, akhirnya membelakangi dinding, keempat musuhnya pun mendesak maju dari berbagai penjuru. Sekonyong-konyong ia merasa seluruh tenaganya seperti terkuras habis, tak tertahan lagi air mata mengalir keluar. Kata Bu-bing dengan sikap dingin. "Ajah bundamu berada disini, akan kulihat bagaimana kau bersikap!" Ong Ging-sia maju beberapa langkah, ujarnya. "Mana boleh kau begitu kasar terhadap bibimu, semakin besar kau menjadi tidak genah, kenapa kau tidak mau dengar nasehatnya." Didapati oleh Ham Gawt sinar mata Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing sama pudar tak bercahaya, mimik wajahnya pun kaku tanpa ada perubahan apa-apa. Mata Bu-bing menyorotkan perasaan senang dan seperti puas akan kemenangan, tapi merasa dengki pula akan hubungan cinta kasih dan kasih sayang Ong Ging-sia terhadap Ham Gwat, tampak matanya mendelik dan alis terangkat. Ong Ging-sia segera maju sambil mengulurkan sebuah bungkusan kepada Ham Gwat, katanya. "Telanlah sebungkus obat ini!" Tanpa disadari Ham Gwat menyamputi bungkus obat itu dan lantas hendak ditelannya. Mendadak terlintas diujung matanya sorot mata Bu-bing yang memancarkan cahaya terang, seketika ia menjadi sadar, batinnya. "Mana boleh aku menelan obat macam ini, kalau aku menelan obat ini bagaimana nanti kalau Hun Thian-hi juga datang? Tatkala itu mereka pasti memperalat diriku untuk menekan atau memancing Hun Thian-hi, atau mungkin pula sebelum Hun Thian-hi bersua dengan Bu-bing sudah keburu mampus ditangan mereka." Karena terpikir sampai disitu segera ia angkat kepala, dengan tajam ia menyapu pandang kesekelilingnya. Melihat sikap kesangsian Ham Gwat ini, cepat Bu-bing mendesaknya. "Perintah ibumu berani juga kau bangkang?" Begitu meneliti keadaan sekelilingnya, Ham Gwat sudah menyadari keadaannya yang serba terjepit ini, mana ia mau menelan obat itu, mendadak ia ayun tangan kiri menghamburkan obat Kiu-li-san itu ke arah Bu-bing. Mimpi juga Bu-bing tidak menyangka Ham Gwat berani berlaku senekad itu, sebat sekali ia melejit menyingkir sembari membentak gusar. "Ham Gwat! Jangan kau salahkan aku bertindak tidak sungkan-sungkan lagi terhadap kau!" Dengan tenang Ham Gwat berdiri ditempatnya tanpa bersuara. Sambil menggeram Bu-bing mengeluarkan sebungkus obat lagi diangsurkan kepada Ham Gwat, katanya. "Kau kan paham, jiwa beberapa orang ini tergenggam ditanganku, kalau kau tidak menelan obat ini. Hm! Apa akibatnya kukira kau tentu paham." "Jadi kau memang sengaja mau menekan dan mengancam aku?" "Benar-benar! Memang aku mengancam kau, berani kau tidak dengar perintahku." "Tujuanmu setelah aku menelan obat itu untuk menghadapi Hun Thian-hi bukan?" "Begitulah, sekarang tergantung kau mau menelan tidak. Jangan kau lupa, jiwa ayah bundamu tergenggam ditanganku." sambil menyeringai penuh arti ia angsurkan pula bungkus obat itu. Bertaut alis Ham Gwat. Menghadapi persoalan antara mati dan hidup, maka ia harus cepat ambil keputusan, karena kalau dia menolak jiwa Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing bakal tamat. Sebaliknya kalau dia menelan obat itu belum tentu Hun Thian-hi bisa terjebak dan melayang jiwanya, pikir punya pikir akhirnya ia memilih yang ringan dari pada akibat yang berat, pelan-pelan akhirnya ia angsurkan tangan menyambuti Kiu-li-san itu. Bu-bing menyeringai lebar penuh kemenangan, bagaimana juga toh akhirnya Ham Gwat tunduk pada dirinya. Tepat pada saat itulah dinding sebelah kiri mendadak mengeluarkan suara gemuruh dan terbukalah sebuah pintu besar, sesosok bayangan manusia sambil membawa suitan panjang melayang keluar, selarik cahaya merah terbang menyerang ke arah Bu-bing Loni. Kejut Bu-bing seperti disengat kala, tanpa sempat mengendalikan yang lain, sebat sekali ia berusaha berkelebat menyingkir. Kedatangan Hun Thian-hi ini membawa kesiur angin berbau harum wangi yang cepat sekali memenuhi seluruh ruang gua itu. Begitu melihat Hun Thian-hi benar-benar keburu tiba, saking girang dan diluar dugaan Ham Gwat sampai berjingkrak kegirangan dan berteriak. "Thian-hi!" Ia berteriak secara reflek diluar kesadarannya, saking senang air mata sampai meleleh keluar. Begitu Hun Thian-hi menginjak tanah, Bu-bing lantas menyeringai dingin, kedatangan Thian-hi ini bukankah masuk perangkap sendiri? Cepat tangan kanannya melolos pedang sementara matanya menoleh ke arah Bing-tiong-mo-tho maksudnya hendak memberi aba-aba, tapi seketika itu berubah air mukanya, terlihat olehnya Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain kelihatannya sudah sadar dan sedang termangu keheranan ditempatnya. Cepat Hun Thian-hi berkata kepada Ham Gwat. "Cepat kau antar dulu paman dan bibi keluar gua. Mereka baru saja siuman tentu masih letih dan lemas." Bertambah girang hati Ham Gwat, sungguh tidak terkirakan olehnya, begitu Thian-hi muncul sekaligus telah memunahkan obat beracun yang menyesatkan pikiran mereka, segera ia mengiakan. Sementara itu Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing memang sudah siuman, begitu melihat Ham Gwat, berbareng mereka berseru. "Nak.!" Ham Gwat menubruk maju, bertiga mereka saling berpelukan. Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho bertiga juga tengah termangu, agaknya mereka sedang berpikir cara bagaimana mereka bisa berada di tempat itu. Sudah tentu Bu-bing berjingkrak gusar, mendadak ia membanting kaki, secepat kilat badannya melejit terbang menuju ke arah Sutouw Ci-ko yang meringkuk di tanah. Hun Thian-hi menggertak panjang, semula ia tidak perhatikan Sutouw Ci-ko, saking gugup sekali raup ia lantas timpukan serulingnya, berbareng ia tutul kakinya melejit ke arah Sutouw Ci-ko pula. Serulingnya bersuit nyaring terbang mengarah punggung Bu-bing. Terpaksa Bu-bing harus menyelamatkan diri lebih dulu dengan memiringkan tubuh dan menggeser ke kiri sembari menyampokkan pedangnya ke belakang memukul jatuh seruling itu. Tapi karena sedikit ayal ini Hun Thian-hi sudah keburu hinggap disamping Sutouw Ci-ko, sekaligus ia mengulur tangan membebaskan tutukan jalan darah Sutouw Ci-ko terus ditariknya mundur ke arah Ham Gwat beramai. Dengan pandangan beringas yang meluap-luap gusarnya Bu-bing mendelik ke arah mereka. Tanpa membuang waktu lagi. tiba-tiba ia melompat maju pedang diputar sekaligus ia lancarkan tiga gelombang serangan pedang kepada Hun Thian-hi. Thian-hi tidak berani gegabah, ia insaf Lwekang sendiri setingkat lebih rendah dibanding lawan, betapa pun ia harus melawan sekuat tenaga. Tanpa ayal ia pun gerakkan pedangnya dengan permainan Gin-ho-sam-sek setabir cahaya merah bergulung-gulung melingkupi seluruh tubuhnya, ia pusatkan seluruh perhatian dan semangat menghadapi musuh tangguh ini. Bu-bing Loni terkial-kial panjang, dimana pedangnya diputar laksana naga terbang selulup timbul mempermainkan bola ditengah mega, seiring dengan berkelebatnya badan, yang selalu naik turun itu. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ia gempur Hun Thian-hi dari berbagai penjuru. "Lekas mundur!" Teriak Hun Thian-hi. Ia menyadari keadaan yang gawat ini maka ia balas melancarkan tiga serangan pedang yang dilandasi kekuatan tenaga dalamnya. Ham Gwat juga menyadari situasi yang krisis ini, dengan penuh perhatian segera ia berteriak. "Thian-hi kau sendiripun harus hati-hati!" Lalu bersama Sutouw Ci-ko mereka melindungi Ong Ging-sia berdua mundur keluar gua. Begitu mendengar seruan yang penuh rasa kasih sayang dan prihatin itu, hangat dan sjur hati Thian-hi, seketika terbangkit berlipat ganda semangat dan tenaganya, dimana pedangnya berkelebat cahaya yang terpancar dari batang pedang semakin menyala, Bu-bing menjadi kewalahan juga menghadapi tekadnya yang besar ini. Kini gelanggang adu kepandaian tinggal Bu-bing dan Thian-hi berdua, betapapun Bu-bing tidak akan melepas Hun Thian-hi lagi, ia sudah berkeputusan melancarkan Lian-hoan-sam-sek, ilmu pedang yang dibanggakan dan paling diandalkan. Tiba-tiba bayangan mereka terpental mundur berpencar. Saat itu juga tiba-tiba dari sebelah kiri yang dekat sekali berkumandang suara gelak tawa yang memekak kuping, di lain saat Pek Si- kiat sudah meluncur tiba di gelanggang pertempuran. Keruan Bulbing kaget bukan main, pihak lawan kedatangan bala bantuan, sedang Tok-sim-sin- mo dan kaki tangannya berada di gua belakang menyelidiki keadaan istana sesat, dengan seorang diri meski ia tidak takut tapi untuk mengalahkan kedua tokoh tangguh ini terang tidak mungkin, maka tak berguna ia tinggal terlalu lama di tempat itu, Cepat ia putar tubuh terus lari sipat kuping ke dalam sana. Sementara itu Pek Si-kiat sudah meluncur tiba disamping Thian-hi, cepat ia berseru. "Lekas kejar, dalam jarak sepemanahan kita harus menyandaknya." Semula Thian-hi tiada niat mengejar, tapi mendengar seruan Pek Si-kiat ini ia menjadi berkeputusan untuk menyelesaikan persoalan ini secepat mungkin. Laksana luncuran meteor di bawah petunjuk Pek Si-kiat mereka mengejar melalui jalan-jalan lain yang lebih pendek, setelah berputar dan keluar masuk beberapa tikungan di dalam lorong gelap benar-benar juga Bu-bing terlihat tidak jauh disebelah depan. "Berhenti!" Hun Thian-hi membentak terus melompat tinggi menubruk disebelah belakang seraya tabaskan pedangnya. Tiba-tiba Bu-bing pun berhenti seraya membalik dan menusukan pedangnya juga, cukup sejurus serangan balasan ia patahkan serangan lawan dan desak mundur Hun Thian-hi, jengeknya. "Kau kira aku takut terhadap kalian." Tanpa banyak bacot Thian-hi menerjang maju pula dengan sejurus Hun-liong-pian-yu, Bu-bing mandah tersenyum ejek, pedangnya melintang kesamping terus memutar balik beruntun ia balas menyerang dengan tiga tabasan berantai, ketiga serangan pedang ini sama mengarah tempat mematikan ditubuh Thian-hi. Thian-hi didesak untuk menyelamatkan diri lebih dulu. Dalam pada itu Pek Si-kiat juga sudah menerjang tiba, sambil menggembor seperti auman singa kedua kepelannya menggenjot bergantian, dengan sepuluh bagian tenaganya ia lancarkan pukulan Pek-kut-sin-ciang. Bu-bing mandah menyeringai seram, pedangnya dipuntir dan disampokkan kesamping, sekaligus dengan gerakan sambungan ia berhasil memunahkan rangsakan gelombang pukulan Pek Si-kiat. Di saat Pek Si-kiat kesima keheranan itulah, Bu-bing sudah menyambung gerakan pedangnya, Beruntun ia lancarkan Lian-hoan-sam-sek, tampak bibirnya menjebir bersuit panjang menambah perbawa gerakan pedangnya, dimana badannya terapung selarik sinar pedang laksana sabuk putih yang panjang sambung-menyambung berputar-putar mengandung tenaga dahsyat yang bisa menggempur hancur gunung menerjang ke arah Thian-hi berdua. Terkesiap darah Thian-hi, ia tak sempat melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, sebisa gerakan tangan Cu-hong-kiam ditangan kanan menggunakan jurus Gin-ho-sam-sek jurus kedua dan ketiga yang punya daya pertahanan kuat dan rapat itu berkembang luas melingkupi seluruh ruang gua itu. Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo