Badik Buntung 36
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 36
Badik Buntung Karya dari Gkh Larikan cahaya putih laksana bianglala yang menyolok mata sementara itu sudah menukik turun langsung menembus ke dalam hawa pedang yang bercahaya merah itu. Dimana ketajaman pedang yang kemilau itu menyelonong maju, hawa pedang Cu-hong-kiam kena terpecah kedua arah dan akhirnya tak kuasa lagi bertahan. Hun Thian-hi sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi toh tak kuasa melawan serangan dahsyat musuh. Begitu cahaya kemilau membacok turun ujung pedang Bu-bing Loni sudah tiba di atas kepalanya. Disaat ia pejamkan matanya menunggu ajal tiba-tiba Pek Si-kiat menggembor keras, dengan Pek-kut-sin-kang ia menghantam sekuatnya ke arah lambung musuh. Pukulan ini merupakan serangan yang mematikan, terpaksa Bu-bing harus berkelit dan tenaga pukulan itu menjadi mengenai batang pedangnya, oleh benturan tenaga dahsyat ini pedangnya kena tersampuk miring kesamping. Keruan bukan kepalang senang Thian-hi, pedang panjangnya terayun naik menangkis rangsakan pedang Bu-bing yang hampir saja menembus kepundaknya. Begitu saling bentur, lelatu api cuma meletik sedikit, ini membuktikan bahwa dua belah pihak sudah sama kehabisan tenaga, mereka tidak kuasa lagi menggunakan keampuhan Lwekang masing-masing untuk adu kekuatan. Dilain saat tiga pihak sama mencelat mundur pula. Jidat Hun Thian-hi sudah berkeringat, keadaannya sudah sangat payah. Demikian juga Bu-bing merasa dada mual cuma ia pura-pura menenangkan hati. Keadaan Pek Si-kiat jauh lebih mending. Tapi masih berdiri mematung tak berani bergerak. Setengah jam kemudian, tenaga masing-masing sudah dihimpun pulih sebagian besar, Thian-hi berkeputusan menggunakan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menempur Bu-bing. Bu-bing Loni juga menginsyafi bila Wi-thian-cit-ciat-sek Thian-hi sudah dilatih sempurna belum tentu ia bisa mengambil kemenangan, apalagi dipihak lawan masih ada Pek Si-kiat seorang, te-paksa ia menantang. "Hun Thian-hi! Berani kau bertempur satu lawan satu menentukan kemenangan." Mendengar tantangan Bu-bing Loni, Thian-hi menghentikan gaya permulaan dari permainan pedangnya yang sudah dipersiapkan hendak dilancarkan. Sebaliknya Pek Si-kiat yang cukup berpengalaman terpaksa tertawa gelak-gelak, cemoohnya. "Sekarang pihak kami dua melawan kau seorang. Sebaliknya berapa banyak pihakmu tadi kau mengeroyok Ham Gwat seorang?" "Ham Gwat maksudmu?" Seringai Bu-bing. "Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk membekuknya, buat apa harus orang lain, mereka cuma merintangi dia melarikan diri saja." "Kau mengancam dan menekan dia menelan obat beracun, apakah ini yang dikuatirkan dia melarikan diri?" Demikian jengek Hun Thian-hi. Mendelik mata Bu-bing, serunya. "Kalian maju bersama pun aku tidak gentar, hayo kenapa bermuka2 saja. silakan turun tangan." Hun Thian-hl menjadi sengit, ucapan Bu-bing telah membakar sifat congkaknya, segera ia berpaling katanya kepada Pek Si-kiat. "Paman Pek! Kau jaga disamping biar kutempur Bu-bing seorang diri" "Jangan!" Dengan tegas Pek Si-kiat menggeleng kepala, ia tahu bahwa satu lawan satu Hun Thian-hi masih belum tandingan Bu-bing Loni. "Sekarang belum bisa! Kau harus waspada akan tipunya mengulur waktu menanti bala bantuan. Bagaimana kalau Tok-sim-sin-mo keburu tiba?" Bu-bing terkekeh-kekeh panjang sembari menabaskan pedangnya memutus pembicaraan mereka. sekali turun tangan pedangnya bergerak terpencar kedua jurusan sekaligus dalam segebrak ia menyerang kedua jurusan, seketika mereka berkutet lagi, serang menyerang dengan sengit dan gegap gempita. Sekejap saja seratus jurus telah berlalu, selama itu Bu-bing belum melihat Tok-sim-sin-mo muncul, akhirnya ia tidak sabaran lagi, batang pedangnya menjungkit naik terus membabat miring dari atas kebawah, Thian-hi berdua kena terdesak mundur, Bu-bing membalik tubuh terus lari pula kegua sebelah belakang. Sudah tentu Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi juga maklum kemana jalan pikiran Bu-bing, kalau dua belah pihak benar-benar bentrok, pihak sendiri dengan kekuatan dua orang ini saja tentu sulit mengambil kemenangan. Tak berapa jauh, tiba-tiba Bu-bing berhenti dan menyeringai tawa menunggu mereka dikala Hun Thian-hi berdua mengejar tiba ke sebelah dalam sana, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dtsertai gelak tawanya yang nyaring. Tahu-tahu Tok-sim-sin- mo sudah muncul dihadapan mereka. Keruan Thian-hi berdua terkejut, tapi soal ini sudah mereka duga sebelumnya, setelah tertegun sebentar, segera menerjang maju tanpa gentar. Tok-sim-sin-mo mengeluarkan sebatang pedang, berendeng sama Bu-bing dua bilah pedang dari kiri kanan menyongsong rangsakan Thian-hi dan Pek Si-kiat. Kontan Thian-hi berdua terdesak mundur setindak. "Samte!" Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis. "Baik saja selama berpisah?" Berubah air muka Pek Si-kiat, ia mandah menjengek dingin. Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo meraih ke belakang lalu melemparkan sebatang pedang kepada Pek Si-kiat, serunya. "Kau tidak hiraukan hubungan persaudaraan kita dulu. tapi aku masih punya rasa kesetiaan akan persaudaraan dulu. Hari ini meski pun kalian sendiri yang masuk perangkap, tapi sebelum ajal kuhadiahkan sebatang pedang kepadamu, jangan nanti kau gunakan istilah "kesetiaan" Itu untuk menista aku." Pek Si-kiat menyambuti pedang itu tanpa bersuara, ia menginsafi situasi sangat mendesak, maka tanpa sungkan-sungkan ia terima pemberian pedang itu. "Jangan harap kalian bisa lolos dari kematian." Demikian ejek Tok-sim-sin-mo, tangan diulapkan enam laki-laki tua yang menenteng pedang segera melangkah keluar. Bukan saja Lam-bing-it- thiong ada diantara mereka, Bing-tiong-mo-tho pun ada bersama. Sudah tentu kejadian yang tak terduga-duga ini membuat Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi sama kesirap, Bu-bing sendiri pun ikut terlongong, sungguh tak kira Tok-sim-sin-mo punya akal yang sedemikian lihay dan licik. Hun Thian-hi menjadi was-was, entah bagaimana keadaan Ham Gwat berempat. "Kau merasa diluar dugaan bukan? Sebetulnya kan soal gampang saja, siang-siang sudah kutunggu di sebelah depan, mereka bertiga baru saja sembuh berani angkat senjata melawan aku memberi kesempatan empat yang lain kabur lebih dulu," Sampai disini ia memicingkan mata sambil mengulum senyum sadis, lalu sambungnya. "Seluk belukmu aku jelas sekali, kau dapat menolong mereka sekali tidak mungkin menolong yang kedua kalinya, benar-benar tidak? Hehe- he, obat pemunah itu sayang cuma ada satu bungkus!" Ia tertawa terpingkal-pingkal, seolah-olah sangat bangga dan puas akan sepak terjangnya ini. Bahwa segala tindak tanduk Hun Thian-hi tidak lepas dari pengawasannya, ini berarti ia sudah setingkat menang diatasnya. Tapi justru perasaan Hun Thian-hi menjadi longgar setelah mendengar penjelasannya ini, bahwa Ham Gwat berempat tidak mengalami bahaya lagi, sekarang tinggal menunggu keenam orang ini maju lebih dekat. Tok-sim-sin-mo tidak memberi kesempatan bagi Thian-hi menimang-nimang, ia melirik memberi aba-aba kepada Bu-bing Loni, bersama mereka gerakan pedang menyerbu. Lam-bing-it- hiong berenam serempak juga lancarkan serangan pedang, dari delapan panjuru angin, delapan batang pedang sekaligus menuruk ke arah mereka. Seketika Hun Thian-hi rasakan tekanan besar bagai gugur gunung melandai dari berbagai arah, napas menjadi sesak, tapi mati-matian mereka mainkan pedangnya, kedua batang pedang mereka bergerak mentaburkan jala sinar pedang yang silang menyilang sangat rapat membendung serbuan kedelapan musuhnya. Betapapun mereka bersuara, dengan kekuatan dua tenaga mana mampu melawan delapan orang. Beruntun Thian-hi berdua sudah terdesak mundur enam langkah dengan sempoyongan. Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, tanyanya mengejek kepada Bu-bing Loni. "Suthay menghendaki mereka segera mampus? Atau akan disiksa dulu biar mati lambat-lambat?" "Kalau Ham Gwat dan lain-lain menyusul tiba, tentu keadaan sulit diselesaikan, lebih baik bunuh saja mereka." Demikian sahut Bu-bing. "Agaknya Suthay terlalu lemah hati," Demikian ujar Tok-sim-sin-mo sambil bergelak tawa pula, sekali ayun serempak delapan pedang mulai bergerak pula. Sementara itu Hun Thian-hi berdua sudah terdesak mundur berulang-ulang, terpaut tiga kaki lagi mereka sudah terdesak mepet dinding. Sejak tadi Hun Thian-hi sudah waspada menerawang situasi gelanggang, sebelum kedelapan pedang musuh melancarkan gelombang serangan yang ketiga kali, mendadak ia bersuit nyaring, seiring dengan itu tubuhnya melejit menerjang ke arah satu jurusan. Tepat pada saat itu pula kedelapan pedang musuh, susul menyusul sudah merangsak tiba merintangi jalan larinya. Hun Thian-hi menghardik laksana geledek, dengan dilandasi seluruh kekuatannya pedangnya melancarkan jurus terakhir dari Gin-ho-sam-sek yang hebat penjagaannya itu, jurus ini memang peranti untuk membela diri tapi juga berguna balas menyerang, ujung pedangnya sampai menyala seperti besi terbakar balas menyerang ke arah musuh. Untungnya gerakan kedelapan pedang musuh kurang serasi dan saling atas-mengatasi sendiri, justru serangan balasan Hun Thian-hi tepat pada waktunya dan persis pula menyusup ke lobang kelemahan mereka, ujung pedangnya sekaligus berhasil menyampok miring senjata musuh malah ada yang sampai terpental terbang. Dengan kesempatan ini ia berhasil menjebol kepungan dan melesat keluar. Di saat itu juga bau wangi segera berkembang luas di tengah udara. Keruan Tok- sim-sin-mo dan Bu-bing Loni sama berjingkrak kaget. Cepat mereka lihat Bing-tiong-mo-tho dan Lam-bing-it-hiong berenam sedang tongol2 goyang2 kepala mulai siuman dan mendeprok lemas duduk di tanah. Dikala Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing sama melongo tertegun inilah, Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat sudah melabrak tiba pula lebih sengit dan gemas. Kontan kedua gembong jahat ini menjadi gelagapan, ciut nyalinya, sekarang mereka yang balik terdesak mundur, tapi ini cuma sementara waktu karena tadi belum bersiaga, setelah pikiran tenang kini mereka mampu balas menyerang pula mengatasi situasi. Dalam pada itu Lam-bing-it-hiong berenam sudah duduk samadi mengempos semangat memulihkan tenaga. Keruan Hun Thian-hi berdua sangat girang, gabungan permainan pedang mereka berkembang laksana layar perahu berkembang tertiup angin kencang, sedemikian rapat mereka menjaga diri tanpa balas menyerang. Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing menjadi kewalahan dan tak mampu berbuat banyak menghadapi kedua musuhnya ini. Mereka insaf kalau terlalu lama bila keenam orang itu sudah pulih tenaganya, tentu mereka bakal bantu pihak Hun Thian-hi melabrak diri sendiri, betapapun tinggi ilmu silat mereka mana mampu melawan keroyokan delapan musuh. Cuma tak habis heran Tok-sim-sin-mo bahwa Hun Thian-hi ternyata masih punya bungkusan obat pemunah yang lain. Tahu bila dilanjutkan situasi tidak menguntungkan pihaknya akhirnya Tok-sim-sin-mo berkeputusan, serunya. "Kalian jangan keburu senang, ketahuilah rahasia Badik buntung itu sudah dapat kupecahkan, aku sudah berhasil menemukan peta yang berada di kerangka Badik buntung itu!" Tepat pada saat itu juga dilihatnya Lam-bing-it-hiong berenam sudah membuka mata dan serempak berdiri sambil menenteng pedang. Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, serunya. "Sementara kami mohon diri, selamat bertemu di dalam istena sesat!" bersama Bu-bing, mereka lari ke dalam. Terpaksa Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi pimpin pengejaran. Pada saat itu pula Ham Gwat dan lain-lain juga tengah mengejar tiba di belakang mereka. Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni iangsung lari ke arah istana sesat. Teringat akan peringatan I- Iwe-tok-kun, Hun Thian-hi menjadi gugup, bentaknya. "Jangan masuk kesana!" Tapi dengan dipimpin Tok-sim-sin-mo diikuti Bu-bing Loni mereka terus menerjang masuk ke dalam sebuah lorong panjang. Begitu mendengar derap langkah Hun Thian-hi dibelakang, diam-diam bercekat hatinya. "Bagaimana membebaskan diri dari kejaran Hun Thian-hi, Ni-hay-ki-tin terletak didasar istana sesat ini, sekali2 jangan sampai Hun Thian-hi ikut sampai di tempat itu" serta merta langkah kakinya dipercepat melesat ke arah depan. Bu-bing mengintil tak jauh dibelakangnya. Melihat orang menuju kejalan kematian, teriakannya tidak dihiraukan, Thian-hi menjadi kehabisan akal. Kalau Tok-sim-sin-mo mempercepat langkah, sebaliknya ia harus memperhatikan berapa kali tikungan kekanan atau kekiri, sehingga langkahhnya tidak bisa cepat, tak lama kemudian bayangan kedua orang di depan sudah lenyap tak kelihatan. Thian-hi menjadi gugup, baru saja ia mempercepat langkahnya, mendadak didengarnya suara jeritan orang yang menusuk kuping, cepat ia melesat ke depan. Tampak disebelah depan sana ditaburi kabut yang bergulung-gulung, Bu-bing Loni sedang berdiri terpaku ketakutan. Sementara itu Tok-sim-sin-mo sudah menerjang ke dalam kabut itu. tampak pedangnya terjatuh di tanah, kedua tangannya saling cengkeram dengan kencang, pelan-pelan badannya mulai roboh terkapar, tak lama kemudian seluruh tubuhnya mencair menjadi genangan air kuning. Terbelalak Hun Thian-hi menyaksikan adegan yang seram ini, hatinya mencelos. Ucapan I-lwe- tok-kun. memang tidak salah, racun sedemikian jahatnya siapa yang pernah menyaksikan. Tiba-tiba Bu-bing Loni membalik tubuh, serta dilihatnya Hun Thian-hi mengadang disana, matanya memencarkan dendam dan gusar yang meluap-luap. Selama ini belum pernah Thian-hi melihat mimik wajah Bu-bing sedemikian seram, tanpa sadar ia tergetar mundur. Bu-bing melangkah setindak, pedangnya bergerak ia berkeputusan melancarkan Lian-hoan- sam-sek menggempur Hun Thian-hi. Dalam detik-detik antara mati dan hidup ini, entah darimana kekuatan Hun Thian-hi, mulutnya menggembor keras, tubuhnya melambung ke tengah udara, Cu-hong-kiam bergetar melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, disaat batang pedangnya cuma bergeser beberapa senti itu, tenaga bergelombang laksana damparan ombak dahsyat melandai ke depan dari tujuh arah sasaran yang berbeda menyongsong rangsakan Lian-hoan-sam-sek Bu-bing Loni. Dua macam ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada taranya saling mengadu kekuatan, seketika hawa pedang membuat udara bergolak, cahaya merah dan putih saling berkutat berkembang menjadi jalur2 laksaan banyaknya. "Tring" Maka terlihat Hun Thian-hi terpental mundur melayang jatuh dengan enteng dan tenang. Sebaliknya, Bu-bing Loni terpental mundur sempoyongan ke belakang dimana kabut jahat itu menanti kedatangannya. Mimpi pun Hun Thian-hi tidak menyangka bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya sekarang sudah berada di atas tingkatan Lian-hoan-sam-sek, karena kegirangan sesaat dia tertegun melongo, serta dilihatnya Bu-bing hampir roboh ke dalam kabut, kejutnya bukan kepalang, rasa kemanusiaannya secara reflek menghendaki ia bertindak cepat. Laksana kilat sembari menghardik ia melesat ke depan sambil meraih baju Bu-bing terus ditarik balik mentah-mentah. Bu-bing angkat kepala dengan pandangan heran dan kejut ia awasi Hun Thian-hi, tapi rasa heran dan kejut ini cuma sekilas saja, tiba-tiba pedang panjangnya menabas miring menyapu pinggang Thian-hi. Thian-hi tidak kira setelah jiwanya tertolong Bu-bing malah membalas budi dengan dendam. tak sempat berkelit tahu-tahu bawah ketiak sebelah kanan sudah tergores panjang terluka oleh pedang panjang Bu-bing. Sambil menahan sakit ia menyurut mundur dua tindak, dengan pandangan kaget dan tak mengerti ia awasi Bu-bing. Bu-bing jadi melongo, tabasan pedangnya gerakan secara reflek saja karena ia menyangka Hun Thian-hi hendak menawan dirinya. Tapi dari sorot mata Hun Thian-hi ini baru dia menyadari tindakkannya yang salah, tujuan Hun Thian-hi tak lain cuma hendak menolong jiwanya. Kematian Tok-sim-sin-mo yang mengerikan itu segera terbayang dalam benaknya, selama hidup ini baru pertama ini timbul rasa penyesalan dalam sanubarinya. Sekonyong-konyong seorang Nikoh pertengahan umur berjubah hijau mulus hinggap dihadapan mereka. Seketika Hun Thian-hi menjerit heran, Nikoh ini bukan lain yang tempo hari menolong Ma Gwat-sian dan gurunya. Sebaliknya begitu melihat Nikoh ini seketika pucat muka Bu-bing, badan gemetar dan lemas, pedang tak kuasa dipegang lagi jatuh berkerontangan di tanah. Lagi-lagi terdengar seruan kejut, Ham Gwat berlari datang ke depan Thian-hi. serunya sambil menahan air mata. "Thian-hi bagaimana kau! Kenapa terluka begini berat?" Hati Thian-hi menjadi sjurr dan hangat, sambil tersenyum manis pelan-pelan ia tarik Ham Gwat ke dalam pelukannya, sahutnya tertawa. "Adik Ham Gwat, luka ringan saja. tidak menjadi soal!" Merah jengah selebar muka Ham Gwat, katanya gugup. "Ajah dan ibu juga datang!" Hun Thjan-hi melengak sebentar. ia pun rada jengah dar terhibur malah, katanya tanpa berpaling. "Tidak menjadi soal!" Karena dipeluk Ham Gwat tak enak meronta, terpaksa ia sesapkan kepalanya ke dada Thian-hi. ia tak berani bersuara saking malu. Sementara itu Nikoh pertengahan umur sudah berpaling ke arah mereka, katanya. "Ma Gwat- sian dan gurunya berada di tempatku, mereka minta aku menyampaikan salam bahagia terhadap kalian, keadaan mereka baik-baik saja supaya kalian tak usah kuatir." Terangkat kepala Ham Gwat, ia pandang Nikoh pertengahan umur dengan rasa girang dan bersyukur pula. Nikoh itu berpaling muka lalu ujarnya pula. "Aku bernama julukan Ceng-i sian-cu! Sekarang aku harus cepat pulang. Bu-bing kubawa sekalian!" tanpa menanti penyahutan Thian-hi berdua, ia tarik Bu-bing terus melayang pergi, sekejap saja menghilang dari pandangan mata. Ham Gwat dan Hun Thian-hi sesaat melongo. Ceng-i sian-cu, bukankah beliau kekasih Ah-lam Cuncia yang akhirnya menikah dengan Jing-bau-khek, bibi dari Goan Cong dan Goan Liang, murid tunggal Hui-sim Sini? Ternyata dia masih hidup. Tiba-tiba mereka mendengar suara tawa orang banyak, waktu mereka berpaling, dimana berdiri sebaris orang, Sutouw Ci-ko dan ayah bunda Ham Gwat sama tersenyum girang penuh bahagia. Saking malu jantung Ham Gwat hampir melonjak keluar, cepat ia sesapkan kepalanya di pelukan Thian-hi pula. Sekian lama mereka saling berpelukan tanpa bersuara tanpa hiraukan godaan orang lain lagi. Entah berapa lama berselang akhirnya Ham Gwat angkat kepala, tampak oleh Thian-hi kedua pipinya bersemu merah seperti delima matang, paras kulit yang putih halus ini tidak terlihat pucat seperti dulu lagi, pancaran matanya malah begitu mesra dan penuh cinta kasih. TAMAT Tiraikasih Websitehttp://kangzusi.com / Tiraikasih Websitehttp://kangzusi.com / Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo