Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 4


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 4


Badik Buntung Karya dari Gkh   Thian-hi semakin malu dan menyesal sekali, ia tertunduk tak berani adu pandang. Kata Su Cin.   "Adikku diracun oleh Leng Bu, dipaksanya untuk kawin dengan dia. Setelah aku tiada harap kau suka melindungi dan menjaga adikku baik-baik"   Bercekat hati Hun Thian-hi mulai paham kenapa bermula tadi Su Cin kelihatan rada mengalah segan menghadapi Leng Bu, kiranya punya latar belakang yang keji ini.   Pelan-pelan ia berpaling memicingkan mata menatap ke arah Leng Bu, tampak Leng Bu berdiri jajar disam[ing tunggangannya tanpa menunjukkan sikap tertentu, pedang masih terpegang ditangannya.   Waktu Thian-hi berpaling lagi Su Cin berkata kepadanya.   "Kulihat saudara Hun merupakan calon pendekar kenamaan yang bakal menjulang tinggi diantara sekian tunas muda saat ini, hari depanmu pasti gemilang, betapapun kau harus menjaga adikku baik-baik!"   Mendengar orang memuji dan mengagumi dirinya, sungguh Thian-hi merasa haru dan terima kasih, tak kuasa air mata meleleh keluar dari kelopak matanya. Sembari mengigit gigi pelan-pelan ia berkata tegas.   "Aku tentu menuntut balas bagi kau!"   Wajah Su Cin mengunjuk tawa riang, katanya kepada Su Giok-lan.   "Dik! Ada sedikit omongan perlu kusampaikan kepadamu!"   Su Giok-lan berdiri duduk, air mata membasahi dan mengotori mukanya yang putih bersih. Setelah menghela napas baru Su Cin melanjutkan.   "Adik Lan. Apakah kau mau dengar pesan eagkohmu sebelum ajal ini?"   "Engkoh!"   Jerit Su Giok-lan, tangisnya semakin menjadi2. Su Cin menghela napas, ujarnya.   "Jangan bersedih adik Lan!"   Terdengar Leng Bu menjengek.   "Kau menyesal sesudah sekarat siapa suruh kau selalu menghalang2i sepak terjangku!"   Berubah air muka Su Cin, cepat Thian-hi menyikapnya erat-erat, kata Su Cin megap2.   "Adik Lan, lekas katakan!"   Melihat keadaan engkohnya yang semakin parah Su Giok-lan menjadi bingung dan manggut- manggut.   Tangan Su Cin menunjuk kepada Thian-hi, mulutnya terpentang namun tak kuasa mengeluarkan suara, mendadak mukanya menjadi kejang dan berubah semakin pucat, badannya berkelejotan sebentar terus menjadi kaku Su Gip-lan semakin hebat tangisnya, dengan mengembeng air mata pelan-pelan Thian-hi rebahkan badan Su Cin di atas tanah lalu pelan-pelan bangkit berdiri.   Sejenak ia amat-amati jenazah Su Cin terus memutar tubuh mengawasi Kim-i kongcu Leng Bu.   Dengan menyeringai sinis Leng Bu pun mengawasi ke arah Thian-hi.   Kalem saja Hun Thian-hi merogoh keluar Badik buntungnya lagi.   Leng Bu berkata dingin.   "Hun Thian-hi menggetarkan Tionggoan, ternyata begitu saja kepandaiannya."   Hun Thlan-hi melangkah pelan-pelan menghampiri.   Melihat sikap Hun Thian-hi ini diam-diam mengkirik tengkuk Leng Bu, dengan tangan kiri ia tepuk-tepuk kudanya terus menyuruhnya menjauh, tangan kanan menyoreng pedang mengawasi Thian-hi dengan tajam.   Setindak demi setindak Thian-hi maju menghampiri, Leng Bu menjidi tidak sabar, ringan sekali pedang masnya berputar terus menyerang lebih dulu kepada Hun Thian-hi.   Sebat sekali Thian-hi melompat kesamping menghindar.   namun laksana bayangan ujung pedang mas lawan telah menyamber tiba pula.   terpaksa Thian-hi harus mencelat berkelit lagi, kini mereka sudah ganti kedudukan yang berlawanan.   Leng Bu terus mendesak maju dengan serangan pedangnya yang gencar, Thian-hi terdesak mundur terus.   Sekonyong-konyong biji mata Thian-hi memancarkan cahaya terang yang aneh, dimana Badik buntung bergerak selarik sinar hijau pupus berkelebat jurus Pencacat iangit pelenyap bumi telah dilancarkan, terus menungkrup ke arah Leng Bu.   Mendadak Leng Bu melihat perubahan permainan Thian-hi yang aneh ini, hatinya sungguh kejut bukan main, pedang mas dibolang-balingkan rapat sekali untuk melindungi badan, namun tampak sinar hijau berkelebatan rapat merekah menyamber2.   disertai tekanan tenaga besar yang luar biasa memberondong mengekang dirinya dari berbagai penjuru sehingga tenaga untuk ia angkat pedang sendiri pun tak mampu lagi.   Dimana sinar hijau melintas, kontan tubuh Leng Bu terkapar di tanah tanpa bergerak lagi.   Hun Thian-hi menyimpan lagi Badik buntungnya serta berjalan balik menghampiri Su Giok-lan.   Su Giok-lan mendelik mengawasi Hun Thian-hi, melihat Thian-hi menghampiri mendadak ia lompat berdiri sambil membopong jenazah Su Cin, makinya sambil mengertak gigi.   "Laki-laki palsu!"   Hun Thian-hi menjadi tertegun. Kata Su Giok-lan gemes.   "Terang kau dapat membunuh Leng Bu semudah itu, tapi kau biarkan engkohku mati dulu baru kau menuntut balas baginya, kau sangka aku bisa menghargai dan terima kasih kepadamu?" ~ selesai berkata air mata tak kuasa lagi membendung meleleh dengan derasnya. Hun Thian-hi punya kesukaran sendiri yang tak mungkim dijelaskan, terpaksa ia berdiri melongo saja. Dengan membonong jenazah Su Cin, Su Giok-lan lompat naik ke atas tunggangannya terus dilarikan ke depan sana dengan cepat. Tersentak Thian-hi dari lamunannya, cepat ia berlari mengejar serta teriaknya.   "Nona Su."   Su Giok-lan menghentikan lari kudanya, katanya berpaling.   "Kau masih ada muka mengejar kemari! Sebelum meninggal, engkohku menuding kau, apa kau tahu apa maksudnya? Gamblang sekali ia menghendaki aku menuntut balas baginya, tahu? Laki-laki palsu!" lalu kudanya dibedal lagi ke depan sekencang-kencangnya. Thian-hi berdiri menjublek ditempatnya, mematung seperti tunggak, sungguh hatinya sangat duka dan entahlah bagaimana pula perasaannya, teringat akan pesan Su Cin sebelum ajal ia angkat kepala hendak mengejar lagi ke depan, namun bayangan Su Giok-lan sudah tak kelihatan lagi. Pelan-pelan ia menghela napas, Su Giok-lan adalah murid Pedang utara yang cukup kenamaan, tentu tidak akan mendapat kesusahan di depan sana, tapi dia kena dicekoki racun Kim-i kongcu Leng Bu cara bagaimana harus mengobatinya. Teringat akan hal ini, cepat-cepat ia larikan kudanya mengajar ke depan, Tiba-tiba terdengar pekik burung ditengah angkasa, seekor burung terbang rendah di atas kepalanya terus menuju ke depan. Waktu ia angkat kepala dilihatnya orang yang menunggang burung tak lain adalah Siau Hong, tanpa merasa pelan-pelan ia meneriaki nama Siau Hong, Siau Hong berpaling ke belakang melambaikan tangan kepadanya, terus terbang ke depan. Thian-hi menjadi lega, anak buah Bu Bing Loni muncul menalangi persoalan ini, tentu Su Giok- lan takkan menghadapi bahaya apa-apa, mungkin malah mendapat rejeki besar dari beliau. Justru Bu Bing Loni tengah bermusuhan dengan dirinya, tentu Su Giok-lan akan dibantu dan dididiknya, meski selanjutnya ia bertambah seorang musuh yang kuat, betapa pun hati menjadi lega. Setelah pikirannia ini hati Thian-hi menjadi lapang, ia tertawa geli sendiri lalu memutar balik kudanya, pelan-pelan dilarikan ke depan menyusuri tembok besar terus menuju ke arah timur laut. Waktu ia berpaling lagi, burung dewata dan kuda tunggangan Su Giok-lan tak kelihatan lagi. Mayat Kim-i-kongcu Leng Bu masih menggeletak di tanah, kuda kembang bebenger disamping jenazahnya, sedang seekor kuda coklat lainnya tampak berlari kencang ke arah lain. Sementara itu, Su Giok-lan membedal kudanya lari ke depan, hatinya kosong dan hampa, benaknya dirundung kesedihan yang sangat memukul batinnya, namun tak kuasa dilampiaskan. Kira-kira setangah li kemudian tiba-tiba terdengar pekik burung ditengah udara yang sangat nyaring seekor burung besar berbulu hijau lambat-lambat meluncur turun di depan tunggangannya. Sungguh kejutnya tak kepalang, lekas-lekas ia menarik kendali kudanya, terus melolos pedang. Di atas burung besar ini duduk dua gadis jelita, seorang berpakaian hitam sedang yang lain dandan sebagai pelayan. Su Giok-lan tak tahu siapakah mereka berdua, namun mereka menunggang burung besar. tentu bukan sembarang orang, entah apa maksud tujuan mereka? Sekian lama gadis baju hitam mengamati Su Giok-lan, baru terlihat bibirnya bergerak, katanya.   "Nona Su, peristiwa barusan guruku sudah tahu seluruhnya, beliau menyuruh aku datang menahanmu sebentar, beliau ada sedikit omongan ingin tanya padamu!"   Su Gio-lan rada sangsi, tanyanya.   "Siapakah gurumu? Urusan apa yang ingin dia tanyakan?"   "Guruku itu bergelar Bu Bing Loni!"   "Apa Bu Bing Loni?"   Teriak Su Giok-lan diluar dugaan.   Gadis baju hitam manggut-manggut.   Sungguh mimpipun Su Giok-lan takkan menduga Bu Bing Loni bakal mencari dirinya.   Bu Bing Loni merupakan tokoh kenamaan yang menjagoi seluruh jagat, kepandaiannya tiada lawan dikolong langit, sepak terjangnya saja yang tidak menentu.   Dari sikap gadis baju hitam yang wajar dan tenang agaknya mereka tak berimaksud jelek terhadap dirinya.   Ia menghela napas lega, katanya prihatin.   "Untuk urusan apakah beliau mencari aku?"   "Itulah beliau sudah datang kemari!"   Sahut gadis baju hitam.   Memang benar-benar, waktu Su Giok-lan mendongak, tampak seekor burug dewata yang lain tengah meluncur turun pelan-pelan, dari punggung burung berbulu hijau ini berjalan turun seorang Nikoh tua yang berwajah welas asih, sepasang matanya memancarkan cahaya terang yang berwibawa.   Su Giok-lan melangkah selangkah terus menekuk lutut, sembahnya" .Wanpwe Su Giok-lan menghaturkan sembah sujud kepada Cianpwe!"   Bu Bing Loni mengamati Su Giok-lan dengan seksama, akhirnya katanya sembari manggut- manggut.   "Bangunlah!"   Sembari menyeka air matanya pelan-pelan Su Giok-lan bangkit berdiri.   "Sudah jangan nangis lagi,"   Ujar Bu Bing Loni.   "Engkohmu meninggal, kemana selanjutnya kau hendak pergi?"   Sahut Su Giok-lan sesenggukkan.   "Aku hendak mencari guruku untuk menuntut balas!"   Bu Bing Loni menggeleng kepala, katanya.   "Tak mungkin, gurumu pun takkan mampu menangkis jurus serangannya itu!- Su Giok-lan melengak, katanya.   "Tentu Suhuku bisa mengundang orang lain untuk membalas dendam ini."   "Apa kau sendiri tidak ingin membalas dendam dengan tanganmu sendiri?"   Tanya Bu Bing Loni. Su Giok-lan tersentak kaget sambil angkat kepala, matanya mengawasi Bu Bing Loni sahutnya tersekat.   "Aku.aku ."   "Kalau kau mau, aku bisa menerima kau menjadi muridku."   Su Giok-lan menjadi kegirangan, sungguh tak terkirakan olehnya bahwa tokoh nomor satu sejagat ini rela menerima dirinya sebagai murid, sesaat ia menjadi melongo.   "Eh, apa kau mau?"   Desak Bu Bing Loni.   "Suhu!"   Cepat-cepat Su Giok-lan maju berlutut dan menyembah berulang-ulang. Bu Bing Loni berseri tawa, ujarnya.   "Tulangmu bagus, belum lama berselang aku mendapat sebatang Ho-siu-oh yang berusia ribuan tahun, nanti boleh kau minum, kalau kau giat dan rajin belajar, tiga bulan saja, cukup kau dapat mempelajari Hui-sim-kiam-hoat, kalau kau mau menuntut balas gampang sekali seperti kau membalikkan tanganmu."   Su Giok-lan merangkak bangun dengan kegirangan, sahutnya.   "Aku pasti giat belajar."   Lalu tanyanya tak mengerti.   "Suhu atau Suci kenapa tidak memberi hajaran kepadanya sekarang saja?"   Bu Bing Loni mengerut kening, katanya.   "Aku sudah sumpah, gurunya membunuh ayah Sucimu sehingga sakit hati inipun sulit dibalas!" Su Giok-lan mengerling memandang ke arah gadis baju hitam. Bu Bing Loni berkata lagi.   "Inilah Sucimu Ham Gwat."   Tersipu-sipu Su Giok-lan membungkuk tubuh memberi soja.   "Suci, harap selanjutnya kau suka memberi bantuan dan bimbingan kepadaku yang masih hijau ini!"   "Ah Sumoay terlalu sungkan. Kulihat bakat dan rejeki Sumoy sangat besar, kelak tentu mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari aku sendiri! "Hun Thian-hi kan murid Lam siau? Bagaimana bisa menjadi musuh besar pembunuh ayahmu?"   Berkedip2 biji mata Ham Gwat, katanya.   "Lam-siau? Dia adalah murid Ang-hwat-lo-mo!"   "Apa", tanya Giok-lan heran dan, menegas.   "Dia murid Ang-hwat-lo-mo?" Ham Gwat manggut-manggut, katanya.   "Jurus pencacat langit pelenyap bumi yang dilancarkan tadi untuk membunuh Kim-i-kongcu adalah ilmu silat pelajaran tunggal dari Ang-hwat-lo-mo. Dulu menggunakan jurus inilah Ang-hwat-lo-mo membunuh ayahku!"   Su Giok-lan manggut-manggut, batinnya.   "Kiranya Hun Thian-hi juga menjadi murid Ang-hwat- lo-mo tak heran ilmu silatnya begitu lihay. dalam segebrak saja sekaligus membunuh puluhan tokoh-tokoh silat kosen!"   Kata Bu Bing Loni.   "Giok-lan, tak perlu banyak pikir, mari kita pulang!" Su Giok-lan mengiakan, jenazah Su Cin dijinjingnya bersama Bu Bing Loni dan lain-lain menunggang burung dewa terbang tinggi dan hilang dikejauhan. Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Hun Thian-hi yang terus maju menyelusuri tembok besar, tahu dia bahwa urusan hari ini takkan berakhir begitu saja, di depan tentu masih banyak orang lagi yang tengah menanti kedatangannya. Tengah ia mencongklang kudanya, dari atas tembok yang tinggi itu kelihatann melayang turun bayangan seorang hinggap tiga tombak dihadapannya. Waktu Thian-hi menegasi pendatang ini berusia kira-kira empat puluhan, mengenakan jubah putih, janggut hitam menjulai di depan dadanya, pinggangnya menyoreng sebatang seruling putih, bukankah beliau Suhunya yang berbudi, Lam-siau Kongsun Hong! Sungguh kejut dan girang sekali Hun Thian-hi, bergegas ia lompat turun terus memburu maju dan berlutut, teriaknya.   "Suhu!"   Kongsun Hong mendehem keras. katanya kereng mengawasi Hun Thian-hi.   "Apakah aku ini gurumu? Kau masih anggap aku ini gurumu?"   Tercekat hati Thian-hi, berulang-ulang ia menyembah tanpa berani bersuara. Sejenak kemudian baru Kongsun Hong berkata pula.   "Sebelum ajal, ayahmu pernah berpesan wanti2 kepadaku untuk mengasuh kau baik-baik, tapi kau."   Mendengar gurunya menyinggung ayahnya terketuk sanubari Hun Thian-hi tak terasa air mata meleleh dengan dengan derasnya. Kongsun Hong menghela napas, ujarnya.   "Kalau ayahmu bukan saudara angkatku urusan hari ini aku sudah tidak peduli lagi!"   Hun Thian-hi masih tetap tak berani bicara, Kongsun Hong membentaknya lirih.   "Bangun!"   Pelan-pelan Hun Thian-hi merangkak bangun dan berdiri kesamping, lama-lama Kongsun Hong mengamatinya. lalu katanya.   "Kini Thi-kiam Lojin dari Bu-tong-pay, Hwi-lam-it-lo Siang Ing serta tokoh-tokoh lain tengah menantimu di depan sana, malah Pak-kiam suami-istri katanya juga sudah datang!"   Berdebar keras jantung Thian-hi, angkat kepala ia awasi Kongsun Hong. Tanya Kongsun Hong.   "Kudengar kau telah membunuh puluhan tokoh-tokoh kosen dalam segebrak saja dan mengutungi sebelah lengan Toh-bing-cui-hun, apakah berita ini benar-benar?"   Hun Thian-hi manggut-manggut. Kongsun Hong menjadi bungkam beberapa saat, rada lama kemudian ia tanya lagi dengan nada berat tertekan.   "Dari mana kau pelajari jurus itu?"   Bab 4 Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan pengalamannya waktU dijehak oleh Su Tat-jin sehingga terjeblos ke dalam jurang.   Tak lupa iapun ceritakan juga perihal Bu Bing Loni dan Soat-san-su- gou.   Kongsun Hong menjadi ketarik akan pengalaman muridnya yang aneh2 itu, sesaat ia terbungkam tak bisa bicara.   Sekonyong-konyong terdengar gelak tawa nyaring di atas tembok tinggi sana, disusul dua bayangan orang melayang turun dihadapan mereka.   Kongsun Hong memutar tubuh, katanya tertawa.   "Kiranya Pak-kiam suami istri yang telah datang!"   Waktu Thian-hi menegasi memang yang datang ini adalah sepasang suami istri berusia pertengahan. Terdengar Pak-kiam Siau Ling berkata.   "Sepak terjang muridku sangat memalukan dan membikin buruk nama perguruan saja, tak berani lapor kepadaku hanya disampaikan kepada istriku saja, sampai sekarang baru aku jelas duduk perkaranya, sengaja kita datang untuk memanggil pulang kedua muridku yang tak genah itu!"   Lam-siau Kongsun Hong tertawa, katanya.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Urusan yang sudah lalu buat apa disinggung lagi, yang terang mereka kena ditipu oleh pamannya apalagi demi nama baik perguruan maka mereka tak berani memberi laporan, maka tak perlu lah terlalu salahkan mereka."   Pak-kiam Siau Ling menghela napas, ujarnya.   "Betapa pun mereka tak bisa diberi ampun."   "Thian-hi!"   Kata Kongsun Hong.   "Ajo, beri hormat kepada Pak-kiam suami istri, inilah Pak-kiam Siau Ling dan Siau-siang-cu To Bwe yang sangat kau kagumi itu!"   Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi sembah hormat.   "Cianpwe berdua harap terimalah sembah sujut Wanpwe Hun Thian-hi!"   "Tak usah banyak peradatan,"   Ujar Pak-kiam Siau Ling.   "perbuatan muridku kurang dapat dihargai, biarlah aku mewakili mereka minta maaf kepadamu!"   "Mana Wanpwe berani terima. Belum lama berselang aku berjumpa dengan saudara Su dan adiknya."   "Dimana mereka?"   Tanya Siau Ling, mukanya rada berubah. Hun Thian-hi rada sangsi, ia berpaling memandang ke arah Kongsun Hong. Kata Kongsun Hong kepada Pak-kiam.   "Ah, urusan bocah tak perlu dipikirkan!"   "Saudara Su telah meninggal."   Demikian Hun Thian-hi menerangkan singkat. Bagai disambar petir seketika Pak-kiam berdiri menjublek, Siau-siang-cu To Bwe melangkah maju menjambret baju Thian-hi teriaknya.   "Apa! Kaukah yang membunuhnya?"   "Bukan!"   Sahut Thian-hi cepat.   "Dia menemui ajal di bawah tangan Kim-i-kongcu Leng Bu!"   Siau-siang-cu To Bwe melepas tangan, gumamnya.   "Kim-i-kongcu Leng Bu! Lalu kemana Giok- lan?"   Thian-hi menunduk, setelah rada sangsi ia menyahut lirih.   "Sudah pergi!"   "Leng Bu! Leng Bu!"   Mulut Pak-kiam menggumam. Matanya terpejam dan mengalirkan air mata. Hun Thian-hi berkata lirih.   "Leng Bu juga telah kubunuh!"   To Bwe berdiri terlongong.   "Kenapa tadi tidak kau ceritakan kepadaku?"   Tanya Lam-siau. Thian-hi bungkam, terpekur sekian lamanya baru pelan-pelan ia mengisahkan pengalamannya yang baru terjadi belum lama berselang.   "Takdir! Takdir!"   Desis Siau Ling sembari menghela papas. Dari atas tembok terdengar lagi gelak tawa yang kumandang, sesosok bayangan hijau melayang turun, teriaknya tertawa.   "Kalian mengobrol begitu gembira, kita menjadi tidak sabar menunggu, maka menyusul kemari!"   Beruntun dari atas tembok melayang turun lagi dua sosok bayangan manusia. Tawar2 saja Lam-siau tertawa, katanya.   "Kiranya adalah Thi-kiam Lojin dari Bu-tong dan Hwi- lam-it-lo, dan sahabat ini kalau aku tidak salah lihat tentu Im-hong-ciang Lim Hong adanya."   Dua orang yang datang belakangan adalah dua orang seorang membawa sebatang pedang yang terselip dipunggungnya, seorang lain menggembol sebatang tongkat warna hijau, orang ketiga adalah laki-laki berusia tiga puluhan air mukanya membeku dingin tentu dia inilah yang berjuluk Im-hong-ciang Lim Hong.   Seru Thi-kiam Lojin bergelak tawa.   "Kongsun Tayhiap sendiri juga sudah hadir, sungguh baik sekali. Entah tindakan apa yang segera kau jatuhkan kepada muridmu ini Kongsun Tayhiap?"   Kongsun Hong mandah tersenyum ewa, ujarnya.   "Urusan ini sulit dibicarakan, sebetulnya segala perbuatan muridku ini itu bukanlah menjadi kehendaknya, dalam hal ini masih ada latar belakang yang sulit diterangkan. Biarlah aku tuntun muridku ini bertandang ke setiap para sahabat yang kena menjadi korban untuk minta maaf dan mohon keringanan hukuman. Entah bagaimana pendapat kalian?"   "Bertandang minta pengampunan?"   Tiba-tiba Hwi-lam-it-lo menjengek, lalu terbahak-bahak, katanya lagi.   "Apakah puluhan korban jiwa manusia itu cukup ditebus dengan bertandang minta pengampunan?"   "Biarlah para keluarganya mencacah hancur tubuh Thian-hi."   Sela Im-hong-ciang Lim Bing.   "Aku tak tanya kau,"   Dengus Lam-siau.   "di tempat ini tiada tempat bagi kau turut campur bicara."   Im-hong-ciang Lim Bing belum lama mengangkat nama di dunia persilatan, sikapnya congkak sudah tentu dia tak mau mengalah, makinya gusar.   "Kongsun Hong, apakah kau mau menjajal berkenalan dengan aku?"   Pak-kiam Siau Ling terloroh-loroh, serunya.   "Aku Siau Ling tak tahu diri, ingin aku minta pengajaran kepada saudara ini!"   Rada berubah rona wajah Thi-kiam Lojin, katanya kepada Siau Ling.   "Siau Tayhiap kenapa berbalik kau bantu mereka?"   Bertaut alis Siau Ling, katanya.   "Bukan melulu Hun Thian-hi saja yang salah dalam peristiwa ini, dia terdesak oleh situasi dan harus melakukan apa saja yang bisa dia demi keselamatan jiwa sendiri. Kenapa kalian mejadi semena2 tanpa mencari tahu duduk perkara sebenar-benarnya. Terpaksa aku bantu mereka!"   Im-hong-ciang Lim Bing mendengus gusar, tantangnya.   "Biar aku Ling Bing belajar kenal betapa tinggi kepandaian Pak-kiam yang kenamaan!"   Habis berkata langsung ia lancarkan serangannya ke arah Siau Ling.   Lam-siau dan Pak-kiam diberi julukan sebagai I-Lwe-siang-ki, sudah tentu mereka masing- masing punya kepandaian simpanan yang melebihi orang lain, sudah tentu angkatan macam Lim Bing yang belum lama angkat nama tidak dipandang sebelah matanya.   Sedikit bergerak mudah sekali Pak-kiam meluputkan diri dari rangsekan lawan, namun Im- kong-ciang Lim Bing tak tahu diri, ia terus menyerbu dengan ketat.   Pak-kiam Siau Ling merasa hutang budi kepada Hun Thian-hi, diam-diam ia sudah berketetapan hati untuk membela mati-matian.   Gesit sekali ia berloncatan menghindari setiap pukulan Lim Bing yang cukup hebat juga.   gerak jeriknya laksana kelinci seperti burung kutilang yang berloncatan di atas dahan pohon, tak kalah hebatnya iapun saban2 balas menyerang kepada Lim Bing.   Begitu saling gabrak kedua belah pihak sudah saling serang menyerang puluhan jurus, Siau Ling lancarkan jurus serangan yang gencar dan deras sehingga Im-hong-ciang Lim Bing kena terdesak mundur.   Sembari mengayun tongkat bambunya segera Hwi-lam-it-to Siang Bing menghardik.   "Siau Ling, jangan kau takabur dan menghina orang!"   Lekas-lekas Siau-siang-cu pun melolos pedang serta jengeknya.   "Biar aku belajar kenal dengan pentung bambu da Hwi-lam-it-lo yang kesohor itu!"   Segera ia menghadang maju, maka merekapun bertempur tidak kalah serunya, Tinggal Thi-kiam Lojin saja yang masih nganggur, mukanya membesi kaku, tapi hatinya gundah, ia tahu dan menurut gelagat, besar kemungkinan mereka bertiga bakal terjungkal dan mendapat malu, menurut dugaan semula disangkanya Pak-kiam suami isteri berdiri dipihaknya, kemenangan terang dan tentu bisa dicapai oleh pihaknya.   Sungguh diluar perhitungan semula kenyataan Pak-kiam suami-isteri membantu Hun Thian-hi malah, ia sendiri tahu bahwa kepandaian sendiri bukan tandingan Lam-siau, terpaksa ia tinggal diam berpeluk tangan saja.   Dalam babak Siau-siang-cu lawan Hwi-lam-it-lo kelihatan sinar pedang dan bambu hijau berkemilauan, saling serang dengan hebat dan serunya, kedua belah pihak kerahkan setaker kepandaian masing-masing, dalam waktu singkat susah dipastikan pihak mana bakal menang.   Sebaliknya Im-hong-ciang Lim Bing jelas bukan tandingan Pak-kiam, untung Pak-kiam turun tangan tidak setakar tenaganya serta memberi sedikit kelonggaran, kalau tidak sejak tadi ia sudah terjungkal mampus.   Meskipun gelisah namun Thi-kiam Lojin tak mampu bertindak.   Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar derap langkah kuda yang dilarikan kencang tengah mendatangi, kira-kira masih berjarak puluhan tombak jauhnya, terdengarlah suitan panjang, Tampak dua sosok tubuh manusia terbang meninggalkan tunggangannya terus meluncur datang ke tengah gelanggang pertempuran.   Begitu kedua orang ini hinggap di tanah, seketika beruba air muka Lam-siau, diam-diam ia mengeluh dalam hati mengapa bisa kedua orang ini tiba disini.   Hun Thian-hi sendiri juga telah melihat tegas orang pendatang ini, bukan lain adalah dua orang penunggang kedua ekor kuda putih tadi.   Sementara itu, Pak-kiam juga telah melirik, melihat kedatangan kedua orang ini diam-diam iapun bercekat, gerakannya gesit sekali dengan telak ia tusuk jalan darah Im-hong-ciang, terus mundur berdampingan dengan Lam-siau.   Demikian juga siau siang-cu dan Hwi-lam-it-lo juga meloncat mundur kembaii ke tempatnya masing-masing.   Begitu melihat kedatangan bala bantuan, legalah hati Thi-kiam Lojin, segera ia bergelak tawa girang, serunya.   "Kiranya Yan-bun-siang-eng Ciok Tayhiap berdua telah datang, entah kemana hinggasekarang kalian baru sampai!"   Berdebar keras jantung Hun Thian-hi mendengar kedua pendatang ini adalah Yan-bun-siang- eng.   Dari penuturan gurunya ia pernah mendengar perihal Yan-bun-siang-eng Ciok sing dan Ciok Gi berdua, mereka masih muda dalam pengalaman kelana di Kangouw, namun selama lima tahun terakhir ini sudah tiga kali mereka pernah meluruk ke Timur tionggoan, mengandal sepasang golok Yan-hap-to dengan pengalamannya yang aneh dan lucu entah sudah berapa puluh nikoh2 Bulim yang terjungkal di bawah tangan mereka.   Sudah tentu semakin hari ketenaran nama mereka semakin menjulang tinggi.   Mereka berdua telah menciptakan ilmu permainan golok gabungan yang sangat lihay, selama ini belum pernah menemukan tandingan yang setimpal.   Dalam pada itu, dengan sikap gagah Siang-eng tengah menerawang keadaan kedua belah pihak, katanya dengan sombong.   "Kedatangan kita bersaudara tak lain adalah untuk belajar kenal dengan tokoh-tokoh kenamaan yang menyebut dirinya I-lwe-siang-ki, betapa tinggi kepandaiannya sejati."   Lam-siau Kongsun Hong bergelak tawa, ujarnya.   "Bagus, bagus! Kita berdua pun telah lama dengar Yan-bun-siang-eng, untung hari ini kita bertemu ingin benar-benar kita minta pengajaran!"   Pak-kiam Siau Ling ikut menjengek.   "Walaupun aku juga pernah dengar Yan-bun-siang-eng, tapi tidak lebih mereka hanya angkatan muka belaka!"   Berubah rona wajah Siang-eng, tanpa bicara lagi serentak mereka membalingkan golok masing- masing, dimana sinar putih gemerlapan, tahu-tahu Yan-hap-to sudah digenggam ditangannya.   Lam-siau saling pandang sebentar dengan Pak-kiam diam-diam hati mereka sudah maklum betapa tinggi kepandain Yan-bun siang-eng ini dilihat cara mereka mengeluarka goloknya, paling tidak lebih rendah dari Thi-kiam Lojin kalau tidak mau dikatakan lebih tinggi, apapula mereka bisa bermain begitu rapi dan ketat mengombinasikain permainan golok yang saling berlawanan, entah pelajaran dari tokoh manakah kepandaian mereka ini.   Pelan-pelan Pak-kiam melolos pedangnya, sedang Lam-siau menanggalkan seruling pualam dari pinggangnya.   Sementara itu gesit sekali Yan-bun-siang-eng sudah bergerak kekanan kiri mengepung kedua musuhnya ditengah gelanggang.   Lam-siau dan Pak-kiam berbareng bergelak tawa panjang, mereka dijuluki I-lwe-Siang-ki, betapa.   tinggi nama dan gengsi mereka serta melihat tingkah laku Yan-bun siang-eng yang sombong dan takabur ini hati mereka menjadi tak senang.   Kongsun Hong angkat serulingnya terus dilekatkan di depan bibirnya.   Lam-siau sudah dua puluh tahun malang melintang di Bulim mengandal Thian-liong-chit-sek dan Siau-im-pit-hiat sudah tentu Siang-eng pun tak berani memandang rendah.   Melihat Lam-siau beniat menggunakan irama serulingnya untuk menundukkm musuhnya, cepat-cepat Siang-eng menggerakkan goloknya terus menyerbu dengan garangnya.   Pak-kiam terbahak-bahak keras, dimana pedang panjangnya berputar-putar segera ia kembangkan Hian-thian-hui-kiam merintangi serbuan Yan-bun-siang-eng.   Tapi permainan sepasang Yan-hap-to Siang-eng memang luar biasa, apalagi Pak-kiam sangat percaya akan tenaga dan kepandaian sendiri secara kekerasan ia sambut serbuan musuh dari kanan kiri, kontan Siau Ling merasa tangannya tergetar keras, tahu-tahu pedangnya sudah mencelat terbang.   Melihat hasil itu Yan-bun-siang-eng semakin berbesar hati, keruan mereka semakin temberang serangan semakin dipergencar.   Kongsun Hong kaget dan merasakan langsung tekanan musuh yang semakin berat, menurut dugaan semula asal Pak-kiam Siau Ling kuat bertahan dua jurus saja cukup baginya berkesempatan untuk meniup serulingnya, maka situasi pertempuran selanjutnya boleh dikata pihak pemenang adalah mereka berdua, siapa duga kejadian justru diluar dugaannya.   Untuk menolong kawannya ia bersuit nyaring seruling ditangannya terbang menyapu dengan dahsyatnya dengan salah satu jurus Thian-liong-chit-sek yaitu yang dmamakan tipu Hwi-liong-wi- khong (naga sakti terbang ditengah angkasa) menghadapi serbuan Yan-bun-siang-eng.   Kombinasi mempermainkan Yan-hap-to kedua kakak beradik dari Yan-bun memang hebat luar biasa, satu maju yang lain menjaga dan melindungi, maju mundur sangat teratur sekali, kadang-kadang serentak menyerbu bersama membacok ke arah Lam-siau dan Pak-kiam.   Sementara itu, belum lagi jurus pertama dilancarkan rampung Lam-siau sudah menarik kembali serangannya ditengah jalan terus dirubah Sin-liong-jip-cui (naga sakti masuk air) tubuhnya mencelat terbang tinggi, seruling pualam terbang menukik dari atas ke bawah, berbareng mengancam jalan darah Hoa-kay-hiat dibatok kepala kedua musuhnya.   Mendapat kesempatan ini Pak-kiam segera melejit ke tengah udara menyamber pedang panjangnya yang meluncur turun, di tengah udara jumpalitan sekali sembari lancarkan Hian-thian- hui-kiam yang hebat merangsak ke arah Siang-eng berdua.   Namun Yan-bun-siang-eng keburu sudah kembangkan Yan-hap-to-hoat yang hebat, golok mereka berputar memetakan sinar gemerdep yang bundar dan melingkar2 mengaburkan pandangan mata.   Meski Pak-kiam dan Lam-siau lancarkan serangan gencar yang hebat tapi kekuatan daya Putar dari pusaran golok lawan adalah begitu hebat dan lebat sekali sehingga setiap jurus serangan mereka selalu kena tertuntun atau dipunahkan begitu gampang oleh tenaga hisap yang kuat itu, begitulah meski mereka berdi atas angin untuk waktu dekat tak mungkin mereka dapat mengalahkan Yan-bun-siang-eng dengan mudah.   Melihat keadaan yang saling bertahan dan sama kuat ini, Thi-kiam Lojin tahu paling tidak mereka harus bertempur sebanyak tiga ratusan jurus baru Yan-bun-siang-eng dapat dikalahkan.   Maka menggunakan kesempatan ini segera ia mulai bergerak setelah memberi isyarat kedipan mata kepada Im-hong-ciang dan Hwi-lam-it-lo serentak mereka menubruk ke arah Hun Thian-hi.   "Sreng!"   Lekas-lekas Siau-siang-cu To Bwe melolos pedang terus menghadang di depan Hun Thian-hi.   Terpaksa Thi-kiam Lojin juga melolos pedang, bersama Im-hong-ciang Lim Bing dan Hwi-lam-it-lo Siang Bing mengepung Hun Thian-hi berdua dari tiga jurusan.   Sudah tentu Lam-siau menjadi gelisah, cepat-cepat berteriak.   "Thian-hi, lekas kau jalan dulu!"   Im-hong-ciang Lim Bing menyeringai dingin, ejeknya.   "Mau lari? Tidak begitu gampang!"   Gesit sekali ia merintangi jalan mundur Hun Thian-hi.   Mau tak mau Hun Thian-hi harus berpikir cermat, seandainya ia betul-betul bisa merat itulah baik sekali, namun paling tidak masih ada dua musuh yang bakal mengejar dirinya, maka kepungan kepada gurunya berdua dengan sendirinya bakal kocar-kacir.   Tapi tiga orang yang dihadapinya sekarang rata2 adalah tokoh-tokoh silat kosen kelas satu dari Bu-lim, seumpama Im- hong-ciang Lim Bing yang paling lemah pun jauh lebih unggul dari kemampuan sendiri.   Karena pikiran ini akhirnya ia harus mengambil keputusan tegas, tangkas sekali kakinya bergerak menyelinap maju seraya kirim genjotan berantai yang deras merangsak ke arah Thi-kiam Lojin.   Melihat Hun Thian-hi menyerang dirinya dengan bertangan kosong terang tidak memandang sebelah mata kepada dirinya Thi-kiam Lojin menjadi murka, seking gusar ia tertawa gelak-gelak malah, pedang panjang bergetar melintas tahu-tahu sudah menukik balik menusuk ke belakang memapak serangan Thian-hi, pikirnya dengan serangan balasan ini ia hendak menabas buntung sebelah tangan Thian-hi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Begitulah disaat Hun Thian-hi menggenjot dengan kerasnya, pedang Thi-kiam Lojin pun sudah menabas datang.   Keruan Siau-siang-cu To Bwe menjerit kaget.   Sangkanya serangan balasan pedang Thi-kiam Lojin ini hanya bertujuan mendesak mundur Thian-hi adalah diluar dugaannya bahwa Thian-hi menyerang dengan bertangan kosong, terang sebelah tangannya itu bakal cacat tanpa ampun lagi.   Tingkat kepandaian dan kedudukan Siau-siang-cu To Bwe sangat tinggi dan hebat, mana mungkin ia mandah saja melihat seorang angkatan muda begitu saja dikutungi sebelah tangannya di depan matanya, sungguh dia tidak berani membayangkan sebelumnya kalau hal ini bisa terjadi.   Akan tetapi kejadian selanjutnya justru membuat ia melongo dan heran bukan buatan.   Disaat pedang Thi-kiam Lojin hampir saja menyentuh tangan Hun Thian-hi, bukan saja Hun Thian-hi tidak berusaha melindungi atau menghindari tabasan pedang musuh kelihatan malah disorongkan ke depan, berbareng tampak selarik sinar hijau berkelebat membawa hawa dingin kontan pedang panjang Thi-kiam Lojin kutung menjadi dua potong.   Seketika Thi-kiam Lojin berdiri kesima.   Siau-siang-cu sendiri pun terlongo heran dan kegirangan.   Begitulah sembari menggembol Badik buntung Hun Thian-hi berkelebat lewat disamping tubuh Thi-kiam Lojin terus meloncat naik ke punggung kudanya.   Terdengar Im-hong-ciang Lim Bing menggertak keras terus mengejar dengan kencang.   Tapi keburu Hun Thian-hi sudah menjepit perut kudanya dan membedalnya cepat-cepat ke samping sana.   Siau-siang-cu menggertak keras sembari melintangkan pedang merintangi mereka bertiga.   Thi- kiam Lojin menggeruhg keras menerjang lewat, sedang Hwi-lam-it-lo mengayun tongkat bambunya menempur Siau-siang-cu.   Maka Thi-kiam Lojin dan Im-hong-ciang Lim Bing berkesempatan mengejar terus ke arah Hun Thian-ki.   Hun Thian-hi larikan kudanya kencang-kencang, Thi-kiam Lojin berdua mengejar dengan cepat.   Sekejap saja lima li telah dilampaui jarak Thi-kiam Lojin berdua semakin jauh, mereka ketinggalan satu li di belakang, tahu mereka kalau mengejar terus pun takkan dapat menyusulnya, terpaksa mereka putar balik dengan uring-uringan.   Sementara itu Hun Thian-hi masih larikan kudanya sekian lamanya, waktu ia berpaling Thi-kiam Lojin berdua sudah tidak kelihatan lagi, baru sekarang ia sempat menghela napas lega.   Diam-diam ia bersyukur dalam hati ditengah jalan ini ia bersua dengan gurunya yaitu Lam-siau sehingga kesulitan dirinya dapat diatasi, terutama bantuan Pak-kiam suami istri sungguh besar artinya, kalau tidak sukar dikatakan bagaimana akibatnya tadi.   Thian-hi mendongak melihat cuaca, dilihatnya hari sudah hampir gelap, namun dirinya masih ditengah perjalanan jauh dari kota atau dusun, sekelilingnya tanah tandus dan hutan lekat yang memagari gurun berpasir menguning melulu.   Tak tahu Thian-hi kemana ia harus menuju.   terpaksa ia biarkan saja kuda hitamnya berjalan kemana dia suka.   Hari sudah gelap gulita, samar-samar dikejauhan di depan sana kelihatan titik-titik sinai pelita yang kelap kelip, mungkin di depan sana ada perumahan atau pedusunan.   Thian-hi menjadi girang, cepat-cepat ia keprak kudanya dilarikan ke arah sana.   Waktu sudah dekat, Thian-ki menjadi melongo karena tempat itu melulu sebuah hutan lebat di atas sebuah pohon besar yang tinggi tergantung beberapa buah lampion, di tengah lampu2 lampion ini duduk bersila di atas sebuah dahan besar seorang tua yang memejamkan matanya.   Hun Thian-hi hentikan kudanya, ia mendongak mengawasi orang tua di atas pohon itu sekian lamanya, diam-diam ia membatin siapakah orang tua ini, dengan lampu2 lampionnya ini ia memancing aku datang kemari apakah maksudnya? Tiba-tiba orang tua itu membuka mata serta gumamnya.   "Eh, betul-betul kepancing datang!"   Bertambah kaget hati Thian-hi mendengar perkataan si orang tua, lekas-lekas ia melorot turun dari tunggangannya terus membungkuk tubuh serta serunya.   "Wanpwe Hun Thian-hi, harap tanya siapakah Cianpwe yang mulia ini?"   Tanpa menunjukkan berubahan mimik wajahnya si orang tua mengawasi Thian-hi dengan cermat, rada lama kemudian baiu membuka mulut.   "Tepat, kiranya kaukah Hun Thian-hi. Akulah Jan-ting Lojin, apakah kau pernah dengar nama ini?"   Hun Thian-hi melengak, ia geleng-geleng kepala, sahutnya.   "Pengetahuan Wanpwe sangat cetek, belum pernah dengar nama ini, Cianpwe menggunakan sinar pelita untuk memancing Wanpwe kemari entah ada urusan apakah?"   Dengan seksama Jan-ting Lojin (situa pelita) mengamat-amati Thian-hi, tanyanya.   "Apa betul kau belum pernah dengar namaku ini?"   Hun Thian-hi geleng kepala. Tanya situa Pelita.   "Apakah gurumu tidak beri tahu kepada kau?"   Hun Thian-hi menjadi was-was dan heran kenapa Situa Pelita ini tanya akan hal ini, ia menggeleng kepala lagi.   Mendadak Situa Pelita mendongak serta terloroh-loroh, gelak tawanya begitu keras memekakkan telinga sehingga menggetarkan seluruh alam sekelilingnya, daun berjatuhan.   Hun Thian-hi bercekat dan berubah air mukanya.   Setelah tertawa sekian lamanya, situa pelita ini mendesis sambil mengertak gigi.   "Sangkamu kau masih bisa seperti dulu tidak memandang sebelah mata kepadaku lagi?"   Hun Thian-hi menjublek di tempatnya, ia tidak tahu kemana juntrungnya perkataan si orang tua, mendadak ia teringat sesuatu serta-merta mulutnya lantas mengiakan, katanya.   "Orang yang Cianpwe maksudkan barusan bukankah Ang-hwat-lo-koay?"   Situa Pelita membelalakkan matanya mengawasi Hun Thian-hi, tanyanya.   "Apa katamu?"   "Bukankah orang yang Cianpwe maksudkan tadi adalah Ang-hwat-lo-koay?"   Situa Pelita mendengus sekali, tanyanya.   "Apakah orang berbaju mas itu kau yang bunuh?"   Thian-hi manggut-manggut, katanya.   "Tapi Cianpwe jangan salah paham, aku bukan murid Ang-hwat-lo-koay."   Situa Pelita berkakakan, pelan-pelan kedua telapak tangannya menepuk kebawah tubuhnya tiba-tiba mencelat ke tengah udara dan terbang melingkar satu bundaran terus hinggap pula di tempat asalnya, katanya kepada Thian-hi.   "Kau sudah takut?"   Bercekat hati Thian-hi, gerak tubuh situa Pelita ini sungguh luar biasa dan mengagumkan, belum pernah dilihatnya sebelum ini, apalagi timbul tenggelam tubuhnya begitu enteng tanpa mengeluarkan sedikit suara atau desiran angin.   Tapi lahirnya Thian-hi tetap tenang, malah ia mendongak dan bergelak tawa juga serunya.   "Apa yang perlu ditakuti?"   "Tidak lebih menakutkan dari ilmu pencacat langit dan pelenyap bumi yang diajarkan oleh gurumu itu bukan?"   "Perlu kutandaskan lagi bahwa aku bukan murid Ang-hwat-lo-koay"   Ujar Thian-hi dengan nada berat.   "Memang kenyataan ia mengajarkan sejurus ilmu ganas itu, kukira kau sendiri sudah tahu berapa banyak jiwa melayang karena ilmu ganas itu?"   Situa Pelita terbungkam seribu basa. Sambung Thian-hi dengan nada lebih tertekan.   "Betapa picik dan licik tujuannya itu, sungguh aku lebih menderita daripada dibunuh olehnya!"   Situa Pelita rada sangsi, ia mendengus tidak percaya.   Hun Thian-hi menundukkan kepala tanpa bicara lagi.   Tiba-tiba Situa Pelita bergerak meluncur tiba kedua tangannya dengan telak mencengkeram kedua pundak Thian-hi, secara gerak reflek Thian-hi meronta sekuat2nya.   Sesaat tampak situa Pelita tertegun sebentar terus menggumam dengan lesu.   "Ah, bukan dia!"   Lalu ia lepas tangan mencelat kembali ke tempatnya semula. Thian-hi mendelong awasi si orang tua tanpa buka suara. Akhirnya situa Pelita menunduk kepala serta katanya lirih.   "Pergilah, selanjutnya jangan kau gunakan lagi jurus ganas itu."   Dilihatnya oleh Thian-hi kelopak mata situa Pelita mengembeng air mata, agaknya ia sangat kecewa dan sekejap mata saja sudah tambah tua puluhan tahun, maka katanya pelan.   "Kalau Cianpwe punya dendam kesumat dengan Ang-hwat-lo-koay Wanpwe bersedia membantu sekuat tenaga, aku tahu dimana sekarang ia berada!"   Situa pelita angkat kepala, ujarnya.   "Tiada gunanya, siang-siang ia sudah pindah tempat. Tak mungkin ia menetap di tempat lama menunggu para musuhnya meluruk datang mencari penyakit padanya."   Thian-hi berdiam diri sekian lama lalu pelan-pelan putar tubuh.   "Kau kembali!"   Tiba-tiba situa Pelita memanggilnya kembali.   "Apakah Cianpwe masih ada urusan?"   Tanya Thian-hi merandek. Situa Pelita termenung sebentar lalu katanya.   "Tadi kau kata bahwa ada banyak orang telah menjadi korban karena jurus Jan-thian-ciat-te itu bukan?"   Thian-hi manggut-manggut. Kata Situa Pelita.   "Kuduga tentu kau mengalami banyak kesulitan karena jurus yang ganas itu. Demikian juga aku memancingmu kemari, walaupun kau takkan dapat membantu aku, namun maksud baikmu itu sungguh mengetuk sanubariku, biarlah kubantu sedikit kepadamu!"   Sebentar Hun Thian-hi berpikir, lalu menggeleng serunya.   "Terima kasih akan kebaikan Cianpwe. Aku terlalu banyak menanam budi orang lain, sampai pun Soat-san-su-gou berempat Cianpwe rela mati demi jiwaku seorang."   Bertaut alis situa Pelita, katanya.   "Apa katamu?"   Terpaksa Thian-hi ceritakan bagaimana Bu Bing Loni mencari dirinya untuk menuntut balas serta pertemuannya dengan Soat-san-su-gou. Berjengkit alis situa Pelita, ujarnya tertawa.   "Kiranya begitu. Kedua tokoh yang dimaksudkan oleh Pek-bi tentu kedua bangkotan tua itu. Ah pengalaman dan pengetahuannya ternyata rada cetek juga. Tapi aku dapat menunjukkan sebuah jalan penerangan, kalau dibanding kedua bangkotan tua di Tiang-pek-san itu jauh lebih kuat berapa kali lipat!"   Wajah Hun Thian-hi mengunjuk rasa sangsi dan heran. Kata situa Pelita menerangkan.   "Dari sini kau langsung menuju ke utara, nanti disana kau bakal menemukan sesuatu rejeki besar. Tiga hari kemudian kau kembali ke sini menemui aku!"   Selesai berkata tubuhnya mencelat berputar satu lingkaran menanggalkan semua pelita yang tergantung di atas pohon terus meluncur cepat ke dalam hutan dan menghilang.   Hun Thian-hi terlongong-longong di tempatnya sekian lama menerawang pesan situa Pelita sebelum pergi tadi, pikirnya.   "betapapun jadinya aku harus pergi mencobanya."   Cuaca masih rada gelap, dengan menunggang kudanya Hun Thian-hi melanjutkan perjalanan ke arah utara, entah berapa lama berselang, hari sudah menjelang pagi, namun sepanjang perjalanan ini tiada sesuatu yang diketemukan.   Jauh dikeremangan kabut.   pagi kelihatan bayangan sebuah bangunan kelenteng bobrok.   Setelah melakukan perjalanan sehari semalam badan terasa penat, segera ia turun berjalan kaki sambil menuntun kudanya, setelah menambat kudanya didahan pohon besar langsung ia beranjak memasuki keleteng bobrok itu.   Begitu sampai diambang pintu dilihatnya seorang Hwesio tua tengah duduk samadi di tengah ruangan besar sana.   Hwesio ini begitu tua sehingga jenggotnya panjang memutih menjulai di depan dadanya, wajahnya kelihatan berwarna merah, jubah abu-abu yang dipakainya kelihatan begitu itu bersih tanpa kena debu sedikitpun, sepintas pandang seakan-akan dewata dalam dongeng.   Begitu Thian-hi melangkah masuk wajah si Hwesio tua lantas berseri tawa, serunya.   "Tuan kecil ini datang dari jauh, harap maaf Lo-ceng tidak menyambut secara semestinya."   Diam-diam kaget hati Thian-hi, tanpa membuka mata lantas Hwesio tua ini mengetahui kedatangannya, lekas-lekas ia memberi soja serta sapanya hormat.   "Wanpwe Hun Thian-hi, menghadapi pada Sin-ceng!"   Hwesio tua itu menggoyangkan tangan ujarnya.   "Tuan ini janganlah menggoda Lo-ceng, Lo- ceng sudah biasa mendengarkan derap langkah orang sehingga sekali dengar lantas tahu berapa usia tuan ini, apalagi sekitar sini tiada pedusunan, terang tuan pasti datang dari tempat yang cukup jauh bukan!"   Memang ucapan si Hwesio tua masuk akal, hanya dari derap langkah saja lantas dapat membedakan berapa usia seseorang, apalagi dia tak pernah membuka mata mungkin memang buta.   Tapi bagaimana mungkin seorang diri cacat lagi bisa hidup di tempat yang terpencil ini.   Hwesio tua itu agaknya dapat menebak isi hati Hun Thian-hi, katanya tersenyum.   "Aku punya seorang murid kecil, tapi sekarang sedang keluar."   Hun Thian-hi manggut-manggut, batinnya.   "Tak heran, kukira kau sebatang kara disini. Seorang tua buta lagi mana mungkin bisa hidup di tempat semacam ini!"   Hwesio tua itu tertawa lagi, katanya.   "Silakan duduk tuan, ada beberapa persoalan yang ingin Lo-ceng bicarakan dengan tuan!"   Hun Thian-hi tertegun, pikirnya.   "Aku main terobosan masuk kemari, ada urusan apakah yang hendak dibicarakan oleh Hwesio tua ini?"   Dalam hati ia bertanya-tanya namun ia menurut duduk dihadapan Hwesio tua. Rada lama si Hwesio tua terpekur, katanya.   "Selama enam puluh tahun Lo-ceng menunggu disini, hanya besoklah saatnya yang kunantikan!"   Bercekat hati Thian-hi, menunggu selama enam puluh tahun, jadi paling tidak usia Hwesio tua ini sedikitnya ada delapan atau sembilan puluh tahun, atau mungkin sudah melampaui seabad. Terdengar Hwesio tua itu sedang bicara.   "Di dalam lembah di belakang kelenteng ini ada sepucuk pohon yang bernama Kiu-thian-cu-ko, enam puluh tahun yang lalu waktu aku datang kebetulan buah dan kembangnya telah gugur, besok justru adalah saatnya ia berkembang dan berbuah masak!"   Berdebur jantung Thian-hi, Kiu-thian-cu-ko adalah buah Dewata yang sukar didapat dengan khasiatnya yang sangat mujarab.   Konon kabarnya setiap enam puluh tahun sekali baru berbuah, jumlah seluruhnya hanya sembilan buah, sungguh tak terduga di tempat ini dirinya bisa menemukan buah dewata yang sangat berharga itu.   Kata si Hwesio.   "Lo-ceng sudah menjaganya selama enam puluh tahun, namun bagi aku kesembilan buah itu tiada gunanya, hari ini kebetulan tuan datang kemari, biarlah aku pinjam bunga persembahan kepada sang Budha (memberi sedekah), kuberikan seluruhnya kepada tuan!"   Keruan Thian-hi terkejut, serunya.   "Mana boleh jadi? Benda macam KUi-thian-cu-ko yang begitu tinggi nilainya dijaga selama enam puluh tahun oleh Sinceng lagi, mana bisa diberikan begitu saja kepala orang lain?"   Hwesio tua tertawa, ujarnya.   "Tapi tidak begitu gampang kau untuk mendapatkan pucuk buah ajaib ini. Ketahuilah ada seekor ular sanca besar yang juga telah menunggu selama enam puluh tahun, masih ada lagi seorang aneh yang menunggunya selama tiga puluhan tahun pula!"   "Begitupun tak mungkin jadi,"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sahut Thian-hi mengiakan keterangan orang.   "Besok biarlah aku pergi mencobanya, jikalau dapat kurebut, aku rela persembahkan kepada Sin-ceng!"   Hwesio tua menggeleng kepala sambil tersenyum. Kata-Thian-hi lagi.   "Meskipun tiada perlunya bagi Sin-ceng, namun kau sudah susah payah menunggunya selama enam puluh tahun. Kukira tentu sangat memerlukannya bukan?"   "Walaupun Lo-ceng tidak bisa main silat."   Demikian ujar Hwesio tua sembari tertawa-tawa.   "namun hidup sampai setua ini perihal seluk beluk Bulim kuketahui juga. menurut jalan pernapasan tuan ini, bakat dan tulang tuan sungguh merupakan rahmat yang terbaik, apalagi dalam usia menanjak dewasa. Murid Lo-ceng sendiri tidak becus, maka dengan sukarela dan senang hati kuberikan pucuk pohon buah ajaib itu kepada tuan, harap tuan tidak menolak lagi."   Melihat orang bicara begitu tulus dan sungguh hati Thian-hi menjadi tidak enak dan risi.   Toh disana masih ada orang lain yang ingin merebutnya juga, belum tentu dirinya bisa berhasil memetiknya, terpaksa sekarang disetujui dulu saja.   maka segera ia menjawab.   "Terpaksa kunyatakan banyak terima kasih akan karunia Sin-ceng."   Hwesio tua tersenyum ujarnya.   "Suatu hal perlu kutegaskan, kalau tuan sudah setuju maka betapa juga, jangan sampai buah2 ajaib itu terjatuh ketangan orang lain."   Thian-hi menjadi terhenyak melongo, sungguh ia tak habis heran kenapa jalan pikirannya dapat diketahui oleh Hwesio tua ini, terpaksa ia menyahut.   "Wanpwe akan berbuat sekuat tenaga."   "Tuan tentu sangat lelah,"   Begitu ujar Hwesio tua.   "silakan istirahat sebentar!"   Habis berkata.   dengan telapak tangannya ia meng-usap2 di depan muka Thian-hi, kontan Thian-hi lantas tercatuh mendengkur dan tertidur nyenyak.   Waktu Thian-hi siuman dari tidurnya hari sudah terang benderang pada hari kedua.   Tersipu- sipu Thian-hi meloncat angun, ia heran mengapa sekali tertidur dirinya sampai pulas sehari semalam, waktu ia mengerling Hwesio tua itu sudah tak berada ditempatnya, sesaat ia terlongong, baru sekarang ia sadar bahwa, Hwesio tua ini pasti seorang sakti waktu ia lari keluat tampak kuda hitamnya masih tertambat di bawah pohon sana.   Thian-hi masih teringat pesan Hwesio tua kemaren, maka segera ia menyesuri jalanan kecil menuju ke belakang kelenteng.   Dengan ilmu ringan tubuhnya ia memanjat naik kebukit yang tidak begitu tinggi, tiba dipuncak bukit hidungnya lantas dirangsang bau harum semerbak.   Sebenfar berdiri menerawang keadaan sekitarnya, tampak olehnya diseberang bukit sebelah depan sana terdapat sebuah gua esar, di depan gua ini melingkar seekor ular sanca besar warna putih tengah berhadapan dengan seorang tua yang mengenakan jubah kuning.   Ular dan orang itu diam tak bergerak seperti ajam adonan, masing-masing tiada yang berani bergerak dulu, namun besar hasrat masing-masing untuk mendahului mendapatkan buah ajaib yang berbau wangi.   Agaknya orang tua jubah kuning itu tidak sabaran lagi, gesit sekali ia berkelebat hendak menerjang masuk ke dalam gua, namun secepat anak panah ular sanca putih itu mematuk mengarah tenggorokannya.   Orang tua jubah kuning menjadi gusar, dengan menghardik keras ia melolos sebilah pedang terus membabat kemonciong ular yang ternganga lebar itu.   Ternyata siular besar inipun pandai berkelahi, dengan menekuk badannya ia sampok pedang musuh kesamping tubuhnya terus meluncur hendak menerjang ke dalam gua.   Sijubah kuning menggertak keras, pedangnya berputar mempetakan setabir kabut sinar putih mendesak mundur ular putih itu keluar gua pula, begitulah mereka saling berhadapan lagi diluar gua dengan siap siaga.   Meski hanya melibat beberapa gebrak pertarungan antara ular dan manusia ini namun diam- diam bercekat hati Thian-hi, batinnya, kalau kepandaianku dibanding dengan ular dan sijubah kuning terang terpaut teramat jauh sekali.   Kiu-thian-cu-ko itu jangan harap dapat kuperoleh, tapi aku sudah berjanji kepada Hwesio sakti itu, masa lantas mundur begini saja.   Bau harum yang teruar keluar dari dalam gua semakin tebal, jelas sijubah kuning dan ular besar Itu semakin bersitegang leher, pelan-pelan Hun Thian-hi menggeser maju ke arah gua besar itu.   Waktu ia menggeremet tiba di atas samping gua, untung saking tegang dan tumplek perhatian musuh dihadapannya ular dan sijubah kuning tidak mengetahui kehadirannya.   Kelihatan kedua musuh bertengger ini sudah tak sabar lagi, mendadak sijubah kuning mengayun pedangnya menyerang ke arah ular sanca sebat sekali ular putih berkelit tanpa hiraukan sijubah kuning lagi ia mendahului melesat masuk ke dalam gua Tapi gerak-gerik sijubah kuning cukup hebat.   lincah sekali tangan kirinya bergerak dengan telak telapak tangannya memukul ketubuh siular, terdengar ular putih mendesis keras, tubuhnya melenting balik mematuk kedua biji mata sijubah kuning.   Terpaksa sijubah kuning mundur selangkah, pedang ditangan kanan lagi-lagi membabat ke kepala musuh.   Siular putih terdesak dan mundur berkelit, kontan jubah kuning timpukan pedangnya mengarah kedua biji mata sang ular, tanpa melihat apakah serangannya bakal berhasil segera ia menerobos masuk ke dalam gua.   Keruan ular putih menjadi gugup, tubuhnya masih cukup gesit bergerak namun tak urung badannya sudah kena luka tergores, namun ia berhasil melenting maju merintangi si jubah kuning masuk ke dalam gua, maka dengan geram sijubah kuning ayun jotosannya menghantam sekuatnya menggetar mundur sang ular, sementara waktu mereka berhadapan lagi tanpa bergerak.   Diam-diam Thian-hi menghela napas lega, katanya dalam hati "Untung! Masih belum ada ketentuan pihak mana yang menang dan asor, kalau tidak sedikitpun ak takkan punya harapan."   Tengah ia termenung sekonyong-konyong ia merasa telinganya seperti dikili2 dengan hembusan angin silir, keruan kejutnya bukan kepalang, lekas-lekas ia berpaling dilihatnya seorang Hwesio kecil yang bertubuh tambun buntak tengah berseri tawa kepadanya.   Mengkirik kuduk Thian-hi, untung orang tiada niat mencelakai jiwanya, kalau tidak sejak tadi jiwanya tentu sudah melayang.   Sekian lama Hwesio cilik itu tertawa-tawa lucu lalu berseru lirih.   "Kau ingin mendapatkan Kiu- thian-cu-ko itu bukan?"   Thian-hi manggut, baru saja ia hendak bicara, Hwesio cilik sudah mencegahnya dengan mendesis mulut dan menegakkan jari tangannya di depan mulutnya, begitu menarik tangan Thian- hi terus diajak lari kebawah bukit.   Thiar-hi mandah saja diseret kebawah bukit tanpa mampu mengeluarkan tenaga untuk meronta.   Setiba di bawah Hwesio cilik itu memandang Thian-hi dan berkata.   "Kalau kau ingin benar-benar, aku bisa membantu kau!"   Thian-hi rada sangsi, namun akhirnya ia berkata.   "Harap tanya Siausuhu ini bergelar nama siapa?"   "Siausuhu apa?"   Dengus Hwesio cebol itu rada tak senang.   "usiaku jauh lebih tua dari kau, orang lain sering panggil aku Siau-hosiang (Hwesio jenaka), kau panggil aku Siau-hosiang saja!"   Hati Thian-hi menjadi geli dan ingin tertawa, namun tak enak dikatakan, terpaksa ia manggut- manggut saja, katanya.   "Siau-hosiang! Kau ada cara baik apa?"   Hwesio cilik bernama Siau-hosiang terkekeh-kekeh melebarkan mulutnya tanpa membuka kata.   Thian-hi tahu bahwa ilmu silat Hwesio jenaka ini jauh lebih tinggi dari kemampuannya, kalau sudi membantu betul-betul merupakan pembantu yang boleh diandalkan, maka ia menambahi.   "Kalau sudah dapat nanti kita bagi rata hasilnya bagaimana?"   Hwesio jenaka menarik muka, jengeknya.   "Bagi rata? Kataku tadi aku hanya membantu kepadamu, kalau aku mau gampang saja aku turun kesana mengambilnya, buat apa harus bagi rata dengan kau apa segala!"   Terpaksa Thian-hi minta maaf, sambungnya.   "Tapi kau hanya tertawa-tawa saja tidak beritahu cara bagaimana harus bekerja, kalau.,"   "Ah, ada aku disini masa perlu kuatir apa lagi?"   Kata Hwesio jenaka sambil menepuk dada. Melihat sikap Hwesio cilik yang takabur ini, Thian-hi menjadi uring-uringan, katanya.   "Jangan kau bicara begitu takabur!"   Hwesio jenaka tertegun sebentar lantas melebarkan mulutnya lagi terkekeh-kekeh, serunya.   "Memang benar-benar, tapi aku ada pegangan dan pasti berhasil. Hari ini kau ada kerja maka kubantu kau kelak kalau aku punya urusan dan minta bantuanmu apakah kau sudi membantu?"   Thian-hi tercengang, tanyanya.   "Kau ada urusan apa?"   "Sekarang tiada,"   Sahut Hwesio jenaka dengan riang.   "maksudku kelak kemudian hari kalau aku kena perkara apakah kau sudi membantu aku?"   "Tidak kau jelaskan urusan apakah itu, mana aku tahu dapatkah aku membantu?"    Geger Solo Karya Kho Ping Hoo Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini