Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 5


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 5


Badik Buntung Karya dari Gkh   Hwesio jenaka menunduk berpikir sebentar lalu angkat kepala serunya.   "Mari kita naik ke atas!"   Begitulah dilain saat mereka sudah tiba dipuncak bukit, waktu memandang ke depan sana kelihatan sijubah kuning dan ular putih masih bersitegang leher berhadapan. Kata Hwesio jenaka.   "Biar aku turun kesana, kau bekerja menurut isyaratku!"   Thian-hi manggut-manggut, Hwesio jenaka tertawa lebar kepadanya terus berjalan bergoyang - gontai seperti gentong! menggelinding ke bawah lembah sana.   Sekilas sijubah kuning dan ular putih berpaling ke arah Hwesio jenaka lain berpaling lagi bersiaga.   Hwesio jenaka terloroh-loroh menghampiri ke arah sijubah kuning serunya.   "Sicu tua ini, apakah yang kau tengkarkan dengan ular putih ini?"   Sijubah kuning mendengus hidung tanpa hiraukan dirinya.   Sembari tertawa-tawa Hwesio jenaka melangkah lebar masuk gua.   Tersipu-sipu si jubah kuning dan ular putih itu menghadang di depannya, dengan pura-pura kaget Hwesio jenaka melompat mundur teriaknya.   "Waduh! Hebat benar-benar!"   Teriak sijubah kuning.   "Hwesio cilik, tiada urusanmu disini, lekas minggir!"   "Sicu tua,"   Ujar Hwesio jenaka.   "salah ucapanmu, aku Hwesio cilik ini ingin masuk kesana untuk istirahat, kenapa kau menghadang merintangi aku?"   Sijubah kuning tahu bahwa kepandaian Hwiesio jenaka tidak lemah, maka katanya lagi.   "Hwesio cilik, kau usir ular-ular ini, Kiu-thian-cu-ko yang berada di dalam gua nanti boleh kita bagi dua, bagaimana?"   "Kiu-thian-cu-iko apa?"   Hwesio jenaka pura-pura membodoh.   "aku belum pernah dengar!"   S ijubah kuning menggeram jengkel, katanya gegetun.   "Mari kau bantu aku mengusir ular ini saja."   "Itu boleh," -sahut Hwesio jenaka manggut-manggut.   "selamanya, aku Hwesio cilik paling suka membantu kesulitan orang, tapi kalau aku bantu kau mengusir ular ini, kau jangan mengganggu tidur nyenyakku lho!"   "Baik! sahut sijubah kuning aseran. Hwesio jenaka putar tubuh menghadapi siular putih, dengan gentar ular putih surut ke belakang terus melingkar bundar, kepalanya menegak tinggi dengan lidah melelet2 mengawasi Hwesio jenaka. Hwesio jenaka sendiri kelihatan rada takut-takut, selangkah demi selangkah maju mendekat, tangan diulur ke depan lalu ditarik kembali cepat, mulutnya berkaok.   "Sicu tua, marilah kau maju membantu."   Biji mata sijubah kuning berputar-putar, ia jemput pedang panjang di tanah terus berlari kencang menerobos masuk ke dalam gua.   Ular putih ternyata sudah siaga, tidak kalah cepatnya iapun melesat mengejar ke arah sijubah kuning, tangkas sekali sijubah kuning memutar badan seraya melontarkan pedangnya.   mengarah siular putih, gesit sekali ular putih nenekuk badan menukik kebawah seraya pentang mulutnya mematuk pundak sijubah kuning.   Terdengar sijubah kuning menggerung keras, tangan kanannya membalik mencengkeram leher ular dengan kencang tidak dilepas!agi.   Kesempatan ini digunakan oleh Hwesio jenaka lari ke dalam gua, tak lama kemudian kelihatan ia berlari keluar lagi sambil menggembol seonggok dedaunan terus berlari kencang ke atas bukit.   Sijubah kuning berteriak panjang, dengan gusar ia mengumpat caci terus bergerak mengejar dengan kencang.   Sekejap saja suara teriakannya semakin jauh dan tak terdengar lagi.   Thian-hi menghela napas lega, dari atas bukit ia melihat tegas, dedaonan yang dibawa lari oleh si Hwesio cilik bukan lain hanya dahan pohon yang lebat dengan daun-daunnya yang menghijau.   Tapi bagi penglihatan sijubah kuning Kesekelebatan warna hijau pupus, sungguh tak terpikirkan olehnya bahwa ini merupakan jebakan memancing harimau meninggalkan sarangnya, tanpa pikir panjang segera ia lari mengejar sembari membawa ular putih itu.   Cepat-cepat Thian-hi turun ke dalam lembah terus masuk ke dalam gua, setelah membelok sebuah tikungan tampak sebelah depan sana terdapat sebuah jembangan dengan airnya yang jernih kelihatan dasarnya.   Ditengah jembangan ini kelihatan tumbuh sepucuk pohon kecil berdaon sembilan berbuah sembilan biji warna merah darah, warna daonnya hijau pupus berkilau menjadi sangat kontras sekali dengan warna buahnya.   Dalam-dalam Thian-hi menyedot hawa, terasa bau harum merangsang hidung menyegarkan badan dan membangkitkan semangat.   Sungguh mimpi juga tak terduga sebelumnya bahwa buah ajaib yang tak ternilai itu betul-betul berada di depan matanya.   Sesaat ia menjadi kememek dan tidak tahu cara bagaimana ia harus bekerja, tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun ia bakal memperoleh buah dewata yang sukar didapat, kalau dikata memang sukar dipercaya, tapi kalau rejeki ini ditolak tak lama kemudian buah dan daon ajaib ini segera bakal menjadi kuju dan laju.   Tengah Thian-hi terpekur tiba-tiba sebuah bayangan orang meluncur hinggap di depannya, Thian-hi terperanjat dan menyurut mundur, waktu ia menegasi kiranya si Hwesio jenaka.   Tetap dengan sikapnya yang tertawa-tawa Hwesio jenaka berkata.   "Bagaimana? Eh tidak lekas kau ambil dan menemuinya, sebentai lagi bakal laju kering lho!"   "Siausuhu kenapa kau sendiri tidak mau menelannya?"   Tanya Thian-hi.   "Segala sesuatu di dunia ini pasti ada sebab dan akibatnya. Jika sudah ditakdirkan bahwa buah ajaib ini bakal menjadi milikmu, lekaslah Sicu menelannya!"   Thian-hi masih rada sangsi, tiba-tiba Hwesio jenaka melompat maju menutuk jalan darahnya, cepat-cepat kesembilan buah merah itu dipetik terus dijejalkan semua kemulut Hun Thian-hi.   Terasa oleh Thian-hi rasa manis dan harum tertelan melalui tenggorokannya terus melebar keseluruh tubbhnya, tak terasa lagi kepalanya menjadi berat dan ia jatuh pingan.   Entah berapa lama berselang waktu ia pelan-pelan siuman dilihatrrja.   Hwesio jenaka tengah berdiri disamping sambil tertawa riang, ditangannya masih menyekal pucuK daun warna hijau berjumlah sembilan tangkai.   Sedikit bergerak lantas Thian-hi rasakan badannya sangat enteng.   "Kusampaikan selamat. tuan kecil!"   Ujar Hwesio jenaka menggoda.   "Akupun banyak terima kasih akan bantuan Siausuhu!"   Jawab Thian-hi sungguh-sungguh. Hwesio jenaka memalingkan kepalanya, mulut bergerak hendak bicara namun diurungkan. Teringat oleh Thian-hi akan permintaan Hwesio jenaka di atas bukit tadi, maka katanya.   "Siausuhu. kalau kau betul-betul memerlukan bantuanku, dimana dan kapan saja pasti aku membantumu sekuat tenagaku!"   Hwesio jenaka berseri tawa.   "Sembilan tangkai daun ini merupakan benda yang sangat berharga, silakan kau simpan Saja!"   Melihat orang tidak menyinggung persoalan tadi, Thian-hi rada kikuk dan jadi menyesal, dengan menunduk ia sambuti kesembilan tangkai daun hijau lalu hati-hati disimpan ke dalam baju.   "Kau sudah tidur sehari lamanya,"   Kata Hwesio jenaka.   "hari ini tepat hari ketiga boleh kau pergi menemui Situa Pelita itu!"   Thian-hi melengak, tak habis herannya dari mana Hwesio jenaka ini mengetahui perihal pertemuannya dengan situa Pelita itu.   Hwesio jenaka mandah tertawa lucu, semoga Selamat berjumpa kelak!" hilang suaranya badannya pun melenting keluar gua.   Thian-hi menjublek ditempatnya sekian lamanya baru pelan-pelan beranjak keluar dari gua, sedikit menyedot hawa dan mengempos semangat badannya lantas bergerak ringan seenteng asap seperti menunggang awan, keruan ia melengak dan keheranan, sungguh diluar tahunya bahwa khasiat buah ajaib itu ternyata begitu aneh dan mustajab.   Begitu ia ganti napas badannya lantas meluncur turun, segera ia empos semangatnya terus berlari kencang kepuncak bukit betapa cepat luncuran tubuhnya sungguh sangat mengejutkan dan diluar perhitungannya, sekejap mata ia sudah tiba di depan gunung lagi.   Waktu ia melangkah memasuki keleteng brobrok itu keadaan sunyi senyap tiada seorang pun yang tinggal hanya kasur bundar buat semadi itu.   Thian-hi berlutut serta menyembah empat kali ke arah kasur bundar itu lalu keluar dari pintu samping, setelah mengambil kudanya ia berjalan balik ke arah datang semula.   Pengalaman tiga hari ini seolah-olah dalam mimpi saja, suatu kejadian yang agaknya tak mungkin terjadi, namun kenyataan telah dialami olehnya.   Hwesio tua itu sudah menunggu selama enam puluh tahun akhirnya buah itu diberikan kepada dirinya secara mentah-mentah, demikian juga Hwesio jenaka suka rela membantu dirinya tanpa pamrih.   Waktu ia membedal kudanya sampai di tempat semula, tampak Situa Pelita sudah menunggunya duduk di bawah pohon besar yang rindang.   Tersipu-sipu Thian-hi turun dari tunggangannya terus menjura dalam.   Dengan cermat situa Pelita mengawasi Thianhi sambil tersenyum simpul, katanya.   "Apakah kau sudah bertemu dengan Go-cu Taysu?"   "Go-cu Taysu?"   Ulang Thian-hi dengan tak mengerti. Situa Pelita melengak, tanyanya.   "Apa kau tidak jumpa dengan beliau?"   "Apakah beliau seorang Hwesio tua yang buta sepasang matanya serta beralis dan berjenggot putih?"   "Bukan!"   Sahut situa Pelita.   "Kedua biji mata Go-cu Taysu tidak buta. Apa kau benar-benar tidak berjumpa dengan Go-cu Taysu?"   Hun Thian-hi termenung beberapa saat tanpa buka suara lagi.   "Apakah kau sudah sampai di kelenteng bobrok itu?"   Desak situa Pelita. Thian-hi manggut, sahutnya.   "Tapi yang kutemukan hanya seorang padri tua yang buta!"   "Begitulah jodoh, beliau tentu Go-cu Taysu adanya. Seluruh kaum persilatan di kolong-langit ini yang paling ditakuti oleh Bu Bing Loni hanya beliau seorang. Dan hanya Bu Bing Loni dan aku saja dari seluruh jagat ini yang mengetahui adanya tokoh yang lihay ini!"   Thian-hi kesima sekian lama, katanya.   "Kiu-thian-cu-ko yang beliau tunggu 5elama enam puluh tahun telah diberikan kepadaku!"   "Apa?"   Situa Pelita tersentak kaget. Thian-hi lantas tuturkan pengalamannya selama tiga hari ini. Situa Pelita manggut-manggut serta katanya tersenyum.   "Begitupun baik, sayang kalau Go-cu Taysu sendiri mau memberi petunjuk langsung kepadamu tentu lebih besar manfaatnya!"   Diam-diam Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, tokoh macam apakah sebenar-benarnya Go-cu Taysu itu, betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Situa Pelita tertawa-tawa, ujarnya.   "Namun rejeki yang kau peroleh pun merupakan karunia yang sukar didapat oleh orang lain. Tapi kau harus tahu ini baru permulaan dari Sebab itu, kelak tentu banyak pekerjaan dari akibat itu untuk kau selesaikan."   "Kemanakah kiranya Go-cu Taysu sekarang, apakah Cianpwe tahu jejaknya?" "Orang muda jangan terlalu serakah. Jejak Go-cu Taysu selamanya. sukar diketahui orang, buat apa kau tanya kepadaku?"   "Bukan begitu maksudku, tujuanku hanya ingin tanya berbagai persoalan kepada beliau!"   Situa Pelita geleng-geleng kepala, ujarnya.   "Mungkin kalau ada jodoh atau secara kebetulan saja baru kau ada kesempatan bertemu dengan beliau!"   Sesaat mereka berdiam membungkam, Situa Pelita membuka suara.   "Sijubah kuning itu kuduga adalah Mo-lam-it-koay, sedang Hwesio jenaka itu aku kurang terang. Karena kejadian ini ia menanam permusuhan dengan Mo-lam-it-koay, kelak tentu banyak perhitungan yang harus kau pikul!"   Diam-diam Thian-hi mencatat nama Mo-lam-it-koay dalam sanubarinya.   "Aku masih punya urusan yang harus segera kuselesaikan. Rejekimu begitu nomplok maka kau harus hati-hati dan bisa menjaga diri baik-baik karena ilmu silatmu sekarang belum mencukupi Gin-ho-sam-sek pemberian Soat-san-su-gou boleh kau pelajari dulu, belakang hari kalau ada jodoh kita bisa berjumpa kembali!" habis berkata terus tinggal pergi. Setelah situa Pelita hilang dari pandangan matanya Thian-hi merasa hatinya hampa dan cemas, lama dan lama kemudian baru ia cemplak kudanya melanjutkan perjalanan ke depan. Sejak menelan Kiau-thian-cu-ko Lwekangnya maju pesat, sepanjang perjalanan ini tak mengenal kesal ia pelajari ilmu Gin-ho-sam-sek. Tak terasa tahu-tahu tiga hari sudah lewat, selama ini ia tidak menemui rintangan apa di tengah jalan. Tapi ia tahu bahwa seratusan li di sekitarnya banyak orang tengah memata2i dirinya. Hari itu pagi2 benar-benar Thian-hi sudah congklang tunggangannya melanjutkan perjalanan. Kira-kira puluhan li kemudian, tiba-tiba puluhan kuda tunggangan membedal datang dari belakang. Thian-hi hentikan kudanya menunggu, puluhan ekor kuda itu melesat lewat di kedua sampingnya, terus secepat kilat dihentikan dan putar balik berdiri jajar mencagat di depan Thian- hi. Terlihat oleh Thian-hi puluhan orang itu mengenakan seragam pendek warna hijau, punggung mereka mengenakan mantel besar, hanya seorang yang ditengah adalah seorang gadis remaja yang mengenakan pakaian serba merah, mantel yang dikenakan pun warna merah menyolok. Orang yang paling pinggir memajukan kudanya serta bertanya kepada Thian-hi.   "Apakah kau ini murid Lam-siau Hun Thian-hi?"   Hun Thian-hi manggut-manggut tanpa buka suara. Terdengar orang itu berseru lantang.   "Atas perintah dari Hwi-cwan Pocu, persilahkan Hun- siauhiap mampir sebentar di Hwi-cwan-po!"   Thian-hi menyapu pandang dulu ke puluhan orang itu baru balas tanya.   "Untuk urusan apa?"   "Siauhiap akan tahu setelah sampai disana!"   Thian-hi tertawa tawar, katanya.   "Terima kasih akan maksud baik Pocu kalian. Harap beri lapor kembali pada Pocu kalian katakan bahwa aku Hun Thian-hi punya urasan penting, belakang hari kalau ada waktu tentu aku mampir kesana!"   Orang itu tertegun sebentar lalu berpaling ke arah gadis baju merah.   "Sekarang juga. harus kesana!"   Akhirnya gadis baju merah ikut bicara.   "Karena urusan Leng Bu bukan?"   Seru Thian-hi sembari gelak tertawa.   "Siapapun boleh dan harus membunuh Leng Bu, betapa tercela sepak terjangnya masa Hwi-cwan-po ada maksud menuntut balas baginya?"   Gadis baju merah menarik muka, bentaknya.   "Kau tidak mau pergi terpaksa kita gunakan kekerasan!"   Thian-hi menjengek dingin.   "Ya, biar aku belajar betapa hebat tiga belas jurus Hwi-cwan-kin- soat dari Hwi-cwan-po kalian!"   Gadis baju merah tertawa dingin, para kerabatnya segera maju merubung kesekeliling Thian-hi.   Thian-hi pentang lebar matanya manyapu pandang para pengepungnya, tahu dia bahwa hari ini terpaksa ia harus gunakan kekerasan lagi.   Maka segera kudanya dikeprak maju terus menerjang lebih dulu.   Serentak puluhan mantel bertebaran menari2 menggulung berbareng ke arah Thian-hi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Thian-hi menggertak keras tubuhnya mencelat tinggi ke tengah udara sedang kudanya masih membedal ke depan terus, ditengah udara Thian-hi mainkan gaja tubuhnya yang indah berkelit kian kemari dari samberan mantel2 musuh dan membelesot lewat dari tengah celah kepungan musuh terus meluncur duduk kembali dipunggung kudanya.   Baru saja belum sempat ia membetulkan tempat duduknya, terdengar teriakan nyaring merdu sekuntum awan merah disertai angin menderu keras menerpa ke arah dirinya.   Tahu Thian-hi bahwa gadis baju merah telah menunjukkan aksinya.   Tanpa ayal ia dorong ke depan kedua telapak tangannya memapak menyambut serangan mantel merah lawan Begitu serangan pertama gagal, jurus kedua yang lebih hebat dari sigadis baju merah telah melandai tiba pula.   Thian-hi tidak perlu gentar mengingat Lwekangnya baru saja maju berlipat ganda, enteng sekali tangan kanan dijulurkan keluar mencengkerana mantel gadis baju merah terus dibetotnya mentah-mentah, dan usahanya ternyata berhasil.   Tapi seiring dengan lari kudanya yang membedal lewat cepat-cepat ia timpukkan pula mantel rampasannya kemuka gadis baju merah, maka dilain kejap ia sudah menyongklang kudanya ke depan.   Gadis baju merah kelabakan sebentar, namun dilain saat ia sudah larikan kudanya pula mengejar dengan kencang.   Dari kejauhan terdengar gadis baju merah berteriak.   "Berani kau lari! Ketahuilah gurumu tertawan di Hwi-cwanj-po, malah Pak-kiam suami isteri juga disana."   Terkejut Thian-hi, segera ia tarik kendali kudanya sehingga lari pelan-pelan. Waktu ia berpaling tampak gadis baju merah memutar balik kudanya seraya berseru.   "Kau mampir tidak terserah kepadamu!" Thian-hi menghentikan kudanya terus memutarnya balik. Melihat Thian-hi putar balik gadis baju merah tertawa senang, kakinya menendang perut tunggangannya terus dibedal ke depan. Sungguh berat perasaan Thian-hi. Sungguh daluar tahunya, bahwa gurunya bisa tertawan oleh Hwi-cwan-po di Kanglam, tak bisa tidak ia harus percaya akan berita ini karena hari itu ia tinggal lari begitu saja Lam-siau dan Pak-kiam berdua masih bertempur seru, setelah ia lolos kemungkinan besar Thi-kiam Lojin dan Im-hong-ciang Lim Bing kembali dan mengeroyok mereka, dapatlah dibayangkan pihak mana bakal menang. Melihat Thian-hi kena terpancing akan kata-katanya dan tunduk berpikir, gadis baju merah berpaling dan berteriak lagi.   "Lekas! Apa lagi yang kau pikirkan?"   Thian-hi angkat kepala, pikirnya urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh terpaksa aku harus ikut mereka ke Hwi-cwan-po, Karena pikirannya ini segera ia tendang perut kudanya terus dibedal ke depan.   Gadis baju merah tertawa lebar, tangannya diulapkan memberi aba-aba, puluhan anak buahnya segera bergerak mengelilingi sekitar Thia-hi berlari kencang.   Sekilas Thian-hi menyapu pandang mereka, namun tak bicara apa-apa kudanya dilarikan terus mengintil di belakang gadis baju merah.   Entah berapa lama dan betapa jauh perjalanan yang sudah ditempuh ini, tiba-tiba jauh di depan sana kelihatan puluhan kuda mendatangi dengan cepat.   Begitu dekat puluhan kuda itu lantas berjajar rapi menghadang di tengah jalan.   Dengan muka dingin membeku Gadis baju merah mengajukan kudanya lebih dekat, matanya yang jeli berputar menyorotkan sinar tajam menatap satu persatu para pendatang ini.   Melihat cara dandanan para pendatang ini diam-diam Thian-hi terkejut, pikirnya, kenapa anak buah Tong-ting-kun juga meluruk kemari? Pada jauh di belakang sana berlari kencang seekor kuda putih tengah mendatangi.   seorang pemuda yang membekal pedarg panjang menerobos lewat dari puluhan pencegat itu terus menghampiri ke depan gadis baju merah.   "Nyo Seng!"   Teriak gadis baju merah gusar.   "Kenapa kau menghadang perjalanan kita?"   Pemuda itu bergelak tawa serunya.   "Nona Ciok, pihak Hwi-cwan-po kalian tiada punya permusuhan dengan Hun Thian-hi. Urusan Kim-i-kongcu Leng Bu biarlah diselesaikan oleh ayahnya Sing-hu Lojin tak perlu kalian ikut campur.   "Tapi engkohku menjadi korban ditangan Hun Thian-hi, ayah menitahkan kepadaku kemari untuk meringkusnya, bagaimana menurut pendapatanmu?"   "Hwi-cwan-kian-soat-cap-sa-sek yang dimainkan Leng Bu itu milik siapa masa kau tidak tahu?"   Jengek gadis baju merah dengan uring-uringan.   "Benar-benar!"   Seru Nyo Seng tertawa-tawa.   "Tapi kau harus tahu Hun Thian-hi membunuh engkohku, sedang Leng Bu bagi Hwi-cwan-po kalian tidak lebih hanya murid murtad melulu!"   Gadis baju merah mendengus hidung, belum sempat ia bicara Nyo Seng sudah berkata lagi.   "Apakah Hwi-cwaw-po di Kanglam tidak mengenal tata tertib dunia persilatan?"   Seru gadis baju merah.   "Nyo Seng! Jangan kau pura-pura, kau sangka aku tidak tahu apa yang kau pikirkan? Kalau kau benar-benar ingin minta orang, mari silakan datang ke Hwi-cwan-po saja!"   Sembari berkata ia jepit perut kudanya seraya mengayun tangan terus menerjang ke depan.   Nyo Seng menjengek dingin, sebelah tangannya membalik melolos pedang, para pengikutnya serempak juga melolos keiuar senjata masing-masing untuk merintangi jalan si gadis baju merah.   Terdengar gadis baju merah menghardik nyaring tangan yang lain menanggalkan mantel merah di punggungnya terus diobat-abitkan sembari menerobos maju dengan kencang.   Nyo Seng melintangkan pedangnya, dengan kekerasan ia berusaha merintangi orang, teriaknya.   "Nona Ciok, kalau kau tidak mematuhi peraturan dunia persilatan jangan salahkan aku Nyo Seng tidak mengenal kasihan lagi."   Dalam pada itu gadis baju merah sudah menerjang tiba, mantel merahnya segera dikebutkan ke arah Nyo Seng tanpa pedulikan peringatannya.   Terpaksa Nyo Seng angkat pedangnya menyontek dan membabat ke arah mantel merah yang menggulung tiba.   Tapi permainan mantel si gadis merah ternyata cukup lihay, terdengar ia menghardik keras, kelihatan mantel merahnya berkembang lebar seperti sekuntum awan merah berterbangan menari2 laksana kupu2 merah besar.   Dengan deras si gadis baju merah lancarkan ilmu Hwi-cwan-kian-soat-cap-sa-sek mendesak kepada Nyo Seng.   Tapi Nyo Seng tidak gentar, sambil tertawa dingin ia berkelit ke samping sembari memberi aba-aba kepada para pengikutnya untuk menyerbu bersama.   Para kerabat dari Hwi-cwan-po juga tidak mau unjuk kelemahan serentak mereka pun menanggalkan mantel masing terus menyerbu ke depan.   Seketika terjadilah pertempuran kalang- kabut di atas kuda, suasana menjadi riuh meriah.   senjata berdenting diselingi teriakan menggeledek serta pekik kesakitan yang jatuh menjadi korban terutama bebenger kuda-kuda yang luka dan sekarat.   Suasana pertempuran menjadi semakin kalut karena pemandangan menjadi gelap oleh mengepulnya debu yang menabirkan kabut ke-kuning2an.   Diam-diam Hun Thian-hi menerawang"   Pertempuran di hadapannya dengan berbagai pertimbangan yang menggejolak dalam sanubarinya.   Pertempuran kedua golongan ini pasti bukan melulu karena sakit hati atau balas dendam saja, tentu ada latar belakang yang tersembunyi mungkinkah., terpikir sampai disini tanpa merasa ia mendengus hidung dengan gemes.   Begitulah pertempuran ini berjalan secara keras lawan keras, sorak-sorai terus terdengar untuk menambah semangat tempur mereka.   Namun tak disadari oleh mereka saking nafsu untuk merobohkan lawan masing-masing bahwa kedua belah pihak sudah jatuh korban sedemikian banyak, boleh dikata separo dari jumlah mereka sudah berjatuhan menggeletak di tanah dengan berlumuran darah, namun semangat tempur kedua belah pihak tetap tinggi dan terus berkutet.   Sementara itu, kepandaian Nyo Seng memang setingkat lebih rendah dari lawannya, setelah bergebrak puluhan jurus akhirnya ia terdesak di bawah angin oleh gadis baju merah.   Apalagi dilihatnya korban anak buahnya juga semakin banyak, akhirnya sembari menghardik keras.   "Berhenti!"   Ia meloncat mundur. Pertempuran segera berhenti dan anak buah masing-masing mundur ke tempat masing-masing. Mengawasi para korban yang malang melintang di atas tanah, Nyo Seng menggeram dengan mengertak gigi.   "Ciok Yan! Nyo Seng hari ini mengakui keunggulanmu. Tapi dalam sepuluh hari ini pasti kita berkunjung ke Hwi-cwan-po."   Dengan sombong gadis baju merah yang bernama Ciok Yan menyahut.   "Terserah kapan kau mau datang. Hwi-cwan-po selalu menanti kedatangan kalian!"   Dengan mengerling Nyo Seng memandang ke arah Hun Thian-hi, lalu mendelik ke arah Ciok Yan terus memutar kudanya dibedal lari sekencang-kencangnya.   Bab 5 Liong Lui sendiri sudah maklum kalau bertempur secara kekerasan tentu Ciat-jit-chiu takkan mampu mengambil keuntungan, tapi apakah lawan begitu goblok? Begitulah waktu Oh Lun lancarkan pukulannya yang ganas itu cepat-cepat ia berloncatan menghindar, setiap kesempatan tentu tidak disia-siakan untuk menyergap dan balas menyerang.   Tiba-tiba badan Oh Lun melejit ke atas, badannya berputar dan tiba-tiba tangannya membalik terus menekan kebawah dari atas menggencet kepala Liong Lui, Liong Lui mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk bergerak semakin cepat, tubuhnya berloncatan seperti kupu2 menari di atas sekuntum bunga, terdesak oleh keadaan terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis tindihan berat serangan Ciat-jit-chiu Oh Lun.   Ditengah udara Oh Lun bisa bergerak begitu lincah seperti burung camar, mendadak badannya menggeliat sehingga, ia meluncur turun disamping Thian-mo-kiam, kedua jari tangan kirinya terangkat terus menutuk keketiak kiri Liong Lui.   Terkejut Liong Lui dibuatnya, cepat-cepat ia melangkah mundur mengegos.   Tapi serangan Oh Lun ini sungguh punya gaja tersendiri, dari menutuk ia rubah menjadi pukulan telapak tangan, dengan jurus tipu Tiang-song-tiam-soat (Pohon Siong menutul salju).   telapak tangannya berubah laksana kabut putih yang berlapis2 mendesak kemuka Thian-mo-kiam Liong Lui.   Terpaksa Liong Lui angkat kedua tangannya untuk menangkis dengan kekerasan.   terasa kekuatan dahsyat bagai gugur gunung menerpa dan menindih bergelombang tak putus2 sehingga kakinya sempoyongan mundur tiga langkah, akhirnya ia berdiri menjublek dengan muka pucat pasi.   Ciat-jit-chiu Oh Lun lantas membalik tubuh menghadapi ke arah pemuda jubah putih sambil menjura dalam, dengan tangannya sipemuda jubah putih memberi isyarat, cepat-cepat oh Lun duduk kembali ke tempatnya.   Dengan muka pucat Thian-mo-kiam Liong Lui memutar tubuh memandang ke orang tua jubah merah, dengan kedipan mata ia menyuruh Liong Lui, mundur, dengan malu dan tunduk Liong Lui mundur ketermpat duduknya sendiri.   Tampak mata sipemuda jubah putih berkilat dengan puas dan bangga.   Dengan lirikan tajam Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho mengawasi pemuda jubah putih bergegas ia berdiri serta menantangnya.   "Aku yang rendah Tio Hong-ho, tidak tahu diri ingin belajar kenal dengan kepandaian Pangcu Partai putih yang luar biasa"   Kiong-sa-khek Ki Kang terloroh-loroh berdiri, serunya.   "Tio Hong-ho, jangan kau bersikap pura- pura gede, kenapa tidak secara langsung saja kau tunjuk aku, mengandal kau rasanya tiada berharga untuk bermain-main dengan Pangcu kita."   Sikap Tio Hong-ho juga tidak kalah dingin, jengeknya.   "Pangcu Partai putih, sudah lama aku Tio Hong-ho mendengar ketenaran namamu, hari kita berjumpa disini, kenapa tidak berani unjuk muka aslinya?"   Ki Kang melangkah ke tengah gelanggang, serunya.   "Tio Hong-ho kau tak usah putar bacot, marilah aku saja yang akan melayani kau."   Saking gusar Tio Hong-ho bergelak tawa, akhirnya dengan sikap kaku ia mendesis.   "Ki Kang, betapa besar jagat ini bukan hanya seorang kau yang berkepandaian tinggi, Marilah hari ini kau saksikan dan rasakan betapa aku Tio Hong-ho tidak mudah dihina."   Sementara itu Ki Kang sudah menyoreng pedang dan berdiri menanti.   Begitu maju Tio Hong-ho lantas ayun tongkat kayunya menyerang kepada Ki Kang.   Begitulah merekai mulai saling serang menyerang dengan segala tipu daya untuk merobohkan lawannya, sekejap saja saking cepat gerakan mereka seratus jurus sudah dicapai.   Keadaan dua belah pihak masih sama kuat sulit dibedakan siapa lebih unggul atau asor.   Mendadak pintu besar ruangan diterjang dari luar, tampak sebarisan anak buah Partai putih menerobos masuk, pemuda jubah putih berkedok bergegas berdiri, dalam hatii ia sudah menduga pasti terjadi sesuatu diluar dugaan yang sangat gawat.   Ciok Hou-bu mengerutkan kening, siang-siang sudah perintahkan kepada seluruh penghuni perkampungannya supaya tidak merintangi anak buah Partai merah dan putih, biarlah mereka saling bentrok dan bertempur mati-matian.   Sekarang dilihat gelagatnya seperti Partai putih kena perkara gawat, entah apa, jika Partai putih sampai mengundurkan diri, situasi yang menguntungkan pihak dirinya bakal berantakan, mengandal tenaga sendiri mungkin Hwi-cwan-po bakal runtuh total dan tak mungkin kuasa berdiri di kalangan Kang-ouw.   Seluruh anak buah Partai Putih meluruk ke hadapan Pangcu mereka, sementara itu terpaksa Ki Kang menghentikan pertarungannya dengan Tio Hong-ho.   Salah seorang anak buah Partai Putih melapor dengan gugup.   "Lapor Pangcu, Thian-san-siang-long."   Pemuda jubah putih menggertak sekali memutus laporan anak buahnya, dengan berpaling ia mendelik awasi orang tua jubah merah. Kontan orang tua jubah merah terbahak-bahak, serunya.   "Sungguh aku ikut menyesal bahwa Partai Bun-pangcu tengah terjadi suatu tragedi, kalau Bun-pangcu memerlukan bantuan dan tenaga kita beramai, setelah urusan disini selesai segera kami akan membantu sekuat tenaga."   Biji mata pemuda jubah putih memancarkan sinar cemerlang yang aneh, sungguh tak habis herannya darimana mungkin orang tua jubah merah ini tahu bahwa dirinya she Bun? Tapi dalam situasi yang genting ini tiada tempo untuk banyak pikir, cepat ia memberi perintah kepada Kiong- sa-khek Ki Kang dan Ciat-jit-chiu Oh Lun.   "Jiwi Tongcu harap segera kembali. Urusan disini biar kuselesaikan sendiri!"   Ki Kang menjadi gugup, serunya.   "Pangcu seorang diri."   "Aku punya rencanaku sendiri!"   Desak pemuda jubah putih.   Ki Kang dan Oh Lun tak berani banyak debat lagi, tersipu-sipu mereka mengundurkan diri.   Dengan tajam orang tua jubah merah menatap pemuda jubah putih,.   sorot matanya menampilkan rasa dendam yang berkobar, sangkanya tentu musuh utamanya ini akan tinggal pergi, kenyataan adalah diluar perhitungannya semula.   Dengan mendelong pandangan pemuda jubah putih terarah ke pintu besar, setelah bayangan Ki Kang beramai tak tampak lagi baru perlahan-lahan ia membalik tubuh, setajam ujung pedang pandangannya berkilat mendelik ke arah orang tua jubah merah.   Selintas pandang ia menyapu ke seluruh hadirin, pandangannya berhenti dimuka orang tua jubah merah lagi, pelan-pelan mulutnya mendesis.   "Sekarang sudah tiba saatnya untuk kita menyelesaikan sendiri urusan ini."   Orang tua jubah merah terkekeh-kekeh bangkit, ujarnya.   "Benar-benar memang harus kita berdua yang menyelesaikan sendiri!"   Sambil berkata matanya melirik ke kanan kiri pada Liong Lui dan Oh Lun. Liong Lui dan Tio Hong-ho segera bangkit bersama, katanya berbareng.   "Untuk menyelesaikan urusan ini masa Pangcu harus turun tangan sendiri, biar kita berdua yang menghadapi saja."   Orang tua jubah merah terloroh-loroh lagi, dengan congkak ia pandang pemuda jubah putih. Sudah tentu Pemuda jubah putih tahu apa yang tengah dipikir oleh lawan, diapun tak man kalah wibawa, dengan tertawa lebar ia berkata.   "Boleh juga kalau kalian ingin belajar kenal dengan aku, Jiwi Tongcu merupakan tokoh kosen dari Partai kalian dan merupakan jago silat kelas wahid dikalangan Kang-ouw, andai kata bertekuk lutut di hadapanku seorang bocah ingusan yang tak ternama apakah tidak menjatuhkan gengsi dan nama baik kalian?"   Tio Hong-ho tertawa kering dua kali, katanya.   "Pangcu Partai putih sudah tenar dan kenamaan di kolong langit, seumpama terkalahkan oleh kita berdua kaum keroco."   Sampai disini ia merandek serta menyapu pandang kekiri kanan. Pemuda jubah putih tertawa geli, ujarnya.   "Begitupun baik, marilah kalian maju bersama."   Tio Hong-ho dan Liong Lui melangkah maju bersama ke tengah arena.   Mereka insaf hari ini menghadapi musuh tangguh, maka pedang dan tongkat yang menjadi senjata andalan mereka sudah disiapkan, mengkonsentrasikan diri mereka bersiap waspada.   Ujung kaki pemuda jubah putih sedikit menutul dilantai, tiba-tiba tubuhnya melejit enteng ke tengah udara seringan burung seriti, di tengah udara badannya berputar setengah lingkaran baru meluncur turun miring, berbareng kedua telapak tangannya menepuk ke arah dua musuhnya.   Tio Hong-ho dan Liong Lui bukan kaum lemah, kepandaian mereka cukup tinggi, serentak mereka menyilangkan pedang dan tongkat, berbareng balas menyerang memapak luncuran tubuh lawan.   Kelihatannya pemuda jubah putih acuh tak acuh menghadapi serangan balasan ini, tiba-tiba tubuhnya meluncur turun, begitu kaki menyentuh tanah dengan gesit kedua kakinya menggeser kedudukan tahu-tahu kedua telapak tangannya sudah menepuk maju kemuka kedua lawan.   Tio Hong-ho dan Liong Lui melompat mundur menghindar, sekarang mereka berdiri beradu punggung, setiap jurus pedang dan tongkatnya bergerak untuk melindungi badan saja tak mencari kesempatan untuk mengejar kemenangan.   Terlihat oleh Ciok Hou-bu yang menonton pertempuran ini dengan seksama, gerak-gerik pemuda jubah putih semakin tempur semakin tangkas dan cepat.   Gaja permainan silatnya hampir tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, diam-diam bercekat hatinya, bukan mustahil sebagai pejabat Pangcu suatu partai mempunyai kepandaian tunggal yang diandalkan, tapi siapakah pemuda jubah putih ini, murid siapa lagi? Ternyata begitu tinggi dan mengagumkan ilmu silatnya.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Dilain pihak orang tua jubah merah juga tengah meneliti dengan seksama setiap permainan silat pemuda jubah putih, semakin lama alisnya bertaut semakin dalan.   Hatinya pun tak habis heran dan kagetnya, bukankah permainan pukulan yang diunjukan ini adalah Eng-jiong-ciang dari gurun besar diluar perbatasan itu? Apakah pemuda jubah putih she Bun ini adalah murid beliau? Tengah ia terpekur, tiba-tiba terdengar gertakan cukup keras ditengah gelanggang.   Ternyata pemuda jubah putih itu sudah tidak sabar lagi, beruntun ia bergerak melancarkan tiga pukulan berantai, tiba-tiba ia melolos keluar cambuk peraknya, tampak selarik sinar putih kemilau herkelebat kontan pedang dan tongkat lawan kena digubat dan disendak terlepas terbang dari cekalannya.   Thian-mo-kiam Liong Lui dan Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho berdiri terlongong-longong ditempatnya, dengan seringai dingin pemuda jubah putih berputar tubuh menghadap ke arah orang tua jubah merah dengan pandangan yang mengejek.   Sekonyong-konyong cahaya matanya mengunjuk rasa kaget dan kesima, dengan melirik sekilas ia menyaksikan sebuah wajah yang penuh rasa kegirangan dan kekagumam tengah mengawasi kepadanya wajah nan aju molek itu bukan lain adalah Ciok Yan, putri tunggal dari Hwi-cwan-po.   Terdengar orang tua jubah merah menjengek dingin, ejeknya.   "Murid tunggal Cek-hun Totiang ternyata benar-benar hebat."   Kontan seluruh hadirin mengunjuk rasa heran dan kaget.   Cek-hun Totiang adalah Sute dari Ciangbunjin Bu-tong-pay Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin, beberapa puluh tahun yang lalu pernah diusir dari perguruan karena melanggar undang2 perguruan, maka sejak itu entah kemana jejaknya, sungguh tidak nyana, bahwa pemuda jubah putih ini kiranya adalah muridnya.   Sedikitpun pemuda jubah putih tidak menunjukkan reaksi akan cemooh orang, dengan sikap dingin ia pandang orang tua jubah merah, sindirnya.   "Kedua jagomu sudah keok, sekarang kau bagaimana?"   Orang tua jubah merah menggeram gusar, pelan-pelan ia melangkah maju.   Melihat musuhnya tiada niat menggunakan senjata, segera pemuda jubah putih membelitkan lagi cambuknya dipinggang.   Sembari menyeringai orang tua jubah merah menyerang dengan sebelah tangannya kepada musuh yang masih muda belia ini.   Sebat sekali pemuda jubah putih mencelat mundur, namun orang tua jubah merah mendesak maju mengejar.   Sedikit menutulkan kakinya badan pemuda jubah putih lantas melejit tinggi ke atas, beruntun kedua kakinya menendang berantai memgarah kedua biji mata orang tua jubah merah.   Orang tua jubah merah menggerung murka, terpaksa dari menyerang ia main bertahan.   Mendapat angin pemuda jubah putih semakin merangsek dengan gagah berani, begitu kakinya hinggap di tanah di belakang lawan segera ia kembangkan ilmu Eng-jiong-ciang yang mempunyai delapan belas jalan pukulan, gerak-gerik badannya selulup timbul naik turun persis laksana seekor elang besar yang beterbangan ditengah udara.   Tapi gerak-gerik orang tua jubah merah pun tidak kalah licinnya, dengan kedua tangan melintang melindungi dada, kedua matanya menatap tajam setiap gerak gerik pemuda jubah putih, sedikit ada lowongan baru menyerang tanpa membuang tenaga dan kesempatan, cara tempurnya adalah main sergap dan tak main kekerasan.   Delapan belas jurus Eng-jiong-ciang sudah hampir dimainkan habis, namun sedikitpun pemuda jubah putih tak mampu mendesak lawannya, diam-diam gugup dan gelisah hati pemuda jubah putih, inilah pengalaman pertama yang dialaminya sejak berkelana di dunia persilatan.   Mendadak sebuah pikiran terkilas dalam benaknya, apakah bukan dia? Terpikir akan ini diam- diam ia mengumpat dalam hati.   Segera badannya melejit lagi dengan sejurus Giok-jian-hun-kay- loh, kedua jari-jari tangannya laksana cakar burung elang mencengkeram kemuka musuhnya.   Melihat serangan ganas sipemuda, orang tua jubah merah mandah tertawa sinis, diam-diam girang hatinya, batinnya kau mimpi kalau berani mengadu kekerasan dengan aku.   Kedua telapak tangannya segera menepuk keluar dengan jurus Ciang-tok-mo-thian melawan serangan pemuda jubah putih dengan kekuatan penuh.   Tak nyana gerak gerik pemuda jubah putih cukup tangkas, beluam lagi tangannya mengenai sasarannya cepat-cepat ia meluncur turun dan menghindar, setelah mendengus ejek ia menyeringai "Kukira siapa, ternyata adalah keturunan dari Thay-i-bun!"   Muka orang tua jubah merah menjadi beringas, dengan menghardik keras ia melolos sebilah pedang yang berkilauan memancarkan cahaya menyilaukan mata terus membacok serabutan kepada pemuda jubah putih.   Terpaksa pemuda jubah putih keluarkan kedua senjata, sesuai dengan nama julukannya yaitu pedang mas dan cambuk perak untuk melawan sebisanya, begitulah pertempuran babak kedua dengan menggunakan senjata ini tak kalah sengit dan serunya.   Ciok Hou-bu, Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang, sungguh mereka tidak nyana bahwa Thay-i-bun yang dulu sudah ditumpas ternyata muncul lagi disini.   kalangan Kangouw mengandal ilmu pedang yang dinamakan Thay-i-kiam-hoat dari jaya akhirnya berubah menjadi runtuh.   Dulu Thay-i-bun malang melintang dan simaharaja dijadi congkak dan takabur akhirnya karena merasa terlalu kuat dan sombong, aliran ini menjadi semakin buruk kelakuannya dari golongan lurus menjadi nyeleweng ke arah yang sesat.   Terpaksa berbagai golongan dan aliran bergabung menumpasnya bersama.   Sejak itu golongan Thay-i-bun lantas kelelap dari lembaran sejarah dunia persilatan, namun sebilah pedang Thay-i-kiam sejak saat itu pula menghilang tanpa diketahui jejaknya.   Orang tua jubah merah sendiri tahu bahwa golongan Thay-i-bun pihaknya memang sudah tersingkirkan dari percaturan dunia persilatan.   Maka dengan sengit ia kembangkan permainan ilmu Thay-i-kiam-hoat.   Tanpa gentar sedikitpun pemuda jubah putih mainkan pedang mas dikombinasikan dengan cambuk perak.   Tahu dia bahwa Thay-i-kiam merupakan pedang pusaka yang tajam luar biasa, walau pedang dan cambuknya cukup lihay bagaimana juga takan kuat melawan pedang pusaka, Begitu Thay-i-kiam-hoat dikembangkan berkuntum cahaya putih kemilau bertaburan ditengah gelanggang menari2, begitu ketat dan rapi sekali mengurung pemuda jubah putih, sehingga terdesak mundur berulang-ulang.   Dilain pihak Ciok Hou-bu beramai juga terperanjat, merekapun insaf bila pemuda jubah putih tak kuasa melawan dan bertahan, pihak sendiripun bakal kerembet dan celaka.   Setelah celingukan kekanan kekiri ia tanggalkan mantel dipunggungnya, sebat sekali ia bergerak maju sambil tarikan senjata mantelnya mengembangkan kepandaian andalannya yaitu tiga belas jurus Hwi-cwan-kian- soat.   Sejak tadi Ciok Yan sudah terpesona dan kagum kepada pemuda jubah putih, diam-diam ia kepincut akan ketangkasan anak muda ini, melihat ayahnya turun tangan ia pun tanggalkan mantelnya ikut menyerbu ke tengah gelanggang.   Tio Hong-ho dan Liong Lui menggertak bersama, segera mereka menggerakan tongkat dan pedang masing-masing maju merintangi, maka terjadilah pertempuran dalam tiga kelompok.   Tiga belas jurus ilmu kepandaian mantel yang dimainkan Ciok Hou-bu memang cukup lihay, cukup dengan putaran senjata lunaknya ini yang bisa berkembang melebar ia desak Tio Hong-ho dan Liong Lui berdua, dalam waktu singkat mereka rada terdesak di bawah angin.   Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang sebentar, To Hwi mendeugus hidung, ringan sekali tangan kirinya menjentik, sebentuk Toh-bing-ci-hoan (cincin penyabut sukma) melesat keluar mengeluarkan suara mendengung, terbang berputar melesat ke arah jalan darah mematikan ditubuh orang tua jubah merah.   Orang tua jubah merah menggertak dengan gusar, cepat sekali ia mengayun Thay-i-kiam, tapi cara sambitan cincin penyabut nyawa ini memang luar biasa, ditengah jalan mendadak putar haluan terus terbang berputar satu lingkaran, pedang pusaka membabatnya disebelah samping, tapi tahu-tahu cincin penyabut sukma ini sudah melesat dari tengah mengarah ke tengah kedua mata orang tua jubah merah.   Keruan girang bukan main pemuda jubah putih mendapat bantuan yang menguntungkan ini, pedang cambuknya dimainkan semakin gencar, dengan seluruh kekuatan dan kemampuannya ia serang orang tua jubah merah habis2an.   Orang tua jubah merah menggerung panjang, kepandaian silatnya sungguh luar biasa dalam kepungan ketat dari musuh2nya sigap sekali ia masih dapat bergerak cepat, tubuhnya miring meluputkan diri, berbareng pedangnya menyontek ke atas melancarkan jurus It-goak-hok-su, tring, tring, terdengar suara nyaring cincin penyabut nyawa yang menyamber itu kena ditangkis pecah berhamburan, sedang pedang mas pemuda putih pun telah kutung menjadi dua.   Pemuda jubah putih kaget luar biasa, cepat ia melompat mundur, namun sambil menyeringai seram orang tua jubah merah maju mengejar sambil menusukan pedangnya.   Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang meluncur turun dari tengah udara memasuki gelanggang.   Ternyata Hun Thian-hilah yang muncul, tampak tangan kanannya menyoreng sebilah pedang, sejurus saja cukup ia mendesak mundur orang tua jubah merah.   Seluruh hadirin menjadi kaget dan berseru heran.   Terutama Ciok Yan berteriak kejut.   "Hun Thian-hi."   Sesaat seluruh hadirin menjadi sunyi senyap.   Sebetulnya sejak tadi Hun Thian-hi sudah menyelundup masuk keruang besar, tapi selama itu ia tidak mendengar pembicaraan mengenai gurunya.   Kini setelah melihat pemuda jurus Gelonmbang perak berderai ia pukul mundur si orang baju putih terdesak dan menghadapi bahaya dengan sejurus situa jubah merah.   Sebetulnya tusukan orang tua jubah merah dapat tepat mengenai sasarannya, tentu saat ini pemuda jubah putih sudah menemui ajalnya di bawah tusukan pedang pusakanya.   Tapi begitu Hun Thian-hi muncul lantas lancarkan serangan ganas dan aneh sehingga terpaksa ia harus menyelamatkan diri terlebih dulu, keruan gusar bukan kepalang hatinya.   Dasar berhati culas dan banyak akal muslihatnya lahirnya ia tetap tenang-tenang saja, namun dalam hati ia mengakui, jurus serangan Hun Thian-hi tadi meski dilancarkan secara tak terduga, namun cukup dapat mendesak dirinya, maka dapatlah diukur betapa tinggi kepandaian bocah ini.   Apalagi Badik buntung masih berada ditangannya, betapa pun aku tak bisa berlaku ceroboh sehingga kehilangan rejeki.   Tenang-tenang ia menyapu pandang kewajah para hadirin dalam ruang besar ini.   Hun Thian-hi melangkah kesamping serta berkata kepada Ciok Hou-bu.   "Ciok-pocu, guruku Lam-siau dimanakah beliau sekarang, harap suka menerangkan?"   Ciok Hou-bu menghirup hawa, sesaat ya menjadi kememek tak tahu cara bagaimana harus menjawab. Malah Toh-bing-cui-hun To Hwi yang menjengek dingin.   "Hun Thian-hi, jiwamu sendiri belum tentu selamat, kau masih urus gurumu."   Biji mata Hun Thian-hi berkilat tajam bagai aliran listrik menatap muka To Hwi, katanya dengan nada berat.   "Hun Thian-hi berani meluruk kemari, sudah tentu tak peduli mati atau hidup. Hun Thian-hi seorang laki-laki apa yang telah kuperbuat biar aku sendiri yang bertanggung jawab, kenapa merembet pada guruku?"   Orang tua jubah merah menggerung gusar, teriaknya.   "Urusan gurumu aku tidak peduli, yang terang kau sendiri sekarang disini, dengan sepak terjangmu tadi serta Badik buntung yang kau miliki itu, apakah kau harap bisa tinggal pergi dari sini?"   Pelan-pelan Hun Thian-hi berputar menerawang seklilingnya, dihhatnya pandangan semua orang mengandung rasa kepanikan dan dendam yang membara terhadap dirinya. Tiba-tiba pemuda jubah putih dibelakangnya buka bicara.   "Hari ini dia merupakan tamu teragung dari aku Bun Cu-giok, kalian berani menggangu usik dia harus tanya dulu kepadaku!" sembari berkata ia melangkah serindak ke depan. Kalem2 saja Hun Thian-hi berpaling, sekilas ia pandang pemuda jubah putih dengan perasaan penuh haru dan terima kasih. Terdengar ia mendengus serta menyapu pandang keempat penjuru, jengeknya sinis.   "Jikalau tadi dia tidak muncul, seluruh hadirin dalam ruang ini siapa yang masih kuasa hidup sampai sekarang ini?"   "Itukan persoalan pribadi,"   Tukas orang tua jubah merah.   "Yang terang Hun Thian-hi telah mengobarkan kemarahan umum, sudah jamak kita bekerja mengutamakan kepentingan orang banyak, bukankah kau sendiri termasuk aliran dari Bu-tong-pay? Murid Bu-tong pun ada yang mati ditangannya, apa kau tidak tahu?"   To Hwi juga menggeram dan ikut bicara.   "Aku To Hwi tidak peduli apa yang kalian persoalkan, betapapun hari ini aku harus meringkus bocah Hun Thian-hi ini."   "Mengandal kau? Apa kau becus?"   Ejek pemuda jubah putih.   Toh-bing-cui-hun To Hwi bergelak tawa, dengan gerak lamban tangannya sekaligus ia semtilkan tiga buah cincin penyabut nyawa langsung melesat mengarah Hun Thian-hi.   Kim-kiam-gin-pian menggertak murka, cambuk peraknya yang sudah kulung separo disambitkan membuat sambitan cincin penyabut nyawa porak peronda ditengah jalan.   Berubah air muka To Hwi, beruntun jari tangan kanannya menjenyik bergantian menyambitkan tiga batang Cui-hun-chit-sa-cian (panah tujuh iblis mengejar sukma) yang sudah lama tak pernah dipakai lagi, ketiga batang panah kecil warna hitam kemilau meluncur ke arah Hun Thian-hi.   Hun Thiari-hi bersuit ringan, badannya mendadak.   mencelat mumbul ke depan menubruk ke arah datangnya tiga panah maut sambitan musuh, dimana pedang panjang ditangan kanannya bergerak dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai sekaligus ia tangkis dan hancur leburlah ketiga Cui-hun-cian musuh.   Berubah hebat rona wajah To Hwi sungguh tidak terduga olehnya bahwa Cui-hun-chit-sa-cian yang lihay dan kenamaan itu begitu gampang telah dipatahkan.   Tadi ia melihat dengan mata kepala sendiri sekali gebrak Hun Thian-hi berhasi] memukul mundur orang tua jubah merah, sangkanya merupakan serangan bokongan diwaktu orang tengah melancarkan serangan khusus pada musuhnya, sekarang kalau dilihat gelagatnya, kepandaian silat Hun Thian-hi betul-betul sangat mengejutkan sekali.   Badan Hun Thian-hi melunjjur turun dihadapan Ciok Hou-bun, katanya.   "Ciok-pocu, harap tanya dimanakah jejak guruku sekarang?"   Belum sempat Tiiok Hou-bu menjjawab, tahu-tahu orang tua jubah merah sudah putar pedang pusakanya merabu ke arah Hun Thian-hi.   Sejak menelan buah ajaib, Hun Thian-hi mulai melatih Gin-ho-sam-sek dengan seksama, kecuali jurus ketiga yang masih rada sulit dipahami, jurus pertama dan kedua dapat dilatihnya dengan gampang.   Selama dua hari di Soat-san ia melihat Soat-san-su-gou mereka menggunakan kedua jurus itu untuk menghalau musuh tangguh, ini berarti intisari kedua jurus ilmu ini telah diturunkan langsung kepada Hun Thian-hi, sayang Lwekang Hun Thian-hi sendiri belum mencapai taraf yang diperlukan.   Sekarang waktu Hun Thian-hi lancarkan Gelombang perak mengalun berderai dari bertahan berbalik balas menyerang malah, orang tua jubah merah terdesak keripuhan.   Terasa oleh orang tua jubah merah sinar perak berkemilau diempat penjurunya menyilaukan mata dan mengganggu pemusatan pikiran, hawa dingin dan tajam seperti mengiris kulit yang tak kelihatan seiring dengan kilalatan sinar pedang merangsang dan menyampok ketubuhnya, keruan ia semakin terdesak di bawah angin, terpaksa ia menjaga diri saja dengan rapat.   Melihat babak pertempuran adu pedang ini diam-diam bercekat hati Ciok Hou-bu, ia membatin kalau sampai Hun Thian-hi mengambil kemenangan tentu.   situasi selanjutnya tidak menguntungkan bagi dirinya, beruntung kalau ia mau percaya dengan keterangannya, kalau tidak.   Karena pikirannya ini segera ia berteriak.   "Tahan, dengarkan kata-kataku!"   Hun Thian-hi menghentikan serangannya terus mundur dan berdiri sambil masih menenteng pedangnya, kepalanya berpaling memandang ke arah Ciok Hou-bu.   Tanpa merasa Ciok Hou-bu merasa tekanan bertamba hbesar terhadap dirinya, maka katanya menyelidik kepda pemuda jubah putih.   "Bun-pangcu, apakah tujuanmu yang utama kemari?"   Bun Cu-giok bergelak tawa dijawabnya.   "Memang, semula aku mengincar juga Badik buntung itu, tapi sekarang kunyatakan aku tidak memerlukannya lagi."   Tergetar perasaan Ciak Hou-bu, ia berpaling dan memandang kekanan diri, diam-diam ia tengah menerawang situasi sekelilingnya, memperhitungkan untung ruginya, kalau seumpama dirinya bergabung, ditambah orang tua jubah merah dan seluruh kerabat dari Hwi-cwan-po kemenangan terang bakal dapat dicapai dengan mudah.   namun.   Agaknya orang tua jubah merah dapat meraba jalan pikirannya, sembari tertawa lantang ia berseru.   "Kenapa Bun-pangcu tersinggung oleh peristiwa tadi, urusan sudah lewat anggap saja sudah himpas. yang paling utama sekarang adalah demi Hun Thian-hi, seumpama bisa merebut Badik buntung dari tangannya, kita masing-masing apa kuat mengangkanginya sendiri, maka jalan satu2nya adalah berserikat." ~secara gamblang ia ajak Bun Cu-giok untuk bergabung, hakikatnya tujuan kata-katanya adalah kepada Ciok Hou-bu, secara diam-diam ia memberi kisikan supaya orang tak perlu kuatir kalau kelak ia bakal memonopoli sendiri hasil jerih payah bersama. Bun Cu-giok menjengek gusar.   "Bun Cu-giok tadi sudah menjelaskan, sekarang aku tidak sudi lagi dengan Badik buntung apa segala."   Sudah tentu Ciok Hou-bu juga maklum akan arti kata orang tua jubah merah yang dalam, sambil tertawa ewa ia berkata kepada Hun Thian-hi.   "Sebenar-benarnya gurumu tak berada disini."   Hun Thian-hi tersentak kaget, tanyanya.   "Apa?"   Ciok Hou-bu menyeringai, katanya lagi.   "Hun-siauhiap, gurumu tak berada disini. Memang aku sudah menahannya, namun akhirnla gurumu pergi juga. Supaya dapat memancingmu kemari terpaksa aku menyebar kabar bohong itu."   Gemes dan dongkol pula perasaan Hun Thian-hi, katanya dingin.   "Jadi tujuan Ciok-pocu yang sebenar-benarnya adalah Badik buntung? Ketahuilah bahwa Badik buntung sekarang tak berada di tanganku."   Ciok Hou-bu tertegun. Dasar licik adalah orang tua jubah merah yang buka bicara lagi.   "Tak menjadi soal, asal kau disini, tak perlu kuatir Badik buntung takkan datang sendiri?"   Terlihat oleh Thian-hi, Ciok Hou-bu tengah memberi tanda lirikan kepada anak buahnya, tak lama kemudian sebarisan anak buahnya yang mengenakan seragam hijau berdujun2 memenuhi seluruh ruangan. Tiba-tiba Hun Thian hi tertawa lebar, tanyanya.   "Apakah Ciok-pocu betul-betul hendak menahan aku?"   "Sudah tentu!"   Seru Ciok Hou-bu.   Orang tua Jubah merah tahu saatnya sudah tiba, maka sembari bergelak tawa ia bolang balingkan pedang pusakanya terus menyerbu lebih dulu.   Kim-kiam-gin-pian Bun Cu-giok melihat situasi sudah berkembang begitu gawat, terpaksa iapun mulai bergerak, dengan menenteng pedang ia menubruk ke arah Ciok Hou-bu.   Mata Ciok Hou-bu jelilatan melirik ke kanan kiri, segera Nyo Kwong dan To Hwi juga melolos pedang masing-masing, sedang ia sendiri menggentakkan mantel besarnya terus kembangkan tiga belas jurus Hwi-cwan-kian-soat menyerbu kepada Bun Cu-giok.   Bun Cu-giok membuang pedangnya yang sudah kutung, dengan ilmu Eng-hong-ciang ia hadapi ketiga pengerojoknya.   Sudah sekian lama Ciok Hou-bu angkat nama dikalangan Kangouw dengan ilmunya Hwi-cwan- kian-soat-cap-sa-sek, sudah tentu kepandaiannya bukan olah-olah lihaynya, tiga tokoh silat kelas wahid sekaligus mengeroyok Bun Cu-giok, pedang dan cambuknya sudah kutung dan dibuang dengan bertangan kosong sudah tentu ia terdesak di bawah angin.   Terdengar Ciok Hou-bu membujuk.   "Bun-pangcu seorang gagah harus dapat melihat gelagat dan mengambil keuntungan, Bun-pangcu masih muda dan punya masa depan yang gemilang, kenapa berpandangan cupat dan mengukuhi adat sendiri?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Bun Cu-giok menjengek sinis tanpa buka suara.   Sementara itu Ciok Yan berdiri menjublek di tempatnya, tak tahu apa yang harus dilakukan.   Di lain pihak dengan permainan Gin-ho-sam-sek seorang diri Thian-hi melawan orang tua jubah merah.   Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu tunggal yang tiada keduanya dari ilmu pedang tingkat tinggi.   Bu-bing Loni yang dipandang sebagai jago nomor satu di seluruh kolong langit pun kena dikepung selama sehari semalam, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan digdaya ilmu ini.   Tapi kepandaian orang tua jubah merah dengan ilmu pedang Thay-i-kiam yang tajam luar biasa itu berusaha bertahan sekuat tenaga, sayang Hun Thian-hi menguatirkan keselamatan Bun Cu- giok yang terkepung dalam bahaya.   diam-diam hatinya menjadi gugup dan kuatir.   Pertempuran tokoh silat tinggi melulu mengutamakan pengkonsentrasian pikiran dan badan sedikit perhatian terpencar orang tua jubah merah lantas balas menyerang, keadaan menjadi sama kuat.   Hun Thian-hi menjadi tak sabar lagi, Gin-ho-sam-sek jurus kedua segera dilancarkan setabir cahaya putih berterbangan mengurung orang tua jubah merah.   Kontan orang tua jubah merah terkurung ketat, sekuat tenaga ia bertahan dan berusaha menerobos dan bergulat dengan segala daya upaya.   Hun Thian-hi semakin mengerutkan kurungannya, sayang ia kuatir dan gentar menghadapi ketajaman Thay-i-kiam-lawan sehingga mengurangi kebebasan gerak geriknya.   Di belakang sana terdengar gelak tawa Ciok Hou-bu, kiranya kedok Bun Cu-giok ditanggalkan.   Kata Ciok Hou-bu lagi.   "Bun-pangcu, sekarang kesempatan terakhir aku mengundangmu ikut dalam perserikatan kita."   Biji mata Bun Cu-giok berkilat beringas, dengan murka ia mencemooh.   "Seumpama aku Bun Cu-giok hari ini harus terkubur disini jangan harap keinginan kalian bisa terkabul."   Melihat Bun Cu-giok sudah terdesak ke dalam bahaya.   Hun Thian-hi membentak keras, tiba-tiba ia melesat berkelebat, pedang panjangnya serentak merabu kepada Ciok Hou-bu bertiga.   Gentar akan kekuatan dan kehebatan kepandaian orang Ciok Hou-bu bertiga menyurut mundur.   Sementara orang tua jubah merah menghardik terus mengejar tiba, pedang panjangnya menusuk ke punggung Hun Thian-hi dari belakang.   Terpaksa Hun Thian-hi membalikkan pedang, tusukannya balas menyerang ke tengah mata orang tua jubah merah.   Orang tua jubah merah tertawa riang, sedikit angkat pedang dan menyontek "tring", kontan pedang Hun Thian-hi kutung menjadi dua dan berkerontangan jatuh di lantai.    Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini