Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 6


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 6


Badik Buntung Karya dari Gkh   Girang Ciok Hou-bu bukan main, berempat mereka mengepung Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi.   Sementara Ciok Yan berdiri dengan pucat dan ketakutan diluar gelanggang.   Bun Cu-giok berdiri menjublek kehilangan semangat.   Berkilat pandangan Hun Thian-hi satu per satu ia tatap keempat musuhnya, hatinya menyesal sekali bahwa seseorang menyertai kematiannya, ini adalah tidak diinginkan olehnya, otaknya tengah menerawang dan beragu apakah ia harus melancarkan jurus ganas pencacat langit pelenyap bumi untuk mengakhiri pertempuran ini.   Tempo hari ia sudah pernah berjanji kepada Situa pelita untuk tidak melancarkan jurus ganas ini, tapi Sementara itu, Ciok Hou-bu sudah unjuk muka berseri, otaknya sudah melayang membayangkan Badik buntung bakal tergenggam dalam tangannya, maka Ni-hay-ki-tin jelas sudah diambang mata.   Mendadak pintu besar diterjang dari luar, serombongan orang berkuda menerjang masuk, terus meluruk ke arah Ciok Hou-bu beramai.   Keruan kaget Ciok Hou-bu bukan main, cepat ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, pihak Partai merah juga lantas bergerak memapak maju merintangi.   Pemimpin penyerbuan tak terduga ini adalah seorang tua berambut uban, tampak ia mencelat tinggi dari tunggangannya ditengah udara melolos pedang terus meluncur ke tengah diantara empat musuh Hun Thian-hi.   Begitu melihat orang tua beruban ini Ciok Hau-bu lantas berteriak.   "Kim Poan-long!"   Ki-thian Lojin Kim Poan-long begitu mendaratkan kakinya lantas bertanya lantang.   "Siapa Hun Thian-hi?"   Ciok Hou-bu mengulap tangan menghentikan anak buahnya, serta serunya menunjuk Hun Thian-hi.   "Dia inilah, saudara Kim ada urusan apa?"   Kim Poan-long celingukan menerawang situasi sekelilingnya.   Sedang orang tua jubah merah menjadi marah melihat tambah seorang lagi yang turut campur dalam pertikaian ini, dengan menggerung ia menusuk dengan pedangnya kepada Kim Poan-long.   Hakikatnya tiada ketulusan hati untuk bekerja sama dengan Ciok Hou-bu beramai kini dilihatnya tambah kedatangan seorang lagi, tadi mereka sudah berada di atas angin, seumpama Kim Poan- long bergabung dalam pihak Hun Thian hi iapun tak perlu takut.   Melihat tusukan orang tua jubah merah, Kim Poan-long mengegos ke samping, berbareng tangannya terayun serta berteriak kepada Hun Thian-hi.   "Hun-siauhiap, sambut ini, mari kita menerobos keluar!"   Terlihat secarik cahaya hijau berkelebat, tangkas sekali Hun Thian-hi sudah meraih Badik buntung di tangannya, sungguh kejut dan girang bukan main, sungguh tak terkira olehnya Ki-thian Lojin Kim Poan-long bakal meluruk datang tepat pada waktunya.   Begitu membekal Badik buntung Hun Thian-hi seperti harimau tumbuh sayap, dimana sinar hijau menyamber sekaligus ia serang keempat pengepungnya, bersama itu ia berteriak kepada Bun Cu-giok.   "Saudara Bun, lekas ikut kami menerjang keluar!"   Kedatangan Kim Poan-long betul-betul merubah situasi menjadi tegang, sekaligus Badik buntung juga muncul diarena pertempuran, sudah tentu Ciok Hou-bu berempat menjadi kalang kabut, kepungan mereka menjadi bobol dan dengan mudah ketiga orang musuhnya dapat menerobos keluar.   Ciok Hou-bu berkaok2 memberi aba-aba para kerabatnya untuk merintangi, demikian juga orang tua jubah merah memerintahkan anak buahnya menghadang, namun mana mereka kuat menghadapi ketajaman Badik buntung, sebentar saja Hun Thian-hi bertiga sudah mencemplak di atas kuda terus dilarikan pesat menerjang keluar pintu gerbang perkampungan.   Sesaat Ciok Hou-bu berempat menjadi melongo dan kesima di tempat masing-masing, hanya Ciok Yan merasa hampa nan kecut.   Setelah lolos dari Hwi-cwan-po Hun Thian-hi terus membedal kudanya sekencang-kencangnya, kira-kira lima li kemudian baru berhenti.   Segera Bun Cu-giok angkat tangan menjura kepada Hun Thian-hi, ujarnya.   "Bantuan saudara Hun hari ini sampai ajalpun takkan kulupakan. Dalam partai masih banyak urusan, terpaksa Bun Cu-giok mohon diri dulu!"   "Hun-pangcu terlalu sungkan,"   Demikian jawab Thian-hi dengan sikap jantan dan setia kawan.   "Bun-pangcu, sungguh Hun Thian-hi merasa sangat kagum dan banyak terima kasih pula."   Bun Cu-giok juga menjura kepada Ki-thian Lojin Kim Poan-long, ujarnya.   "Kalau Kim-ke-cheng memerlukan bantuan kami dari Partai putih pasti akan suka membantu dengan seluruh kemampuan. Sekarang Bun Cu-giok mohon diri!" kudanya diputar terus dibedal kencang. Kim Poan-long tertegun sebentar, katanya.   "Diakah Pangcu Partai putih!"   Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya manggut-manggut.   "Kim-chengcu datang tergesa-gesa, apakah ada urusan?"   Pelan-pelan Kim Poan-long menundukkan kepala, ujarnya sambil menghela napas rawan.   "Adikku dibokong orang, saat ini sudah wafat karena luka-lukanya yang berat."   Berubah air muka Thian-hi, serunya kejut.   "Ji-chengcu sudah mati?"   Kim Poan-long manggut-manggut tanpa bersuara, katanya.   "Dengan sekuat tenaga ia bertahan kembali kerumah, setelah menceritakan pengalamannya lantas menghembuskan napasnya."   Sungguh mimpi juga Hun Thian-hi tidak nyana bahwa Kim Ci-ling sudah meninggal dibokong orang, sekian lama ia terlongong-longong, terbayang olehnya wajah orang di depan matanya, suaranya pun seperti masih terkiang di pinggirl telinganya, pelan-pelan ia bertanya.   "Apakah Ji- chengcu tahu siapakah pembokongnya?"   Kim Poan-long menghela napas, katanya.   "Musuh di tempat gelap, diapun tak jelas siapakah yang membokong."   Hun Thian-hi terpekur, mendadak ia berteriak.   "Akulah yang mencelakai dia, biar sekarang juga aku pergi ke Bu-tong-san."   "Hun-siauhiap, siapakah yang kau sangka?"   Tanya Ki-thian Lojin Kim Poan-long.   "Aku belum tahu,"   Sahut Thian-hi sambil menunduk.   "tapi pasti ada sangkut paut dengan pihak Bu-tong-pay."   "Dugaankupun begitu,"   Kata Kim Poan-long.   "peristwa ini terjadi begitu mendadak, setiap kejadian hampir membuat orang susah percaya!"   "Kim-chengcu. sekarang juga aku mohon diri."   "Perjalanan ini cukup berbahaya, tidakkah lebih baik kita pergi bersama "   Thian-hi manggut-manggut. sahutnya.   "Begitupun baik."   Kim Poan-long memberi pesan dan perintah pada anak buahnya lalu bersama Thian-hi beriring membedal kudanya langsung menuju ke Bu-tong-san.   Sepanjang jalan ini Hun Thian-hi mengerutkan alisnya hatinya tengah gundah dan menerawang, kejadian yang dihadapi betul-betul cukup mengherankan, betapapun aku meluruk ke Bu-tong-san menanyakan secara langsung pada Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin.   Entah berapa lama dan berapa jauh sudah perjalanan ini yang mereka tempuh, yang terang cuaca sudah berganti mulai magrib.   Secara kebetulan Hun Thian-hi sedang berpaling ke belakang, dilihatnya rada jauh di belakang sana terlihat dua sosok bayangan hitam tengah mengejar datang dengan kecepatan seperti kilat.   Saking kaget Thian-hi berteriak kepada Kim Poan-long.   "Lihat!"   Kim Poan-long berpaling, ia pun tersentak kaget.   Sekejap saja kedua sosok bayangan hitam itu sudah menyusul tiba terus menerobos lewat tunggangan mereka terus berhenti menghadang di depan.   Lekas-lekas Thian-hi berdua menarik kekang kuda masing-masing.   Dengan seksama seksama Thian-hi mengamati kedua orang penghadang ini, mereka adalah dua orang berseragam hitam dan berkedok hitam pula, hanya kedua biji mata masing-masing yang kelihatan berkilat tajam, mereka mencegat ditengah jalan tanpa bersuara.   Bercekat hati Thian-hi, terpikir olehnya bahwa kedua orang ini tentu meluruk dirinya karena mengincar Badik Buntungnya.   Terdengar Ki-thian Lojin buka suara.   "Saudara berdua menyusul kita, entah ada urusan apakah?"   Dua orang itu tetap bungkam tanpa bersuara atau bergerak. Dengan cermat Thian-hi pandang mereka, ujarnya.   "Apakah kalian mengincar Badik buntung milikku itu?"   Kedua orang itu masih bungkam.   Hun Thian-hi menjengek dingin, kudanya dibedal menerjang ke depan.   Cepat-cepat orang sebelah kiri angkat sebelah tangannya menepuk kepala tunggangan Thian-hi.   Thian-hi mengayun Badik buntung memapas kepergelangan tangan orang berkedok, terdengar ia mendengus hidung, tubuhnya mencelat naik ke udara, sebelah kakinya geledek menendang ke tangan Thian-hi yang me-Badik buntung.   Cepat Thian-hi menarik tangannya, namun kesempatan tidak disia-siakan oleh lawannya gesit sekali sebelah tangan yang lain sudah meluncur tiba menepuk ke dadanya.   Hun Thian-hi menggertak dengan gusar, sejak menelan buah ajaib Lwekangnya sudah maju berlipat ganda selama ini belum pernah beradu pukulan dengan lawan secara kekerasan, sekarang tibalah saatnya ia menjajal kemampuannya, maka sebelah tangan kiri diayunkan memampak serangan telapak tangan lawan.   Begitu kedua pukulan saling bentrok, seketika berubah rona wajah Hun Thian-hi, terasa telapak tangannya panas sekali seperti dibakar dalam bara, begitu saling sentuh lantas seluruh lengannya pati rasa.   Orang berkedok itu menjengek dingin, tangan kanannya terulur cepat sekali menyengkeram ketangan kanan Thian-hi yang memegang Badik buntung.   Thian-hi mengertak gigi, dengan nekad ia ayun tangannya melancarkan jurus Gelombang perak mengalun berderai mendesak mundur lawannya.   Melihat muka Thian-hi yang tidak wajar, Kim Poan-long menjadi gelisah, tanyanya gugup.   "Hun-siauhiap, kenapa kau?"   "Tidak apa-apa,"   Sahut Thian-hi sambil menarik lengan kirinya yang sudah kejang.   Kedua orang berkedok saling berkedip memberi isyarat lalu mulai bergerak lagi menyerang dengan tekanan lebih besar kepada Hun Thian-hi dan Kim Poan-long.   Luka-luka Thian-hi cukup berat, namun ia bertahan sekuat tenaga, melihat musuh menyerbu lagi, dia tahu Kim Poan-long tentu tak kuat bertahan, dengan menghardik keras ia menjepit perut kudanya, tubuhnya mencelat tinggi ia atas terbang lempang ke depan sembari lancarkan Tam-lian- hun-in-hap, inilah jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek yang hebat itu, seketika terlihat cahaya hijau pupus berkembang melebar terus menungkrup ke arah kedua musuh berkedok.   Agaknya kedua orang berkedok cukup tahu betapa hebat serangan ini, cepat-cepat mereka melompat mundur jumpalitan.   Lengan kiri Thian-hi terasa panas dan tak tertahan lagi ia insaf semakin lama bertempur tentu dirinya takkan kuat bertahan, maka setelah dengan aksinya ini, ia obat-abitkan Badik buntungnya lalu jumpalitan turun di atas pelana kudanya kembali, begitu menggertak kudanya lantas dicongklang kencang menerjang maju.   Melihat musuh hendak lari, kedua orang berkedok menjadi gugup, cepat-cepat mereka berdiri kembali sambil pasang kuda-kuda sembari berteriak panjang empat telapak tangan mereka bekerja bersama memukul ke depan, kontan kedua kuda tunggangan Thian-hi tersentak naik ke atas dan berbenger panjang terus roboh terkapar tak bergerak lagi.   Begitu melihat gaja serangan kedua musuh Ki-hian Lojin lantas berteriak kaget.   "Siau."   Salah seorang berkedok tampak menerjang secepat kilat, sebelah tangannya telak sekali menepuk kedada Kim Poan-long, terdengar Ki-thian Lojin menjerit ngeri terus robah terjengkang.   Saat mana Thian-hi sudah berhasil menerjang lewat dari samping serta mendengar jerit Kim Poan-long yang menggiriskan itu, kejutnya bukan kepalang, cepat-cepat ia putar balik hendak menolong tapi sudah terlambat.   Keruan Hun Thian-hi menjadi berang, seperti banteng ketaton segera ia obat-abitkan Badik buntung sekencang-kencangnya, maksudnya hendak mendesak dan merobohkan kedua musuhnya berkedok, tapi kepandaian kedua orang berkedok ternyata juga tidak lemah, enteng sekali mereka melesat mundur terus putar tubuh melarikan diri.   Hun Thian-hi melompat mengejar, kira-kira puluhan tombak kemudian seluruh mukanya sudah basah kujup oleh keringat sendiri.   Bukan lari terus sebaliknya kedua musuh berkedok itu malah putar balik, Thian-hi harus kertak gigi sambil menerjang musuhnya, dimana Badik buntung berkelebat ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai menyerang dengan kalap.   Kedua musuh berkedok melomprt berpencar meluputkan diri, dari dua jurusan ini mereka angkat tangan balas menyerang kepada Hun Thian-hi.   Begitu melancarkan serangan pertama lantas Thian-hi merasa tenaga dalamnya rada macet tak kuat bersambung lagi, sudah tentu kejutnya sepeti disengat kala, keringat dingin mengalir keluar, pikiran otaknya menjadi rada terang.   Cepat ia dapat menyadari situasi yang tidak menguntungkan dirinya ini, diam-diam ia berpikir.   "Cara mengadu jiwa begini, mungkin aku sendiri bakal konyol sebelum dapat menuntut balas."   Sementara itu kedua musuh berkedok itu telah merangsek maju lagi, sambil menggeram Thian- hi ayun Badik buntung menyerampang musuh.   Begitu kedua musuhnya menyurut mundur menghindar, cepat-cepat ia melompat mundur ke belakang, diam-diam ia mencari jalan untuk meloloskan diri Sedikit melompat menghindar kedua musuh berkedok gesit sekali sudah melejit maju pula tiba di belakang Hun Thian-hi.   Saking gugup dan tiada jalan lain, terpaksa tanpa banyak pikir lagi Thian-hi sambitkan Badik buntung diantara kedua musuhnya.   Sudah tentu kedua musuhnya tidak menyangka bahwa Thian-hi rela melemparkan Badik buntungnya, tanpa berjanji keduanya melejit terbang mengejar ke arah Badik buntung yang meluncur jauh kesana.   Sebat sekali Hun Thian-hi berkelebat terus melompat naik ke atas sepucuk pohon rindang.   Sesaat kemudian tampak kedua orang berkedok lari balik, sekian lama mereka ubek2an di dalam hutan mencari jejaknya, akhirnya mereka kewalahan.   setelah bercakap-cakap sebentar mereka lantas berlari pergi.   Melihat kedua musuhnya pergi, Thian-hi sendiri sudah payah dan tak kuat bertahan lagi, begitu ketegangan hatinya mengendor tubuhnya lantas terjungkal roboh dari atas pohon.   Begitu terbanting di tanah pikiran Thian-hi menjadi rada terang, pelan-pelan dengan segala sisa tenaganya ia merogoh keluar daon buah ajaib terus dijejalkan ke dalam mulut, seketika hawa harum mengalir dalam tenggorokannya.   Bergegas Thian-hi duduk bersila.   pelan-pelan mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga dalam kira-kira setengah jam kemudian baru ia merasa kesehatannya pulih seperti sedia kala.   Waktu ia kembali ke tempat semula, tampak kedua ekor kuda mereka dan Kim Poan-long menggeletak di tanah.   Hun Thian-hi menghela napas rawan.   Segera ia gali liang lahat, jenazah Kim Poan-long lantas dikabur sekadarnya.   Setelah mengubur jasad Kim Poan-long, Thian-hi duduk di bawah pohon, pikirannya bekerja.   "Siapakah kedua orang berkedok itu?"   Dipikir punya pikir mendadak ia tersentak kaget, gumamnya.   "Siau! Siau-yang-sin-kang" kedua biji matanya mendelik lebar, hidungnya mendengus, selain mereka berdua siapa lagi, demikian dalam hati ia membatin. Tiba-tiba melonjak berdiri. seperti bakal ketiban rejeki tersipu-sipu ia berlari kencang menuju ke Bu-tong-san. Waktu sinar surja menongol keluar di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang cerlang cemerlang Hun Thian-hi sudah beranjak dijalanan yang menuju kepusat Bu-tong-pay, dua pucuk pohon Siong yang besar dan tinggi berdiri diam laksana raksasa menembus awan. Dalam hati Han Thian-hi berani memastikan bahwa kedua orang berkedok itu tentu adalan Gwat Long dan Sing Poh adanya, Kira-kira baru setengah perjalanan, dari ataas gunung berjalan turun seseorang, begitu melihat Hun Thian-hj orang itu lantas mengumpat caci dengan murka. Waktu Thian-hi angkat kepala, orang itu bukan lain adalah murid preman pihak Bu-tong-pay, tak lain tak bukan adalah Thi-kiam Lojin yang pernah mencari perkara pada dirinya. Begitu melihat tegas pada Hun Thian-hi, kontan Thi-kiam Lojin lantas melolos pedang yang disandang dipunggungnya, bentaknya kepada Thian-hi.   "Orang she Hun! Ke-mana-mana kucari kau, tak kukira hari ini kau batang sendiri."   Hun Thian-hi tak sabar main debat dengan Thi-kiam Lojin, tanpa membuka suara cepat ia menerjang ke atas, melihat sikap acuh tak acuh Thian-hi, Thi-kiam Lojin semakin murka sembari bergelak tawa ujung pedangnya.   menjojoh ke depan menusuk perut Thian-hi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Enteng sekali badan Thian-hi mencelat tinggi, mulutnya berteriak.   "Hari ini aku mencari Giok- yap Cinjin, bukan mencari kau!"   Kepandaian silat Thi-kiam Lojin cukup tinggi, sebab sekali ia pun mencelat terbang menyusul, beruntun pedangnya berkelebat menyamber, sekaligus ia sudah lancarkan tiga jurus serangan pedang kepada Hun Thian-hi.   Hun Thian-hi menghardik keras.   dengan sebelah tangannya ia menyampok kebatang pedang Thi-kiam yang menyamber tiba.   Thi-kiam Lojin rada keder, kuatir Hun Thian-hi mengeluarkan Badik buntung memotong kutung pedang panjangnya seperti tempo hari, maka cepat-cepat ia tarik balik pedangnya, merubah gaja dan jurus tipu pedangnya ia merabu semakin kencang.   Tak terkira olehnya bahwa kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah jauh beda dengan Thian- hi tempo hari, beegitu ia menarik dan merubah jurus ilmu pedangnya, berbalik Thian-hi mendapat kesempatan melancarkan tiga pukulan berantai, sehingga Thi-kiam Lojin terpaksa hanya mampu bertahan dan mundur selamatkan diri dari pada balas menyerang.   Hun Thian-hi melompat tinggi ke depan berlari laksana terbang ke atas gunung.   Sepanjang jalan penuh rintangan, untung mereka bukan terdiri tokoh-tokoh lihay dari Bu-tong-pay, maka dalam sekejap saja ia sudah sampai diambang Tin-yang-kiong.   Sampai disini baru Hun Thian-hi berhati lega, dia tahu Tio-yang-kiong merupakan tempat berkumpul para tokoh-tokoh kosen Bu-tong-pay, Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinji sendiri pun bersemajam di Tio-yang-kiong ini.   Thian-hi sendiri insaf bahwa menghadapi Gwat Long dan Sing Poh saja dirinya bukan tandingan mereka, apalagi Giok-yap Cinji sendiri.   Tapi urusan ini sudah terjadi gara-gara dirinya betapa pun harus jumpa dan menanyakan langsung kepada Giok-yap Cinjin.   Kenyataan sudah terjadi Gwat Long dan Sing Poh membunuh Kim Poan-long untuk menutup mulutnya, sudah tentu dengan gampang mereka pun dapat membunuh keempat orang lainnya.   Seumpama tidak meluruk datang juga sama saja.   Harapan utama sekarang adalah bahwa Gwat Long dan Sing Poh membangkang atau bekerja membelakangi Giok-yap Cinjin, kalau tidak begitu dirinya beranjak ke dalam Tio-yang-kiong bakal takkan mudah keluar kembali.   Dengan teliti dan waspada Thian-hi putar kayun mengelilingi Tio-yang-kiong seputaran, hatinya tak habis mengerti kenapa selama ini tak terdengar sedikitpun suara.   Dengan enteng Thian-hi meloncat naik ke atas rumah, memandang ke dalam terlihat suasana Tio-yang-kiong sunyi senyap, seorang pendeta pun tak terlihat bayangannya.   Hati Thian-hi menjadi curiga, pikirnya.   "Mungkinkah Tio-yang-kiong tidak kenyataan seperti yang dikabarkan di luaran?" ~dilain kejap ia melompat turun di sebelah dalam, dengan langkah tetap ia berjalan masuk. Tampak di ruang sembahjang batang2 hio masih tersemat menyala, asap mengepul tinggi, tapi tak kelihatan bayangan seorangpun. Thian-hi melangkah terus ke dalam, memang rumah berhala yang sedemikian besar ini tidak dihuni seorang manusiapun. Dalam hati Thian-hi membatin, jikalau Giok-yap Cinjin, bersemajam di Tio-yang-kiong, seumpama orang lain sedang keluar karena banyak urusan, tentu beliau seorang masih ada didalam. Jalan punya jalan dari kejauhan dilihatnya di sebelah dalam sana sebuah ruang samadi pelan- pelan ia maju ke arah sana, waktu ia melongok ke dalam terlihat seorang Tosu tengah duduk samadi tanpa bergerak. Thian-hi terperanjat, terlihat olehnya sinar mata orang itupun memancarkan cahaya aneh dan heran, namun ia tidak bergerak dan tidak bersuara. Setelah menenangkan gejolak hatinya Thian-hi mengamati Tosu itu, jelas Tosu ini berambut hitam dan berjenggot hitam pula, namun wajahnya pucat pasi seperti kertas, sinar matanya guram tak bersemangat, duduk mematung tanpa bergerak, jikalau biji matanya tidak terpentang dan bergerak Thian-hi pasti anggap orang telah mati. Thian-hi maju mendekat serta menjura katanya.   "Aku yang rendah Hun Thian-hi, harap tanya kepada Totiang, dimana kediaman Giok-yap Cinjin?"   Tosu itu tetap tak bergerak dan tak bersuara, namun matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti. Melihat orang tidak bicara, Thian-hi merenung sebentar, lalu katanya lagi.   "Kalau Totiang tidak bisa bicara, apakah bisa mengantarku kepada beliau?"   Biji mata si Tosu berjelilatan, seolah-olah punya banyak pertanyaan yang hendak disampaikan, namun sedikitpun ia tidak mampu bergerak.   Thian-hi menjadi putus asa, pelan-pelan ia putar tubuh hendak tinggal pergi, tiba-tiba tergerak sanubarinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, pikirnya siapa lagi orang yang boleh duduk samadi di dalam ruang Tio-yang-kiong? Tiba-tiba ia putar balik serta maju bertanya.   "Apakah Totiang adalah Giok-yap Cinjin Cianpwe?"   Lagi-lagi mata Tosu tua ini memancarkan cahaya yang sukar diraba juntrungannya. Terkilas dalam pikiran Thian-hi akan cerita Kim Ci-ling tempo hari, mungkin Giok-yap Cinjin mempunyai kesukaran yang sulit disampaikan?"   Thian-hi terlongong sebentar, akhirnya ia berketetapan untuk coba-coba, dari kantong bajunya ia mengeluarkan sepucuk daun buah ajaib terus diangsurkan kepada Tosu itu serta katanya.   "Mungkin Totiang terkena racun jahat, inilah daun Kiu-thian-cu-ko, setelah Totiang menelan daun ini tentu penyakitmu dapat sembuh."   Tampak Tosu itu rada beragu sebentar, namun akhirnya ia menerima juga, dengan kedua tangannya Thian-hi menyongkel gigi si Tosu yang terkatup kencang terus menjejalkan daun buah ajaib ke dalam mulutnya.   Rada lama kemudian, baru tampak si Tosu dapat menghela napas lega dengan lemah, katanya serak.   "Pinto memang Giok-yap adanya. Entnh Siauhiap mencari aku ada urusan apa?"   Mendengar ucapan orang sungguh girang Thian-hi bukan main, tersipu-sipu ia berlutut dan menyembah sapanya.   "Wan-pwe Hun Thian-hi menghadap pada Lo-cianpwe."   Kata Giok-yap Cinjin perlahan.   "Sekarang aku tahu untuk apa kau kemari. Aku dibokong orang sehingga tak dapat bicara, badanpun menjadi kaku tak bisa bergerak sejak sebulan yang lalu. Tadi meski kau sudah memberi daun buah ajaib, paling tidak harus memakan waktu dua belas jam baru bisa pulih seluruhnya! Eh, kau bangunlah!"   Kata Thian-hi sambil bangkit.   "Wanpwe semula mengira mungkin Cianpwe dikelabui dalam peristiwa ini maka dengan lancang menghadap kemari."   Ujar Giok-yap Cinjin memejamkan mata.   "Aku dapat menduga kejadian apakah itu, tapi belum jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya, coba Hun-siauhiap menjelaskan."   Maka Hun Thian-hi menceritakan pengalamannya sejak ia bertemu dengan Kim Ci-ling. Setelah mendengar cerita Thian-hi Giok-yap Cinjin membuka mata, katanya serius.   "Hun siauhiap! Dosa. Gwat Long dan Sing Poh dalam peristiwa ini tak terampun lagi. Tapi apakah Hun siauhiap tahu siapakah orangnya yang berdiri di belakang lajar?"   Thian-hi berpikir sebentar, jawabnya.   "Tentang hal ini Wanpwe pernah memikirkannya, memang pasti ada orang yang memegang rol di belakang peristiwa ini, dan orang itu pasti Mo-bin Suseng adanya."   Giok-yap Cinjin manggut-manggut, tiba-tiba ia bertanya.   "Apakah Siauhiap ada bermusuhan dengan Mo~bin Suseng?"   Hun Thian-hi manggut-manggut mengiakan. Kata Giok-yap Cinjin.   "Beberapa tahun belakangan ini aku gemar main catur, beberapa waktu yang lalu pernah datang seorang yang mengaku bernama Hou Gwan, diapun pandai bermain catur, sungguh aku tidak menduga bahwa dia inilah Mo-bin Suseng yang kenamaan di seluruh jagad itu, diam-diam ia telah meracun kepadaku, racun yang digunakan adalah Soat-san-cu, bisa paling jahat di seluruh dunia. Karena kurang hati-hati aku terjebak oleh tipu muslihatnya. Dia ngapusi murid2ku katanya aku tersesat latihan Lwekang, tanpa Badik buntung tak mungkin dapat disembuhkan." -setelah bercerita ia menghela napas dengan rawan. Thian-hi sendiri juga bungkam dan menunduk. Sambung Giok-yap.   "Mo-bin Suseng berhati culas dan banyak muslihatnya, jika dia tahu sekarang aku sudah sembuh tentu menggunakan akal liciknya untuk mencelakai jiwaku. Baru saja aku menelan daun buah ajaib, betapa pun jangan sampai dia mengetahui."   Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia mengakui kenyataan ini, kalau Mo-bin Suseng betul- betul tahu di bawah gosokan mulut manisnya tentu Gwat Long dan Sing Poh takkan membiarkan dirinya berada di tempat ini dengan tetap bernapas.   Sedang Giok-yap harus menunggu dua belas jam lagi baru bisa pulih kesehatannya.   Kalau Mo-bin Suseng hendak berbuat jahat rasanya semudah ia membalikkan telapak tangan.   Karena pikirannya ini segera ia bertanya kepada Giok-yap Cinjin.   "Kenapa Tio-yang-kiong kosong melompong selain Cianpwe seorang."   "Setelah seluruh penghuni Tio-yang-kiong tahu aku keracunan mereka lantas pindah ke Siang- goan-kiong, tinggal Gwat Long dan Sing Poh saja bersama aku, tapi sewaktu2 mereka pergi, legakan saja hatimu, saat ini selain mereka berdua tiada seorangpun yang bisa kemari. Meski sepak terjang mereka sangat tercela, tapi mereka masih dengar kata-kataku!" habis berkata ia menghela napas panjang. Thian-hi memaklumi kesukaran dan pikiran Giok-yap Cinjin, sepak terjang Gwat Long dan Sing Poh memang patut dihukum mati, tapi betapapun perbuatan mereka itu melulu demi keselamatan Giok-yap Cinjin, maka tidaklah heran kalau Giok-yap Cinjin merasa sedih dan serba sulit. Hun Thian-hi tunduk dan terpekur. Begitulah selanjutnya mereka bicara panjang lebar, dalam kesempatan itu Giok-yap Cinjin menanyakan riwayat hidup Thian-hi, dengan setulus hati Thian-hi menutur apa adanya. Akhirnya Giok-yap Cinjin tenggelam dalam pikirannya, agak lama kemudian baru buka bicara lagi.   "Urusan ini setelah aku sembuh tentu akan kubereskan. Tentang urusanmu tentu aku akan berusaha sekuat tenaga, meski aku ada janji dengan Bu-bing Loni untuk tidak mencampuri urusan dunia tapi kau telah menolong jiwaku, tidak bisa tidak aku harus membalas budi ini, sampai pada waktunya tentu dapat dibereskan dengan sempurna."   Girang hati Thian-hi, lekas-lekas ia nyatakan banyak terima kasih kepada Giok-yap Cinjin, pikirnya dengan keagungan Giok-yap Cinjin bila ia mau sedikit membela dan bicara demi kebersihannya maka segala urusan tentu dapat dibikin terang.   Tengah ia kegirangan, mendadak terdengar langkah kaki yang sangat lirih di luar pintu, bercekat hati Thian-hi, waktu ia pandang wajah Giok-yap agaknya ia tidak mendengar, maklum karena kesehatan Giok-yap belum sembuh seluruhnya, mana mungkin dengar suara yang begitu lirih.   Cepat ia berkata kepada Giok-yap Cinjin.   "Apakah Cianpwe mendengar suara langkah di luar? Ada orang tengah mencuri dengar pembicaraan kita!"   Berubah air muka Giok-yap, katanya.   "Tentu Mo-bin Suseng adanya!"   Mendengar akan Mo-bin Suseng Thian-hi juga terkejut, sebat sekali ia bergerak melesat keluar, maksudnya hendak meringkus Mo-bin Suseng.   Terdengar olehnya lapat-lapat suara derap langkah yang ringan dan lirih berlari ke depan sana.   Begitu mendengar jelas suara langkah itu bergolak darah dalam rongga dadanya, sambil menghardik keras.   "Lari kemana!"   Tubuhnya melesat seperti anak panah mengejar ke depan. Setelah membelok tiga tikungan pandangan di depan menjadi jelas kiranya itulah seekor kucing hitam mulus. Thian-hi tertegun sebentar, hatinya lantas mengeluh.   "Celaka! Giok-yap masih belum mampu bergerak, terang aku terpancing meninggalkan sarang,"   Karena pikirannya ini cepat-cepat ia berlari balik.   Begitu ia melangkah di ambang pintu seketika ia berdiri kesima di depan pintu.   Giok-yap Cinjin tetap duduk di tempatnya tak bergerak, namun dadanya bertambah sebilah badik dengan digenangi darah segar, jelas itulah Badik buntung yang menghunjam di dadanya.   Kepala Thian-hi laksana dipukul godam, pikirannya menjadi kosong, segala harapan semula sekarang menjadi lenyap seperti gelembung air, tak perlu disangsikan lagi tentu inilah buah karya Mo-bin Suseng yang culas dan banyak muslihatnya itu.   Entah berapa lama ia menjublek di tempatnya, mendadak didengarnya derap langkah orang banyak.   Walaupun Giok-yap Cinjin bukan mati oleh tangan Hun Thian-hi, namun sanubarinya dirundung suatu perasaan yang susah diraba takutnya, siapapun bila melihat ia hadir disini tentu akan curiga bahwa dialah yang telah membunuh Giok-yap Cinjin.   Dengan gelisah Thian-hi celingukan ke kanan kirinya, baru saja ia hendak lari ke kamar lain mendadak teringat akan Badik buntung, kalau Badik buntung tertublas di dada Giok-yap sedang umum tahu bahwa Badik buntung adalah miliknya, orang lain takkan mau percaya bahwa Badik buntung pernah direbut oleh Gwat Long dan Sing Poh karena tiada bukti, sekarang.   Lekas-lekas ia berlari masuk ke dalam ruang samadi, baru saja ia menarik Badik buntung dari dada Giok-yap Cinjin dan berputar, pintu kamar sudah penuh dihadang oleh anak murid Bu-tong- pay, terang Thian-hi tak punya jalan untuk meloloskan diri.   Bab 7 Sungguh Thian-hi tak berani membayangkan, sambil menggerung seperti singa mengaum ia kiblatkan Badik buntung terus menerjang ke arah pintu.   Tapi para penghadang itu adalah Sam-lo-chit-cu, merupakan tokoh-tokoh yang paling diandalkan oleh pihak Bu-tong-pay, mana mungkin mereka mau membiarkan dirinya melarikau diri? Serempak Sam-lo-chit-cu melolos pedang, terus bergerak saling melintang melancarkan serangan gabungan yang dahsyat perbawanya, Thian-hi terdesak mundur ke dalam kamar semadi lagi.   Thian-hi menggertak, yang terpikir dalam otaknya hanya melarikan diri, sedikitpun tidak terpikir olehnya akibat dari peristiwa hebat ini.   Dimana Badik buntung berkelebat dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai ia merabu para musuhnya sehingga Sam-lo-chit-cu terdesak mundur oleh tabiran cahaya hijau pupus yang dingin dan tajam sekali.   Sam-lo-chit-cu merupakan tokoh-tokoh kosen yang berkepandaian tinggi, mereka insaf setiap jurus serangan Thian-hi pasti adalah jurus-jurus ganas yang membahayakan, maka sebat sekali mereka bergerak bersama, sepuluh orang sepuluh batang pedang berbareng melancarkan jurus gabungan Coan-liu-gak-lik, memang dahsyat sekali perbawa tenaga gabungan ilmu pedang ini, betapapun lihay dan hebat serangan Thian-hi tak urung ia terdesak balik oleh daya perlawanan yang kuat dari tenaga musuh.   Sekali gebrak saja lantas terdesak mundur, namun segala akibat dan sesuatunya sudah tak terpikirkan lagi oleh Thian-hi, begitu mundur ia menyerbu maju lagi, kini ia lancarkan jurus Tam- lian-hun-in-hap dari Gin-ho-sam-sek kedua.   Jurus kedua ini berlipat ganda lebih dahsyat dan hebat perbawanya, Sam-lo-chit-cu terpaksa harus menyurut mundur, Thian-hi berkesempatan menerobos lewat keluar pintu, begitu sampai diluar Sam-lo-chit-cu sudah berbaris membentuk sebuah barisan mengepung dan menghadang jalan lari Thian-hi.   Thian-hi insaf jalan satu-satunya baginya hanyalah menggunakan kekerasan, maka begitu bergerak langsung ia mengerahkan sekuat tenaga merangsak musuh.   Tampak Sam-lo-chit-cu berpencar dan secepat kilat bergabung maju pula, tetap mereka mengepung Thian-hi di tengah.   Thian-hi sudah berusaha mengerahkan tenaga dan mengembangkan ilmu pedangnya mengandal ketajaman Badik buntung, namun setiap serangannya selalu kandas, ia terpaksa harus membela diri melulu.   Untung kedua jurus Gin-ho-sam-sek yang dilatihnya itu merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah diapalkan diluar kepala, untuk membela diri jauh masih berkelebihan.   Sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu, dari atas gunung tampak berlari-lari mendatangi dua sosok bayangan.   Dilain kejap begitu kedua orang ini tiba Sam-lo-chit-cu segera menarik serangan, pedang melintang di depan dada.   Berpikirpun tidak, begitu melihat Sam-lo-chit-cu menghentikan aksinya sebat sekali Thian-hi melejit tinggi terus terbang ke depan menuju bawah gunung.   Sambil menarik muka kedua pendatang itu terus mengejar ke depan, masing-masing mengulur telapak tangan memukul ke arah Thian-hi.   Begitu melihat gaya serangan kedua orang ini, Thian-hi lantas berteriak kejut.   "Gwat Long Sing Poh!" setelah berteriak ia angkat kepala mengawasi kedua orang ini dengan seksama. Kiranya Gwat Long dan Sing Poh adalah pemuda remaja yang berusia 20-an, mengenakan jubah Tosu warna hijau, punggung masing-masing menyandang pedang panjang, biji matanya tanpa expresi mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip. Walau usia Gwat Long dan Sing Poh masih muda, namun mereka adalah murid langsung dari Giok-yap Cinjin, mereka berdua saja yang menjadi keturunan dari ilmu Siau-yang-sin-kang, maka begitu mereka unjuk diri, Sam-lo-chit-cu harus memberi muka dan mengalah kepada mereka. Memandang Gwat Long Sing Poh, Hun Thian-hi menjengek dingin.   "Cara bagaimana kematian Suhu kalian, kukira kalian berdua sudah tahu, kiranya tak perlu aku Hun Thian-hi banyak mulut. Sekarang kalian mencari perkara kepada aku, sungguh aku ikut penasaran akan kematian beliau."   Gwat Long dan Sing Poh bungkam seribu basa, Sam-lo-chit-cu mendengus ejek, Gwat Long dan Sing Poh angkat kepala, pelan-pelan menggapai tangan, serempak Sam-lo-chit-cu menyerbu lagi.   Thian-hi bergelak tawa saking murka, Badik buntungnya berkelebat menyerang kepada Sam-lo.   Gwat Long dan Sing Poh saling pandang sekilas, mereka mencabut pedang masing-masing terus berkelebat memasuki gelanggang memapas dan menusuk kepada Thian-hi.   Sambil kertak gigi Hun Thian-hi ayun Badik buntungnya untuk melawan keroyokan musuh, tapi Gwat Long dan Sing Poh adalah murid didik langsung dari Giok-yap Cinjin sejak masih kecil, Bu-tong-pay merupakan aliran murni dari golongan Lwekeh, sejak kecil mereka sudah diberi kepandaian dasar yang kokoh kuat sudah tentu hasilnya sangat mengagumkan.   Melihat cara tempur Hun Thian-hi yang nekad dan tanpa gentar sedikitpun berbareng mereka memutar pedang dan menyampok kesamping, dengan rangsekan berbareng dari dua jurusan ini Badik Hun Thian-hi kena dituntun miring kesamping, kesempatan ini digunakan Sam-lo-chit-cu mengacungkan pedang menusuk dan membacok bersama dari berbagai penjuru.   Jidat Thian-hi sudah basah oleh air keringat, terdengar ia menggembor keras, tanpa disadari ia mengembangkan ilmu ringan tubuh yang pernah dilihatnya dari si tua Pelita dalam rimba tempo hari, keadaan waktu itu sangat berkesan dalam benaknya, sekarang dalam keadaan genting dia kembangkan, laksana ikan berenang selicin belut ia bergoyang gontai bergerak lolos dari rangsekan pedang Sam-lo-chit-cu.   Thian-hi sendiri menjadi tercengang melihat hasil perkembangan ilmu ringan tubuhnya yang dapat ditirunya dari kepandaian Situa Pelita, bahkan girang melihat dirinya bakal lolos dari kepungan Sam-lo-chit-cu gerak-geriknya menjadi sedikit lamban, tampak selarik sinar pedang berkelebat tahu2 lengan kirinya sudah tergores luka panjang dan mengeluarkan darah deras.   Saking kesakitan Thian-hi sampai mengeluh panjang, cepat2 ia kiblatkan Badik buntung melancarkan jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek untuk membendung serangan susulan pihak musuh.   Dari menyelang ia sekarang menjadi pihak yang bertahan, meski terasa tekanan tenaga dari berbagai penjuru sangat berat, tapi dalam waktu dekat ia masih kuat bertahan.   Melihat serbuan gabungan ilmu pedang mereka tak berhasil membobol pertahanan Thian-hi, Gwat Long dan Sing Poh menjadi sengit.   Mendadak mereka membalikkan pedang, serempak melancarkan ilmu simpanan pihak Bu-tong-pay yang dinamakan Cian-si-bi-ciu, dua batang pedang mereka berputar memetakan cahaya terang benderang menerangi gelanggang, seluruh kekuatan telah dikerahkan untuk melancarkan serangan ini.   Se-konyong2 Thian-hi merasa tekanan dari empat penjuru bertambah berat, luka lengan kirinya mengalirkan darah lagi, insaf ia kalau pertempuran berlangsung terus tentu dirinya susah buat bertahan, paling lama juga hanya kuat bertahan setengah jam.   Lama kelamaan kepalanya terasa berat, matanya ber-kunang2 dan kabur, sekuatnya ia masih lancar-kan jurus2 ilmu Gin-ho-sam-sek untuk berlindung dan membela diri.   Mendadak samar2 terdengar olehnya teriakan kaget dan takut, Gwat Long dan Sing Poh, berbareng terasa tekanan serangan mereka mengendor.   Kuat2 Thian-hi menggelengkan kepala, sebuah keajaiban tiba2 membuat semangatnya tersentak bangun dari kepalanya.   Namun dilain saat Thian-hi sendiri juga menjadi melongo, karena terlihat olehnya Giok-yap Cinjin tengah berdiri tegak dikaki tembok sebelah dalam sana.   Sekilas Thian-hi menjadi sadar bahwa entah tokoh siapa yang telah berusaha menolong dirinya.   untuk menerjang keluar dari kepungan, sebat sekali ia melambung tinggi terbang kebawah gunung.   Sambil menggertak Sam-lo-chit-cu menggerakkan pedang menusuk dan membabat.   gesit sekali Thian-hi menggeliat ditengah udara tubuhnya terus meluncur kedepan, serangan bersama Sam-lo- chit-cu mengenai tempat kosong.   Terdengar Gwat Long dan Sing Poh menghardik keras.   berbareng mereka melejit mengejar sambil menyerang dari jarak jauh.   Thian-hi berusaha untuk mengegos, namun gerak geriknya sudah rada lamban, kontan pundak kirinya kena dijotos lagi oleh musuh, seketika ia rasakan seluruh lengan kirinya seperti dipanggang diatas bara, begitu kakinya menyentuh tanah segera ia kembangkan ilmu ringan tubuh dan berlari sipat kuping kebawah gunung.   Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berlari, cara bagaimana pula ia berhasil menghindarkan diri dari kejaran Gwat Long dan Sing Poh, tak diketahui pula olehnya kapan ia telah jatuh pingsan dan tak sadarkan diri lagi.   Waktu Thian-hi membuka mata terasa mukanya dingin, terlihat Hwesio jenaka tengah berdiri dihadapannya sembari cengar-cengir kepadanya.   Thian-hi merasa badannya sedikit segar, ter-sipu2 ia berusaha bangkit berduduk, segera Hwesio jenaka mencegahnya katanya tertawa.   "Kesehatanmu belum pulih, jangan kesusu bangun!"   Memang Thian-hi merasa kaki tangannya lemas tak bertenaga, dengan lirih ia menyapa.   "Siausuhu, hari ini aku tertolong pula oleh kau, sungguh tak ahu cara bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini."   Hwesio jenaka masih cengar-cengir tanpa bicara, rada lama kemudian baru ia buka bicara.   "Urusan yang kau kerjakan kali ini sungguh sangat menggemparkan. Kau tertuduh membunuh Giok-yap Cinjin, apakah kau kuat memikul dosa berat ini? Jangan kata orang luar, mungkin gurumu sendiri pun takkan berani buka bicara untuk membela kau lagi."   Thian-hi maklum apa yang dikatakan itu memang kenyataan, ia menghela napas an bungkam seribu bahasa. Sesaat kemudian tiba2 ia bertanya.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kenapa Siau-suhu bisa disini? Bagaimana pula kau tahu bahwa Giok-yap Cinjin bukan aku yang membunuhnya?"   Wajah Hwesio jenaka lantas mengunjuk rasa sedih dan rawan, ia berputar menghadap kejurusan lain, sejenak kemudian ia berpaling serta berkata dengan tersenyum.   "Jangan kau berpikir terlalu jauh, aku mendengar kabar bahwa Mo-bin Suseng hendak mencelakai kau, waktu aku menyusul tiba tapi sudah terlambat!"   Bergegas Thian-hi bangun berduduk, tanyanya cepat.   "Dimana Siau-suhu mendengar kabar ini?"   Hwesio jenaka menyengir, jawabnya.   "Bukan aku tidak mau memberitahu, sebetulnya tak guna mengetahui hal itu."   Thian-hi dirundung rasa cemas dan curiga, pelan2 ia merajap bangun menggelendot dibatang pohon, dengan seksama ia menatap Hwesio jenaka, pikirnya.   "Darimana ia tahu? Mungkinkah."   Tampak Hwesio jenaka tetap berseri tawa tanpa menunjukkan sesuatu keganjilan. Akhirnya Thian-hi menghela napas, ujarnya.   "Siau-suhu! Aku memikul dendam kesumat sedalam lautan, kalau Siausuhu suka memberi petunjuk sehingga aku dapat menuntut balas, Siau- suhu minta apapun terhadap aku tentu dapat kulaksanakan."   Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya:.   "Apa yang kutahu saat ini bila kuberitahu kepada kau hanya akan mengagetkan pihak musuh saja, malah mungkin membawa bencana bagi kau."   Thian-hi menerawang sebentar, lalu katanya.   "Apakah Siau-suhu anggap sepak terjangku terlalu gegabah?"   Kata Hwesio jenaka tertawa lebar.   "Sekarang kau lebih baik pergi ke Siau-lim-si, berusaha mendapat bantuan dari Thian-cwan Taysu, kalau beliau yang tampil kedepan mungkin dapat menghapus penasaranmu, Sampai saatnya nanti boleh kau bicara perihal yang lain, karena saat ini kau terancam bahaja dan sulit berdiri dikalangan Kangouw."   Terkancing mulut Thian-hi, memang kenyataan apa yang dikatakan itu.   Mungkin Thian-cwan Taysu belum tentu mau membantu, beliau tidak tahu duduk perkara sebenarnya, bagaimana mungkin beliau mau membantu secara semberono? Melihat kesangsian Thian-hi, Hwesio jenaka berkata lagi.   "Selain jalan ini tidak ada cara lain untuk mengatasi kesukaranmu ini". Thian-hi merenung sekian lama, hatinya gundah dan bingung, memang selain jalan itu tiada cara penyelesaian lain yang lebih sempurna. Kata Hwesio jenaka.   "Kalau kau sudi aku bisa menunjukkan jalan, sepanjang jalan ini kutanggung tidak akan ada orang yang mencegat, dan tanpa rintangan kau dapat menghadap kepada Thian-cwan Taysu. Tapi persoalan lain aku tak berdaja lagi."   Ter-sipu2 Thian-hi menyatakan banyak terima kasih.   Saat itu juga segera mereka berangkat menuju ke Siau-lim-si.   Mereka menempuh perjalanan dengan gerak cepat, tak terasa lima hari sudah berlalu, luka Thian-hi sudah mulai sembuh, hari itu mereka sudah tiba dibawah kaki Siong-san.   Berjalan didepan Hwesio jenaka membawa Thian-hi berlari naik keatas melalui jalan yang ber-liku2, tak lama kemudian jauh diatas tebing terlihat tembok warna merah.   Tak terasa hati Thian-hi menjadi berdebar dan tegang, dengan memikul dosa yang tak terampun ia hendak menghadap Thian-cwan Taysu, tak tahu bagaimana Thian-cwan Taysu bakal menghadapi dirinya nanti.   Hwesio jenaka terus membawa Thian-hi maju kedepan, secara sembunyi2 mereka melompati tembok merah, serta maju terus kedepan sambil berjalan merunduk.   Tampak para hwesio penjaga berlalu lalang meronda.   Agaknya Hwesio jenaka seperti apal betul dengan keadaan didalam kelenteng besar Siau-lim-si ini, selalu ia mencari jalan yang penuh ditumbuhi pepohonan lebat dan rimbun.   Tak lama kemudian mereka sudah sampai diambang sebuah hutan bambu, dengan jari telunjuk Hwesio jenaka memberi isyarat supaya Thian-hi masuk kedalam hutan bambu itu.   Girang hati Thian-hi, segera ia mencelat melesat menuju kehutan bambu itu, sayang gerak geriknya rada kasar sehingga menyentuh dedaunan dan mengeluarkan suara keresekan.   Keruan Hwesio jenaka kaget sekali, cepat ia celingukan kekanan kiri, tampak olehnya seorang hwesio muda tengah beranjak maju kearah tempat sembunyi Thian-hi.   Hwesio jenaka menjadi gugup dan gelisah, namun dia sendiripun tidak boleh mengunjukkan diri, terpaksa sembunyi tanpa berani bergerak, terserah kepada nasib Thian-hi bagaimana.   Meski Thian-hi mendekam tanpa bergerak, namun tempat sembunyinya sudah korangan, mana mungkin ia dapat mengumpat lagi.   Sementara itu hwesio muda itu sudah semakin dekat ketempat sembunyi Thian-hi.   Waktu Hwesio jenaka melihat tegas wajah hwesio muda itu, hatinya bercekat, kiranya hwesio muda ini tak lain tak bukan adalah murid Ciangbunjin Siau-lim-si Te-kik Taysu, yaitu Ti-hay.   Thian-hi juga mendengar derap langkah orang yang tengah mendatangi kearah dirinya, tapi ia tak berani bergerak, besar harapannya hwesio muda ini hanya salah dengar dan menuju ketempat lain.   Kira2 tiga tomtaak dari jarak tempat sembunyi Thian-hi Ti-hay menghentikan langkahnya.   pelan2 ia buka bicara.   "Siapakah itu? Kalau berani berkunjung ke Siau-lim-si, kenapa main sembunyi segala?"   Thian-hi tahu tak mungkin main sembunyi lagi, dilihatnya hutan bambu itu berjarak tiga lima tombak jauhnya dari tempat sembunyinya, mungkin sekali lompat saja bisa sampai, kalau bisa berjumpa dengan Thian-cwan Taysu, maka tidak sia2lah perjalanan jauh ini.   Melihat orang yang sembunyi dibalik rumpun pohon tidak bergerak dan menunjukkan reaksi, gesit sekali Ti-hay bergerak maju, tubuhnya melayang ringan menubruk ketempat sembunyi Thian- hi.   Tepat pada saat itu juga, Thian-hi menjejakkan kedua kakinya meleset kearah hutan bambu.   Melihat orang buruannya sudah muncul lekas2 Ti-hay berse-ru.   "Sicu harap berhenti!"   Mulut berkata gerak kakinya begitu cepat, tubuhnya meluncur kedepan mengejar kearah Thian-hi, kedua jari dirangkapkan langsung menutuk kejalan darah dipungung Thian-hi.   Sejengkal lagi Thian-hi bakal mencapai hutan bambu, namun tutukan Ti-hay sudah hampir mengenai jalan darah dipunggung, terpaksa ia membalikan tangan kanan mengayun Badik buntung, selarik sinar hijau yang tajam dan dingin memapas kepergelangan tangan Ti-hay.   "Badik buntung?"   Teriak Ti-hay dengan kaget, cepat2 ia tarik tangan kanan serta mendegus gusar, sebat sekali tangan kanan sudah membalik maju lagi telapak tangan terpentang menjojoh kedepan mengandung tenaga Ciang-mo-sin-kang, yang diarah punggung Thian-hi lagi..   Melihat Ti-hay melancarkan pukulan yang lebih hebat, sementara tubuh Thian-hi sudah mencelat mumbul sampai diujung sepucuk bambu, terpaksa ia gunakan Badik buntung untuk menangkis kearah pukulan telapak tangan Ti-hay.   Tenaga pukulan Ciang-mo-sin-kang sungguh bukan olah2 hebatnya, kontan Badik buntung kena tergetar lepas dari cekalan Thian-hi.   Maklum Thian-hi baru sembuh dari luka2nya setelah beradu pukulan dengan Sian-thian-cin-gi pihak Bu-tong-pay, seketika tenaga pukulan Ciang-mo- sin-kang merembes masuk ke lengan kanannya dan terus menerjang jantung, sesaat dadanya menjadi sesak, tak kuasa lagi mulutnya lantas menyemburkan darah segar.   Sementara tubuh Thian-hi melayang jumpalitan kedalam hutan bambu.   Ti-hay tak berani sembarangan mengejar kedalam, cepat2 ia melompat turun dan menerobas masuk dari jalan yang menumpuh kedalam hutan bambu itu.   Sekuatnya Thian-hi mengempos tenaga untuk memusatkan semangat, waktu ia menggelinding jatuh ditanah, samar2 terlihat dalam pandangan matanya seorang Hwesio tua duduk bersila tiga tombak didepan sana.   Susah payah ia merangkak maju serta sembahnya tergagap.   "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Thian-cwan Taysu."   Habis kata2nya, iapun jatuh pingsan. Waktu Ti-hay juga memburu masuk kedalam hutan bambu tampak Thian-hi sudah menggeletak tak berkutik di tanah, ter-sipu2 ia merangkap tangan memberi hormat dan bersabda.   "Thian-cwan Supek, entah untuk apa orang ini menyelundup ke Siau-lim-si. Harap Supek memberi ijin untuk kubawa keluar!"   Thian-cwan Taysu membuka mata sejenak ia menatap Hun Thian-hi lalu katanya.   "Dia berkata hendak mencari aku, entah ada urusan apa. Bila Sutit berkenan bisakah kutanyakan dulu beberapa patah kata?"   Cepat Ti-hay menjawab.   "Kalau Supek hendak bertanya kepadanya baiklah Sutit mengundurkan diri dulu. Tapi orang ini membekal Badik buntung, pernah membunuh banyak orang di kalangan Kangouw, kabar yang terakhir malah katanya telah membunuh Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin, betapapun Supek harus hati2, jangan sampai tertipu oleh obrolannya."   Thian-cwan Taysu tampak terkejut, setelah terpekur sebentar ia berkata.   "Giok-yap Cinjin bisa mati di tangannya ?" nadanya penuh tanda tanya dan hampir tak percaya. Sahut Ti-hay.   "Sutit pun hanya mendengar kabar saja bagaimana duduk perkara sebetulnya Sutitpun tidak tahu?"   Thian-cwan Taysu manggut2, ujarnya.   "Dia datang ingin bertemu dengan aku, maka aku harus mencari tahu kepadanya. Kuduga urusan ini terselip latar belakang yang sulit diraba, apalagi mungkin hanya dia seorang saja yang tahu segala seluk beluknya."   Ti-hay merangkap tangan didepan dada, serta berkata.   "Sulit sementara mengundurkan diri saja."   Thian-cwan manggut.   Cepat2 Ti-hay membungkuk badan terus mundur keluar.   Sekian lama Thian-cwan Taysu ter-mangu2, baru pelan2 bangkit menghampiri Thian-hi, diulurkan sebelah tangannya menekan nadi pergelangan tangan Thian-hi.   Lalu diangkatnya diletakkan disamping tempat duduknya, dengan jari jemarinya pelan2 ia mengurut jalan darah Thian-hi.   Tak lama kemudian dalam keadaan sadar setengah sadar Thian-hi merasa segulung hawa hangat menjalar kencang menyusup ke seluruh tubuhnya.   Setiap jari Thian-cwan Taysu mengurut, hawa murni dalam tubuhnya serasa bergetar, dan tertuntun oleh hawa hangat tadi serta ikut berputar dan melandai kesegala jalan darah di seluruh tubuhnya.   Waktu Thian-hi membuka mata, dilihatnya disamping duduk seorang Hwesio tua berjenggot dan beralis putih, tahu dia mesti beliau inilah Thian-cwan Taysu adanya, bergegas ia bangun serta katanya.   "Terima kasih akan pertolongan Taysu!"   Thian-cwan Tausy menggoyang tangan per-lahan2.   "Siausicu tak usah banyak peradatan. Siausicu mencari aku entah ada urusan apa?"   Thian-hi segera menyembah serta serunya.   "Tecu Hun Thian-hi tersangkut bencana yang penasaran harap Taysu suka membantu mencuci bersih nama baik Wanpwe."   "Coba kau ceritakan dulu persoalan apakah itu?"   "Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tentu Taysu sudah kenal."   Demikian Thian-hi mulai dengan ceritanya.   "Beberapa waktu yang lalu beliau telah terbunuh secara gelap oleh musuh. Tapi seluruh tokoh2 silat dikolong langit ini semua menuduh adalah buah karya Wanpwe. Andai kata harus berkorban aku Hun Thian-hi takkan menyesal, tapi apakah kita harus membiarkan pembunuh durjana itu ongkang2 kaki dan berpeluk tangan, betapapun aku rada penasaran."   "Hal ini baru saja kudengar beberapa waktu yang lalu,"   Begitulah Thian-cwan bertanya.   "sebetulnya bagaimana duduk perkara sebenarnya, coba kau ceritakan."   Per-lahan2 Thian-hi menutur pengalaman sejak dirinya berpisah dengan Suhunya Kongsun Hong secara ringkas. dan jelas. Setelah selesai mendengar cerita Thian-hi, Thian-cwan Taysu pejamkan mata terpekur dalam pikirannya, akhirnya ia berkata.   "Meski apa yang kau uraikan sangat beralasan, tapi aku tak bisa dengar kata sepihak saja, kalau menurut apa yang kau katakan kau memang seorang yang tak berdosa, atau sebaliknya kau adalah seorang durjana yang keliwat batas."   Thian-hi menghirup hawa, desaknya.   "Taysu merupakan tokoh teragung dalam dunia persilatan, perkara ini tentu bisa tercakup dalam genggaman Taysu seorang, memang Taysu tak bisa mendengar kata sepihak dari saja. Sebaliknya kalau Gwat Long dan Sing Poh tidak mau bicara sejujurnya, selanjutnya aku mesti tenggelam semakin dalam dan tak mungkin membongkar rahasia pembunuhan gelap yang misterius itu."   Thian-cwan harus hati2 dan tenggelam dalam pikirannya lagi, katanya.   "Dulu aku pernah berjanji dengan Bu-bing Loni untuk tidak turut campur urusan Kangouw, tapi Giok-yap adalah sahabat tuaku, urusannya menjadi urusanku juga, kalau kau sudi menetap dan tinggal disini selama seratus hari, supaya memberi peluang dan kesempatan aku untuk menyirapi dan menyelidiki peristiwa ini, tentu aku dapat memberikan kepastian dan keputusan, apakah kau bisa?"   Thian-hi juga ragu2, akhirnya ia berkata.   "Taysupun sudah tahu, bahwa Soat-san-su-gou punya perjanjian selama setahun dengan Bu-bing Loni, jangka waktu itu sudah habis seratusan hari, kalau aku tinggal lagi disini selama seratus hari, sisa hari2 selanjutnya tidak banyak untuk menempuh segala usahaku, bagaimana enak perasaanku terhadap Soat-san-su-gou berempat Cianpwe?"   Thian-cwan Taysu menjadi bungkam, sebentar kemudian ia berkata.   "Kau mementingkan persoalan itu aku pun tak bisa menyalahkan kau. Tapi dalam keadaan gawat begini apakah kau mampu dan bisa menempuh perjalanan ke Tiang-pek-san?"   Thian-hi berdesah dengan rawan.   "Soat-san-su-gou berempat Cianpwe wafat karena aku, masa untuk mencoba saja aku tidak sudi?"   Thian-cwan menghela napas, ujarnya.   "Maksud Soat-san-su-gou memang baik. Tapi masa mereka tahu kalau ilmu silat Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay dapat menandingi Bu-bing Loni?"   Thian-hi terlongong2, ia tunduk dan tak kuasa bicara. Kata Thian-cwan Taysu pelan2.   "Saat ini sudah tentu siapapun tidak tahu, bukan saja mereka berdua, dulu situa Pelita pun menyangka Go-cu Taiysu bisa menandingi Bu-bing- Loni, tapi menurut hematku, belum tentu demikian."   Thian-hi melengak dengan rasa tak percaya, tanyanya.   "Apakah Bu-bing Loni betul2 tiada tandingan diseluruh kolong langit ini?"   Thian-cwan Taysu geleng2 kepala, jawabnya.   "Untuk hal ini siapapun tak berani memastikan namun untuk saat ini aku sendiri juga sangsi dan belum tahu ada tokoh mana yang mampu dan kuat menandingi Bu-bing Loni."   Thian-hi terlongong bungkam. Thian_cwan Taysu melanjutkan.   "Kalau kau mau menghimpas sakit hatimu, tiada halangan kau menetap disini selama seratus hari. tapi aku pun tidak memaksa kau, kalau tekadmu hendak pergi ke Tiang-pek-san, boleh silakan kau berangkat!"   Thian-hi angkat kepala memandang kearah Thian-cwan Taysu. Thian-cwan Taysu tahu maksud Thian-hi, sesaat ia menatap wajah orang lalu katanya.   "Aku akan suruh mereka melepas kau pergi."   Thian-hi tertunduk lagi, katanya.   "Terima kasih akan kebaikan Taysu, sekarang juga Hun Thian- hi mohon diri!"   "Siau_sicu,"   Ujar Thian-cwan menghela napas.   "Sesat dan lurus hanya terpikir dalam kilasan otak manusia, Sicu berteksd berkecimpung di Kangouw, sungguh Hwesio tua ini merasa kagum. Sebelum berangkat ingin aku memberi sedikit bekal kepadamu, hanya bersabar dan berlaku bijaksanalah baru akan tercapai cita2mu tanpa me-nyia2kan harapan orang banyak."   Thian-hi terlongong sebentar lalu menyembah tiga kali kepada Thian-cwan Taysu, setelah menjemput Badik buntung terus mengundurkan diri. Terdengar Thian-cwan Taysu berseru keluar.   "Ti-hay!"   Tampak Ti-hay beranjak masuk dari luar hutan. Segera Thian-cwan Taysu memberi perintah.   "Hantarkan Hun-sicu keluar!"   Ti-hay tertegun, tanyanya.   "Supek, mengantar dia keluar?"   "Ada urusan baru dia mencari aku,"   Demikian Thian_cwan menjelaskan.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Hakikatnya tiada berniat jahat, selamanya Siau-lim kita jarang turut campur urusan Kangouw, untuk urusan ini kita pun harus dapat membedakan siapa salah dan benar!"   Ti-hay lantas membungkuk tubuh dan mundur. Hun Thian-hi mengintil dibelakang Ti-hay keluar dari hutan bambu terus keluar dari lingkungan biara Siau-lim. Setelah sampai diluar pintu, segera Ti-hay merangkap tangan serta katanya.    Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini