Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 8


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 8


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Cianpwe juga. mencurigai aku?"   Tanya Thian-hi mendongak.   "Kenapa? Kau berani tak mengakui dosa2mu itu?"   "Semua orang menuduhku begitu, apakah aku harus memberi penjelasan kepada seluruh manusia di kolong langit ini? Kiranya cukup kukatakan bahwa bukan akulah yang berbuat, aku tidak bisa menuntut kepada semua orang untuk memberi maaf kepada aku, namun dalam sanubari aku selalu berdoa, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang telah terjadi!"   Situa Pelita menjadi bungkam, dengan mendelong ia awasi Hun Thian-hi. Hun Thian-hi berdesah sambil menunduk, ujarnya.   "Cianpwe! Sikapku ini mungkin rada keterlaluan, hakikatnya aku tidak tahu cara bagaimana aku harus memberi penjelasan kepada setiap orang, aku pun takkan bisa membuat setiap orang mau percaya kepada aku."   Setelah berpikir Situa Pelita berkata.   "Sebetulnya akupun tak berani berkukuh. Aku hanya mendengar berita saja, kenyataan pihak Bu-tong-pay sudah menyebar Bu-lim-tiap, mengundang seluruh tokoh-tokoh silat dari segala lapisan dan golongan untuk mencari jejakmu bersama."   "Thian-cwan Taysu mengatakan supaya aku bersabar, tujuan hidupku sekarang hanyalah hendak menuntut balas bagi ayah dan Soat-san-su-gou berempat Cianpwe, soal lain aku tidak ambil peduli lagi."   Akhirnya Situa Pelita menghela napas, katanya memberi pesan.   "Bagaimana duduk perkara sebenar-benarnya sulit diterangkan. Tapi kau harus selalu ingat, hasrat kita sangat besar terhadap kemajuanmu dihari depan, kau harus bisa mengendalikan diri baik-baik, sudah aku pergi!" enteng sekali tubuhnya lantas melayang jauh ke dalam hutan dan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Hun Thian-hi menjublek, pikirannya melayang jauh, akhirnya ia menghirup hawa panjang, meski Situa Pelita tidak membantu secara langsung, namun sikap dan kata-katanya itu sungguh membuatnya tunduk lahir batin. Hun Thian-hi naiki kudanya dan melanjutkan perjalanan lagi. Tak lama kemudian ia memasuki sederetan hutan-hutan lebat yang semakin gelap. Jalan punya jalan lambat laun firasatnya bicara bahwa sekelilingnya telah penuh dikuntit oleh banyak perangkap. Segera Thian-hi menarik tali kekang dan menghentikan kudanya, sekian saat ia celingukan ke sekitarnya. Benar-benar juga tahu-tahu di hadapannya melayang turun dua sosok manusia, mereka bukan lain adalah Gwat Long dan Sing Poh. Dengan sikap dingin Hun Thian-hi menatap mereka berdua. Demikian juga Gwat Long dan Sing Poh berdiri tegak dengan sikap angker di kanan kiri di hadapan kuda Thian-hi.   "Untuk apa kalian menghadang perjalananku?"   Jengek Thian-hi dingin. Gwat Long dan Sing Poh berkata bersama.   "Seluruh tokoh Bulim siapa yang tidak tahu bahwa kau telah membunuh guruku. Kenapa tanya lagi!"   Thian-hi tertawa dengan sombong, sindirnya.   "Tapi adalah kalian berdua lebih jelas dari aku siapa sebetulnya pembunuhnya?"   "Hun Thian-hi!"   Maki Gwat Long gusar.   "jangan cerewet lagi, apa hari ini kau sangka bisa keluar dari hutan ini? Hutan ini sudah terkepung rapat, seumpama tumbuh sayap pun jangan harap kau dapat terbang ke langit!"   Thian-hi bergelak tawa dengan congkak, katanya.   "Guru kalian Giok-yap Cinjin semula menyangka kamu berdua sangat setia terhadap beliau, tapi setelah beliau wafat, sepak terjang kalian sungguh."   "Hun Thian-hi jangan banyak bacot lagi!"   Teriak Gwat Long sambil mengulapkan tangan ke belakang.   "Lihatlah itu!"   Tampak dari hutan sebelah depan sana muncul Kongsun Hong gurunya. Kata Gwat Long berpaling ke belakang.   "Kongsun Tayhiap, muridmu disini bagaimana menurut anggapanmu?"   Melihat gurunya Kongsun Hong mendadak muncul di tempat itu, Thian-hi tercengang heran, cepat ia nyapa.   "Suhu!"   Lam-siau Kongsun Hong menatap tajam ke arah Thian-hi tanpa bersuara. Gwat Long mendesaknya lagi.   "Kongsun Tayhiap, kaulah seorang tokoh Kangouw yang bangkotan, sepak terjang dan tingkah laku muridmu ini, kau sebagai gurunya bagaimana mempertanggung jawabkan!"   Kongsun Hong menghela napas tanpa bicara.   Thian-hi menunduk dengan sedih, jelas terlihat olehnya titik-titik air mata dimuka gurunya.   Dibanding pertemuan dengan gurunya tempo hari Lam-siau Kongsun Hong sekarang kelihatan jauh lebih tua sepuluh tahun, rambut dipinggir telinganya kelihatan sudah mulai ubanan.   Sekian lama Kongsun Hong tenggelam dalam renungannya, akhirnya ia angkat kepala berkata kepada Gwat Long.   "Aku mengusirnya dari perguruan terserah bagaimana kalian hendak menghukumnya. Aku tak perlu banyak bicara lagi!"   Habis bicara terus tinggal pergi. Gwat Long menjengek hidung, katanya.   "Kongsun Tayhiap begitu saja keputusanmu?"   Kongsun Hong membalik ke arah Gwat Long katanya.   "Bagaimana? aku menyerahkan dia kepada kalian untuk menghukumnya sesuka hatimu apakah masih kurang adil?"   Gwat Long mendengus tak bicara lagi.   Maksudnya semula hendak mendesak Kongsun Hong supaya memerintahkan Hun Thian-hi bunuh diri, sekarang terpaksa harus turun tangan sendiri.   Dengan berlinang air mata Hun Thian-hi mengawasi punggung Kongsun Hong yang menghilang dibalik pohon dalam hutan.   Tahu dia sikap dan keputusan gurunya terhadap dirinya tadi adalah yang paling baik dan banyak memberi kelonggaran, dan terpaksa memang harus demikianlah yang dapat diperbuatnya.   di hadapan para gembong-gembong silat Kangouw.   Seumpama Kongsun Hong mengetahui bahwa kematian Giok-yap bukan lantaran dirinya, diapun bakal berbuat demikian.   Gwat Long melolos pedang terus menyerang kepada Hun Thian-hi.   Hun Thian-hi bergelak tawa, sigap sekali tubuhnya mencelat tinggi dari tunggangannya, sebelah tangan kiri menanggalkan pedang dengan jurus Hun-liong-pian-yu ia balas menyerang kepada Gwat Long.   Hun-liong-pian-yu adalah salah satu jurus dari Thian-liong-chit-sek yang paling hebat dan lihay.   Meski Gwat Long sebagai murid Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tak urung juga terdesak mundur selangkah.   Tapi dasar punya kepandaian tinggi dari didikan perguruan murni ilmu silatnya memang lain dari yang lain.   Kejap lain ia sudah dapat memperbaiki posisinya, sekarang ia mulai balas menyerang, pedangnya panjang berterbangan, dengan jurus Soat-yong-lou-hwa, selarik sinar dingin berputar terus balas menyerang mengarah tenggorokan Thian-hi.   Menyaksikan Gwat Long mendesak gurunya begitu rupa sungguh benci Thian-hi bukan main, saking sengit segera ia kembangkan ilmu Gin-ho-sam-sek, tenaga dikerahkan seluruhnya untuk merobohkan lawan.   Melihat saudaranya rada terdesak Sing Poh segera mencabut pedang, sekarang berdua mengepung Hun Thian-hi.   Dengan dua lawan satu Hun Thian-hi masih lancar memainkan Tam- lian-hun-in-hap untuk menyerang dan untuk membela diri.   Pertempuran sudah berjalan setengah jam, meski Thian-hi membekal pedang aliran murni dari tingkat yang paling tinggi, lama kelamaan ia merasa tenaga mulai terkuras habis, pula Gwat Long dan Sing Poh sudah mainkan Cian-si-bik-so ilmu pedang gabungan yang kokoh dan rapat sekali untuk menempur Thian-hi mati-matian.   Semakin tempur Gwat Long berdua semakin gagah dan serangan semakin gencar.   Tiba-tiba Hun Thian-hi bersuit nyaring panjang, tibalah saatnya ia kembangkan jurus ketiga Gin-sho-sam-sek yang belum selesai dilatihnya.   Dimana pedangnya berputar lempang dimana jurus Hwi-ho-poh-cun-siau berkembang, cahaya mas berkilau mengembang lebar langsung menerjang dan membobol kepungan jalur sinar pedang Gwa Long dan Sing Poh, seiring dengan hasil gemilang ini tubuh Thian-hi pun ikut melesat keluar dari kepungan.   Begitu berhasil lolos dari kepungan seketika Thian-hi rasakan dadanya sesak dan mual, tanpa kuasa mulutnya lantas menyemburkan darah segar, sekali lompat ke atas punggung kudanya terus mencongklang keluar hutan.   Dalam ilmu Gin-ho-sam-sek hanya jurus ketiga inilah yang paling ganas dan merupakan jurus menyerang melulu.   Dulu karena belum selesai sempurna ciptaan jurus ketiga ini maka Soat-san- su-gou tak berani melancarkan melawan Bu-bmg Loni sehingga mereka sendiri yang menjadi korban.   Atau kalau terpaksa dilancarkan tentu untuk hari2 selanjutnya bilamana Hun Thian-hi melancarkan jurus ini Bu-bing Loni takkan gentar dan dapat menyelami inti sari serta pemecahannya.   Kenyataan memang mereka terdesak dan bakal kalah akhirnya mereka sembunyikan jurus yang terlihay ini khusus diturunkan kepada Hun Thian-hi.   Kalau Hun Thian-hi kelak berhasil mempelajari dengan sempurna tentu akan merupakan tekanan berat bagi Bu-bing.   Dengan luka-luka berat Thian-hi semampai di atas kudanya terus menerjang keluar hutan.   Waktu sampai diluar hutan dimana sudah ada orang yang menunggunya.   Pertama-tama Toh-bing- cui-hun yang menyerang lebih dulu, sekali ayun tangan kanan cincin pencabut nyawa dan Cui- hun-chit-sa-to sekaligus diberondong keluar, semua mengarah tempat mematikan di tubuh Thian- hi.   Meski luka dalam sangat berat, tapi musuh menghadang jalan, terpaksa ia menahan sakit dan kerahkan tenaga, dengan menggeram gusar pedangnya berkelebat miring, cukup dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap seluruh hujan senjata rahasia kena dipukul runtuh.   Sementara itu jarak kedua belah pihak sudah semakin dekat terpaksa Toh-bing-cui-hun To Hwi menggunakan pedang menyerang Thian-hi.   Di belakangnya tampak Tosu gila juga muncul, teriaknya tertawa.   "Bocah, mau lari kemana lagi!"   Perasaan Thian-hi menjadi pedih seperti diiris-iris, Tosu gila yang tempo hari pernah berjanji hendak membantu dirinya sekarang berbalik memusuhi dirinya.   Saking berduka ia bergelak tawa panjang, pedangnya bergerak kencang menangkis dan menyampok serangan senjata para musuh, karena gelak tawanya ini darah menyembur lagi dari mulutnya.   Melihat keadaan Thian-hi, Tosu gila menjadi kaget, biji matanya memancarkan sorot cahaya aneh berkilat.   Beruntun pedang Thian-hi menutul dan menabas ke arah kedua musuh, terpaksa Tosu gila berkelit mundur, Thian-hi berkesempatan mengeprak kudanya lari.   Tidak jauh Thian-hi lari Gwat Long dan Sing Poh sudah menyusul tiba.   Tubuh mereka bagai terbang mencelat tiba menghadang jalan Hun Thian-hi.   Hun Thian-hi menjadi sengit bentaknya.   "Jangan kalian terlalu mendesak orang!" matanya mendelik membara ke arah kedua musuhnya. Gwat Long dan Sing Poh menjadi gentar dan mundur ketakutan. Dengan gusar Thian-hi menggentakkan pedang menyerang lagi, karena kata-katanya tadi ia menyemburkan darah segar. Urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh terpaksa Gwat Long berdua pun tak mau menyudahi begitu saja. Mana kuat dan mana lemah jelas dapat dibedakan, sekali balas menyerang pedang Thian-hi mencelat dari cekilannya. Tepat saat itu Toh-bing-cui-hun juga telah memburu tiba, pedangnya menusuk kelambung Thian-hi karena tak membekal senjata terpaksa Thian-hi menjepit perut kudanya melecutnya ke depan untuk menghindari tusukan ganas ini. Melihat Toh-bing-cu-hun To Hwi begitu bernafsu hendak membunuh Thian-hi, memang inilah yang menjadi maksud tujuan Gwat Long berdua, lmbat2 saja mereka bergerak memberi peluang kepada TO Hwi. To Hwi lancarkan pula tabasan mengarah paha Thian-hi. Sekonyong-konyong dari tengah udara meluncur sesosok bayangan orang, dimana sinar perak berayun kontan pedang To Hwi kena tergulung terbang ke tengah udara. Tampak Bun Cu-giok meluncur hinggap di tanah, sekilas dilihatnya dari kejauhan banyak Tosu tengah memburu tiba, cepat-cepat ia berseru kepada Thian-hi.   "Saudara Hun. Lekas lari!"   Sementara itu, Ciok Yan juga membedal kudanya menerjang tiba.   Bun Cu-giok mainkan ilmu cambuknya yang lincah dan hebat untuk mendesak para musuh, kesempatan lain serentak mereka melarikan diri bersama.   Sudah tentu Gwat Long dan Sing Poh tak rela ikan yang sudah masuk jaring terlepas lagi.   Dengan kencang mereka mengejar.   Terpaksa Bun Cu-giok mainkan gabungan ilmu pedang dan cambuk untuk menandingi para pengejarnya, sambil tempur terus melarikan diri.   Sekejap saja sepuluh li sudah ditempuh, lari bertempur masih terus berlangsung, akhirnya tinggal Gwat Long dan Sing Poh yang masih terus mengejar.   Bun Cu-giok menghentikan langkah dan membalik tubuh, bentaknya kepada Gwat Long berdua.   "Cara bagaimana kematian Supek kalian berdua jelas mengetahui, tahu salah tapi tak bertobat, sekarang malah berani main bunuh pada orang yang tak berdosa, dimana hati nuranimu?"   Sejenak Gwat Long berdua tercengang, akhirnya menebalkan muka berkata.   "Kaukah murid Ce- hun Totiang? Meski Ce-hun diusir dari perguruan, hubungan kental dengan guruku masih kekal. Hun Thian-hi membunuh guruku, hal ini diketahui seluruh dunia, bagaimana kau bisa melepas dia."   Bun Cu-giok menjadi murka, makinya.   "Sampai matipun kalian cdak insaf?"   Pedang mas dan cambuk perak bergerak bersama merabu kepada Gwat Long berdua.   Betapa girang hati Thian-hi mendapat bantuan Bun Cu-giok dan Ciok Yan, lambat-lambat ia meraba daun buah ajaib terus ditelannya, bersama Ciok Yan menonton diluar gelanggang.   Seorang diri Bun Cu-giok melawan keroyokan Gwat Long dan Sing Poh.   Sama-sama murid Bu- tong dari aliran murni, setiap jurus dan tipu permainan mereka hampir sama, sekejap saja pertempuran sudah berlangsung lima puluh jurus.   Kuatir bala bantuan pihak lawan keburu tiba, segera Bun Cu-giok melompat mundur terus naik ke atas kudanya serunya.   "Tak perlu kulayani kalian!"   Bersama Thian-hi dan Ciok Yan mereka lari pula dengan kencang.   Gwat Long dan Sing Poh juga tahu tak lama lagi bala bantuan bakal tiba mana mereka berani mengejar terus, kalau sekarang tidak beres tentu kelak menimbulkan bibit bencana.   Beberapa lama kemudian Bun Cu-giok berhenti dan memutar balik, hardiknya.   "Kalian benar-benar bandel?"   Gwat Long berdua tak banyak bicara begitu dekat lantas menyerang.   Hun Thian-hi menggertak sengit.   dengan kedua kepalannya ia lancarkan pukulan jarak jauh merabu kedua musuhnya.   Sungguh kejut Gwat Long berdua bukan main, cepat-cepat mereka jumpalitan mengegos, kelihatannya tenaga Thian-hi sudah pulih begitu cepat, pelan-pelan mereka mundur menjauh dan tak berani sembarangan bergerak.   Bun Cu-giok berkakakan, baru saja mereka hendak melanjutkan lari.   Tiba-tiba meluncur turun bayangan orang dari tengah udara, tahu-tahu seorang tua muka hitam berdiri tegak dihidapan Gwat Long berdua.   Terbelalak mata Thian-hi bertiga, cara gerak tubuh pendatang ini, sungguh sangat menakjubkan, belum pernah terlihat orang bisa bergerak begitu lincah dan indah, entah apa maksud kedatangannya Orang itu menggeram ditenggorokan sambil mendelik Ke arah Thian-hi bertiga, lalu memutar menghadapi Gwat Long dan Sing Poh.   Begitu melihat jelas orang muka hitam kontan Gwat Long berdua mengunjuk rasa girang dan berseri tawa, tersipu-sipu maju menjura serta sapanya.   "Wanpwe Gwat Long dan Sing Poh menghadap Cu-kat Cianpwe!"   Mendengar nama orang terkejut Bun Cu-giok, mulutnya mendesis.   "Dialah jiang-ho-it-koay Cukat Tam!"   Thian-hi juga terlongong, memang ia sedang menempuh perjalanan menuju ke Tiang-pek-san hendak mencari Ciang-ho-it-koay, tapi sekarang dia sudah datang sendiri, namun situasi sekarang jelas sangat tidak menguntungkan bagi pihaknya.   Kata Cukat Tam kepada Gwat Long berdua.   "Kudengar berita katanya gurumu sudah wafat, apakah betul?"   Gwat Long dan Sing Poh menjawab bersama.   "Harap Cukat Cianpwe suka memberi keadilan, memang begitulah kebenar-benarannya!"   Cukat Tam menoleh ke arah Bun Cu-giok, tanyanya menyerngai.   "Siapakah Hun Thian-hi?"   "Akulah Hun Thian-hi!"   Jawab Thian-hi lantang.   Ciang-ho-it-koay mengawasi Thian-hi dengan seksama, tiba-tiba ia terbahak-bahak, nada tawanya begitu keras mendengung di pinggir telinga sampai Thian-hi merasa pusing tujuh keliling.   Terpikir dalam dugaan Thian-hi bahwa Cukat Tam ini mungkin dulu pernah mendapat kebaikan dari Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin, jelas hari ini dirinya takkan dapat terhindar dari bencana.   Hal yang paling menggelikan justru dirinya hendak pergi mencarinya.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Setelah menghentikan gelak tawanya Cukat Tam bertanya menegas.   "Kau yang bernama Hun Thian-hi?"   Thian-hi tersenyum lebar.   "Betul!"   Sahutnya manggut. Cukat Tam mengawasi lagi dengan seksama, akhirnya ia berpaling dan berkata kepada Gwat Long Sing Poh.   "Benar-benarkah guru kalian terbunuh ditangannya?"   Gwat Long Sing Poh manggut bersama, menjelaskan.   "Suhu tersesat waktu latihan Lwekang, dalam keadaan tak bisa bergerak dan bicara, gampang saja dia membunuh beliau."   Ciang-ho-it-koay bergegas membalik tubuh serta membentak kepada Thian-hi dengan gusar.   "Kenapa kau membunuh Giok-yap Cinjin?"   Thian-hi tertawa-tawa, jawabnya.   "Kau tanya saja kepada mereka berdua"   "Aku tanya kau!"   Hardik Cian-ho-it-koay murka. Bun Cu-giok segera menyelak bicara dengan keras.   "Giok-yap Supek hakikatnya bukan dibunuh oleh Hun Thian-hi."   Ciang-ho-it-koay tercengang, jengeknya kepada Bun Cu-giok.   "Siapa kau?"   "Aku yang rendah Bun Cu-giok."   Sahut Bun Cu-giok lantang. Ciang-ho-it-koay mendengus hina, ejeknya.   "Bun Cu-giok merupakan kaum keroco yang tak terkenal, kenapa diagulkan!"   Bun Cu-giok tahu selamanya Ciang-ho-it-koay bicara tentang budi tak mengenai keadilan, jelas dia punya hubungan erat dengan Gwat Long dan Sing Poh, pihak sendiri terang menjadi bulan2an belaka.   Tiba-tiba tergerak hatinya, cepat ie menjura serta katanya.   "Cukat Cianpwe guruku Ce-hun, apakah Cianpwe pernah dengar nama beliau?"   Bertaut alis Ciang-ho-it-koay Cukat Tam, hatinya menjadi curiga dan bertanya-tanya, dia tahu bahwa Ce-hun adalah Sute dari Giok-yap.   Diantara sesama perguruan yang sedemikian banyak hubungan Giok-yap paling akrab dengan Ce-hun, kenapa para murid kedua tokoh seperguruan mereka saling bertentangan? Katanya.   "Jadi kau murid Ce-hun?"   Bun Cu-giok tahu sekarang tiada untungnya membicarakan aturan, segera ia manggut-manggut katanya lagi.   "Karena urusan Supek itu, maka Suhu menitahkan aku untuk bicara dengan Cianpwe."   Ciang-ho-it-koay semakin gopoh, batinnya.   "Selamanya aku tak punya hubungan dengan Ce- hun, untuk persoalan apa ia mengajak aku bicara?" tapi kedua belah pihak adalah tokoh-tokoh ternama betapapun ia harus memberi muka, maka segera ia menegas.   "Apa betul?"   Gwat Long dan Sing Poh segera menimbrung.   "Cukat Cianpwe jangan kau tertipu oleh obrolannya. Coba pikir, baru saja kau orang tua mendengar kabar dan memburu datang, bagaimana mungkin dia mendapat tugas gurunya untuk mengundang kau? Jelas ia sedang menggunakan tipu memancing harimau dari gunung."   Ciang-ho-it-koay termakan oleh hasutan ini, dengusnya kepada Bun Cu-giok.   "Dimana gurumu?"   "Sudah tentu berada di Tangkula-san!"   "Itulah baik. Hun Thian-hi hendak kuringkus kesana, kupikir kau takkan menolak bukan."   Bun Cu-giok tertegun melongo, dia tahu gurunya takkan sudi mau mengurus segala tetek bengek ini.   Apalagi soal perjodohannya dengan Ciok Yan pun belum mendapat restunya.   Kalau membawa Hun Thian-hi ke Tangkula-san, kalau diadu bertiga dan bicara secara berhadapan, jelas pembualanku bakal membuat marah Suhu, bukankah urusan bakal lebih tidak menguntungkan bagi Hun Thian-hi! Melihat keraguan Bun Cu-giok Ciang-ho-it-koay menyeringai ejek.   Cepat-cepat Hun Thian-hi berkata.   "Apakah Cukat Cianpwe takut Hun Thian-hi bakal melarikan diri?"   Ciang-ho-it-koay terloroh-loroh.   "Bocah cilik, jangan takabur di hadapanku!"   Sembari berkata tangan kanannya diulurkan mencengkeram ke arah Bun Cu-giok. Melihat urusan tak bisa dibikin damai, lekas-lekas Bun Cu-giok mengegos kesamping serta berteriak.   "Hoan-hu popo segera bakal tiba, apakah kau masih tidak percaya?"   Ciang-ho-it-koay semakin murka, bentaknya.   "Peduli apa Hoan-hu popo!"   Tangannya bergerak lagi, kelima jari-jarinya seperti cakar garuda menyengkeram kemuka Bun Cu-giok.   Melihat situasi sekarang sangat menguntungkan pihaknya, Gwat Long berkesempatan bergerak lagi, sambil menggertak berbareng mereka menubruk ke arah Hun Thian-hi.   Tepat pada saat itu, kelihatan Huan-hu popo melayang datang dengan kecepatan seperti anak panah, langsung ia meluncur di hadapan Ciang-ho-it-koay, seringainya dingin.   "Cukat Tam! Berani kau menghina padaku!"   Melihat Hoan-hu popo betul-betul muncul Ciang-ho-it-koay menjadi tersipu-sipu, sesaat ia tertegun.   Sebaliknya Bun Cu-giok menjadi kegirangan, sebat sekali badannya melejit tinggi merangsek ke arah Gwat Long Sing Poh.   Terpaksa Gwat Long Sing Poh melompat menyingkir.   Cukat Tam menjengek.   "Apa pedulimu dalam persoalan ini!"   "Gadis itu adalah muridku, Bun Cu-giok adalah calon suaminya, apa yang hendak kau perbuat kepada mereka!"   Tanya Hoan-hu popo. Cukat Tam menjadi sangsi, tahu dia bahwa Hoan-hu popo tidak gampang diajak bekerja, katanya.   "Jadi kau sudah tahu duduk perkara sebenar-benarnya. Apakah betul Ce-hun Totiang mengundang aku?"   "Peduli dengan urusan itu. Tapi muridku dan calon suaminya betapapun tak kuijinkan kau mengganggu usik mereka."   Kata Bun Cu-giok kepada Hoan-hu.   "Nenek, bantulah aku sekali ini. Sebetulnya Hun Thian-hi tidak membunuh Giok-yap Cinjin, ini hanya fitnah belaka.   "Nak, kau jangan menjadi bodoh" ujar Hoan-hu.   "Urusan ini sulit diketahui siapa benar-benar atau salah, jangan kau usil!"   Sementara itu Ciang-ho-it-koay sudah berpikir sekian lamanya, katanya.   "Baiklah, secara sembrono mulutku mengoceh menyakiti hatimu. Hitung saja dia tak bersalah kubebaskan dia!"   "Tidak bersalah apa,"   Bentak Bun Cu-giok dengan gusar.   "Justru kau ini yang tidak tahu duduk perkara Sebenar-benarnya, kau dengar kata sepihak dari kawanan penjahat."   Berubah air muka Gwat Long dan Sing Poh. Rona wajah Ciang-ho-it-koay juga berubah bergantian. terdengar ia menjengek dingin.   "Berani kau mengoceh lagi, awas, kupuntir kepalamu!"   "Coba kau berpikir,"   Semprot Bum Cu-giok dengan lantang.   "Apa alasan Hun Thian-hi untuk membunuh Giok-yap Cinjin?"   "Peristiwa Hun Thian-hi membunuh puluhan jiwa aku pun sudah dengar, memang di seluruh kolong langit ini siapa yang punya alasan untuk membunuh Giok-yap Cinjin?"   Bun Cu-giok menjadi bungkam, sebaliknya Hun Thian-hi mandah tersenyum ewa, katanya kepada Bun Cu-giok.   "Saudara Bun terima kasih akan kebaikanmu ini, sebetulnya aku hendak ke Tiang-pek-san mencari dia, sekarang dia sudah datang, sangat kebetulan malah."   "Kau hendak mencari aku?"   Tanya Ciang-ho-itkoay mendengus hidung.   Hun Thian-hi tak mau jawab.   Kata Bun Cu-giok:"Lote, hakikatnya kau tidak melakukan kesalahan, betapapun jangan mandah menyerah saja." Lalu ia lemparkan pedang panjangnya kepada Hun Thian-hi.   Melihat kekukuhan pendapat Bun Cu-giok, Hoan-hu mengerut kening, ia insaf bila benar-benar- benar-benar sampai Ciang-ho-it-koay marah dan urusan sudah ketelanjur tentu berabe, segera ia maju selangkh serta berkata kepada Ciang-ho-itkoay.   "Aku pulang lebih dulu!" Sembwi berkata secepat kilat ia tutuk jalan darah Bun Cu-giok dan Ciok Yan terus dikempit dan dibawa lari. Menyoreng pedarg mas pemberian Bun Cu-giok, Hun Thian-hi tenggelam diam pikirannya, sekarang dia menghadapi lawan tangguh, dia tahu bagaimana juga dia tak mampu menang. Terdengar Ciang-ho-it-koay mendehem keras serta mendesak maju kehadapan Hun Thian-hi. Hun Thian-hi mengangkat alis, sebetulnya hatinya berontak untuk menyerah begitu saja, ada hasrat menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu, tapi tempo hari sudah pernah berjanji terhadap Situa Pelita Hati Ciang-ho-it-koay juga rada heran dan bertanya-tanya, dia heran atas ketenangan Hun Thian-hi, desisnya dingin.   "Hun Thian-hi, sebelum ajalmu ingin aku bertanya, untuk keperluan apa kau hendak ke Tiang-pek-san mencari aku!"   Dengan mendelong Hun Thian-hi menjawab.   "Urusan sudah lewat, tak perlu disinggung lagi!"   Gwat Long dan Sing Poh menjadi kuatir kalau semakin berlarut urusan bakal berabe, segera mereka mendesak.   "Cukat Cianpwe, bocah ini cukup licik dan banyak muslihat, jangan sampai tertipu olehnya, cepat bunuh saja supaya tidak menimbulkan bencana dikemudian hari!"   Ciang-ho-it-koay terbahak-bahak, ujarnya.   "Masa aku takut menghadapi muslihat orang?" Sebat sekali tubuhnya berkelebat merangsak ke arah Thian-hi. kedua jari tangan kanannya dirangkap menutuk ke jalan darah Sam-kiau-hiat Hun Thian-hi. Cepat Thian-hi menggerakkan pedang, laksana lembayung sinar mas dari pedangnya berkelebat melancarkan jurus Gelombang perak mengalun berderai, menjaga diri dan balas menyerang dengan tarian pedang yang menakjupkan. Terdengar Cukat Tam menjengek murka.   "Dengan bekal Lwekang begini berani unjuk gagah di depan seorang ahli?" Sembari berkata tangan kanannya bergerak lincah seperti bayang2 kipas melancarkan ilmu pukulan Biau-hun-ciang, telapak tangannya berkembang terus mencengkeram ke arah pedang mas Hun Thian-hi. Lekas-lekas Thian-hi menarik pedang dan berusaha melompat mundur, namun pedang sudah tak kuasa dipegangnya lagi, entah bagaimana tahu-tahu sudah terampas oleh Ciang-ho-it-koay. Cukat Tam buang pedang di atas tanah, sambil menyeringai mulutnya menjengek.   "Masih punya kepandaian lihay apa lagi?"   Bab 9 Thian-hi menghela napas tanpa bicara.   Sungguh ia sangat kejut akan kepandaian Ciang-ho-it- kaoy yang begitu lihay dan tinggi, hatinya dirundung pertanyaan mengapa Buah ajaib yang merupakan benda mujarab, sebanyak enam buah tertelan ke dalam perutnya tidak pernah menunjukkan keampuhannya? Jelas dirinya segera bakal dibunuh oleh Cukat Tam.   Terdengar Gwat Long dan Sing Poh menghasut lagi dari samping.   "Cukat Cianpwe, lekas bunuh!"   Ciang-ho-it-koay masih ingin bertanya beberapa persoalan dengan Thian-hi, dengan sikap dingin ia berpaling serta dengusnya.   "Kenapa kalian berdua begitu ingin membunuhnya. Apakah kalian tahu kenapa ia membunuh guru kalian?"   Gwat Long dan Sing Poh tergagap tak mampu buka suara, akhirnya Gwat Long menjawab tersendat.   "Hun Thian-hi cukup licik dan licin, kita."   "Kalian tak perlu banyak cerewet!"   Bentak Ciang-ho-it-koay. Lalu ia berpaling lagi ke arah Thian-hi, tanyanya.   "Kenapa kau bunuh Giok-yap Cinjin, apa diantara kalian punya dendam permusuhan?"   Hun Thian-hi tertawa ewa. sahutnya.   "Kau tak perlu banyak tanya lagi."   Tiba-tiba Ciang-ho-it-koay bergerak begitu cepat sampai jak bisa diikuti pandangan mata tahu- tahu ia sudah menekan punggung Thian-hi, ancamnya.   "Bagaimana! Kau mau bicara tidak?"   Hun Thian-hi pejamkan mata tanpa bersuara, ia insaf bahwa jiwanya hanya tergantung dalam satu dua detik saja, gelombang pikiran kenangan lama terbayang dalam benaknya. Mendadak ia seperti mendengar petuah Thian-cwan Taysu.   "Sekarang Siau-sicu tengah terfitnah dan penasaran, hanya bersabarlah baru kau dapat mencuci diri, hanya bersabar baru kau akan berhasil menuntut balas bagi sakit hati ayahmu, hanya kesabaranlah yang tidak akan menyia-nyiakan harapan besar Soat-sun-su-gou berempat terhadap dirimu!" tersentak hatinya, samar-samar seperti terlihat sebuah wajah buram tengah tertawa kepada dirinya. Sanubari Hun Thian-hi tengah bergolak, terpikir olehnya dengan cara kematiannya ini hanya meninggalkan buah tertawaan orang saja, terasa olehnya bahwa Mo-bin Suseng saat mana tengah tertawa lebar. Melihat Thian-hi tegak tak bergeming, Ciang-ho-it-koay menjadi kewalahan, katanya.   "Baik kau tak mau bicara aku pun tak perlu memaksa. Aku akan menyelenggarakan Bu-lim-tay-hwe, disaat itulah kujatuhkan hukuman mati kepada kau, akan kulihat apa kau tetap bandel."   Timbul harapan hidup Thian-hi, katanya membuka mata.   "Cianpwe, aku punya sebuah cerita apa kau sudi mendengar?"   "Mana aku punya tempo mendengar ceritamu!"   "Benar-benar! Cukat Cianpwe jangan sekali2 tertipu oleh dia."   Gwat Long Sing Poh tetap menghasut. Cukat Tam melirik ke arah mereka, terlihat olehnya sikap dan mimik wajah mereka yang rada aneh, dengusnya berkata.   "Kalian sangka aku bisa tertipu olehnya? Justru aku ingin mendengar." lalu ia berkata kepada Thian-hi.   "Coba kau mulai."   Terpaksa Gwa Long dan Sing Poh mandah gugup dalam hati. Jika Hun Thian-hi benar-benar menceritakan duduk perkara sebenar-benarnya, mungkin siapapun paling tidak bakal percaya tiga bagian. Sesaat Thian-hi termenung lalu berkata.   "Itulah kisah tentang Badik buntung, apakah Cianpwe tahu tentang Badik buntung?"   "Katakan terus jangan bertanya kepada aku!"   Desak Ciang-ho-it-koay.   "Semua orang menyangka bahwa di dalam Badik buntung itu ada tersembunyi rahasia Ni-hay- ki-tin, setiap orang ingin memiliki."   Sambil mendengar cerita Thian-hi Ciang-ho-it-koay melirik ke arah Gwat Long Sing Poh, dilihatnya rona wajah mereka yang tidak wajar, persoalan terbunuhnya Giok-yap Cinjin tentu punya latar belakang yang sulit dipecahkan, segera ia bertanya.   "Sebetuhnya cara bagaimana kematian guru kalian?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Berubah pucat wajah Gwat Long Sing Poh, kata mereka.   "Cianpwe, Sam-lo-chit-cu bisa menjadi saksi bahwa Hun Thian-hilah pembunuhnya, dengan mata kepala sendiri mereka melihat Hun Thian-hi melolos Badik buntung dari dada guru kita."   Ciang-ho-it-koay menjadi gelisah dan rada curiga, jelas kata-kata Gwat Long ini bukan obrolan belaka, katanya kepada Hun Thian-hi.   "Ceritamu tak perlu diteruskan, sekarang juga kita menuju ke Bu-tong, kau punya maksud hendak membuktikan bahwa Giok-yap Cinjin bukan kau yang membunuh, itu pun baik, tapi ada orang melihat maka tiada halangan kau membela diri di hadapan mereka"   Sebetulnya Thian-hi hendak menceritakan apa tujuan si pembunuh Giok-yap Cinjin, tapi niatnya ini menjadi batal karena Ciang-ho-it-koay tak ingin mendengar lebih lanjut.   Tak terasa ia menghela napas rawan.   Tapi ia masih punya harapan katanya kepada Cukat Tam.   "Kau ingin tahu kenapa aku hendak mencari kau?"   Hati Ciang-ho-it-koay tengah gelisah, katanya tak senang.   "Nanti bicara di Bu-tong, jangan cerewet lagi."   Hun Thian-hi bungkam. Mendadak ditengah angkasa terdengar pekik nyaring dari burung dewata. Thian-hi terperanjat dan mendongak, pikirnya.   "Hari ini baru ratusan hari, kenapa Bu-bing Loni datang mencari kemari?"   Cukat Tam sendiri juga sangat terkejut.   Tak lama kemudian tampak dua burung dewata pelan-pelan hinggap di tanah, Bu-bing Loni, Ham Gwat, Siau Hong dan Su Giok-lan muncul bersama.   Dengan tajam Hun Thian-hi mengawasi mereka, tampak olehnya Su Giok-lan berapi-api menatap dirinya.   Sebaliknya sikap Ham Gwat tetap angkuh dan dingin, dengan kilatan tajam dingin Bu-bing Loni menyapu pandang seluruh hadirin.   Diam-diam bercekat hati Cukat Tam, kenapa nikoh tua inipun datang, untuk apakah ia kemari, demikian ia membatin dalam hati.   Sebaliknya Bu-bing Loni sendiri juga merasa heran bahwa Ciang-ho-it-koay Cukat Tam juga berada disitu.   Selamanya Ciang-ho-it-koay bersemajam di Tiang-pek-san, selamanya jarang mengembara di daerah Tionggoan.   Soat-san-su-gou pernah berpesan kepada Hun Thian-hi supaya pergi ke Tiang-pek-san mencari It-ki dan It-koay, sekarang Ciang-ho-it-koay sudah muncul tapi dilihat gelagatnya sedang bertengkar dengan Hun Thian-hi.   Lubuk hati masing-masing sedang melayangkan pikiran sendiri, sesaat mereka jadi terlongong hingga tak bersuara.   Su Giok-lan berpaling memandang ke arah Bu-bing Loni, tampak Bu-bing Loni manggut- manggut.   Su Giok-lan lantas tampil ke depan katanya kepada Hun Thian-hi.   "Hun Thian-hi, tebuslah jiwa engkohku!"   Sembari kata ia melolos pedang panjang.   Tanpa bicara Hun Thian-hi mengawasi Su Giok-lan lekat-lekat, tak tahu dia bagaimana perasaan hatinya.   Keadaan Cukat Tam menjadi serba sulit, dia tak mau bermusuhan dengan Bu-bing Loni, tapi betapa pun Hun Thian-hi tidak boleh ayal saat ini, karena masih banyak persoalan yang perlu dia tanyakan kepada Hun Thian-hi.   Melihat Hun Thian-hi diam tak bergerak, Su Giok-lan menjadi dongkol, hardiknya.   "Cabut senjatamu! Bukankah kau punya Badik buntung yang tajam luar biasa? Masa kau takut menghadapiku?"   Dengan mendelong Hun Thian-hi mengawasi Su Giok-lan, dalam hati ia tengah berpikir, tentu ilmu silat Su Giok-lan sudah mencapai banyak kemajuan, tapi meski ia merasa sangat kasihan dan berhutang budi karena kematian Su Cin, namun betapapun kejadian itu bukan kesalahannya.   Su Giok-lan mendesak maju, ujung pedangnya menuding Hun Thian-hi, serunya.   "Bagaimana? Kau takut mati?"   Lekas-lekas Cukat Tam tampil ke depan berkata kepada Bu-bing Loni.   "Bu-tong Ciangbun Giok- yap Cjnjin terbunuh oleh Hun Thian-hi, apakah kau tahu?"   Rada berubah muka Bu-bing Loni, sekian lama ia menatap Hun Thian-hi, lalu melerok ke arah Cukat Tam.   Melihat sikap Bu-bing Loni rada kurang percaya, dan pelerokan matanya itu pertanda pertanyaan terhadap dirinya, ini betul-betul rada menghina dan tidak menghargai dirinya, maka dengan menjengek ia berkata.   "Oleh karena itu aku ada beberapa persoalan yang hendak kutanyakan kepadanya!"   Bu-bing Loni menyeringai dingin, pelan-pelan ia berpaling mengawasi Hun Thian-hi lagi. Terdengar Su Giok-lan mendengus, katanya kepada Hun Thian-hi.   "Lekas keluarkan senjatamu. Murid Bu-bing Loni selamanya tidak bunuh kaum keroco yang tak melawan."   Hun Thian-hi mandah tertawa tawar, ujarnya.   "Nona Su, sekarang aku betul-betul tidak tahu harus berbuat apa, berikan aku kesempatan berpikir!"   Habis berkata ia pejamkan mata merenung.   Melihat sikap Hun Thian-hi ini Su Giok-lan salah sangka, anggap orang tengah mempermainkan dirinya, keruan berkobar amarahnya, spontan ia melangkah maju terus menampar sekuatnya dimuka Hun Thian-hi.   Hun Thian-hi menggeliat berusaha hendak menyingkir, tapi Su Giok-lan yang dihadapi sekarang jauh berbeda dibanding dulu.   "plak!"   Tahu-tahu pipinya sudah bengap dan panas,.   dari ujung mulutnya merembes keluar darah segar.   Sungguh kejut Thian-hi bukan kepalang, matanya membelalak gusar, rasa gusar yang menggelora terpancar dari sinar matanya menatap Su Giok-lan.   Su Giok-lan menyeringai dingin, jengeknya: Cabut senjatamu.   Terhina oleh kaum hawa apakah kau masih takut mati?"   Hun Thian-hi malah bergelak tawa, serunya.   "Segala akibat yang menimpa diriku hari ini semua justru merupakan anugerah dari paman dan kalian bertiga. Engkohmu wafat di tangan Leng Bu, memang harus kuakui ada sebagian karena diriku, tapi hatimu lebih jelas kenapa dan sebab apa ia sampai bertengkar dengan Leng Bu, sebagian besar adalah karena dirimu. Aku telah bunuh Leng Bu menuntut balas bagi engkohmu, hal itu sudah merupakan keuntungan bagi kau, sekarang."   "Omong kosong,"   Sentak Su Giok-lan dengan berang.   "Cabut senjatamu!"   "Cabut senjata? Haha!"   Thian-hi bergelak tawa lagi.   "Badik buntung sudah terjatuh ke tangan Partai Merah, kalau kau berkukuh hendak bunuh aku, ilmu silatku sekarang tak ungkulan melawan kau, silakan kau bunuh aku saja. Kenapa pura-pura main gertak segala menyuruh aku cabut senjata, asal kau berani bertanggung jawab kepada nularimu sendiri silakan turun tangan!"   Su Giok-lan menjadi kememek, ia berdiri menjublek tak kuasa turun tangan.   Berkilat sinar mata Bu-bing Loni, ia tahu sehari ia tidak bunuh Hun Thian-hi kelak tentu meninggalkan bibit bencana bagi dirinya, sudah lama ia memperhitungkan, sampai Soat-san-su- gou pun tak dipandang sebelah matanya, namun justru ia menjadi keder dan gelisah menghadapi sinar mata Hun Thian-hi yang berkilat mengandung keteguhan dan kekuatan hatinya.   Meski ilmu silat Hun Thian-hi sekarang masih rada rendah, tapi kelak pasti merupakan musuh tangguh yang sulit dihadapi.   Su Giok-lan menunduk diam, lubuk hatinya merasa kurang tentram, kalau dia mau dengan mudah ia dapat bunuh Hun Thian-hi, tapi ia merasa sekarang dia tak bisa berbuat begitu.   Tapi kalau sekarang ia tidak turun tangan, bagaimana sikap Bu-bing Loni selanjutnya terhadap dirinya? Akibatnya sungguh ia tidak berani membayangkan.   Hati Su Giok-lan sedang gelisah dan sangsi.   Adalah hati Bu-bing Loni gusar bukan main.   Ciang-ho-it-koay tidak tahu bahwa Bu-bing Loni pernah mengadakan janji dengan Soat-san-su- gou, hatinya pun bertanya-tanya kenapa sinar mata Bu-bing Loni dirundung nafsu membunuh yang begitu tebal, tapi kenapa tidak segera turun tangan sendiri? Selamanya Bu-bing Loni tidak suka pinjam tangan orang lain untuk menjatuhkan vonisnya.   Bu-bing Loni menggeram lirih, tahu dia bahwa Su Giok-lan sekarang takkan, mau turun tangan, maka dengan dingin ia mengancam.   "Giok-lan! Dalam jangka tiga hari ini, kau harus serahkan batok kepala Hun Thian-hi kepadaku, kalau tidak hm, kau sendiri juga tahu!" Selesai terkata bersama Ham Gwat dan Siau Hong terus tinggal pergi naik burung dewata. Dengan mendelong dan perasaan hampa Su Gio-lan mendongak mengawasi bayangan Bu-bing bertiga menghilang dikejauhan, dia tahu apa yang menjadi perkataan Bu-bing tentu akan dilaksanakan sesuai dengan kehendaknya. Kalau tempo yang ditentukan sudah tiba, mohon ampun atau keringanan pun takkan berguna. Melihat Bu-bing tinggal pergi Cukat Tam menjadi girang, tanpa Bu-bing hadir disini bukankah dirinya yang akan merajai gelanggang? Segera ia berseru pada Thian-hi.   "Mari berangkat!"   "Siapa berani membawa dia!"   Sela Su Giok-lan lari kesamping. Melihat Su Giok-lan berani merintangi dirinya Cukat Tam menjadi nekad, jengeknya.   "Budak lemah, jangan kau tidak tahu diuntung, Suhumu sudah lama pergi!"   Su Giok-lan mencebir bibir, jengeknya.   "Orang lain takut padamu, tapi aku tidak!"   Cukat Tam terloroh-loroh, serunya.   "Sombong benar-benar budak busuk kau ini. Selama hidup ini Cukat Tam belum pernah ketemu budak kecil berbau pupuk berani kurang ajar terhadap aku."   "Hari ini justru telah kau temukan."   Semprot Su Giok-lan berani.   Ciang-ho-it-koay mengira dengan menyebut namanya saja cukup membuat Su Giok-lan gentar dan mundur teratur, siapa nyana Su Giok-lan ternyata lebih bandel dan nekad.   Dalam hati ia jadi membatin; seumpama Bu-bing hadir disini juga belum tentu aku takut, terpaksa aku hari ini harus belajar kenal Hui-sim-kiam-hoat betapa hebat dan lihay, katanya.   "Kepandaianmu Hui-sim-kiam- hoat dari Bu-bing Loni terkenal di seluruh dunia, hari ini biarlah aku membuka mataku."   Membeku dingin wajah Su Giok-lan, kelihatan rasa dongkol dan gemes yang tak terlampias darahnya semakin bergelora, dengan pekik panjang segera ya bergerak sebat sekali, ujung pedangnya meluncur dari samping menusuk jalan darah Ki kay-hiat didada.   Cukat Tam.   Cukat Tam tertawa besar, laksana angin lesus badannya berputar, tahu-tahu ia melejit kesamping kiri, kedua jari tengahnya langsung menutuk ke Nau-hu-hiat di belakang batok kepala Su Giok-lan.   Gesit sekali Su Giok-lan membalikkan pedang menangkis, gerak pedangnya berubah menjadi jurus Siu-li-kan-kun, sinar pedang berkembang melebar terus mendesak dan merabu kepada Cukat Tam.   Cukat Tam terdesak mundur jumpalitan ke tempat asal.   Gebrak pertama ini berlangsung dalam kilatan waktu saja, namun kecepatan gerak serang menyerang sungguh sangat cepat sekali.   Diam-diam kedua belah pihak maklum bahwa hari ini masing-masing ketemu lawan tangguh.   Sejak dibawa pergi Bu-bing Loni, Su Giok-lan telah menelan Ho-siu-oh yang berusia ribuan tahun, digembleng selama seratus hari, Hui-sim-kiam-hoat boleh dikata sudah tercangkok dalam sanubarinya.   Apalagi Bu-bing Loni selalu was-was, entah malam atau siang selalu dibayangi oleh rasa ketakutan yang luar biasa.   Maka cepat-cepat ia bawa Su Giok-lan untuk mencari Hun Thian- hi, tak nyana disini ia kebentur dengan Cukat Tam.   Hui-sim-kiam-hoat merupakan ilmu pedang tunggal yang paling digdaya tiada keduanya dikolong langit, dengan gabungan Soat-san-su-gou pun tak kuasa menghadapinya, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan lihay perbawanya.   Diam-diam Cukat Tam sendiri gelisah, seorang gadis kecil saja sudah begitu lihay permainan pedangnya, apalagi kalau Bu-bing sendiri yang turun tangan, terang dirinya bukan tandingannya, terpikir sampai disini kontan ia jatuh semangat.   Su Giok-lan sendiripun baru pertama kali ini memainkan Hui-sim-kiam-hoat, namun dalam gebrak serang menyerang kilasan waktu itu ia sudah dapat merasakan Lwekang Cukat Tam yang tinggi dan kokoh kuat.   Kedua jari tutukan Cukat Tam yang mengancam jalan darahnya tadi membawa kesiur angin yang tajam laksana ujung golok, kalau dirinya tidak mengandal gerak kecepatan pedangnya, mungkin sejak tadi dirinya sudah roboh.   Begitulah hati masing-masing sudah waspada dan meningkatkan perhatian, siapapun tiada yang berani sembarangan bergerak menyerang lebih dulu.   Cukat Tam mendengus, diam-diam ia berpikir; mengandal kedudukan dan ketenaran namaku kenapa hari ini aku gentar menghadapi budak kecil ini, kelak masa aku masih bisa berdiri tegak dikalangan dunia parsilatan? Karena pikirannya ini segera ia bergerak, sedikit menekuk dengkul serempak ia gerakkan kedua telapak tangannya memukul kepada Su Giok-lan.   Ciang-ho-it-koay sudah puluhan tahun malang melintang di Kangouw, jelas sekali kepandaian.   silatnya jauh lebih tinggi dari Su Giok-lan, kalau gebrak tadi mereka kelihatan berimbang itu bukan lain sebab Cukat Tam rada sangsi dan gentar menghadapi Bu-bing Loni, apalagi Su Giok-lan bergerak lebih dulu mengambil inisiatif menyerang.   Sekarang setelah hatinya mantap, meski Su Giok-lan kembangkan Hui-sim-kiam-hoat, namun selalu terdesak dan mundur.   Begitulah dengan menghardik keras, kedua pukulan Cukat Tam berubah seperti angin lesus laksana sebuah tonggak besar menerpa ke arah Su Giok-lan.   Namun penjagaan permainan pedang Su Giok-lan memang cukup ketat dan rapat sekali, kontan ia terpental terbang setombak lebih ke belakang.   Tapi begitu kaki menyentuh tanah, gesit sekali laksana burung walet kakinya menjejak terus melejit tinggi, pedang ditangannya melancarkan Tian-kong-jong-pit, inilah salah satu jurus terhebat dari Hui-sim-kiam-hoat, tahu-tahu ujung pedang telah memancah kemuka dan dada Cukat Tam.   Terdengar Cukat Tam mendehem seperti lenguh sapi.   tubuhnya berputar lagi seperti gangsingan.   Ditengah jalan pedang Su Giok-lan rada merandek terus dituntun balik dengan sejurus Go-gui-toan-gwat, beruntun menutuk kedua biji mata Cukat Tam.   Dasar kepandaian Cukat Tam memang jauh lebih tinggi, ringan sekali ia angkat tangan kiri melintang menepuk ke arah batang pedang Su Giok-lan yang menyerang tiba, berbareng tangan kanan menutuk jalan darah Sim-king-hiat di bawah dagu Su Giok-lan.   Su Giok-lan terdesak mundur, sekarang Cukat Tam mulai lancarkan serangan balasan yang membadai.   sedikit pun ia tidak beri kesempatan pada Su Giok-lan untuk bernapas, keruan ia terdesak di bawah angin dan mundur.   Hun Thian-hi berpeluk tangan menonton, tahu dia bahwa Su Giok-lan bakal kalah, namun dia tak kuasa maju membantu.   Gwat Long dan Sing Poh selalu mengawasi gerak geriknya dari samping.   Serangan Cukat Tam semakin gencar dan cepat, terdengar ia menjengek dingin.   "Dengan kepandaian bekalmu ini berani kau mengudal mulut. Betapa pun hari ini aku harus hajar kau. Supaya matamu melek betapa besar dunia ini, bukan gurumu melulu yang tinggi kepandaiannya."   Karena bicara gerak serangan Cukat Tam sedikit lamban, kesempatan ini tak disia-siakan oleh Su Giok-lan, sambil mengertak gigi, pedangnya berputar setengah lingkaran terus menusuk kelambung Cukat Tam.   Tapi gerakan Cukat Tam cukup cepat, kecepatannya sungguh diluar perhitungannya, belum lagi ia berhasil menyelesaikan serangan pedangnya, tahu-tahu ulu hatinya sudah terancam oleh kepelan lawan, terpaksa ia selamatkan diri lebih dulu.   Hun Thian-hi insaf kalau Su Giok-lan kalah pasti dirinya ikut terhina, otaknya jadi berpikir dan menerawang, mendadak sebat sekali ia melejit jauh terus lari sekencangnya ke depan.   Mendadak melihat Thian-hi melarikan diri sungguh Gwat Long dan Sing Poh terkejut.   "Lari kemana!"   Sambil membentak berbareng mereka mengejar.   Tanpa hiraukan teriakan orang Hun Thian-hi berlari semakin kencang.   Melihat Hun Thian-hi melarikan diri, Cukat Tam menjadi gugup.   Tanpa hiraukan Su Giok-lan lagi dia pun menghardik keras, suaranya melengking tinggi seiring dengan tubuhnya yang medenting jauh mengejar ke arah Hun Thian-hi.   Bagi Su Giok-lan larinya Hun Thian-hi dianggap sebagai perbuatan pengecut yang membalas air susu dengan air tuba, Dia melarikan diri tanpa hiraukan dirinya lagi, saking murka air mata mengembeng dikelopak matanya, dengan gemes ia menyentak keras"   Tiba-tiba pedangnya bergulung balik, dengan jurus Sing-gwat-cin-hwi, bayangan pedang terpecah kedua jurusan langsung menusuk ke arah dua sasaran ditubuh Cukat Tam.   Mendengar samberan angin deras yang mengancam jiwa ini.   Cukat Tam menjadi naik darah, sambil menggembor keras ia membalik tubuh, telapak tangannya bergoyang menghantam balik batang pedang Su Giok-lan.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sementara tubuhnya masih melayang ke depan terus meluncur ke arah Thian-hi.   Sun Giok-lan tahu dengan bekal Ginkangnya sekarang takkan mungkin dapat mengejar, terpaksa ia berdiri menjublek ditempatnya.   Sementara itu, Hun Thian-hi lari terus kebawah, ia belok ketimur lalu balik lagi ke arah barat, darinya pontang panting, namun kira-kira setengah li kemudian ia sudah terkejar oleh Cukat Tam.   Ringan sekali tubuh Cukat Tam meluncur turun dihadapan Hun Thian-hi, dengan pandangan mendelik ia awasi Hun Thian-hi.   Melihat takkan berhasil lolos, Thian-hi berpaling ke belakang, dilihatnya Gwat Long dan Sing Poh juga sudah menyusul tiba.   Su Giok-lan tak kelihatan bayangannya, tanpa merasa ia menghela napas lega.   "Berani kau lari!"   Maki Cukat Tam gusar. Hun Thian-hi mandah tertawa ewa tanpa buka suara. Cukat Tam berludah, katanya kepada Gwat Long berdua.   "Kalian ringkus dia dan gusur kembali ke Bu-tong-san!"   Baru sadia suara Cukat Tam lenyap, dari hutan sebelah sana terdengar sebuah suara berkata.   "Apakah begitu gampang? Kau belum minta izin padaku bukan?"   Kontan mereka berempat terperanjat, Cukat Tam menggerung gusar, teriaknya lantang.   "Siapa itu di dalam hutan!"   Seorang tua berambut merah melayang keluar. Bercekat hati Thian-hi, bagaimana mungkin dia kemari? Demikian dalam hati ia bertanya-tanya. Cukat Tam tertawa dingin, ujarnya.   "Kiranya kau. Sejak berpisah tiga puluh tahun yang lalu, tak kira masih hidup?"   Pendatang baru ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-co, itu tokoh nomor satu dari aliran sesat, dengan dingin ia pun pandang Cukat Tam, katanya menyeringai dingin.   "Ternyata kau berani memasuki daerah Tionggoan. Hari ini ingin aku menjajal betapa maju ilmu silatmu setelah berpisah tiga puluh tahun.!"   Sudah lama Cukat Tam mendengar nama dan kepandaian Ang-hwat-lo-co, namun sedemkian jauh belum pernah saling gebrak mengadu kepandaian, segera ia pun balas mengolok dengan tidak kalah pedasnya.   "Tak nyana kau pun berani muncul kembali dikalangan Kangouw. Ang-hwat-lo-mo menyeringai sadis, tanpa bersuara tiba-tiba badannya mencelat mumbul ke atas terus menerjang ke depan merangsek kepada Cukat Tam dengan sebuah pukulan tangan. Cukat Tam tahu kepandaian musuh bukan oleh2 lihaynya, dengan mengerahkan tenaga segera ia balas menyerang dengan kedua kepalannya. Begitulah mereka mulai serang menyerang dengan sengit. Badan kedua orang tampak beterbangan selulup timbul secepat burung walet bermain di atas air, laksana kupu terbang menari di atas kuntum bunga, kelihatan kedua kaki masing-masing seperti tidak menyentuh tanah, namun gerak gerik mereka begitu cepat membawa kesiur angin yang cukup deras, terdengar lambaian baju pakaian mereka yang lirih ditengah deru angin pukulan yang keras. Dari samping Hun Thian-hi menonton pertempuran, diam-diam ia merasa heran, hatinya dirundung pertanyaan, dulu Arg-hwat-lo-co berusaha mencelakai jiwanya, kenapa sekarang malah menolongnya? Apakah mungkin ia punya muslihat lain lagi? Dalam pada itu pertempuran masih berjalan dengan sengit, Hun Thian-hi hampir tak dapat mengikuti gerak tempur kedua orang, masing-masing bergerak begitu lincah seperti sikatan, licin bagai belut dan cepat seperti kilat menyamber. Tanpa terasa setengah jam telah lewat, perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, kedua belah masih kelihatan sama kuat, saling hantam dan sepak, masing-masing memberikan tekanan yang mengagumkan. Entah sudah berapa ratus jurus kemudian, tiba-tiba terdengar suara benturan yang rada lirih, suara itu tidak begitu keras, tapi kontan terlihat kedua orang sama-sama terpental mundur. Kelihatan Ang-kwat-lo-co berdiri tegak sambil menyeringai dingin, sebaliknya Cukat Tam pucat pasi, matanya mendelik mengawasi Ang-hwat-lo-co. Dengan tenang Hun Thian-hi menonton dari samping dan menanti perkembangan selanjutnya, tahulah dia bahwa Cukat Tam sudah terkalahkan, malah terluka dalam lagi. Setelah menentramkan pernapasannya, air muka Cukat Tam rada baikan, katanya gusar kepada Ang-hwat-lo-co.   "Hadiah pukulanmu hari ini, kelak pasti akan kubalas!"   Ang-hwat-lo-co menyeringai dingin, jengeknya.   "Justru karena menanti kedatanganmu menuntut balas kelak maka hari ini kuampuni jiwamu."   Cukat Tam menggeram gusar, matanya melirik ke arah Hun Thian-hi, serunya.   "Jangan sombong! Sakit hati ini dalam setahun pasti kubalas." habis berkata terus ngacir pergi. Sudah tentu Gwat Long dan Sing Poh menjadi ketakutan, pucat pias wajah mereka, serentak putar tubuh lantas melarikan diri. Terdengar Ang-hwat-lo-co bergelak tawa, dari jauh kedua tangannya mencengkeram kepada mereka berdua, mulutnya pun membentak.   "Kemana kalian hendak lari?"   Berbareng kedua telapak tangan didorong lantas ditarik kembali. Terdengar Gwat Long dan Sing Poh melolong panjang terkena pukulan, setelah lari beberapa langkah akhirnya jatuh terjerambab. Ang-hwat-lo-co menjengek dingin, katanya.   "Jangan kalian pura-pura mati disitu, kalian masih berkesempatan hidup satu hari lagi. Lekas pergi!"   Dengan susah payah Gwat Long dan Sing Poh merangkak bangun, setelah mendelik gusar kepada Hun Thian-hi dengan terhuyung-huyung mereka tinggal pergi saling payang.   Bercekat hati Thian-hi, ia maklum bahwa perbuatan Ang-hwat-lo-mo ini bukan menolong sebaliknya malah semakin menjerumuskan dirinya.   Perbuatan ini tidak lain akan menimbulkan rasa pertentangan kaum persilatan terhadap dirinya sehingga dia tak mungkin tegak berdiri di pihak Cing-pay, dan lebih besar pula kepercayaan masyarakat umumnya kaum peisilatan bahwa Giok- yap Cinjin memang adalah dia yang membunuh.   Kalau peristiwa hari ini tersiar luas mungkin Bun Cu-giok takkan mau percaya lagi akan keperibadiannya.   Terpikir oleh Hun Thian-hi, tanpa merasa ia menghela napas rawan.   Ang-hwat-lo-co terbahak-bahak, serunya.   "Kenapa? Ku tolong kau, masa tidak senang?"   Hun Thian-hi berludah dengan gusar, terus tinggal pergi. Ang-hwat-lo-co terloroh-loroh, serunya.   "Kalau kau berpisah dari aku, kemana pula kau bisa pergi?"   "Seumpama harus mati akupun tidak sudi bersama kau."   Semprot Hun Thian-hi gusar. Ang-hwat-lo-co berkata.   "Pertama aku melihat kau kukira kau dari aliran Cing-pay, tapi ternyata kau berani bunuh Bu-tong Ciangbun, tak lain kau pun suka mengagulkan diri saja. sia-sia kau menista golongan kita sebagai kaum sesat yang nyeleweng apa segala.   "Hakikatnya siapa lurus dan siapa sesat sukar dibedakan bukan?"   Hun Thian-hi mendengus hidung, ia tak mau banyak bicara, langkahnya dipercepat.   "Mengandal tingkah lakumu ini, apa kau masih ingin menuntut balas?"   Terdengar Ang-hwat-lo- co mengolok.   "anggapmu kau gampang mencari kematian?"   Tersentak sanubari Thian-hi, serta merta langkahnya berhenti, betapapun dia tidak rela mati secara penasaran.   Begitu berkecimpung di kalangan Kang-ouw urusan sudah mengikat dirinya, untuk mencari kematian rasanya memang tidak begitu gampang.   Terdengar Ang-hwat-lo-co berkata.   "Kudengar sakit hati ayahmu belum terbalas, apalagi kau pun harus menuntut balas bagi kematian Soat-san-su-gou bukan?"   Mendengar orang menyinggung Soat-san-su-gou berkobar amarah Hun Thian-hi, serunya gusar.   "Soat-san-su-gou berempat cianpwe berkorban karena aku melancarkan jurus Pencacat langit melenyap bumi yang kau ajarkan itu. Kalau aku harus menuntut balas kecuali Bu-bing Loni langkah selanjutnya adalah kau!"   Ang-hwat-lo-co terkial-kial menggila, ujarnya.   "Memang benar-benar! Semula memang aku tidak bersungguh hati mengajarkan jurus ganas itu kepada kau. Tapi kau sudah dua kali melancarkan ilmu lihay itu, kedua kalinya telah menolong jiwamu, apa kau berani tidak mengakui? Kalau dulu kau tidak lancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi, kau takkan hidup sampai sekarang!"   Terbayang oleh Hun Thian-hi keadaan Waktu itu, diam-diam ia mengakui kata-kata orang memang benar-benar. Terdengar Ang-hwat-lo-co menjengek lagi.   "Sejak kau meninggalkan perguruan siapa saja yang mencari perkara kepadamu? Apakah mereka itu tokoh-tokoh yang menamakan dirinya dari aliran sesat? Bukan, kebanyakan mereka adalah kaum lurus, tapi hanya karena sebuah Badik buntung, saling berebutan, cakar mencakar bunuh membunuh, kiranya juga begitu saja mereka yang mengunggulkan dirinya sebagai kaum lurus!"   Hun Thian-hi terkancing mulutnya, tiada alasan untuk balas mendebat. Ang-hwat-lo-co meneruskan ocehannya.   "Kau, justru kau tidak tahu diri dan tidak bisa lihat gelagat, kau berani mendesakkan diri masuk ke dalam golongan mereka."   "Aku bekerja bukan karena minta belas kasihan mereka, hanya menuruti hati nuraniku saja!"   Semprot Thian-hi.   "Lalu kenapa kau takut berada bersama aku?"   Olok Ang-hwat-lo-co dengan tertawa lebar.   "Aku tidak merebut Badik buntungmu secara licik atau terang-terangan. Sekarangpun aku tidak ingin melukai kau. Kau hanya takut diketahui orang lain bahwa kau berkumpul erat dengan aku!"   "Memang kau ingin orang lain tahu aku berkumpul dengan kau, jelas sekali tujuanmu hendak menjerumuskan aku. Kau sendiri sudah keliwat batas kejahatan yang telah kau perbuat, kini masih ingin menyeret orang lain kejurang nista, tujuanmu nyeleweng, masih berani kau katakan hatimu suci bersih?" -Demikian Thian-hi mendebat dengan pendapatnya.    Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini