Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 9


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 9


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Di seluruh kolong langit ini, sekarang aku diangkat sebagai jago nomor satu dari kalangan sesat, tapi masih ada seorang yang kutakuti!"   Demikian kata Ang-hoat-lo-co.   "Bu-bing Loni bukan,?"   Sambung Thian-hi dengan nada menghina. Ang-hwat-lo-co manggut-manggut, katanya.   "Hui-sim-kiam-hoat milik Bu-bing Loni merupakan kepandaian tunggal yang tiada taranya. Walaupun jurus Pencacat langit pelenyap bumi ciptaanku itu punya perbawa yang sangat ampuh, tapi kurasa takkan unggul melawan Hui-sim-kiam-hoat. Tapi bila kau sudi, aku bisa menunjuk sebuah jalan terang untuk kau, akibatnya kepandaian silatmu bakal jauh lebih tinggi dari kemampuan Bu-bing Loni sekarang."   Dengan sikap dingin dan tak acuh Thia-hi pandang Ang-hwat-lo-co. rada lama kemudian ia buka suara.   "Kalau mungkin, kenapa kau sendiri tidak mencobanya?"   Ang-hwat-lo-co terbahak-bahak, tanyanya menegas.   "Kau sudi tidak?"   Rada, tergerak hati Thian-hi, sahutnya.   "Coba terangkan dulu!"   Ang-hwat-lo-co menjelaskan.   "Seluruh perhatian tokoh-tokoh goblok itu sekarang tertuju kepada Badik buntung milikmu itu. Tapi rahasia tersembunyi dari Ni-kay-ki-tin tentu tak berada di dalam Badik buntung itu, kalau cdak masa tiada akhir perebutan itu selama ini? Menurut apa yang kuketahui, Wi-thian~chit-ciat-sek yang merupakan ilmu paling hebat dan digdaya pada ratusan tahun yang lalu sekarang telah muncul kembali, malah aku tahu dimana sekarang berada kalau kau dapat memohonnya, apa perlu takut tethadap Bu-bing Loni?" Habis berkata ia bergelak tawa sepuasnya. Dengan tajam Thian-hi awasi tingkah pola Ang-hwat-lo-co, katanya dingin.   "Kau tahu tempat itu kenapa kau semdiri tidak mau kesana?"   Berubah serius wajah Ang-hwat-lo-co, katanya.   "Jago nomor satu dari golongan sesat adalah aku, Bu-bing Loni tidak lurus juga rada nyeleweng, tapi siapakah jago Nomor satu dari golongan Cingpay?"   Thian-hi awasi terus rona wajah Ang-hwat-lo-co lekat-lekat, tak tahu dia siapa yang harus disebutkan.   Apakah Giok-yap Cinjin atau Thian-cwan Taysu? Tapi dari nada ucapan Ang-hwat-lo- co terang bukan mereka adanya, lalu siapa? Terdengar Ang-hwat-lo-co melanjutkan sambii menyengir.   "Kau tak tahu bukan? Orang ini bukan Thian-cwan Taysu, juga bukan Giok-yap Cinjin, tapi adalah Ka-yap Cuncia yang menghilang pada lima puluh tahun yang lalu!"   Thian-hi terlongong sebentar, sungguh diluar sangkanya bahwa Ka-yap Cuncia adanya.   Sudah lima puluh tahun lamanya Ka-yap Cuncia menghilang dari kalangan Kangouw, konon tokoh ini merupakan orang kosen nomor satu selama ratusan tahun ini, siapa nyana beliau sekarang masih hidup.   Terdengar Ang-hwat-lo-co berkata dingin.   "Kau tidak sangka bukan? Kiam-boh Wi-thian-chit- ciat-Kek justru berada ditangannya, kalau kau dapat bersua dengan beliau, tentu tiada seorang pun yang berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu."   Thian-hi termenung, benar-benarkah ada kejadian itu? Mengandal tampang Ang-hwat-lo-co, seumpama betul mengetahui berita ini tentu takkan rela memberi tahu kepada orang lain, betapapun dia takkan rela ada tokoh lain punya kepandaian yang lebih tinggi dari kemampuan sendiri.   Ang-hwat-lo-co melanjutkan.   "Sudah tentu, seumpama kau berhasil bertemu dengan beliau, belum tentu dia rela menyerahkan Wi-thian-cit-ciat-sek itu kepadamu, tapi selama hidupnya belum pernah membunuh seorang pun, kau tak perlu takut dan takkan ada bahaya."   Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya.   "Hakikatnya dia tiada punya alasan harus menyerahkan Wi-thian-chit-ciat-sek itu kepada aku, akupun tak perlu kesana!"   Ang-hwat-lo-co menyeringai dingin, katanya.   "Apa kau mau mendapat Kiam-boh Wi-thian-chiat- chiit-ciat-sek itu?"   Melihat sikap orang diam-diam Thian-hi mempertinggi kewaspadaannya, ia tahu bahwa orang tengah mengatur tipu muslihatnya, sambil angkat alis ia menjawab.   "Siapa yang tidak mau?"   Ang-hwat-lo-co manggut-manggut, katanya.   "Itulah baik, sudah tentu aku punya caraku sendiri supaya Kiam-boh Wi-thian-chit-ciat-sek itu dapat kau peroleh"   "Dengan cara apa?"   Tanya Thian-hi.   "Sudah tentu Ka-yap Cuncia tidak semudah itu sembarang menyerahkan Kiam-boh itu kepada kau,"   Demikian Ang-hwat-lo-co menerangkan.   "Kau mohon dan minta2 juga percuma. Kau tak perlu mengemis, berlakulah wajar supaya dia tidak tahu bahwa kedatanganmu justru karena Wi- thian-chit-ciat-sek itu, kalau, kau kesana kau harus pura-pura tidak kenal dengan dia."   Thian-hi tahu bahwa Ang-hwat-ho-co tengah mengatur tipu muslihatnya yang keji, tapi ingin dia tahu dan menyelami tipu muslihat apa yang tengah dirancang ini, sehingga dapat mencelakai seorang tokoh kosen seperti Ka-yap Cuncia yang dijunjung sebagai jago nomor satu dari golongan Cing-pay.   Kata Ang-hwat-lo-co menyambung.   "Untuk orang lain sangat sukar, tapi bagi kau adalah sangat mudah sekali!"   "Sebetulnya bagaimana aku harus bekerja?"   Tanya Thian-hi pura-pura tak sabaran. Ang-hwat-lo-co melanjutkan.   "Kau pura-pura tidak mengenalnya, memang dengan usiamu ini tidak mungkin mengenal dia! Jadi dia tidak merasa curiga dan berjaga-jaga terhadap kau, lantas kau gunakan Hek-liong-ling sedikit dicampurkan ke dalam minuman tehnya sudah cukup berlebihan."   Bertaut alis Thian-hi, dia tidak tahu apakah Hek-liong-ling (sisik naga hitam) itu, tapi dari nada perkataan Ang-hwat-lo-co, tentu merupakan suatu bisa yang sangat beracun, kalau tidak mana mungkin sebagai tokoh nomor satu dari seluruh kolong langit ini begitu terkena sedikit saja lantas bakal lumpuh dan kena dibereskan.   Ang-hwat-lo-co tertawa-tawa, ujarnya.   "Mungkin kau tak percaya, tapi sisik naga hitam itu kutemukan di dalam gua ularku itu, walaupun seekor ular yang paling ganas dan beracun juga tidak berani mendekat dalam jarak tiga kaki, begitu masuk kontan mati. Sekarang aku sudah dapat menguasainya, jangan kata baru Ka-yap, seumpama dewata begitu tersentuh oleh Hek- liong-ling juga bakal pendek usianya."   "Itulah baik,"   Kata Hun Thian-hi.   "bolehkah aku melihatnya dulu?"   "Masa begitu gampang?"   Kata Ang-hwat-lo-co.   "Pergilah ke selatan, akan kulindungi kau secara sembunyi, sampai pada waktunya tentu akan kuajarkan cara bagaimana kau harus bekerja."   Hun Thian-hi termenung sebentar, akhirnya ia tertawa hambar tanpa bicara lagi.   Ooo)*(ooO Hun Thian!-hi sudah pergi, Su Giok-lan masih berdiri melengong, sungguh dia menyesal orang macam Hun Thian-hi kenapa tadi tidak mau turun tangan saja? Keadaannya sudah payah tentu dia kena dicandak dan diringkus oleh Ciang-ho-it-koay dan dibawa ke Bung-tong-san.   Kesana saja aku mengejarnya.   Begitu menggentakkan kaki laksana batu meteor tubuhnya melenting tinggi terus meluncur cepat ke arah gunung Bu-tong.   Belum lagi ia sampai di Bu-tong-san sudah mendengar bahwa Ciang-ho-it-koay melarikan diri dengan luka-luka parah.   Gwat Long dan Sing Poh kedua murid tunggal Giok-yap Cinjin juga sekarat menderita luka-luka dalam yang sangat berat.   Hun Thian-hi tinggal pergi ikut Ang-hwat-lo- co.   Su Giok-lan menjublek, sesaat ia menjadi bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya, Hun Thian-hi sudah pergi ikut Ang-hwat-lo-co, bagaimana ia harus bertindak? Bu-bing Loni takkan memberi keringanan terhadap dirinya, pikir punya pikir dengan otak kusut dan perasaan hampa ia melanjutkan ke depan.   Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berjalan, tahu-tahu hari sudah menjelang magrib.   Jauh di depan sana kelihatan debu mengepul tinggi, puluhan kuda tunggangan tengah membedal cepat mendatangi.   Berjengkit alis Su Giok-lan, sembari membentak ia memapak maju terus menghadang di tengah jalan.   Puluhan kuda itu tak hiraukan keselamatan Su Giok-lan, dengan kencang terus menerjang tiba.   Enteng sekali tubuh Su Giok-lan mencelat mumbul ke atas berbareng kedua tangan bergerak lincah sekali, dalam sekejap mata ia berhasil memukul puluhan penunggang kuda jatuh sungsang sumbel Waktu ditegasi puluhan orang itu mengenakan seragam merah, terang adalah anak buah Partai Merah, tanpa merasa ia mendengus dingin.   Dari depan sana mendatangi pula puluhan kuda tunggangan, mengiringi tiga orang di tengah.   Begitu melihat puluhan orangnya malang melintang rebah di tanah, seorang gadis berdiri angker dengan galaknya mencegat jalan segera ketiga orang itu menghentikan kudanya Sebetulnya kesalahan dipihak Su Giok-lan, serta tahu yang dihadapi adalah pihak Partai Merah, rasa salah itu berubah menjadi rasa tuntutan yang mendesak.   Sambil menyeringai dingin ia amat- amati ketiga penunggang yang terdepan.   Ketiga orang ini bukan lain adalah Pangcu Partai Merah Gi Ciok, serta Tio-hong-ho dan Liong Lui.   Enteng sekali Liong Lui bergerak melompat turun dari tunggangannya, dengan muka kecut dingin ia awasi Su Giok-lan.   "Dimana Pangcu kalian?"   Tanya Giok-lan aseran. Liong Lui mendengus ejek.   "Kenapa harus Pangcu, aku sudah cukup!"   Di mulut Liong Lui bicara takabur, serta melihat puluhan anak buahnya yang malang melintang tak bergerak itu, hatinya rada bercekat.   Puluhan anak buahnya itu menerjang dengan tunggangannya yang berlari kencang, namun dapat dirobohkan dalam sekejap mata, ini betul- betul kejadian yang luar biasa, diam-diam ia menerawang, dirinya sendiri belum tentu mampu berbuat begitu.   Tahu dia bahwa dia tengah berhadapan dengan lawan berat.   Tapi belum pernah di kalangan Kangouw ada muncul seorang gadis macam ini, punya kepandaian silat tinggi, entahlah kenapa dia bersikap bermusuhan terhadap kita.   Melihat Liong Lui yang maju, Su Giok-lan tersenyum dingin, tanyanya.   "Siapa kau?"   "Thian-liong-kiam Liong Lui. Masa kau tidak kenal!"   Bentak Liong Lui gusar.   "Thian-mo-kiam?"   Seringai Giok-lan semakin menakutkan.   "Baik! Cabutlah pedangmu!"   Liong Lui insaf lawannya ini tentu sukar dilayani, namun dengan kedudukan dan ketenaran namanya masa harus mengambil keuntungan menghadapi musuh kecilnya ini, sesaat ia menjadi ragu-ragu, tanyanya.   "Sekali pukul kau dapat merobohkan puluhan anak buahku, tentu hebat sekali ilmu silatmu, entah siapakah gurumu yang mulia?"   "Kau tidak punya hak untuk mengetahui!"   Liong Lui tertawa besar, serunya.   "Entah gurumu tokoh kosen dari mana, aku Liong Lui kiranya tak sembabat untuk mengetahui, terpaksa aku minta belajar kenal dengan muridnya saja!"   Sembari berkata pelan-pelan ia melolos pedangnya.   Su Giok-lan pun telah mencabut pedangnya, sedikit tangan kanan mengayun, dengan gaya Ci- tiam-yan-hun tahu-tahu pedang panjangnya menutuk langsung ke arah Liong Lui.   Liong Lui angkat nama karena dia seorang ahli dalam permainan pedang, begitu melihat jurus permulaan serangan Su Giok-lan ini bercekat hatinya.   Kelihatannya Su Giok-lan hanya seenaknya saja mengayun dan menusukkan pedangnya, namun tenaga yang terkandung diujung pedang ternyata begitu kuat dan kokoh sekali, merupakan jurus tipu yang cukup ganas dan keji.   Lekas- lekas Liong Lui menyilangkan pedang panjangnya lalu didorong kesamping.   Su Giok-lan maklum akan maksud tujuan lawan, mengandal Lwekang dan kepandaiannya sekarang lawan sebangsa Thian-mo-kiam masa bisa menjadi tandingannya.   Mengikuti dorongan tenaga lawan ia pun menuntun pedang lawan berputar, seiring dengan gerak putaran pedang kakinya pun ikut bergeser, lalu dengan jurus It-sian-heng-kang pedangnya menyapu, miring, tampak selarik sinar pedang kemilau laksana bianglala melesat ke arah Liong Lui.   Kaget Liong Lui seperti disengat kala, gerak perubahan serangan Su Giok-lan begitu cepat dan belum pernah diketemukan, insaf dia bahwa hari ini ia bakal terjungkal ditangan musuh kecil ini, tersipu-sipu ia menyurut mundur serta menyampokkan pedangnya miring.   Gerak pedang Su Giok-lan berubah lagi, dari menyapu menjadi menutul, telak sekali ujung pedangnya menusuk gagang pedang Liong Lui, kontan pedang panjang ditangan Liong Lui tersontek terlepas dan mencelat jauh.   Dengan ketakutan Liong Lui melompat mundur, sambil menghardik ringan Su Giok-lan melejit mengejar, dimana kilasan pedangnya bergerak, tahu-tahu kuping kiri Liong Lui kena terpapas jatuh di tanah.   Berubah hebat air muka Gi Ciok melihat kesudahan pertempuran singkat ini.   Lekas-lekas ia mencabut Thay-i-kiam yang tajam luar biasa itu.   katanya sambil tertawa dingin kepada Su Giok- lan.   "Akulah Pangcu Partai Merah, ada urusan apa kau cari aku?"   Su Giok-lan tertawa dingin, katanya.   "Urusan sepele saja, hanya ingin minta Badik buntung yang berada ditanganmu itu."   Beringas muka Gi Ciok, katanya tertawa besar.   "Sombong benar-benar, mengandal apa kau?"   "Pedang ditanganmu itu juga harus kau tinggalkan!"   Su Giok-lan mengancsm semakin berani Dengan muka beringas dan kemarahan yang memuncak Gi Ciok berpikir, ia insaf bahwa kemungkinan besar dirinya pun bukan tandingan Su Giok-lan, tapi masa harus unjuk kelemahan? Segera ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, puluhan anak buahnya segera menyerbu, dia bersama Tio Hong-ho dan Liong Lui pun tidak ketinggalan merangsak dengan hebat Terdengar Su Giok-lan melengking tertawa.   tubuhnya tiba-tiba timbul terbang ke tengah udara, kelihatan diujung pedangnya bergetar lalu berputar satu lingkaran melancarkan jurus Heng-mi- liok-hap, begitu pedang bergerak berpetalah kuntum bunga yang menakjubkan dari sinar gemerdep batang pedangnya, sekaligus menerpa ke arah puluhan penyerangnya.   Kontan terdengar jerit dan pekik kesakitan yang menyayatkan hati, sejurus serangan ini sekaligus telah merobohkan enam orang.   Keruan Gi Ciok kaget bukan main, insaf dia kalau pertempuran dilanjutkan tentu tidak menguntungkan pihaknya.   Sekonyong-konyong teringat olehnya seorang tokoh kenamaan, macam Bu-bing Loni yang telah menerima murid baru bernama Su Giok-lan, bukankah musuh yang dihadapi ini bernama Su Giok-lan, tanpa merasa kuduknya berkeringat dingin, badan pun gemetar.   Cepat ia bertanya.   "Apakah kau nona Su?"   "Benar-benar!"   Dengus Su Giok-lan. Gi Ciok tertegun sebentar, katanya.   "Nona Su, pamanmu adalah sahabat baikku."   "Jangan singgung dia!"   Tukas Su Giok-lan aseran.   Teringat akan kekejaman Bu-bing Loni badan Gi Ciok semakin merinding, ia menjublek ditempatnya, sungguh diluar tahunya bahwa hari ini ia bakal ketimpa malang berhadapan dengan bintang iblis yang merugikan ini.   Apa boleh buat akhirnya ia berkata.   "Aku tak tahu kau nona Su, kalau tahu siang-siang tentu sudah kuserahkan Badik buntung itu."   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Su Giok-lan mandah tersenyum ejek, ia tahu Gi Ciok tentu takut akan Suhunya Bu-bing. Bergegas Gi Ciok merogoh keluar Badik buntung lalu disodorkan kepada Su Giok-lan.   "Pedang panjang itu sekalian!"   Pinta Su Giok-lan. Berubah pucat air muka Gi Ciok, mana bisa Thay-i-kiam diberikan orang? Kalau TThay-i-kiam hilang, untuk selanjutnya jangan harap dirinya bisa bercokol pula dikalangan Kangouw. Dengan sangsi ia mengawasi Su Giok-lan.   "Berikan tidak!"   Desak Su Giok-lan dengan nada mengancam.   "Entah keinginan gurumu atau kehendak nona Su sendiri?"   Tanya Gi Ciok Su Giok-lan mendengus, pikirnya; mungkin orang ini tidak rela menyerahkan pedangnya, maka dengan suara rendah ia berkata.   "Apa pula bedanya?"   Gi Ciok mengeluh, katanya.   "Pedang ini menyangkut jaya atau runtuh dari Partai kita. Kalau gurumu yang meminta, sudah tentu aku tak banyak bicara, tapi kalau hanya kehendak nona sendiri, aku mohon sukalah nona memberi sedikit kelonggaran."   "Apa-apaan sikapmu ini,"   Jengek Su Giok-lan gusar.   "Masa murid Bu-bing Loni mau ditekan orang lain?"   Mendengar Su Giok-lan menyinggung nama Bu-bing Loni, semakin kecut dan gemetar badan Gi Ciok, kalau sampai membuat beliau gusar maka celakalah dirinya, cepat-cepat dengan badan basah karena keringat dingin, ia tanggalkan pedangnya.   dengan kedua tangan ia angsurkan Thay- i-kiam kepada Su Giok-lan, katanya.   "Kalau nona Su memaksa, masa aku harus kikir mengangkangi pedang ini."   Setelah menerima Badik buntung dan Thayj-i-kiam Su Giok-lan tak banyak bicara lagi, dengan ulapan tangan ia suruh mereka tinggal pergi.   Dengan murung dan rawan segera Gi Ciok bawa anak buahnya berlari pergi.   Menurut tujuannya semula ia hendak meningalkan daerah Tionggoan secara diam-diam, sembunyi diri mencari dan menyelami rahasia Badik buntung, sungguh diluar dugaannya ditengah jalan ia ketemu begal, semua harapan dan harta miliknya menjadi ludes.   Setelah rombongan musuh pergi jauh, lekas-lekas Su Giok-lan mengamati Badik buntung serta menarik keluar sedikit Thay-i-kiam.   Alisnya bertaut semakin dalam, kedua bilah senjata merupakan benda pusaka yang ampuh, tapi apakah kedua pusaka ini bakal membantu dirinya? Mungkin dengan Badik buntung itu ia dapat mengejar jejak Hun Thian-hi, tapi batas waktu yang ditentukan sudah lewat, kalau tiga hari kemudian tidak ketemu, bagaimana sikap Bu-bing Loni terhadap dirinya? Sungguh ia tidak berani membayangkan akibatnya, boleh dikata hatinya sangat membenci Hun Thian-hi, kalau tidak Hun Thian-hi tentu riwayatnya takkan demikian sengsara dan menderita baru sekarang ia sadar bahwa kepandaian silat takkan dapat merubah haluan hidupnya, ilmu silat tiada bawa manfaat yang berguna bagi dirinya, sungguh rela rasanya hidup sederhana dalam ketenangan jiwa yang aman sentosa tanpa mengarungi kilatan pedang dan genangan darah, tapi apakah mungkin ia merubah haluan ke arah itu? Demikian Su Giok-lan tenggelam dalam pikirannya, dengan napas berat ia menarik hawa.   Di tengah udara nan jauh sana lapat-lapat terdengar pekik nyaring burung dewata, berdebar keras jantung Su Giok-lan, pikirnya; sekarang baru satu setengah hari, meski sikap dan watak Bu- bing Loni sukar diraba, tapi setiap kata-katanya selamanya tak pernah diubah.   Kejap lain, pelan-pelan burung dewata meluncur turun dan hinggap di tanah, pelan-pelan Ham Gwat melorot turun di hadapannya.   Diam-diam bergidik sanubari Su Giok-lan, kuduknya sampai merinding, dia jauh lebih takut terhadap Sucinya ini dari pada Suhunya Bu-bing Loni, kalau tiada urusan selamanya Ham Gwat tak pernah bicara dengan dia, menurut penglihatannya, ilmu silat Sucinya ini tidak berbeda jauh dari kemampuan Bubing Loni sendiri, tapi setiap kali ia bicara wibawanya seolah-olah lebih angker dari Bu-bing Loni, raut mukanya selalu wajar dan tak pernah berubah, senang atau duka tak pernah terunjuk pada air mukanya.   Sekarang Ham Gwat berdiri di hadapannya, hampir saja ia susah bernapas.   Dengan mendelong ia awasi Ham Gwat, dengan pandangan bening Ham Gwat menatap dia, katanya.   "Suhu sudah setuju untuk tidak menarik panjang urusanmu. Tapi kau harus segera kembali dan menghadap dinding setengah tahun untuk menyelami pelajaran Hui-sim-kiam-hoat!"   Dengan membelalak Su Giok-lan mengawasi Ham Gwat, hampir ia tidak percaya akan pendengarannya.   Dia tahu bahwa Bu-bing Loni selamanya tak pernah menjilat ludahnya kembali, tapi kenapa kali ini ia merubah putusannya? Mendadak ia seperti sadar, dengan suara haru ia berteriak.   "Suci!"   Kata-kata selanjutnya tak kuasa diucapkan. Rada lama Ham Gwat berdiam diri, akhirnya ia membuka kesunyian, katanya.   "Sumoay! Sikapmu itu tidaklah salah!"   Dengan memicingkan mata Su Giok-lan menatap Ham Gwat, meski ia tidak melihat suatu expresi di wajah Ham Gwat, tapi seolah-olah ia telah menemukan wajah lain dari Ham Gwat.   Dari sorot mata Ham Gwat yang bening itu terasakan perasaan welas asih yang agung, di dalam kenangan batinnya, hanya ibunya dulu yang pernah memandangnya dengan sorot pandangan begitu.   Tiba-tiba ia merasa betapa welas asih dan suci perasaan Ham Gwat itu, begitu agung dan mengesankan, mendadak Su Giok-lan merasa heran, seolah-olah sekarang dia tidak begitu takut lagi terhadap Ham Gwat seperti dulu.   Tiada jurang pemisah lagi antara ia dan Ham Gwat, akhirnya tercetus perkataan dari mulutnya.   "Suci, katamu aku tidak salah?"   Kata Ham Gwat lirih.   "Apa tidak betul? Dia kan tidak punya kesalahan terhadap kau, bermula ia tidak membunuh Kim-i Kongcu Leng Bu karena sebelumnya dia sudah berjanji kepada Soat-san- su-gou kalau tidak dalam keadaan yang memaksa dia tidak akan lancarkan jurus ganas itu."   Su Giok-lan mengiakan dengan menyesal, terasa olehnya dari nada orang bahwa Ham Gwat rada membela kepada Hun Thian-hi.   Dia heran, Hun Thian-hi telah pergi ikut Ang-hwat-lo-co, Ang- hwat-lo-co adalah musuh besar pembunuh ayah Ham Gwat, sebaliknya sekarang Ham Gwat bicara membela kebenar-benaran bagi Hun Thian-hi.   Terpikir sampai disini tak kuasa ia lantas bertanya.   "Tapi sekarang Hun Thian-hi telah pergi ikut Ang-hwat-lo-mo!"   Ham Gwat menunduk tanpa bicara. Mendadak Su Giok-lan teringat sesuatu, jelas sekali kalau Ham Gwat telah mintakan belas kasihan terhadap Suhunya, tapi apakah Bu-bing Loni betul-betul begitu gampang mau melulusinya? Tersipu-sipu ia bertanya lagi.   "Suci! Urusan apa yang telah kau janjikan kepada Suhu?"   Setelah merenung sebentar Ham Gwat berkata.   "Bukan soal apa, aku berkata kalau kau toh tidak mau turun tangan, biarlah aku saja yang membunuhnya, dalam jangka satu bulan setelah perjanjian satu tahun lewat aku akan membawa batok kepala Hun Thian-hi."   Su Giok-lan berseru tertahan, pelan-pelan ia tunduk tak buka suara lagi, pikirnya, kiranya begitu perkembangan selanjutnya, entah apa maksud Ham Gwat menceritakan duduk perkara sebenar-benarnya tadi, apa mungkin ada sebab lain yang lebih istimewa? Kata Ham Gwat kepada Su Giok-lan.   "Sumoay! Jangan banyak pikir lagi, mari kita pulang!"   Su Giok-lan angkat kepala, dilihatnya wajah Ham Gwat tetap tidak menunjukkan mimik perubahan, tapi dari biji mata yang besar hitam dan bening itu terasa olehnya rasa prihatin dan kasih sayang Ham Gwat terhadap dirinya.   Pelan-pelan ia menghela napas lega, ia tertawa dibuat-buat, bersama Ham Gwat ia naik ke punggung burung dewata terus menghilang di balik awan.   Ooo)*(ooO Melihat Ang-hwat-lo-co tinggal pergi, Hun Thian-hi lantas tenggelam dalam renungannya, ia berpikir; kau suruh aku ke Thian-lam, apakah tidak bergurau dengan aku, sudah mending kalau ayah Kim-i Kongcu Leng Bu tidak meluruk ke Tionggoan mencari aku, masa aku harus kesana malahan, bukankah masuk kemulut harimau malah? Lalu terpikir pula olehnya; Tiang-pek-san aku tidak perlu kesana, melawan Ang-hwat-lo-co saja Ciang-ho-it-koay tidak unggulan, palagi melawan Bu-bing Loni? Tentu Ce-han-it-ki juga tidak lebih unggul dari kemampuan Ciang-ho-it-koay, sia-sialah kalau aku kesana.   Mendadak terbayang dalam pikiran Thian-hi akan Sam-kong Lama, entah bagaimana keadaannya sekarang, Sin-giok-ling berada ditangannya, sejak ia pulang ke tanah barat apakah Bu-bing Loni pernah meluruk ke tempat kediamannya.   Apalagi dia pernah berkata bahwa orang aneh berkepandaian tinggi dikolong langit ini bukan Bu-bing Loni melulu, jelas bahwa tentu dia mengetahui ada orang aneh lainnya yang berkepandaian tinggi juga, kalau aku kesana mencari dia, mungkin dia punya cara untuk menolong aku.   Diam-diam Thian-hi ambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan kebarat laut, tapi Ang-hwat- lo-co pernah berkata akan melindungi dirinya secara sembunyi, bukankah ini berarti secara diam- diam hendak mengawasi setiap gerak geriknya? Untuk membebaskan diri dari kejaran dan pengawasan Ang-hwab-lo co ini sungguh tidak gampang.   Dia termenung memikirkan daya cara bagaimana ia meloloskan diri dari pengawasan Ang-hwat- lo-co.   Demikianlah ia berjalan terus mengikuti langkahnya, tiba-tiba dilihatnya tak jauh di depan sana terdapat sebuah gua besar selebar setombak lebih, terkilas suatu pikiran dalam benaknya, segera ia kembangkan Ginkang terus melesat masuk ke dalam gua itu.   Setelah berada di dalam gua, Thian-hi mendapatkan gua itu lekak-lekuk tak merata, hatinya menjadi girang, inilah tempat yang memang diinginkan, beruntun ia berkelebat semakin ke dalam berusaha mencari jalan keluar dari arah lain.   Setelah ubek2an sekian lamanya, Thian-hi rada kecewa, selain celah-celah batu yang rada sempit tiada jalan lain untuk keluar dari gua ini.   Terpaksa Thian-hi mencari salah satu celah rada besar lalu masuk kesana dan sembunyi disitu, untung tempat itu cukup kering, disana ia mulai duduk bersila bersamadi menenangkan pikiran dan menghimpun tenaga.   Tanpa terasa samadinya itu memakan waktu satu hari lamanya, betul juga sesuai dengan dugaan semula, tiba-tiba terdengar dengusan napas berat seseorang memasuki gua itu.   Diam- diam Thian-hi membatin.   "Tentu Ang-hwa-lo-co telah datang!"   Memang begitu melihat Hun Thian-hi memasuki gua Ang-hwat-lo-co lantas berputar di tempat sekitarnya untuk memeriksa apakah gua ini punya jalan keluar lainnya.   Setelah melihat kenyataan baru dengan lega hati ia balik dan menunggu dengan sabar di dalam hutan.   Tetapi tunggu punya tunggu setelah satu hari satu malam masih belum kelihatan Thian-hi keluar, ia menjadi curiga dan membatin.   "mungkin gua ini menembus ke tempat jauh, kalau gua ini panjang tentu Hun Thian-hi sudah pergi jauh, sekarang juga aku masuk dan mengejar kesana tentu dapat kejandak."   Begitu dia sampai di dalam gerak geriknya sangat cekatan, melesat kesana melenting kesini, tapi setengah harian sudah ia ubek2 di dalam gua tiada sebuah jalan lain pun yang menembus keluar, tanpa merasa ia mendengus gusar, pikirnya: Hun Thian-hi sibocah keparat itu tengah bermain sandiwara apa.   Lalu dengan ketajaman matanya pelan-pelan ia menjelajah seluruh pelosok gua, tapi tidak kelihatan bayangan Hun Thian-hi.   Tiba-tiba tergerak pikirannya, segera ia membuka suara.   "Hun Thian-hi, lekas keluar! Aku sudah melihatmu!"   Mendengar Ang-hwat-lo-co berkaok2, Hun Thian-hi mengumpat dalam hati, kalau aku melongok keluar bukanlah terjebak ke dalam akal muslihatmu malah. Beruntun Ang-hwat-lo-co berteriak dua kali, tanpa mendapat reaksi, hatinya menjadi gusar dan memaki.   "Bocah keparat yang licik!"   Bab 10 Dia diam berdiri sekian saat, mendadak ia berkata dalam hati; mungkin Hun Thian-hi sudah bolos pergi, kalau tidak masa begitu sabar dia mau menunggu begitu lama.   Tanpa merasa Ang- hwat-lo-co menjadi gelisah, batinnya; Hun Thian-hi lolos pergi sih tidak menjadi soal yang penting adalah jangan sampai berita tentang Wi-thian-chit-ciat-sek itu tersiar luas dikalangan Kangouw, atau sebaliknya harapan dirinya menjadi kosong belaka.   Terpikir sampai disini, tiba-tiba batinnya berkata; mungkin disaat aku pergi memeriksa tadi dia lantas kabur? Kalau Hun Thian-hi betul-betul berniat melarikan diri, begitu aku tinggal pergi, setelah dia masuk gua lantas keluar pula dan melarikan diri, bebas dari pengawasanku.   Semakin dipikir Ang-hwat-lo-co menjadi gopoh, pikirnya; berapa jauh dapat kau tempuh perjalanan selama satu hari ini, betapapun akan dapat meringkusmu kembali.   Tanpa banyak pikir lagi segera ia melesat keluar gua.   Dengan hati-hati dan waspada Thian-hi memasang kuping, setelah rada lama tak mendengar suara apa-apa, tapi masih kuatir Ang-hwat-lo-co belum pergi, betapapun dia tak berani melongok keluar.   Setengah jam kemudian baru ia berani mengintip dari celah-celah batu, melihat tiada kebayangan Ang-hwat-lo-co, baru ia menghela napas lega.   Thian-hi lantas berpikir, tentu Ang-hwat-lo-co tengah mengejar jejaknya, beberapa hari ini aku harus selalu waspada dan hati-hati.   Akhirnya dia sembunyi lagi digua yang lain selama suatu hari.   Hari ke tiga baru ia berani keluar terus melanjutkan ke arah utara, sepanjang perjalanan ini dia tidak berani melalui kota2 besar, jalan yang ditempuh adalah alas pegunungan atau jalan kampung yang jarang dilewati manusia.   Tiga hari kemudian tibalah dia di tempat gurun pasir yang terbentang luas memanjang tak berujung pangkal.   Segera ia keprak kudanya terus melanjutkan keutara.   Tempat kediaman Sam-kong Lama di Kwan gwa, hampir tiada seorangpun yang tidak kenal akan ketenaran nama Sam-kong lama diluar perbatasan ini, maka sekali mencari tahu, segera ia diberi tunjuk alamatnya.   Setelah lohor Thian-hi membelokkan kudanya ke arah barat langsung menuju kuil Bu-la.   Cuaca sudah hampir gelap, sang surja sudah hampir tenggelam sejajar dengan garis cakrawala.   Tapi selepas pandang ke depan keadaan sekeliling sepi tiada kelihatan bayangan orang atau barang makhluk hidup lainnya.   Hati Thian-hi menjadi gelisah dan gugup.   Tak lama kemudian dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi memanjang tertiup angin, dua ekor kuda dicongklang kencang lewat disampngnya, sekilas pandang saja lantas Thian,hi tahu bahwa mereka adalah kaum persilatan.   Thian-hi menjadi girang, melihat ada orang di daerah gurun yang sepi ini, tentu tak jauh di depan sana ada perumahan rakjat.   Segera ia tepuk-tepuk perut kuda lalu membedalnya ke depan.   Tiba-tiba kedua kuda tunggangan tadi putar balik, terdengar seorang membentak.   "Berhenti!"   Thian-hi melengak, hatinya rada berang, pikirnya.   "Aku tidak berbuat salah terhadap kalian, tanpa sebab kenapa kalian suruh aku berhenti? Ingin kulihat orang gagah macam apa kalian ini."   Karena pikirannya terakhir ini segera ia menarik tali kendali menghentikan tunggangannya lalu berpaling.   Kedua orang ini bertubuh tinggi kekar dan kurus kering, orang yang bertubuh kekar itu memelihara jambang bauk diselebar mukanya, melihat Thian-hi menghentikan kudanya, segera ia membentak pula.   "Bocah, kemana kau hendak pergi?"   "Apa pedulimu?"   Dalam batin Thian-hi memaki, namun dimulut ia berkata.   "Entah untuk keperluan apa kalian tanya soal ini?"   Laki-laki kekar itu menjadi gusar, hardiknya.   "Toaya tanya kau berani kau tidak jawab?"   Thian-hi mendengus jengkel, tapi terpikir olehnya bahwa seluruh kaum persilatan tengah mengejar jejaknya, sampai sekarang dirinya masih dapat menyembunyikan jejak, jangan sampai kelak menimbulkan kesukaran bagi Sam-kong Lama.   Segera ia berkata: .Kulihat kalian datang dari depan, kukira disana tentu ada rumah tinggal, maka aku hendak kesana untuk minta nginap semalam."   Kedua orang itu mendengus bersama, saling pandang sekali lalu berkata.   "Disana pun tiada orang tinggal, kesana pun tiada gunanya, di daerah sini jangan kau main ugal2an membedal kuda seenak udel kau sendiri, kalau sampai membuat marah Loyamu, awas jiwa kecilmu!"   Hati Thian-hi menjadi marah, dengan mendelik ia pandang kedua orang itu tanpa bicara. Laki-laki kurus itu segera melengking berkata.   "Keparat, agaknya kau tidak terima, ya!" Kudanya dimajukan ke depan. Thian-hi mengangkat alis, kudanya diputar terus hendak tinggal pergi.   "Tunggu sebentar!"   Sentak laki-laki kurus itu.   "Loyamu memberi kelonggaran kepadamu, kelihatan kau tidak senang malah main delik segala!"   Amarah Thian-hi sudah memuncak, tapi dia selalu prihatin tak suka menimbulkan keributan maka tidak mengumbar adatnya, namun melihat kedua orang ini terlalu kurang ajar dia menjadi gusar dan menjengek, katanya.   "Nama kalian berdua."   Laki-laki kekar itu keprak kudanya, telapak tangannya melayang terus mengepruk kemuka Thian-hi sambil memaki.   "Keparat yang tidak tahu diuntung, berani kau mencari tahu nama kebesaran loyamu!"   Mulut Thian-hi mengejek hrih, tangan kanan diangkat, tiga jarinya mencengkeram dan memuntir, telak sekali ia pegang pergelangan tangan laki-laki kekar itu terus diabitkan kesamping, kontan laki-laki kekar itu terjungkal roboh di atas pasir.   Melihat kawan sendiri kecundang begitu gampang, laki-laki kurus itu segera melolos golok, kuda ditarik mundur, dari gebrak pertama ini baru dia tahu bahwa Thian-hi bukan sembarang orang yang gampang dibuat permainan.   Thian-hi berludah, dia tidak mau menarik panjang urusan, segera ia putar kuda tinggal pergi.   Laki-laki kekar itu bergulingan di tanah, hatinya menjadi berang, melihat Thian-hi hendak pergi segera ia memburu maju sembari membentak, sekali lompat ia menubruk ke arah Thian-hi.   Thian-hi lecut kudanya ke depan, keruan laki-laki kekar itu menubruk tempat kosong.   Dari sebelah samping sana mendatangi seekor kuda putih, seorang gadis mengenakan cadar putih menyungging pedang mendatangi dengan cepat, begitu tiba ia melirik kepada kedua laki-laki itu, lalu mengamati Thian-hi sebentar tiba-tiba ia bertanya.   "Apakah kau Hun Thian-hi?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tergetar hati Thian-hi, pikirnya.   "Heran! Orang daerah sinipun sudah tahu namaku, mungkin Sam-kong Lama juga sudah mengetahui pula akan persoalanku. Sesaat ia menjaj terlongong tak tahu cara bagaimana harus menjawab, jejaknya sudah konangan lebih baik aku membedal kuda melanjutkan perjalanan secepat mungkin. Segera ia putar kuda terus dibedal sekencang angin. Baru setengah li kemudian, terdengar di belakangnya derap langkah kuda yang cepat semakin mendatangi, kiranya kuda putih itu telah mengejar semakin dekat bagai angin terbang. Thian-hi rada kejut, waktu ia berpaling dilihatnya derap langkah kaki kuda putih itu begitu kencang dan kokoh kuat lagi, tahu dia bahwa kekuatan kuda tunggangan sendiri terang takkan unggulan, jelas tak mungkin dapat meloloskan diri, terpaksa ia hentikan lari kudanya. Lincah sekali gadis itu kendalikan kudanya melintang menghadang di depan Thian-hi, sambil tertawa ringan ia berkata.   "Kenapa begitu melihat aku lantas lari, kami tiada niat berbuat sesuatu yang bakal merugikan kau. Kedua orang tadi adalah anak buah Thian-san-siang-long. tapi sudah kubereskan supaya tutup mulut, legakan hatimu aku tidak akan mencelakai kau."   Thian-hi menjadi bergidik merinding, sungguh ia hampir tak percaya gadis aju dihadapannya ini ternyata begitu kejam dan telengas. Gadis itu mengerut kening, katanya.   "Kenapa kau, badan kurang segar? Kukira kau takkan ketakutan begitu rupa!"   "Harap tanya siapakah nama kebesaran Lihiap, apakah aku dapat tahu?"   Tanya Thian-hi. Gadis itu tertawa-tawa, katanya cekikikan.   "Legakan saja hatimu, kau bejat aku pun tidak baik!"   Hun Thian-hi menunduk, diam-diam ia menghela napas rawan, kata-kata sigadis sangat meresap dalam sanubarinya, mungkin di seluruh kolong langit ini tiada seorang pun yang menganggap dirinya orang baik.   Melihat sikap Thian-hi yang murung itu, sigadis menjadi heran, tanyanya.   "Kenapa kau? Apa badanmu sakit? Melihat sikapmu ini aku menjadi heran mengapa kau diberi nama julukan Leng- bin-mo-sim dikalangan Kangouw!"   Thian-hi tercengang, mulutnya menggumam.   "Leng-bin-mo-sim?"   "Kenapa? Masa kau sendiri belum tahu?"   Olok sigadis dengan cekikikan.   "Leng-bin-mo-sin Hun Thian-hi, sekarang sudah terkenal di seluruh dunia, begitu cepat kau angkat nama, sungguh membuat orang sangat kagum dan ngiler."   Pedih perasaan Thian-hi seperti ditusuk sembilu, ia tunduk semakin dalam, tiba-tiba kedua kakinya menjepit perut kuda keras-keras, tunggangannya bebenger panjang kesakitan terus membedal kabur sekeras-kerasnya.   Otak Hun Thian-hi merasa pepat pikiran menjadi gelap, tahu dia bahwa dirinya sudah tamat dan tak mungkin bangkit kembali sebagai orang yang terpandang baik.   Leng-bin-mo-sin (muka dingin berhati iblis), sungguh julukan ini sukar diterima oleh lubuk hatinya? Apakah ada muka untuk menjumpai Sam-kong Lama? Apakah tidak malu mengecewakan Lam-siau Kongsun Hong yang telah merawat dan membesarkan dirinya? Demikian juga terhadap ayah bunda yang telah dialam baka, dapatkah dirinya memberi pertanggungan jawab yang setimpal? Sungguh ia tidak berani memikirkan lebih lanjut.   Mendadak tunggangannya meringkjk panjang dan berloncatan.   Thian-hi tersentak dari lamunannya, ia menjadi sadar waktu tunggangannya sudah menanjak naik ke atas sebuah ngarai, karena jalan licin kakinya terpeleset dan terperosot hampir masuk jurang.   Thian-hi menjadi tertegun mematung, tak terpikir olehnya untuk mengerahkan tenaga melompat menyelamatkan diri.   Terdengar seruan tertahan dibelakangnya, sebuah bayangan hijau melesat secepat kilat tahu- tahu sebuah tangan mencengkeram baju kuduknya terus melempar dirinya ke atas sebuah batu menonjol di Ngarai sebelah samping.   Orang itu jumpalitan tiga kali ditengah udara, dimana kedua lengannya tergetar berkembang bagai burung terbang tubuhnya mencelat naik dan persis benar- benar hinggap di atas ngarai.   Melihat yang menolong jiwanya adalah gadis bercadar hijau itu, Thian-hi menghala napas, katanya kepada gadis itu.   "Terima kasih!"   "Kenapakah kau tadi?"   Goda sigadis tertawa cekikikan.   "Mendengar julukan Leng-bin-mo-sin lantas kau lari, apa kau tidak senang akan julukan ini?"   Dengan rasa hambar Thian-hi pandang gadis di depannya, tak tabu cara bagaimana ia harus memberi penjedasan. Gadis itu tertawa lagi, katanya.   "Kau tak perlu takut padaku, namaku mungkin kau pun sudah tahu, aku bernama Giok-bin-hwi-hou Sutouw Ci-ko!"   Thian-hi manggut, dia belum pernah dengar nama ini, tapi mungkinkah ia prihatin pada orang lain? Sejenak ia berdiam diri, lalu katanya.   "Terima kaS5h Sutouw Lihiap, kupikir aku segera harus berangkat!"   "Kemana kau hendak pergi?"   Tanya Sutouw Ci-ko. Thian-hi menerawang; naga-naganya aku tak bisa ke tempat Sam kong Lama lagi. kemana aku harus pergi? "Sebetulnya aku malah kagum terhadapmu,"   Terdengar Sutouw Ci-ko berkata sungguh.   "Kalau kau sudi mari kita ikat persahabatan bagaimana?"   Melihat sikap Sutouw Ci-ko begitu polos dan jujur Thian-hi menjadi cerah wajahnya, katanya tertawa.   "Apa-apaan ucapanmu ini, kau adalah penolong jiwaku bukan? Kalau bukan pertolonganmu tadi mungkin aku sudah terbanting hancur di bawah sana!"   "Tak perlu sungkan,"   Ujar Sutouw Ci-ko.   "Sungguh heran, sedikit pun aku tidak melihat dimana letak kebuasan dari kedinginanmu, kenapa kau bisa begitu gapah tangan dan berhati keji."   Hun Thian-hi tertawa getir, tak tahu dia bagaimana harus memberi jawaban. Selanjutnya Sutouw Ci-ko berkata lagi.   "Maaf! Tidak seharusnya aku tanya hal ini kepadamu, aku hanya merasa. heran saja!"   Hun Thian-hi tertawa dibuat-buat. Kata Sutouw Ci-ko lagi.   "Kalau kau hendak sembunyi aku punya suatu tempat yang tak mungkin didatangi orang lain. Hanya aku seorang yang tahu tempat itu. Bu-tong-pay sudah menyebar Bu-lim-tiap, bermula Siau-lim-si tidak ikut, tapi begitu kedua murid Giok-yap Cinjin mati, Sute Thian-cwan Taysu yang sekarang menjabat Siau-lim Ciangbungjin Te-ciat Taysu turun gunung sendiri untuk mengurus persoalan ini. Sampai di ujung langit pun kau akan dikejar sampai dapat, kalau kau sembarangan ngelajap ke-mana-mana tentu berbahaya!"   Mulut Han Thian-hi mengiakan, tahu dia bahwa Thian-cwan Taysu sekarang pun sudah tidak percaya lagi kepada dirinya, mungkin beliau pun merasa sayang dan gegetun telah melepas dirinya tempo hari.   Diempat penjuru musuh kuat tersebar luas, tapi Sutouw Ci-ko di hadapannya ini justru mengagumi dirinya, ini betul-betul sungguh menggelikan.   "Aih, kenapa kau? Mau ikut aku saja!"   Ajak Sutouw Ci-ko. Melihat Su-touw Ci-to begitu supel, Thian-hi menjadi tertarik dan tertawa-tawa, memang tiada tujuan yang hendak dituju terpaksa ia menyahut.   "Terima kasih Sutouw-lihiap! Entah dimanakah tempat itu?"   "Mari kau ikut aku, tak jauh dari sini,"   Kata Sutouw Ci-ko lalu menuntun kuda putihnya.   Hun Thian-hi mengekor di belakang Sutouw Ci-ko terus maju ke depan, dalam hati diam-diam ia mereka siapakah sebenar-benarnya Sutouw Ci-to ini, melihat sikapnya begitu baik terhadap dirinya, dia sendiri mengatakan dia bukan orang baik, tapi tidak kelihatan di mana ada kejelekannya.   Sembari berjalan Sutouw Ci-ko berkata.   "Kuajak kau ke sana, setelah tiba tentu kau akan senang tinggal di tempat itu."   Sambil mengiakan pikiran Thian-hi melayang ke urusan lain, dia sendiri sampai tak tahu jawaban apa yang telah diberikan tadi. Sutouw Ci-ko berpaling, tawanya semakin lincah, tanyanya.   "Kenapa eh? Apa yang tengah kau pikirkan?"   "O, tidak apa-apa,"   Jawab Thian-hi gelagapan. Sutouw Ci-ko mengamati mukanya, sesaat baru berkata.   "Kau memang sangat menyenangkan, aku menjadi kurang percaya bahwa kau punya kepandaian begitu tinggi, coba lihat sikapmu yang rada linglung ini."   Melihat orang selalu menyinggung persoalan itu Thian-hi rada tak senang, namun betapapun orang telah menyelamatkan jiwanya, tak enak rasanya bertingkah kasar, terpaksa ia bicara.   "Sutouw-lihiap, kapan baru kita sampai disana?"   "Sebentar lagi! Itu di depan segera sampai!"   Begitulah mereka melanjutkan terus ke depan, setelah membelok di kaki gunung terlihat di depan sana terbentang sebuah gua besar setinggi dua tombak.   Sutouw Ci-ko menuntun kudanya terus berjalan masuk, Thian-hi mengintil terus di belakang, setelah belok beberapa kali hadapan mereka tiba-tiba terbentang lebar, selayang pandang rumput hijau dan bunga2 liar tersebar luas laksana permadani, di tengah di depan sana terdapat sebuah kolam yang jernih airnya.   Hun Thian-hi menyedot hawa segar, batinnya.   "Tempat ini betul-betul sangat menyenangkan."   Sambil tersenyum simpul Sutouw Ci-ko bertanya.   "Apakah kau senang tempat ini?"   Thian-hi manggut-manggut, sungguh girang bukan main hampir tak kuasa ia bicara, rada lama kemudian baru berkata.   "Aku sungguh sangat senang."   Sutouw Ci-ko terpingkal-pingkal sambil berlari ke pinggir kolam, pelan-pelan ia tanggalkan cadar yang menutupi mukanya.   Pandangan Thian-hi menjadi terang, sesaat ia menjadi terbelalak, ternyata Sutouw Ci-ko adalah seorang gadis rupawan yang cantik jelita.   Setelah menanggalkan cadarnya Sutouw Ci-ko duduk di pinggir kolam, kepalanya mendongak terlongong memandang puncak di depan nan jauh di sana.   Diam-diam Thian-hi memperhatikan tingkah laku orang, sejak tadi ia merasa orang berwatak polos dan lincah, tapi sekarang seperti tengah dirundung kesusahan dan murung.   Thian-hi dapat menyelami perasaan orang maka dia tidak akan mengganggu ketenangan orang melayangkan pikirannya, pelan-pelan ia mundur dan keluar lagi dari gua itu, pelan-pelan ia berjalan goyang gontai ke arah bawah.   Dia celingukan ke kanan-kiri, memikirkan akan diri sendiri, bagaimana aku harus membawa diri selanjutnya? Tak mungkin aku sembunyi di tempat ini selama hidup! Tionggoan tengah bergolak, seluruh aliran dan golongan persilatan disana tengah mengejar dan mencari jejaknya aku tak mungkin pulang ke sana.   Begitulah berjalan sambil melayangkan pikiran, tak diketahui sudah berapa lama ia berjalan, tiba-tiba didengarnya langkah kuda berlari mendatangi, seorang laki-laki kurus pertengahan umur mendatangi, begitu melihat Thian-hi, orang itu lantas mendengus dingin.   Thian-hi angkat kepala, melihat orang yang tidak dikenal, ia melanjutkan ke depan.   Sepintas pandang orang itu tahu bahwa Thian-hi bukan sembarang orang, segera ia menjengek dingin.   "Siapa kau! Dua anak buahku dibunuh orang, apa kau tahu siapa. pembunuhnya?"   Bermula hati Thian-hi menjadi was-was menyangka utusan dari Tionggoan yang menyirapi jejaknya, serta mendengar pertanyaan orang baru ia sadar bahwa yang dihadapi ini adalah salah satu dari Thian-san-siang-long (dua serigala dari Thian-san), sejenak ia pandang orang itu tanpa buka suara.   "Kutanya kau, apa kau tidak dengar?"   Sentak orang itu jengkel. Bertaut alis Thian-hi, tanyanya.   "Harap tanya tuan ini."   Melihat Thian-hi tidak menjavvab malah balas bertanya orang itu menjadi naik darah, sambil menggerung dia melolos rujung beruas dari pinggangnya terus melecut kepada Thian-hi.   Thian-hi mengegos ke samping menghindar, dia pun menggeram gusar, sungguh liar dan tak tahu aturan benar-benar orang ini.   Orang berkepandaian silat tinggi sudah banyak yang kulayani, masa kubiarkan kau bertingkah dihadapanku? Demikian pikirnya dalam hati.   Melihat Thian-hi berhasil lolos dari serangan rujungnya, tangkas sekali orang itu melejit tinggi dari tunggangannya, dimana tangan bergerak rujungnya lagi-lagi menyamber ke arah Thian-hi.   Cepat-cepat Thian-hi menyurut mundur, mendapat angin orang itu beruntun lancarkan sapuan rujungnya menerpa dengan kekuatan dahsyat sehingga Thian-hi main mundur lagi.   Terdengar ia menghardik sekali, tiba-tiba tubuhnya selicin belut mendak kebawah terus menubruk maju menjotos berbareng sebelah tangan yang lain meraih ke samping memotes sebatang dahan pohon.   Belum sempat Thian-hi gunakan dahan pohon sebagai senjata untuk menyerang, Sutouw Ci-ko keburu datang mencongklang kudanya, belum lagi tiba, tubuhnya sudah meluncur ditengah udara, pedangnya bergetar menusuk ke tengkuk orang itu.   Orang itu melompat menyingkir, melihat kehadiran Sutouw Ci-ko berubah air mukanya.   Kata Sutouw Ci-ko dingin.   "Ih Seng! Selamanya kita seumpama air sungai tidak menyalahi air sumur, orang ini adalah sahabatku, kenapa kau datang menganiaja orangku?"   Laki-laki ini adalah salah satu Thian-san-siang-long Ih Seng berjuluk Ceng-bin-long (serigala muka hijau), katanya.   "Kiranya dia sahabatmu, sungguh aku kurang adat. Dua anak buahku dibunuh orang."   Sutouw Ci-ko menarik muka, katanya merengur.   "Mereka bermulut kotor dan berani kurang ajar terhadap aku. Akulah yang bunuh mereka."   Ih Seng rada tercengang, katanya.   "Anak buahku semua kenal kau, mungkin."   Sebentar ia merandek lalu melanjutkan.   "Kalau begitu, apa boleh buat, selamat bertemu!" Memutar kuda lalu mencongKlang pergi dengan buru-buru. Hun Thian-hi berpaling ke arah Sutouw Ci-ko, katanya tertawa pahit.   "Kau menolong aku lagi."   "Justru kaulah yang menolong dia!"   Tukas Sutouw Ci-ko menggoda. Hun Thian-hi menjadi kikuk dan risi, mulutnya bungkam.   "Bagaimana?"   Ujar Sutouw Ci-ko tertawa ringan.   "Agaknya kau punya gangjalan hati ya?"   Thian-hi menunduk tanpa bersuara.   "Bisakah kau ceritakan kepadaku?"   Tanya Sutouw Ci-ko dengan suara halus. Thian-hi tersenyum, senggaknya.   "Sutouw-lihiap, kulihat kau sendiri juga punya janggalan hati bukan?"   Sutouw Ci-ko angkat alis, katanya.   "Untuk waktu dekat mungkin Ih Seng takkan tahu kau Hun Thian-hi adanya, tapi cepat atau lambat akhirnya dia pasti akan tahu. Lebih baik mari Kita lekas kembali."   Thian-hi mnanggut2 dengan tersenyum bersama Sutouw Ci-ko mereka kembali ke dalam gua itu.   Sekian lama, mereka berdiam diri duduk dipinggir kolam, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.   Sekonyong-konyong Sutouw Ci-ko angkat kepala, tanyanya kepada Hun Thian-hi.   "Apakah kau merasa tempat ini baik?"   Hun Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia membatin; Bukankah tadi sudah kukatakan? Apa maksud pertanyaan ini? Hening sejenak, Sutouw Ci-ko membuka suara lagi.   "Masih ada seorang lagi yang mengetahui tempat ini. Tapi mungkin dia selamanya takkan datang kemari lagi!"   Lapat-lapat Thian-hi dapat menebak kemana juntrungan kata-kata ini, katanya tertawa.   "Sutouw-lihiap, kalau aku dapat membantu kau, sungguh aku akan senang sekali!"   "Orang itu adalah sahabat karibmu, Bun Cu-giok!"   Tersentak hati Thian-hi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Bun Cu-giok, kiranya Bun Cu-giok! Tapi Bun Cu-giok sudah bergaul begitu intim dengan Ciok Yan, baru sekarang teringat olehnya akan mimik wajah Bun Cu-giok yang aneh tempo hari itu, kiranya begitu kejadiannya.   Begitulah ia menerka2.   Dengan lekat Thian-hi memandang wajah orang dari samping, terdengar ia berkata lirih.   "Aku tahu, pasti dia tahu bahwa aku sudah berbuat buruk, dia tak hiraukan aku lagi."   Thian-hi menjadi serba sulit, tak tahu bagaimana harus menjawab, pikirannya melayang; Dalam hati Bun Cu-giok tentu masih ingat akan Sutouw Ci-to, tapi disampingnya sekarang sudah ada Ciok Yan. Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lebih lanjut.   "Dia menyangka aku belum tahu perihal dirinya, tapi aku sudah tahu segala2nya."   Thian-hi bernapas berat, pikirnya; Kiranya untuk urusan inilah Sutouw Ci-ko mencari aku, mulutnya lantas berkata.   "Kulihat kau orang baik, kalau aku ketemu dia, tentu akan kuberitahu bahwa kau tengah menunggu dia, supaya dia suka kemari, saat mana boleh kau bicara terus terang kepadanya."   "Ah, sungguh banyak terima kasih!"   Seru Sutouw Ci-ko.   Tengah mereka asjik bicara tiba-tiba di belakang mereka terdengar dengusan dingin.   mereka tersentak kaget dan berpaling bersama.   Tampak Bun Cu-giok berdiri jauh lima tombak dengan muka bersungut gusar.   Dengan kejut2 girang Sutouw Ci-ko berjingkrak bangun, serunya.   "Cu-giok!" Serta melihat sikap dan wajah Bun Cu-giok yang membeku dingin, kata selanjutnya ditelan kembali. Tersipu-sipu Thian-hi berdiri, begitu melihat air muka Bun Cu-giok lantas ia dapat menerka kemana juntrungan pikiran orang, katanya dengan tersenyum.   "Saudara Bun! Kita jumpt kembali!"   Bun Cu-giok tutup mulut, dengan memicingKan mata ia pandang mereka bergantian. rada lama kemudian baru berkata kepada Hun Thian-hi.   "Saudara lolos dari bahaya, kuucapkan selamat. Konon saudara Hun tertolong oleh Ang-hwat-lo-mo, apakah betul?"   Dengan mendelong Thian-hi pandang orang lalu manggut, tahu dia bahwa selanjutnya ia bakal kehilangan seorang sahabat yang paling dekat. Bun Cu-giok berkecek mulut, katanya lagi kepada Hun Thian-hi.   "Kaupun tak perlu menjelaskan lagi!"   Lalu ia berpaling kepada Sutouw Ci-ko, katanya.   "Ci-ko! Perjodohan kita sudah batal, kenapa begitu kau sendiri tentu paham. Kedatanganku ini memang hendak mengembalikan kalung pualam milikmu."   Lalu ia mengeluarkan mainan kalung dari batu pualam putih terus dibuang di depan kaki Sutouw Ci-ko. Dengan mengembeng air mata Sutouw Ci-to berkata perlahan.   "Cu-giok. Apakah kau tidak hargai hubungan erat kita yang dahulu?"   "Hubungan erat apa?"   Jengek Bun Cu-giok.   "Tak ada hubungan erat apa-apa diantara kita berdua, kau hanya erat berhubungan dengan orang di Thian-san itu. yang benar-benar sekarang kau hubungan erat dengan Hun Thian-hi!"   Hun Thian-hi menjadi naik pitam mendengar fitnah Bun Cu-giok, desisnya.   "Bun-pangcu, aku dan Sutouw-lihiap hanya kenalan ditengah jalan saja, dia minta supaya aku mewakili bicara kepadamu, apa maksud kata-katamu ini?"   "Hun Thian-hi!"   Sentak Bun Cu-giok semakin gusar.   "Dengan siapa dia bergaul aku tidak peduli. Tapi ternyata dia bersama kau, selama hidup ini aku Bun Cu-giok anggap kau seorang laki-laki, tapi."   Lalu ia berteriak lebih keras lagi.   "Hun Thian-hi! Kaum persilatan di seluruh dunia ini tengah mengejar jejakmu. Pihak Bu-tong-pay telah mengutus orang mengundang guruku turun gunung, hari ini himpas sampai disini, kelewat hari ini kau adalah musuh kebujutanku!"   Habis berkata bergegas ia membalik terus berlari keluar. Hun Thian-hi tertawa besar, teriaknya.   "Bun Cu-giok! Kuanggap kau seorang laki-laki sejati. Ternyata kau seorang pengecut!"   Bun Cu-giok membalik dengan murka, dengan mata berapi-api ia pandang mereka berdua sesaat kemudian lalu membalik dan menghilang diluar.   "Nanti dulu!"   Teriak Sutouw Ci-ko.   "Masih ada omongan yang hendak kukatakan."   Bun Cu-giok membalik lagi sambil menyunggjng senyum dingin, katanya.   "Ada kentut apa lagi lekas lepaskan! Aku tak punya tempo mengobrol dengan kau. Ciok Yan sedan menanti aku!"   "Ciok Yan?"   Seru Sutouw Ci-ko dengan nada melengking.   "Betul! Ciok Yan! Puteri Ciok Hou-bu dari Hwi-cwan-po."   Sutouw Ci-ko menjadi bingung dan melongo sekian lama, akhirnya berkata pelan.   "Apapun yang kau katakan! Aku tidak punya kesalahan, urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh, akupun tak perlu banyak mulut lagi! Silakan pergi!"   "Tidak berbuat salah apa?"   Ejek Bun Cu-giok sinis, .,Hm! Setiap aku ingat ingin rasanya kubunuh "kau!"   Habis berkata terus berlari pergi. Mendadak Sutouw Ci-ko terkial-kial. Hun Thian-hi menghela napas, tanpa bicara lagi. Sutouw Ci-ko berkata.   "Kau adalah orang baik, tak peduli apapun yang pernah kau perbuat, kau tetap orang baik, aku dapat melihat itu!" Thian-hi tersenyum pahit, katanya.   "Apa kau tahu aku pernah berbuat salah apa?"   Sutouw Ci-ko tertegun, mulutnya terkancing, pelan-pelan ia duduk kembali dipinggir kolam, hening sekian lama baru buka suara lagi.   "Berita angin itu belum tentu benar-benar!"   "Sutouw-lihiap,"   Ujar Hun Thian-hi.   "Sudah saatnya aku pergi, Bun Cu-giok tahu aku berada disini, mungkin bisa bikin susah padamu."   Sutouw Ci-ko tertawa, aneh, ujarnya.   "Kemana juga kau pergi sama saja. Tak perlu kau kesusu dalam waktu dekat ini. Apakah kau sudi mendengar perihal diriku?"   Hun Thian-hi rada sangsi, akhirnya menjawab.   "Janganlah!"   Sutouw Ci-ko memandangnya halus, Thian-hi tunduk malu-malu, heran dia mengapa Sutouw Ci-ko memandangnya dengan sorot mata begitu. Terdengar ia berkata.   "Kalau beberapa tahun lebih siang aku jumpa dengan kau, tentu aku bisa suka kepadamu."   Tergetar hati Thian-hi, serta merta mukanya menjadi merah dan panas, ter~sipu-sipu ia berkata.   "Sutouw li-hiap, sekarang juga aku harus berangkat!"   "Kabar berita itu belum tentu benar-benar,"   Sutouw Ci-ko berkata pelan-pelan.   "Banyak cerita yang ingin kukatakan kepadamu, apakah kau tidak sudi tinggal barang sebentar lagi?"   Hun Thian-hi menjadi sungkan, Sutouw Ciko memberi tanda supaya Thian-hi duduk kembali.   "Ada seorang bernama Kim-ih-kiam di Thian-san, apakah kau pernah tahu?"   Thian-hi berpikir sebentar lalu sahutnya.   "Agaknya aku pernah dengar nama orang ini, tapi tak ingat lagi!"   "Selamanya dia jarang mengembara di Kangouw, apalagi usianya masih sangat muda, maka jarang orang mengetahui dia."   Thian-hi manggut-manggut, batinnya.   "Mungkin dia itulah yang dimaksud orang dari Thian- san."   Sutouw Ci-ko merenung sebentar lalu mulai dengan kisahnya.   "Kira-kira sudah lima tahun yang lalu. Kim-ih-kiam-khek menantang aku bertanding pedang. Kita bertempur tiga hari tiga malam, kita bertanding satu lawan satu dalam sebuah ruangan, akhirnya seri alias sama kuat." Sampai disini ia angkat kepala memandang Thian-hi lalu meneruskan.   "Tapi belakangan hari baru aku tahu bahwa dia sengaja mengalah kepada aku!"   Hening sebentar lalu meneruskan lagi.   "Aku jadi naik pitam. Dalam kesempatan lain dia selalu mengalah, akhirnya aku berhasil memapas secuil ujung bajunya. Tatkala itu, aku kegirangan."   Thian-hi membatin.   "Rupanya pertandingan pedang yang menimbulkan pertikaian ini, kenapa pula urusan menjadi semakin bertele2."   "Betapa buruk watak Kim-ih-kiam-khek itu, banyak akal muslihat dan licik lagi, waktu kita bertanding pedang tiada orang ketiga yang hadir, selama tiga hari tiga malam kita bertempur, sudah tentu rada janggal dan memalukan. Setelah aku turun gunung lantas kudengar omongan buruk yang menjelekkan nama baikku.    Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini