Ceritasilat Novel Online

Pedang Karat Pena Beraksara 12


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID Bagian 12


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya dari Tjan I D   "Ambilkan air teh."   Seorang hwesio cilik segera muncul sambil membawa air teh. Wi Tiong-hong berpaling, ternyata hwesio kecil yang pernah dijumpainya tempo hari. Gho-tong hwesio mengangkat tangannya, kemudian berkata lagi.   "Silahkan kalian berdua minum teh, toa suheng telah berpulang ke alam baka dua hari berselang, apabila Wi sicu ada persoalan, katakan saja kepada pinceng."   Dari keadaan yang tertera di depan mata, Wi Tiong-hong memang sudah menduga sampai kesitu, apa lagi bila teringat perkataan si hwesio cilik waktu itu, dia-pun menduga jika hubungan di antara sesama saudara perguruan ini seperti diliputi satu rahasia.   Meski dia curiga, namun lantaran persoalan ini adalah urusan mereka yang sama sekali tak ada sangkutpaut dengan dirinya, dia-pun menjura seraya berkata.   "Kedatanganku kemari sebenarnya adalah untuk memenuhi janjiku dengan Hong-tiang tua, kalau toh Lo Hong-tiang telah berpulang ke alam baka, aku-pun tak ada urusan lagi, aku hendak mohon diri lebih dulu."   Gho-tong hwesio agak tertegun, tapi dengan cepat dia berkata lagi sambil tertawa: "Lima hari berselang, pinceng pernah berbuat kasar terhadap sicu, harap Wi sicu jangan marah karena persoalan tersebut.   Bagaimana-pun juga, kalian berdua toh ...   sudah datang ke mari, sekali-pun tidak bersantap dulu, paling tidak juga harus minum secawan air teh sebagai rasa hormat pinceng terhadap kalian." "Toa suhu tak usah sungkan-sungkan."   Berbicara sampai disini, lantas berpaling seraya berkata.   "Adikku, mari kita pergi."   Sekilas senyuman licik segera menghiasi wajah Gho-tong hweesio, kembali dia berkata.   "Bila Wi sicu buru-buru hendak pergi, pinceng-pun tak akan menahan lebih jauh, cuma kalau toh Wi sicu datang untuk memenuhi janjimu dengan toa suheng, hal ini berarti kau adalah sahabat karib toa suheng semasa hidupnya. Kini toa suheng tiada, paling tidak Wi sicu harus mengunjungi tempat penyimpan tulang belulang sebagai tanda hormat kepada yang telah tiada, entah bagaimanakah menurut pendapat sicu?" "Tulang belulang Lo hongsiang disimpan di mana?"   Wi Tiong-hong bertanya tanpa terasa. Kembali Gho-tong hwesio tertawa licik.   "Di belakang bukit kuil kami ini, pinceng akan segera mengajak Wi sicu kesana."   Wi Tiong-hong manggut-manggut.   "Kalau begitu, harap toa suhu suka membawa jalan." "Sicu kelewat sungkan, harap kalian berdua suka mengikuti pinceng ...   "   Dia lantas membalikkan badan dan berjalan ke luar ruangan.   Wi Tiong-hong dan Lok Khi menyusul di belakang Gho-tong hwesio meninggalkan ruang hong tiang, menuju kebukit sebelah belakang.   Tak lama mereka tiba di belakang bukit kuil Pau-in-si.   Di antara tebing karang yang menjulang, terdapat sebuah undakan lebar yang menembusi bukit karang tadi, hanya dua puluhan langkah mereka telah tiba di atas tanah datar.   Di atas bukit terdapat sebuah bangunan kuil di depan pintu terpancang sebuah papan nama yang bertuliskan "Cou-su-tong", pintu gerbangnya yang berwarna merah tertutup rapat dan dikunci dengan sebuah gembok besar.   Gho-tong hwesio membuka gembokkan itu, lalu mendorong pintu itu sampai terbuka, katanya sambil mempersilahkan tamunya.   "Sicu berdua, silahkan masuk."   Ketika melihat Gho-tong hwesio mengajaknya datang ke situ tadi, Wi Tiong-hong sudah menaruh perasaan curiga, apalagi setelah menyaksikan ruangan Cou-su-tong itu dibangun di dalam bukit berkarang yang kokoh, kecurigaannya semakin melipat ganda.   Baru saja dia akan bersuara, Lok Khi telah menghalangi jalan perginya.   Gho-tong hwesio sambil tertawa.   "Tentu saja pinceng harus berjalan lebih dahulu, silahkan saudara berdua ...   "   Selesai menjura, betul juga dia lantas masuk lebih dulu ke dalam ruangan itu.   Ruangan Cou-su-tong tersebut letaknya agak tinggi, ruangan yang terdiri dari tiga bagian itu mencakup luas tanah sepuluh kaki lebih, meski dibangun di lambung bukit namun amat terang benderang.   Ditengah ruangan terdapat sebuah patung Buddha terbuat dari baja yang tingginya seperti manusia, patung itu berwajah lebar, bertelinga lebar, berwajah keren dan seperti manusia hidup.   Dengan sikap yang sangat menghormat Gho-tong hwesio berjalan ke depan patung Buddha itu, kemudian menyembah beberapa kali, setelah itu dia baru berkata.   "Siecu berdua, dia adalah mendiang guru kami It-tong taysu, tubuhnya telah menjadi Buddha, maka dipuja dalam ruangan ini, sedang tulang belulang toa suheng berada di ruangan sebelah kiri."   Sambil berkata dia lantas berjalan ke meja altar yang ada disebelah kiri.   Ketika Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya dan memperhatikan meja altar tersebut, di atas meja terdapat sebuah kotak yang terbuat dari bahan tembikar, mungkin di situlah disimpan abu dari Gho-beng siansu, lo Hong-tiang dari kuil Pau-in- si.   Tanpa berpikir panjang, dia lantas berjalan menuju kesitu.   Dalam pada itu, Gho-tong hweesio sudah berada di muka meja altar dan menyulut tiga batang hio yang ditancapkan di atas hiolo, kemudian sambil merangkap tangannya di depan dada, dia berkata.   "Toa suheng, Wi siecu telah datang memenuhi janji, hanya sayang dia datang terlambat dua hari sehingga hanya dapat menjenguk abumu belaka."   Lalu sambil menuding ke arah meja altar, dia melanjutkan.   "Wi sicu, harap kau lihat, dalam baki kemala itulah terletak Han liou dari Toa suheng."   Sesuai berkata, dia lantas mengundurkan diri ke samping.   Mengikuti arah yang dituijuk.   Wi Tiong-hong berpaling ke situ, benar juga di atas meja altar itu terdapat sebuah baki kumala, dalam baki terdapat puluhan biji Han li cu yang besar kecil tak menentu dengan aneka warna tapi semuanya memancarkan sinar berkilauan.   Tanpa terasa timbul rasa hormatnya yang amat mendalam terhadap lo siansu yang telah tiada itu.   Lok Khi berjalan ke sisi Wi Tiong-hong, lalu bisiknya lirih.   "Piauko, apa sih yang dinamakan Han li cu?"   Pada saat itulah, mendadak Gho-tong hwesio tertawa seram, dia melompat ke depan dan secepat sambaran petir meluncur ke luar dari ruangan tersebut. Reaksi dari Lok Khi terhitung cepat pula, dia segera membentak nyaring.   "Mau kabur ke mana kau?"   Tubuhnya melejit ketengah udara dan meluncur ke depan dengan kecepatan seperti sambaran petir, sementara tangan kanannya diayunkan ke depan mencengkeram pakaian bagian belakang dari Gho-tong hwesio.   Tapi sayang tindakannya itu masih terlambat satu langkah, Gho-tong hwesio telah miringkan badan dan meluncur ke luar dari ruangan tersebut, menyusul kemudian ...   "Blaamm."   Sepasang pintu gerbang itu merapat sendiri.   Gagal dengan cengkeramannya, nyaris tubuh Lok Khi yang melayang di tengah udara itu menumbuk di atas pintu gerbang.   Buru-buru dia menahan gerakan tubuhnya dan melayang turun ke atas tanah, lalu sepasang telapak tangannya digetarkan keras-keras menghajar pintu gerbang ruangan itu.   "Blaamm ...   "   Sepasang pergelangan tangannya tergetar sampai terasa sakit, secara lamat-lamat sedang kedua belah pintu gerbang itu masih tetap tak bergeming barang sedikit-pun jua.   Bersamaan waktunya Wi Tiong-hong tiba pula di tempat kejadian, dia melepaskan juga sebuah bacokan dahsyat.   "Blaamm,"   Sekali lagi terdengarlah suara benturan keras yang memekakkan telinga, namun pintu gerbang itu masih tetap utuh tanpa cacat.   Menghadapi kejadian ini, paras muka anak muda itu berubah hebat, dia segera menarik napas panjang-panjang dan mengerahkan kembali tenaga dalamnya siap melancarkan serangan lagi.   Buru-buru Lok Khi menghalangi niatnya itu ujarnya sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Tak perlu membuang tenaga dengan percuma, pintu batu ini sangat tebal dan kuat sekali." "Hmm, ternyata hwesio itu benar-benar tidak bermaksud baik."   Kata Wi Tiong-hong.   "Sejak dia menahan kita berulang kali, kemudian memancingmu dengan perkataan, aku sudah menduga kalau dia tidak bermaksud baik, oleh karena itulah aku meminta kepadanya untuk masuk lebih dahulu, aai, tapi akhirnya toh masih tetap terlambat selangkah, ia berhasil juga meloloskan diri.   Piauko tahukah kau apa sebabnya dia bersikap tidak menguntungkan bagi kita berdua?" "Aku pikir, dia pasti mempunyai suatu rahasia yang takut diketahui orang lain, aaah ...   , betul, delapan puluh persen lo Hong-tiang tersebut mati dicelakai olehnya, karena kuatir aku mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, maka ia baru berniat membunuhku untuk menghilangkan jejak ..." "Kau memang dasarnya suka mencampuri urusan orang lain, sekarang lihat saja akibatnya, kena disekap di tempat seperti ini, apa tidak bakal mati kelaparan?" "Kita harus mencari akal untuk membongkar pintu itu dan menerjang ke luar dari sini." "Mustahil,"   Lok Khi menggelengkan kepalanya berulang kali.   "pintu batu ini tebal dan sangat kuat, apa lagi dia berani memancing kita ke sini, berarti hal ini sudah berada dalam perhitungannya, tak bakal semudah itu ... apalagi sampai memberi kesempatan buat kita untuk menjebol pintu batu itu?"   Wi Tiong-hong menjadi tertegun.   "Lantas, apakah kita harus duduk termenung belaka sambil menanti saat kematian tiba."   Lok Khi berpikir sebentar, kemudian menjawab.   "Aku pikir, kalau toh kalau kedua belah pintu batu ini begitu kuat dan tebal, sudah pasti beratnya bukan kepalang, biasanya benda yang berat tak akan secepat itu merapat kembali, tapi sewaktu kabur tadi, pintu tersebut menutup amat cepat, dari sini bisa ditimbulkan kalau pintu mana dihubungkan dengan alat rahasia." "Tampaknya dia telah memperhitungkan waktunya secara tepat, ia segera memancing kita untuk melihat Han li cu tersebut, kemudian ia menekan tombol rahasianya, menanti pintu hampir menutup, ia melompat ke luar dari sini, buktinya aku yang melompat setelah dia-pun terlambat satu langkah, baru tiba dipintu, pintu batu itu kebetulan sedang merapat." "Betul, pintu batu itu pasti sudah dikendalikan oleh semacam alat rahasia."   Lok Khi tertawa.   "Asal kita dapat menemukan alat rahasia yang mengendalikan buka tutupnya pintu batu itu, keadaan pasti lebih baikan." "Kalau begitu kita cepat-cepat mencarinya, ooh, tidak betul, mustahil alat rahasia tersebut berada disini." "Mengapa?" "Seandainya tombol rahasia yang mengendalikan alat rahasia pintu gerbang itu berada di sini, bukankah sia-sia saja dia mengurung kita di tempat ini? "   Lok Khi kembali tertawa.   "Aku rasa, alat rahasia tersebut sudah pasti berada disini." "Coba katakanlah." "Tentu saja aku mempunyai alasan,"   Kata Lok Khi sambil tertawa.   "masa tidak kau lihat, sewaktu Gho-tong keledai gundul itu masuk ke mari, dia mendorong pintu terbuat dengan ilmu Tay-lek-kim-kong-ciang aliran Siau-lim-pay, tapi sewaktu ke luar sama sekali tidak mempergunakan tenaga sama sekali, sedangkan pintu ruangan itu menutup dengan sendirinya, dari sini terbuktilah sudah alat rahasia yang digunakan untuk membuka dan menutup pintu batu itu berada di dalam, bukan di luar."   Wi Tiong bong yang mendengar perkataan itu merasa kagum sekali, meski sifat kekanak-kanakan dari gadis itu belum hilang namun jalan pikirannya sangat cermat, pengalamannya dalam dunia persilatan-pun jauh lebih banyak daripada pengalaman sendiri.   Tadi, dia memang melihat kalau Gho-tong hwesio mendorong pintu ruangan tersehut dengan sepasang tangannya dan nampak sangat kepayahan, tapi tidak sempat melihat kalau ilmu yang dipergunakan adalah ilmu Tay-lek-kim-kong-ciang.   Tak nyana gadis tersebut telah mengetahui kejadian mana dengan sejelas-jelasnya.   Berpikir sampai di situ, tanpa terasa dia manggut manggut, katanya lagi.   "Perkataanmu memang benar, kalau begitu, mari kita segera mencarinya di sekitar sini."   Melihat pemuda itu membuang pendapatnya dan setuju dengan pendapat sendiri, bahkan memujinya, Lok Khi merasa amat gembira, sambil tertawa segera ujarnya.   "Aku dengar dari toako, konon semua alat rahasia yang berada dalam dunia persilatan rata-rata di pasang dalam suatu tempat yang amat rahasia, orang yang tidak mengetahui keadaan yang sebetulnya sulit untuk menemukan tempat mana.   Betul kita juga tahu kalau letaknya berada dalam ruangan ini, tapi untuk menemukannya bukanlah suatu pekerjaan yang terlampau gampang ..."   Sementara pembicaraan berlangsung, mereka berdua sudah mulai melakukan pemeriksaan yang seksama di sekitar ruangan itu.   Setengah jam kemudian, seluruh ruangan telah diperiksa dengan seksama, namun tombol rahasia itu belum juga ditemukan.   Tiba-tiba Lok Khi melompat bangun, setelah membereskan rambut kuningnya, ia berseru manja.   "Piauko, tak usah dicari lagi." "Sudah kau temukan?" "Belum, sekarang aku baru teringat, sekali-pun kita berhasil menemukan tombol rahasianya juga percuma." "Mengapa?" "Apakah kau tidak melihat kalau di luar pintu gerbang tadi masih dipasang dengan sebuah gembokan besar?" "Perkataan itu memang benar, jika digembok dari luar, sekali-pun tombol rahasia ditemukan juga apa gunanya?"   Wi Tiong-hong berseru tertahan, lalu membungkam dalam seribu bahasa ... +++ Bab-25 PELAN-PELAN LOK KHI BERJALAN mendekat, lalu katanya dengan lembut.   "Tampaknya kita benar-benar akan mati kelaparan disini." "Tidak,"   Sela Wi Tiong bong bersungguh sungguh.   "pintu ini harus dijebol dan kita harus ke luar dari sini, aku tak ingin mati kelaparan di tempat ini." "Tentunya kau masih mempunyai urusan lain yang lebih penting bukan?"   Kata Lok Khi dengan mata melotot besar. Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya memandang langit-langit ruangan itu, ternyata semuanya terdiri dari besi berwarna keemas-emasan. Dia mengangguk dan gumamnya.   "Benar, lima belas tahun berselang ayahku telah tewas di tangan musuh besarnya, hingga kini dendam sakit hatiku belum terbalas, meski ibuku masih hidup tapi aku tak berhasil menemukan dia orang tua, bahkan hingga sekarang-pun aku masih belum mengetahui nama margaku yang sebenarnya."   Lok Khi menghela napas pelan, terpancar sinar kelembutan dari balik matanya, pelan- pelan dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Wi Tiong-hong, lalu katanya dengan gelisah.   "Lantas bagaimana baiknya? Aku tidak berhasil menemukan cara yang tepat untuk menjebol pintu dan meloloskan diri dari sini."   Kemudian sambil mengerdipkan matanya dia bertanya lagi.   "Ooooh ... engkoh Wi, entah seorang manusia bisa menahan lapar selama berapa hari sebelum mati?" "Mungkin dua tiga hari juga belum mati kelaparan, tapi waktu itu pasti badan kita sudah lemas dan tak bertenaga lagi."   Mendadak Lok Khi melepaskan topeng kulit manusia serta rambut palsunya, kemudian membuangnya ke atas tanah, setelah itu sambil menyandarkan tubuhnya ke atas tubuh Wi Tiong-hong, ia berkata sambil mendongakkan kepalanya.   "Engkoh Hong, seandainya dua tiga hari lagi kita masih belum bisa ke luar dari sini, makanlah tubuhku ini."   Meski-pun ucapan mana diutarakan dengan bersungguh-sungguh, namun penuh dengan nada cinta.   Wi Tiong-hong agak tertegun sesudah mendengar perkataan itu, sebenarnya dia hendak mendorong tubuh si nona yang bersandar perkataan itu.   Sebenarnya setelah menyaksikan wajahnya yang tersipu-sipu malu dan sepasang matanya yang melotot besar memandang ke arahnya, ia menjadi tak tega untuk mendorong tubuhnya tersebut.   Satu ingatan segera melintas di dalam benaknya, diam-diam ia berpikir.   "Nona ini masih polos dan sangat lincah, dalam benaknya masih belum terlintas pikiran jahat, seandainya aku dorong tubuhnya itu, mungkin saja tindakanku ini akan melukai perasaan hatinya."   Berpikir sampai di situ, terpaksa dia membentangkan tangannya dan balas memeluk tubuh si nona yang menyandar di tubuhnya itu, katanya sambil tersenyum.   "Aaaah, kau ini ada-ada saja, masa ada manusia makan daging manusia didunia ini."   Kembali Lok Khi mendongakkan kepalanya dan tertawa.   "Daripada kita berdua sama- sama mati kelaparan, kan lebih baik tubuhku untuk isi perutmu, mungkin dua tiga hari lagi penjahat gundul tersebut akan datang lagi untuk menengok kita, nah pada saat itulah kau bisa menerjang ke luar dari sini."   Wi Tiong-hong dibuat terharu sekali oleh perkataan tersebut, tanpa terasa dia memeluk gadis itu lebih kencang lagi.   "Sudahlah, kau tak usah membicarakan soal semacam itu lagi,"   Bisiknya.   "Bagaimana-pun juga kita toh masih punya kesempatan untuk memikirkan akal lain." "Tapi semua akal sudah kita pikirkan ... ,"   Kata Lok Khi sedih.   Sewaktu berpaling, dia menyaksikan patung Buddha baja di atas meja altar seakan- akan sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.   Pada mulanya dia masih tidak menaruh perhatian khusus, apa lagi ruangan besar itu di bangun dalam dinding bukit, dan pintu gerbangnya tertutup rapat, seharusnya dalam keadaan demikian suasananya gelap gulita, tapi sekarang terang benderang bagaikan di siang hari saja, darimana datangnya cahaya tersebut? Ternyata di atas atap ruangan tersebut terdapat beberapa biji mutiara yang berserakan memancarkan cahaya tajam, di bawah sorot sinar mutiara inilah lambung bukit yang seharusnya gelap lagi lembab itu menjadi terang benderang dan sedikit-pun tidak mengerikan.   Diam-diam dia keheranan, kalau ruangan ini saja digunakan mutiara yang tak ternilai harganya sebagai bahan penerangan, itu berarti pemiliknya pasti kaya raya, namun mungkinkah kejadian seperti ini terjadi dalam kuil hwesio? Tanpa terasa gadis itu membereskan rambutnya yang kusut dan berbisik lirih.   "Engkoh Hong, tempat ini agak aneh tampaknya." "Apakah kau telah menemukan sesuatu?"   Tanya Wi Tiong-hong sambil mengendorkan pelukannya.   "Aku pikir, di hari-hari biasa Gho-tong penjahat gundul itu pasti jarang sekali masuk ke mari, coba kau lihat, cukup mutiara-mutiara yang berada di langit-langit ruangan, nilainya sudah luar biasa sekali, masa dalam kuil hwesio bisa terdapat kemewahan dan kemegahan seperti ini?"   Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya memandang langit-langit itu sekejap, kemudian mengangguk.   "Benar, ruangan ini dibangun sangat megah dan mewah, jauh berbeda dengan bangunan kuil lainnya, sepertinya ruangan ini baru belakangan dirubah namanya menjadi ruangan Cou-su-tong." "Itulah dia, andaikata sewaktu dibangun tempat ini sudah bernama ruangan Cou-su- tong, maka alat rahasia yang mengatur buka tutupnya pintu-pun seharusnya dipasang di luar, tapi buktinya tombol rahasia itu berada di dalam ruangan. Hal ini membuktikan kalau semula tempat ini didiami seseorang dan di hari-hari biasa melarang siapa-pun untuk masuk kemari, kemudian walau-pun sudah dirubah menjadi ruangan cousu-tian, namun pintu ruangannya masih tetap terkunci terus, itulah sebabnya Ghotong si keledai gundul bajingan itu-pun kurang jelas."   Wi Tiong-hong manggut-manggut.   "Ehmmm, masuk diakal juga perkataan ini, tapi tidak diketahui siapakah orang itu?" "Kuil Pau-in-si sudah berdiri sejak beberapa ratus tahun berselang, orang ini bisa membangun ruangan istana yang begini indah di lambung bukit belakang kuil, sudah barang tentu orang itu adalah orang yang paling berkuasa di dalam kuil ini, selain Hong-tiangnya, siapa pula orang itu?" "Oooh,"   Mendadak gadis itu seperti teringat akan sesuatu, kembali ujarnya.   "engkoh Hong, sering kali kudengar toako bilang, banyak kuil hwesio dalam dunia persilatan yang sepintas lalu tampaknya seperti biara kau m pendeta, padahal yang sesungguhnya mereka adalah perampok-perampok ganas." "Konon, sering kali mereka membangun ruang rahasia di dalam kuil lalu pergi ke luar untuk menculik kau m wanita dan anak gadis orang, kemudian memperkosa dalam ruangan rahasianya, malah kadangkala bila ada perempuan cantik yang bersembahyang dalam kuil sering pula lenyap tanpa sebab ... aku lihat kuil yang dibangun di tempat ini-pun bukan sebuah kuil baik-baik."   Seperti dimaklumi, gadis ini hanya setengah mengetahui urusan tentang muda-mudi, maka apa yang diucapkan-pun diutarakan tanpa rikuh atau ragu-ragu.   Bagaimana-pun juga Wi Tiong-hong lebih besar satu-dua tahun dibandingkan dengan gadis itu, berbicara secara blak-blakan tentu saja ia segan untuk menegur atau untuk menghalanginya.   Menanti dia sudah selesai berkata, pemuda itu baru menggelengkan kepalanya berulang kali sambil berkata.   "Tentu saja kuil semacam itu terdapat pula dalam dunia persilatan, tapi kuil Pau-in-si adalah kuil cabang dari Siau-lim-si, peraturan perguruan dari Siau-lim-si selamanya dilaksanakan dengan ketat, mustahil bisa terjadi peristiwa semacam ini." "Jadi menurut kau , dalam kuil Siau-lim-si tak ada orang jahatnya?"   Seru Lok Khi sambil mencibir.   "Bagaimana dengan Gho-tong si bajingan gundul itu? Apakah dia bukan orang jahat? Kalau orang baik, mengapa kita disekap disini?"   Wi Tiong-hong termenung dan berpikir sebentar, lalu katanya.   "Aku pikir, Gho-tong hwesio sebetulnya sudah bersekongkol dengan pihak Tok She-shia, membunuh lo Hong-tiang tak lebih cuma suatu intrik belaka." "Oalah, siapa yang perdulikan soal-soal seperti itu? Ehmmm, engkoh Hong, coba kau tebak siapa yang membangun kuil ini?" "Menurut pendapatmu siapa?" "Itu dia, Buddha baja tersebut.,"   Kata Lok Khi sambil menuding patung pemuja tersebut. Wi Tiong-hong berpaling dan memandang sekejap ke arah patung Buddha baja yang angker itu, kemudian katanya.   "It-teng taysu maksudmu? Dulu aku pernah mendengar pamanku bercerita, katanya It-teng taysu adalah pendeta yang saleh dari Siau-lim-si." "Konon, puluhan tahun berselang, ketua Siau-lim-pay yang lalu telah mewariskan segenap kepandaian silatnya kepada orang ini dan menitahkan kepadanya untuk melanjutkan jabatannya sebagai ketua Siau-lim-pay, namun dia menolak tawaran tersebut dan rela menyerahkan jabatan ciangbunjin itu kepada sutenya, dan kemudian dia-pun menjadi ketua di kuil sini." "Kemudian dia-pun membangun ruangan rahasia yang megah dan mewah dalam lambung bukit ini."   Sambung Lok Khi. "Darimana kau bisa tahu?" "Apa susahnya untuk mengetahui hal ini, bukankah semasa hidupnya ia tinggal disini? Kalau tidak, mengapa dia membuat sebuah patung baja di tempat ini?"   Wi Tiong-hong segera tertawa.   "It-teng taysu adalah seorang yang menjadi Buddha berikut daging dan tubuhnya, maka dari itu orang harus mengguyur tubuhnya dengan cairan baja sehingga tubuhnya tetap utuh selama beribu-ribu tahun." "Apa yang dimaksudkan dengan menjadi Buddha berikut daging tubuhnya?" "Dia adalah seorang pendeta yang saleh, setelah mati mayatnya tidak membusuk, keadaannya persis dia selagi bersemedi, maka murid muridnya-pun menempakan selapis baja yang disusupkan ke atas tubuh kasarnya."   Lok Khi menjadi keheranan sesudah mendengar perkataan itu, dia berseru tertahan. "Tak heran kalau patungnya persis seperti manusia hidup, engkoh Hong, mari kita tengok yang lebih jelas."   Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan berjalan menghampiri patung itu.   Menyaksikan tingkah laku gadis tersebut, agaknya Wi Tiong-hong-pun dibuat lupa oleh peristiwa yang menimpa dirinya, dia seperti lupa kalau dirinya sudah tersekap dalam ruangan rahasia.   Meski-pun tidak tertarik, dia-pun tak tega menampik permintaan gadis itu, terpaksa dia mengikuti di belakangnya.   Sifat kekanak-kanakan pada Lok Khi sama sekali belum hilang, ia merasa tertarik sekali oleh cerita It-teng taysu yang "menjadi Buddha bersama tubuh kasarnya", terdorong oleh rasa ingin tahunya.   tanpa terasa dia menowel patung itu lalu memperhatikannya dengan seksama.   Mendadak dia mengalihkan pandangan matanya, dia menemukan patung besi itu berwarna serba hitam, hanya tangan kanannya yang menggenggam sebuah tasbeh yang terdiri dari tujuh belas biji mutiara, besarnya seperti buah kelengkeng dan berwarna keperak-perakan.   +++ MENYAKSIKAN kesemuanya itu, tanpa terasa dia berteriak.   "Engkoh Hong, coba kau lihat, biji tasbeh itu semuanya masih putih dan bersih? Ah, semestinya tasbeh ini ada delapan belas biji, tapi disini hanya terdapat tujuh belas biji. Engkoh Hong, coba kau tebak, mengapa bisa kurang sebiji?" "Mungkin benda itu merupakan senjata rahasia andalan It-teng taysu dimasa lampau, karena salah satu diantaranya tak bisa ditemukan lagi setelah dipakai umuk menyerang, maka biji tasbeh itu tinggal tujuh belas biji." "Ya betul, aku-pun berpendapat demikian."   Ternyata biji tasbeh itu masih bisa digerakkan, begitu ditarik, sebiji tasbeh tersebut terjatuh ke telapak tangan patung besi itu dan ...   "Pluk"   Seakan akan sebiji batu terjatuh dari perut patung dan terjatuh di atas teratainya. "Engkoh Hong, mungkin disinilah terletak tombol rahasia yang mengendalikan pintu gerbang tersebut."   Seru Lok Khi amat terkejut. Buru-buru ia berpaling, namun pintu tersebut masih tetap tertutup rapat, sama sekali tidak bergerak. "Masa bukan?"   Di mulut Lok Khi bergumam demikian, sementara tangannya kembali menarik pelan.   "Pluuk ...   "   Kembali terdengar biji tasbeh yang terjatuh ke dalam perut patung besi itu.   Semakin di dengar Lok Khi merasa semakin keheranan, tanpa terasa satu demi satu dia menarik terus tali biji tasbeh tersebut, sementara biji tasbeh berwarna putih keemas- emasan itu-pun satu demi satu terjatuh ke bawah ...   Secara beruntun dia menarik tujuh belas kali dan tujuh belas biji tasbeh terjatuh ke bawah dengan menerbitkan suara nyaring.   Menanti dia menarik untuk ke delapan belas kalinya, suara "pluk"   Dalam perut Buddha itu sudah tak kedengaran lagi, namun kedua belah pintu gerbang tersebut masih tertutup rapat.   Dia mencoba untuk menarik beberapa kali lagi, tapi tidak terdengar suara lain, tanpa terasa ujarnya dengan kecewa.   "Adikku, tak usah ditarik lagi,"   Kata Wi Tiong-hong kemudian.   "apa yang kau ucapkan benar, sekali-pun kita berhasil menemukan tombol rahasianya, bila pintu ini digembok dari luar, toh tak akan bisa terbuka juga pintunya."   Dengan marah dan mendongkol, Lok Khi menarik lagi berapa kali sebelum dilepaskan. Sementara itu tangan yang lain telah meraba sebuah tongkat baja sebesar telur itik yang berada di sisi patung itu, sambil dipegang dia berkata lembut.   "Engkoh Hong, mungkin toya ini adalah senjata tajam yang dipakai It-teng taysu dimasa lampau, coba kau lihat toya tersebut, wouw ... sungguh besar sekali, dari sini dapat diketahui kalau tenaganya paling tidak di atas ratusan kati?"   Tangannya yang telah meraba toya tersebut segera mencobanya untuk mengangkat, siapa tahu toya mana seperti berakar saja, ternyata sama sekali tak berkutik.   Pada dasarnya Lok Khi adalah seorang gadis yang beradat keras, apalagi berada dihadapan "engkoh Hong"   Nya, kalau cuma sebatang toya, saja tak sanggup diangkat, kejadian ini benar-benar memalukan sekali. Dengan wajah merah karena jengah, dia berseru dengan gemas.   "Kalau aku tak mampu mengangkatnya, baru aneh namanya."   Sebenarnya Wi Tiong-hong ingin mencegah perbuatannya itu, tapi gadis itu sudah keburu menarik napas panjang-panjang dan mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam pergelangan tangan kanan, lalu terdengar ia membentak keras.   "Naik."   Seluruh tenaganya dikerahkan untuk mengangkat toya tersebut.   Betul juga, kali ini toya tersebut memang berhasil terangkat olehnya, tapi baru terangkat satu depa lebih, dari bawah tanah seolah-olah muncul suatu daya hisap yang besar sekali, menyusul kemudian ...   "Blaamm,"   Terdengar suara benturan nyaring.   Suara ledakan mana ternyata sempat menggetarkan seluruh ruangan tersebut, sehingga goncang amat dahsyat, bahkan secara lamat-lamat disertai pula dengan suara gemuruh.   Suara gemuruh itu amat dahsyat sekali.   Lok Khi menjadi sangat terperanjat.   Kendati-pun begitu, dia masih belum puas bila toya mana hanya terangkat satu depa belaka lalu tidak mampu di angkat lebih jauh, sambil tertawa dingin dia siap mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya kembali.   Siapa tahu, di tengah suara gemuruh yang amat keras itulah, tiba-tiba patung baja dari It-teng taysu itu pelan-pelan bergeser ke samping kiri ...   Lok Khi sama sekali tak menyangka kalau patung besi itu bakal membalikkan tubuhnya, dia amat terkejut sambil berseru tertahan, cepat-cepat gadis itu mundur ke belakang dan menubruk ke dalam pelukan Wi Tiong-hong.   Wi Tiong-hong sendiri-pun amat terperanjat buru-buru dia memeluk tubuh Lok Khi yang menerjang tiba, lalu setelah mundur beberapa jangkah serunya kaget.   "Ke ... kenapa kau?"   Berada dalam pelukan anak muda itu, Lok Khi berkata kemalu-maluan.   "Ooooh .. hampir mati aku saking kagetnya."   Kali ini Wi Tiong-hong telah memeluk tubuhnya kencang-kencang, dia merasa sepasang payudara gadis itu amat empuk, hangat dan lembut, dua hati di balik dada- pun berdenyut sangat cepat.   Pemuda itu merasa agak terpesona, begitu pula dengan si nona, maka kedua orang itu-pun, saling berpelukan dengan mesra dan hangatnya siapa-pun enggan memisahkan diri.   Lambat laun, suara gemuruh hampir lirih dan akhirnya sama sekali terhenti.   Sambil berpelukan, kedua orang itu berpaling ke samping, ternyata patung besi itu sudah bergeser kesebelah kiri, sedang dinding batu tepat dihadapannya terbuka sebuah pintu berbentuk bulat, melongok ke dalam tampak di situ-pun merupakan sebuah ruangan istana yang gemerlapan.   Pelan-pelan Lok Khi melepaskan diri dari pelukan Wi Tiong-hong, kemudian dengan cepat merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah bulatan bola berwarna perak.   "Cri ing."   Sekilas cahaya perak memancar bulat tersebut tahu-tahu sudah menjadi lurus, seperti sebilah golok panjang.   "Engkoh Hong, mari kita masuk,"   Katanya. Sekarang dia sudah tidak canggung lagi memanggil pemuda itu sebagai "engkoh Hong"   Bahkan tidak malu lagi.   Sebaliknya Wi Tiong-hong juga telah terbiasa dengan panggilan itu, dia tidak aneh pula.   Begitu mendengar seruan tersebut, dia-pun turut berjalan masuk ke dalam liang rahasia itu.   Ternyata tempat itu merupakan sebuah lorong rahasia, kedua belah dindingnya licin seperti cermin, setiap jarak satu kaki, terlihat sebutir mutiara sebesar buah kelengkeng memancarkan sinar lembut.   Lorong tersebut tidak terlalu panjang, dua orang berjalan bersama-pun cukup.   Belum berapa jauh, sebuah ruangan istana telah muncul di depan mata, dari balik ruangan itu terpancar ke luar cahaya terang yang amat menyilaukan mata.   Tempat itu merupakan sebuah ruangan batu bergaya istana, luasnya beberapa kaki dan mirip sekali dengan sebuah ruangan tamu, namun dekorasi mau-pun perabotnya sangat megah dan indah, tak kalah dengan kemewahan rumah seorang raja muda.   Suasana di situ amat sepi dan tak kedengaran sedikit suara-pun.   Wi Tiong-hong mau-pun Lok Khi belum pernah menyaksikan dekorasi yang begini indah dan mewah, untuk sesaat mereka berdiri tertegun.   Ketika menengok ke sisi kiri dan kanan ruangan tamu, masing masing terdapat sebuah pintu berbentuk bulat, ternyata batu kepala putih dipakai sebagai pintunya.   Di atas pintu terukir banyak sekali gambar Buddha, ukirannya hidup dan sangat indah.   Dengan perasaan terkejut bercampur curiga Wi Tiong-hong segera berseru.   "Aneh, sebenarnya siapakah yang berdiam disini?"   Lok Khi menyimpan kembali golok tipisnya lalu sambil tertawa berkata.   "Tentu saja tempat tinggal kau m hweeslo. Hhmm ... aku rasa Gho-tong bajingan gundul itu pasti belum pernah masuk ke mari. Kalau tidak, mungkin sedari dulu dia sudah berdiam di tempat ini."   Wi Tiong-hong manggut-manggut, setelah termenung sebentar dia berkata lagi.   "Aku rasa dia pasti mengetahui sedikit tentang tempat ini, ah, betul, lo Hong-tiang juga pasti tahu. Kalau tidak, Gho-tong hwesio tak akan bersekongkol dengan orang luar untuk mencelakai kakak seperguruannya." "Tak usah berpikir yang bukan-bukan, mari kita periksa ruangan lebih dalam, entah apa yang bisa kutemukan dalam kedua ruangan lainnya?"   Dia lantas berjalan lebih dulu menuju ke pintu gua sebelah kiri, mendorong pintu kemala putih itu dan masuk.   Ruangan batu itu tidak begitu besar, tampaknya sebagai tempat tidur, namun dekorasi mau-pun perabotnya sangat indah, mewah dan megah, di tengah-tengah ruangan diletakkan sebuah pembaringan berukir yang sangat mempersonakan.   Di sisi kiri pembaringan dekat dinding terdapat pula sebuah lemari kayu, lemari itu di kunci dengan kunci emas kecil, tapi tidak berada dalam keadaan tergembok.   Dengan rasa ingin tahu Lok Khi melepaskan gembokan itu dan membuka almari tersebut.   Begitu di buka, ke dua orang muda mudi itu segera berdiri tertegun.   Ternyata almari tersebut terdiri dari empat lapis, setiap lapis tersimpan dua puluh macam lebih intan permata serta mutu manikam yang tak ternilai harganya.   Pokoknya setiap benda berharga yang ada di situ, hampir semua bernilai sangat tinggi.   Lok Khi yang menyaksikan kesemuanya itu, dengan kejut bercampur girang segera berseru.   "Engkoh Hong, entah darimana It-teng taysu berhasil mendapatkan mutiara dan intan permata yang tak ternilai harganya itu?" "Mungkin dia mempunyai suatu kegemaran menyimpan benda-benda berharga ..." "Mempunyai kegemaran menyimpan benda-benda berharga? "   Lok Khi tertawa cekikikan.   "enak benar kalau bicara, sudah pasti benda-benda itu berasal dari sumber yang tak jelas."   Sementara dia berbicara, matanya telah memandang ke atas sebuah kotak kecil dalam almari tersebut, dalam kotak tadi terdapat sepasang mainan terbuat dari batu kemala hijau.   Sepasang mainan tersebut bukan cuma berwarna hijau aneh dan bercahaya tajam, lagi-pula yang satu berukirkan naga yang lain berukirkan burung hong, namun ke dua- duanya tertera empat huruf yang berbunyi.   "Ing liong ho beng."   Mendadak Lok Khi mengambil benda itu sambil berkata.   "Setelah kita sampai disini, sudah sepantasnya kalau pulang tidak dengan tangan hampa, mari kita ambil sebuah sebagai tanda mata."   Dia mengambil satu dan memberikan yang lain kepada Wi Tiong-hong. Sebenarnya Wi Tiong-hong hendak mengatakan.   "Kalau toh kau menyukainya, ambil dan simpanlah untukmu."   Tapi setelah berpaling, ia baru menemukan wajah Lok Khi merah padam dan kepalanya tertunduk rendah-rendah, nampak sekali kalau dia merasa amat jengah.   Dengan cepat pemuda itu menyadari akan sesuatu, kontan paras mukanya turut pula berubah menjadi merah padam.   Sementara itu Lok Khi sudah membalikkan badan berjalan ke luar, sembari beranjak, dia berkata.   "Disini sudah tak ada apa-apa lagi, mari kita periksa isi kamar diseberang sana."   Wi Tiong-hong menundukkan kepalanya dan memandang mainan itu sekejap, kemudian disimpan dalam sakunya, setelah itu mengikuti Lok Khi mengundurkan diri dari ruangan batu dan menuju ke gua sebelah kanan.   Ruangan batu disana-pun sama besarnya dengan ruangan disebelah kiri, tampaknya tempat ini digunakan sebagai kamar baca.   Dalam rak buku banyak terdapat kitab-kitab Buddha di meja tersedia alat-alat tulis, sedangkan di tengahnya nampak sebuah kotak gepeng dari kayu merah.   Lok Khi memandang sekitar sana lalu menghampiri meja tulis, dibukanya kotak kayu itu sambil berseru.   "Engkoh Hong, cepat kau lihat."   Wi Tiong-hong tak tahu apa yang telah ditemukan gadis tersebut, dengan cepat dia memburu ke sana.   Ternyata isi kotak itu adalah kertas surat yang penuh dengan tulisan, hanya kertasnya sudah berwarna kuning, mungkin sudah dimakan jaman.   "Mungkin inilah tulisan tangan dari It-teng taysu?"   Bisik Lok Khi kemudian.   Wi Tiong-hong mengangguk, mereka berdua bersama-sama membaca isi surat tersebut yang isinya antara lain berkata begini.   "Sejak kecil aku sudah menjadi pendeta di kuil Siau-lim-si.   Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Karena amat disayang oleh guruku, selama dua puluh tahun aku melatih diri terus dengan tekun dan tak pernah meninggalkan barang selangkah-pun." "Oleh karena aku adalah murid pertama dari angkatan "it"   Dalam Siau-lim-si, maka akulah yang berhak mendapatkan warisan kedudukan ciangbunjin perguruan." "Tapi menurut peraturan aku harus turun gunung dan mencari pengalaman selama tiga tahun sebelum kembali ke kuil."   Ketika berbicara sampai disini, Lok Khi lantas berkata.   "Kalau dilihat dari tulisan tersebut, tampaknya dia memang It-teng taysu yang kau duga?"   Wi Tiong-hong tak menjawab, dia hanya manggut-manggut dan membaca isi surat itu lebih jauh.   "Setelah turun gunung, tampaknya dia belum tahu akan kelicikan dan bahayanya dunia persilatan.   Karena salah dalam pergaulan akhirnya dia terpancing untuk menggabungkan diri dengan suatu organisasi rahasia, yakni perkumpulan Ban Kiam- hwee."   Membaca sampai di situ, Wi Tiong-hong ganti berseru tertahan, serunya keheranan.   "Ban-Kiam-hwee? Ternyata pada waktu itu-pun sudah terdapat perkumpulan Ban Kiam-hwee?" "Aku dengar dari suhu, konon Ban Kiam-hwee sudah berdiri sejak seratus tahun berselang, katanya kiam cu mereka yang lampau memiliki ilmu silat yang sangat lihay, terutama sekali dalam ilmu pedang.   Tiada tandingannya di kolong langit waktu itu."   Sambil berbicara, kedua orang itu membaca isi surat itu lebih jauh.   "Sampai pada akhirnya, It-teng taysu baru tahu kalau orang-orang Ban Kiam-hwee sudah lama mengincarnya, mendekatinya, memancing dan akhirnya menjebak, tujuan mereka adalah agar pengaruh Siau-lim-si turun temurun bisa berada di tangan mereka.   Di samping mengincar pula ilmu pedang Tat m o hui kiam yang hanya diwariskan kepada murid pertama calon ketua partai Siau-lim.   Ketua Ban kiam bwee memang pandai dalam ilmu pedang, dia sudah mengumpulkan hampir segenap ilmu pedang dari pelbagai perguruan, Tat mo hui kiam dari Siau-lim-si yang diciptakan oleh Tat mo cousu merupakan kepandaian paling top diantara tujuh puluh dua macam ilmu silat Siau-lim-pay, tak heran kalau dia selalu mengincarnya.   Dalam gertakan, ancaman dan pancingan lawan, akhirnya dia persembahkan ilmu pedang Siau-lim-pay itu dan memperoleh kedudukan salah seorang dari delapan pelindung hukum perkumpulan Ban Kiam-hwee.   Tapi sejak dia terjerumus ke dalam perkumpulan Ban Kiam-hwee, hatinya mulai menyesal, selain itu dia-pun kuatir bila jabatan ketua Siau-lim-pay sampai terjatuh ketangannya, hal ini justeru akan membahayakan perguruannya, maka diputuskan dia enggan menjadi ketua Siau-lim dan rela menjadi ketua dari kuil Pau-in-si ini.   Sedang mestika yang tersimpan di ruangan ini, tak lain adalah benda berharga yang dikumpulkan selama puluhan tahun.   Dan secara beruntun ketua dari Kun-lun-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay dan Hoa-san-pay kena dikalahkan oleh seorang jago pedang berkerudung.   Siapa orang itu? Dia adalah Kiamcu atau ketua dari perkumpulan Ban Kiam-hwee.   Kendati-pun demikian, tak seorang manusia-pun yang pernah berjumpa dengan raut wajah ketua Ban Kiam-hwee yang sebenarnya, termasuk juga kedelapan orang pelindungnya.   Membaca sampai disini, tanpa terasa Lok Khi berpaling seraya berkata.   "Engkoh Hong, menurut dugaanmu, siapa saja yang dia maksudkan sebagai kedelapan orang pelindung tersebut?" "Entahlah,"   Wi Tiong-hong menggeleng. Lok Khi tertawa ringan.   "Aku pikir kedelapan orang itu sudah pasti adalah manusia-manusia ternama pada waktu itu,"   Katanya.   "kalau tidak, dengan mengandalkan ilmu silat Ban-Kiam-hwee cu, mana mungkin mereka diundang sebagai delapan pelindungnya?"   Wi Tiong-hong segera manggut-manggut.   "Ucapan adik memang benar, aku pikir, kemungkinan besar kedelapan orang itu adalah jago-jago lihay dari pelbagai perguruan besar." "Itulah dia, aku-pun berpendapat demikian,"   Kata si nona seraya berpaling ke samping.   Pada dasarnya kedua orang itu memang berdiri sangat dekat, begitu si nona berbicara sambil berpaling, maka terenduslah bahu harum semerbak yang sangat aneh dari mulut gadis itu.   Wi Tiong-hong jadi tercengang, buru-buru dia menundukkan kepalanya rendah- rendah.   Selang berapa saat kemudian, mereka-pun membaca isi surat itu lebih lanjut.   "Ban Kiam-hwee cu dengan mengandalkan ilmu pedangnya malang melintang dalam dunia persilatan tanpa tandingan, entah dari mana memperoleh kabar, konon di perguruan Lamhay terdapat sebutir mutiara mestika yang dinamakan Ing-kiam-cu (mutiara pemancing pedang), benda tersebut merupakan satu-satunya benda yang sanggup menghadapi dirinya." "Mutiara Ing-kiam-cu?"   Tanyanya.   "engkoh Hong, apa sih yang dimaksudkan dengan Ing-kiam-cu tersebut?" "Sudah, jangan menukas dulu, asal kau baca isi surat itu lebih jauh, segala sesuatunya akan bakal diketahui."   Ing-kiam-cu dihasilkan di pulau Tong ya-to di lautan Selatan, batu gunung dari bulan itu memiliki daya magnet yang kuat, konon batu magnit tercebur ke laut dan ditelan tiram raksasa, di mana akhirnya batu itu berubah menjadi mutiara yang dapat dipakai untuk menahan senjata tajam.   "Waah, masa ada kejadian seperti ini?"   Gumam Lok Khi kemudian.   "ehm, jika aku berhasil mendapatkan Ing-kiam-cu tersebut, mutiara itu pasti akan aku bikin menjadi cincin yang dikenakan di atas jari, dengan begitu pelbagai macam senjata rahasia tak bakal bisa melukai aku, bukankah hal mana bagus sekali."   Sementara berbicara dia lantas mengulurkan tangannya sambil menggoyang- goyangkannya di depan.   Tiba-tiba sorot matanya membentur dengan cincin berwarna hitam di atas jari manis pemuda itu, lalu tanyanya dengan keheranan.   "Engkoh Hong, cincin apa sih yang kau kenakan itu?" "Oooh, cincin ini disebut Ji-gi-huan, dipakai untuk menghadapi senjata rahasia."   Berbicara sampai disini, mendadak dia teringat kembali dengan pesan wanti-wanti paman tak dikenalnya.   Waktu itu pamannya berpesan agar ke dua batang cincin Ji-gi-huan tersebut jangan digunakan bilamana keadaan tidak mendesak, selain itu hanya cincin di tangan kanannya saja yang boleh digunakan, sedang cincin yang berada di tangan kirinya tak boleh dilepaskan setelah dikenakan olehnya.   Terdengar Lok Khi berseru dengan gembira.   "Ah, benar, cincin dipakai untuk menangkis senjata rahasia, suatu cara yang unik tapi jitu, bila ada waktu aku-pun akan membuat beberapa batang untuk dikenakan. Ah, betul, engkoh Hong, aku teringat sekarang kau adalah murid Thian Goan-cu dari Bu-tong-pay, dari suhuku aku pernah mendengar konon Thian Goan-cu berasal dari Siu-lo-bun, apakah ia pernah mengajarkan ilmu silat aliran Siu-lo-bun kepadamu?"   Wi Tiong-hong belum pernah bersua dengan Thian Goan-cu, untuk itu menjadi terbungkam dan tak sanggup menjawab barang sepatah kata-pun jua.   +++ Bab 26 SETELAH hening untuk berapa saat lamanya, Wi Tiong-hong mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya.   "Mari kita cepat lihat, bagaimana dengan It-teng taysu selanjutnya ...?"   Lok Khi tidak berani berbicara lagi, selesai membaca halaman pertama, mereka membaca halaman kedua ...   Selama ini perguruan Lam-hay bun termashur karena ilmu silatnya yang sangat aneh, anggota perguruan mereka-pun jarang sekali melakukan perjalanan di dunia persilatan, sebab itu kebanyakan jago persilatan hanya pernah mendengar nama tak pernah berkunjung ke Lam-hay.   Setelah Ban Kiam-hwee mengetahui kalau Ing-kiam-cu merupakan satu-satunya benda yang bisa menandinginya, sudah barang tentu tak akan melepaskan mestika tersebut dengan begitu saja.   Tak lama kemudian dia memilih ratusan orang jago pedang dan membawa kedelapan orang-orang pelindungnya berangkat ke Lam-hay.   Dalam pertarungan tersebut, kedua belah pihak sama-sama jatuh korban, segenap jago yang dibawa Ban Kiam-hwee cu telah punah tak berbekas, cuma ada tiga orang yang pulang dengan membawa luka.   Ban Kiam-hwee cu sendiri-pun terkena pukulan Thian hui ciang lawan, tak lama kemudian dia mati karena lukanya.   Yang betul-betul beruntung bisa pulang dengan selamat hanya aku, Tau Pek-li dan Ciang Lam-san bertiga, tapi aku-pun menjadi cacad karena kaki kiriku terluka parah dalam pertarungan mana ...   Membaca sampai di situ tanpa terasa Lok Khi mendongakkan kepalanya seraya berkata.   "Engkoh Hong, bukankah Tau Pek-li adalah Thi Pit-teng kan kun (Pena baja yang memenangkan jagad) pendiri dari perkumpulan Thi-pit-pang? Dia adalah ayah angkat Ting Ci-kang, ternyata orang itu adalah pelindung hukum dari Ban Kiam- hwee ... lantas siapa pula yang disebut Ciang Lam-san tersebut?"   Anak muda tersebut tidak berbicara, dia membaca lebih jauh.   "Setelah terjadinya peristiwa itu, ia lantas bertobat dan memahami semua kesalahan yang pernah dilakukannya dahulu. Setelah pikiran kemaruk hilang, pikiran menjadi terang dan gua batu itu-pun segera ditutup. Ia sengaja meninggalkan surat yang bertuliskan pengalamannya karena dia berharap generasi yang akan datang bisa turut mengetahui. Kendati-pun bisa mengumpulkan banyak harta kekayaan, toh sewaktu, pulang ke alam baka tak bisa membawa apa-apa. Inilah contoh yang paling baik bagi anggota perguruannya yang kemaruk akan harta. Di bawah surat tertulis tanda tugasnya.   "Ditulis oleh: It-teng."   Sambil menutup kembali kotak surat itu. Lok Khi berpaling seraya berkata.   "Dalam dunia persilatan, It-teng taysu mempunyai reputasi yang cukup baik, semua orang mengatakan dia adalah pendeta agung dari Siau-lim-si, tapi tiada seorang-pun yang tahu bahwa sesungguhnya dia adalah anggota perkumpulan Ban Kiam-hwee, dan anehnya mengapa dia harus menulis pengalamannya itu agar semua orang mengetahui rahasianya itu?"   Wi Tiong-hong berpikir sejenak, kemudian menjawab.   "Mungkin sebelum dia menulis riwayat hidupnya, pendeta itu merasa malu pada diri sendiri dan amat menyesal, siapa tahu dia beranggapan jika riwayat hidupnya tidak ditulis, hal mana kurang menunjukkan rasa sesalnya?" "Oooh engkoh Hong, kalau begitu tak salah lagi."   Tiba-tiba Lok Khi berseru.   "Sudah pasti Hong-tiang tua mengetahui rahasia di tempat ini. Sedang Gho-tong si bajingan gundul itu merebut kedudukkan Hong-tiang, karena dia-pun sedang mengincar harta kekayaan tersebut." "Benar,"   Sahut Wi Tiong-hong dengan kening berkerut.   "Gho-tong si keledai gundul itu sudah bersekongkol dengan pihak selat pasir beracun, sudah pasti Hong-tiang tua terbunuh olehnya." "Coba lihat tampangmu itu."   Lok Khi tertawa ringan.   "mereka sama-sama saudara seperguruan saling bunuh membunuhi apa sih urusannya dengan kau? Mengapa kau turut marah-marah?"   Kemudian dengan kening berkerut dia berbisik lagi.   "Engkoh Hong, mungkin saat ini hari sudah malam, perutku lapar sekali, kau merasa lapar tidak?"   Kalau gadis itu tidak menyinggung Wi Tiong-hong masih melupakan soal itu, tapi begitu disinggung kembali, betul juga, dia merasakan perutnya lapar sekali.   Tanpa terasa ia memandang sekejap ke arah si nona, lalu katanya dengan nada minta maaf: "Lebih baik kita ke luar dari sini lebih dahulu, baru kemudian mencari akal."   Pelan-pelan Lok Khi menjatuhkan diri ke dalam pelukan pemuda itu, kemudian sambil mendongakkan kepalanya dia berkata dengan manja.   "Engkoh Hong, sejak kecil sampai besar, baru aku ketahui bahwa menahan lapar adalah suatu peristiwa yang paling menyiksa badan, aku pikir, bila kita harus menahan lapar sampai besok. Sudah pasti esok lebih menderita daripada hari ini. Daripada kita berdua sama-sama sengsara, lebih baik bunuhlah aku dengan pedangmu, kemudian makanlah dagingku. Kita berdua akan selalu bersatu untuk selamanya, aku tak akan membencimu ..." "Haaaahh ... haaahh ... haaahh ...   "   Tiba-tiba Wi Tiong-hong mendorong tubuh Lok Khi dan tertawa terbahak-bahak.   "aku benar-benar berotak bebal dan lamban untuk berpikir ..."   Lok Khi tidak menduga sampai kesitu, ia kena didorong sampai mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, serunya dengan wajah tertegun.   "Engkoh Hong, kau tidak menyukai diriku?"   Sewaktu mendorong si nona tadi, Wi Tiong-hong sama sekali tak berperasaan apa-apa, dia baru sadar akan kesilafannya itu, tanpa terasa merah padam selembar pipinya, buru-buru dia berseru.   "Maaf adikku, aku kelewat gembira sehingga hampir saja membuatmu terjerambab." "Engkoh Hong, persoalan apakah yang membuatmu kelewat gembira?"   Tegur Lok Khi dengan mata terbelalak lebar-lebar. Kembali Wi Tiong-hong tertawa terbahak-bahak.   "Haahh, haah ... haah ... bila kau tidak menyinggung soal pedang, hampir saja aku melupakan pedang mestika milikku ini." "Cri ing."   Ia segera mencabut ke luar pedang berkaratnya yang sama sekali tak sedap dipandang itu, kemudian ditusukkan di atas tanah.   Betul juga, permukaan tanah yang terdiri dari batu gunung keras dan kuat itu segera tertusuk tembus tanpa meninggalkan sedikit suara-pun.   "Sudah kau lihat,"   Kata Wi Tiong-hong sambil menengok ke arah si nona.   "meski pedangku ini nampaknya berkarat dan tumpul, sesungguhnya tajam sekali, bayangkan sendiri walau-pun pintu batu itu amat tebal, apakah pintu itu sanggup menahan pedang mestikaku ini?"   Wajah Lok Khi segera berseru.   "Betul, aku-pun hampir melupakan hal ini, tempo hari kau-pun pernah menggunakan pedang ini untuk mematahkan pisau terbang Hwee-hong-to milik gu ... guu ..."   Tanpa sengaja gadis itu telah salah berbicara dengan mengucapkan kata "Gu"   Sebetulnya ia hendak bilang "pisau terbang Hwee-hong-to milik guruku", tapi untung saja ia segera sadar akan kesilafannya dan cepat-cepat memperbaiki kesalahan tersebut.   Ternyata Lok Khi adalah murid Thian Sat-nio, namun hingga kini si nona masih tak ingin Wi Tiong-hong mengetahui riwayatnya.   Padahal saat itu Wi Tiong-hong sedang bergembira, bagaimana mungkin ia bisa memperhatikan nada pembicaraan orang? Sambil meloloskan pedangnya, pemuda itu lantas berseru.   "Mari kita segera ke luar, adikku."   Mereka berdua segera meninggalkan ruang belakang, baru saja berjalan ke luar dari lorong, mendadak terdengar suara gemerincing nyaring patung besi dari It-teng taysu itu secara otomatis telah bergerak kembali dan bergeser ke posisi yang semula.   Tampaknya alat rahasia tersebut benar-benar amat hebat pembuatannya, asal orang yang masuk ke lorong rahasia sudah mengundurkan diri dari tempat itu, secara otomatis patung besi mana bergeser kembali ke tempatnya semula.   Wi Tiong-hong dengan pedang terhunus langsung menerjang ke pintu gerbang ruangan.   Buru-buru Lok Khi mengambil kembali rambut palsu dan topeng kulit manusia miliknya dari tanah, kemudian serunya.   "Engkoh Hong, tunggu dulu, aku akan mengenakan ini lebih dulu baru kita sama-sama mendobrak pintu."   Sambil berkata dengan cepat dia mengenakan kembali topeng kulit manusia serta rambut palsunya, kemudian langsung berjalan menghampiri Wi Tiong-hong.   Tapi pada saat itulah dari luar pintu gerbang secara lamat-lamat kedengaran suara gemerincing nyaring, tampaknya ada orang sedang membuka pintu tersebut.   "Engkoh Hong, tunggu sebentar,"   Buru-buru Lok Khi berseru.   "tampaknya ada orang membuka pintu?"   Suara tersebut tentu saja didengar juga oleh Wi Tiong-hong, pelan-pelan dia mundur ke belakang lalu mengangguk.   "Benar, suara tersebut memang suara orang melepaskan gembokan di muka pintu." "Aku rasa Gho-tong si keledai bangsat itu tak mungkin datang menghantar makanan buat kita bukan?"   Kata Lok Khi lagi sambil berpaling dan tertawa. "Blaaammm ...   "   Tiba-tiba pintu terbuka lebar, seorang lelaki berbaju biru telah berdiri tegak di depan pintu. Terdengar orang itu mendengus dingin, kemudian berkata.   "Kukira disini telah dipasangi alat rahasia yang amat lihay, tak tahunya cuma dua belah pintu batu yang berat saja ..."   Mendadak sorot matanya membentur wajah Wi Tiong-hong, ia nampak seperti tertegun kemudian dengan suara dingin serunya lagi.   "Jadi kau belum mampus?"   Dalam pada itu, Wi Tiong-hong juga sudah melihat jelas wajah pendatang itu, ternyata dia tak lain adalah pemuda berbaju biru yang pernah dijumpai di luar kota Seng-siau tempo hari, dan mengaku sebagai Lan-san-gin-san (kipas perak baju biru) tersebut.   Kontan rasa mendongkolnya muncul kembali, setelah mendengus dingin, serunya: "Hmmm, jarum beracun dari keluarga Lan."   Sebetulnya dia hendak bilang begini: "Jarum beracun dari keluarga Lan masih belum mampu berbuat apa-apa terhadap diriku, nyatanya aku toh tetap sehat walafiat?"   Tapi baru saja berbicara sampai di setengah jalan, mendadak ia menyaksikan pula seseorang berdiri tak jauh di belakang pemuda berbaju biru itu.   Orang itu tak lain adalah si nona berbaju hijau yang menghantar obat penawar racun baginya itu.   Tanpa terasa ia menjadi tertegun, andaikata tiada obat penawar pemberian gadis tersebut, niscaya dia sudah mati keracunan.   Itulah sebabnya kata-kata selanjutnya rikuh dilanjutkan.   Setelah terhenti sesaat, dia-pun berkata lagi.   "Aku tak sampai tewas oleh perbuatan kejimu itu apakah kau merasa di luar dugaan?" "Tempo hari kau tak sampai mampus, bila hari ini kutambahi dengan sebuah tusukan jarum lagi, bukankah urusan akan beres?"   Tiba-tiba Lok Khi menyelinap ke depan sambil bertanya.   Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Jadi kau yang telah mencelakai engkoh Hong dengan jarum beracun keluarga Lan tempo hari?"   Agak tertegun juga pemuda berbaju biru itu tatkala dihadapannya mendadak muncul seorang gadis yang bertampang sangat jelek. Segera tegurnya keheranan.   "Siapa kau?" "Hmmm, jangan perduli siapakah aku? Aku adalah adik misannya."   Tiba-tiba pemuda berbaju biru itu mendongakkan kepalanya lalu tertawa terbahak- bahak. "Hei, apa yang kau tertawakan? "    Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini