Pedang Karat Pena Beraksara 14
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID Bagian 14
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya dari Tjan I D Gadis berbaju hitam itu tersenyum. "Toako bilang sam moy sudah mempunyai kekasih hati, aku agak tidak percaya, tak tahunya apa yang dia katakan memang merupakan kenyataan, kalau begitu cici harus mengucapkan selamat kepadamu." Merah jengah selembar wajah Lok Khi, agak tersipu-sipu katanya. "Aah, ji suci jahat, kau hanya suka menggoda aku saja ... !! "Apa sih yang kau malukan lagi?" Tukas gadis berbaju hitam itu sambil tertawa rendah. "Bukan cuma cici saja yang merasa gembira, bahkan suhu dia orang tua-pun ikut bergembira bagimu, Toa-suko memuji wataknya yang baik, ternyata apa yang dia katakan memang benar." Lok Khi cepat-cepat menutupi telinga sendiri sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "Ji-suci, harap kau jangan membicarakan tentang soal seperti itu, aku tak mau mendengarkan, aku tak mau mendengarkan lagi." Padahal secara diam-diam ia merasa girangnya bukan main. Sambil tertawa ringan kembali gadis berbaju hitam itu berkata. "Hubungan kita sebagai sesama saudara seperguruan lebih akrab daripada saudara kandung sendiri, apa gunanya kau merahasiakan persoalan itu di hadapanku? Baik, kalau tak mau dibicarakan yaaa sudahlah." "Ji suci, secara tiba-tiba saja kau menampakkan diri di sini, sebenarnya ada urusan apa?," Tanya Lok Khi kemudian sambil mengangkat kepala. "Tentu saja ada urusan, ketika suhu mendengar Lou-bun-si tersebut berhasil dirampas oleh orang-orang Ban Kiam-hwee, dia lantas mendamprat toa suko habis-habisan, kata suhu sekali-pun kita sudah lepas tangan, tapi takkan rela kalau benda itu terjatuh ke tangan pihak Ban Kiam-hwee oleh sebab itu dia menitahkan kepadamu untuk merampasnya kembali." Sekujur badan Lok Khi bergetar keras karena terkejut, serunya agak tertahan. "Beliau menyuruh siaumoay merebutnya kembali?" "Benar." Gadis berbaju hitam itu tertawa hambar. "dewasa ini hanya kau seorang yang sanggup merampasnya kembali." Lok Khi segera ternganga dengan penuh keheranan, dia seperti tak tahu apa yang mesti dilakukan. Sambil tertawa gadis berbaju hitam itu berkata lagi. "Sam-sumoay, kau-pun nampaknya tolol amat bukankah dalam sakunya terdapat lencana Siu Lo Cin-leng?" "Jadi maksud suhu ... " Lok Khi agak ragu-ragu. Dengan suara lembut gadis berbaju hitam itu berkata. "Jangan takut, suhu telah menitahkan kepada Toa suko dan kepadaku untuk melindungi kalian secara diam- diam, entah benda itu berhasil diminta kembali atau tidak. Semuanya tak menjadi soal, yang penting adalah kau harus berkunjung ke situ." "Mengapa harus begini?" Gadis berbaju hitam itu segera tersenyum. "Tentang soal ini, kau akan mengetahui dengan sendirinya di kemudian hari ... " Berbicara sampai di situ, sambil tertawa cekikikan dia melanjutkan. "Nah, cukup sudah, sekarang aku hendak pergi dulu, paling baik kalau besok pagi kalian segera berangkat. Oya. Suhu juga bilang, tentang urusanmu, dia orang tua merasa setuju sekali ..." Belum selesai berkata, gadis itu sudah melompat ke luar lewat jendela, dan bagaikan segulung asap, tahu-tahu ia sudah berlalu dari situ dan lenyap dari pandangan mata. Keesokan harinya, sementara Wi Tiong-hong masih tertidur nyenyak. Ketukan pintu yang sangat ramai telah membangunkannya dari tidur. Dengan cepat dia melompat bangun dan siap menegur, tapi sebelum ia sempat membuka suara, Lok Khi sudah berteriak dari luar pintu. "Engkoh Hong, cepat bangun." *** Bab 29 WI TIONG HONG segera melompat turun dari pembaringannya. "Adikku, apakah telah terjadi sesuatu?," Serunya. "Tidak, tidak ada sesuatu yang terjadi, kita harus segera melanjutkan perjalanan sekarang." "Kita hendak ke mana?," Tanya Wi Tiong tertegun. "Bukit Kiam-bun san." Wi Tiong-hong semakin keheranan lagi, kembali dia bertanya. "Ada urusan apa pergi ke Kiam-bun san?" "Kalau kau tak mau pergi yaa sudahlah, biar aku pergi kesitu seorang diri ... ," Seru Lok Khi tak sabar. Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan siap berlalu dari situ. Buru-buru Wi Tiong-hong berseri "Adikku, apakah kau masih marah kepadaku? Kalau kau menyuruh aku pergi, tentu saja aku akan pergi bersamamu, masa cuma bertanya saja tidak boleh?" Lok Khi mencibirkan bibirnya yang tebal hingga nampak dua baris giginya yang putih bersih, kemudian ujarnya sambil tertawa. "Aku masih mengira kau hendak pergi mencari si nona yang datang dari Lam-hay itu, sehingga tidak bersedia melanjutkan perjalanan bersamaku." Merah jengah selembar wajah Wi Tiong-hong, buru-buru serunya lagi dengan serius. "Adikku, kita sedang membicarakan soal penting, mengapa kau selalu melantur ke soal yang tak karuan? Cepat beritahu kepadaku, ada urusan apa kau hendak pergi ke Kiam-bun-san?" "Mencari orang-orang dari Ban Kiam-hwee." "Mengapa harus begitu," Tanya Wi Tiong-hong lagi dengan nada amat terperanjat. "Ting Ci-kang telah menggabungkan diri dengan pihak Ban Kiam-hwee, tahukah kau akan hal ini?" "Tidak," Pemuda itu menggeleng. Lok Khi segera mendengus. "Hmm, kau dan Ting Ci-kang bersama-sama dibekuk oleh orang-orang Ban Kiam-hwee, kemudian toakolah yang telah menanggungmu ke luar, sedangkan kau menggunakan lencana Lo Cin-leng meminta kepada pihak Ban Kiam- hwee untuk membebaskan Ting Ci-kang bukankah begitu?" Ketika Wi Tiong-hong mendengar gadis itu berkata. "Toako telah menanggungmu ke luar," Tanpa terasa hatinya menjadi amat terperanjat segera teriaknya tertahan. "Jadi Kam heng adalah toakomu? Mengapa tidak kau beritahukan kepadaku sejak dulu?" Lok Khi tertawa. "Mengapa pada saat ini-pun belum terlambat, mengapa mesti bingung. Dia adalah toa-sukoku, eh mm, pertanyaanku tadi belum kau jawab, ayo jawab dulu ..." Ketika Wi Tiong-hong mendengar kalau gadis itu adalah anak murid Thian Sat-nio, dalam hati kecilnya segera timbul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata- kata. Kam Liu-cu telah melepaskan budi kepadanya, Lok Khi juga pernah menyelamatkan jiwanya, kalau dibilang semestinya Thian Sat-nio adalah seorang gembong iblis yang membunuh orang itu bersikap sangat baik kepadanya. Pemuda itu hanya melamunkan persoalan yang memenuhi benaknya saja, sambil melamun dia-pun manggut-manggut. Terdengar Lok Khi berkata lebih jauh. "Padahal sewaktu Ting Ci-kang mengadakan pembicaraan dengan Chin Tay-seng, congkoan pita hitam dari Ban Kiam-hwee tempo hari, dia sudah menggabungkan diri dengan pihak Ban Kiam-hwee, kemudian kau menanggungnya ke luar dengan mempergunakan lencana Siulo Cin-keng, tindakanmu itu justru telah terjebak oleh siasat mereka." "Hal ini tak mungkin terjadi.," Seru Wi Tiong liong tertegun. "Hmmm, hal ini hanya tidak diketahui olehmu saja, padahal segala sesuatunya sudah mereka atur dengan serapinya, setelah Ting Ci-kang dibebaskan waktu itu, bukankah kalian bersantap di rumah makan Hwee pia loo? Aku dan toako berada tak jauh dari kalian berdua." "Mengapa aku tidak menyaksikan kalian?" Tanya Wi Tiong-hong dengan perasaan keheranan. Lok Khi tidak menjawab pertanyaan itu, melainkan melanjutkan kembali kata-katanya: "Kemudian bukankah kau pergi dahulu untuk menyampaikan pesan dari Tok Hay-ji?" "Di kala Ting Ci-kang bangkit berdiri untuk membayar rekening, secara diam-diam dia telah menyampaikan kabar berita ke luar. Orang yang menyaru sebagai seorang saudagar itu. Sesungguhnya adalah penyaruan dari orang-orang Ban Kiam-hwee." "Kabar apa sih yang dia sampaikan kepada pihak Ban Kiam-hwee?" Tanya Wi Tiong- hong lagi keheranan. "Yakni pesan dari Tok Hay-ji yang telah di sampaikan kepadamu itu, dari beberapa patah kata tersebut, terutama pada kalimat yang terakhir justru menyangkut tentang jejak Lou-bun-si tersebut, oleh karena itu di kala Ting Ci-kang merampas Lou-bun-si tersebut dari tanganmu, kesemuanya ini adalah atas perintah dari Ban Kiam-hwee ..." "Apa mungkin untuk memintanya kembali?" "Bukankah kau mempunyai lencana Siulo Cin-keng? Sekali-pun Ban Kiam-hwee sangat lihay, aku rasa mereka-pun tidak akan berani membangkang perintah dari lencana milik Siu lo cinkun tersebut ..." Wi Tiong-hong tak mengetahui sampai di manakah daya pengaruh lencana Siulo Cin- keng tersebut terhadap umat persilatan? Tapi kalau dilihat dari sikap Thian Sat-nio yang segera mengundurkan diri setelah menyaksikan lencana tersebut tempo hari, kemudian sikap Kam Liu-cu yang menyuruhnya menggunakan lencana itu untuk minta orang dari Chin congkoan, bisa ditarik kesimpulan kalau lencana mana memang benar-benar memiliki kekuasaan yang luar biasa sekali. Namun pemuda itu menggelengkan kepalanya lagi seraya berkata. "Sudah kukatakan sejak dulu, Lou-bun-si hanyalah benda yang kutemukan tanpa sengaja, sekali-pun berhasil diminta kembali, sesungguhnya benda tersebut tak ada manfaatnya sama sekali terhadap diriku, sudahlah, biarkan saja benda itu diperoleh mereka." "Tidak bisa," Seru Lok Khi mendongkol. "Sekali-pun Lou-bun-si sama sekali tak berguna bagimu, kita harus memintanya juga, kalau dibilang hal ini hanya dikarenakan Ting Cikang yang kemaruk harta dan kemudian merampasnya dari tanganmu, maka anggap saja hal sebagai kesalahanmu sendiri di dalam pergaulan sehingga mengenali manusia semacam ini. Tapi orang yang merampas Lou-bun-si dari tanganmu itu jelas adalah orang-orang dari Ban Kiam-hwee, mereka sudah mempunyai rencana busuk untuk merampas benda itu, bahkan sudah jelas mengetahui kalau dalam sakumu terdapat Lencana Siulo Cin-keng, jelas tahu kalau kau adalah sahabat toakoku, mereka masih bersikap begitu keji terhadap dirimu, bukankah hal ini sama artinya dengan tidak memandang sebelah mata-pun terhadap kita? Sekali-pun kita tidak membutuhkan benda itu, namun sudah sewajarnya kalau benda itu kita tuntut kembali, paling tidak kita akan menghancur lumatkan benda tersebut di hadapan mereka, agar pihak Ban Kiam-hwee tidak memungut keuntungan tersebut dengan seenaknya." Wi Tiong-hong cukup memahami watak dari gadis tersebut dia termenung dan berpikir sebentar, kemudian serunya. "Tentang soal ini ..." "Tak usah ini itu lagi, orang lain telah merampas barangmu, sudah sewajarnya kalau kau-pun menuntutnya kembali, tapi kalau kau memang takut terhadap kelihayan orang-orang Ban Kiam-hwee, ya ... sudahlah ..." Dibakar hatinya oleh gadis tersebut, Wi-Tiong-hong segera merasakan semangatnya berkobar kembali, ia segera tertawa-tawa. "Haaa haaa haaa siapa sih yang takut dengan pihak Ban Kiam-hwee?" "Kalau tidak takut, itu mah lebih bagus lagi," Seru Lok Khi sambil tertawa geli. Kemudian sambil mendorong Wi Tiong-hong, serunya lagi. "Cepat bersihkan muka, kita berangkat sekarang juga." Wi Tiong-hong tak bisa menangkan gadis itu, maka setelah membersihkan muka dan bersarapan pagi, buru-buru mereka membayar rekening lalu berangkat. Ketika pelayan itu menyaksikan ke dua orang tamunya hendak ke luar pintu lagi, cepat menyusul dari belakang, kemudian katanya sambil tertawa paksa. "Wi-ya berdua, apakah kamar kalian akan dipergunakan lagi?" "Tidak usah, kami masih ada urusan penting yang harus segera diselesaikan," Sahut pemuda itu sambil tertawa. Mereka berdua berangkat meninggalkan rumah penginapan dan menelusuri jalan raya. Baru melewati dua buah jalan raya, mendadak dari arah belakang terdengar seseorang berseru memanggil. "Wi sauhiap ..." Dengan perasaan tertegun Wi Tiong-hong berpaling, tampak dua orang lelaki berbaju biru sedang memburu datang. Wi Tiong-hong tidak kenal dengan mereka berdua, akan tetapi melihat mereka berlarian mendekat dengan keringat bercucuran seakan-akan ada sesuatu urusan penting yang hendak disampaikan saja, dia lantas tahu kalau mereka ada urusan dengannya. Kejadian ini kontan saja membuat hatinya merasa keheranan, pelan-pelan ia bertanya, "Ada urusan apakah kalian berdua mencariku?" Dua orang lelaki berbaju biru itu bersama-sama membungkukkan badan memberi hormat, lalu katanya. "Hamba adalah anggota perguruan Thi-pit-pang, sewaktu berada diperusahaan An-wan piaukiok tempo hari pernah bersua dengan Wi sauhiap, telah pergi buru-buru kami menyusul ke mari, untung saja kami berhasil menyusul Wi sauhiap." "Engkoh Hong, kau kenal dengan mereka?" Tiba-tiba Lok Khi bertanya. Wi Tiong-hong menggelengkan kepalanya berulang kali, kepada kedua orang itu ia lantas bertanya. "Ada urusan apakah kalian mencari aku?" Lelaki yang berada di sebelah kiri itu segera menjawab. "Hamba mendapat perintah untuk mengundang Wi sauhiap." "Kalian mendapat perintah dari siapa?" "Dari Tam dan Ku huhoat, katanya ada urusan yang penting sekali hendak dibicarakan dengan Wi sauhiap." Mendengar perkataan itu Wi Tiong-hong kembali berpikir. "Aku tidak kenal dengan Tam huhoat dan Ku huhoat kalian." Lelaki yang berada di sebelah kanan buru-buru menerangkan. "Tam huhoat kami disebut orang persilatan sebagai Thipoan (pena baja) Tam Si-hoa, sedangkan Ku huhoat kami disebut orang To Ciok-siu (Mahluk bertanduk tunggal) Ku Tiang-sun, mereka selalu berada di dalam markas besar dan jarang sekali melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan." "Ada urusan apa mereka mencari aku?" Lelaki yang berada di sebelah kiri segera menjura dalam-dalam, sahutnya. "Hamba tak begitu tahu, tapi menurut Tam huhoat, urusan itu sangat penting sekali artinya, harap Wi sauhiap bersedia untuk berkunjung sebentar ke sana." "Sekali-pun amat penting, itukan urusan kalian sendiri, apa sangkut pautnya dengan kami?" Timbrung Lok Khi mendadak. "engkoh Hong, mari kita pergi saja." Lelaki yang berada di sebelah kiri itu menjadi gelisah sekali. "harap sudilah kiranya ..." Lok Khi segera mendengus dingin, tukasnya. "Hmmm, kalau teman semacam Ting Ci- kang mah ..." Sebenarnya ia hendak bilang. "Kalau teman semacam Ting Ci-kang mah tak bisa dianggap seorang teman lagi," Namun sebelum ia menyelesaikan kata-kata tersebut, mendadak gadis itu berhenti di tengah jalan. Dari mimik wajah ke dua orang lelaki berbaju biru itu, Wi Tiong-hong dapat merasakan kegelisahan orang, dia mengerti hal ini pasti disebabkan oleh sesuatu alasan, maka katanya kemudian. "Adikku, mungkin mereka benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, biar aku tanyai dahulu sampai jelas." Lalu sambil mengangkat kepala tanyanya. "Kini, ke dua orang huhoat kalian berada di mana?" "Ku huhoat masih berada di istana Sik-jia-tian, sedangkan Tam huhoat telah kemari, sekarang ia berada di rumah penginapan Ko cian menantikan kedatangan Wi sauhiap." "Adikku, bagaimana kalau kita kembali dan melihat-lihat dulu?" Ujar Wi Tiong-hong kemudian. Lok Khi segera mencibirkan bibirnya dengan cemberut. "Huuuuh, kau memang sukanya mencampuri urusan orang ..." Tapi setelah mengucapkan perkataan itu, mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya. Ia lantas berpikir. "Jangan-jangan urusan ini ada hubungannya dengan Lou-bun-si?" Berpikir sampai di situ dia lantas berbisik. "Engkoh Hong, mari kita berangkat." Mereka berdua segera berjalan mengikuti di belakang kedua orang lelaki berbaju biru itu kembali ke rumah penginapan Ko cian. Tatkala sang pelayan menyaksikan Wi Tiong-hong dan Lok Khi yang baru ke luar rumah muncul kembali di situ, tanpa terasa ia menyambut kedatangan mereka dengan senyum dikulum, serunya. "Wi ya, baru saja kalian ke luar rumah, sudah ada orang yang datang mencari, kini dia sedang menunggu di ruang belakang." "Aku sudah tahu," Wi Tiong-hong manggut-manggut. *** Bab 30 KEDUA ORANG LELAKI berbaju biru itu mengajak mereka berdua langsung menuju ke halaman belakang, mereka baru berhenti setelah tiba di depan pintu ruangan, ujarnya sambil menjura. "Tam huhoat sedang menanti di dalam sana, silahkan kalian berdua masuk " Kamar tersebut adalah kamar yang telah mereka gunakan selama beberapa hari ini, sambil mengangguk Wi Tiong-hong mengajak Lok Khi bersama-sama masuk keruang dalam. Di ruang tamu duduk seorang lelaki berbaju hijau yang bermuka bersih, sepasang alis matanya berkenyit agaknya ada suatu masalah besar yang sedang mengganjal hatinya. Ketika menyaksikan kedatangan kedua orang itu, dia segera bangkit berdiri dan menjura seraya berkata. "Aku rasa saudara tentunya Wi tayhiap bukan? Siaute Tam Si-hoa." Buru-buru Wi Tiong-hong balas memberi hormat. "Aku adalah Wi Tiong-hong, dan dia adalah adik misanku Lok Khi, entah ada urusan apa saudara Tam mengundang kami kesini?" Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si pena baja Tam Si-hoa kembali menjura kepada Lok Khi sambil berkata. "Oooh, kiranya Lok Lihiap, silahkan duduk silahkan duduk." Sementara berbicara, dia telah merapatkan pintu depan dari ruangan tersebut. Wi Tiong-hong melihat di luar pintu sana sudah ada dua orang lelaki berbaju biru melakukan penjagaan, maka menyaksikan Tam Si-hoa merapatkan pintu ruangan, dia lantas berpikir. "Tadi, kedua orang lelaki berbaju biru itu sudah bilang kalau ada urusan maha penting yang hendak dibicarakan, kini dia-pun bersikap begitu serius dan berhati-hati, seakan-akan kuatir kalau pembicaraan mereka disadap orang, entah masalah apa yang hendak ia bicarakan denganku?" Dengan penuh tanda tanya dia bersama Lok Khi segera mengambil tempat duduk. Pelan-pelan Tam Si-hoa membalikkan badannya, tiba-tiba dengan wajah yang amat menghormat dia menjura kepada Wi Tiong-hong dalam-dalam, lalu serunya lirih. "Hamba Tam Si-hoa menjumpai pangcu." "Pangcu?" Suatu sebutan yang amat aneh dan sama sekali di luar dugaan, Wi Tionghong tertegun. Begitu pula dengan Lok Khi, dia turut tertegun. Kedua orang itu hampir saja mencurigai telinga sendiri yang mungkin salah mendengar, tapi di hadapan mereka masih terlihat jelas Tam Si-hoa, pelindung hukum dari perkumpulan Thi-pit-pang sedang menjura bangkit berdiri. Dengan gugup Wi Tiong-hong berkelit ke samping, kemudian sambil mengawasi Tam Si-hoa, serunya dengan terperanjat. "Saudara Tam, mungkin kau telah salah melihat orang." Masih berada dalam posisi menjura, Tam Si-hoa berkata. "Mulai dari sekarang, Wi tayhiap adalan pangcu dari perkumpulan Thi-pit-pang kami." Benar-benar suatu peristiwa yang sangat aneh dan sama sekali di luar dugaan siapa saja. "Saudara Tam, kau tak boleh berbuat demikian," Seru Wi Tiong-hong cepat, "Sebenarnya ada urusan apakah yang hendak kau bicarakan denganku?" Pelan-pelan Tam Si-hoa meluruskan badannya, lalu menjawab dengan hormat sekali. "Pangcu kami yang lalu telah meninggalkan pesan terakhirnya yang menetapkan bahwa jabatan pangcu selanjutnya akan diwariskan kepada Wi tayhiap. Kini hamba datang kemari untuk melaksanakan perintah tersebut." Wi Tiong-hong semakin keheranan, berbagai kecurigaan segera berkecamuk dalam benaknya, dia tak tahu apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi? Lok Khi sendiri-pun sangat keheranan setelah termenung sebentar, dia-pun bertanya dingin. "Jadi Ting Ci-kang telah tewas?" Sekilas rasa sedih dan murung segera menghiasi wajah Tam Si-hoa, sahutnya lirih: "Perkataan lihiap memang benar, Ting pangcu telah terbunuh ..." "Kapan terbunuh nya?" Seru Wi Tiong-hong setelah tertegun beberapa saat lamanya. "Kemungkinan pada tiga hari berselang, hanya belum bisa dipastikan secara tepat." Wi Tiong-hong adalah seorang pemuda yang jujur dan polos, walau-pun persahabatannya dengan Ting Ci-kang dinodai oleh sebatang Lou-bun-si, namun bagaimana-pun jua persahabatan tersebut pernah berlangsung. Maka setelah mendengar tentang berita kematiannya, dia menjadi turut berduka, segera tanyanya. "Ting toako mati dibunuh siapa?" "Di atas kepala Ting pangcu tampak bekas pukulan beracun, mayatnya ditemukan di Sik-jin-tian, hamba dan Ku huhoat mendapat kabar dan menyusul ke sana, paling tidak Ting pangcu sudah kedapatan mati selama dua hari, siapakah pembunuhnya hingga kini masih belum diketahui." "Aaaah ... lagi-lagi di Sik-jin-tian, kalau ada peristiwa pasti terjadi di tempat itu, sesungguhnya hal ini karena suatu kebetulan saja? Ataukan ada orang yang sengaja mengatur begini?" Wi Tiong-hong hanya berpikir dalam hati kecilnya, sementara mulutnya membungkam dalam seribu bahasa. Kembali Tam Si-hoa berkata. "Sebelum menemui ajalnya, tampaknya Ting pangcu sudah merasa kalau dia bakal ketimpa musibah tersebut, dalam saku bajunya telah disimpan surat yang berisikan pesan terakhirnya." "Aaaaah, masa iya?" Dengan wajah sangat berduka Tam Si-hoa menundukkan kepalanya rendah-rendah, ujarnya. "Yang ditinggalkan adalah surat berdarah. Ia bilang, seandainya dia sampai tertimpa musibah, maka lencana pena baja harus diserahkan kepada Wi tayhiap." "Lencana pena baja yang harus aku simpan menurut keinginan Ting toako itu sesungguhnya benda macam apa?" "Lencana pena baja adalah barang pengenal dari ketua perkumpulan Thi-pit-pang, jadi sesungguhnya Ting pangcu berpesan agar Wi tayhiaplah yang menjabat kedudukan pangcu tersebut." "Tapi menurut surat berdarah yang ditinggalkan Ting toako, bukankah dia hanya menyuruh aku menyimpankan lencana pena baja tersebut? Dia toh tidak menyuruh aku menjadi ketua dari Thi-pit-pang." "Wi tayhiap hanya tahu satu tak tahu dua, bagi perkumpulan kami, barang siapa memegang lencana pena baja tersebut dialah pangcu kami, sekarang Ting pangcu meminta kepada Wi tayhiap." Tiba-tiba Lok Khi tertawa dingin, jengeknya sambil melengos. "Ting Ci-kang telah menotok jalan darah kematianmu, sayang usahanya itu gagal total, mana mungkin menjelang kematiannya ia masih teringat lagi denganmu? Huuh, siapa sih yang tertarik dengan kedudukannya sebagai seorang pangcu itu. Engkoh Hong, lebih baik kita pergi saja dari sini ..." Mendongkol juga hati Tam Si-hoa setelah mendengar ejekan dari Lok Khi tersebut, namun memandang di atas wajah Wi Tiong-hong ia merasa kurang baik untuk mendamprat gadis tersebut, maka sambil memandang anak muda itu katanya: "Sekarang Ku Huhoat masih menanti di ruang Sik-jin-tian, hamba sengaja datang kemari untuk menantikan tayhiap. Wi tayhiap, kendati-pun kau sama sekali tidak memandang sebelah mata-pun terhadap perkumpulan Thi-pit-pang, paling tidak kau harus memandang pada dalam persahabatanmu dengan Ting pangcu dulu. Ikutlah kami menuju ke Sik-jin-tian." Sebelum Wi Tiong-hong sempat menjawab, sambil mendengus Lok Khi telah menukas: "Kakak misanku sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Ting Ci- kang." Ucapan mana kontan saja membuat Tam Si-hoa jadi serba salah dibuatnya, untuk sesaat dia menjadi tertegun. Menurut pesan terakhir Ting pangcu, dia menunjuk adik angkatnya Wi Tiong-hong untuk meneruskan jabatan sebagai ketua Thi-pit-pang, akan tetapi kalau didengar dari nada pembicaraan Lok Khi, nampaknya antara Wi Tiong-hong dengan Ting pangcu telah terjadi suatu kesalah pahaman yang amat mendalam. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?" Setelah mendehem pelan, dia lantas berkata. "Mungkin Wi tayhiap telah menaruh salah paham terhadap Ting pangcu, tapi kini Ting pangcu telah terbunuh." "Salah paham? Hmm, kejadian ini sudah bukan disebut salah paham lagi ...," Dengus Lok Khi. "hampir saja selembar nyawa kakak misanku melayang di tangan Ting Ci-kang, hmm tahukah kau apa sebabnya Ting Ci-kang terbunuh?" "Apakah lihiap tahu?" Dengan mata terbelalak dan tubuh bergetar keras, Tam Si-hoa berseru. "Tentu saja aku tahu, beritahu kepadamu-pun tak menjadi soal, empat hari berselang tanpa disengaja kakak misanku telah mendapatkan Lou-bun-si, dengan riang gembira ia menceritakan kejadian tersebut kepada Ting Ci-kang, kejadiannya di rumah penginapan ini juga. Siapa tahu Ting Ci-kang kemaruk harta, mendadak ia turun tangan keji dan menotok jalan darah kematian di tubuh kakak misanku, kemudian tergesa- gesa ia melarikan diri lewat jendela. Mungkin akhirnya peristiwa tersebut ketahuan orang lain, maka dia-pun di bunuh orang di Sik-jin-tian." "Sudah lama sekali siaute mengikuti pangcu, siaute amat memahami watak Ting pangcu, ia adalah seorang yang setia kawan berjiwa besar, sampai mati-pun siaute tak akan percaya dengan perkataanmu itu." Lok Khi segera mendengus dingin. "Memangnya aku sengaja mengarang cerita bohong untuk menipumu? Terus terang kuberi tahukan kepadamu sewaktu kakak misanku menanggungnya ke luar dari tangan Ban Kiam-hwee, padahal dia sudah tertipu, sebab sejak semula dia sudah tergabung dengan pihak Ban Kiam-hwee." "Ting pangcu adalah seorang lelaki sejati, dia gagah dan perkasa tak nanti dia akan bertekuk lutut terhadap orang-orang Ban Kiam-hwee." "Huuh mau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri, toh bagaimana-pun juga diantara kita memang tak ada sangkutpautnya," Seru Lok Khi kemudian sambil mencibir. Walau-pun perkenalan Wi Tiong-hong dengan Ting Ci-kang belum berlangsung lama, namun Ting Ci-kang telah memberikan kesan yang mendalam sekali baginya, dia selalu merasa sahabatnya itu berjiwa besar, gagah, setia kawan dan bijaksana, maka ia merasa tercengang juga sewaktu sahabatnya itu tiba-tiba turun tangan keji kepadanya. Kini, setelah mendengar perdebatan dari ke dua orang ini. Tanpa terasa timbul kembali kecurigaan di dalam hatinya. Terbayang kembali di dalam benaknya sikap Ting toakonya semenjak dibebaskan dari sekapan orang-orang Ban Kiam-hwee, pada waktu itu juga dalam hati kecilnya telah muncul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Ia selalu merasa baik dalam tingkah laku mau-pun dalam sikap berbicara, Ting toakonya ini terdapat banyak sekali perbedaan kalau dibandingkan dengan sikapnya sewaktu mereka berkenalan untuk pertama kalinya. Waktu itu ia tidak terlalu memperhatikan akan gejala tersebut, tapi setelah dibayangkan kembali sekarang, ia merasa hal itu benar-benar mencurigakan sekali. Berpikir demikian, dia lantas berkata kepada Lok Khi. "Adikku, mari kita ke Sik-jin-tian." Mendengar nada suara pemuda itu amat tegas, tanpa terasa Lok Khi berpaling dan memandang sekejap ke arahnya. "Apakah kau hendak memeriksa luka beracun apakah yang diderita Ting Ci-kang, kemudian membalaskan dendam baginya?" "Aku telah teringat akan suatu hal yang sangat penting, sekarang juga aku hendak membuktikannya." "Kau teringat akan soal apa?" *** "SAMPAI detik ini aku hanya menduga-duga saja, sesampainya di sana segala sesuatunya baru akan menjadi jelas," Ucap Wi Tiong-hong. Lok Khi segera teringat pula dengan perintah gurunya yang menitahkan kepadanya untuk mendatangi Kiam-bun-san dan minta kembali Lou-bun-si yang berhasil dirampas orang-orang Ban Kiam-hwee itu. Tapi kini, Ting Ci-kang ditemukan tewas di tengah jalan, itu berarti pena Lou-bun-si telah dilarikan orang dan Kiam-bun-san tak perlu dikunjungi lagi. Sekarang engkoh Hongnya bersikeras hendak menuju ke Sik-jin-tian, siapa tahu dari situ dia akan berhasil mendapatkan berita tentang Lou-bun-si tersebut? Tatkala Tam Si-hoa mendengar Wi Tiong-hong tersedia untuk pergi kesana, dengan cepat ia perintahkan orang untuk menyiapkan kuda. Mereka bertiga segera berangkat meninggalkan rumah penginapan itu dan membedal kudanya menuju ke luar kota, kurang lebih setengah jam kemudian sampailah mereka di Sik-jin-tian. Kuil kecil yang di hari-hari masa sama sekali tak berpenghuni itu, kini sudah dipenuhi oleh puluhan orang lelaki berpakaian ringkas warna biru yang menggembol golok, sekilas pandangan segera diketahui kalau mereka adalah anggota Thi-pit-pang. Pada pinggang mereka semua melilit seutas ikat pinggang berwarna putih, tentu saja hal ini melambangkan duka cita mereka atas kematian ketuanya. Baru saja ketiga ekor kuda itu mendekati orang-orang itu menyingkir ke samping sambil membungkukkan badan memberi hormat, sikapnya menghormat sekali. Kuda berhenti di muka kuil, belum lagi Wi Tiong-hong turun dari kudanya, dari dalam kuil telah memburu ke luar seorang lelaki berperawakan tinggi besar. Lelaki itu langsung memburu ke depan kuda dan menjura sambil berkata pelan. "Hamba Ku Tiang-sun menjumpai pangcu." "Wi tayhiap, dia adalah Ku huhoat," Buru-buru Tam Si-hoa menerangkan. Buru-buru Wi Tiong-hong melompat turun dari kudanya sambil balas membalas memberi hormat. "Harap saudara Ku jangan banyak adat, siaute telah datang memenuhi undangan, bila ada persoalan mari kita bicarakan di dalam saja." Sementara berbicara, sepasang matanya mengawasi wajah orang itu lekat-lekat. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang tinggi besar, alis matanya tebal, matanya besar dan berwajah gagah, tidak malu kalau dijuluki orang sebagai Makhluk bertanduk tunggal. Menyusul kemudian Tam Si-hoa perkenalkan Lok Khi, Ku Tiang-sun-pun berbasa basi sebentar sebelum menghantar Wi Tiong-hong berdua memasuki ruang kuil. Sie-jin-tian sesungguhnya adalah sebuah kuil kecil dikaki bukit, saat itu di tengah ruangan membujur sebuah peti mati berwarna hitam, di depannya diatur sebuah meja altar dengan sesaji buah-buahan, bunga dan dupa. Ternyata kembali hubungan persahabatannya dengan Ting Ci-kang, setelah melihat peti mati itu, Wi Tiong-hong menjadi sedih, hingga titik air mata jatuh bercucuran. Ia segera maju ke depan layon dan memberi hormat beberapa kali dengan perasaan tulus. Lok Khi berdiri di belakangnya berlagak seakan-akan tidak melihat. Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun sekalian menanti hingga Wi Tiong-hong selesai membeli hormat baru serunya sembari menjura. "Silahkan pangcu beristirahat dulu, hamba masih ada urusan yang hendak dibicarakan." Sambil berkata, ia persilahkan pemuda itu menuju ke ruangan sebelah kiri.. Ternyata disini telah tersedia beberapa buah kursi dan sebuah meja kecil dengan beberapa cawan air teh. Ketika Wi Tiong-hong mendengar orang itu berulang kali menyebut dirinya sebagai "pangpcu", tanpa terasa keningnya segera berkerut, katanya sembari menjura. "Saudara Ku, harap kau jangan menggunakan istilah pangcu lagi untuk memanggilku, siaute tak berani menerimanya." Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-siu agak tertegun, lalu ujarnya. "Tapi ini atas permintaan terakhir dari Ting pangcu, kami semua-pun mendukung atas keputusan tersebut, harap pangcu jangan menampik lagi ..." Wi Tiong-hong tertawa. "Siaute belum lama terjun ke dalam dunia persilatan, pengalaman serta pengetahuanku masih sangat cetek. Bagaimana mungkin aku dapat memikul jabatan yang begini berat? Di samping itu, ada-pun kedatangan siaute kemari hanya ingin membuktikan beberapa persoalan yang mencurigakan hatiku, bila saudara Ku menyebutku lagi dengan panggilan itu, terpaksa siaute harus mohon diri." Tam Si-hoa diam-diam mengerling sekejap ke arah Makhluk bertanduk tunggal memberi tanda, lalu katanya. "Saudara Ku, harap kau ambil ke luar surat wasiat dari Ting pangcu dan perlihatkan kepada Wi tayhiap. Kemudian segala sesuatunya baru dirundingkan lagi." Selesai berkata ia lantas mempersilahkan kedua orang itu duduk di kursi dalam ruang sebelah kiri, kemudian mengambilkan dua cawan air teh dan diletakkan di depan kedua orang itu. Buru-buru Wi Tiong-hong bangkit sambil mengucapkan terima kasih, sementara itu Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun telah mengambil ke luar sebuah bungkusan kuning dari atas altar, lalu dengan wajah serius membawa bungkusan tersebut ke depan Wi Tiong-hong. Kemudian setelah membuka bungkusan kuning itu, dia mengeluarkan sebuah kotak kayu dan diserahkan kepada Tam Si-hoa. Dengan wajah serius pula Tam Si-hoa menerima kotak tadi dan membukanya, setelah itu dia baru mempersembahkannya ke hadapan Wi Tiong-hong, ujarnya dengan sikap hormat. "Wi tayhiap, inilah surat darah tulisan Ting-pangcu serta lencana pena baja yang diserahkan kepada tayhiap untuk menyimpannya, silahkan tayhiap periksa." Melihat kedua orang pelindung hukum itu satu berdiri di sebelah kiri yang lain berdiri di sebelah kanan dengan sikap yang serius dan menghormat, buru-buru pemuda itu berdiri dan siap menerima pemberian tersebut. Mendadak terdengar Lok Khi mendengus dingin, lalu berteriak keras. "Engkoh Hong, jangan kau terima, mereka sedang melakukan upacara penyerahan tanda pengenal pangcu kepadamu." Wi Tiong-hong menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, sambil mengangkat kepalanya dia segera berseru. "Saudara Tam, saudara Ku, jabatan pangcu dari perkumpulan kalian ini tak berani siaute terima." Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera berpaling ke arah Tam Si-hoa, lalu katanya. "Kami hanya melaksanakan pesan terakhir dari Ting pangcu, harap Wi Tayhiap jangan menampik lagi. Bila kau tak mau menerimanya terpaksa kami hanya bisa membubarkan perkumpulan ini." "Sekali-pun Wi tayhiap keberatan untuk memangku jabatan ini, tapi sebelum meninggal Ting pangcu telah menitipkan perkumpulan kami kepadamu, bagaimana- pun jua Wi tayhiap toh tak bisa membiarkan perkumpulan kami ..." Sebelum Tam Si-hoa menyelesaikan kata-katanya, dengan tegas Wi Tiong-hong telah menukas. "Dalam hal ini sulit rasanya bagi siaute untuk mengabulkan." Dengan agak sedih Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun berbisik. "Saudara Tam ..." Sambil memegang kotak kayu itu, Tam Si-hoa mendehem pelan, baru berkata. "Kalau toh Wi tayhiap bersikeras enggan menerimanya. Siaute mempunyai suatu cara yang lebih baik lagi untuk mengatasi persoalan ini, entah bagaimana menurut pendapat Wi tayhiap?" "Harap saudara Tam berbacara." Tam Si-hoa memandang sekejap rekannya si Makhluk bertanduk tunggal, katanya: "Yang ditolak oleh Wi tayhiap apakah jabatan dalam perkumpulan kami ini ...?" "Benar, siaute baru terjun ke dunia persilatan, aku tak berani memikul tanggung jawab sebagai seorang ketua, di samping itu siaute pribadi masih mempunyai banyak persoalan yang belum terselesaikan, harap kalian berdua sudi memaafkan." Tam Si-hoa langsung mengerti, setelah termenung sejenak, lalu ujarnya. "Barusan siaute dengar dari pembicaraan Lok lihiap yang mengatakan bahwa antara Wi tayhiap dengan Ting pangcu agaknya sudah terjadi kesalahan pahaman, kini Ting pangcu sudah tiada. Wi tayhiap sebagai enghiong, seorang bijaksana sejati tentunya tak akan mempersoalkan lagi tentang kesalahan paham itu bukan? Benarkah pendapat siaute ini?" Wi Tiong-hong segera manggut-manggut. "Ucapan saudara Tam memang benar, peristiwa itu memang sudah tidak siaute pikirkan." "Saudara Tam," Tiba-tiba Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun menimbrung dari samping. "Sebenarnya kesalahan paham apakah yang telah terjadi antara Ting pangcu dengan Wi tayhiap?" Tam Si-hoa mengerdipkan matanya berulang kali ke arah rekannya, kemudian berkata lebih lanjut. "Nah itulah dia, bagaimana-pun juga Ting pangcu dan Wi tayhiap adalah sahabat karib yang melebihi hubungan saudara, bagi umat persilatan kesetiaan kawan adalah hal yang nomor satu. Sekarang Ting pangcu telah menyerahkan lencana pena baja serta keutuhan perkumpulan Thi-pit-pang kepada Wi tayhiap, sekali-pun Wi tayhiap enggan menerima jabatan sebagai pangcu dari perkumpulan kami. Tetapi rasanya kalau cuma menyimpankan saja lencana baja tersebut bukan sesuatu yang memberatkan hati tayhiap bukan?" "Tentang soal ini ... " Tidak menunggu anak muda itu menyelesaikan perkataannya, Tam Si-hoa segera menyambung kembali kata-katanya sambil tertawa. "Oleh karena itu, menurut pendapat siaute lebih baik kita laksanakan seperti apa yang di tulis Ting pangcu dalam surat wasiatnya saja. Harap Wi tayhiap suka menerima lencana pena baja ini dan menyimpankan untuk sementara waktu. Anggaplah kau menyimpankan benda itu demi perkumpulan kami, entah bagai manakah menurut pendapat Wi tayhiap?" Mendengar sampai di situ, si Makhluk bertanduk tunggal-pun segera memahami maksud tujuan Tam Si-hoa, dia-pun tidak turut menimbrung di dalam pembicaraan tersebut. Wi Tiong-hong ragu-ragu sejenak, akhirnya dia-pun mengangguk. "Baik, siaute bersedia menyimpankan benda itu untuk sementara waktu." "Engkoh Hong," Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lok Khi segera menimbrung. "lencana pena baja adalah barang yang paling berharga dari perkumpulan mereka, benda itu merupakan benda pengenal dari pangcu mereka, bagaimana mungkin kau bisa menyimpan buat mereka?" "Aku tak lebih hanya menyimpankan bagi mereka untuk sementara waktu, menanti mereka sudah mengambil keputusan untuk memilih pangcu yang baru, maka kewajibanku untuk menyimpankan benda itu-pun akan berakhir." "Huuuh, kau memang sukanya mencampuri urusan orang lain," Omel Lok Khi sambil cemberut. Sementara itu Tam Si-hoa sedang mengangguk tiada hentinya sambil berkata. "Benar, benar, siaute memang bermaksud demikian." Berbicara sampai di situ, dia lantas melanjutkan. "Kalau toh Wi tayhiap telah mengabulkan harap kau menerima kembali benda tersebut." Sambil berkata, dia mengangsurkan kotak kayu tersebut ke tangan Wi Tiong-hong. Oleh karena persoalan sudah menjadi jelas, maka Wi Tiong-hong-pun menerima pemberian tersebut, katanya kemudian. "Saudara Tam, saudara Ku, silahkan duduk dan mari kita berbincang." Tam si-hoa berpaling ke arah Ku Tiang-sun kemudian tersenyum, mereka berdua segera duduk di tempat masing-masing. Wi Tiong-hong meletakan kotak kayu itu ke atas meja, terlihat olehnya benda yang berada dalam kotak itu adalah sebatang pena besi yang panjangnya delapan inci dan besarnya se ibu jari, pada ujung pena terukir empat huruf yang berbunyi. "THI-PIT-LENG-GI." Membaca tulisan itu, Wi Tiong-hong merasa keheranan, pikirnya. "Seharusnya tulisan yang dicantumkan di situ adalah Thi-pit-leng, mengapa di bawah tulisan tersebut harus ditambah pula dengan sebuah huruf Gi?" Sementara ia masih termenung Tam Si-hoa telah berkata sambil tertawa. "Pena baja ini sebenarnya merupakan senjata andalan dari lo pangcu perkumpulan kami, di masa lalu lo pangcu pernah memang ku jabatan seorang Leng-gi (camat) di kota Tong kwau itulah sebabnya senjata andalannya dinamakan Thi-pit-leng-gi, setelah lo pangcu wafat, perkumpulan kami-pun mempergunakan pena itu, sebagai tanda kekuasaan bagi pangcu dengan menyebutnya sebagai lencana pena baja." "Oooooh, kiranya begitu." Dia lantas mengambil pena baja itu sembari berkata lagi. "Untuk sementara waktu pena ini akan siaute simpan, semoga saja kalian bisa cepat- cepat memilih pangcu baru hingga pena ini-pun bisa secepatnya aku kembalikan kepada kalian." Berbicara sampai di situ, dia lantas menyimpan pena baja itu ke dalam sakunya. Terasa olehnya meski pena baja tersebut amat kecil akan tetapi bobotnya justru jauh lebih berat dari pada senjata lain yang seukuran dengan benda itu, malah boleh dibilang bobotnya satu kali lipat lebih berat. Melihat itu, kembali dia berpikir. "Sebagai senjata andalan dari Thi pit tin-kan kun (pena baja yang menenteramkan Jagad) Tau Pek-li, kemungkinan besar pena ini dibuat dari bahan baja asli, tak heran kalau bobotnya amat berat." Karena itu dia-pun tidak memperhatikannya lebih jauh. Di bawah pena baja tadi terlihat sebuah lipatan kain berwarna hijau, di atas kain itu tertera beberapa huruf yang ditulis dengan darah. Jelas sekali itu berasal dari robekan pakaian yang dikenakan Ting Ci-kang pada waktu itu, maka diambilnya lipatan kain tadi, kemudian dibaca isinya, terbaca olehnya tulisan tersebut berbunyi demikian. "Bila aku menemui celaka, serahkan lencana pena baja ini kepada adikku Wi Tiong-hong, tertanda Ci-kang." Agaknya tulisan itu dibuat dengan goresan jari tangan, hurufnya awut-awutan dan darah yang dibuat menulis-pun tebal tipisnya tak menentu. Namun kegagahannya masih terpancar dari balik tulisan sana, persis seperti watak yang sebenarnya dari Ting Ci-kang. Membaca beberapa huruf yang tertera di atas kain itu, tanpa terasa Wi Tiong-hong teringat kembali akan kegagahan dari Ting Ci-kang di masa lalu, bersama itu juga dia terbayang kembali senyum licik diperlihatkan Ting Ci-kang sewaktu hendak menotok jalan darah kematiannya pada malam itu. Tanpa terasa sambil mendongakkan kepala, dia berpikir. "Mungkinkah bukan dia?" Tam Si-hoa dan Ku Tiang-siu yang menyaksikan anak muda ini mendongakkan kepalanya sambil termangu-mangu setelah membaca tulisan berdarah itu, seperti lagi mengenangkan kembali sahabat karibnya itu untuk sesaat. Mereka-pun merasa tak baik untuk mengganggu. Lewat sesaat kemudian, mendadak Wi Tiong-hong berseru keras. "Saudara Tam, saudara Ku ..." "Wi tayhiap ada petunjuk apa?" Kedua orang itu berseru bersama. "Apakah kalian berdua mengenali tulisan berdarah yang tertulis di atas robekan kain ini adalah tulisan tangan dari Ting toako?" Tam Si-hoa agak tertegun, lalu sahutnya. "Tak bakal salah, siaute dapat mengenali gaya tulisan dari Ting pangcu dalam sekali pandangan saja." Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun turut manggut-manggut pula sambil menjawab. "Walau-pun tulisan dari Ting pangcu tak bisa dibilang baik, tapi gaya tulisannya memancarkan suatu sikap yang gagah dan mentereng, orang lain tak mungkin bisa menirukan gaya tulisannya itu." "Kalau memang tulisan darahnya benar, maka bagaimana dengan jenasahnya?" Tanya Wi Tiong-hong lagi. "apakah kalian berdua telah melihat jelas bahwa mayat itu adalah mayat dari Ting toako pribadi?" Mendapat pertanyaan tersebut, Tam Si-hoa mau-pun makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun sama-sama merasakan hatinya bergetar keras. Setelah termangu beberapa saat, Tam Si-hoa baru berkata. "Apakah Wi tayhiap mencurigai orang yang telah tewas ini bukan Ting pangcu yang sesungguhnya?" "Hal ini mustahil bisa terjadi," Sambung Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiangsun cepat. "perawakan mau-pun raut wajah Ting pangcu sangat kami kenali, bagaimana mungkin hal ini bisa mengelabuhi kami berdua?" Tam Si-hoa termenung sebentar, tiba-tiba dia berkata lagi. "Saudara Ku, persoalan ini memang agak mencurigakan?" "Saudara Tam, maksudmu wajah Ting pangcu yang telah membengkak itu ... " Ku Tiang-sun jelas amat terkejut. Tam Si-hoa manggut-manggut. "Raut wajah yang telah membengkak membuat orang sukar untuk membedakan asli tidaknya orang itu. bila Wi tayhiap tidak bertanya, tentu saja siaute tak akan berpikir sampai ke situ, tapi setelah mendengar pertanyaan dari Wi tayhiap, siaute baru merasa bahwa di balik semua peristiwa ini sesungguhnya terdapat hal-hal yang amat mencurigakan." "Luka Ting pangcu berada di kepala bagian belakang, namun tengkorak kepalanya masih utuh, dia mati karena keracunan, mukanya membengkak besar sekali, tapi kalau berbicara dari soal perawakan mau-pun bentuk wajahnya memang mirip sekali dengan wajah Ting pangcu yang sebenarnya. Jika dibilang dia bukan Ting pangcu, mengapa pula dia bisa memiliki perawakan mau-pun bentuk wajah yang serupa?" "Justru disinilah letak ketidak pahaman siaute ... " Sambung Tam Si-hoa cepat. Berbicara sampai di situ, mendadak ia berpaling ke arah Wi Tiong-hong, kemudian tanyanya. "Aku tahu, Wi tayhiap bisa bertanya demikian karena kau menaruh curiga terhadap kasus pembunuhan itu, bolehkah aku mengetahui pendapatmu?" "Sesungguhnya persahabatan siaute dengan Ting toko belum berlangsung lama, tapi kalau dipikirkan kembali dengan seksama, dalam waktu yang relatip singkat ini rasanya ..." Kembali pemuda itu membungkam. Dengan agak emosi Tam Si-hoa berseru. "Wi tayhiap. silahkan kau utarakan dengan sejelas-jelasnya ..." "Aku hanya mengemukakan kemungkinan-kemungkinan saja, bila siaute mengenang kembali kejadian di masa lalu, agaknya tanpa sengaja dia telah memperlihatkan beberapa tindakan yang mencurigakan sekali, seandainya aku tidak membaca surat berdarah yang ditinggalkan Ting toako barusan, tak mungkin siaute akan merasa curiga." "Sebenarnya persoalan apa yang menimbulkan kecurigaan Wi tayhiap ...? " Desak Ku Tiang-sun. "Siaute merasa seperti bertemu dengan dua orang Ting toako." Perkataan itu ibaratnya dua buah martil berat yang menghantam dada Tam Si-hoa dan Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun, tubuh mereka nampak bergetar keras, serunya hampir berbareng. "Benarkah telah terjadi peristiwa semacam ini?" Lok Khi-pun ikut berseru dengan mata ter-belalak. "Engkoh Hong, mengapa aku tak pernah mendengar kau berkata demikian?" Bab 31 "Dahulu, aku belum pernah berpikir sampai di sini, tapi setelah kudengar saudara Tam dan saudara Ku semuanya mengatakan kalau Ting toako adalah seorang enghiong seorang lelaki sejati yang berjiwa besar, maka aku lantas mengenang kembali kejadian di kala kami berkenalan, ia memang seorang yang gagah dan berjiwa besar. Tetapi kemudian aku merasa seakan-akan telah bertemu dengan orang lain, bila kubandingkan mereka satu sama lainnya, maka segera aku temukan beberapa persoalan yang mencurigakan." "Persoalan ini harus dibicarakan mulai dari pihak Ban Kiam-hwee membebaskan toako, sebagaimana diketahui sejak kecil aku dibesarkan oleh seorang paman, hingga kini riwayat hidupku masih merupakan tanda tanya besar, bahkan siapakah pamanku ini-pun tidak aku ketahui. Persoalan ini sudah diketahui Ting toako sejak kami berkenalan, sebab aku pernah menceritakan hal ini kepadanya. Tetapi setelah dia dibebaskan oleh pihak Ban Kiam-hwee ternyata ia bertanya lagi kepadaku, siapakah pamanku ini? Padahal dia tahu kalau Siu Lo Cin-leng adalah barang peninggalan pamanku, tapi dia bertanya pula kepadaku sekitar asal usulnya." Dari balik mata Tam Si-hoa, tanyanya tiba-tiba. "Masih ada yang lain, Wi tayhiap?" "Masih ada satu hal lagi, perkenalanku yang pertama dengan Ting toako terjadi di atas loteng rumah makan Hwepia lo waktu itu, mendadak ia berkata begini kepadaku. "Hwepia lo adalah rumah makan yang paling ternama di kota ini, sayur dan araknya baik, mari kita kemari saja." Padahal kami baru dua tiga hari berpisah, mustahil kalau dia lupa bahwa loteng Hwe pia lo adalah tempat kita berkenalan." "Aaah, tak salah lagi kalau begitu," Mahluk bertanduk tunggal segera berseru. "Apakah waktu itu Wi tayhiap tidak berpikir sampai kesitu?" Tanya Tam Si-hoa pula. "Tidak," Wi Tiong-hong menggeleng setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan: "Masih ada satu hal lagi, kedatanganku dan Ting toako di kuil Sik-jin-tian adalah dikarenakan Ting toako telah menyanggupi pihak Bu-tong-pay untuk menyelidiki sebab kematian orang-orang Ban-li piaukiok, di sekitar kuil Sik-jin-tian di mana sebatang pena baja milik Ting toako juga ditemukan di sana, ketika itu Ting toako telah menyanggupi paling cepat tiga bulan, paling lama setahun untuk mencari tahu perbuatan siapakah pembunuhan tersebut dan memberi pertanggungan jawabnya kepada pihak Bu-tong- pay." "Oleh karena itulah Ting toako datang ke kuil Sik-jin-tian guna melakukan penyelidikikan, jadi kedatangannya kesitu bukan untuk mencari Lou-bun-si. Tapi kemudian dia justru mendesak aku terus menerus untuk memberitahukan kepadanya, apa saja yang pernah dia katakan kepadaku. Hmmm, bayangkan saja, apa yang pernah dia katakan sendiri. Masa ditanyakan kepadaku? Bahkan kalau didengar dari nada pembicaraannya, tampaknya dia seperti menaruh perhatian yang besar sekali tentang Lou-bun-si tersebut." Tam Si-hoa manggut-manggut tiada hentinya lalu bertanya. "Masih ada yang lain?" "Beberapa persoalan yang siaute katakan sekarang, kalau dipikirkan kembali kini telah berubah menjadi hal-hal yang mencurigakan terutama sekali di saat aku temukan Lou-bun-si secara tidak sengaja pada malam itu, mendadak saja ia turun tangan keji kepadaku, bukan saja wajahnya memperlihatkan rasa bangga, bahkan senyuman licik yang menghiasi wajahnya tak mungkin bisa muncul di atas wajah seorang lelaki yang berjiwa gagah dan bijaksana." Mahluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera berpaling ke arah Tam Si-hoa sambil berkata. "Kalau begitu, pasti ada orang yang telah menyaru sebagai Ting pangcu." "Ketika siaute membaca surat berdarah ini, seolah-olah aku telah bertemu lagi dengan Ting toako, aku dapat merasakan dalam setiap patah kara tersebut semuanya mencerminkan sifat gagah diri Ting toako, bahkan sampai menjelang ajalnya dia masih tetap menganggap diriku sebagai adik angkatnya." Suaranya kedengaran agak sesenggukan lanjutnya lebih jauh. "Seandainya dia adalah orang yang merampas Lou-bun-si dari tanganku dan menotok jalan darah kematianku, sudah pasti ia sudah tidak mempunyai perasaan persaudaraan lagi denganku, mustahil dia akan menyebutku sebagai adik angkatnya, dia-pun tak mungkin akan menyerahkan lencana pena bajanya kepadaku, oleh sebab itu siaute lantas menduga kalau di antara seluruh kejadian tersebut sudah pasti telah muncul seorang gadungan." "Kalau begitu, Ting pangcu yang telah meninggal sekarang belum tentu adalah Ting pangcu yang asli?" Kata Tiang-sun. Tam Si-hoa termenung dan berpikir sebentar, kemudian katanya. "Kemungkinan juga yang mati ini bukan Ting pangcu, orang itu berhasil merampas Lou-bun-si dari tangan Wi tayhiap. Mungkin karena takut ada orang mencarinya, maka dia baru berlagak seakan-akan Ting pangcu telah mati terbunuh. Sementara ia sendiri memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri." "Tidak benar," Bantah Ku Tiang-sun. "Orang ini berwajah mirip dengan Ting pangcu, kemungkinan juga setelah berhasil merampas Lou-bun-si, dia kena dikejar orang dan terbunuh di tengah jalan. Tapi, di manakah Ting pangcu yang asli?" Lok Khi yang selama ini membungkam, tak tahan segera menimbrung. "Seandainya orang menyaru sebagai Ting Ci-kang, maka orang itu sudah pasti anak buah Ban Kiam- hwee, pada hakekatnya Ban kiam-hwee belum pernah melepaskan Ting Ci-kang dari kurungan mereka, atau mungkin juga ia sudah tewas di tangan orang-orang Ban kiam- hwee, lantaran mereka tak dapat menyerahkan orang yang diminta, terpaksa dikirimlah seseorang sebagai Ting Ci-kang gadungan. Meringkus lagi anak buahnya untuk membunuh Ting Ci-kang gadungan agar rahasianya tak pernah terbongkar." Melotot besar sepasang mata Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun setelah mendengar perkataan itu, ditatapnya wajah Tam Si-hoa dengan sinar mata tajam, kemudian katanya. "Saudara Tam, apa yang dikatakan Lok lihiap ini ada benarnya juga ..." "Bagian muka dari mayat Ting pangcu berada dalam keadaan membengkak, memang sulit rasanya untuk membedakan apakah dia yang asli atau yang gadungan ... ," Kata Tam Si-hoa. Berbicara sampai di situ, mendadak dia mengalihkan sinar matanya ke wajah Ku Tiang- sun, kemudian tanyanya lagi. "Saudara Ku, masih ingatkah kau di atas tubuh Ting pangcu terdapat ciri apa?" "Apakah saudara Tam ingin membuka peti dan memeriksa mayat?" Seru Ku Tiang-sun terkejut. "Yaaa, kecuali membuka peti dan memeriksa mayat, rasanya tiada cara yang lebih baik lagi buat kita, sekarang kita harus meyakinkan lebih dahulu orang ini sesungguhnya Ting pangcu asli atau bukan, kemudian baru menyusun rencana berikutnya." "Perkataan saudara Tam memang benar, siaute jadi teringat kembali dengan kasus pembunuhan tanpa kepala yang terjadi di desa kita tempo hari ..." Tam Si-hoa manggut manggut. "Siaute masih ingat, perbuatan itu adalah hasil karya dari orang-orang Huan-yang-pang, Ting pangcu harus turun tangan sendiri mengejar sampai di wilayah Kang sau sebelum berhasil membekuk orang itu. Bahkan bahunya pernah termakan sebatang paku cu-bu-ting dan melukai otot serta tulangnya, yaaa, di atas bahunya memang terdapat sebuah codet sebagai ciri khasnya ..." Berbicara sampai di situ, dia lantas membalikkan badan dan berjalan menghampiri peti mati itu. "Saudara Tam, tunggu sebentar," Tiba-tiba Ku Tiang-sun berseru. Kemudian dengan suatu gerakan cepat dia menyelinap ke depan pintu, kepada orang- orang yang berada di luar ruangan, bentaknya. "Entah siapa-pun, sebelum mendapat ijinku dilarang memasuki ruangan ini ... " Para anggota Thi-pit-pang yang berada di luar pintu bersama-sama mengiakan. Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera merapatkan kembali pintu ruangan. Wi Tiong-hong dan Lok Khi ikut beranjak dan mendekati peti mati tersebut. Tam Si-hoa tidak banyak berbicara lagi, dia berjalan ke depan peti mati, mengerahkan tenaga dalamnya pada lengan kanan kemudian mencengkeram penutup peti mati itu dan diangkatnya ke atas. "Kraaks," Penutup peti mati itu segera terbuka. Wi Tiong-hong menundukkan kepalanya. "orang yang berbaring tenang dalam peti mati itu bila bukan Ting Ci-kang lantas siapa?" Bukan saja bentuk tubuhnya serupa bahkan sangat dikenal olehnya, sekali-pun wajahnya sudah membengkak akibat terhajar pukulan beracun hingga warnanya berubah menjadi hijau kehitaman, namun raut wajahnya masih mencerminkan wajah Ting Ci-kang yang sebenarnya tak mungkin bisa salah. Tanpa terasa bisiknya pada Lok Khi. "Adikku, coba kau perhatikan ... benarkah dia pribadi?" Lho Khi berkerut kening, lalu menjawab pula lirih. "Sulit untuk dikatakan, dari toako aku pernah mendengar kalau dalam dunia persilatan terdapat semacam ilmu menyaru muka yang bisa merubah seorang persis seperti lainnya. Tak usah memakai obat khusus tapi dicuci-pun tak akan hilang." Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo