Pedang Karat Pena Beraksara 9
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID Bagian 9
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya dari Tjan I D Tiba tiba siucay berkata sambil mengangkat bahunya. "Heran, tak pernah kulihat kau menaruh perhatian seserius ini terhadap orang lain." Merah padam selembar wajah si adik karena jengah, bisiknya jengkel. "Toako, kau pandai sekali menggoda." "Sudahlah, kalau hendak pergi, pergilah cepat. Mungkin persoalannya akan lebih rumit lagi." Waktu itu si adik sudah bangkit berdiri. Mendadak dia berhenti lagi dan katanya seraya berpaling. "Sebenarnya kau masih sempat mendengar apa lagi ?" Siucay itu mengangkat cawannya dan mengeringkan isinya, kemudian sambil membersihkan bibir dia menyahut. "Biar kupikirkan dulu, nanti kita bicarakan lagi." Si adik segera mendepak-depakkan kakinya dengan mangkel, meski dimulut tidak mengatakan apa- apa, namun dalam hati dia mendamprat. "Huuuh, dasar setan arak..." Dia lantas membalikkan badan dan dengan kepala tertunduk meninggalkan loteng itu. oooOOooo Bab-19 DALAM PADA ITU, Wi Tiong hong telah berangkat ke kota sebelah selatan sepeninggal dari rumah makan Hwee-peng-lo, tampak pegunungan membenteng didepan mata, pepohonan amat rimbun dan pemandangan alamnya sangat indah. Berapa lie kemudian, tampaklah kuil Pau-in si berdiri angker didepan mata. Diantara pepohonan siong yang lebat, berdiri sebuah bangunan kuil yang melekat pada kaki bukit, memandang dari kejauhan bangunan tersebut kelihatan angker sekali. Wi Tiong hong segera mempercepat langkahnya melewati sebidang tanah kosong dan sampailah didepan kuil itu. Didepan pintu gerbang terpampang sebuah papan nama besar yang bertulis kan "PAU- IN SIAN-SI." Diam-diam dia lantas berpikir. "Tampaknya kuil Pau-in-si ini mempunyai pamor yang cukup besar, menurut toako, ketua kuil ini Gho-beng hoatsu berasal dari kuil Siau lim si, tapi, mengapa Tok Hay ji suruh aku menyampaikan pesannya kepada ketua kuil ini? sungguh janggal dan mencurigakan sekali peristiwa ini..." Sambil berpikir dia lantas berjalan masuk kedalam pintu kecil, melewati ruangan utara dan menaiki anak tangga batu, tampak asap dupa memenuhi seluruh ruangan utama. Sementara dia masih celingukan kesana kemari memperhatikan sekeliling tempat itu mendadak terdengar suara pujian kepada sang Buddha bergemu dari sisi tubuhnya. "Omitohud, sicu hendak memasang hio ataukah hendak membayar kaul ?" Karena mendengar ada suara orang yang menegur, Wi Tiong hnng segera berpaling, tampak olehnya seorang pendeta berusia pertengahan dengan sepasang tangan merangkap di depan dada pelan-pelan berjalan menghampirinya. Walaupun pendeta itu wajah penuh senyuman, namun kerdipan matanya memperlihatkan kelicikan orang itu. Buru-buru Wi Tiong-hong menjura sambil menjawab. "Bukan, bukan, aku datang untuk mencari ketua kuil kalian." Dengan sorot mata sengaja tak sengaja sinar mata pendeta setengah umur itu melirik sekejap pedang berkarat yang tersoren dipinggang Wi Tiong hong, kemudian sambil menarikkan balik senyuman, ia berkata dengan dingin. "Sicu, ada urusan apa kau datang mencari hongtiang kami?" Betul-betul seorang hwesio yang mata duitan, karena Wi Tiong hong hanya mengenakan jubah panjang berwarna hijau dengan menyoren sebilah pedang yang telah berkarat, maka paras mukanya segera berubah menjadi dingin dan hambar. Wi Tiong hong sama sekali tak ambil perduli terhadap sikap lawannya, ia tetap menjawab sambil tersenyum. "Aku mendapat pesan dari seseorang untuk berjumpa dengan hongtiang kalian." Sekali lagi mencorong sinar tajam dari balik mata pendeta setengah umur itu, buru- buru serunya. "Hongtiang kami jarang sekali bertemu dengan tamu, bila sicu ada persoalan katakan saja kepada pinceng, hal ini toh sama saja." Wi Tiong hong tidak menjawab, dia hanya menunjukkan keragu-raguannya. Kembali pendeta berusia pertengahan itu berkata. "Pinceng Giotong, Hongtiang kuil ini adalah suhengku, tentunya sicu sudah percaya bukan sekarang ? Mari, ikutilah pinceng menuju ke ruang tamu." Timbul kecurigaan didalam hati Wi Tiong hong, dia sama sekali tidak bergerak. hanya katanya sambil tertawa hambar. "Tentu saja aku percaya dengan Toa suhu, cuma aku mendapat titipan dari seseorang untuk disampalkan sendiri kepada Hongtiang,sebab itu bagaimanapun juga aku harus bertemu dahulu dengan Hongtiang sebelum dapat membicarakannya." Pendeta setengah umur itu kembali mengerdipkan matanya berulang kali, senyuman licik sekali lagi menghiasi wajahnya. "Sicu kalau kau bersikeras hendak berjumpa Hongtiang, tolong beritahukan lebih dulu kau telah mendapat titipan dari siapa, agar pinceng bisa memberi laporan ke dalam." Mendengar perkataan itu, diam-diam Wi Tiong-hong berpikir. "Perkataan ini ada benarnya juga, untuk memberi laporan memang sehurusnya kuberitahukan lebih dulu titipan tersebut berasal dari siapa." Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, mendadak tampak sesosok bayangan manusia berkelebat masuk dari ruang belakang, kemudian muncul ah seorang hwesio cilik berusia lima enam belasan tahun yang berwajah bersih. Begitu munculkan diri, dia lantas merangkap tangannya didepan dada memberi hormat, lalu berkata. "Sicu apakah kau hendak berjumpa dengan guruku? Mari siau ceng membawa jalan untukmu." Hawa amarah segera melintas diatas wajah pendeta setengah umur itu, tapi hanya sebentar saja, kemudian sambil tertawa dia pun berkata. "oooh, suheng telah bangun? Sicu, bila kau ingin berjumpa dengan Hong-tiang, silahkan saja masuk mengikutinya." Sekalipun Wi Tiong hong sama sekali tidak berpengalaman dalam dunia persilatan, namun diam diam dia merasa keheranan juga, secara lamat-lamat dia dapat merasakan pula sesuatu suasana yang serba aneh didalam kuil Pau in si tersebut. Maka dia segera menjura seraya berkata. "Kalau begitu harap siau suhu suka membawa ku kedalam." Hwesio cilik itu tidak berbicara lagi dia segera membalikkan badan dan membawa Wi Tiong hong menuju kehalaman belakang. Setelah melewati dua buah halaman luas dan melangkah masuk kebalik pintu bulat, mendadak hwesio cilik itu berpaling sambil bertanya. "Tadi membicarakan apa-apa, taysu itu hanya bertanya ada urusan apa aku datang menjumpai Hongtiang?" Hwesio cilik itu segera mendengus. "Hmm, dia memang selamanya tak pernah berpikiran baik." Wi Tiong hong merasa kurang leluasa buat menjawab perkataan itu, maka itu dia hanya membungkam saja. Kembali hwesio cilik itu berkata. "Sicu, obat penawarnya sudah kau bawa?" Sekali lagi Wi Tiong hong menjadi tertegun dibuatnya. "Aku hanya mendapat pesan dari seseorang untuk disampaikan kepada hongtiang kalian, siau... suhu, mungkin kau salah melihat orang ?" Hwesio cilik itupun kelihatan agak tertegun setelah berpaling dan memandang sekejap kearah Wi Tiong-hong, katanya lagi. "Jadi kau bukan suruhan tosu she Seh tersebut ?" "Bukan," Jawab wi Tiong hong menjelaskan. Hwesio cilik itu kelihatan agak kecewa, dia segera berguman seorang diri. "Seputuh hari kemudian ia bilang bakal ada orang datang, bukan kau orangnya yang dimaksudkan ?" Begitu mendengar kata "sepuluh hari kemudian", wi Tiong hong segera teringat kembali dengan pesan Tok Hay-ji yang menyuruhnya menyampaikan ditempat tujuan sepuluh hari kemudian, bukankah hal itu tempat sekali kalau dicocokkan satu sama lainnya. Tapi berhubung dia tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya, maka si anak muda itu hanya membungkam diri. Tak selang beberapa saat kemudian, mereka sudah berada didalam sebuah halaman yang tenang. hwesio cilik itu segera bertanya lagi. "Sicu, siapakah namamu Siau-ceng harus mengetahuinya sebelum melaporkan pada suhu." "Aku adalah Wi Tiong-hong." "Harap sicu menunggu sebentar." Selesai berkata dia lantas menyelinap masuk kedalam sebuah ruangan didepan sana. Tak lama kemudian ia sudah mencul kembali seraya berkata. "Suhu mempersilahkan wi sicu masuk." Setelah melangkah ke dalam ruangan tampak diatas sebuah pembaringan kayu duduk dengan bersila seorang hwesio tua yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, sepasang matanya terpejam rapat, tampaknya sedang bersemadi. Ketika mendengar suara langkah dari Wi-Tiong hong, dia segera membuka matanya dan mengawasi si anak muda itu sekejap. sambil merangkap tangannya memberi hormat, dia berkata. "Wi sicu, maaf kalau lolap tak leluasa untuk berjalan sehingga tidak dapat menyambut kedatanganmu." "Tidak usah sungkan-sungkan Lo suhu, maaf jikalau kedatangan aku ini telah mengganggu ketenanganmu." Buru-buru wi Tiong hong balas memberi hormat. "Sicu silahkan duduk." Hwesio tua itu menunjuk kesebuah kursi disisi pembaringannya. Wi Tiong hong menurut dan segera duduk. hwesio cilik itu segera menghidangkan air teh. "Wi sicu, silahkan minum air teh." Kembali hwesio tua itu berkata. "dari muridku, lolap dengar sicu mendapat titipan dari seseorang dan ingin berjumpa dengan diriku, entah persoalan apakah itu ?" "Aku mendapat titipan dari seseorang untuk menyampaikan sepatah kata pesanan." Belum habis dia berkata, mendadak hwesio tua itu sudah mendongakkan kepalanya, lalu dengan sepasang mata memancarkan cahaya kilat bentaknya dalam-dalam. "Siapa yang berada diluar? " Wi Tiong hong menjadi, tertegun setelah mendengar bentakan itu, pikirnya. "hwesio tua ini bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, tak nyana kalau tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan yang luar biasa." Mendadak dari luar pintu kedengaran seseorang menjawab. "Siaute Gho-tong, apa penyakit yang suheng derita sudah agak baikan? " Pelan-pelan paras muka hwesio tua itu pulih kembali seperti sedia kala, dia berkata: "Sutekah? Ih-heng sudah merasa agak baikan, ada urusan apa sute datang kemari?" "Aaah, tidak, siaute hanya ingin menanyakan keadaan suheng saja." Kemudian kedengaran suara langkah pergi dan makin lama suaranya semakin menjauh. sekali lagi Wi Tiong-hong berpikir: "Hmmm, tampaknya Gho tong memang sengaja datang kemari untuk menyadap pembicaraanku." "Pesan yang dibawa oleh Wi sicu sudah tentu untuk lolap. entah siapakah yang memberikan pesan tersebut kepadamU?" "Dia bernama Tok Hay ji " "Tok Hay-ji?" Hwesio tua itu termenung sebentar. "diantara orang-orang yang lolap kenal, sama sekali tidak terdapat seseorang yang bernama Tok Hay ji...." Wi Tiong hong menjadi tertegun setelah mendengar perkataan ini, jelas sekali Tok Hay ji suruh dia membawa kabar itu buat Hongtiang dari kuil Pau in si, mungkinkah dia keliru? "Suhu, mungkin Tok Hay ji itu memang berasal satu komplotan dengan tosu she Seh tersebut?" Si hwesio cilik itu mengemukakan pendapatnya. Hwesio tua itu segera manggut-manggut. "Yaa, mungkin memang begitu, dia pernah bilang dalam sepuluh hari mendatang bakal ada orang datang kemari... ." Berbicara sampai disitu, dia lantas mendongakkan kepalanya sambil bertanya. "Wi sicu, tolong tanya pesan apakah yang dia titipkan agar disampaikan kepadaku?" Wi Tiong-hong memandang sekejap kearah hwesio cilik itu, kemudian menjawab. "Dia menuliskan kata-kata tersebut diatas tanganku, konon persoalan ini penting sekali artinya, selain lo-suhu tak boleh diketahui orang lain... ." "Ooh," Hwesio tua itu segera berpaling ke arah hwesio cilik itu kemudian pesannya: "Berjaga-jagalah didepan pintu, jangan biarkan ada orang yang menyadap pembicaraan kami." Dengan pandangan gusar hwesio cilik itu melotot sekejap kearah Wi Tiong hong, kemudian dengan uring-uringan dia mengundurkan diri dari tempat itu. "Nah, Wi-sicu sekarang katakanlah." Ujar si hwesio tua itu kemudian-Wi Tiong hong celupkan tangannya kedalam cawan teh, kemudian menulis beberapa huruf diatas meja. "Dibawah undak undakan pintu Kiam-bun, dalam gua masuk kayu." "Hanya beberapa huruf ini?" Tanya si hwe slo tua itu setelah membaca huruf-huruf tersebut. "Ya, Benar, hanya huruf-huruf tersebut." Wi Tiong-hong mengangguk. "Apakah ia tidak memesan sicu, pesannya itu harus lolap sampaikan kepada siapa?" "Tidak." "Wi sicu masih ingat, apa lagi yang dia katakan? " Kembali hwesio tua itu bertanya. oooOOooo "DIA BERPESAN agar dalam sepuluh hari, pesan itu harus sudah disampaikan pada tujuan." Jawab wi Tiong-hong. Pelan-pelan hwesio tua itu mengangguk. "Kalau begitu tidak bakal salah lagi, sudah pasti si tosu she Seh itulah yang memerlukan pesan ini. Aaai...lolap benar-benar tidak tahu pesan yang diperlukan olehnya ini sebenarnya apa?" Wi Tiong hong tak mengetahui siapakah tosu she Seh yang dimaksudkan karena merasa pesanannya itu sudah disampaikan maka diapun bersiap-siap untuk mohon diri. Mendadak hwesio tua menatap wajah Wi-Tiong hong, kemudian bertanya. "Sicu apakah kenal dengan Tok Hay ji?" "Aku hanya pernah berjumpa sekali, jadi tak bisa dibilang saling mengenal." Hwesio tua itu termenung sebentar, kemudian tanyanya lagi. "Lantas mengapa dia bisa menitip pesan kepada sicu?" "Dua hari berselang aku telah di tangkap orang dan secara kebetulan di sekap bersama dengan Tok Hay-ji, kemudian beruntung aku mendapat kebebasan, maka dia pun menitipkan pesan buat lo suhu." "Dia benar-benar telah menuliskan pesannya diatas telapak tanganmu?" Tanya si hwesio tua lagi dengan kening berkerut. Wi Tiong hong yang mendengar pertanyaan itu diam-diam merasa keheranan, ia merasa sejak awal pembicaraan tadi ia sudah menerangkan kalau Tok Hay ji menulis pesannya diatas telapak tangannya, tapi pendeta itu menandaskan berulang kali, mungkinkah dia merasa kurang percaya? Sekalipun berpikir demikian dia toh menjawab juga . "Yaa. benar." "Apakah dia juga beritahu kepadamu seandainya dalam sepuluh hari berita itu tak sampai disini, maka apa yang harus sicu lakukan?" Wi Tiong hong makin keheranan lagi setelah mendengar perkataan itu, pikirnya lebih jauh: "Dia toh menitipkan pesan kepadaku, andai kata aku tak bisa menyampaikan pesannya, apa pula yang bisa kulakukan? " Dalam hati dia berpikir demikian, diluar katanya. "Soal ini dia tidak mengatakan apa-apa." "omitohud." Hwesio toa itu segera memuji keagungan sang Buddha. "orang itu betal-betul berhati keji, bahkan jauh lebih keji dan beracun daripada Seh tosu." OooOOooo Jilid 10 KEMUDIAN sambil mendongakkan kepala dan menatap pemuda itu, dia bertanya lagi. "Apakah Wi sicu tidak merasakan sesuatu yang tak beres dengan tubuhmu." "Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa." Sahut pemuda itu dengan perasaan tercengang. Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Aaai, tak salah lagi, paling tidak lima hari kemudian kau baru akan merasakan sesuatu yang tak beres, sampai kejadian hari ini Wi sicu baru melewati sehari, tentu saja kau tak akan merasakan apa-apa." "Losuhu, apa maksud ucapanmu itu?" "Sewaktu Tok Hay-ji menulis huruf-huruf tersebut di atas telapak tangan sicu, dia pasti telah melepaskan pula sejenis racun yang amat keji, racun mereka itu bernama Sip-jit-san (bubuk sepuluh hari buyar), selain tidak berwarna juga tidak berbau, siapa yang terkena sama sekali tak akan merasakan apa-apa, tapi sepuluh hari kemudian bila racun itu mulai bekerja, maka tiada obat lagi yang bisa menyelamatkan jiwamu." Setengah percaya setengah tidak Wi Tiong-hong setelah mendengar keterangan itu, dia lantas bertanya. "Darimana losuhu bisa mengetahui hal ini?" Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Aai, lima hari berselang, ada seorang Seh tosu datang mencari lolap, dia-pun mengatakan ada suatu persoalan rahasia yang hendak dititipkan kepada lolap. Bahkan tak boleh sampai terdengar oleh pihak ketiga." "Lolap setengah percaya setengah tidak, dia minta lolap ulurkan tanganku, maka diapun menulis beberapa huruf di situ, tulisan itu berbunyi. "Sepuluh hari lagi, nantikan jawaban." "Sebelum berlalu dia menerangkan kepada lolap kalau ia telah melepaskan racun Sip-jit-san yang amat dahsyat ke dalam tubuhku, sepuluh hari kemudian bila sari racun itu mulai bekerja, maka tiada obat lagi yang bisa menolong jiwaku, tapi dia akan muncul kembali sepuluh hari kemudian dengan membawa obat penawarnya, asalkan aku bisa memberikan jawaban kepadanya." Mendengar itu, Wi Tiong-hong segera berpikir. "Kalau begitu Seh tosu itu telah memperalat Hong-tiang dari kuil Pau-in-si untuk menyampaikan kabar berita." Sementara dia masih termenung, hwesio tua itu sudah berkata lebih lanjut. "Waktu itu lolap tidak mengerti apa yang dimaksudkan sebagai jawaban. Tapi setelah mendengar perkataan dari sicu, barulah aku ketahui kalau kabar yang dibawa siculah yang mereka maksudkan sebagai jawaban." "Setelah aku ketahui pula kalau Tok Hay-ji juga menulis huruf-huruf itu di atas telapak tangan sicu, maka lolap menarik kesimpulan kalau sicu-pun sudah terkena pula racun Sip-jit-san dari Tok Hay-ji." "Oooh, masa begitu?" "Setiap manusia yang berkelana dari dunia persilatan kebanyakan adalah manusia- manusia licik yang tak bisa diketahui jalan pemikirannya, lebih baik mempercayai segala sesuatu dari pada tidak mempercayainya. Lolap sudah lama mengidap penyakit, kendati-pun dia tidak memberi obat penawar tersebut, kehidupanku memang tak akan seberapa lama lagi, berbeda dengan sicu yang masih muda, seandainya benar- benar sampai terkena racun Sip-jit-san, wah bisa berabe." "Mengapa aku tidak merasakan apa-apa?" "Kalau harus menunggu sampai racun itu mulai bekerja, saat itu pasti keadaannya pasti sudah terlambat." Berbicara sampai di sini, dia segera memejamkan mata sambil termenung sebentar, kemudian katanya lagi. Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Menurut yang lolap ketahui, dipintu utara kota Sang-ciau berdiam seorang tokoh sakti, orang ini bukan cuma pandai dalam ilmu pertabiban, bahkan sangat mengusai tentang pelbagai ilmu beracun yang ada di dunia ini, bila sicu bersedia mendengarkan nasehat lolap. Entah benar keracunan atau tidak, mumpung racun itu belum mulai bekerja, lebih baik mohonlah bantuannya." Mendengar pendeta itu dengan serius, tanpa terasa Wi Tiong-hong teringat kembali akan peristiwa semalam, ketika racun dari jarum beracun keluarga Lan mulai bekerja dalam tubuhnya, keadaannya memang mengerikan sekali, maka dia lantas bertanya. "Lo suhu, siapakah nama tokoh sakti itu? Dan bagaimana cara untuk menemukannya?" "Tiada orang yang mengetahui nama sebetulnya dari tokoh persilatan tersebut. Tapi oleh karena dia berdiam di bawah bukit Heng-san, maka orang menyebutnya Heng-san Gisu (pertapa dari bukit Heng-san), di depan pintu rumahnya terdapat pagar bambu, tempat itu gampang sekali ditemukan." Mendengar nama Heng-san gisu, tanpa terasa Wi Tiong-hong teringat kembali akan si nona berbaju hijau yang pernah dijumpainya semalam, agaknya gadis itu-pun pernah menyebut nama itu, dari sini dapat ditarik kesimpulan kalau Heng-san gisu adalah seorang manusia yang benar-benar ternama. Berpikir sampai di situ, dia lantas bangkit berdiri seraya berkata. "Terima kasih banyak atas petunjuk dari lo suhu, aku hendak mohon diri lebih dahulu." "Sicu jauh-jauh datang untuk membawakan berita buat loolap, untuk itu loolap merasa berterima kasih sekali, lima hari kemudian silahkan Wi sicu mampir lagi kemari, lolap pasti akan menunggu kedatangan dari sicu." Tentu saja Wi Tiong-hong dapat menangkap maksud dari ucapan si hweesio tua itu, gara-gara hendak menyampaikan pesan kepadanya, pemuda ini harus keracunan, maka andaikata Heng-san Gisu tidak dapat menyembuhkan racun Sip-jit-san tersebut, maka dia rela, memberikan bagian obat penawarnya untuk pemuda tersebut. Mengetahui akan maksud baik pendeta tersebut, timbul perasaan kagum dan hormatnya terhadap hweesio itu, ujarnya kemudian sambil menjura. "Lo suhu, apakah kau ada sesuatu urusan?" "Bila sampai waktunya Wi sicu bisa datang kemari, lolap memang ada sesuatu persoalan hendak disampaikan kepadamu." "Jikalau lo suhu memang berkata begitu, sampai waktunya aku pasti akan datang kemari." "Maaf, gerak gerik lolap kurang leluasa, jadi tak bisa mengantarmu lebih jauh." "Tak berani merepotkan diri taysu." Setelah berjalan ke luar dari ruangan itu, dia langsung menuju ke kuil bagian depan. Berhubung dia telah berjanji, untuk berjumpa dengan Ting Ci-kang di luar kuil, maka seke luarnya dari kuil Pau-in-si, dia lantas celingukan kesana kemari, tapi bayangan tubuh Ting Ci-kang tidak nampak. Agaknya dia belum lagi menyusul kesitu. Sepanjang jalan dia merenungkan kembali apa yang diucapkan hweesio tua tadi, tanpa terasa langkahnya lambat laun semakin lamban sekali. Sementara dia masih berjalan, mendadak terdengar suara pujian pada Sang Buddha. "Omintohud?" Dari balik pohon muncul seorang pendeta berbaju abu-abu, sambil menghadang jalan perginya dia berkata dengan suara dalam. "Wi sicu, harap berhenti." Wi Tiong-hong segera mendongakkan kepalanya, ternyata dia adalah Gho-tong, si pendeta penerima tamu dari kuil Pau-in-si, tanpa terasa dia lantas menghentikan langkahnya, kemudian sambil menjura tanyanya. "Taysu, ada sesuatu urusan?" Pelan-pelan Gho-tong berjalan mendekat, kemudian sambil tertawa seram katanya. "Yang pinceng ingin ketahui adalah persoalan rahasia yang baru saja sicu bicarakan dengan suhengku?" Dengan cepat Wi Tiong-hong mundur selangkah, lalu katanya dingin. "Taysu, mengapa kau tidak kembali saja ke kuil untuk bertanya langsung kepada suhengmu?" Gho-tong ikut melangkah maju ke depan, sahutnya sambil tertawa seram. "Setelah berjumpa dengan sicu di tempat ini, aku rasa bertanya kepada sicu-pun sama saja." Diam-diam Wi Tiong-hong manggut-manggut, pikirnya. "Sudah jelas dia memang sengaja menantikan kedatanganku di luar kuil ini." Maka setelah mendengus katanya. "Toa-suhu, aku lihat tampaknya kau memang sengaja menantikan kedatanganku di sini." "Wi sicu memang tak malu disebat orang yang tahu diri." Gho-tong tertawa. "Aku tak mengerti." "Tidak mengerti juga tak menjadi soal, asal Wi sicu mengaku saja terus terang, maka akan beres dengan sendirinya." "Kalau didengar dari ucapan taysu, agaknya kalau aku tidak memberitahukan kepada Toa suhu, maka bakal ada urusan." "Omintohud," Gho-tong mengangkat bahunya. "asal sicu sudah tahu, hal ini lebih baik lagi." Berbicara sampai di situ, dia lantas menuding ke samping kirinya sambil berkata lagi. "Sicu, bersediakah kau mengikuti pinceng untuk berbincang-bincang sebentar di dalam lembah itu?" Mengikuti arah yang ditunjuk. Wi Tiong-hong saksikan ada sebuah lembah yang menjorok jauh ke dalam bukit sana dengan hutan yang lebat sekali, tempat itu sepi dan mengerikan, baru saja dia hendak mengatakan. "Aku tak mau turut." Mendadak dilihatnya Gho-tong dengan senyuman licik menghiasi wajahnya telah melepaskan sebuah cengkeraman maut yang diarahkan ke atas bahunya. Bagaimana-pun juga Wi Tiong-hong adalah seorang yang berilmu, reaksinya tentu saja lebih cepat dari pada orang lain, sambil berkelit ke samping dan menangkis ancaman itu dengan tangan kiri, bentaknya. "Mau apa kau?" Gho-tong tidak menyangka kalau Wi Tiong-hong dengan usia semuda itu sudah memiliki tenaga dalam yang sempurna, begitu tangannya kena ditangkis, serta merta badannya bergeser ke samping kanan. Kemudian seraya berpaling dan menatap wajah si anak muda itu lekat-lekat serunya dingin. "Sicu, ilmu silatmu memang sangat hebat, tampaknya pinceng telah salah menilai dirimu." Mendadak dia menerjang maju ke depan, lalu mengayunkan telapak tangannya melepaskan sebuah bacokan. Wi Tiong-hong segera miringkan badan bagian atasnya ke samping untuk meloloskan diri dari ancaman tersebut, kemudian lengannya diputar kencang, berbareng dilepaskannya sebuah pukulan, tubuhnya melompat mundur ke belakang. Bentaknya kemudian dengan kening berkerut. "Toa suhu, bila kau tidak segera menghentikan seranganmu, jangan salahkan kalau akan bertindak kurang sopan kepadamu." Sementara itu hawa nafsu membunuh telah menyelimuti wajah Gho-tong, sambil menyeringai seram katanya. "Sicu, berapa banyak kepandaian silat yang kau miliki, silahkansaja digunakan semua." Di tengah pembicaraan tersebut, badannya menerjang ke depan, sepasang tangannya diayunkan kesana kemari dan secara beruntun melepaskan tujuh delapan serangan berantai. Serta merta Wi Tiong-hong mengayunkan pula sepasang tangannya menangkis dan mematahkan serangkaian serangan berantai yang dilancarkan Gho-tong hwesio. Begitu serangan yang dilancarkan Gho-tong mengendor Wi Tiong-hong segera manfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk melancarkan serangan balasan. Secara beruntun dia melepaskan tiga bacok dan empat pukulan yang memaksa Gho- tong mundur sejauh dua langkah. Begitu berhasil mendesak mundur Gho-tong, Wi Tiong-hong tidak melanjutkan pengejarannya, dia menarik kembali sepasang telapak tangannya dan berdiri di tempat, hanya ujarnya dingin. "Toa suhu, bila kau tidak ada persoalan lain yang hendak disampaikan maaf kalau aku tak bisa menemani lebih lama." Gho-tong hwesio benar-benar tidak menyangka kalau ilmu silat yang dimiliki Wi Tiong- hong sudah mencapai ke tingkatan yang begini hebat, untuk sesaat lamanya dia menjadi tertegun. Diam-diam dia lantas berpikir. "Agaknya bocah keparat ini berasal dari perguruan Butong-pay, ilmu silatnya hebat sekali, dengan mengandalkan kekuatanku seorang, sudah jelas tak mungkin begitu untuk menghadangmu." Pada saat itulah, dari arah tanah perbukitan sana muncul sesosok bayangan manusia yang meluncur datang dengan kecepatan tinggi, dalam waktu singkat ia sudah tiba di depan mereka berdua. Begitu Gho-tong hwesio mengetahui siapa yang datang, hatinya segera bergetar keras. Sebaliknya Wi Tiong-hong menjadi girang sekali, buru-buru teriaknya dengan suara lantang. "Ting toako." Ternyata yang datang adalah ketua perkumpulan Thi-pit-pang Ting Ci-kang adanya. Tampak Ting Ci-kang memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya: "Saudara Wi, mengapa kau bertarung dengan toa-suhu ini?" Sembari berkata sepasang matanya yang tajam dialihkan ke wajah Gho-tong hwesio, sementara tangan kanannya seperti sengaja tak sengaja diayunkan ke bawah. Dengan jelas Gho-tong hwesio melihat bahwa di antara ayunan tangannya itu, telapak tangannya memainkan sebuah taktik ilmu pedang hal ini membuatnya semakin terperanjat. Dengan cepat dia mundur selangkah lalu merangkap tangannya di depan dada, katanya kemudian sambil tertawa paksa. "Oooh ... pinceng hanya ingin memohon suatu petunjuk dari Wi sicu ini, siapa tahu Wi sicu menaruh curiga kepada pinceng, jadi sebenarnya hal ini merupakan suatu kesalahan paham, untuk itu pinceng mohon maaf yang sebesar-besarnya." "Kalau memang suatu kesalahan paham, silahkan Toa suhu berlalu," Ucap Ting Ci-kang. Gho-tong hweesio mengangguk berulang kali. "Baik, pinceng mohon diri lebih dahulu." Selesai berkata dia lantas memberi hormat, lalu membalikkan badan dan berlalu dari situ. Sepeninggalnya hweesio tersebut, Ting Ci-kang baru berkata. "Saudara Wi, sebenarnya dikarenakan apakah kau sampai bertarung dengan hweesio itu?" Secara ringkas Wi Tiong-hong segera menerangkan kisah pengalaman yang baru saja dialaminya. Mendengar penuturan tersebut, Ting Ci-kang segera mendengus dingin. "Hm, ternyata mereka benar-benar ingin menggunakan Hong Hong-tiang dari kuil Pau-in-si untuk menyampaikan berita, kalau begitu Seh tosu tersebut, sudah pasti anggota dari selat Tok Seh-shia." Sekarang Wi Tiong-hong baru teringat kembali pesan dari paman yang tak diketahui namanya itu berapa hari berselang. Waktu itu, dengan ilmu menyampaikan suara paman yang tak dikenal namanya itu pernah memperingatkan kepadanya agar berhati-hati dengan para jago dari Tok Seh- shia, bila berjumpa dalam dunia persilatan di kemudian hari. Maka setelah mendengar toakonya menyinggung pula tentang selat Tok She-shia tersebut, tanpa terasa dia bertanya. "Ting toako sebenarnya tempat macam apakah selat Tok Seh-shia tersebut ... ?" "Tentang selat Tok Seh-shia mah ... pokoknya anggota mereka pandai sekali dalam mempergunakan racun, berapa tahun tidak pernah bermunculan kembali di dunia persilatan, siau heng sendiri-pun kurang begitu tahu." Mendadak dalam hati kecil Wi Tiong-hong timbul suatu perasaan aneh, dia merasa Ting-toako yaug dihadapinya sekarang jauh berbeda dengan Ting toakonya dulu. Kalau dulu, Ting toakonya selalu berjiwa terbuka dan suka blak-blakan, maka sekarang Ting toakonya seakan-akan suka merahasiakan sesuatu dan menutup diri, seakan orang yang dihadapinya kini bukanlah orang yang dulu. Tadi, dia bertanya tentang Ban Kiam-hwee, tapi dia mengatakan tak tahu, sekarang ditanya tentang selat Tok Seh-shia, kembali dia mengatakan tak tahu, padahal kalau didengar dari pembicaraannya jelas dia tahu banyak hal, cuma enggan untuk memberitahukan soal ini kepadanya. Ketika Ting Ci-kang menyaksikan pemuda itu membungkam diri dalam seribu bahasa mendadak dengan sikap penuh perhatian dan bersungguh-sungguh ia berkata. "Apa yang dikatakan Gho beng Hoatsu itu memang benar, lebih baik mempercayai sesuatu ada daripada tidak mempercayai adanya sesuatu, orang dari selat Tok Seh-shia memang manusia-manusia licik yang berhati kejam dan berbahaya, besar kemungkinannya juga Tok Hay-ji telah melepaskan racun Sip-jit-san ke tubuhmu, mari kita segera berangkat kebukit Heng-san sekarang juga." "TING TOAKO, apakah kau kenal dengan Heng-san Gisu? " Tanya Wi Tiong-hong. "Tidak. Aku tidak kenal, konon Heng-san Gisu adalah seorang yang amat termashur di dalam dunia persilatan, selain liehay dalam pertabiban juga amat menguasai tentang berbagai ilmu beracun." "Tapi orangnya amat sosial sekali, dia tak pernah membedakan antara golongan lurus dengan golongan sesat, dia-pun tidak membedakan antara yang jahat dan baik, asal datang ke rumahnya minta bantuan, dia pasti memberi pengobatan dengan bersungguh hati, itulah sebabnya orang persilatan menyebutnya sebagai Say Hoa-toa (Hua Tuo sakti)." Sembari berkata mereka melanjutkan perjalanan dengan gerakan tubuh yang amat cepat. Tak selang berapa saat kemudian, mereka sudah masuk dari pintu kota sebelah selatan dan ke luar dari pintu kota sebelah utara, langsung menuju ke bukit Heng-san. Heng-san, seperti juga namanya, bukit itu melintang bentuknya dengan ketinggian yang tak seberapa, antara tebing satu dengan tebing yang lain semuanya saling berhubungan hingga orang akan merasa bahwa bukit itu namanya merupakan sebuah bukit melintang yang hampir sejajar bentuknya. Dengan cepat kedua orang itu memburu ke kaki bukit Heng-san, apa yang dikatakan hwesio tua itu memang benar, rumah Heng-san Gisu berpagar bambu dengan bentuk yang sangat khas, memang tidak sukar untuk menemukan letak rumah tersebut. Sungai kecil yang melintang di depan rumah dengan pepohonan yang rimbun menambah indahnya pemandangan alam di tempat itu. Tanpa terasa Wi Thiong hong membayangkan kembali rumah gubuknya dibukit Huay Giok-san di mana sejak kecil sampai besar dia menetap. Pemandangan alam di situ mirip keadaan di tempat ini. Ayah yang hidup bersamanya sejak kecil ternyata berubah menjadi paman yang tak diketahui namanya, asal usulnya menjadi teka-teki, masa depannya merupakan tanda tanya besar, kehidupan sederhana tanpa keributan dan penuh suasana damai itu kini sudah tinggal kenangan. Teringat kesemuanya itu, hatinya menjadi sedih kembali sehingga air matanya hampir saja jatuh bercucuran. Ketika Ting Ci-kang merasa langkah kaki pemuda itu makin lama semakin lamban, mendadak berpaling dan memandang sekejap ke arah Wi Tiong-hong, kemudian serunya terkejut. "Saudara Wi, wajahmu kurang beres, apakah kau merasa kurang enak badan?" Wi Tiong-hong menggeleng. "Tidak, memandang pemandangan alam di sekitar tempat ini, tanpa terasa siaute jadi teringat kembali dengan tempat tinggalku dulu." "Aku ... aku ... aku tak punya rumah, aku tak punya rumah lagi." +++ Bab 20 TING CI-KANG segera tertawa terbahak2. "Saudaraku, kau masih berusia sangat muda." Katanya. "Haaahh ... haaah ... haaah ... sebagai seorang lelaki, cita-cita berada di empat penjuru, mana boleh tinggal di kampung halaman melulu? Ada atau tidak ada rumah, buat apa mesti dirisaukan?" Setelah mendengar perkataan itu, Wi Tiong-hong merasakan hatinya menjadi lega sekali, dia menganggukkan kepalanya berulang kali. "Perkataan dari toako memang tepat sekali," Demikian dia berseru kemudian. Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba dimuka pekarangan, Ting Ci-kang segera mengetuk pintu beberapa kali, namun dari dalam tiada jawaban. Di balik pagar pekarangan merupakan sebuah obat yang kecil, dibagian tengahnya tiga buah rumah gubuk. Tapi sepasang pintu rumah itu tertutup rapat-rapat, karena itu tak dapat terlihat apakah di dalam rumah ada orangnya atau tidak? Ting Ci-kang mengetuk lagi berapa kali sambil menegur dengan suara lantang. "Ada orangkah di dalam?" "Siapa?" Seseorang segera menegur dengan suara yang parau, kasar dan keras. Jika didengar dari nada pembicaraan orang itu, tampaknya dia merasa amat tidak sabaran. Dengan kening berkerut Ting Ci-kang segera berpikir. "Nada suara orang itu kasar dan parau, sudah barang tentu bukan Heng-san Gisu pribadi, jangan-jangan Heng-san Gisu sedang tidak berada di rumah?" Berpikir demikian, dia lantas menjawab. "Aku Ting Ci-kang, datang untuk berjumpa dengan Gi-su." Suara bisikan lirih yang lembut segera kedengaran dari dalam rumah gubuk itu, menyusul kemudian seseorang dengan suara yang parau dan keras berkumandang lagi. "Mungkinkah saudara adalah ketua perkumpulan Thi-pit-pang Ting tayhiap.?" "Tidak berani, memang akulah orangnya." "Harap Ting tayhiap suka menunggu sebentar, aku akan segera membukakan pintu." Tak selang berapa saat kemudian, pintu rumah gubuk itu dibuka dan seorang lelaki berbaju hitam munculkan diri dengan langkah lebar. Sesudah membukakan pintu pagar pekarangan sambil menjura katanya kembali. "Silahkan kalian berdua masuk." Ting Ci-kang mencoba untuk memperhatikan lelaki berbaju hitam itu sekejap, dia saksikan gerak gerik orang itu sangat liehay dan mantap. Kelihatan memiliki kepandaian yang sangat hebat, diam-diam timbul kecurigaan di dalam hatinya. Sambil membalas hormat dia lantas bertanya. "Apakah Gisu berada di rumah?" "Majikan kami sedang membuat obat, silahkan kalian berdua masuk dan duduk di dalam." Setelah mendengar panggilan orang itu terhadap Heng-san Gisu, kecurigaan di dalam hati Ting Ci-kang segera lenyap sebagian. Bagaimana-pun juga, Heng-san Gisu adalah seorang manusia yang termashur di dalam dunia persilatan, tidaklah heran jika dia memiliki ilmu silat yang sangat lihay, otomatis seorang yang menjadi anak buahnya untuk menjaga pintu tentu memiliki pula kepandaian silat yang lihay, dan hal ini tiada sesuatu yang perlu diherankan. Sedangkan suara bisikan lirih yang terdengar tadi, tentulah suara bisikan mereka yang sedang meminta petunjuk kepada Heng-san Gisu, apakah perlu untuk membukakan pintu atau tidak. Sementara dia masih berpikir, bersama Wi Tiong-hong dan di ringi lelaki berbaju hitam itu, mereka masuk ke dalam rumah. Di ruangan bagian tengah dari rumah gubuk itu adalah sebuah ruangan tamu, perabotnya amat sederhana, selain meja kursi tak nampak benda apa-pun. Sekali-pun demikian, lantai mau-pun seluruh ruangan itu nampak bersih sekali, hal ini menunjukkan kesederhanaan dan kebersihan dari seorang pertapa. Sesudah mempersilahkan tamunya duduk, lelaki berbaju hitam itu segera menghidangkan air teh, lalu katanya. "Saudara berdua, silahkan minum teh." Sesudah meletakkan cawan air teh ke atas meja, dengan cepat dia mengundurkan diri lagi. Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tak selang berapa saat kemudian, dari ruang sebelah kiri kedengaran suara langkah manusia disusul pintu kamar dibuka orang, seorang kakek berambut putih dan berjenggot kambing munculkan diri dalam ruangan tersebut. Rupanya orang inilah yang dinamakan Say Hoa-toa (Hua Tou pintar) Heng-san Gisu. Dia mengenakan sebuah jubah berwarna biru yang amat tidak sesuai dengan potongan badannya, bahkan kancing baju-pun tak sempat dikancingkan, begitu melangkah ke luar dari kamar dengan cepat dia menutup lagi pintu kamar tersebut, seakan-akan takut kalau orang lain dapat menyaksikan rahasia di dalam kamarnya. Hal ini dapat dimaklumi sebab dia adalah seseorang yang pandai dalam ilmu pertabiban, tentu saja dia tak akan membiarkan orang lain mencuri rahasia pembuatan obat dari keluarganya. Begitulah, setelah menutup pintu dia baru mengelus jenggotnya dan pelan-pelan berjalan ke dalam ruang tamu. Setelah memandang kedua orang itu sekejap sekulum senyuman menghiasi wajahnya yang kurus, ujarnya sambil menjura. "Lohu sedang membuat sejumlah obat mestika sehingga harus menyuruh kalian menunggu cukup lama, entah yang manakah yang bernama Ting tayhiap?" Kedua orang itu berdiri bersama, kemudian Ting Ci-kang membalas hormat seraya menyahut. "Akulah yang bernama Ting Ci-kang, sedang dia adalah adik angkatku Wi Tiong-hong kami datang karena sudah lama mengagumi nama besar lotiang, bila kedatangan kami telah mengganggu ketenangan lotiang, harap kau sudi maafkan." "Mana ... mana, silahkan kalian berdua segera duduk," Buru-buru Heng-san Gi-su berseru. Dia mengambil tempat duduk dan melanjutkan. "Ting tayhiap. Sungguh tak disangka kau-pun berkunjung ke kota Sang-siau, entah ada urusan apakah kau berkunjung ke rumah kami? Harap sudi diutarakan." "Ilmu ketabiban yang lotiang miliki sudah amat termasyur dalam dunia persilatan, ada satu hal siaute ingin mohon bantuanmu." Heng-san Gisu memandang sekejap wajah ke dua orang itu, kemudian katanya. "Tidak berani, lohu hanya mengerti sedikit ilmu pertabiban saja, jika Ting tayhiap menjumpai suatu kesulitan, asal lohu tahu, pasti akan aku jawab dengan sejujurnya." Ting Ci-kang segera menunjuk ke arah Wi Tiong-hong sembari berkata. "Kemungkinan besar saudaraku ini sudah diracuni orang secara diam-diam, karena itu aku mohon bantuan dari lotiang untuk memeriksakan keadaan penyakitnya." "Entah racun apakah itu?" Tanya Heng-san Gi-su dengan perasaan terperanjat. "Pernahkah lotiang dengar tentang racun yang dinamakan Sip-jit-san (sepuluh hari buyar)?" Sekujur tubuh Heng-san Gi-su nampak bergetar keras, lalu dengan wajah tercengang serunya. "Sip-jit-san? Belum pernah lohu dengar dengan nama tersebut. Hmm, entah bagaimanakah perasaan Wi sauhiap sekarang?" "Konon racun Sip-jit-san itu tak merasakan apa-apa, tapi sepuluh hari kemudian bila racun itu mulai kambuh, maka tiada obat yang bisa menolong jiwanya lagi," Kata Ting Ci-kang lagi. Berkilat sepasang mata Heng-san Gisu setelah mendengar perkataan itu, dengan cepat serunya. "Aah, masa telah terjadi peristiwa seperti ini? Wi sauhiap, bagaimanakah kejadiannya sampai kau menderita keracunan? Dapatkah diceritakan kepada lohu?" "Dua hari berselang aku mendapat titipan dari seseorang untuk menyampaikan sepatah kata, dan orang itu telah menulis beberapa huruf di atas telapak tanganku ..." "Siapakah orang itu?" Buru-buru Heng-san Gisu bertanya. "Dia bernama Tok Hay-ji." Dengan cepat Heng-san Gi-su menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tok Hay-ji? Belum pernah lohu mendengar tentang nama orang ini," Katanya. "Tampaknya Tok Hay-ji ini berasal dari selat Tok Seh-shia," Timbrung Ting Ci-kang. Sekali lagi Heng-san Gisu merasakan tubuhnya bergetar keras, buru-buru dia berseru: "Dan Wi sauhiap-pun keracunan hebat setelah kejadian itu?" "Dia menitipkan pesannya kepadaku agar disampaikan kepada Hong-tiang dari kuil Pau-in-si, dari Hong-tiang tua itulah aku baru mengetahui keadaan yang sebenarnya." "Apa lagi yang diucapkan oleh Hong-tiang itu? " Tanya Heng-san Gisu dengan mata terbelalak. "Menurut Hong-tiang tua itu, lima hari berselang ada seorang hendak menitipkan pula sesuatu pesan kepadanya, dan orang itu menulis beberapa huuf di atas telapak tangannya, kemudian sebelum pergi orang itu memberitahukan kepadanya kalau dia sudah terkena racun Sip-jit-san, karena itulah aku duga kemungkinan besar Tok Hay-ji melepaskan racun pula ke dalam tubuhku, itulah sebabnya aku lantas datang kemari untuk mohon bantuan dari lotiang." "Waaah ... peristiwa ini benar-benar merupakan suatu berita aneh yang belum aku dengar sebelumnya," Seru Heng-san Gisu sambil tertawa lebar. Berbicara sampai di sini, dia mengelus jenggot kambingnya sambil manggut-manggut, katanya. "Kalau dilihat dari keadaan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Wi sauhiap mungkin sudah keracunan, mungkin juga sama sekali tidak keracunan." "Ya, memang demikian," Sambung Ting Ci-kang. Sekali lagi Heng-san Gi-su manggut-manggut katanya. "Wi sauhiap, mari aku periksakan dahulu denyut nadimu." Wi Tiong-hong segera mengeluarkan tangannya. Heng-san Gi-su segera menempelkan ketiga jari tangannya di atas urat nadi pada pergelangan tangannya sambil memejamkan mata, lebih kurang seperminum teh kemudian dia baru membuka matanya sambil memerintah. "Ganti pergelangan tangan yang lain." Wi Tiong-hong menurut dan segera mengganti dengan tangan yang lain. Sekali lagi Heng-san Gisu memejamkan matanya dan memusatkan segenap perhatiannya untuk memeriksa denyutan nadi orang, tapi di atas wajahnya yang kurus-pun lambat laun muncul selapis wajah yang amat serius. Lebih kurang seperminum teh kemudian, tiba-tiba dia membuka matanya lebar-lebar sambil memerintahkan. "Buka mulutmu lebar-lebar, coba akan lohu periksa lidah dan tenggorokanmu." Wi Tiong-hong menurut dan membuka mulutnya lebar-lebar. Heng-san Gi-su segera menggunakan sebuah jari tangan kanannya untuk menekan lidah Wi Tiong-hong dengan pelan lalu diamatinya beberapa saat. Sesudah itu dia membuka pula kelopak mata Wi Tiong-hong dan memeriksanya beberapa saat, akhirnya dia memejamkan matanya dan membungkam dalam seribu bahasa. Ting Ci-kang segera bertanya. "Lotiang, apakah saudara Wi keracunan?" Heng-san Gisu menghembuskan nafas panjang, pelan-pelan dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Ting Ci-kang lalu menjawab. "Menurut hasil pemeriksaan lohu atas nadi Wi sauhiap, memang aku jumpai adalah sejenis racun keji yang bersarang dalam tubuhnya, cuma saja racun keji itu agaknya seperti mengendon dalam isi perut, sebelum racun itu mulai kambuh, sulit bagi lohu untuk mengatakannya." "Yaa, benar," Sambung Wi Tiong-hong. "aku-pun pernah mendengar lo-hong-tiang itu berkata bahwa racun semacam ini paling tidak lima hari kemudian baru akan menunjukkan gejala-gejala anehnya." Heng-san Gisu mengangguk berulang kali. "Benar, benar, lebih baik kalau lima hari kemudian kau datang kemari lagi." "Maksud lotiang, saat ini masih belum dapat mengeluarkan resep untuk pengobatan?" Ting Ci-kang bertanya. "Walau-pun ilmu pertabiban lohu tak berani dibilang sangat liehay, tapi sudah banyak penyakit aneh dan racun jahat yang berhasil aku sembuhkan, namun kasus seperti sekarang di mana racun sudah mengendon dalam isi perut akan tetapi sama sekali tidak menunjukkan gejala apa-apa, baru pertama kali ini aku jumpai, sebab itu sebelum melihat gejala racunnya sewaktu bekerja, sesungguhnya sulit buat lohu untuk membuka resep dan memberikan pengobatan." Berbicara sampai di situ, dia lantas berpaling ke arah Ting Ci-kang, setelah memandangnya sekejap, dia membuka mulut seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu diurungkan. "Lotiang, bila ada persoalan silahkan kau utarakan saja secara berterus terang," Seru Ting Ci-kang dengan cepat. "Lohu merasa kepandaian silat yang Ting tayhiap miliki luar biasa sekali, tapi aku lihat sinar matamu seperti agak sayu dan kurang bersih, sedangkan ujung hidung-pun membawa warna abu-abu, seharusnya itukah gejala dari keracunan, apakah Ting tayhiap merasakan sesuatu yang aneh di dalam tubuhmu?" Ucapan tersebut memang merupakan yang amat mengejutkan hati, Ting Ci-kang yakin belum pernah berhubungan dengan siapa-pun, ketika mencoba untuk mengatur pernapasan, dia-pun tidak menunjukkan sesuatu gejala yang aneh. Tapi dia tahu Heng-san Gisu adalah seorang tabib sakti yang pandai sekali menyembuhkan segala macam keracunan, tentu saja setiap perkataannya juga amat berbobot. Maka setelah tertegun sebentar, dia mendongakkan kepalanya sambil berseru. "Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa, Totiang ..." Sambil mengelus jenggot kambingnya, pelan-pelan Heng-san Gi su berkata lagi. "Bila lohu tidak salah melihat, racun yang bersarang dalam tubuh Ting tayhiap adalah sejenis racun yang sifat kerjanya jauh lebih cepat ..." Sambil berkata dia lantas maju mendekat dan membuka kelopak mata Ting Ci-kang untuk diperiksa, setelah itu sambungnya lagi. "Betul, racun itu sudah menyusup sampai ke dalam darah, tak sampai enam jam kemudian racun itu pasti akan mulai bekerja, racun seganas itu boleh dibilang jarang sekali dijumpai dalam dunia persilatan ..." Belum habis dia berkata, mendadak terdengar suara seorang perempuan yang merdu berkumandang dari luar pintu. "Apakah sian seng berada di rumah?" Heng-san Gisu berkerut kening lalu menggumam seorang diri. "Hm, lagi-lagi ada orang yang datang mencariku." Kemudian dengan mempertinggi suaranya ia berteriak. "Siapa di situ? Silahkan masuk." Pintu pagar pekarangan didorong orang dan seorang gadis yang berambut kusut menerjang masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat, setelah memandang sekejap ke arah tiga orang itu, buru-buru dia bertanya dengan cemas. "Siapakah yang sakit? Cepat lihatkan keadaan penyakitku." Gadis itu berambut kuning dan sangat kusut, wajahnya kuning dengan wajah penuh bopeng, jeleknya bukan kepalang, tapi potongan badannya justru amat ramping, suaranya juga merdu merayu, jauh berbeda dengan wajahnya yang menggidikkan hati. Wi Tiong-hong hanya memandang sekejap ke arah gadis jelek itu, tiba-tiba saja dia merasa seperti pernah bersua di suatu tempat. Pelan-pelan Heng-san Gisu mengalihkan sorot matanya ke wajah si nona bermuka jelek itu, kemudian ujarnya. "Lohulah orangnya, entah penyakit apakah yang nona derita?" "Aku ... aku telah terkena racun jahat." Sebetulnya waktu itu Ting Ci-kang sedang merasa keheranan karena Heng-san Gisu mengatakan dia menunjukkan gejala keracunan, maka setelah mendengar kalau gadis jelek ini-pun keracunan pula di tangan orang, diam-diam dia menjadi tertegun, segera pikirnya. "Entah mengapa dia bisa sampai ke ruangan pula?" Sementara dia masih termenung, Heng-san Gisu telah berkata dengan suara pelan."Nona, silahkan duduk, lohu akan memeriksakan denyutan nadimu lebih dahulu." Gadis berwajah jelek itu menurut dan segera duduk di atas kursi, setelah itu dia menjulurkan tangannya menunggu Heng-san Gisu memeriksakan denyutan nadinya Pelan-pelan Heng-san Gisu mengeluarkan tiga jari tangannya lalu ditekankan di atas urat nadinya, pergelangan tangan si nona jelek yang sedang diperiksa itu mendadak membalik ke atas, kemudian mencengkeram pergelangan tangan kanan Heng-san Gisu. Selisih jarak kedua belah pihak cuma beberapa depa, tentu saja Heng-san Gi-su sama sekali tidak menyangka kalau gadis berwajah jelek menyergapnya. Menanti dia menyadari datangnya bahaya dan berusaha untuk menghindarkan diri, keadaan sudah terlambat, tahu-tahu urat nadi pada pergelangan tangan kanannya sudah kena dicengkeram oleh perempuan jelek itu. Semua peristiwa yang berlangsung terjadi secara tiba2, sampai Ting Ci-kang dan Wi Tiong-hong yang duduk di hadapannya-pun tak sempat untuk memberikan pertolongan meski demikian tanpa terasa kedua orang itu bersama-sama bangkit berdiri. +++ "GERAKAN yang dilakukan gadis berwajah jelek itu cepat sekali, setelah tangan kirinya berhasil mencengkeram pergelangan tangan kanan Heng-san Gisu, tangan kanannya segera diayankan ke depan menotok jalan darah Ki bun hiat di atas tubuh Heng-san Gisu tersebut. Kemudian dia baru mendongakkan kepalanya dan memandang ke arah kedua orang itu sambil tertawa dingin. "Kalian menganggap dia adalah Heng-san Gisu asli?" Serunya dingin. Ting Ci-kang mau-pun Wi Tiong-hong menjadi tertegun setelah mendengar pertanyaan itu. Gadis berwajah jelek itu tidak berbicara lagi, dia segera menarik jenggot kambing dari Heng-san Gisu hingga terlepas, kemudian dia-pun menarik muka orang itu sehingga terlepaskan selembar topeng kulit manusia. Dengan cepat Wi Tiong-hong mengalihkan perhatiannya ke arah orang itu, ternyata orang yang menyaru sebagai Heng-san Gisu gadungan itu adalah seorang lelaki berusia tiga puluh-tahunan yang berwajah kurus, saat itu dia sedang melototkan sepasang mata tikusnya lebar-lebar, sementara wajahnya pucat pias seperti mayat. "Sreeet ... sreeet ... sreeet. Mendadak terdengar tiga titik bayangan biru yang disertai tenaga kuat meluncur ke luar dari belakang rumah dan langsung menyergap ke belakang tubuh perempuan berwajah jelek itu. Ketiga titik cahaya biru tersebut tak lain adalah tiga batang senjata rahasia kecil yang lembut dan beracun, selain cepat datangnya juga disertai desingan angin yang memekakkan telinga. Dengan formasi segi tiga, ke tiga batang senjata rahasia itu langsung meluncur ke belakang tubuh gadis bermuka jelek tersebut. Yang satu mengancam jalan darah Hong gan, sementara dua lainnya satu dari kiri yang lain dari kanan mengancamjalan darah Hong Wi hiat, selain tenaga serangannya sangat kuat ketepatan jalan darahnya-pun mengagumkan. Tampaknya Ting Ci-kang enggan untuk mencampuri banyak urusan, meski dia melihat jelas kejadian tersebut, namun ia masih saja berpangku tangan seakan-akan tidak melihat akan hal tersebut. Betapa terkejutnya Wi Tiong-hong menyaksikan kejadian itu, dia segera berteriak keras. "Hati-hati nona." Hanya ia tak usah berteriak-pun gadis bermuka jelek itu sudah dapat merasakan akan hal tersebut. Terdengar ia mendengus dingin, kemudian tanpa berpaling dia mengangkat topeng kulit manusianya untuk diayunkan ke belakang, bersamaan itu juga dia segera berpaling dan tertawa lebar kepada Wi Tiong-hong. Jangan dilihat wajahnya terhitung jelek, begitu tertawa, di balik bibirnya yang tebal segera terlihat dua baris giginya yang rapih dan putih bersih. Tiga batang senjata rahasia beracun yang meluncur ke arah belakang tubuhnya itu, mendadak lenyap tak berbekas tanpa menimbulkan sedikit suara-pun begitu termakam oleh ayunan tangannya. Paras muka Ting Ci-kang nampak agak berubah setelah menyaksikan kejadian tersebut. Wi Tiong-hong juga berdiri termangu-mangu, diam-diam dia lantas berpikir. "Kepandaian macam apaan itu? Tidak nampak dia menyambut dengan tangannya, tapi kemana hilangnya ketiga batang senjata rahasia tersebut?" Dalam pada itu, si gadis bemuka jelek itu sudah berkata sambil tertawa dingin. "Kalau toh kalian datang untuk mencari Heng-san Gisu, mengapa tidak cepat-cepat membebaskannya? Buat apa kalian berdiri termangu belaka di sini?" "Nona, bukankah kau-pun datang untuk mencari Heng-san Gisu?" Tanya Ting Ci-kang. Gadis bermuka jelek itu berpaling seraya mendengus dingin. "Hmmm, aku telah berhasil membekuk seorang, suruh kalian ..." "Aduuh ..." Ketika dia harus memecahkan perhatiannya untuk berbicara, tiba-tiba terdengar lelaki yang menyaru sebagai Heng-san Gisu itu menjerit tertahan kemudian roboh terjengkang ke atas tanah. Tentu saja orang yang melancarkan serangan gelap untuk membunuh rekannya sendiri itu adalah orang yang menyergap si nona bermuka jelek tadi, dan mungkin dia kuatir rekannya itu akan membocorkan rahasia mereka, maka diambil ah tindakan untuk membungkam orang tersebut. "Bajingan, bagus sekali perbuatanmu itu," Bentak gadis bermuka jelek itu dengan suara nyaring. Sepasang kakinya segera menjejak permukaan tanah lalu melesat ke arah belakang rumah. Pada saat dia menerjang ke luar rumah, mendadak sambil berpaling serunya dengan gusar. "Jikalau kalian tidak segera berangkat untuk menolong orang, mungkin Hengsan Gisu asli-pun akan terbunuh juga di tangan orang." Agaknya secara tiba-tiba Ting Ci-kang berpikir pula sampai kesitu, maka tidak menanti si gadis bermuka jelek itu menyelesaikan kata-katanya, dia menggerakkan badan dan segera menerjang ke bilik sebelah kiri dengan kecepatan luar biasa. Buru-buru Wi Tong hong menyusul dari belakangnya. Bilik sebelah kiri itu mungkin merupakan tempat tidur Heng-san Gisu, dekat dinding terletak pembaringan kayu, sedangkan empat penjuru dinding dipenuhi rak-rak kayu, ada yang besar ada yang kecil dan semuanya berisikan pelbagai macam botol obat. Sementara itu Ting Ci-kang telah melompat ke samping pembaringan dan menyingkap selimut yang berada di situ, betul juga, tampak seorang kakek berjenggot kambing sedang berbaring kaku di situ. Tentu saja orang ini adalah Heng-san Gisu yang asli. Jika ditinjau dari raut wajah ini, kemudian ditambah pula dengan jenggot kambingnya yang berwarna putih, tampak sekarang kalau raut wajahnya memang mirip dengan orang yang menyaru sebagai Heng-san Gisu tadi. Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo