Pendekar Bego 12
Pendekar Bego Karya Can Bagian 12
Pendekar Bego Karya dari Can Mendadak ia mendongakkan kepalanya keatas untuk memperhatikan dengan lebih seksama, terpaksa si nenek menghentikan gerakan tubuhnya. Ong It sin yang bodoh lamat lamat dapat merasakan pula betapa anehnya suasana disekitar tempat itu, hanya saja ia tak dapat mengatakan keanehan apakah itu. Sebentar ia memandang ke arah si nenek, sebentar lagi memandang ke arah Li popo, ia tak tahu kedua orang nenek tua sebenarnya sedang melakukan permainan apa. Tiba tiba terdengar Li popo berseru. "Hei, si nenek! Harap kau menyingkir agak jauhan!" Si nenek tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya saja ujung bajunya dikebutkan ke depan segulung desingan angin tajam segera menyambar kedepan sana sehingga sepintas lalu seperti ada orang sedang berkelebat menuju ke arah depan, padahal sesungguhnya ia masih tetap berdiri tegak ditempat semula. Li popo rupanya sedang memperhatikan dengan seksama, menanti desingan angin itu sudah lenyap ia baru bertanya lagi. "Berapa jauh kau dariku sekarang?" Sejak bergerak maju secara diam-diam tadi si nenek tak pernah mundur barang setengah depa pun dari tempatnya semula kini dia berada empat lima depa dari Li popo. Tapi berhubung Li popo buta sepasang matanya, tentu saja ia tak dapat melihat hal tersebut Ketika si nenek mendengar pertanyaan tadi, ia lantas membuka mulutnya dan mengucapkan sepatah kata ke tempat kejauhan sana, sewaktu mulutnya bergerak tak kedengaran saja sekali suaranya. Sementara Ong It sin masih keheranan, tiba-tiba terdengarlah suara dari si nenek yang dipancarkan tadi memantul datang dari jarak kurang lebih tiga kaki jauhnya. "Aku berada kurang lebih tiga kaki jauhnya!" Ong It sin terperanjat sekali, ia heran kenapa si nenek yang jelas berada dihadapannya sekarang suaranya ternyata berkumandang dari belakang tubuhnya, dia mengira dimana telah kedatangan seseorang lagi, maka dengan perasaan terkejut ia berpaling ke belakang, tapi nyatanya di belakang sana tak ada seseorangpun. Tentu saja ia tak tahu kalau suara pantulan dari sinenek itu dipancarkan dengan ilmu Hoa ing hoat yang menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi. Sementara ia masih melamun dengan perasaan bingung Li popo telah membuka kotak tersebut. Paras muka sinenek segera berubah makin tegang sinar mata yang tajam segera memancar kelaur dari matanya, diawasinya kotak itu dengan seksama. Li popo mulai meraba kotak tersebut, sebagaimana diketahui kotak itu adalah sebuah kotak mestika, disekeliling kotak itu terukirlah suatu pemandangan alam yang mirip sebagai suatu peta bumi. Li popo meraba kotak itu dengan penuh seksama, lewat lama sekali ia baru berkata. "Ong It sin, kau..." Perkataan itu diucapkan dengan suara yang perlahan sekali. Tapi ketika perkataan itu sampai ditengah jalan, tiba tiba ia melakukan suatu tindakan dan tindakan tersebut ternyata cepatnya bukan kepalang... Tiba tiba lengannya didorong ke depan, dengan membawa segulung desingan angin tajam toya itu segera disapukan ke arah pinggang si nenek yang berada disampingnya. Sapuan toya itu boleh dibilang dilancarkan sangat mendadak, sebab gerakan Li popo selama ini sangat lambat, dia sedang meraba kotak mestika itu dengan gerakan yang lambat sekali. Dengan demikian, sapuan toyanya yang cepat seperti sambaran kilat ini boleh dibilang merupakan suatu tindakan yang sama sekali diluar dugaan. Walaupun sapuan toya dari Li popo ditujukan kepada si nenek yang berada disampingnya, akan tetapi Ong It sin yang berada dua tiga kaki jauhnya dari sanapun merasakan betapa dahsyatnya ancaman itu sehingga tak kuasa lagi badannya roboh terjengkang oleh sapuan tenaga pukulan itu. Si nenek menjerit aneh, ketika toya itu hampir mengenai tubuhnya, mendadak ia menjatuhkan diri ke atas tanah, lalu dengan tenang menempel di tanah ia melesat kedepan sana. Kalau serangan dari Li popo dibilang cukup cepat maka cara si nenek dalam menghindarkan diri jauh lebih cepat lagi. Li popo tidak berhenti sampai situ saja, begitu serangannya berhasil dihindari ia kembali melompat keudara dan melancarkan tubrukan kembali sekali lagi toyanya diayun ketubuh lawan dengan kekuatan yang luar biasa. Dalam waktu singkat angin pukulan menderu deru ke empat penjuru, bebungahan berguguran terkena sambaran tajam itu. Si nenek tak berani gegabah, ketika serangan kedua dari musuhnya kembali menyambar datang, cepat ia bergelinding ke samping lalu mencabut sebatang pohon, keadaan terdesak demikian ia mempergunakan batang pohon tersebut sebagai senjata untuk menyambut datangnya ancaman. "Kraaak!" Ketika batang pohon itu beradu dengan toya, sekali patah menjadi dua. Si nenek merasakan sepasang lengannya bergetar keras, tubuhnya sampai terdesak mundur selangkah dengan sempoyongan. Tapi Li popo kembali sudah menyerang tiba, seperti angin topan serangan demi serangan dilancarkan secara bertubi tubi, dalam waktu singkat ia sudah melancarkan tujuh delapan buah serangan yang semuanya ditujukan pada bagian mematikan tubuh lawan. Dalam keadaan demikian, si nenek betul-betul terdesak hebat, ia hanya bisa menghindari ke kiri dan ke kanan, sama sekali tiada kesempatan baginya untuk melancarkan serangan balasan. Belasan buah serangan kemudian mereka sudah berada dimulut selat sempit, tiba tiba si nenek menyambar sebuah batu cadas dan melemparkannya ke depan. Batu cadas itu paling tidak juga mencapai dua puluh kati lebih, dengan membawa deruan angin tajam langsung meluncur ke depan dan beradu dengan toya baja lawan. "Praak...!" Batu cadas itu segera hancur menjadi berkeping keping banyaknya. Tapi dengan kejadian itu pula serangan dari Li popo pun menjadi tertahan untuk sesaat. Menggunakan kesempatan itu si nenek melompat keatas batu cadas yang berada kurang lebih satu kaki enam depa diatas dinding tebing, disana ia baru bisa menghembuskan napas panjang. Hingga saat itulah Ong It sin baru berkesempatan untuk menarik napas panjang seraya berseru. "Hei, kalian jangan bertarung lagi, kenapa kamu berdua musti saling pukul memukul? Kalau ada persoalan marilah kita bicarakan secara baik baik saja!" Percuma si anak muda itu berteriak dengan suara keras, sebab pada hakekatnya baik si nenek maupun Li popo tak ada yang menggubris teriakan itu. "Perempuan siluman hitam sekarang kau masih ingin mungkir lagi?" Teriak Li popo dengan geramnya. "hmm... kau anggap aku buta lantas bisa mengelabuhi diriku? Hmm... jangan harap ilmu meringankan tubuh Liok yap piau piau (daun rontok berguguran) dari keluarga Be kalian bisa mengelabuhi diriku!" Mendengar disebutkannya nama "keluarga Be", Ong It sin kembali merasa tertegun, lalu serunya. "Keluarga Be - keluarga... keluarga Be..." Dalam pada itu si nenek telah berkata dengan suara dingin. "Anggap saja kau memang bermata tajam, nah sekarang katakanlah rahasia tentang kotak itu kepadaku!" Li popo kembali mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak bahak. "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... selama berada dalam lembah Cong cu kok ini lebih baik janganlah bicara sesumbar, ketahuilah, sekalipun kau punya sayap juga jangan harap bisa lolos dari sini dalam keadaan selamat!" Sambil berkata, toya besinya kembali disodokkan berulang kali ke udara sambil melancarkan serangan dahsyat. Untuk menghindarkan diri dari ancaman tersebut terpaksa si nenek harus melompat naik lagi keatas tebing curam tersebut. Akhirnya setelah ia berada pada ketinggian lima kaki lebih, sekalipun ilmu silat Li popo sangat lihay toh ia tak sanggup melancarkan serangannnya lagi keatas. Dari atas tebing si nenek segera berseru. "Mengingat sepasang matamu telah buta, aku enggan melanjutkan pertarungan denganmu bila kau tahu diri, cepat beri tahukan rahasia tersebut kepadaku" Sekali lagi Li popo mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Haaah... haaah... haaah... lebih baik kau jangan bermimpi disiang hari bolong..." Mengikuti gelak tertawa itu, mendadak dari puncak tebing itu berkumandang suara gemuruh yang memekikkan telinga. Buru-buru Ong It sin menengadah keatas tampaklah si muka Ye yang sedang mendorong sebuah batu besar yang siap dijatuhkan kebawah. Berat batu itu paling tidak juga mencapai ratusan kati, hal ini sangat mengejutkan Ong It sin segera teriaknya. "Hei, jangan didorong kebawah, si nenek adalah sahabat karibku, kenapa kau bersikap demikian kepadanya?" Percuma saja teriaknya itu, sebab sama sekali tak ada yang menggubrisnya. Melihat teriaknya tidak digubris, malahan batu yang didorong oleh yen yang bin sudah dilontarkan ke bawah, dengan ketakutan pemuda itu lari ke depan. "Hei, jangan kau dorong batu itu ke bawah!" Teriaknya dengan suara setengah menjerit. Baru dua langkah ia maju ke depan, kembali tubuhnya sudah kena tersapu oleh desingan angin tajam yang dihasilkan oleh sambaran toya dari Li popo tak ampun tubuhnya segera jatuh terjengkang ke tanah dengan dada tersesak. Pada saat itulah batu besar itu sudah menggelinding kebawah dengan membawa suara gemuruh yang memekikkan telinga. Padahal pada waktu itu si nenek masih berada diatas tebing, tampaknya ia segera akan tertindih oleh hancuran batu cadas tersebut. Ong It sin sangat ketakutan, saking ngerinya dia ingin berteriak keras namun tak sepotong suarapun diutarakan. Pada saat yang kritis itulah tiba-tiba si nenek melompat ke bawah, lalu sambil berjumpalitan beberapa kali ia peluk batu besar yang sedang menggelinding ke bawah itu dan meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi. Waktu itu Li popo sedang mendongakkan kepalanya memandang keatas dengan wajah keheranan. Sebagaimana diketahui matanya buta, ia dapat melakukan serangan semuanya berkat pendengarannya yang taham, sekarang ia hanya mendengar suara batu yang meluncur ke bawah, tapi ia tidak melihat kalau si nenek meluncur ke bawah dengan membonceng diatas batu cadas tersebut. Karenanya ia menjadi amat tercengang, dengan jelas ia dapat mendengar suara si nenek yang melompat turun dari atas tebing, tapi selanjutnya suara itu lenyap dengan begitu saja. Pada saat itulah laki-laki berwajah merah putih diatas tebing itu berteriak keras. "Hati-hati popo, nenek bangsat itu bersembunyi diatas batu besar kurang lebih dua kaki darimu!" Begitu mendapat peringatan, Li popo segera membentak keras, toyanya langsung diayun ke depan menghantam batu cadas yang berada disampingnya itu. Si nenek yang licik sudah barang tentu tak mudah dihantam oleh musuhnya dengan cepat ia mendorong batu besar itu kedepan sementara ia sendiri berjumpalitan ke arah lain. "Blaang...!" Batu cadas dan toya dari Li popo telah saling beradu dengan kerasnya menyebabkan percikan bunga api, batu cadas itu segera hancur menjadi berkeping keping. Dalam pada itu si nenek sudah melompat turun beberapa kaki jauhnya dari posisi semula. "Cring...! Cring!..." Ia cabut keluar dua bilah pedang hitam sepanjang empat depa dan langsung dibacokkan ke punggung Li popo. Serangan yang dilepaskan dengan tangan kanannya ini dilancarkan dengan membawa desingan angin tajam. Sementara itu pedangnya di tangah kiri tanpa menimbulkan sedikit suarapun secara diam diam membabat kepinggang lawan, bukan saja kedua buah serangan itu menggunakan jurus serangan yang maha dahsyat, tenaga yang dipergunakan pun jauh berbeda, dari sini dapat diketahui bahwa ilmunya memang lihay sekali. Sejak menghancurkan batu cadas tadi, Li popo sudah tahu kalau ada ancaman datang dari belakang, tapi ia tidak memutar tubuhnya, malahan menjatuhkan diri ke belakang untuk menyusul musuhnya. Padahal serangan yang dilancarkan si nenek memang tertuju belakang punggungnya, dengan mundurnya Li popo ini maka sama artinya dengan ia memberikan tubuhnya untuk ditusuk. Ong It sin yang menyaksikan kejadian ini menjadi kaget dan berseru tertahan. Dikala kedua bilah pedang tersebut sudah hampir menusuk punggung Li popo mendadak sambil membentak keras Li popo mencukilkan toyanya ke arah depan. Ong It sin makin tercengang lagi dalam sangkanya toya itu pasti akan diputar ke belakang untuk menahan datangnya ancaman. Ternyata pada saat itulah kembali ada sebuah batu cadas meluncur jatuh ke bawah, dengan dicukilnya toya itu kedepan, maka serta merta batu berat seratus kati itu melejut ke belakang dan balik kebalik menindih batok kepala si nenek. 0o-o-d=w-o-o0 Jilid 11 Dengan gerakannya itu, andaikata si nenek meneruskan tusukannya ke punggung Li popo maka niscaya dia sendiripun akan tertindih oleh batu cadas. Dengan perasaan apa boleh buat si nenek berteriak aneh, sepasang tangannya ditarik kembali dan diputar ke atas untuk menahan datangnya tindihan batu cadas itu. Li popo cepat memutar badannya kemudian dengan toya bajanya kini dia menghantam pinggang musuh. Ong It sin kaget karena si nenek ketika itu sedang menangkis batu cadas, dan tubuh bagian bawahnya terbuka, ia mengira kali ini nenek itu pasti akan tewas. Tapi si nenekpun bukan orang yang gampang dikalahkan dengan mempergunakan batu cadas tadi kembali dilontarkan ke depan dan persis menyongsong datangnya sapuan toya musuh. Li popo terpaksa menarik kembali serangan sambil melempar ke belakang untuk menyelamatkan diri, sedangkan si nenekpun menggunakan kesempatan itu untuk mundur pula ke belakang. Batu cadas itupun dengan menimbulkan suara keras segera menghantam bumi dan menimbulkan getaran keras. Li popo tertawa seram, katanya kemudian. "Siluman perempuan hitam, jalan kesorga kau tampik jalan ke neraka kau terobosi, jangan harap kau bisa keluar dari lembah Cong cu kok ini dalam keadaan selamat!" Suara itu amat keras dan amat memekikkan telinga, membuat Ong It sin mundur dengan sempoyongan. Si nenek tertawa dingin, ejeknya. "Apa yang kau andalkan? Dengan sepasang matamu yang buta itu?" Li popo mendongakkan kepalanya dan tertawa seram. "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... banyak jago lihay yang berada dalam lembah Cong cu kok ini, tapi hanya mengandalkan aku seorangpun sudah cukup untuk membereskan dirimu!" Baru saja perkataan itu diucapkan, mendadak dari atas tebing kedengaran jeritan ngeri yang memilukan hati, suara itu amat nyaring dan keras, tapi siapapun tahu bahwa suara itu berasal dari mulut Yen yang bin, si manusia bermuka merah putih. Begitu mendengar jeritan ngeri itu, Li popo segera mendongakkan kepalanya keatas, tentu saja ia tak dapat melihat apa yang telah terjadi di atas tebing, tapi ditinjau dari mimik wajahnya dapat diketahui bahwa ia ingin cepat cepat mengetahui apa gerangan yang telah terjadi ditempat itu. Si nenek dan Ong It sin pun bersama-sama mendongakkan kepalanya ke atas untuk mengetahui apa yang terjadi. Dengan cepat mereka dapat menjumpai bahwa si laki- laki bermuka Yen yang itu sedang jatuh terjungkal dari atas tebing dan meluncur ke bawah. Akhirnya diiringi suara keras, kepalanya beradu dengan permukaan tanah dan tak berkutik lagi untuk selamanya. Li popo segera melintangkan toyanya di depan dada lalu dengan wajah penuh kegusaran serunya. "Perempuan siluman hitam, sebetulnya permainan setan apa yang sedang kau lakukan?" Si nenek tertawa terkekeh kekeh. "Heeehhh... heeehhh... heeehhh... tidak ada permainan apa apa, cuma ada satu persoalan hendak kuberitahukan padamu, yakni semua anggota lembah Cong cu kok ini, kecuali kau seorang, yang lain sudah kami kirim ke neraka, haaahh... haaahh... haaahh... ingin kulihat dengan kekuatan apakah kau hendak memusuhi kami lagi?" Kejut dan marah Li popo menghadapi keadaan ini, katanya. "Kau... kau... dengan cara apa kau mencelakai beberapa orang itu...?" Ong It sin yang mendengar perkataan si nenek pun merasa keheranan, pikirnya. "Heran, sejak masuk ke lembah Cong cu kok, belum pernah si nenek berpisah denganku kapankah ia pergi mencelakai orang?" Kemudian setelah berhenti sejenak kembali pikirnya lebih jauh. "Ia bilang bahwa kecuali Li popo, dalam lembah Cong cu kok ini sudah tiada orang lain lagi, lantas bagaimana dengan Be Siau soh... yaa, bagaimana dengan nasib Be Siau soh?" Begitu teringat akan diri Be Siau soh, keringat dingin segera membasahi seluruh tubuh Ong It sin segera teriaknya. "Apa kau bilang si nenek? Semua orang yang berada dalam lembah Cong cu kok telah mati semua?" Si nenek tidak menjawab, dia hanya melotot sekejap kearahnya dengan gemas. Dalam pandangan Ong It sin si nenek tidak terlalu jahat kepadanya, dan selama ini ia selalu menganggap si nenek sebagai seorang sahabatnya. Tapi sekarang si nenek sudah menjadi musuh bebuyutan Li popo, padahal dia adalah cucunya Li popo, sudah barang tentu si nenek tak akan menggubrisnya lagi. Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat si nenek tidak menjawab pertanyaannya Ong It sin segera berteriak. "Hei, si nenek, Kenapa kau tidak men..." Mendadak ia menutup mulutnya dengan begitu saja Sebab pada saat itulah dari atas dinding tebing ia saksikan ada sesosok bayangan tubuh yang kecil mungil sedang meluncur datang dengan kecepatan luar biasa. Bayangan tersebut sudah amat dikenal oleh Ong It sin oleh sebab itu begitu menjumpai bayangan tubuhnya, ia sudah berdebar dengan kerasnya... Cepat niat gerakan tubuh bayangan manusia itu, belum sampai ia berdiri tegak, Li popo telah berteriak. "Siau soh, kau telah datang!" Begitu mendengar nama "Siau soh" Hampir berhenti detak jantung Ong It sin saking kagetnya, sekarang terbukti sudah bahwa gadis itu memang bukan lain adalah gadis idamannya selama ini. Dalam waktu singkat orang itu sudah berada di hadapannya, siapa lagi kalau bukan Be Siau soh? Wajah Be Siau soh masih tampak begitu cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, begitu sampai disana, ditatapnya Ong It sin beberapa kejap bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan. Ketika sinar mata Ong It sin beradu pandang dengan sepasang matanya yang jeli, pemuda itu segera merasakan kepalanya menjadi pusing dan semua pemandangan menjadi berputar, ia tak dapat berdiri tegak lagi dan tak ampun tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah, untuk sesaat lamanya ia tak sanggup merangkak bangun lagi. Pemuda itu merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga, suka serasa melayang meninggalkan raganya. oodOwoo Ditengah keheningan itulah, Li popo kembali berseru. "Siau soh, kenapa lotiang itu secara tiba tiba bisa terpeleset jatuh dari atas tebing?" "Akulah yang mendorongnya secara tiba tiba dari belakang" Sahut Be Siau soh dengan dingin. "karena itu tak dapat berdiri tegak, tentu saja badannya jadi terpeleset dan jatuh ke bawah!" Jawaban dari gadis itu sungguh diluar dugaan siapapun, termasuk pula diri Li popo sendiri. Ketika mendengar perkataan itu, sekujur badan Li popo bergetar keras, wajahnya yang penuh keriput segera berubah menjadi hijau membesi, setelah tertawa panjang serunya. "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... bagus sekali semula aku masih mengira kau benar-benar adalah seorang perempuan lemah yang didesak oleh musuh besarnya hingga terdesak dan benar-benar tak ada jalan perginya lagi, karena iba kuterima dirimu untuk tinggal di lembah Cong cu kok ini, tak tahunya kau adalah mata mata yang sengaja diselundupkan ke tempat ini... bagus, bagus sekali!" Ong It sin menjadi kaget setelah mendengar perkataan itu, dengan gugup ia menggoyangkan tangannya berulang kali sambil berseru. "Popo, harap kau jangan berkata demikian, Siau soh bukan orang jahat, dia adalah seorang gadis yang sangat baik, dia tak mungkin akan menjadi mata mata orang!" Tapi Be Siau soh sendiri telah mengakui dengan dingin. "Hmm...! Hingga sekarang kau baru mengerti, ini tak bisa terhitung lambat, kalau sudah hampir mampus baru mengetahui duduknya persoalan, itu baru dikatakan mati dengan membawa rasa sesal yang mendalam...!" Ong It sin melongo, ia tak menyangka Be Siau soh dapat mengucapkan kata-kata seperti itu, sebentar ia memandang ke arah Be Siau soh, lalu memandang kearah si nenek dan akhirnya memandang ke arah Li popo, pikirannya sangat kalut dan tak habis mengerti. Setelah tertegun sekian lama akhirnya ia baru memukul batok kepala sendiri seraya berseru. "Aku pasti sedang bermimpi, yaa, aku pasti sedang bermimpi, aku pasti sedang bermimpi jelek!" Jangankan perkataan itu hanya diucapkan dengan suara bergumam kendatipun pemuda itu berteriak dengan suara yang amat keraspun belum tentu ada orang yang akan menggubrisnya. Dalam pada itu Be Siau soh sudah memberi hormat kepada si nenek sambil menyapa. "Bibi kedua, kenapa sampai sekarang baru sampai disini?" "Yaa, kenapa lagi? Tentu saja gara-gara bocah tolol itu" Sahut si nenek dengan jengkel. Mendadak Li popo menengadah lalu tertawa terbahak- bahak. "Haaah... haaah... haaah... aku si nenek buta memang betul-betul tak berguna bagus, bagus rupanya aku telah mengira putrinya si kelabang hitam Be Ji nio sebagai orang yang patut dikasihani, haaah... haaah... aku betul betul tak berguna" "Benar. Be Ji nio adalah ibuku" Sahut Be Siau soh "bukankah aku pernah mengatakan kepadamu bahwa aku she Be?" "Bagus, bagus sekali kalau begitu kalian berdua sekarang" Kata Li popo dengan wajah membenci. "tapi jangan dianggap aku si nenek buta akan menjadi kaput dibuatnya, hayolah kalian maju bersama" Sinenek membenturkan sepasang senjatanya hingga menimbulkan suara dentingan nyaring, kemudian katanya. "Li popo kau jangan mengikuti jejak putrimu dan menantumu, berkorban hanya dikarenakan kotak itu, apa pula gunanya? Hayo cepat katakan rahasia kotak itu, mungkin kamipun bersedia pula untuk membiarkan kau mati tua disini" "Benarkah itu?" Suara Li popo tinggi melengking. "Betul Be Siau soh membenarkan, kematian dari menantu terlalu penasaran, itulah dikarenakan ia tak bersedia mengikuti perkataanmu" Selama pembicaraan berlangsung, Ong It sin hanya memandang ke arah Be Siau soh dengan termangu mangu, ketika mendengar Be Siau soh serta si nenek menyinggung tentang "menantu" Dan "putri" Dari Li popo, kontan saja hatinya terkesiap. "Yang dimaksudkan sebagai menantu dan anaknya Li popo bukankah berarti ayah ibuku sendiri?" Demikian ia berpikir. "jika didengar dari pembicaraan kedua orang ini, tampaknya sewaktu ayahku mati, merekapun hadir di tempat kejadian?" Terkesiap rasanya Ong It sin setelah mendengar perkataan itu, buru buru serunya. "Hei, sebenarnya apa yang sedang kalian kerjakan?" Tapi si nenek dan Be Siau soh sama sekali tidak menggubris teriaknya itu. "Baik!" Terdengar Li popo berkata kemudian sambil tertawa aneh. "akan kuceritakan rahasia tentang kotak ini kepada kalian... Adapun kotak ini sebenarnya bernama..." Ketika berbicara sampai disitu, mendadak tubuhnya melompat kedepan toya bajanya langsung diayunkan keatas batok kepala mereka. Rupanya si nenek telah menduga bahwa Li popo tak akan menyerah dengan begitu saja, ia telah mempersiapkan diri secara diam diam, maka ketika toya si nenek melayang tiba, sepasang senjatanya langsung diayun ke udara dan... "Trang!" Ayunan toya dengan gaya bukit Tay san menindih kepala itupun segera terbendung. Bersama waktunya itu pula, tubuh Be Siau soh bagaikan sukma gentayangan menyusup ke belakang Li popo tanpa menimbulkan sedikit suarapun. Dalam genggamannya tampak tujuh delapan batang duri tajam selembut rambut yang berwarna merah dan panjangnya satu inci, begitu menyusup ke belakang Li popo, tangannya segera diayun ke depan dan sebatang jarum yang amat tajam segera meluncur ke depan dan menyergap lambung Li popo... Saking lembutnya seperti rambut, jarum itu menyusup keluar tanpa menimbulkan sedikit suarapun. Kebetulan sekali pada waktu itu Li popo sedang mengayunkan toyanya ke depan dan si nenek menyongsong datangnya ancaman itu dengan senjatanya pula, bentrokan antara dua macam senjata segera menimbulkan suara benturan yang memekikkan telinga. Dalam keadaan demikian mana mungkin Li popo dapat menangkap sambaran senjata rahasia yang pada hakekatnya tidak menimbulkan suara apa pun itu? Tahu tahu Li popo merasakan pinggangnya menjadi sakit dan kaku, sebatang jarum tajam telah menusuk pinggangnya sedalam tiga empat inci lebih... Dengan kaget Li popo mundur kebelakang, lalu meraba pinggangnya yang terasa sakit itu. Sementara itu Be Siau soh telah mundur kebelakang, dengan suara keras segera bentaknya. "Tahan! Aku rasa kau pasti sudah tahu bukan betapa lihaynya jarum kelabang dari Be Ji nio Kenapa masih berani untuk merasakannya dengan tanganmu?" Sesungguhnya jari tangan Li popo sudah hampir meraba ujung jarumnya yang bersarang dipinggangnya itu, tapi ucapannya dari Be Siau soh segera menghentikan gerakan tubuhnya di tengah jalan ia menjadi kaku dan tak berani berkutik lagi. Paras mukanya kontan saja berubah menjadi hijau membesi, kerutan diatas wajahnya mengejang keras, sepatah katapun tak mampu diucapkan. "Heehhh... hhhehh... heeehhh... Li popo, serahkan saja selembar jiwamu itu kepadaku!" Jengek Be Siau soh sambil tertawa dingin. "Serahkan obat penawar itu kepadaku!" Kata Li popo dengan lirih, suaranya mulai gemetar. "Boleh saja! Cuma kau mesti memberitahukan dulu rahasia tentang kotak tersebut kepada kami obat penawar pasti akan kuberikan untukmu kemudian" Li popo tertawa dingin. "Jika kau dapat memberikan obat penawar itu kepadaku sehabis kuberitahukan rahasia itu kepadamu, kau masih belum terhitung sebagai putrinya Kelabang beracun Be Ji nio. Hayo serahkan dulu obat penawarnya kepadaku, kalau tidak biar nyawa hilaang, akan kubawa rahasia kotak ini ke dalam liang kubur" "Craaap" Toyab besinya segera ditancapkan keatas tanah dan buru buru mengeluarkan kotak itu. Menjumpai keadaran tersebut, Be Siau soh lantas berpaling kearah si nenek sembari bertanya. "Bibi Ji ih, bagaimana tpendapatmu?" "Memang ada baiknya kita berikan dulu obat penawar tersebut kepadanya, bagaimanapun juga racun dari jarum kelabang milik ibumu toh harus dipunahkan sebutir pil untuk sebatang jarum? Bila ia pungkiri janjinya sehabis makan obat penawar kita hadiahkan lagi beberapa jarum kelabang untuknya" "Benar juga ucapan bibi Ji ih!" Dari sakunya ia mengeluarkan sebiji pil berwarna hijau dan segera disentilkan ke depan. Buru buru Li popo menyambar pil hijau itu dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Setelah mencabut keluar jarum beracun yang bersarang dipinggangnya dan beristirahat sesaat Li popo baru mengambil kotak mestika itu seraya berkata. "Kotak ini didapatkan oleh suamiku dimasa lalu dengan mengorbankan selembar jiwanya, sejak memperoleh kotak ini, akupun membawa putriku jauh menyingkir ke luar perbatasan. Sungguh tak nyana putriku tak becus, untuk mewujudkan keinginannya mengawini Ong Tang thian si binatang itu, ternyata ia melarikan kotak tersebut dan kabur bersama suaminya..." Ketika berbicara sampai disini, Li popo berhenti sejenak dengan wajah menunjukkan kesedihan, diantara matanya yang buta tampak air mata jatuh bercucuran. Ong It sin tidak banyak mengetahui kejadian tentang orang tuanya, bahkan ini baru merupakan pertama kalinya mendengarkan kisah ayah ibunya itu. Sepasang tangannya jadi mengepal kencang, matanya terbelalak besar, ia mendengarkan kisah tersebut dengan penuh perasaan tegang. Li popo menghela napas panjang, katanya kembali. "Sekalipun kotak itu dibawa kabur namun mereka tak mengetahui rahasianya, dalam perkiraan mereka setelah lewat beberapa waktu aku akan berubah pikiran dan menceritakan rahasia tentang kotak itu kepada mereka. Siapa tahu aku justru menjadi putus asa dan kecewa sekali setelah menyaksikan putriku yang kupelihara hingga dewasa ternyata bersikap demikian kepadaku hakekatnya aku sudah enggan bertemu lagi dengan mereka hingga akupun pergi jauh ke wilayah See bi dan tinggal di lembah Cong cu kok ini." "Hei, apa gunanya kau membicarakan soal soal yang tak penting itu? Kapan kau hendak menyudahi ceritamu tersebut?" Tukas Be Siau soh tidak sabar. "Biarkan aku bercerita!" Bentak Li popo. Si nenek segera memberi tanda kepada Be Siau soh sambil berbisik. "Biarkan saja ia bercerita!" Be Siau soh pun tidak bersuara lebih jauh. Maka Li popo pun bercerita kembali. "Merekapun tunggu punya tunggu, berulang kali putriku yang durhaka itu ingin memasuki lembah Cong cu kok untuk bertemu denganku, tapi setiap kali niatnya tak pernah kesampaian, akhirnya bukan saja mereka tak berhasil mendapatkan rahasia tentang kotak itu bahkan justru tewas karena benda itu!" Sampai disini ia tak dapat menahan diri lagi sambil menengadah tergelaklah nenek itu sekeras kerasnya. "Hei, popo! Apa yang kau tertawakan?" Tegur Ong It sin dengan wajah kebingungan. Dalam anggapan pemuda itu, cerita yang dikisahkan Li popo sebuah cerita yang tragis dan menyedihkan ia tak habis mengerti adalah kenapa orang bukannya menangis karena sedih, sebaliknya malah tertawa terbahak bahak. Tapi Li popo masih juga tertawa tergelak tiada hentinya, sampai malam sekali ia baru berkata lagi. "Kenapa aku tak boleh tertawa? Ketika putriku yang durhaka itu mencuri kotak pusaka dan kabur bersama Ong Tang thian, siapa yang bisa membayangkan kesedihan dalam hatiku? Perbuatan mereka sama seperti membunuh diriku, tapi kini mereka justru mampus lebih dulu karena kotak tersebut, itulah kebaikan Thian dan itulah ganjaran yang pantas buat mereka, kenapa pula aku tak boleh tertawa tergelak?" Selesai mendengar perkataan itu, Ong It sin hanya tertawa getir belaka, ia tak bisa berbicara lagi. "Setelah mereka mati, dalam anggapannya meskipun aku membenci mereka tak akan membenci putranya" Kata Li popo lebih jauh. "maka merekapun menyuruh putra mereka dengan membawa kotak mestika tersebut datang menjumpai diriku, haaahh... haaahh... haaahh... lagi-lagi mereka berbuat kekeliruan, aku tak akan menceritakan rahasia kotak ini kepadanya, sekalipun putranya bakal merengek rengek kepadaku!" Ketika berbicara sampai pada akhirnya perkataan dari Li popo hampir saja diutarakan dengan suara setengah menjerit. Ong It sin yang menyaksikan kejadian tersebut merasa sedih sekali buru buru katanya. "Popo sudahlah kalau kau tak ingin mengatakannya sebab bagaimanapun juga aku memang tak ingin tahu rahasia apa yang menyelimuti kotak mestika tersebut!" Ucapan dari Ong It sin ini adalah kata kata sejujurnya, dia memang tak tertarik sama sekali oleh rahasia dari kotak tersebut. Tapi popo sama sekali tidak menggubris ucapannya dia hanya bertanya kepada si nenek Be Siau soh berdua. "Aku ingin bertanya lagi kepada kalian asal kamu berdua bersedia menjawab dengan sejujurnya maka rahasia tentang kotak ini pasti akan kuberitahukan kepada kalian berdua" "Tanyakan saja!" Li popo menarik napas panjang panjang, lalu tanyanya. "Apakah putri durhaka itu tewas ditangan kalian berdua?" Si nenek segera tertawa dingin. "Ketika putrimu mampus Siau soh masih seorang anak kecil, tapi dugaanmu memang tak meleset memang toaciku Be Ji nio yang turun tangan cuma jalan ceritanya berliku liku sekali, jadi lebih baik tak usah dibicarakan lagi" Ong It sin yang iktu mendengarkan pembicaraan tersebut segera merasakan kepalanya seperti disambar oleh geledek, sepasang kakinya kontan menjadi lemas hingga jatuh terduduk. Pukulan batin yang dialaminya sekarang boleh dibilang benar benar teramat besar. Oleh karena itu setelah jatuh terduudk diatas tanah, ia merasakan telinganya mendengung keras dan pandangan matanya menjadi gelap. Untuk sesaat lamanya ia seperti tidak mendengar apa apa seperti tidak melihat apa apa... Cuma, perhatian semua orang waktu itu sedang ditujukan kepada Li popo jadi tak seorangpun yang mengetahui keadaan anak muda tersebut. Sambil manggut manggut Li popo berkata kembali. "Baik, kalian dengarkan baik baik, pemandangan yang tercantum dalam kotak itu merupakan pemandangan Ning peng cuan di bukit Pak thian san sesampainya disana kalian akan melihat sebuah bukit salju, bila naik dari sebelah timur bukit salju tersebut maka akan kau jumpai tujuh belas buah gua salju. Nah! Dalam gua salju ke enam itulah merupakan tempat yang hendak kalian tuju" Selesai berkata, ia lantas melemparkan kotak mustika itu kedepan. Buru buru si nenek menyambar kotak itu dan menerimanya. Sementara itu Ong It sin yang tergeletak di tanah baru sadar kembali pikirannya pada waktu itu maka apa yang barusan dikatakan Li popo pun dapat terdengar pula olehnya. Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Terdengar Li popo berkata kembali. "Sungguhkah kalian tak akan turun tangan lagi kepadaku?" "Heeeh... heeeh... heeeh... kenapa kami musti turun tangan lagi...?" Jengek Be Siau soh sambil tertawa dingin. Kejut dan gusar Li popo setelah mendengar perkataan itu, bentaknya. "Hei, apa maksudmu berkata demikian?" "Kau anggap obat yang kuberikan kepadamu tadi adalah obat penawar? Hmm! Terus terang kuberitahukan kepadamu, obat itu bernama Si sim wan (pil penggerogot hati) saat ini sari racunnya sudah merasuk dalam ke setiap organ tubuhmu" Li popo segera menjerit keras, toya besi yang ditancapkan diatas tanah itu segera dicabut keluar dan langsung diayunkan ke depan. Tapi baru saja toya terangkat, tiba-tiba badannya sempoyongan, dan... "Braaak!" Tak ampun lagi tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah Menyaksikan kejadian tersebut, si nenek segera tertawa terbahak bahak. "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... Siau soh, kau memang pandai sekali bertindak, kehebatanmu tidak berada dibawah ibumu. Haaahhh... haah... ia tak menyangka kalau kita bakal bertindak secara demikian kepadanya, apa yang telah dikatakan olehnya tadi sudah jelas tak bakal salah lagi!" Sambil berkata ia mendongakkan kepalanya dan tertawa keras terus menerus, jelas ia merasa amat berbangga hati. "Ji ih! Baik baiklah kau simpan kotak itu" Kata Be Siau soh kemudian. "bukit Pak thian san terlalu jauh, aku agak tak tega untuk meninggalkan anakku, maka aku tidak bermaksud untuk mengikuti dirimu pergi ke Pak thian san untuk mencari gua salju tersebut!" Mula mula si nenek agak tertegun, kemudian katanya. "Siau soh, kalau kau bisa berkata demikian, itu menandakan bahwa kau memang tahu diri. Baiklah, jika bibi Ji ih betul betul berhasil mendapatkan kebaikan, pasti tak akan kulupakan untuk memberi kepadamu, setuju bukan?" Dengan langkah yang pelan Be Siau soh maju beberapa langkah kedepan, lalu sahutnya. "Tentu saja, kalau aku ingin berebut kotak dengan Ji ih, bukankah hal ini sama pula artinya mencari kematian buat diri sendiri?" Sambil berkata ia menunjuk ke arah kotak mustika tersebut. "Haaah... haaah... haaah... aku memang..." Tapi baru saja ia mengucapkan ketiga patah kata tersebut, mendadak Be Siau soh menggerakkan tangannya merampas kotak yang berada ditangan si nenek. Oleh karena gerakan dari Be Siau soh ini dilakukan sangat mendadak dan sama sekali diluar dugaan si nenek yang betapapun lihaynya dibuat tertegun juga sehingga untuk sesaat lamanya ia tak sanggup melakukan sesuatu perbuatan apapun. Pada kesempatan itu pula, Be Siau soh segera mengayunkan telapak tangannya ke depan delapan sembilan batang jarum kelabang yang selama ini berada dalam genggamannya itu segera disambit kedepan. Padahal ketika itu Be Siau soh hanya berdiri dua tiga depa saja dihadapan si nenek, kalau tidak bagaimana mungkin Be Siau soh dapat merampas kotak yang berada di tangan si nenek? Bisa dibayangkan saja bagaimana akibatnya ketika secara tiba-tiba pula ada delapan sembilan batang jarum kelabang disambit ke arahnya secara mendadak dengan kecepatan luar biasa? Pada hakekatnya tak ada kesempatan lagi buat si nenek untuk melarikan dirinya. Sementara dia masih tertegun, kedelapan sembilan batang jarum kelabang itu telah menancap semua diatas tubuhnya, dan pada saat yang bersamaan pula Be Siau soh telah melayang mundur jauh ke belakang. Hingga detik itu si nenek agaknya masih belum mengerti apa gerangan yang telah terjadi. Sambil menuding ke arah Be Siau soh yang telah mundur dua tiga kaki jauhnya itu, ia berseru. "Siau soh, kau... kau..." "Ji ih bukankah kau telah berkata bahwa caraku bekerja jauh lebih bagus daripada ibuku?" Ujar Be Siau soh dengan suara dingin. "Benar, benar!" Mendadak si nenek merentangkan sepasang tangannya lalu bagaikan seekor burung aneh menerjang kedepan sana. Be Siau soh masih tetap berdiri tak berkutik di tempat semula, sekalipun ia menyaksikan tubuh si nenek sudah mencapai ketinggian beberapa kaki dan siap menerjang ke arahnya. Pada saat itulah, si nenek yang sudah berada lima enam depa diudara menjerit aneh kemudian tubuhnya seperti sepotong batu rontok ketanah dan terbanting keras keras diatas tanah. Sewaktu mencapai permukaan tanah, sepasang matanya melotot besar penuh kegusaran, jelas ia mati dengan penasaran. Seperti diketahui, racun keji yang berada diujung jarum kelabang adalah sejenis racun yang bekerja amat lambat bila sang korban sama sekali tak berkutik setelah terserang, tadi begitu tubuhnya bergerak, maka serta merta racun itupun segera akan bekerja. Oleh sebab itulah tak heran jika Li popo tak berani berkutik barang sedikitpun setelah terkena racun kelabang, karena dia tahu racun dari Be Ji nio adalah termasuk sejenis racun lihay. Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan sinenek yang sudah terkena delapan batang jaum kelabang tapi masih berani menerjang keudara, hakekatnya perbuatan semacam itu sama seperti mencari kematian buat diri sendiri. Dengan tewasnya dua orang nenek yang belum lama berselang masih melangsungkan pertarungan sengit itu, suasana dalam lembah itu pun pulih kembali dalam keheningan. Ong It sin membelalakkan sepasang matanya lebar lebar, mulutnya melongo dan sepatah katapun tak sanggup diucapkan keluar. Ia merasa tenggorokannya seperti tersumbat oleh suatu benda sehingga tiada suara yang bisa diutarakan keluar. Waktu itu ia bertanya terus kepada dirinya sendiri, benarkah gadis yang berada dihadapannya sekarang adalah Be Siau soh? Benarkah si gadis cantik manis yang berada di hadapannya dalah Be Siau soh yang patut dikasihani dan menitipkan anaknya kepadanya itu? Benarkah dia adalah Be Siau soh yang telah melakukan adegan syahdu dengannya didalam ruangan batu itu? Dengan wajah termangu mangu ditatapnya gadis itu dengan wajah kebingungan, pikirannya benar benar terasa amat kalut. Sementara itu Be Siau soh telah memalingkan kepalanya ke arah Ong It sin, setelah mengawasinya sekejap, dia baru bertanya. "Kenapa kau tidak berdiam di benteng Khek po?" Sebenarnya Ong It sin telah bertekad untuk tidak mengakui gadis itu sebagai Be Siau soh, tapi begitu soal benteng Khek po disinggung kontan saja ia menjadi tertegun. "Jadi kau... kau benar-benar adalah Be Siau soh? Kau adalah Siau soh yang kukenal?" "Benar, memangnya kau anggap Siau soh itu manusia macam apa?" Ong It sin memandang sekejap tubuh Li popo dan si nenek yang tergeletak ditanah, kemudian gumamnya seorang diri. "Kalau begitu aku pasti sedang bermimpi, aku pasti sedang bermimpi buruk..." Be Siau soh tidak sabar lagi, dia langsung menghampiri anak muda itu dan menegur lebih jauh. "Hayo jawab, kenapa kau tidak berdiam di benteng Khek po? Dimanakah bocah itu?" Ong It sin hanya bisa memandangi wajah si nona yang cantik jelita itu dengan pikiran bingung, untuk sesaat sepatah katapun belum bisa juga diucapkan. Pelan pelan Be Siau soh berjalan menghampiri ke hadapannya lalu berjongkok disampingnya. Ong It sin mengendus bau harum semerbak yang merbangsang hatinya muncul dari tubuh gadis itu, itulah bau harum yang sangat khas baginya, entah sudah beberapa malam iad membayangkan kembali bau harum semerbak itu serta kejadian yang telah dialaminya pada malam syahdu tersebut. Tapi sekarang, berhadapan dua sosok mayat dari Li popo dan si nenek yang tergeletak dihadapannya, ia tak bisa merasakan kembali bagaimana indahnya malam syahdu tersebut, hal rmana membuat hatinya merasa sedih sehingga tanpa terasa lagi dia menangis tersedu sedu. Ong It sin yang menangis secara tiba-tiba ini sama sekali diluar dugaan Bet Siau soh, dalam anggapannya, jangan- jangan bocah itu sudah tertimpa musibah. Paras mukanya segera berubah hebat, dengan suara melengking teriaknya keras keras. "Kau membawa anakku ke mana? Bagaimana keadaan anakku sekarang?" Ong It sin belum juga menjawab, dia hanya menangis tersedu sedu bahkan makin menangis semakin sedih. Apa yang dibayangkan selama ini hanya keindahan malam yang pernah dilewatinya bersama Be Siau soh itu, peristiwa tersebut boleh dibilang merupakan kejadian paling menyenangkan selama hidupnya. Sekalipun setiap kali terbayang akan diri Be Siau soh, ia merasa bingung bercampur sedih, tapi kenangannya selalu indah dan manis. Tapi sekarang, keindahan yang dimilikinya itu telah lenyap dengan begitu saja, bagaimana mungkin hatinya tidak menjadi sedih. Sebagai seorang pemuda yang tak pernah menangis, sekali meledak isak tangisnya maka hebatlah akibatnya. Isak tangis yang makin lama makin sedih itu membuat Be Siau soh makin bingung dan kalut pikirannya. Sudah puluhan kali ia menanyakan soal anaknya tapi pemuda itu belum juga menjawab, akhirnya setelah ia berteriak disisi telinga pemuda itu, Ong It sin baru berseru. "Hilang... semuanya telah hilang..." Jawaban tersebut semakin mengejutkan Be Siau soh, dengan cepat ia mencengkeram baru anak muda itu lalu diangkatnya ke udara, setelah itu bentaknya lagi. "Kenapa bocah itu bisa hilang? Apakah kau telah membunuhnya?" Pelan pelan Ong It sin dapat menjadi tenang kembali. "Kau... kau bilang aku telah membunuh anak itu?" Ia balik bertanya. Rupanya dia tidak mengerti dengan maksud ucapan dari si nona, maka pemuda itu balik bertanya. Apa lacur Ong It sin baru saja berhenti menangis, suaranya masih tersendat sendat karena menahan sesenggukannya, maka perkataan itu kedengaran malah seperti "aku telah membunuh anak itu"... Ucapan yang kurang jelas tersebut membuat Be Siau soh menjadi salah paham dia mengira anaknya benar benar telah mati ditangan Ong It sin, hal mana membuat hatinya benar benar bergetar keras Sekalipun dia kawin dengan Khek po pocu dengan maksud tertentu, tapi bagaimanapun juga anak itu tetap merupakan anaknya yang telah dikandung selama sembilan bulan lebih sepuluh hari didalam rahimnya, sedikit banyak rasa cinta dari ibu terhadap anaknya tetap ada. Dalam kejutnya, gadis itu segera mengayunkan telapak tangannya ke depan untuk menghajar batok kepala Ong It sin. Tapi pada saat itu pula mendadak hatinya terasa amat sakit, walaupun pukulan tersebut bersarang juga diatas batok kepala si anak muda itu, akan tetapi berhubung pandangan matanya menjadi gelap dan ia jatuh tak sadarkan diri, maka serangan tersebut sedikitpun tidak membawa daya kekuatan. Ong It sin mimpipun tak menyangka kalau jiwanya hampir melayang akibat ucapannya yang kurang jelas. Ketika menyaksikan gadis she Be itu roboh ke tanah dengan wajah pucat pias seperti mayat, buru-buru dia membimbingnya bangun sambil berseru. "Nona Be, nona Be, kenapa kau jatuh tak sadarkan diri?" Setelah berteriak puluhan kali Be Siau soh baru sadar kembali dari pingsannya, begitu melompat bangun, ia lantas mencengkeram tangan Ong It sin sambil berseru. "Kau... kau berani membunuh anakku?" Ong It sin sangat terperanjat mendengar perkataan itu, sambil melompat bangun teriaknya. "Hei, siapa yang bilang aku melakukan perbuatan semacam ini? Jika aku sampai mengganggu seujung rambutnya saja, biar aku segera dijebloskan kedalam neraka tingkat kedelapan belas!" Pelan pelan Be Siau soh dapat menenangkan kembali hatinya, ia adalah seorang gadis yang pintar, dengan cepat disadari bahwa ia telah salah menduga, maka sambil menghela napas katanya. "Kalau begitu kenapa kau tidak berada dalam benteng Khek po untuk menjaga anak itu?" "Yaa, apa boleh buat?" Ong It sin tertawa getir. "aku telah diusir oleh pocu!" Be Siau soh segera meronta bangun dari pelukan Ong It sin, teriaknya cepat cepat. "Lantas dimanakah pedang antik yang kuserahkan kepadamu itu?" OoowOdooo Ong It sin tertawa, sahutnya. "Pedang antik itu telah kupersatukan kembali dengan sarung pedang Cian nian liong siau, gembirakah kau?" Be Siau soh berseru tertahan lalu dengan sangat gembira dipeluknya anak muda itu erat erat dan mencium pipinya dengan mesrah. "Oooh... kau memang baik sekali" Serunya. "cepat serahkan pedang berikut sarungnya itu kepadaku." "Tapi sekarang pedang itu tidak berada ditanganku!" Sahut Ong It sin agak tersipu. "Apa?" Be Siau soh menjerit kaget. "Ada seorang manusia aneh berkepala besar berambut kuning yang memiliki ilmu silat sangat lihay berkata bahwa bila pedang berikut sarungnya itu disimpan, kendatipun ilmu silatku tinggi, belum tentu dapat melindunginya, maka ia bilang akan menyimpankan dulu senjata tersebut untuk sementara waktu!" Hampir meledak pada Be Siau soh setelah mendengar perkataan itu, rasa gusar yang berkobar dalam dadanya sukar dilukiskan dengan kata kata serunya kemudian. "Dan kaupun menyerahkan dengan begitu saja senjata tersebut kepadanya...?" Ong It sin sadar bahwa kejadian itu telah berkembang menjadi amat serius, dia lantas manggut manggut. "Benar, aku lihat si manusia aneh berkepala besar berambut kuning itu memang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, aku rasa memang paling aman jika menitipkan senjata tersebut untuk sementara waktu ditangannya, maka akupun menyerahkan pedang tersebut kepadanya!" Be Siau soh telah mengayunkan telapak tangannya siap menampar wajah Ong It sin keras keras tapi menyaksikan wajahnya yang ketolol tololan itu ia segera urungkan kembali niatnya, sebab dia tahu sekalipun pemuda itu ditampar juga tak ada gunanya, karena belum tentu dia tahu sebab dirinya ditampar. Maka setelah termenung sejenak, dia berkata "Kau memang dungu, gobloknya seperti babi. anggap saja aku memang bermata buta sehingga menyerahkan persoalan penting ini kepada seorang manusia yang lebih goblok dari babi seperti kau!" Dampratan itu sama sekali tidak tanggung tanggung, sudah barang tentu amat menyakitkan hati Ong It sin. Sebagai seorang pemuda yang goblok, sesungguhnya ia sudah terbiasa dimaki orang, tapi makian dari Be Siau soh justru amat melukai hatinya, sebab didalam anggapannya gadis itu adlaah orang terbaik didunia ini, dan sekarang orang yang palinag baik kepadanya telah mendampratnya lebih dungu daripada seekor babi, bayangkan saja, betapa sedihnya anak muda tebrsebut menghadapi kejadian semacam ini. Untuk sesaatr lamanya ia menjadi termangu mangu dan berdiri bodoh ditempat, sepatah katapun tidak diucapkan. Be Siau soh mentggerakkan tangannya siap menghajar kembali dadanya, tapi niat tersebut kembali diurungkan. Sambil menarik kembali serangannya dia berkata. "Sebenarnya, aku hendak membunuhmu karena kau telah menghilangkan pedang antik Hu si ku kiam milikku, tapi sekarang aku telah mengampuni selembar jiwamu, apakah kau merasa amat berterima kasih sekali?" Ong It sin tidak menjawab, diam diam pikirnya. "Sesungguhnya dengan sukarela pasrah aku bersedia melakukan semua tugas yang kau berikan kepadaku, tapi sekarang kau memakiku lebih dungu dari seekor babi, apa lagi yang harus kukatakan?" Semakin dipikir ia merasa semakin sedih, sehingga untuk sesaat lamanya tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. "Hei tadi kau bilang pedang itu diambil oleh seorang manusia aneh berkepala besar berambut kuning, sebenarnya siapa namanya?" Tanya Be Siau soh tiba tiba. "sarung naga Cian nian liong siau sudah banyak tahun tak diketahui jejaknya, kenapa bisa muncul secara tiba tiba?" "Cian nian liong siau dibawa oleh Say siu jin mo (manusia iblis berkepala singa) kedalam benteng Khek po, maksudnya hendak meminta pedang Hu si ku kiam dari tangan Pocu kemudian muncullah Say siu jin mo dan mengalahkan Say siu jin mo, Say siu jin mo itupun merampas sarung naga milik Say siu jin mo, Say siu jin mo tahu pedang antik berada ditanganku..." "Tutup mulut!" Tiba tiba Be Siau soh membentak. Ong It sin tertegun dan segera membungkam. Rupanya apa yang diucapkan olehnya barusan telah membingungkan diri Be Siau soh. Padahal, darimana dia tahu kalau apa yang diucapkan Ong It sin sesungguhnya adalah kata sejujurnya, sebab ada dua orang Say siu jin mo yang telah munculkan diri, tapi berhubung ia tidak memberi keterangan lebih dahulu, sudah barang tentu Be Siau soh dibikin kebingungan setengah mati... Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan gusar Be Siau soh berkata. "Sungguh tak kusangka kau pura pura jujur, ternyata seorang manusia yang pandai bermain kayu. Hmm! Hayo bicara sejujurnya pada yang telah terjadi...!" Melihat kelembutan dan kebaikan hati si nona sama sekali lenyap, sebaliknya ia malahan menggunakan kata kata tajam untuk memakinya, Ong It sin semakin terpukul hatinya, kesedihan yang luar biasa membuatnya harus berbicara secara terbata bata. Setelah dengan susah payah membeberkan semua yang terjadi akhirnya Be Siau soh baru dapat menangkap apa gerangan yang telah terjadi katanya kemudian. "Jadi menurut pendapatmu, Say siu jin mo dapat mengembalikan pedang berikut sarungnya itu padamu?" "Aku rasa dia tak akan mengingkari janji" Mendengar sampai disitu Be Siau soh pun segera berpikir. "Yaa, bicara seribu kalipun tak ada gunanya, siapa menyuruh aku mempercayai seorang tolol seperti dia, apa lagi yang mesti kulakukan sekarang? Membunuhnya bukan suatu cara yang baik, malah ada baiknya biarkan saja ia tetap hidup, siapa tahu malahan akan mendatangkan kegunaan bagiku dikemudian hari?" Berpikir sampai disitu, ujarnya kemudian. "Kalau begitu, apa pula yang hendak kau lakukan jika dapat memperoleh kembali pedang dan sarungnya itu?" "Aku pasti akan mencari kau sampai dapat dan mengembalikannya kepadamu..." "Emmm... hitung-hitung kau masih mempunyai sedikit liang sim, nah! Sekarang kau boleh enyah dari sini, karena aku masih ada urusan penting yang harus diselesaikan!" Ucapan itu membuat Ong It sin menjadi tertegun, tapi ia masih mempunayi sebercak harapan kembali tanyanya. "Nona Be, tentang kejadian malam itu dirumah batu..." Tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, paras muka Be Siau soh telah berubah hebat, bentaknya. "Tutup mulut, jika kau berani menyinggung kembali kejadian malam itu, aku segera membunuhmu!" Ong It sin menjadi terbelalak dengan mulut melongo dampratan dari Be Siau soh telah melenyapkan sama sekali harapannya yang terakhir, untuk sesaat lamanya dia merasakan pikirannya kosong dan melayang layang, untuk sesaat tak tahu apa yang musti diucapkannya. Melihat pemuda itu belum juga pergi dari situ, Be Siau soh dengan mata melotot dan alis mata berkenyit kembali berseru. "Aku hendak peringatkan kepadamu juga, kepada siapapun kau dilarang mengatakan bahwa kau kenal denganku!" Keadaan Ong It sin pada saat ini ibaratnya seseorang yang terluka parah, ia mulai merintih. "Masa... masa bilang kenal dengan kau saja tidak boleh?" Bisiknya dengan sedih. "Yaa, kalau kau berani berkata begitu, aku pun akan merenggut selembar jiwamu!" Ong It sin menundukkan kepalanya rendah rendah, ia tak mampu berbicara lagi. Untuk sesaat kemudian, dia baru pelan pelan memutar badan dan pergi dari situ. Pikiran maupun perasaannya ketika itu kosong dan tak berisi apa apa, bahkan pada hakekatnya dia tak tahu kemanakah dia harus pergi. Ia hanya berjalan terus tiada hentinya menanti hari telah gelap, dia baru menghentikan langkahnya. Dalam kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad, dia tak tahu dimanakah sekarang berada dan apa yang musti dilakukan. Dalam keadaan beginilah dia menghela nafas panjang. Semua pengalaman yang dialaminya selama ini ibaratnya suatu impian baginya, banyak sudah yang ia telah lakukan selama ini, tapi ketika mendusin dari impiannya, semua berakhir dan semua musnah dengan begitu saja. Semua sanak keluarganya telah hilang lenyap, familinya pada mati satu satunya nenek yang baru dijumpai pun belum berbicara banyak telah tewas pula ditangan Be Siau soh, sekarang ia benar benar hidup sebatang kara. Ketika masih hidup dalam perkampungan keluarga Li dulu, sekalipun tak bisa dikatakan terlalu gembira, diapun tak pernah murung seperti penderitaan yang dialaminya sekarang. Dengan termangu mangu ia duduk dalam kegelapan dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Setengah jam sudah lewat tanpa terasa, pikirannya makin lama makin bertambah kalut, tapi diapun tak tahu apa yang dipikirkannya selama ini. Suatu ketika, mendadak ia teringat kembali akan diri Be Yau dan Lau Hui. Diapun teringat pula ketika Be Yau menyerahkan kotak itu kepadanya sambil berpesan bahwa kotak tersebut merupakan benda peninggalan dari mendiang ayahnya. Tapi sekarang, kotak mustika yang merupakan satu- satunya benda warisan dari ayahnya dirampas pula oleh Be Siau soh. Dalam keadaan pikiran yang gundah ia menghela napas panjang dan berdiri. Pada saat itulah tiba tiba ia menangkap serentetan suara aneh berkumandang dari tempat kejauhan yang kian lama kian bertambah dekat. Ong It sin sama sekali tidak berani untuk menghindarkan diri atau kabur dari situ, dengan memalas malasan ia mendongakkan kepalanya. Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo