Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bego 26


Pendekar Bego Karya Can Bagian 26


Pendekar Bego Karya dari Can   "Apa alasanny?"   "Gampang sekali, seandainya dia adalah Say siu jin mo gadungan, orang orang Ki thian kau sudah pasti telah menolongnya pergi."   Setelah mendengar perkataan itu, Bwe Leng soat menjadi berlega hati dan segera melanjutkan perjalanannya kedepan.   Waktu itu pintu kota Si ciu sudah tertutup rapat.   Dengan gaya burung walet terbang diangkasa, Bwe Leng soat segera melayang naik keatas dinding kota, kemudian serunya sambil menengok kebawah.   "Ong toako, perlu dibantu dengan tali?"   Rupanya dia melihat Ong It sin yang harus membopong seseorang, dia kuatir pemuda itu tak sanggup naik keatas. Tapi dengan cepat Ong It sin menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Tidak usah!"   Tampiknya.   Ujung kakinya segera menutul permukaan tanah, dengan jurus Cian liong seng thian (naga air naik ke langit) tubuhnya melayang tiga kaki ke udara kemudian sambil merentangkan tangannya, seperti sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur naik keatas dinding kota.   "Suatu ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna!"   Puji Bwe Leng soat dengan perasaan kagum.   "Terima kasih atas pujian nona..."   Tidak menunggu selesainya ucapan tersebut, dia sudah melewati atap rumah penduduk dan menuju ke rumah penginapan yang telah mereka pesan.   Dengan kencang Bwe Leng soat mengikuti di belakangnya.   Setelah berada dalam ruangan mereka membaringkan tubuh manusia aneh berkepala besar berambut merah itu diatas pembaringan.   Kebetulan sekali Say siu jin mo baru saja sadar dari pingsannya, ketika dia membuka matanya dan menyaksikan ada sepasang suami istri tua dari dusun berdiri dihadapannya, dengan terkejut serunya.   "Kalian suami istri berduakah yang telah meyelamatkan lohu?"   "Diluar kota sebelah utara ini kami jumpai kau tergeletak dengan menderita luka, maka sengaja kami membawamu pulang ke rumah penginapan ini...!"   Buru buru manusia aneh berkepala besar berambut merah itu melompat bangun dari atas ranjang, kemudian sambil menjura katanya.   "Terima kasih banyak atas budi pertolongan kalian berdua!"   Buru buru Ong It sin balas memberi hormat, sahutnya.   "Lotiang berbudi luhur dan berjiwa pendekar, kenapa harus berterima kasih? Tak usah sungkan sungkan!"   Manusia aneh berkepala besar berambut merah itu agak tertegun, kemudian serunya.   "Kau bilang apa?"   "Aku bilang belakangan ini Kwik tayhiap seringkali berbuat amal dan suka menolong orang dalam dunia persilatan, selama menolong orang lain apakah kau sendiri juga membutuhkan ucapan terima kasih dari orang lain...?"   Mendengar ucapan tersebut, kakek aneh berkepala besar berambut merah itu segera tertawa terbahak bahak.   "Haaahh... haaahh... haaahh... kakek tua rupanya kaupun seorang jago persilatan, kalau tidak, kenapa bisa begitu jelas mengetahui tentang diriku?"   "Terus terang kukatakan, kami hanya bisa beberapa jurus silat kasaran saja. lagipula juga tahu kalau kau adalah Say siu jin mo Kwik Siu yang asli, bukan begitu?"   Kejut dan heran si manusia aneh berkepala besar berambut merah itu sehabis mendengar ucapan tersebut.   "Betul!"   Sahutnya.   "lohu memang Kwik Siu, dulu orang menyebutku sebagai Say siu jin mo, tapi dalam sepuluh tahun belakangan ini aku sudah menyadari akan kesalahanku di masa lalu, maka aku bertobat dan berusaha untuk menebusnya, karena itu nama julukanku yang lamapun sudah tidak kugunakan lagi"   "Kau emmang seorang manusia yang pintar dan berjiwa besar, betul julukan Say siu jin mo (manusia iblis berkepala singa) sudah tidak cocok lagi bagimu, tapi julukan itu toh bisa dirubah menjadi Say siu hud sim (berkepala singa behati Buddha)?"   "Betul, aku rasa julukan tersebut memang cocok sekali untuk Kwik Tay hiap!"   Seru Bwe Leng soat pula. Dengan cepat manusia aneh berkepala singa berambut merah itu goyangkan tangannya berulang kali "Jangan, jangan begitu, dimasa lalu sepasang tangan lohu sudah penuh berlepotan darah, tidak pantas kuterima julukan tersebut"   "Justru karena itu, julukan itu baru pantas untukmu!"   Kata Ong It sin lagi dengan serius.   "Atas dasar apa kau bisa berkata demikian?"   "Apakah Kwik tayhiap belum pernah mendengar orang bilang, Melepaskan golok pembunuh, berpaling adalah daratan?"   Menyaksikan kedua orang itu sangat pandai berbicara dan dia tak mungkin bisa menangkan kedua orang itu, maka manusia berkepala besar berambut merah itu segera mengalihkan pokok pembicaraan kesoal lain ujarnya.   "Kalian suami istri berdua tentunya juga termasuk orang persilatan, dapatkah diketahui siapa nama kalian?"   Sebenarnya Ong It sin hendak mengaku terus terang, tapi dengan cepat Bwe Leng soat menyikutnya, kemudian berkata lebih dulu.   "Sebenarnya tiada suatu kepentingan buat kita untuk merahasiakan nama kami, akan tetapi berhubung disekitar tempat ini adalah daerah kekuasaan musuh, lagi pula demi lancarnya gerak gerik kami, maaf kalau nama kami belum bisa diberitahukan pada saat ini!"   Dengan perasaan kecewa Kwik Sui segera manggut manggut, katanya kemudian.   "Kalau begitu akupun tidak akan memaksa lagi!"   Mendadak Ong It sin seperti teringat akan suatu masalah, segera tanyanya.   "Kwik tayhiap, tahukah kau dimanakah letak markas besar dari perkumpulan Ki thian kau?"   Dengan cepat manusia aneh berkepala besar berambut merah itu menggelengkan kepalanya berulang kali. Sementara itu Bwe Leng soat juga teringat akan suatu masalah yang amat penting, dia segera berseru.   "Antara Kwik tayhiap dengan Say siu jin mo ibaratnya pinang dibelah dua, kalian berdua terlalu mirip sekali, apakah diantara kalian memiliki suatu ciri perbedaan?"   Manusia aneh berkepala besar berambut merah Kwik Sui berpikir sebentar, lalu sahutnya.   "Ada, yakni dibawah telinga kiriku terdapat sebuah lubang kecil seperti lubang anting, sedangkan adikku tidak ada"   Dengan cepat kedua orang itu mengingat ingat ciri tersebut didalam hati kecilnya. Kemudian Ong It sin pun mengalihkan kembali pokok pembicaraannya ke soal semula, katanya.   "Kwik tayhiap, kemana perginya nona Bwe Yau yang berhasil kau tolOng Itu?"   "Aaai... ia sudah dirampas kembali oleh gembong gembong iblis dari Ki thian kau, bahkan aku malah terkena pula sebuah pukulan Thi pi pia jiu yang maha dahsyat dari Hu kaucu mereka!"   "Apakah Kwik tayhiap mempunyai hubungan yang erat dengan nona Bwe Yau..."   Tanya Bwe Leng soat pula.   "Suhunya Seng hong tianglo adalah sobat karibku!"   "Sekarang dia sudah ditawan kembali oleh gembong gembong iblis tersebut, apa rencanamu untuk menyelamatkan dirinya?"   Manusia aneh berambut merah itu menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang.   "Aaai... sekarang aku masih belum punya rencana apa apa, tapi aku pasti akan berusaha dengan segala kemampuan yang kumiliki untuk menyelamatkan dirinya"   Berbicara sampai disitu, diapun lantas berpamitan.   Sepeninggal Kwik Sui, Bwe Leng soat juga kembali ke dalam kamarnya sendiri untuk beristirahat.   Keesokan harinya, dalam kota Si ciu mendadak kebanjiran lelaki berbaju merah darah Bahkan setiap orang yang berbaju aneh atau mencurigakan diawasi dengan ketat, malahan ada pula yang diperiksa.   Konon entah perbuatan siapa, disetiap sudut kota telah ditempeli surat pengumuman yang membeberkan kejahatan yang dilakukan Ki thian kau, malah menantang kaucu dari perkumpulan itu untuk bertarung besok pagi di tanah lapang dengan pagoda Cui ang teng.   Sehabis membaca pengumuman tersebut, Ong It sin menjadi sangat kuatir, katanya.   "Tak kusangka cianpwe tersebut bisa mengambil keputusan untuk berbuat demikian karena ingin cepat cepat menolong orang aku sangat kuatirkan keselamatan jiwanya!"   "Maksud Ong toako, kau hendak membalas budi kepada Say siu Hud sim...?"   Tanya Bwe Leng soat dengan suara dalam.   "Benar, sudah berulang kali dia menolong jiwaku, sekarang aku tahu dia terancam bahaya, mana boleh aku cuma berpeluk tangan belaka?"   "Kalau begitu, kita perlu mengadakan kontak lebih dulu dengan Coa toako kemudian baru menentukan tindakan selanjutnya, bagaimana?"   "Baiklah!"   Sahut Ong It sin setelah berpikir sebentar.   Kemudian bersama Bwe Leng soat berangkatlah kedua orang itu meninggalkan rumah penginapan.   Setelah melewati sebuah jalan raya, mereka belok ke dalam sebuah lorong yang sepi dan akhirnya berhenti didepan sebuah gedung yang berpintu gerbang warna merah.   "Apakah tempat ini adalah gedung keluarga Kang?"   Pemuda itu lantas menegur.   "Benar!"   Jawab penjaga pintu, siapa yang hendak kalian cari?"   "Tolong sampaikan kepada tuan rumah, bilang saja Ong It sin datang berkunjung"   Penjaga pintu itu segera masuk ke dalam pintu, kemudian katanya kepada seorang lelaki yang lian.   "Mana mungkin majikan kita bisa kenal dengan orang dusun seperti itu, cuma aku harus melaporkan ke dalam, sebelum aku kembali ke sini, jangan biarkan mereka masuk kedalam. Jelas si penjaga pintu ini mengira ada famili majikannya yang miskin datang untuk berhutang duwit. Lelaki yang lain segera mengiakan, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berdiri disamping pintu gerbang sambil berjaga jaga. Tampaknya sebelum ada ijin dari majikannya, tak nanti dia biarkan tamunya untuk masuk kedalam. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang lalu muncullah dua orang. Yang paling depan adalah seorang kakek, dia adalah Kang wangwe majikan gedung itu. Begitu sampai didepan pintu Kang wangwe segera menjura dalam dalam sambil berkata.   "Oooh... rupanya Ong tayhiap dan Bwe lihiap telah datang, bila Kang Tangliu terlambat menyambut kedatangan kalian berdua, harap suka dimaafkan!"   Ketika Ong It sin mendongakkan kepalanya maka tampaklah Kang wangwe ini bertubuh kekar bermata tajam beralis mata panjang dan berjenggot sedada, kalau dulu disebut Yu liong (naga sakti yang suka keliatan) Kang Tang liu maka tak salah lagi.   Buru buru Ong It sin dan Bwe Leng soat balas memberi hormat.   "Kang tayhiap tak usah sungkan sungkan!"   Sembar berkata mereka lantas melangkah masuk kedalam ruangan. Kejadian yang berlangsung didepan mata ini, kontan saja membuat kedua orang penjaga pintu itu menjadi tertegun dan berdiri termangu mangu... Tanpa terasa mereka berpikir.   "Untung saja aku tidak berbuat dosa atau kesalahan apa apa terhadap dua orang desa itu, kalau tidak, bisa jadi majikan bisa marah marah besar...!"   Sementara itu Ong It sin berdua sudah tiba dalam ruang tamu dan masing masing mengambil tempat duduk.   Malah kemudian nyonya rumah serta putra putri merekapun ikut bermunculan untuk berjumpa dengan sepasang pendekar muda mudi yang amat dikagumi itu.   Siapa tahu setelah dilihatnya kedua orang itu cuma kakek dan nenek desa, si nona baju merah itu segera mencibirkan bibir, kepada kakaknya yang berada disisinya dia lantas berbisik.   "Pasti paman Coa menipu kita berdua!"   "Huuss, jangan sembarangan bicara"   Tegur pemuda itu lirih.   "mana mungkin paman Coa membohongi orang, siapa tahu kalau mereka sedang menyaru dan sengaja menutup wajah aslinya sendiri?"   Tampaknya gadis itu, putri Kang Tang liu yang bernama Kang Pek po ini belum mau juga percaya, dia lantas berpaling ke arah Sin heng tay poo sambil bisiknya.   "Paman Tay, engkoh Tiang hong bilang Ong tayhiap dan nona Bwe sedang menyamar benarkah itu?"   "Tentu saja benar!"   Jawab Sin heng tay poo Tay Lip dengan cepat.   "mereka adalah sepasang sejoli yang paling cantik dan tampan didunia dewasa ini"   "Kenapa mereka tidak memperlihatkan wajah aslinya?"   "Sebab mereka harus menghindari mata-mata dari perkumpulan Ki thian kau!"   Dalam pada itu Coa tayhiap sedang bertanya.   "Ong lote, sedari kapan kalian tiba dikota Si ciu ini?"   "Kemarin malam!"   "Mengapa kalian tidak langsung mengadakan kontak kemari?"   "Sebab kita sudah menjumpai suatu kejadian yang sama sekali diluar dugaan"   "Kejadian apa?"   "Murid Seng hong tianglo yang bernama Bwe Yau telah ditangkap orang orang Ki thian kau!"   Mendengar ucapan tersebut, semua orang menjadi amat terperanjat.   "Kenapa kalian tidak turun tangan untuk menolongnya?"   Tanya Coa Thian tam cepat.   "Sebab waktu itu sudah ada orang lain yang menolongnya"   "Siapa?"   "Say siu jin mo!"   "Hei, bukankah bajingan itu sudah berkomplot dengan pihak perkumpulan Ki thian kau...?"   Seru To Hu hiong yang selama ini membungkam secara tiba tiba.   "Bukan, Say siu jin mo yang berkomplot dengan pihak Ki thian kau itu adalah Say siu jin mo gadungan"   Seru Bwe Leng soat. Mendengar ucapan tersebut, dengan rasa tercengang Kang Tang liu lantas berseru.   "Kalau menurut pembicaraan nona, bukankah dalam dunia persilatan terdapat dua orang Say siu jin mo?"   "Betul, dan semalam kami telah bertemu dengan mereka berdua!"   Secara ringkas Bwe Leng soat lantas menceritakan semua yang dialaminya semalam. Seusai mendengar laporan tersebut, Kang Tang liu lantas berseru.   "Tak heran kalau hari ini ditemukan surat selembaran yang menantang Ki thian untuk bertarung, rupanya beginilah jalan ceritanya..."   "Seandainya benar benar terjdi pertarungan"   Kata Sin heng tay poo Tay Lip.   Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "bisa jadi Say siu hud sim yang bakal menderita kerugian besar bisa jadi selembar nyawanya juga akan turut berkorban"   "Kalau memang begitu kita musti memberi bantuan"   Seru Kang Tang liu dengan cepat. Tapi Coa Thian tam tidak setuju, katanya.   "Saudara Kang sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan, disinipun ada anak istri, lebih baik kau jangan turut didalam perguruan ini"   "Demi menyelamatkan seorang enghiong besar yang berani bertobat dan kembali kejalan yang benar, sekalipun harus mengorbankan seluruh keluarga juga tak mengapa"   Kegagahan ini segera memancing perasaan kagum dari setiap orang yang hadir disana. Ong It sin lantas berkata.   "Orangnya memang pantas ditolong, tapi kita bisa menolongnya secara diam diam"   Begitu keputusan diambil, semua orang lantas berunding untuk menyusun rencana.   "Bagaimanapun juga tempat berlangsungnya pertempuran itu toh tanah lapang dibawah pagoda Cui ang lo"   Kata Sin heng tay poo, setiap orang boleh kesitu dengan bebas, asal sebelumnya kita menyaru dulu sebagai penjaja makanan, kemudian bila berhasil segera mengundurkan diri, aku rasa mereka juga tak bisa berbuat apa apa kepada kita"   Usul ini dengan cepat mendapat sambutan dari semua orang.   ooodxwooo Pagoda Cui ang teng terletak disebelah barat daya kota Si Ciu.   Hari ini, sedari pagi hari sudah banyak penjaja makanan kecil yang berkumpul di sekitar tempat itu.   Ketika penduduk kota mendengar kalau disitu ada keramaian, laki perempuan tua muda berbondong bondong datang kesana untuk melihat keramaian.   Mendekati tengah hari, dari empat arah delapan penjuru bermunculan beratus ratus orang lelaki berbaju merah yang segera menyebarkan diri dan mengawasi tanah lapang dibawah pagoda Cui ang teng tersebut.   Rumah makan disekita tempat itu boleh dibilang semuanya telah penuh berisi tamu hanya tanah lapang dibagian tengah saja yang kosong melompong.   Sepanjang lapangan tersebut para penjaja makanan kecil berjalan hilir mudik menjajakan barang ditangannya.   Dekat sebelah timur, tampak sepasang suami istri tua dari dusun yang sedang menjajakan sekeranjang jeruk manis.   Disebelah selatan berdiri seorang lelaki kekar yang menjual arak.   Disebelah barat tampak seorang kakek yang bersama sama dengan banyak penjaja lainnya menjual kwaci dan kacang.   Sedangkan disebelah utara terlihat seorang kakek penjual wedang ronde.   Lambat laun orang yang berkunjng ditempat itu makin lama semakin banyak, di tengah tanah lapang pun sudah mulai muncul jagoan jagoan berpakaian ringkas.   Tiba tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai sekali berkumandang dari atas sebuah jalan bukit, kemudian muncullah belasan ekor kuda dan sebuah kereta kuda.   Penunggang penunggang kuda itu semuanya memakai baju berwarna merah darah, dipunggungnya menyoren aneka macam senjata tajam sementara pada bahu mereka masing masing tampak tiga kuntum sulaman bunga Tho sebagai lambang.   Dalam waktu singkat mereka sudah tiba ditengah tanah lapang.   Dari balik sebuah kereta kuda yang antik muncullah seorang pemuda tampan yang bermata elang dan beralis tebal.   Rupanya lelaki itu adalah pemimpin dari semua rombongan tersebut.   Usia baru dua puluh dua tiga tahunan, tapi dengan usia semuda itu justru menjadi wakil pemimpin dari sebuah perkumpulan besar, tak heran semua orang memandang ke arahnya dengan perasaan kaget dan tercengang.   Ooo)O(ooO Suasana bertambah gempar lagi setelah mereka menjumpai Tee leng kun, Say siu jin mo dan Tee lwe siang mo juga berada dalam rombongan tersebut, padahal keempat orang itu merupakan pentolan golongan hek to yang paling disegani banyak orang.   Dari sini semakin terbukti sudah kalau pemuda tersebut tentu memiliki ilmu silat yang maha dashyat, kalau tidak bagaimana mungkin kawanan iblis tersebut bersedia menjadi anak buahnya? Kang Tang liu yang waktu itu sedang duduk didekat jendela sebuah rumah makan diam diam lantas berpikir.   "Aaai... siapa yang menyangka kalau dia adalah putranya Bwe hoa kiam kek?"   Dalam pada itu Sangkoan Bu cing dibawah perlindungan kawanan iblis lainnya pelan pelan menuju ke tengah lapangan, sesudah mendeham, katanya dengan lantang.   "Say siu jin mo, kalau kau memang bernyali untuk menantang perkumpulan kami! mengapa masih main sembunyi semacam cucu kura kura? Hayo segera tunjukkan wajahmu!"   Baru selesai dia berseru, dari atas pagoda Cui ang teng segera kedengaran seseorang berseru.   "Sudah semenjak tadi lohu menunggu di sini... siapa suruh kau punya mata tak berbiji"   Menyusul kemudian, tampak sesosok bayangan merah meluncur masuk ke tengah arena.   Menyaksikan gerakan tubuh musuhnya yang enteng dan tak bersuara itu, sadarlah Sangkoan Bu cing kalau luka yang dideritanya sudah sembuh, diam diam ia menggerutu "Sialan kenapa begitu cepat bajingan ini sudah pulih kembali kesehatan badannya? Apakah tenaga dalamnya sudah mencapai puncak kesempurnaan...?"   Baru saja dia berpikir sampai disitu kakek berambut merah berkepala besar itu sudah melihat kelima kuntum bunga tho diatas bahunya itu dengan suara dingin dia lantas berseru.   "Agaknya kau adalah Hu kaucu dari perkumpulan Ki thian kau, mengapa tidak kau sebutkan siapa namamu?"   "Aku she Sangkoan bernama Bu cing. Setelah kejadian semalam, seharusnya kau sudah tahu sampai dimanakah kelihayanku, mengapa kau musti lakukan hal hal semacam ini? Kau toh mengerti juga kalau pertarungan ini tak akan menguntungkan pihakmu? Apakah kau sudah bosan hidup di dunia ini...?"   Setelah berhenti sebentar, dia berkata lagi.   "Ketahuilah, semalam aku sengaja mengampuni selembar jiwamu, bukan dikarenakan aku berbelas kasihan kepadamu"   "Lantas karena apa?"   "Karena memandang diatas wajah adikmu!"   Kakek berkepala besar berambut merah itu menjadi gusar sekali segera bentaknya.   "Aku tidak punya saudara macam dia itu andai kata dia benar benar adalah saudaraku, tak nanti dia akan membantu kaum laknat untuk menculik anak gadis itu!"   Ketika mendengar rahasianya terbongkar setebal tebalnya wajah Sangkoan Bu cing tak urung berubah juga menjadi merah padam, bentaknya keras keras.   "Omong kosong, nona Bwe Yau adalah calon istriku apakah kini termasuk menculik anak gadis orang?"   "Kalau kau memang berbicara jujur, kenapa tidak suruh dia keluar dan mengakui sendiri didepan orang banyak?"   Sangkoan Bu cing tertawa dingin tiada hentinya "Heeehhh..., heeehh... heeehhh aku punya bukti punya saksi buat apa kau musti mencampurinya?" ^^dw^^   Jilid 24 "SIAPA yang menjadi saksimu? Suruh dia tampil kedepan!"   Sangkoan Bu cing segera memberi tanda kepada Hong liu kua hu dan Lau Hui. Dengan cepat kedua orang itu menampilkan diri dari barisan. Dengan suara lantang Hong liu kua hu segera berseru...   "Perkawinan ini akulah yang mengikatkan pada tiga tahun berselang..."   "Aku adalah suheng dari gadis itu, dan membuktikan kalau ucapan itu tidak bohong"   Sambung Lau Hui. Kakek berkepala besar berambut merah itu tidak menyangka kalau musuhnya selicik itu dia lantas mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.   "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... kau anggap aku tidak tahu kalau kalian sedang bermain sandiwara? Lihat serangan!"   Begitu bentakan keras bergema, sepasang telapak tangannya segera diayunkan kedepan menghajar tubuh Sangkoan Bu cing.   Didalam melancarkan serangannya kali ini, Kakek berambut merah itu telah sertakan tenaga dalamnya yang paling hebat, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya ancaman tersebut.   Sangkoan Bucing tak berani menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, dengan cepat dia berkelit kesamping untuk menghindarkan diri...   Angin pukulan yang dahsyat tersebut dengan cepat meluncur kedepan dan menghantam deretan pohon waru yang tumbuh disisi arena, dalam waktu singkat berapa batang diantaranya segera roboh keatas tanah dengan menimbulkan suara keras.   Akan tetapi Sangkoan Bucing sama sekali tidak tampak takut atau jeri, malah katanya dengan dingin.   "Kwik Sui, aku tahu kalau kau tak lebih cuma sahabatnya Seng hong tianglo, apalah gunanya musti menjual nyawamu baginya?"   "Sekalipun lohu tidak kenal dengan Seng hong tianglo, aku juga tak akan membiarkan kalian berbuat semena mena ditempat ini!"   Sangkoan Bu cing segera tertawa sinis.   "Hmmm! Jangan kau anggap ilmu pukulan Kiu thian to suo sinkangmu itu bisa menakutkan diriku"   Ejeknya sinis. Kakek berambut merah itu menjadi geram sekali, bentaknya dengan penuh kegusaran.   "Kalau kau memang merasa punya keberanian, jangan cuma bicara melulu, hayo sambut seranganku ini!"   "Hmm, kau masih belum pantas untuk bertarung melawan diriku, tapi kalau kau bersikeras ingin bertarung juga denganku, sambutlah dulu serangan dari keempat orang huhoatku ini"   Pelan pelan kakek berkepala besar berambut merah itu mengalihkan sinar matanya memperhatikan sekejap wajah Tee leng kun, Say siu jin mo dan Tee lwe siang mo, kemudian katanya.   "Kau hendak menyuruh mereka bertarung secara bergilir, ataukah hendak maju bersama?"   "Jangan sombong dulu, bila kau betul betul punya kepandaian, semalam kau tak bakal terluka!"   Tee leng kun yang pertama kali merasa tidak puas, tiba tiba teriaknya dengan lantang.   "Lohu yang akan bertarung denganmu paling dulu!"   Selesai berkata dia lantas melompat masuk ketengah arena. Kakek berkepala besar berambut merah itu tertawa seram.   "Silahkan!"   Serunya.   Sekalipun mulutnya berkata demikian, tubuhnya tetap berdiri tak berkutik ditempat semula, sementara sepasang matanya memandang keangkasa dengan sikap yang sangat angkuh.   Tee leng kun segera berkelebat kedepan dan bergerak mengitari disekeliling tubuh kakek berkepala besar berambut merah itu, tampaknya dia sedang mencari kesempatan untuk melancarkan sebuah serangan yang mematikan.   Kakek berambut merah itu masih tetap berdiri tegak sekokoh batu karang sementara sepasang matanya kini mulai dialihkan ke tubuh lawan dan mengawasi semua gerak geriknya.   Mendadak Tee leng kun membentak keras.   Dengan tenaga Kiu yu hian sat kang andalannya dia lepaskan serangan dahsyat ke depan.   Dalam sekejap mata dia telah melepaskan sembilan buah tendangan dan tiga belas buah pukulan berantai.   Semua serangan dan tendangannya dilancarkan dengan jurus serangan yang ganas dan dahsyat, pada hakekatnya seluruh angkasa bagaikan diliputi oleh lapisan hawa pukulan yang mengerikan.   Si kakek berambut merah itu sama sekali tidak gentar menghadapi serangan semacam itu, dengan enteng dan mudahnya dia berhasil memunahkan semua ancaman tersebut.   Tee leng kun berulang kali melancarkan kembali serangan serangan mautnya, akan tetapi usaha tersebut selalu gagal dan tidak menghasilkan apa apa, sadarlah dia bahwa musuhnya ini memang luar biasa lihaynya...   Mendadak Tee leng kun menyaksikan kakek berambut merah itu tertawa dingin, hawa napsu membunuh memancar keluar dari wajahnya, sadarlah dia kalau keadaan bakal runyam.   Tidak menanti musuh melancarkan serangan yang mematikan dia sudah menjatuhkan diri terguling diatas tanah.   Kendatipun cukup cepat dia menghindarkan diri, toh tubuhnya tersapu juga oleh pukulan dahsyat itu sehingga mendengus tertahan dan muntah darah segar.   Agaknya luka dalam yang diderita Tee leng kun tidak ringan, buktinya untuk beberapa saat lamanya dia tak sanggup untuk merangkak bangun dari atas tanah.   Ketika Tee lwe siang mo menyaksikan rekannya sudah terluka, mereka segera membentak keras, tubuhnya menerjang bersama kedepan, sementara keempat buah telapak tangannya diayunkan berbareng.   "Lihat serangan kami berdua!"   Bentaknya.   "Bagus sekali!"   Seru kakek berambut merah itu nyaring.   Dengan jurus Lau yan hun hui (burung walet terbang berpisah) secara bersama dia sambut datangnya ancaman dari kedua orang itu.   Dalam waktu singkat suatu pertarungan sengit yang mengerikan segera berkobar.   Walaupun Tee lwee siang mo harus dua lawan satu, ternyata mereka tidak berhasil mendapatkan keuntungan apa apa, lama kelamaan mereka segera merasa malu dan kehilangan muka.   Dengan suara keras Tau Chin berseru.   "Loji, kita jangan beri kesempatan kepada tua bangka ini untuk memainkan siasat liciknya"   "Jangan kuatir toako aku akan mengimbangi setiap serangan yang kau lepaskan!"   Dalam tanya jawab tersebut, Tau Chin dan Tau Chu telah bersiap siap untuk melakukan pengerubutan yang lebih seksama.   Masing masing lantas menghimpun tenaga dalam yang dimilikinya, kemudian didorong kekiri dan kekanan angin pukulan yang maha dahsyat segera menyambar kemuka dengan kehebatan luar biasa.   Kemanapun kakek berkepala besar berambut merah itu berusaha untuk menghindarkan diri, sulit juga buatnya untuk menghindar dari ancaman tersebut.   Berada dalam keadaan seperti ini, dia tak sempat untuk berpikir lebih panjang lagi, dengan jurus Lip ki lam pak (membendung utara selatan) tangan kirinya menahan serangan dari Tau Chin sementara tangan kanannya pada saat yang bersamaan menyambut pula datangnya ancaman dari Tau Chin...   Empat buah telapak tangan segera saling melekat satu sama lainnya dengan kencang...   Dalam sekejap mata saja, kakek berkepala besar berambut merah itu sudah terdesak hebat dan berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.   Berbicara soal ilmu silat, ia masih jauh lebih hebat daripada empat iblis yang manapun, tapi jika ingin meraih kemenangan lewat tenaga dalam, dia yakin kalau dirinya masih mampu untuk mengatasi keadaan tersebut.   Akan tetapi saat itu dia sudah berada dalam keadaan terdesak, ibaratnya menunggang punggung harimau, mau turun tak bisa, tetap ditempatpun sungkan, terpaksa ia harus melakukan perlawanan sekuat tenaga.   Kakek berkepala besar berambut merah itu merasakan aliran hawa murni dari musuhnya yang menyerang kedalam badannya begitu kuat, dahsyat dan mampu menghancurkan segala macam benda, dia tahu sedikit kurang waspada niscaya isi perutnya akan hancur berantakan.   Mula mula dia masih mampu untuk mempertahankan diri, tapi selewatnya setengah jam kemudian, kakek berkepala besar berambut merah itu semakin terdesak hebat.   Mukanya telah berubah menjadi merah padam bagaikan kepiting rebus, peluh sebesar kacang bercucuran dengan derasya membasahi seluruh badan, mula pertama telapak tangan kirinya yang kena terdesak mundur, menyusul telapak tangan kanannya turut terdesak hebat.   Dua bersaudara Tau sendiri meski pucat pias wajahnya tapi sekulum senyuman menghiasi bibirnya, itulah senyuman kemenangan.   Tiba tiba terdengar Sangkoan Bu cing berseru dengan lantang.   "Kwik tayhiap, kita sama sama berasal dari golongan hitam, sepantasnya jika kita berdiri di satu aliran yang sama apalah gunanya saling bunuh membunuh sesama rekan? Orang lain yang bakal tertawa melihat perbuatan kita ini"   Kakek berkepala besar berambut merah itu tetap membungkam dalam seribu bahasa, ia sama sekali tidak menggubris seruan itu. Sangkoan Bu cing termenung dan berpikir sebentar, kemudian serunya lagi.   "Aku merasa kagum sekali dengan kepandaian silat yang kau miliki itu, seandainya kau bersedia takluk kepada perkumpulan kami, akan kumohonkan kepada kaucu untuk mengangkat dirimu menjadi Hu kaucu kedua"   Oleh karena wakil ketuanya sedang melakukan pembicaraan, dua bersaudara Tau segera menarik kembali tenaga masing masing dengan dua bagian... Merasakan tekanannya berkurang banyak, kakek berkepala besar berambut merah itu segera mendengus.   "Kentut busuk!"   Serunya.   "setelah aku bertobat dan kembali ke jalan yang benar, tak nanti aku sudi menolong kaum laknat untuk melakukan kejahatan lagi"   "Sekarang, nyawamu sudah berada ditanganku mengingat adikmu juga telah berbakti kepada perkumpulan kami lagi pula sudah banyak berjasa, aku bersedia untuk mengampuni selembar jiwamu"   Manusia aneh berkepala besar berambut merah itu segera tertawa dingin dengan seramnya.   "Heeehhh... heeehhh... heeehhh... tahun ini lohu telah berusia sembilan puluh tahun, soal mati bagiku sudah bukan merupakan suatu ancaman lagi"   Sikap maupun cara berbicaranya makin lama semakin keras. Sangkoan Bu cing berpikir sebentar, lalu ujarnya.   "Apakah kau bersikeras hendak membawa pula nona Bwe Yau?"   Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Tentu saja!"   Jawab kakek berambut merah itu tegas.   "kalau tidak, aku tak ada muka untuk berjumpa dengan Seng hong tianglo!"   Dengan kening berkerut Sangkoan Bu cing termenung sebentar, lalu satu ingatan cerdik melintas dalam benaknya, dia lantas berpikir "Kenapa aku tidak berniat untuk membohonginya?"   Berpikir sampai disitu, dia lantas berkata dengan suara yang lebih lembut.   "Aku tahu kalau kau berjiwa seorang ksatria, kesetia kawananmu sungguh membuat aku merasa amat terharu, andaikata aku bersikeras terus, sudah pasti keadaan akan semakin bertambah runyam"   Sesudah berhenti sebentar, lanjutnya.   "Begini saja! Sekarang nona Bwe Yau sedang menerima pelayanan yang baik sekali dalam perkumpulan kami, dia akan mengikat tali perkawinan denganku, lebih baik kau secara langsung tanyakan sendiri kepadanya apa hal ini benar atau tidak.   "Andaikata ia enggan kawin denganku, silahkan kau membawanya pergi sebaliknya jika dia tidak mempunyai usul lain, aku harap Kwik tayhiap juga jangan merusak tali perkawinan kami ini"   Mendengar perkataan itu, sikakek berambut merah itu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.   "Haaahhh... haaahhh... bocah iblis ingusan kau anggap bujuk rayumu itu sanggup untuk membohongi diriku? Jangan dibilang kau memang tiada ikatan perkawinan dengan Bwe Yau, akupun tahu kalau kau tidak berniat sungguh hati, kau anggap lohu gampang kau tipu? Haahh... haaahhh... haaahhh..."   Gelak tertawanya keras dan memekikkan telinga. Ketika dilihatnya kakek berambut merah itu enggan masuk perangkap, dari balik matanya segera memancar keluar cahaya tajam yang menggidikkan hati kepada Tee lwe siang mo serunya.   "Kalian tak usah ragu ragu lagi!"   Setelah menerima perintah dua bersaudara Tau juga tak ragu lagi, serentak mereka kerahkan tenaganya semakin besar.   oodooxOxowooo Selama pembicaraan berlangsung tadi, sebenarnya si kakek berkepala besar berambut merah itu sudah berusaha untuk mengatur pernapasan, tapi sayang tenaga yang bisa dipulihkan kembali terbatas sekali, bagaimana mungkin ia sanggup mempertahankan diri? Tampaknya sebentar lagi dia bakal tewas di ujung telapak tangan Tee lwe siang mo...   Mendadak seorang kakek dusun yang berdiri di sebelah timur lapangan menuding ketengah arena sambil berseru.   "Siapa yang mau membeli jeruk? Kau?"   Dengan jari tangannya ia menuding kedepan, tapi tak seorangpun yang menjawab.   Akan tetapi pada saat itulah, sepasang iblis dari keluarga Tau yang sedang menghimpun tenaga di arena, mendadak merasakan jalan darah Ki bun hiat dibawah iganya menjadi kesemutan, tenaga dalamnya kontan saja menggulung balik.   Tak kuasa lagi ia menjerit keras, tubuhnya terpental sejauh tujuh jengkal lebih dan roboh terduduk diatas tanah.   Atas terjadinya peristiwa ini, bukan saja kawanan iblis itu menjadi terperanjat, bahkan sikakek berkepala besar berambut merah pun turut dibuat tertegun dan tidak habis mengerti.   Tapi dia tidak menyia nyiakan kesempatan itu dengan begitu saja, sambil meloloskan senjatanya dan menuding ke arah Sangkoan Bu cing, serunya.   "Anakan iblis, sekarang apakah kau masih ingin menyembunyikan dirimu terus macam anak kura kura?"   Sangkoan Bu cing menjadi naik darah setelah mendengar makian tersebut, diapun tertawa seram.   "Heeehhh... heeehhh... heeehhh kau ingin mampus? Itu mah tidak sukar!"   Pelan pelan, selangkah demi selangkah dia berjalan mendekati kakek berkepala besar berambut merah itu.   Setiap langkah dia maju kedepan, sebuah bekas telapak kaki yang dalamnya mencapai setengah depa tertera diatas tanah.   Menyaksikan kesemuanya itu, paras muka semua orang berubah hebat, agaknya mereka dibuat terperanjat sekali oleh kehebatan lawannya itu.   Sementara itu si perempuan tua yang berada di lapangan sebelah timur telah maju ke tengah arena dengan langkah cepat.   Ketika dilihatnya Sangkoan Bu cing telah meloloskan pedangnya siap turun tangan, perempuan tua itu segera berseru dengan lantang.   "Hu kaucu, tunggu sebentar!"   Sangkoan Bu cing segera mengerutkan dahinya ketika dilihatnya perempuan tua itu meski berbaju compang camping tapi suara pembicaraannya sangat nyaring.   "Hei nenek tua, kau yang sedang memanggilku?"   Tegurnya.   "Betul, memang aku!"   Sangkoan Bu cing tahu perempuan itu jelas bukan sembarangan tapi dia yang selalu berwatak angkuh dan tinggi hati tak pernah memandang sebelah matapun terhadap orang lain. Maka sambil tertawa seram ejeknya.   "Manusia semacam kau masih belum pantas untuk menghadapi pertemuan seperti ini"   "Berbicara soal ilmu silat, mungkin saja kemampuan dari aku sinenek belum dapat mengimbangimu, tapi berbicara soal peraturan dunia persilatan sekalipun seorang bocah cilik berusia tiga tahun juga berani berbicara secara terang terangan, kenapa aku musti takut kepadamu?"   Sesungguhnya Sangkoan Bu cing sudah siap mendamprat perempuan tua itu ketika didengarnya ucapan dari sinenek sangat tajam, tapi ketika dilihatnya kakek berkepala besar berambut merah itu segera menunjukkan sikap menaruh hormat setelah melihat kemunculan siperempuan tua itu satu ingatan segera melintas didalam benaknya.   "Hai, nenek! Aku pikir, kau tentulah seorang jago persilatan juga mengapa tidak kau sebutkan siapa namamu?"   "Tidak perlu!"   Jawab nenek itu sinis. Agak keder juga Sangkoan Bu cing oleh sikap lawannya yang berwibawa itu, diapun lantas bertanya.   "Apa yang hendak kau katakan kepadaku?"   "Jika kau seorang enghiong, sepantasnya kalau memberi waktu istirahat buat Kwik tayhiap sebelum melanjutkan kembali dengan suatu pertempuran..."   "Aku mah tidak mempunyai kebebasan jiwa seperti itu!"   Kata Sangkoan Bu cing dingin.   "Kau musti tahu secara beruntun Kwik tayhiap sudah bertempur melawan tiga orang baginya jelas hal ini bukan suatu yang adil"   "Huuhh, kau mah bukan suaminya, kenapa musti mengunjukkan diri untuk membelai dirinya?"   Sindir Sangkoan Bu cing.   "Manusia kurang ajar, kau berani mengejek aku siorang tua?"   Sangkoan Bu cing tertawa dingin tiada hentinya, kepada lelaki lelaki berbaju merah yang berada disekelilingnya dia berkata.   "Aku hendak bertarung melawan Kwik Sui si tua bangka itu, nenek gila ini kuserahkan untuk kalian semua!"   Begitu perintah tersebut diturunkan serentak kawanan jago dari Ki thian kau yang berada disekeliling lapangan mengiakan dengan suara keras.   Sangkoan Bu cing segera menggetarkan pedangnya dan menciptakan bunga bunga pedang yang segera menyelimuti seluruh angkasa, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa membacok ke tubuh kakek berkepala besar berambut merah itu.   Kwik Sui segera menangkis dengan golok tipisnya, dengan cepat dia merasakan lengannya menjadi kaku, linu dan kesemutan.   Sekarang dia baru tahu, apa sebabnya Bwe Leng soat yang menyaru sebagai nenek tua amat menguatirkan keselamatan dirinya Sementara itu tubuhnya sudah kena digetarkan sehingga mundur kebelakang berulang kali.   Tapi kakek berkepala besar berambut merah itu sama sekali tidak gentar sambil membentak keras dia maju sambil membacok dengan sekuat tenaga.   Jurus serangan yang digunakan benar benar lihay sekali.   Melihat kejadian itu, Sangkoan Bu cing segera berpikir.   "Untuk membunuh tua bangka celaka ini terpaksa aku harus menggunakan ilmu pedang Hu si kiam hoat!"   Tanpa terasa dia melancarkan serangan dengan jurus An im hu hiang (bunga harum di balik kegelapan) Liok ah jut hong (putih hijau baru mekar) dan Lok ing peng hun (jagoan perguruan) tiga buah jurus berantai.   Dengan cepat si kakek berambut merah itu melompat kesamping sambil menegur.   "Apa hubunganmu dengan Bwe hoa kiam kek Sangkoan Bu cing"   Ternyata ia berhasil menebak asal usul lawannya dari permainan itu Dengan acuh tak acuh sahut Sangkoan Bu cing.   "Dia adalah bapakku, aku sendiri bernama Sangkoan Bu cing, memangnya kau kenal dengan dia?"   "Tidak kusangka kegagahan dan kebajikan Sangkoan tayhiap rusak dan musnah ditangan seorang anak durhaka macam kau..."   Seru kakek itu lagi dengan gusar.   "Huuuh, apanya yang hebat dengan tua bangka yang tidak mampus mampus itu? Dia cuma bernama kosong belaka. Pokoknya suatu hari aku pasti akan membalas atas keserakahannya mengangkangi sendiri buah Lo han ko tersebut..."   Mendengar ucapan tersebut si kakek berambut merah itu menjadi sangat geram, serunya.   "Sangkoan Bu cing, kau memang seorang manusia durhaka yang tak bisa dibiarkan hidup, lohu tak akan mengampuni jiwamu!"   "Haaahh... haaahh... haaahh... untuk menjaga diri saja tak mampu, apakah kau tidak takut ada geledek yang akan menyambar putus lidahmu?"   Kakek berambut merah itu tidak banyak berbicara lagi, goloknya segera digetarkan menciptakan serentetan cahaya perak yang berkilauan, kemudian dengan garangnya membacok, menebas dan menusuk dengan penuh bertenaga.   Sangkoan Bu cing mendengus dingin dengan seramnya ia tertawa dingin, kemudian berkata.   "Tua bangka sialan, aku hendak menghabisi nyawamu dalam tiga gebrakan mendatang"   Serentetan cahaya pedang yang berwarna hijau segera memancar keempat penjuru, kemudian secepat kilat mengurung seluruh badan kakek berambut merah itu.   Bukan saja jurus serangannya aneh dan ganas, lagipula kekuatannya luar biasa sekali.   Belum lagi ia sempat melihat jelas datangnya tusukan pedang lawan, tahu tahu ancaman tersebut sudah berada didepan mata.   Terkesiap sekali kakek berambut merah itu menghadapi kelihayan lawannya ini.   Tidak sedikit ilmu pedang yang pernah ia jumpai dalam dunia persilatan dewasa ini tapi belum pernah dia jumpai gerak serangan yang begini aneh dari Sangkoan Bu cing.   Sementara ia masih terkesiap bercampur kaget, tahu tahu badannya sudah kena tersambar pedang lawan sehingga muncul sebuah mulut luka sepanjang beberapa depa, darah segera segera bercucuran membasahi seluruh badannya.   Begitu berhasil dengan serangannya, rasa percaya pada diri sendiri makin tebal dihati Sangkoan Bu cing, sindirnya kemudian dengan sinis.   "Tua bangka, ucapanku tidak salah bukan?"   Kakek berambut merah itu sama sekali tidak ambil peduli terhadap mulut luka yang dideritanya itu sambil meraung keras serunya.   "Tak usah banyak berbicara, kita lihat dulu siapa yang bakal menangkan pertarungan ini nanti"   "Asal kau masih bisa bertahan dua gebrakan lagi, aku segera akan melepaskan sebuah jalan hidup untukmu..."   Kakek berambut merah itu menggerakkan pedangnya menciptakan selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata, menyusul kemudian terdengar suara senjata tajam yang bergema tiada hentinya.   Dalam anggapan semua orang, dengan jurus serangan yang dipergunakan kakek berambut merah itu, dia pasti dapat berhasil meraih kemenangan.   Siapa tahu Sangkoan Bu cing melangkah ke samping untuk menghindarkan diri, kemudian sambil membalikkan badannya melancarkan sebuah tebasan kilat.   Serentetan cahaya merah yang menyilaukan mata langsung menembusi lapisan cahaya tajam dan menembusi tengah kepungan.   Diam diam kakek berambut merah itu merasakan gelagat yang tidak baik sebelum pedang tersebut menempel diatas badan, dia buru buru menarik perutnya kedalam, kemudian tanpa menggeserkan badannya dia menarik badannya beberapa jengkal kebelakang.   Sesungguhnya gerakan tersebut dilakukan sangat cepat dan hebat, sayang keadaan toh tetap terlambat sedikit, sebuah robekan sepanjang satu inci muncul diatas dadanya dan merobek tubuhnya, percikan darah segera berhamburan kemana mana.   Melihat kakek berambut merah itu berhasil meloloskan diri dari sambaran pedangnya, kontan alis mata Sangkoan Bu cing berkerut kencang, tiba tiba ia memutar badannya kencang kencang, lalu membentak keras.   "Hua hun im yang (memisahkan panas dan dingin)!"   Pedangnya dengan membawa cahaya kematian menyambar keudara dan menyusul tiba dengan kecepatan luar biasa.   Sungguh kejam orang ini, tampaknya dia sudah berhasrat untuk membereskan nyawa Kwik Sui.   Kakek berambut merah itu tak sempat lagi untuk menghindarkan diri, untuk menangkis juga tak sanggup, sementara ujung pedang itu sudah berada beberapa jengkal diatas tenggorokannya, sadarlah dia bahwa nyawanya bakal melayang tinggalkan raganya, maka dia memejamkan matanya rapat rapat.   Sangkoan Bu cing memang luar biasa sekali, apa yang dia katakan segera dilaksanakan dengan cepat, diantara serangannya yang ketiga ini, pedangnya itu membawa cahaya hijau yang amat menyilaukan mata langsung menyambar ketenggorokan kakek berambut merah itu, sedemikian tepat dan dahsyatnya serangan itu sehingga semua orang beranggapan bahwa jagoan tersebut tentu tewas.   Mendadak ia merasakan tubuhnya bergetar sehingga tubuhnya mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, menyusul kemudian terdengar orang orang yang berada disekeliling tempat itu tertawa tergelak gelak.   Pada mulanya dia masih belum mengerti apa sebabnya semua orang tertawa, tapi setelah memperhatikan sekeliling tempat itu dia baru tahu kalau diujung pedangnya telah menancap sebiji jeruk.   Ia mencoba untuk memeriksa sekeliling arena, tapi banyak orang sedang makan jeruk disitu, sudah jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk mencari siapa gerangan orang yang melemparkan jeruk itu.   Seandainya berganti dengan orang lain, mungkin saja mereka akan membatalkan niatnya itu, tapi berbeda dengan Sangkoan Bu cing dia enggan dipecundangi orang dengan begitu saja.   Selain itu diapun beranggapan bahwa orang yang turun tangan secara diam diam itu sudah pasti adalah seorang jagoan kenamaan.   Sebagai manusia yang berpandangan picik dan berjiwa sempit, dia tak rela untuk berdiam diri saja, ia merasa sakit hati ini perlu segera dibalas.   Maka semua kemarahannya segera dilampiaskan kepada sinenek dari dusun itu.   Sambil tertawa seram selangkah demi selangkah dia maju mendekatinya, kemudian berseru.   "Nenek dusun yang tak tahu diri, kau berani mengacau secara diam diam?"   Nenek dari dusun itu tak lain adalah hasil penyaruan dari Bwe Leng soat murid dari Koan tiau kek tersebut. Kontan saja ia tertawa dingin sehabis mendengar perkataan itu, serunya dengan lantang.   "Hu kaucu, apakah maksudmu dengan ucapan tersebut?"   Sangkoan Bu cing segera mendengus dingin.   "Hmmm, apa maksudnya? Memangnya tidak dapat kau lihat sendiri?"   Pedangnya segera digetarkan keras, setitik cahaya merah langsung menyambar kearah nenek tersebut.   Bwe Leng soat segera mengayunkan tangannya dan menyambar bayangan merah itu.   Meski benda tersebut berhasil ditangkap toh pergelangan tangannya terasa agak kaku ini menunjukkan kalau tenaga dalam yang dimiliki Hu kaucu itu memang sungguh luar biasa sekali.   Dengan wajah tak senang hati dia lantas berseru.   "Kau maksudkan akulah yang melemparkan jeruk ini?"   Sangkoan Bu cing memandang sekejap sekeliling tempat itu, ketika dilihatnya tiada seorangpun yang memberi komentar, dengan pasti dia berkata.   "Kalau bukan kau, masa aku sendiri?"   "Memangnya kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"   Kata Bwe Leng soat sambil tertawa geli.   "Tidak!"   "Kalau memang begitu, apakah kau mempunyai saksi?"   "Juga tidak!"   Sambil berkerut kening dan matanya memancarkan sinar tajam Bwe Leng soat segera berseru.   "Lalu atas dasar apa kau berani menuduh diriku?"   Dengan sikap yang angkuh dan tinggi hati Sangkoan Bu cing berkata lantang.   "Selama berada disini, selain kau sinenek cerewet yang suka mencampuri urusan orang, siapa lagi yang berani makan nyali macan dengan mencari gara gara denganku?"   Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tak tahan lagi Bwe Leng soat mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.   Suara tertawanya amat nyaring dan lengking bagaikan pekikan burung hong...   diantaranya terkandung nada ejekan, sindiran dan memandang hina.   Paras muka Sangkoan Bu cing yang putih bersih itu kontan saja berubah menjadi pucat pias seperti mayat.   Selama hidup, belum pernah ada orang berani menghina atau mencemooh dihadapannya, sehingga dengan perasaan tak senang dia lantas menegur keras.   "Hei, apa yang perlu kau tertawakan?"   "Aku sedang mentertawakan dirimu yang persis seperti katak dalam sumur itu!"   "Kurang ajar kau berani memaki orang?"   Teriak Sangkoan Bu cing dengan wajah berubah.   "Tidak! Aku sedang memberi nasihat kepadamu"   Jawab Bwe Leng soat dengan wajah bersungguh sungguh.   "Kalau begitu, kedatanganmu adalah bermaksud baik"   Kata Sangkoan Bu cing lagi sambil berusaha menahan kobaran api amarah di dalam dadanya.   "Betul, aku datang ke kota Si ciu ini sebetulnya ingin menggabungkan diri dengan perkumpulan kalian serta bersama sama merajai kolong langit..."   Sangkoan Bu cing menjerit kaget, rasa permusuhannya segera hilang, dengan penuh rasa menyesal katanya.   "Kalau begitu, aku telah salah menyangka dirimu!"   "Yaa, memang begitulah"   Menggunakan kesempatan itu, Sangkoan Bu cing berkata lagi.   "Kini persoalannya sudah bikin jelas, bila kau memang berhasrat untuk menggabungkan diri dengan kami, silahkan menangkap Kwik Sui lebih dulu sebagai pernyataan akan ketulusan hatimu itu"   Tampaknya dia bermaksud hendak mencari keuntungan sambil berpeluk tangan belaka. Bwe Leng soat segera menarik kembali senyumannya, dengan suara dingin ia berkata.   "Tapi sekarang, aku telah berubah pikiran"   "Oooh... jadi kau batal untuk menggabungkan diri dengan perkumpulan kami?"   Sekali lagi Sangkoan Bu cing merasa terkejut.   "Aku lihat selain Hu kaucu berpandangan pendek, juga bukan termasuk orang yang pintar"   "Kenapa?"   "Sebab kau berpikiran sempit dan berjiwa kerdil, pandangan matanya pendek dan tak becus menjadi pimpinan, atau tegasnya kau tak lebih cuma seorang manusia hidung bangor yang suka main perempuan dan bersifat ganas buas dan kejam, manusia macam kau bukan saja tak akan mampu melakukan pekerjaan besar, lagi pula mengikuti dibawah perintahmu sama artinya dengan mengikuti dirimu menuju kegagalan serta kemusnahan!"   Ucapan tersebut sengaja diucapkan dengan pancaran tenaga dalam, sehingga segenap anggota Ki thian kau yang berada disekeliling tempat itu dapat mendengarkan ucapan itu dengan cepat.   Tak terlukiskan rasa gusar Sangkoan Bu cing sehabis mendengar perkataan itu segera bentaknya.   "Nenek sialan, kau benar benar sangat licik, berani betul memaki orang seenaknya. Hmm! Jika tidak kupotong lidahmu itu, sia sia saja aku menjadi seorang wakil ketua"   Pedangnya dengan menciptakan serentetan cahaya hijau langsung menyambar tubuh si nenek.   Bwe Leng soat meski berilmu silat sangat tinggi, ia tak berani menyongsong datangnya ancaman dengan begitu saja.   Dengan cepat dia melejit kesamping dan secara manis sekali menghindarkan diri dari ancaman tersebut.   Sangkoan Bu cing merasa terkejut sekali setelah menyaksikan kehebatan dari musuhnya itu, padahal serangan tadi dilakukan secara gencar dan lihay, didalam anggapannya pihak lawan pasti tak mampu meloloskan diri, tapi nyatanya musuh dapat kabur secara gampang.   Bagi jagoan yang sudah berpengalaman, sekali bertempur bisa diketahui apakah musuhnya berisi atau tidak.   Kali ini Sangkoan Bu cing tak berani bertindak gegabah lagi, diapun tak ingin kehilangan posisinya yang menguntungkan.   "   Sreeet Sreeet... sreeet...!"   Secara beruntun dia lepaskan tiga buah serangan berantai, adapun jurus serangan yang dipakai rata rata adalah jurus ampuh dari Bwe hoa kiam hoat.   Nyatanya nenek itupun bukan manusia sembarangan, betul permainan toyanya kaku dan bebal seolah olah orang yang baru belajar bermain toya, tapi kenyataannya semua serangan dahsyat dan mematikan yang dilontarkan Sangkoan Bu cing tak sebuah pun yang dapat melukainya.   Tiba tiba Tee lwe siang mo yang berada disisi arena merasa seperti mengenali gerakan tubuh sinenek yang lihay itu, cuma untuk sesaat tidak diketahui oleh mereka dimanakah mereka pernah bersua.   Dalam waktu singkat tiga puluh gebrakan sudah lewat.   Kini dari rangkaian ilmu pedang Bwe hoa kiam hoat, tinggal enam jurus saja yang belum dipergunakan, Sangkoan Bu cing mulai berpikir didalam hatinya.   "Nenek ini bisa mempergunakan toyanya sebagai pengganti pedang, mengangkat benda berat bagaikan membawa batang ringan, sedikitpun tidak menemukan titik kelemahan, coba kalau dia membawa senjata tajam, bukankah sedari tadi aku sudah keok?"   Berpikir demikian, hawa napsu membunuhnya segera berkobar didalam dadanya.   Sementara itu permainan pedangnya sudah tinggal tiga jurus belaka.   Tiba tiba satu ingatan jahat melintas dalam benak Sangkoan Bu cing, andaikata toya yang diandalkan musuh kena ditebas kutung, bukankah nenek itu bakal kehilangan senjata dan otomatis akan bertarung dengan tangan kosong belaka?"   Berpikir sampai disini pedangnya segera digetarkan keras lalu pedangnya menyambar ke samping dan bukannya membabat tubuh lawan sebaliknya malahan menyambar toya musuh.   Tindakan tersebut sudah barang tentu jauh diluar dugaan Bwe Leng soat lantas berlagak seakan akan merasa terperanjat sekali oleh gerakan musuh itu.   Sangkoan BU cing tertawa terbahak bahak.   "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... nenek busuk, kali ini kau akan kehilangan senjata permainanmu!"   Rasa bangga segera menghiasi wajahnya, berbareng itu juga pedangnya lantas digetarkan keras keras. Didalam perkiraan semula, asal pedangnya membacok keras keras maka senjata toya lawan niscaya akan kutung. Siapa tahu...   "Kraaak!"   Tiba tiba terpancar keluar serentetan cahaya merah yang amat menyilaukan mata. Sekalipun toya kayu itu hancur berkeping keping dan berguguran diatas tanah, tapi justru muncullah sebilah pedang yang memancarkan cahaya berkilauan.   "Hu kaucu"   Seru nenek itu.   "terima kasih banyak atas pertolonganmu..."   Betapa menyesalnya Sangkoan Bu cing setelah mengetahui bahwa pedang sinenek disembunyikan dalam toyanya.   Tapi Sangkoan Bu cing sama sekali tidak merasa takut, dia tidak melanjutkan serangannya, tapi berseru kepada kawanan iblis dari Ki thian kau yang berada disekitar situ.   "Kepung seluruh tanah lapang ini, jangan lepaskan si kakek berambut merah maupun segenap orang yang berada disini"   Tampaknya untuk mewujudkan maksudnya untuk membalas dendam terhadap si pelempar jeruk itu, dia lebih suka membunuh tiga ribu orang daripada melepaskan seorang musuhnya, dari sini dapat diketahui betapa keji dan buasnya pemuda itu.   Begitu perintah diturunkan, serentak kawanan iblis dari Ki thian kau menyerbu ke dalam arena sambil mengayunkan senjata pembantaian secara besar besaran pun segera berkobar.   Jeritan ngeri yang menyayatkan hati segera berkumandang memecahkan keheningan...   Sangkoan Bu cing tidak ambil diam, dia segera mempergunakan ilmu pedang Hu si kiam hoat yang baru dipelajarinya itu untuk menyerang musuhnya habis habisan.   Menghadapi serangan yang begini dahsyat dari lawannya, Bwe Leng soat terdesak dan mau tak mau terpaksa harus mengeluarkan ilmu To an Ciong yong kiam hoat nya untuk memberi perlawanan.   Ong It sin yang menyaksikan kekejaman musuhnya menjadi naik pitam, untuk menolong rakyat yang tak salah, jelas dia tak mampu, maka disambarnya jeruk didalam pikulan dan segera ditimpukkan ketubuh orang orang berbaju merah itu.   Dalam waktu singkat belasan orang lelaki berbaju merah itu kena terhajar sampai roboh.   Sementara itu, sikakek berambut merah Kwik Sui bersama Coa Thian tam pek lek to To hu Hiong, Cian li siu heng hiap serta Yu liong kiam kek masing masing telah meloloskan senjata untuk membendung serbuan dari kawanan lelaki berbaju merah itu.   Ong It sin sendiri, meski tidak membawa senjata apa apa, tapi setiap timpukan jeruknya pasti mengakibatkan seorang musuhnya roboh.   Malahan mereka yang berada dua puluh kaki jauhnya pun turut roboh terhajar oleh timpukan jeruk itu, ketepatan dan kelihayannya ini dengan cepat menggetarkan perasaan setiap orang.   Lambat laun, keempat huhoat dari Ki thian kau mulai menyadari akan kelihayan kakek dusun yang berparas jelek itu, serentak Tee leng kun dan Say siu jin mo terjun ke arena untuk menghadapinya.   Tee lwe siang mo juga telah bekerja sama untuk mengerubuti kakek berambut merah itu.   Dalam waktu singkat Ong It sin telah berhasil merobohkan banyak sekali musuh musuhnya, tapi rakyat tak bersalah yang berada disekitar situpun banyak yang menjadi korban.   Menyaksikan gelagat tidak menguntungkan, Coa Thian tam segera berteriak lantang.    Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini