Darah Daging 1
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 01
Untuk isteriku tersayang dan anak-anakku tercinta, dan siapa saja yang mau membaca kisah ini.
(Asmaraman S. Kho Ping Hoo.)
Seperti biasa pada setiap pagi semenjak se puluh tahun dia menikah dengan isterinya, pada pagi hari ini diapun duduk semeja dan sarapan bersama isterinya. Setelah selesai sarapan seperti biasa pula dia lalu membawa tas kantornya ke garasi, mengeluarkan Fiat Kodok-nya dari garasi yang pintunya sudah dibukakan oleh Darmi pelayan, menjalankan mobil sampai di depan pintu rumah di mana isterinya, seperti biasa pula, telah berdiri menanti untuk saling bertukar salam dengan dia. Kemudian, setelah dia menerima kecupan dari isterinya, dia berkata, sambil lalu,
"Pulang agak malam nanti dan makam malam bersama direktur dan tamu-tamu penting."
"Sesukamulah."
Hemm, jawabannya begitu dingin, pikir Danumiharja ketika dia mengendarai mobil kecilnya meluncur di atas jalan raya yang penuh dengan mobil itu. Semua memang berjalan seperti biasa, sejak makan pagi sampai kini dia meluncurkan mobilnya yang kecil menyelinap di antara bis kota, truck dan ratusan mobil-mobil lain yang memenuhi jalan seperti semut-semut berpindah tempat.
Semua merupakan rutin,... hari-hari yang agaknya tidak... kan. Akan tetapi pada hari ini. Amat berbeda dengan pagi-pagi hari yang sudah-sudah. Dan dia tidak ingat lagi, entah sudah beberapa belas atau beberapa puluh kali dia mengalami pagi yang berbeda seperti ini, pagi yang nampak muram, bergelimang kekecewaan, marah dan tidak puas. Dan semua itu selalu diawali oleh sikap isterinya pada malam harinya! Malam tadipun begitu! Mereka pergi ke pesta halal-bihalal di rumah direktur untuk merayakan tahun baru 1958 yang diadakan pada hari ke empat sesudah tahun baru, yaitu pada hari terakhir dari masa libur kantor. Malam halal-bihalal di antara rekan-rekan sekantor yang datang bersama isteri atau pacar mereka. Malam yang cukup meriah dan agaknya di dalam pesta itulah dimulainya sebab yang menimbulkan konflik antara mereka.
Danumiharja menginjak rem, berhenti dua puluh senti di belakang mobil hitam di depannya. Cukup waktu baginya untuk menyalakan sebatang rokok 555 di jepitan bibirnya. Lampu hijau bernyala dan mobil Ford hitam di depannya bergerak. Fiat kodok-nyapun bergerak maju dan dia melanjutkan lamunannya. Seperti biasa, isterinya yang masih muda, baru tiga puluh lima tahun usianya, isterinya yang manis dan bertubuh denok dan seksy itu, yang pandai bicara, pandai bergaul dengan sinar matanya yang membuat setiap orang pria merasa seperti dirayu, segera menjadi bintang pesta malam itu. Bahkan Pak Burhan, direktur mereka nampak amat mesra malam itu ketika mengajaknya berdansa. Malam itu Liyani laris sekali, hampir semua pria dalam pesta mengajaknya berdansa. Dan semua itu membuat dia, seperti biasa, merasa bangga!
Akhirnya, dialah yang akan memperolehnya karena Liyani adalah isterinya. Biarpun mereka itu tergila-gila dan kemudian iri hati kepadanya. Dia tidak pernah merasa cemburu, bahkan pula amat bangga kalau isterinya mendatangkan????? yang nampak jelas pada sinar mata para pria itu, dengan keyakinan bahwa malam itu akhirnya dialah yang akan memeluk wanita yang cantik manis dan yang menimbulkan gelora birahi di dalam benak teman-temannya itu. Akan tetapi, malam tadi, entah untuk ke berapa atau ke berapa puluh kalinya semenjak mereka menikah, Liyani telah menolaknya! Saat-saat mesra yang telah dibayangkan dengan penuh gairah semenjak isterinya seolah-olah menjadi rebutan di dalam pesta karena semua rekannya ingin berdansa dengan Liyani, dihancurkan oleh beberapa buah kata-kata isterinya ketika mereka telah berada di dalam kamar mereka, di atas pembaringan,
"Kak, aku lelah dan mengantuk sekali..."
Dan Liyani rebah miring menghadapi dinding, kemudian tak lama lagi terdengar napasnya yang santai. Entah benar sudah tidur, entah berpura-pura. Dan dia mengepal tinju. Kesal, marah, kecewa, juga api cemburu mulai timbul.
"Huhhh!"
Danumiharja mengepal tinjunya di atas kemudi mobilnya. Dia tahu bahwa kalau isterinya sudah mengatakan lelah dan ngatuk, akan sia-sialah kalau dibujuknya juga. Dan dia merasa ditolak, merasa dikesampingkan. Tersinggung rasa harga dirinya sebagai suami, sebagai pria! Ditolak isterinya sendiri!
"Huh, kalau aku mau dengan uangku, dengan kedudukanku, aku dapat memperoleh se puluh orang gadis-gadis muda yang manis-manis,"
Pikirnya gemas. Akan tetapi, dia tidak pernah melakukan hal ini, tidak pernah mengejar-ngejar para gadis pegawai kantornya, bahkan tidak pernah mengunjungi tempat-tempat pelesir bagi para pria yang membutuhkan cinta belian. Dia mencinta isterinya. Tapi isterinya menolaknya malam itu! Dan sudah belasan, puluhan kali semenjak mereka menikah, isterinya pernah bertindak seperti itu.
Dan dia selalu merasa seperti ini dengan tersinggung dan marah. Penolakan itu membayangkan bahwa isterinya mungkin sudah bosan dengan dia! Mungkin sudah tidak mencinta lagi. Pikiran ini membuat hatinya semakin panas. Boleh jadi di dalam pesta itu isterinya menemukan seorang pria yang menarik hatinya! Siapa tahu! Dia tahu bahwa hari ini akan merupakan hari yang panas dan tidak menyenangkan di dalam kantor, apa lagi karena semalam dia hampir tidak tidur, diganggu oleh pikirannya sendiri yang menjadi kacau oleh penolakan isterinya. Hatinya makin menjadi panas kalau dia membayangkan betapa isterinya bersikap amat gembira dalam pesta semalam, mulutnya yang penuh gairah itu tak pernah ditinggalkan senyum simpul, sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, dan bersikap amat manis, terlalu manis, terhadap setiap orang pria.
Nanti, semua teman di kantor tentu akan memuji-muji isterinya. Liyani bersikap manis kepada semua pria, akan tetapi sebaliknya malah menolak dia, suaminya! Pagi itu, Danumiharja memasuki kantornya, di mana dia bekerja sebagai personal manager sebuah perusahaan negara yang besar dengan hati murung. Betapapun juga, ketika dia mula melewati ruangan di mana para pegawai telah duduk di depan meja masing-masing, mereka menyalamnya dengan hormat. Terutama sekali para pegawai wanitanya, karena memang Danumiharja dikenal seorng kepala bagian yang ramah dan dialah dalam bisik-bisik oleh para gadis kantoran di sebut bahwa Pak Danu ini biarpun usianya sudah hampir lima puluh tahun, akan tetapi orangnya ganteng, pakaiannya selalu rapi dan sikapnya manis terhadap bawahannya.
"Darmi, apakah tuan Dedi sudah berangkat kuliah?"
"Sudah nyonya. Sudah sejak pagi tadi, sebelum tuan dan nyonya bangun. Seorang kawannya datang menghampirinya dan mereka berangkat naik sepeda motor."
Darmi melanjutkan pekerjaannya membersihkan lantai. Sejenak nyonya Liyani memandang kagum. Perawan ini memiliki tubuh yang padat menarik. Dari tempat ia berdiri, ia dapat melihat sebagian bukit dadanya di balik baju kebayanya. Dan kulit leher itu cukup bersih, wajah itu cukup manis, terlalu manis malah bagi seorang babu, seorang pelayan. Memang, Darmi seorang perawan yang manis sekali. Sudah tiga tahun bekerja padanya, sejak masih perawan kecil, kini sudah dewasa dan seorang gadis yang menarik.
"Kau sajalah yang pergi ke pasar pagi ini. Darmi."
Darmi mengangkat mukanya yang manis itu, memandang majikannya dengan heran.
"Ah, kenapa nyonya?"
Biasanya majikannya selalu pergi ke pasar dan dia sendiri tahu bahwa berbelanja mendatangkan nikmat tersendiri.
"Aku sedang malas, Mi. Nih, kau bawa uang dan pergilah. kau beli daging sapi yang baik satu kilo, sayur masih banyak di lemari es dan... coba kulihat apa yang kita butuhkan."
Nyonya itu pergi ke dapur diikuti oleh pelayannya dan tak lama kemudian pergilah Darmi ke pasar.
Semua sudah pergi sekarang. Rumah besar itu sunyi sekali. Hanya tinggal dia sendiri. Dan ia memang merasa malas sekali. Dan semua ini disebabkan oleh sikap suaminya! Ia selalu merasa seperti ini kalau suaminya marah-marah karena tidak dilayaninya bermain cinta satu malam saja! Semalam ia memang lelah dan mengantuk, apakah suaminya tidak dapat melihat kenyataan itu? Ia tahu bahwa penolakannya tentu akan membuat suaminya marah lagi, seperti yang sudah-sudah, akan tetapi ia tidak perduli. Biarkanlah marah! Biarkan dia kecewa, biarkan dia tahu rasa! ratusan kali, bahkan ribuan kali sejak pernikahan mereka, ia melayani suaminya, dan ditolak satu kali saja selau tentu marah!
"Terlalu!"
Liyani menghempaskan tubuhnya di atas kursi malas yang bertilamkan kasur tipis itu. Dengan hati kesal ia menyalakan sebatang rokok dan menghisap asap rokok dalam-dalam. Asap yang padat itu memenuhi paru-parunya dan ketika ia menghembuskannya, asap itu telah menjadi tipis karena sarinya telah tertinggal di dalam dinding paru-parunya. Makin dipikir, makin kesal hatinya. Sebelum menikah dengan suaminya yang se puluh tahun lebih tua darinya, sudah beberapa kali ia berpacaran dengan teman-teman sekuliahnya. Akan tetapi ia selalu dapat menjaga diri sehingga hubungan dengan pacar-pacarnya itu hanya sampai pada peluk cium dan raba saja. Tidak melanggar batas yang dianggap suci oleh kesusilaan Indonesia. Dan ketika ia menikah dengan Danumiharja, pada malam pengantin yang pertama itulah ia untuk pertama kalinya pula kehilangan keperawanannya.
Dan semenjak mereka menikah belum pernah ia melakukan penyelewengan dengan pria lain. Tentu saja, kalau hanya sekedar bermain mata, bertukar senyum dan kerling, mengagumi kemudaan dan ketampanan pria di luar suaminya, sudah sering ia lakukan. Akan tetapi wanita atau isteri mana yang tidak melakukan hal itu? Wanita tertarik melihat pria, baik ketampanannya, kejantanannya, keramahannya dan sebagainya, adalah hal lumrah. Berjina dalam batin, siapa yang tahu hal yang dilarang oleh hukum adalah perjinaan lahir yang dilakukan tubuh. Coba, pikirnya makin gemas. Aku sudah setia padanya. Aku mencintainya. Buktinya, setiap hari aku melayani keperluannya, mengatur rumah, membereskan ini itu, melayaninya makan. Dan jarang pula ia menolak ajakan suaminya di tempat tidur.
Akant tetapi, satu kali saja menolak, suaminya selalu marah-marah dan sikap suaminya selanjutnya akan menjadi seperti musuh, dan sikap itu akan menjadikan rumah ini menjadi tempat yang amat tidak enak ditinggali, seperti neraka! Dan ia tahu, suaminya baru akan sembuh dan berbaik kembali kalau ia sudah mau menyerahkan diri! Suaminya menghendaki agar ia selalu menyalani kebutuhan seksnya. seks! seks! seks! Itu saja agaknya yang memenuhi benak suaminya! Dan aku hanya dianggap sebagai alat pemuas gairah seksnya! Terlalu! Makin dipikir makin panaslah rasa hati Liyani. Malam nanti pulang agak terlambat? Hemm, bukan tidak mungkin untuk menumpahkan gairah seksnya itu kepada wanita lain. Kepada pelacur! Huh, ia sudah sering mendengar betapa laki-laki selalu mengejar kepuasan seks. Ia sebagai isteri hanya akan dijadikan tempat pemuas nafsu belaka?
"Tidak sudi! Aku bukan pelacur!"
Liyani bangkit duduk, mukanya merah. Sudah berapa ratus kali ia harus melayani hubungan seks secara paksa, karena sebenarnya ia tidak menginginkannya pada saat suaminya menuntut darinya. Dan suaminya boleh saja setiap saat bermain gila dengan wanita lain kalau ia menolak. A??????, aku tidak bisa kalau aku mau? Pikiran ini membuat Liyani rebah kembali dan menghisap rokoknya yang sejak tadi hanya dipegangnya saja itu. Wajah tampan, dan muda, dan ia sebagai wanita tentu saja dapat menangkap pandang mata pemuda itu kalau memandangnya. Pernah ia sengaja membuka bagian atas gaunnya lebih lebar sehingga bukit dadanya nampak lebih jelas dan ia merasa betapa sinar mata pemuda itu melekat di situ!
"Suami tak tahu diri..."
Ia mengomel, gemas mengingat betapa ia tidak pernah mau main gila dengan pemuda mahasiswa yang mondok di rumah mereka itu, hanya karena ingin bersetia kepada suaminya. Dan semua itu agaknya tidak dihargai oleh suaminya. Yang dihargai oleh suaminya agaknya hanya pelayanan seks-nya itu sajalah! Betapa memuakkan. Suaminya tidak cinta lagi padanya, hanya memperlakukannya seperti alat pemuas nafsu, seolah-olah ia hanya seorang pelacur saja. Suaminya bersikap manis dan mesra hanya di atas tempat tidur, hanya kalau ingin mengajaknya. Di luar tempat tidur, suaminya bersikap acuh tak acuh, bahkan sikap manisnya itu hanya rutin saja, hanya basa-basi dan kebiasaan saja.
Yang ia butuhkan bukan hanya kemesraan di atas tempat tidur. Kalau suaminya benar cinta kepadanya, tentu suaminya itu akan bersikap manis kapan saja, bukan hanya di waktu ingin bermain cinta. Kemarahan hati Liyani makin menjadi dan ia sudah mengambil keputusan, mengumumkan perang dingin tanpa kata-kata! Ia adalah seorang isteri, asal ia sudah memenuhi kewajibannya, menyediakan makanan, mengurus pakaian dan segala pekerjaan rumah bereslah! Tentang hubungan di atas pembaringan, ia tidak mau dipaksa, ia tidak mau menjadi sekedar alat. Suaminya harus bersikap baik, ramah dan mesra, harus merayunya kalau ingin diberi! Lamunannya membuyar ketika Darmi datang membawa barang-barang belanjaan dan tak lama kemudian Liyani telah sibuk di dapur, dan kesibukan yang membuat ia terlupa sejenak akan urusan yang ada hubungannya dengan suaminya.
Danumiharja telah se puluh tahun menikah dengan Liyani. Ketika mereka menikah, Danumiharja yang nama kecilnya Alex itu telah berusia tiga puluh lima tahun dan Liyani berusia dua puluh lima tahun. Mungkin hal ini, tanpa mereka sadari, telah mengurangi bumbu dalam kehidupan rumah tangga mereka dan membuat suasana menjadi hambar dan monoton. Perang dingin meletus tanpa diumumkan, tanpa suara, ketika Danumiharja pulang pada malam hari itu. Hanya beberapa patah kata yang keluar dari mulut mereka, itupun dikeluarkan dengan nada yang sama dinginnya dengan hidangan di atas meja makan.
"Hemm, nasi dan sayur yang sudah dingin!"
Demikian kata Danumiharja ketika menghadapi meja makan yang telah dipersiapkan oleh isterinya.
"Tentu saja karena mereka sudah menanti sejak jam enam tadi!"
Jawab Liyani, jawaban yang jelas merupakan teguran mengapa suaminya baru pulang pada jam sembilan malam. Hati yang sudah kesal itu menjadi makin kesal mendengar suara dingin isterinya, sama sekali tidak sadar akan suaranya sendiri yang juga dingin tadi.
"Sudahlah, aku tidak lapar,"
Katanya sambil bangkit berdiri dan meninggalkan meja makan. Memang dia tidak butuh makan lagi setelah tadi singgah di restoran dan menghabiskan bestik komplit satu porsi!
"Darmiii...!"
Liyani menjerit, memanggil pelayannya. dalam panggilan ini ditumpahkannya rasa mendongkolnya kepada suaminya. Tergopoh-gopoh Darmi datang."Singkirkan makanan ini, dan kau makanlah."
"Baik, nyonya."
Darmi adalah seorang pelayan yang sudah tiga tahun melayani keluarga itu, maka tentu saja ia sudah dapat mengenal suasana dan keadaan, ia tahu bahwa kembali terjadi perang dingin antara suami isteri yang menjadi majikannya itu.
Di dapur, Darmi bertemu dengan Dedi, mahasiswa berusia dua puluh tahun yang mondok di rumah besar itu. Pemuda ini adalah seorang mahasiswa Ekonomi tinggak dua di Uniyersitas Indonesia, berasal dari Solo. Karena ayahnya dahulu di waktu mudanya adalah teman baik Danumiharja, maka mengingat akan persahabatannya itu, Danumiharja menerima Dedi sebagai putera sahabatnya untuk mondok di rumahnya. Pemuda itupun bersikap halus dan sopan menyenangkan dan merupakan seorang pria pendiam. Apa lagi karena dia tinggal di kamar payilyun di sebelah kiri rumah induk, maka kehadiran pemuda itu di rumah tidak terlalu mengganggu. Bahkan untuk makannyapun, seperti telah disetujui sebelumnya oleh mereka, dedi dikirim dari rumah induk oleh Darmi.
"Sudah dahar, den?"
Tanya Darmi karena ketika Dedi memasuki dapur, ia sedang makan dan pertanyaan itu merupakan pernyataan menawarkan makan pula. Di depan Dedi, Darmi selalu menyebut "den Dedi"
Karena mereka berdua datang dari Jawa Tengah, bahkan keduanya dari Solo, hanya bedanya, kalau Dedi berasal dari kota Solo, Darmi berasal dari Pungkruk, sebuah dusun kecil di daerah Sragen.
"Hidangannya telah saya sediakan di meja payilyun."
"Aku baru datang dan memang hendak makan, dan aku ke sini mencari cabe rawit,"
Jawab Dedi. Darmi cepat melayani Dedi, mencarikan beberapa buah cabe rawit.
"Kenapa sunyi amat? Apakah tuan dan nyonya pergi nonton?"
Darmi tersenyum penuh arti.
"Perang dingin""
Bisiknya. Dan Dedi yang sudah dua tahun tinggal disitupun tahu apa maknanya kata-kata itu. Pemuda ini menarik napas dan mengangguk-angguk maklum dan mereka saling pandang seperti dua orang yang sama-sama mengetahui suatu rahasia, membuat mereka merasa lebih akrab.
Dari pandang mata Darmi terpancar suka dan kagum kepada pemuda ini, suat perasaan yang telah mengukir perasaannya semenjak dia bangkit dewasa. Tidak aneh kalau diam-diam gadis sederhana yang manis itu jatuh cinta kepada Dedi. Dedi seorang pemuda yang ganteng dan selalu bersikap sopan dan ramah kepadanya, seorang pemuda yang bagi Darmi tentu saja amat tinggi kedudukannya. Dan Darmi bagi Dedi merupakan seorang perawan dusun yang manis dan sederhana, yang kadang-kadang membuat dia merasa dekat dengan tempat kelahirannya. Kadang-kadang, dalam perasaan mudanya yang mulai peka terhadap daya tarik seorang wanita, timbul perasaan suka dan kagum kepada bunga sederhana ini, karena memang haus diakui bahwa Darmini memiliki bentuk wajah yang manis dan bentuk tubuh yang denok.
"Darmi, kuharap kelak kalau engkau sudah menikah, engkau tidak akan mengalami perang dingin dengan suamimu,"
Kata Dedi sambil tersenyum menggoda. Kulit muka yang manis itu menjadi merah dan Darmi menunduk, senyum-senyum malu dan matanya mengerling ke arah wajah pemuda itu.
"Ah, den Dedi ini ada-ada saja! Siapa mau dengan saya, seorang babu dari dusun?"
"Hushhh, jangan berkata begitu, Darmi. Kita orang merdeka dan engkau adalah seorang anak manusia tiada bedanya dengan aku. Hanya mungkin perbedaannya, engkau dilahirkan di dusun oleh keluarga miskin, sedangkan aku lahir di kota oleh keluarga yang mampu mengirimku bersekolah. Itu saja bedanya. Akan tetapi, engkau dan aku adalah orang Indonesia, anak-anak Bangsa Indonesia yang sudah merdeka. Karena itu, biarpun pekerjaanmu sebagai pelayan atau babu, engkau tidak boleh merasa rendah diri."
Pandang mata perawan berusia enambelas tahun itu menjadi makin kagum. Semua kata-kata Dedi tadi baginya merupakan rangkaian indah yang hanya samar-samar saja dimengertinya, akan tetapi yang lebih penting baginya, ucapan pemuda itu ditujukan kepadanya! Dia merasa bangga dan memandang wajah ganteng itu.
"Dan saya percaya bahwa den Dedi kelak akan menjadi suami yang baik dan tidak pernah membikin sakit hati isterinya."
Dedi tertawa, akan tetapi tanpa disadarinya, mukanyapu berobah menjadi agak merah dan dia lalu meninggalkan dapur, membawa lombok pemberian Darmi.
Dia merasa kurang puas kalau makan tanpa sambal, dan malam hari itu, Liyani yang sedang kesal hatinya agaknya lupa membuatkan sambal sehingga dia perlu pergi ke dapur mencari cabe rawit untuk lalap. Malam itu, perang dingin antara Danumiharja dan Liyani mencapai puncaknya. Keduanya sudah rebah di atas pembaringan. Akan tetapi, Liyani rebah miring ke kiri menghadap dinding, sedangkan Danumiharja rebah miring ke kanan menghadap ke pintu kamar. Ketika Danumiharja memasuki kamar tidur, dia melihat isterinya sudah rebah miring ke dinding. Sikap ini saja cukup membuat ia menyeringai penuh ejekan dan dengan pandang mata dan sikap "aku tidak butuh kamu"
Diapun lalu merbahkan tubuhnya disamping isterinya, akan tetapi miring dan membelakangi tubuh belakang isterinya.
Rebah miring saling membelakangi dan untuk beberapa menit lamanya keduanya bersikap seperti orang-orang yang sudah tidur, sedikitpun tidak bergerak! Bahkan Danumiharja sengaja membuat napasnya berbunyi berat seperti orang yang benar-benar sudah tidur lelap. Akan tetapi, rebah miring tak bergerak-gerak seperti itu, selama satu jam dalam keadaan belum tidur, mendatangkan rasa lelah yang tak tertahankan lagi. Apa lagi kalau sejak tadi telinganya dipasang untuk mengikuti gerakan isterinya, hatinya tegang penuh harap-harap cemas kalau-kalau isterinya akan dapat melihat keadaannya dan isterinya akan dapat melihat keadaannya dan isterinya itu mau mencairkan kebekuan sikapnya dan kalau saja isterinya mau mengeluarkan sepatah kata saja,
Cukuplah untuk mencairkan kebekuan yang menyiksa hati itu. Karena satu jam sudah miring ke kanan, Danumiharja merasa lengan kanannya kesemutan. Terpaksa dia harus merobah kedudukan tubuhnya, dan juga merobah siasatnya, pikirnya. Siasat untuk memancing perhatian Liyani, agar isterinya mau membuka kata pertama untuk menyudahi perang dingin itu. Kalau sudah terjadi seperti itu, bagi mereka berdua yang merupakan hal paling tidak menyenangkan adalah sikap diam itulah! Kalau saja seorang diantara mereka mau membuka mulut, tentu kebekuan itu akan mencair, bahkan soal-soal terdahulu akan terlupa atau setidaknya membuka jalan bagi mereka untuk menyelesaikannya.
Akan tetapi, kalau sudah begitu, mereka saling tidak mau mengalah. Mengalah berarti membuka mulut lebih dulu, dan mengalah ini dirasakan amat memukul, bahkan merendahkan dan menghina. Tidak sudi aku membuka suara lebih dulu, demikian pikir Danumiharja, memangnya aku ini apa? Aku seorang suami, aku yang bekerja, aku yang mencari uang, kalau aku mengalah aku akan semakin tidak kau pandang, akan semakin kau hina dan kau rendahkan. Tidak, aku tidak sudi bicara lebih dulu! Aku tidak sudi bicara lebih dulu, pikir Liyani, apa dipikirnya aku ini seorang perempuan murahan? Aku adalah isterinya, isteri yang terhormat. Masa aku harus bicara lebih dulu, seperti seorang pelacur yang minta
didekati?
Aku sudah cukup melayaninya, cukup menyenangkan hatinya selama ini, memenuhi semua permintaannya. Dan dia? Hanya marah-marah saja, tidak tahu orang lagi lelah dan ngantuk, tidak tahu orang lagi tidak berselera, maunya memaksa saja. Apa aku ini mau disamakan dengan tempolong saja yang akan dipergunakan setiap kali dia ingin berhajat? Tida sudi aku! Dan keduanya tetap berdiam diri seperti patung. Kini keadaan dua patung itu berobah. Danumiharja terlentang karena lengan kanannya kesemutan, akan tetapi Liyani, sebagai seorang wania, lebih dapat bertahan sungguhpun ia merasa tersiksa juga oleh perang dingin itu. Karena kini terlentang, tentu saja mata yang kadang-kadang ditutup karena lelah terpaksa dibuka itu, dapat melirik ke arah tubuh belakang isterinya. Aneh, mengapa tubuh isterinya nampak demikian menarik malam ini?
Pinggul itu, dia tahu pinggul isterinya besar dan kalau berjalan melenggang seperti pinggul bintang film, malam ini memiliki daya tarik yang tidak seperti biasa, amat menggairahkan hatinya! Memang isterinya seperti bintang film. Mempunyai daya tarik seperti bintang film yang makin berumur makin menyala, kulitnya halus kuning itu belum nampak keriput-keriput pada wajahnya, tubuhnya masih tetap seksy penuh daya pikat, mungkin isterinya mempunyai daya tarik yang amat kuat, mungkin pada pandang matanya atau dagunya, dan bibirnya dapat bergerak-gerak, terutama bibir bawahnya, gerakan bibir bawah yang mengandung daya tarik seperti besi semberani, mirip dengan bintang film Marilyn Monroe yang juga dapat menggerakkan bibir bawah secara luar biasa, penuh gairah dan penuh daya pikat. Isterinya memang cantik, dan anehnya, malam ini nampak lebih dari pada yang sudah-sudah!
"Brukkk!"
Liyani terkejut juga, akan tetapi tersenyum mengejek, tanpa bergerak dan tetap menghadap dinding. Lagu lama, pikirnya. Suaminya membanting kedua kaki sambil miring lagi, seperti yang tidak disengaja, akan tetapi jelas disengaja agar dapat membuatnya terkejut, agar ia membuka suara, agar menegur, agar kasihan. Tapi ia tidak mau. Biar rumah ini ambruk, kalau kau tidak mau menegur lebih dulu, akupun akan diam saja, pikirnya. kau perlu diberi rasa, jangan terlalu meremehkan aku, pikirnya. Danumiharja menyeringai menahan sakit. Tadi memang dia membanting kedua kakinya sambil bergerak miring lagi, maksudnya untuk mengejutkan isterinya dan agar isterinya menegur atau bagaimana. Eh, isterinya berkepala batu, tetap diam saja dan sial baginya, tulang kering kaki kirinya ketika dibantingnya tadi menimpa pinggiran pembaringan kayu yang keras.
Kiut-kiut rasanya seolah-olah tulang kering kakinya retak. Akan tetapi dia malu untuk bersuara, hanya mendesis kecil melalui gigi yang dikatupkan, seperti orang makan cabe. Hatinya mengkal sekali. Ditengoknya jam di atas meja. Sudah jam sebelas malam dan suasana bukan menjadi baik malah semakin menegang dan semakin dingin. Perempuan yang keras kepala, pikirnya. Mungkin sudah tidak cinta lagi padaku. Apa dikira aku tidak bisa mencari perempuan lain? Yang lebih cantik, yang lebih muda, yang perawan... yang perawan? Seperti Darmi? Berdebar rasa jantung suami yang sedang kecewa ini. Mengapa tidak? Darmi adalah seorang perawan yang manis, dan sudah lama dia melihat betapa tubuh anak perempuan itu telah tumbuh menjadi tubuh seorang gadis yang gempal dan denok.
Tidak se-sexy tubuh isterinya, akan tetapi lebih muda. Jauh lebih muda dan ranum. Mengapa tidak? Biar isterinya tahu bahwa di dunia ini banyak perempuan yang mau melayaninya, dia yang berkedudukan tinggi, yang mempunyai cukup uang untuk membeli pelayanan mereka. Dan perempuan yang paling dekat saat itu, selain isterinya yang sedang menolaknya, adalah Darmi! Danumiharja turun dari atas pembaringan. Sengaja membuat gerakan keras, bangkit duduk dan diam sebentar, ingin melihat reaksi isternya, kalau-kalau isterinya bertanya ke mana dia hendak pergi. Pertanyaan itu saja akan cukup untuk mencairkan kebekuan, untuk mengusir bayangan seribu orang Darmi sekalipun. Akan tetapi isterinya diam saja, malah makin keras berusaha pura-pura tidur, atau mungkin juga sudah pulas, pikirnya makin dongkol.
Dia meninggalkan tempat tidur, membuka pintu kamar dan menutupkannya cukup keras, lalu berdiri diam di luar pintu kamar, menanti reaksi isterinya, ditempelkannya telinganya pada daun pintu untuk mendengar kalau-kalau isterinya bangkit atau turun. Kalau dia mendengar sesuatu, tentu akan dibukanya lagi pintu itu, agar dapat memergoki isterinya bangkit atau turun. Akan tetapi dia tidak mendengar apa-apa. Liyani??????????????? suaminya dan???????? tajam, bahwa suaminya bangun dan keluar dari kamar. Hatinya makin panas. Ketika suaminya bangkit dan duduk tadi, jantung wanita ini sudah berdebar tegang penuh harap. Tentu kini suaminya tidak tahan lagi dan akan menegurnya, akan memohonnya, akan minta maaf kemudian mereka akan saling memaafkan, saling belai, saling menumpahkan rasa cinta dalam persatuan yang panas.
Akan tetapi ia kecewa. Suaminya tidak menyentuhnya, tidak menegurnya, malah keluar dari kamar. Tentu akan pergi keluar rumah, untuk berjalan-jalan atau entah ke mana. Liyani menanti sampai beberapa menit. Lalu ia bangkit dan mengenakan baju tidurnya. Ia memang biasa tidur bertelanjang sejak menikah. Inpun kehendak suaminya sehingga ia akhirnya terbiasa. Dengan hanya baju tidur yang tidak berapa tebal membungkus tubuhnya, ia keluar pula dari kamar. Ia tidak ingin mencari suaminya. Malu kalau harus mencari suaminya. Biarlah, ia akan bersikap seolah-olah suaminya itu hanya bayangan saja. Tiba-tiba ia mendengar suara derum sepeda motor di luar rumah. Ia pergi ke ruangan depan dan melihat Dedi memasuki payilyun, membuka pintu payilyun dari depan dengan kunci pintunya.
Tentu baru pulang bersama temannya yang memboncengkannya dengan sepeda motor, pikir Liyani. Dedi amat tampan, pikirnya. Dan muda. Suaminya baru akan tahu rasa kalau sekali-kali ia benar-benar menyerahkan dirinya kepada seorang pria lain, seperti... Dedi misalnya. Dan dia memang harus tahu bahwa dia mempunyai seorang isteri yang setia, buktinya sampai kini belum pernah melakukan penyelewengan. Tapi ternyata kesetiannnya itu tidak dihargainya. Ka-???????????? baru dia tahu rasa!???????????????????nya. Pandang mata pemuda itu cukup membuktikan kesediaannya untuk melayaninya. Mengapa tidak? kekecewaan hatinya mendorongnya untuk memperoleh belas kasih, memperoleh kepuasan dan memperoleh bukti bahwa ada pria yang menghargainya, yang butuh akan cintanya, tubuhnya, biarpun pria itu, untuk satu kali ini, bukan suaminya!
Dedi menanggalkan kemejanya sambil bersiul-siul gembira. Malam tadi berupakan malam yang menggembirakan baginya. Film yang dibintangi Rock Hudson selalu memuaskan para penonton. Dia sudah lupa lagi judulnya, akan tetapi Rock Hudson main sebagai seorang suami yang membalaskan dendam keluarganya. Keras dan sadis, akan tetapi memuaskan karena pada akhir cerita dia sebagai penuntut keadilan memperoleh kemenangan. Dan Tejo, sahabatnya, yang baru saja menerima banyak uang dari pamannya yang berada di Surabaya, telah menjamunya di restoran Padang. Dia tidak perlu lagi makan malam di payilyun, dimana selau tersedia makan malamnya yang sudah dingin. Bukan salah Darmi. Salahnya sendiri karena dia pulang larut malam. Sudah jam sebelas lewat.
"Tok-tok-tok!"
Hem, mau apa Darmi malam-malam begini mengetuk pintunya, pikir Dedi.
"Aku tidak makan malam, singkirkan saja makan malam itu!"
Teriaknya.
"Tok-tok!"
Dedi berjalan ke pintu yang menembus ke belakang itu. Mungkin teriakannya tidak terdengar oleh Darmi. Dibukanya pintu setelah diputar kuncinya. Dia tertegun. Kiranya bukan Darmi yang berdiri di luar pintu, melainkan nyonya rumah!
"Ah, tante Liya..."
Katanya. Dia biasa menyebut tuan dan nyonya rumah sebagai oom Danu dan tante Liya. Liyani tersenyum dan melangkah masuk, membawa dua buah apel yang merah itu, appel luar negeri yang berbau harum. Sambil melangkah masuk, pandang matanya tidak lepas dari dada pemuda itu, yang telanjan. Dedi merasa canggung dan malu. Untung celana panjangnya belum dibuka, pikirnya. Menghadapi Darmi dengan dada terbuka seperti ini tidak apa-apa, akan tetapi tante Liya? Belum pernah dia berhadapan dengan wanita ini dengan badan tanpa baju.
"Dedi, siang tadi aku membeli appel, ini kubawakan untukmu."
Ia mengulur tangan yang memegang appel dan diam-diam ia tersenyum dalam hatinya. Tanpa disengaja ia telah menciptakan gambaran ketika Hawa memberikan buah kepada Adam, dengan demikian menyeretnya ke lembah dosa!
"Terima kasih, tante,"
Jawab Dedi menerima dua buah appel itu, akan tetapi Liyani dapat melihat bahwa biarpun sambil lalu, pandang mata Dedi tertuju ke arah dadanya. Ia tahu bahwa pakaian tidur yang tipis itu sedikit saja menyembunyikan apa yang berada di baliknya. Senyumnya melebar dan biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan karena selama hidupnya baru kali inilah ia mempunyai niat untuk bermesraan dengan seorang pria lain, Liyani memaksa diri melangkah dekat.
"Dedi, cobalah appelnya, manis dan harum..."
Dan ia berdiri dekat sekali. Dedi menjadi makin canggung. Bukan appel itu yang harum, melainkah Liyani karena tubuh wanita itu keluar keharuman parfum. Akan tetapi dia mengambil appel itu. Memang manis dan harum, akan tetapi pada saat jantungnya berdebar tegang seperti????? begitu dapat dinikmati kelezatan buah impor itu.
"Dedi... Engkau berbuka baju... Apakah tidak dingin...?"
Liyani makin mendekat dan kini kedua lengannya sudah merangkul pinggang Dedi.
"Eh... Dingin juga, tante..."
"Akupun dingin, Dedi..."
Bisik Liyani yang oleh ularnya sendiri telah dirangsang berahi. Diraihnya leher pemuda itu dengan kedua lengannya dan diciuminya wajah pemuda itu. Dedi terkejut dan cepat dia melangkah mundur dan mendorong tubuh Liyani sehingga wanita itu terhuyung ke belakang.
"Jangan... jangan, tante... tidak baik ini... kalau ketahuan oom Danu..."
Dedi memandang dengan mata terbelalak dan dua buah appel itu telah menggelinding di atas lantai. Akan tetapi Liyani sudah maju lagi dan dengan bisikan-bisikan yang tidak dapat didengar apa artinya, ia sudah merangkulkan kedua legannya pada leher dan pundak Dedi lagi dan menciumnya dengan mesra. Tersirap darah Dedi dan sejenak dia merasa diayun di tempat yang amat tinggi, hanyut dalam keadaan seperti mabuk.
Dia tidak menyadari bahwa dia membalas pelukan dan ciuman wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat lagi ketika dia merasa ditarik ke bawah, dan dengan mata terbelalak dia melihat wajah itu, wajah yang biasa cantik itu kini nampak begitu menyeramkan, dengan mata setengah terpejam dan mulut terbuka, seperti mulut Yampir, yaitu wanita siluman yang biasa menghisap darah dari urat leher. Dia terlonjak dan kembali merenggut lepas dirinya dari dekapan Liyani, lalu Dedi meloncat ke pintu belakang, membukanya dan melarikan diri ke belakang! Liyani hampir terjatuh oleh dorongan dan regutan Dedi, akan tetapi untung tubuhnya tertahan oleh almari. Kepalanya terbentur sedikit dan iapun sadar. Matanya terbuka lebar dan mulutnya mengeluh, bagaikan orang baru habis bangun dari mimpi buruk,
"Ya TUHAN... apa yang telah kulakukan... apa yang telah kulakukan...?"
Dengan jari-jari tangan gemetar ia menutup kembali gaun tidurnya dan mengikat kembali tali gaunnya, kemudian dengan tubuh masih agak menggigil ia membuka pintu kamar itu, menutupnya kembali dan dengan langkah-langkah setengah berlari, seperti orang melarikan diri dari sesuatu yang mengerikan, ia kembali ke kamarnya. Pembaringan itu masih kosong, maka legalah hatinya. Ia tidak tahu apa yang harus diperbut andaikata suaminya telah berada diatas pembaringan itu. Ia melempar diri ke atas pembaringan dan menangis mengguguk, ditahannya suara tangisnya dengan bantal.
Dedi melarikan diri dengan langkah-langkah lebar menuju ke dapur. Seluruh tubuhnya terasa panas dan napasnya memburu. Dia harus segera minum air yang dingin, di almari es di dapur. Apa yang baru saja dialaminya itu terlalu hebat baginya. Dedi adalah seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun dan biarpun belum secara serius, namun diapernah berpacaran dengan seorang wanita. Bahkan dia pernah berciuman dengan seorang teman wanita. Bahkan diapernah berciuman, sungguhpun dengan canggung dan lebih banyak untuk sekedar memenuhi keinginan tahunya dari pada karena dorongan gairah. Akan tetapi apa yang dialaminya tadi, sungguh amat mengejutkan dan mengkhawatirkannya. Dia merasa seolah-olah didalam tubuhnya terjadi kebakaran. Dekapan tante Liyani tadi, ciumannya yang membara dan penuh gelora, seolah-olah telah membakar dirinya luar dalam.
Semua itu, kalau ditambah lagi dengan ingatan betapa hampir saja dia telah melakukan sesuaty yang amat mengerikan, membuat Dedi merasa jantungnya berdebar keras seperti akan meledak. Kalau saja dia tidak cepat ingat, sadar dan menjauhkan diri! Kalau sampai hal itu terjadi kemudian diketahui oleh Danumiharja, dan tentu akan terjadi geger. Ayah ibunya tentu akan tahu pula dan akibatnya, mungkin sekali dia akan disuruh pulang ke Solo, kuliahnya akan macet dan entah akan terjadi apa selanjutnya. Akan tetapi, kalau dia membayangkan dekapan itu, ciuman itu,kehangatan itu, seperti ada tenaga rahasia yang mendorong-dorongnya untuk kembali ke dalam kamarnya, kembali ke dalam dekapan hangat membara itu. Maka dia melarikan diri ke dapur, untuk mencari air dingin atau es di koelkast.
Dari ruangan di belakang kamar payilyun itu terdapat jalan tembusan yang menuju ke rumah besar dan menuju ke belakang, ke bagian dapur dan kamar mandi. Dia mengambil jalan yang menuju ke belakang, walaupun kalau melalui rumah besar lebih dekat, akan tetapi dia tidak mau lewat jalan itu, bahkan merasa ngeri kalau-kalau beremu dengan tuan rumah. Jalan belakang ini melalui kamar pelayan dan gudang-gudang barang, yang mempunyai pekarangan kecil di mana Liyani menanam pohon jeruk nipis dan beberapa batang pohon pepaya Cibinong, juga beberapa batang pohon mawar merah. Dengan napas masih memburu namun lebih tenang karena dia sudah meninggalkan wanita itu, Dedi yang lari tanpa baju dan tanpa sandal itu tiba di pekarangan kecil. Tiba-tiba dia menahan langkah kakinya dan memandang ke arah kamar Darmi dengan terbelalak.
"Jangan, tuan... Jangan... tidak mau... tidak mau...!"
Itulah suara Darmi! Lalu terdengar lapat-lapat suara menggumam, suara oom Danumiharja! Tahulah Dedi apa yang sedang terjadi!
"Jangan... ah, kalau tidak dilepaskan, saya akan berteriak...!"
Dedi cepat mendekati kamar itu dan berdehem agak keras! Segera suara agak berisik di dalam kamar itu terhenti.
"Darmi! Sudah tidurkah engkau...? Aku mau makan dan sayurnya kurang asin, aku butuh kecap, di mana ditaruhnya?"
Dia menanti sebentar dan mengetuk pintu kamar itu.
"Tok-tok-tok! Darmi, di mana botol kecapnya?"
Terdengar suara berkeresekan, lalu suara Darmi menggigil,
"Kecap...? Di... di dalam bupet, den Dedi..."
"Di bupet? Biar kucoba cari sendiri!"
Setelah berkata demikian, Dedi melangkah pergi dari depan pintu kamar itu, akan tetapi bukan menuju ke dapur, melainkan menyelinap di balik pohon jeruk yang cukup gelap.
Dia mengintai dan terdengar bisik-bisik dari dalam kamar itu, kemudian tak lama sesudah itu, pintu kamar terbuka perlahan-lahan, sebuah kepala terjulur keluar, memandang ke kanan kiri dan agak lama ke arah dapur, kemudian keluarlah Danumiharja dari dalam kamar, memakai pakaian tidur dan dengan lenggang yang dipaksakan seolah-olah dia baru saja dari dapur, dia lalu melangkah cepat-cepat menuju ke rumah besar! Dedi mendengar betapa pintu kamar Darmi ditutup lagi dan dikunci dari dalam. Sampai beberapa lamanya Dedi berdiri di balik pohon jeruk, masih tertegun menyaksikan peristiwa ini. Tante Liyani memasuki kamarnya dan mencoba untuk merayunya, dan kini dia melihat oom Danu memasuki kamar Darmi dan agaknya hendak memaksa Darmi pula!
Sungguh peristiwa-peristiwa yang hampir tak dapat dipercayanya kalau saja dia tidak mengalaminya dan mendengarnya sendiri. Kurang lebih se puluh menit kemudian setelah menanti-nanti dan tidak melihat oom Danu datang lagi, dia lalu hendak meninggalkan tempat itu dan hendak kembali ke kamarnya lagi, tidak jadi minum air dingin karena berdiri di atas tanah dengan kaki telanjang tadi selama se puluh menit sudah cukup menenangkan jantungnya yang bergelora. Akan tetapi dia mendengar suara isak tangis Darmi. Isak tangis tertahan. Dia merasa kasihan dan diketuknya pintu itu lirih-lirih. Dia hendak menghibur Darmi, juga hendak mendengar sejauh oom Danu telah merayu atau memaksa perawan dusun itu. Suara tangis terhenti seketika dan ketika ketukan diulang, terdengar suara Darmi gemetar,
"Ya...? Siapa...?"
"Aku Dedi, bukalah pintunya, aku ingin bicara sedikit..."
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pintu kamar itu terbuka dan begitu melihat Dedi, Darmi lalu mengguguk dan menubruk pemuda itu.
"Ahhh... den Dedi... hu-hu-huuhhh...!"
Perawan itu menangis sesenggukan sambil merangkul dan air matanya membasahi dada Dedi yang telanjang. Dedi merangkulnya, merasa terharu dan kasihan, mengelus rambut yang hitam panjang terurai itu dan dia melihat betapa kutang yang dipakai Darmi itu terobek dan sebuah bantal terjatuh di lantai. Jelas bahwa terjadi pergulatan dan perlawanan di dalam kamar itu.
"Darmi... Jangan menangis. Apakah yang telah terjadi tadi? Apa yang dilakukan oleh oom Danu...?"
"Aduh, den... dia... dia hendak memaksaku... akan tetapi aku tidak mau, dia membujuk-bujuk sejak tadi... Aku takut sekali dan ketika dia hendak memaksa, aku melawan, dan untung den Dedi bersuara memanggilku tadi, kalau tidak..., hu-huu..."
"Sudahlah, jangan menangis, semua sudah lewat dan jangan takut, aku melindungimu..."
Kata Dedi dan tiba-tiba saja, berdekapan dengan Darmi itu, merasa hawa yang panas dari tubuh gadis itu, kembali telinganya terngiang-ngiang dan tubuhnya sendiri terasa panas semua.
Dan Darmi juga merangkul pinggangnya dengan kuat-kuat seolah-olah enggan melepaskannya. Dan ketika Dedi mengangkat muka itu dengan tangannya, melihat wajah basah air mata itu, dan mencium bibirnya, Darmi terisak, akan tetapi tidak melawan, bahkan lalu merangkul leher Dedi. Agaknya, rayuan Danumiharja kepada Darmi, dan rayuan Liyani kepada Dedi membuat dua orang muda itu menjadi lemah. Mereka keduanya sudah berada di ambang kejaTUHAN tadi, dan kini, tanpa disengaja keduanya saling merangkul dan tanpa mereka sadari sendiri, mereka itu saling belai dan hal itupun terjadilah seperti dengan sendirinya, seperti otomatis tanpa ada ucapan keluar dari mulut mereka, bahkan dengan dua pasang mata yang dipejamkan.
Apa yang diminta oleh Danumiharja dan Liyani dengan setengah memaksa tadi kini terjadi pada Darmi dan Dedi tanpa ada yang minta atau memberi. Terjadi begitu saja seperti di luar kesadaran mereka. Yang menggerakkan mereka hanyalah nafsu berahi, dan keakraban, dan kebutuhan jasmani masing-masing, juga kebutuhan hiburan setelah mereka mengalami hal yang amat mendebarkan perasaan mereka. Sementara itu, Danumiharja berjalan memasuki kamarnya. Perasaan menyesal yang amat besar memenuhi hatinya. Suara Dedi tadi seperti suara malaikat yang mengusir setan yang menguasainya, membuatnya sadar dan kini dia merasa amat menyesal, juga amat lega bahwa hal itu tidak sampai terjadi.
Karena kalau tadi dia menggunakan paksaan memperkosa Darmi, tentu akhirnya Liyani akan mengetahuinya dan sukar dia untuk membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dia dan Liyani. Dan ketika dia memasuki kamar itu perlahan-lahan, dia melihat isterinya menelungkup dan menangis lirih, menyembunyikan mukanya di bantal! Seketika pucat wajah Danumiharja ketika dia mengira bahwa isterinya telah tahu akan peristiwa antara dia dan Darmi tadi, apa yang diperbuatnya kepada pelayan itu, bujukan-bujukan, setengah paksaan yang hampir berhasil itu! Akan tetapi dia membantah kekhawatiran itu sendiri. Tidak mungkin. Lalu mengapa isterinya menangis? Tiba-tiba dia merasa betapa sikapnya telah keterlaluan sekali kepada isterinya, kesadaran ini muncul bersama penyesalannya oleh peristiwa di kamar Darmi tadi.
"Liya... Liya... kau kenapakah?"
Tanyanya halus dan dia sudah duduk di atas pembaringan, menyentuh pundak isterinya dengan halus.
"Liya, sakitkah engkau...? Liya, kau mau memaafkan aku, bukan?"
Liyani terbenam dalam penyesalan sendiri sehingga ia tidak mendengar ketika suaminya masuk. Ia merasa menyesal dan juga merasa malu karena Dedi telah menolaknya tadi. Suatu tamparan baginya, sungguhpun diam-diam ia merasa lega bahwa Dedi telah menolaknya, bahwa tidak terjadi sesuatu antara mereka. Dalam keadaan seperti ini, ketika ia tiba-tiba mendengar suara suaminya, suara yang begitu penuh perasaan khawatir dan menyesal, ia terkejut dan seketika tangisnya meledak. Dia membalikkan tubuhnya dan merekapun saling berpelukan.
"Maafkan aku..., maafkan aku..."
Demikian mereka saling berbisik dan dengan perasaan penuh kerinduan, seolah-olah mereka baru saja saling jumpa setelah perpisahan yang lama,dengan penuh kemesraan, merekapun saling menumpahkan rasa cinta masing-masing.
Dalam bercinta:
Wanita ingin dimanja dan dipuja
Ingin dimiliki dan dibutuhkan
Sex baginya hanya soal ke dua,
namun pria ingin menguasai
Ingin memiliki dan dilayani
Sex merupakan hal terutama
(Lanjut ke Bagian 02)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 02
Seminggu kemudian setelah peristiwa di malam hari itu, Dedi meninggalkan rumah keluarga Danumiharja. Dia melihat betapa tante Liyani selalu menghindarkan dia, dan kalau terpaksa bertemupun wajah yang cantik itu selalu muram, alis itu selalu berkerut dan tanpa sembunyi-sembunyi wanita itu memperlihatkan bahwa hatinya tidak senang melihat Dedi. Dan memang ketisaksenangan ini bukan dibuat-buat. Liyani merasa tidak senang kepada Dedi, bahkan diam-diam ia menyalahkan Dedi dalam peristiwa malam itu, merasa seolah-olah pemuda itu menjadi penggodanya dan hampir saja membuat ia terpeleset!
Dedi mengira bahwa ketidak-senangan wanita itu kepadanya adalah karena penolakannya. Di samping sikap yang tidak mengenakkan hati dari nyonya rumah ini, juga semenjak terjadinya peristiwa antara dia dan Darmi di kamar pelayan itu, dia merasa menyesal bukan main, juga khawatir. Sikap Darmi berobah sama sekali dan pandang mata gadis itu amat mesra setiap kali mereka bertemu pandang. Dan gadis itu seperti memancing-mancing agar dia suka mengulang perbuatannya. Bahkan pada suatu malam, menjelang tengah malam, pernah gadis itu mengetuk pintu kamarnya, minta diperbolehkan masuk! Dan dia selalu menolaknya. Menghadapi dua orang wanita itu, yang seorang seperti hendak menjauhinya dan yang ke dua selalu hendak mendekatinya, Dedi mengambil keputusan untuk meninggalkan keduanya.
Maka dia lalu mencari tempat pemondokan lain yang jauh letaknya. Kalau rumah keluarga Danumiharja berada di Jakarta Utara, maka dia memilih tempat pemondokan baru di Jakarta Selatan! Tidak kurang dari dua puluh kilometer memisahkan dia dari rumah di mana tinggal dua orang wanita yang untuk pertama kali mendatangkan peristiwa yang takkan pernah dapat dilupakannya selama hidupnya itu. Dia tidak mencinta Darmi, akan tetapi ada rasa iba yang mendalam terhadap diri gadis itu, dan kalau dia teringat betapa dia merupakan pria pertama bagi Darmi, bahkan sebaliknya Darmi juga merupakan wanita pertama dalam hidupnya, ada rasa haru dan iba di hatinya. Akan tetapi tidak mungkin dia dapat melanjutkan hubungannya dengan Darmi.
Bahkan dia harus memutuskan hubungan itu seketika kalau dia tidak mau terlibat dalam keadaan yang lebih berat lagi baginya. Kalau orang tuanya di Solo tahu akan hal itu! Kalau orang lain tahu! Alangkah malunya dan betapa marahnya orang tuanya, terutama ayahnya. Tidak, pengalaman di dalam rumah keluarga Danumiharja itu akan merupakan pelajaran pahit baginya. Belum waktunya untuk bertualang dengan wanita. Tahun ini dia baru naik tinggkat tiga. Dan dia harus menamatkan pelajarannya. Cita-citanya adalah menjadi sarjana dan hal ini juga merupakan cita-cita orang tuanya, terutama ayahnya. Dan dia menanamkan cita-cita ini, atau lebih tepat, menerima cita-cita yang ditanamkan ayahnya ini tidak dengan hati menyesal, karena dia menyukai bidang ini, bidang ekonomi. Dia harus bekerja keras, belajar dengan tekun dan tidak boleh ada urusan wanita menjadi penghalang cita-citanya.
Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa perbuatannya pada malam hari itu di dalam kamar Darmi ternyata tidak akan habis di situ saja. Perbuatan yang hanya satu kali itu, dilakukan oleh dia dan Darmi dalam keadaan seperti tidak sadar, terdorong oleh sesuatu yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya, ternyata mendatangkan akibat yang sebetulnya wajar saja, namun sungguh sama sekali tidak disangka apa lagi diharapkan, baik oleh dia maupun oleh Darmi. Dedi tidak tahu bahwa beberapa bulan sejak dia meninggalkan rumah keluarga Danumiharja. Darmi jatuh sakit. Gadis pelayan itu muntah-muntah dan ketika dibawa ke dokter oleh Liyani, terdengarlah keterangan dokter yang membuat kedua orang wanita itu terbelalak. Dokter itu, selesai dengan pemeriksaannya, lalu mengulurkan tangan kepada Darmi dan berkata dengan wajah berseri,
"Harap nyonya tidak khawatir. Nyonya tidak sakit, bahkan menanti kebahagiaan besar. Nyonya telah mengandung dua bulan lebih."
"Hamil...??"
Liyani terbelalak sedangkan Darmi menatap wajah dokter itu dengan muka pucat sekali. Melihat betapa dua orang wanita itu jelas sekali memperlihatkan kekagetan, doker yang tadinya merasa gembira itu berbalik terheran-heran.
"Mengapa...?"
Akan tetapi sambil terisak Darmi sudah lari kepintu, membuka daun pintu dan lari keluar, membikin kaget dan heran para pasien yang menanti diluar. Melihat ini, Liyani hanya berkata,
"Maaf, dokter!"
Dan diapun berlari keluar, lupa untuk membayar dan dia mengejar Darmi yang sudah berada di luar sambil menangis.
"Darmi, tunggu...!"
Dan gadis itu menurut saja ketika disuruhnya memasuki mobilnya. Dengan alis berkerut, hati dipenuhi kemarahan dan rasa cemburu, tanpa berkata apapun kepada Darmi yang menangis dalam mobil, Liyani mengendarai Fiat Kodok suaminya, pulang ke rumah. Ia tidak sabar lagi, menghentikan mobil di pekarangan depan, tidak langsung ke depan garasi, mematikan mobil dan membuka pintu, keluar. Darmi juga sudah keluar dan gadis ini lari ke kamarnya sambil menangis. Sore itu, Danumiharja sedang duduk membaca koran di ruangan depan. Terkejutlah dia ketika melihat Darmi lari dari mobil sambil menangis, dan lebih terkejut lagi dia ketika melihat isterinya menghampirinya dan sepasang mata isterinya itupun merah dan mengucurkan air mata, wajah isterinya kemerahan dan jelas nampak isterinya marah besar.
"Ada apakah? Kenapa ia? Apa yang telah terjadi...?"
Dengan dada bergelombang oleh amarah, Liyani menudingkan telunjuknya ke arah hidung suamiya.
"Bagus, ya? Engkau laki-laki mata keranjang tak tahu malu! Engkau menggerumut babu sendiri, ya? Sungguh tak tahu malu...!"
Dan Liyani lalu menangis sambil menjatuhkan diri di atas sofa di depan suaminya. Danumiharja melepaskan kacamata bacanya agar dapat memandang wajah isterinya lebih jelas.
"Eh, apa artinya ini? Apa yang kau maksudkan?"
Tanyanya dan seperti bayangan ulang sekilas dia terkenang akan peristiwa di dalam kamar Darmi beberapa bulan yang lalu dan timbul kecemasan dugaan bahwa isterinya akhirnya tahu akan hal itu, mungkin Darmi yang telah menceritakan peristiwa itu. Akan tetapi, mengingat bahwa dia belum melakukan langkah terakhir, dan untung sekali muncul suara Dedi yang telah menyelamatkannya, kini terasa betul hal itu olehnya, dia menjadi berani.
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo