Darah Daging 2
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Liya, jangan engkau menuduh yang bukan-bukan. Apa maksudmu dengan kata-kata itu?"
"Masih pura-pura bodoh lagi! Siapa lagi kalau bukan engkau orangnya? Darmi begitu pendiam, tidak pernah pergi malam, tidak pernah bergaul dengan pria dan sekarang telah mengandung dua bulan. Siapa lagi laki-laki yang telah menggaulinya kecuali engkau? Dan masih pura-pura tidak tahu lagi? Ah, engkau keji... keji...!"
Liyani menangis lagi.
Danumiharja memandang bengong. Sejenak dia tak mampu berkata-kata, matanya yang terbelalak itu berkedip-kedip heran. Melihat isterinya menangis tersedu-sedu seperti itu, timbul rasa iba di dalam hatinya. Tangis isterinya itu seolah-olah mengandung iri hati yang amat sangat dan diapun maklum betapa inginnya isterinya mengandung dan mempunyai anak, betapa di sudut hatinya isterinya itu menyalahkan dia yang menjadi sebab kemandulan itu, padahal menurut pemeriksaan dokter ahli, mereka berdua bukan tergolong orang mandul. Dia dapat membayangkan betapa sakit rasa hati isterinya melihat wanita lain mengandung dan disangkanya dia yang membuat wanita itu mengandung.
"Liya, tenanglah. kau bilang dia mengadung dan kau mengaku bahwa aku yang telah membuatnya mengandung itu?"
Karena tidak merasa bersalah, maka Danumiharja bersikap tenang saja. Ketenangan suaminya ini membuat Liyani menahan isaknya. Ia mengangkat mukanya memanadng. Ia cukup mengenal watak suaminya dan dari sikap suaminya ini ia menjadi ragu-ragu karena ia tahu bagaimana sikap suaminya kalau bersalah atau kalau tidak bersalah.
"Kau hendak menyangkal bahwa kau...?"
"Liya, kalau Darmi mengaku bahwa aku yang membuatnya mengandung, maka jelas bahwa ia telah berbohong. Kalau benar ia mengandung, maka bapaknya adalah orang lain, bukan aku. Aku berani bersumpah."
Liyani mengusap air matanya, lalu termenung.
"Kalau begitu, siapa...? Dua bulan lebih kata dokter. Dua bulan lebih...?"
Liyani lalu bangkit dan pergi ke kamar Darmi di mana gadis itu menangis sambil rebah menelungkup di atas pembaringannya. Danumiharja menarik napas panjang beberapa kali. Danumiharja menarik napas panjang beberapa kali, memakai lagi kacamata bacanya dan membuka lembaran surat kabar. Akan tetapi tiada sebuah hurufpun dapat masuk ke otaknya yang dipenuhi oleh peristiwa yang dibicarakan isterinya tadi. Sementara itu, dengan sikap halus Liyani menyentuh pundak Darmi.
"Darmi, sudahlah, jangan menangis"
Suaranya juga halus dan semua kemarahannya terhadap pelayannya ini lenyap setelah ia merasa yakin bahwa bukan suaminya ayah dari anak dalam kandungan itu."Lebih baik engkau katakan, siapakah yang membuatmu mengandung dan aku akan berusaha untuk membereskannya. Suamiku akan dapat memaksanya untuk mengawinimu, Darmi."
Darmi yang menangis makin mengguguk mendengar suara Liyani itu tiba-tiba mengangkat mukanya dan bangkit duduk.
"Kawin...? Mung..., mungkinkah itu...?"
Tanyanya, sepasang matanya yang merah dan basah itu terbelalak dan di antara kedukaannya terkandung harapan seperti nyala sebatang lilin dalam kegelapan. Liyani tersenyum manis dan mengangguk, menggunakan selendang yang tadi dipakai Darmi untuk menyusuti air mata yang membasahi muka yang manis dan agak pucat itu.
"Tentu saja, Darmi. Laki-laki yang telah menggaulimu dan membuatmu mengandung haruslah mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Katakanlah, siapa dia?"
Darmi menundukkan mukanya, suaranya seperti bisikan malu-malu,
"Dia... dia adalah den Dedi."
Liyani sudah setengah menduga akan hal ini, akan tetapi mendengar pengakuannya dari mulut Darmi sendiri, ia terkejut juga dan sepasang alisnya berkerut. Ia merasa heran sendiri mengapa timbul perasaan panas di hatinya, panasnya hati yang merasa iri dan cemburu! Dedi yang telah menolaknya itu kiranya malah menerima Darmi! Ia merasa dikalahkan dan sedikit banyak merasa terhina bahwa ia dikalahkan dalam perbandingan dengan pelayannya sendiri. Akan tetapi ia segera menekan perasaan panas hati ini dan suaranya masih lunak ketika ia bicara lagi.
"Bagaimana mungkin itu, Darmi? Bukankah den Dedi telah pindah tempat dan meninggalkan kita selama beberapa bulan ini?"
Darmi kini mengangkat mukanya dan memandang wajah Liyani dengan sungguh-sungguh. Ia merasa terhibur karena agaknya majikannya ini benar-benar hendak menolongnya."
Sungguh, nyonya. Bagaimana saya berani berbohong, apa lagi menjatuhkan fithan kepada orang lain? Selama hidup saya, baru satu kali hal itu terjadi... dan orangnya adalah den Dedi... hanya satu kali... sungguh mati, hanya satu kali saja akan tetapi Gusti ALLAH telah menghukum saya..."
Dan iapun menangis lagi. Liyani cukup mengerti bahwa biarpun hanya satu kali, bisa saja berhasil menjadikan benih dalam kandungan. Sebaliknya, biar sudah ribuan kali, seperti ia dan suaminya, kalau tidak jadi, tetap tidak jadi. Betapa menyedihkan hal ini. Ia dan suaminya yang mengharap-harapkan selama se puluh tahun, tidak juga berhasil mempunyai anak, sebaliknya Darmi yang terpeleset satu kali saja, telah mengandung!
"Bagaimana terjadinya? Dan kapankah hal itu terjadi? Apakah sewaktu den Dedi masih tinggal di sini?"
Ia bertanya, ingin sekali tahu karena masih ada rasa penasaran dalam hatinya bagaimana Dedi lebih suka memilih perawan dusun ini dari pada dirinya. Sambil terisak-isak Darmi menjawab,
"Terjadinya... seminggu sebelum dia pergi nyonya. Ya benar, tepat seminggu... Karena malam itu adalah malam Selasa dan biarpun dia pergi pada hari Selasa berikutnya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi... sebelumnya di antara kami tidak ada apa-apa... malam itu... dia mengunjungi kamar saya dan... dan... hal itupun terjadilah seperti di luar kesadaran saya..."
Liyani menengadah dan termenung. Malam Selasa? Seminggu sebelum Dedi pergi? Ah, tidak salah lagi. Ia ingat benar malam itu! Malam Selasa, ya, malam Selasa. Malam perang dingin antara ia dan suaminya, malam jahanam ketika ia seperti orang gila, seperti seorang perempuan yang tidak tahu malu, memasuki kamar Dedi dan membujuk rayu Dedi kemudian ditolaknya! Dan malam itu, agaknya setelah melarikan diri dari kamarnya, Dedi lalu memasuki kamar Darmi dan... memberikan apa yang telah dimintanya dan ditolak oleh pemuda itu. Malam jahanam! Dedi jahanam! Dan mulutnya tersenyum. Rasakan kau sekarang! Babu yang kau gauli telah mengandung. Ini adalah anakmu dan engkau harus bertanggung jawab. Kawin dengan seorang babu. Rasakan sekarang laki-laki yang berani menolak. Namamu akan cemar!
"Tenanglah, Darmi dan jangan berduka. Kalau sudah jelas den Dedi yang menjadi ayah kandunganmu ini, biar kami akan mengurusnya."
"Terima kasih, nyonya... ah, tadinya saya sudah bingung dan ingin bunuh diri saja. Terima kasih..."
Akan tetapi Liyani telah meninggalkan kamar itu dan langsung ia menghampiri suaminya yang kini nampak duduk termenung, masih di ruangan depan. Melihat isterinya sudah kembali dari kamar Darmi, Danumiharja segera menyongsongnya dengan kata-kata mengandung penasaran.
"Apakah anak tak tahu malu itu masih menuduh aku yang menggaulinya?"
Liyani tersenyum manis dan menyentuh pundak suaminya sebelum duduk menghadapinya.
"Maafkan aku, kak. Darmi tidak pernah menuduhmu, tadi hanya aku sendiri yang menyangka, habis... tadinya kupikir, siapa lagi kalau bukan engkau?"
"Iihhhh..., pencemburu benar kau !"
Danumiharja mencela, hatinya lega bukan main karena dari sikap isterinya ini dia dapat menduga bahwa Darmi tentu tidak menceritakan peristiwa di malam hari dalam kamarnya itu.
"Maafkanlah, cemburu berarti cinta, bukan?"
Liyani berkata manja dan biasanya, hanya di waktu hatinya senang sajalah Liyani bersikap manja seperti itu. Dan memang hati Liyani senang, pertama, karena suaminya ternyata bukan yang menggauli Darmi, dan ke dua, karena ia ingin melihat Dedi terhukum, bukan hanya karena menggauli Darmi, melainkan terutama sekali karena telah memilih Darmi dari pada ia! Pada malam yang itu juga lagi!
"Cemburu berarti cinta!"
Danumiharja mengulang, pura-pura marah untuk menyembunyikan hatinya yang gembira melihat kemanjaan isterinya itu."Cemburu adalah racunnya cinta!"
"Wah, siapa bilang begitu?"
"Tidak perduli siapa yang bilang, lebih baik kau ceritakan siapa sebenarnya ayah dari anak dalam kandungan Darmi?"
Sepasang mata yag masih indah dan jeli itu berseri-seri, mata seorang wanita yang mendapatkan kesempatan untuk membuka rahasia yang menggairahkan,
"Kau tentu takkan dapat menduganya. Laki-laki itu bukan lain adalah Dedi!"
"Ohhh...??"
Danumiharja benar-benar terlonjak kaget dan memandang wajah isterinya dengan mata terbelalak. Akan tetapi matanya tidak melihat bayangan isterinya, melainkan melihat bayangan peristiwa pada malam hari itu. Suara Dedi mendehem, kemudian suara Dedi minta kecap kepada Darmi. Suara yang menyadarkannya dan mengurungkan niatnya untuk memaksa Darmi dengan kekerasan. Jadi Dedi kiranya orangnya? Jadi selama itu Dedi telah menjadi kekasih Darmi dan agaknya sering memasuki kamar Darmi? Kalau begitu, sudah pasti Dedi tahu pula akan peristiwa itu, tahu akan rahasianya! Upah seorang wanita yang pada umumnya senang sekali membuka suatu rahasia adalah melihat orang yang mendengar penuturannya itu terkejut dan terheran. Liyani tidak terkecuali. Hatinya girang sekali melihat kekagetan suaminya.
"Hebat, bukan? Tak kusangka pemuda yang pendiam dan sopan itu!"
Bibirnya yang bawah, dilebarkan, berjebi dan cupig hidungnya agak berkembang.
"Aneh! Sungguh tak kusangka dan sungguh mengherankan. Bagaimana mereka itu dapat main gila tanpa kita mengetahuinya?"
Kata Danumiharja perlahan, seperti bertanya kepada diri sendiri.
"Hanya satu kali saja, kak. Hanya satu kali saja mereka itu ber... jina. Dan kau tahu kapan? Malam selasa, seminggu sebelum dia pergi. Ingat malam itu? Malam kita...?"
"Malam kita...?"
Danumiharja bertanya heran akan tetapi pikirannya melayang-layang, tentu saja dia ingat, malam ketika dia memasuki kamar Darmi!
"Ya, malam kita, malam perang dingin kita... ingat?"
"Ah..., malam jahanam!"
Akhirnya dia berseru.
"Ya, malam jahanam!"
Isterinya berkata juga. Keduanya terdiam, tenggelam dalam lamunan dan kenangan masing-masing, mengenangkan malam jahanam di mana mereka keduanya gagal untuk menyeleweng. Akhirnya terdengar suara Danumiharja,
"Hanya satu kali kau bilang?"
"Ya, menurut pengakuan Darmi, mereka hanya satu kali itulah melakukan hubungan..."
"Tidak mungkin!"
"Kenapa tak mungkin, kak? kau juga tahu bahwa satu kalipun bisa saja jadi!"
Dalam suara ini terkandung penyesalan dan hal ini terasa benar oleh Danumiharja, maka diapun cepat menimpa dengan lain kata-kata.
"Tak mungkin rasanya, tapi merupakan kenyataan. Habis, bagaimana maksud Darmi?"
"Kasihan anak itu. Tentu saja ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Akan tetapi kita tahu, kak. Kita tahu apa yang harus kita lakukan untuk menolongnya."
"Apa itu?"
"Tentu saja mencari Dedi dan menuntut pertanggung jawab dari pemuda itu! Dia harus mengawini Darmi."
"Mengawini Darmi...?"
Liyani menatap tajam wajah suaminya, heran mendengar nada suara suaminya.
"Tentu saja!"
Katanya mantap.
"Habis bagaimana? Dia yang telah menggauli Darmi, dia adalah ayah dari anak dalam kandungan Darmi, maka sudah seharusnya dia mengawini Darmi!"
Danumiharja menggeleng-geleng kepalanya, tanda sama sekali tidak setuju. Memang dia tidak setuju.
Mana mungkin dia berani mendesak Dedi untuk mengawini Darmi? Dia tahu bahwa jangankan seorang manusia, bahkan seekor anjing atau tikus sekalipun kalau sudah tersudut dan terdesak tentu akan melawan sedapatnya. Dan kalau Dedi didesaknya untuk mengawini Darmi, sudah dapat dipastikan bahwa pemuda itu tentu akan balas menyerang dan dia memiliki kelemahan yang tak mungkin dapat dilindunginya, yaitu peristiwa malam jahanam di kamar Darmi itu! Dalam keadaan terdesak dan menghadapi aib yang demikian besar, tentu Dedi tidak akan segan-segan untuk membuka rahasianya, bahkan mungkin saja hal itu akan dipakai untuk membela diri dan mungkin saja Dedi akan mengatakan bahwa bukan dia sendiri yang menggauli Darmi, bahwa pemuda itupun melihat dia juga membujuk rayu pelayan itu. Celaka kalau sampai begitu!
"Eh, kenapa engkau tidak setuju?"
Tanya isterinya dengan heran. Danumiharja telah menyusun siasatnya untuk menyelamatkan diri.
"Liya, engkau tentu tahu siapa ayah dari Dedi."
"Tentu saja, dia sahabatmu dan karena itu maka engkau mau menerima Dedi mondok di rumah kita. Justeru karena itu maka engkau harus mencampuri urusan ini, melaporkan kepada ayah Dedi dan menuntut Dedi agar..."
"Nanti dulu, tenanglah. Mas Hadijamiko di Solo adalah bekas teman seperjuanganku, bahkan terus terang saja, di waktu kami berjuang dahulu, kalau tidak ada dia aku tentu sudah tewas ditembak belanda. Engkau sudah mendengar tentang itu, bukan? Nah, ketika dia minta agar aku suka menerima Dedi mondok di sini, dia telah menitipkan Dedi kepadaku, minta agar aku suka menganggap Dedi sebagai anak sendiri, mengamati-amati dan mendidiknya. Oleh karena itu, kalau sampai sekarang dia mendengar akan urusan antara Dedi dan Darmi, tentu dia akan marah dan menyesal sekali kepadaku dan aku dianggap kurang mengamati pemuda itu. Apa lagi kalau diingat bahwa Darmi adalah pelayan kita sendiri. Andaikata Dedi mengadakan hubungan dengan wanita di luar rumah kita, tidak dapat mas Hadi menyalahkan kita, akan tetapi justeru Darmi adalah pelayan kita sendiri. Itulah sebabnya mengapa tidak mungkin aku dapat memaksa Dedi, bahkan kalau bisa jangan sampai dia mendengar sesuatu tentang ini..., maksudku, jangan sampai mas Hadi mendengar tentang peristiwa ini."
Liyani megerutkan alisnya, hatinya merasa tidak senang sekali.
"Habis, bagaimana? Apakah harus dibiarkan saja Darmi menderita, mempunyai anak tanpa ayah? Kasihan Darmi kalau begitu."
"Liya, jangan dikira aku tidak kasihan kepada Darmi. Akan tetapi mana yang lebih penting, Darmi ataukah hubunganku dengan mas Hadi?"
"Engkau laki-laki memang selalu meremehkan wanita! Darmi menjadi korban, ia yang akan melahirkan, kemudian ia yang akan memelihara anak itu dan si ayah dibiarkan bebas tidak mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Mana bisa begitu?"
"Liya, begini saja. Kita juga tidak mempunyai anak, bukan? Bagaimana kalau... kalau kelak kita ambil saja anak Darmi itu? Anak itu keturunan Darmi dan Dedi, dan kita tahu bahwa mereka itu orang baik-baik, jadi tidak kecewa kalau kita mengambil anak keturunan mereka. Bagaimana pendapatmu?"
Liyani termenung. Memang sudah lama ia ingin memungut anak, akan tetapi selalu suaminya tidak setuju. dan sekarang suaminya malah mengusulkan untuk mengambil anak Darmi. Dan anak itu keturunan Dedi pula. Wajahnya mulai berseri dan dia memandang kepada suaminya, lalu mengangguk.
"Tapi... tapi bagaimana kalau dia bertanya tentang Dedi? Aku sudah sanggup untuk mencarikan Dedi..."
"Katakan saja bahwa pemuda itu telah pulang ke Solo dan kita tidak tahu di mana alamatnya di Solo. Asal engkau pandai menghiburnya dan membesarkan hatinya bahwa kita yang kelak akan merawat anaknya, tentu ia tidak akan putus asa."
Memang benarlah dugaan Danumiharja. Darmi menangis sedih ketika beberapa kemudian Liyani memberitahukan kepadanya bahwa Dedi telah pergi dari Jakarta, telah kembali ke Solo dan bahwa majikannya tidak tahu di mana alamatnya.
"Saya akan pergi mencarinya..."
Ia mengeluh sambil menangis.
"Jangan, Darmi. Dia adalah seorang mahasiswa, kalau dia pindah dari Jakarta, mungkin dia pindah sekolah, ke Surabaya atau kota-kota besar lainnya. Pula, dalam keadaan mengandung begini, bagaimana engkau dapat mencarinya? Dan mencari ke kota-kota besar membutuhkan banyak biaya."
"Saya akan menggugurkan kandungan ini, nyonya."
Liyani terkejut dan merasa ngeri. Ia yang begitu ingin mempunyai anak, sekarang mendengar ada orang mengadung untuk pertamak kalinya hendak menggugurkan kandungannya!
"Jangan!"
Ia berseru kaget.
"Jangan sekali-kali kau lakukan itu, Darmi. Itu berdosa besar, juga amat berbahaya untuk kesehatanmu."
"Biarlah, nyonya. Saya tidak takut mati, untuk apa hidup kalau begini? Pelayan tetangga, mbak Yem tahu seorang duku yang katanya dapat menggugurkan kandungan..."
"Jangan...!"
"Dan kalau tidak digugurkan, bagaimana kelak saya dapat memelihara seorang bayi? Saya tentu tidak dapat bekerja lagi, dan mencari den Dedi sambil menggendong bayi tentu akan lebih sukar dan makan biaya lebih banyak lagi."
"Jangan khawatir, Darmi. Dengar baik-baik, aku sudah merundingkah halmu itu dengan suamiku dan kami sudah bersepakat untuk kelak memelihara anakmu. kau boleh tinggal di sini dan merawat kesehatanmu baik-baik sampai engkau melahirkan. Setelah melahirkan, kami akan memungut dan mengakui anakmu itu sebagai anak kami sendiri..."
"Dan saya...?"
"Engkau boleh pulang ke dusunmu, kami akan memberi bekal secukupnya. Engkaupun dapat mencari Dedi kalau kau mau. Bukankah itu jauh lebih baik, Darmi? Kesehatanmu tidak terancaml Jangan sekali-kali ke dukun menggugurkan kandungan. Banyak orang yang meninggal dunia karena perbuatannya itu, dan engkau bisa dituntut sebagai pembunuh anak dalam kanduganmu sendiri."
"Siapa yang akan tahu..."
"Aku tahu dan aku yang akan melaporkan kalau engkau berani melakukan hal itu, Darmi."
Darmi menangis dan terpaksa ia menyanggupi.
Ia bekerja seperti biasa, hanya kini Darmi sering kali termenung dan wajahnya sering kali muram. Karena Darmi tidak pernah keluar semenjak itu, maka jarang ia dipergunjingkan orang. Kalau ada kenalan Liyani melihat kandungan pelayan itu dan menanyakan dengan pandang mata curiga, karena sebagian besar di antara mereka menduga dengan penuh harapan bahwa ayah dari anak dalam kandungan pelayan itu adalah suami Liyani sendiri, Liyani lalu menceritakan bahwa Darmi menjadi korban seorang laki-laki yang merayunya dan tadinya hendak mengawininya akan tetapi setelah Darmi mengandung lalu meninggalkannya. Dan para penanya itupun tidak banyak mendesak lagi, hanya memandang kasihan kepada pelayan itu dan mengucapkan kata-kata pujian terhadap kebijaksanaan nyonya Liyani yang masih suka menerima pelayan itu sebagai pembantunya.
(Lanjut ke Bagian 03)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 03
Semua mata memandang kepadanya dengan senyum ikut gembira. Mata pria, wanita, tua ataupun muda di dalam gerbong kereta api itu memandang ramah. Memang sesungguhnyalah, seorang ibu muda yang baru sebulan melahirkan, yang menggendong bayinya yang masih merah, merupakan pemandangan yang amat menarik hati, juga menggugah keharuan dan kegembiraan hati. Wajah seorang ibu muda yang baru melahirkan selalu nampak bercahaya dan memang tiada tugas yang lebih suci di dunia ini melebihi tugas seorang ibu yang baru saja melahirkan. Pada seluruh tubuhnya nampak sinar cinta kasih yang suci murni itu, yang mendatangkan mujizat, mengalirnya air kehidupan dari buah dadanya yang menjadi montok dan indah,
Pandang matanya yang penuh kelembutan dan kasih sayang, senyumnya yang manis dan sabar penuh ketekunan dan tahan derita. Wajah ibu sejati nampak pada wajah seorang ibu yang baru melahirkan, ketika bayinya tergantung sepenuhnya kepadanya, lahir batin. Pandang mata semua orang yang ramah, tegus sapa dari para wanita yang duduk di depannya dan di dekatnya, puji-pujian untuk bayinya yang sehat montok, semua ini merupakan hiburan yang amat berharga bagi Darmi yang duduk dalam gerbong kereta api yang menuju ke Solo. Dia berangkat pagi-pagi sekali dari setasiun Gambir, tanpa ada yang mengantar. Majikannya, terutama nyonya Liyani, marah-marah kepadanya karena ia mengingkari janji. Akan tetapi bagaimana ia dapat memberikan bayinya kepada orang lain?
Setelah bayi itu terlahir, pada saat pertama kalinya zuster merebahkan bayi itu di sampingnya, pertama kali ia memeluk dan menciumnya, ada semacam perasaan yang mengikat hatinya kepada bayi itu. Bayinya. Anaknya. Kandungannya yang pada bulan-bulan terakhir bergerak-gerak di dalam perutnya. Setelah terlahir dan nampak sebagai seorang bayi yang demikian sehat dan mungil, seorang bayi perempuan yang sehat, bagaimana mungkin ia melepaskannya dan memberikannya kepada majikannya? Akan tetapi, ia belum juga berani mengatakan suara hatinya itu kepada majikannya karena semua biaya rumah sakit dipikul oleh majikannya bahkan selama ia mengandung, biarpun ia masih menjadi pembantu rumah tangga, namun ia hanya bekerja yang ringan-ringan saja. Majikannya telah mempergunakan tenaga seorang pembantu lain, seorang wanita setengah tua, untuk menggantikannya.
Dan selama itu, nyonya Liyani amat baik kepadanya, selalu mengantarkannya untuk memeriksakan kandungannya diantar dengan mobil, dibelikan obat-obat dan yitamin-yitamin, juga jamu-jamu karena nyonya Liyani adalah seorang yang suka minum jamu. Bahkan ia dibelikan banyak pakaian. Ketika pada akhirnya ia cukup berani untuk membuka suara hatinya, menyatakan bahwa ia tidak dapat menyerahkan bayinya, nyonya Liyani marah-marah. Marah sekali! Seketika ia diusirnya! Dan pagi hari itu, ia terpaksa pergi sendiri ke setasiun Gambir untuk naik kereta api yang menuju ke Solo. Tanpa diantar, hanya diantar pandang penuh kemarahan dan caci-maki yang diterimanya dengan tenang dan sabar. Akan tetapi, di tengah jalan, becaknya dilalui sebuah mobil. Fiat kodok yang dikenalnya sebagai mobil majikannya. Dan Danumiharja turun dari mobil, menghentikan becak itu.
"Darmi, engkau telah mengecewakan hati kami, akan tetapi aku kasihan kepadamu. Terimalah ini untuk biaya hidupmu, berhati-hatilah dan". dan engkau tentu mengerti apa yang tidak boleh kau ceritakan kepada siapapun juga""."
Dan ditambahkannya berbisik agar jangan terdengar oleh tukang becak,
"Malam jahanam itu"""!"
Danumiharja tidak menanti jawaban Darmi, lalu dia masuk lagi ke dalam mobilnya dan melarikan mobilnya cepat-cepat. Ketika tadi hendak membeli karcis, baru Darmi berkesempatan untuk membuka bungkusan kertas itu. Dua ribu rupiah! Agak gemetar tangannya memegang uang sebanyak itu dan cepat-cepat dibungkusnya lagi. Belum pernah ia melihat uang sebanyak itu, apa lagi memilikinya. Gajinya hanya seratus rupiah sebulan dan itupun sudah termasuk besar kalau dibandingkan dengan gajih para babu yang lainnya. Malam jahanam, begitu tuan Danu menamakan malam itu.
"Montoknya anak ini!"
Seorang nenek memuji dan mencubit sayang pipi yang montok itu.
"Hidungnya mancung, dagunya runcing, manis sekali,"
Kata seorang ibu lain yang repot dengan tiga orang anak-anaknya yang sedang nakal-nakalnya, berusia antara empat sampai tujuh tahun. Darmi tersenyum gembira. Malam jahanam, dan anak ini terjadi pada malam itu.
"Seperti ayahnya"."
Katanya tersenyum lebar dan bangga. Memang hidung dan dagu Mimi Sukaesih, demikian nama bayinya sebuah nama pemberian nyonya Liyani, mirip hidung dan dagu den Dedi.
"Kuberi nama Mimi untuk mengingatkan kami kepadamu, Darmi. Dan Sukaesih adalah nama mendiang adikku."
Mimi Sukaesih.
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nama yang baik. Ia sendiri tidak tahu nama yang baik, dan ayah anak inipun tidak ada sehingga tidak dapat memberi nama. Biarlah nama pemberian nyonya Liyani itu dipakai terus untuk anaknya. Seperti biasa, kebiasaan yang merupakan penyakit bagi ketertiban perjalanan kereta api semenjak jaman Jepang sampai waktu itu, kereta api terlambat sampai hampir dua jam ketika akhirnya berhenti di setasiun Balapan di Solo. Untung baginya, di depan setasiun kebetulan terdapat opelet yang menawarkan para penumpang yang hendak pergi ke Sragen. Dengan biaya yang agak mahal, Darmi menumpang opelet itu dan kurang lebih jam sembilan malam, berhentilah opelet itu di jalan simpang tiga Pungkruk, sebelah barat jembatan Mungkung. Dan iapun turunlah, memondong bayinya dengan tangan kiri dalam gendongan,
Dan membawa kopernya terisi pakaian yang cukup banyak karena ketika ia mengandung ia dibelikan banyak pakaian oleh majikannya. Uang bekal sisa simpanannya dan pemberian nyonya ada dua ratus, ditambah pemberian tuan Danumiharja ada dua ribu rupiah lebih. Jumlah yang amat besar baginya dan yang juga membesarkan hatinya. Biarpun keadaan dusun di tepi jalan raa itu gelap, namun pemandangan itu tidak asing sama sekali bagi Darmi. Warung kopi mbah Wira itu masih buka, di depannya tergantung lampu sentir seperti dahulu, seperti tiga empat tahun yang lalu sebelum ia pergi ikut dengan keluarga Danumiharja ke Jakarta. Juga bengkel tambal ban sepeda pak Gandul masih ada, juga warung-warung kecil di depan pasar itu. Ia berusia tigabelas tahun ketika dibawa ke Jakarta oleh nyonya Liyani dan suaminya.
Mereka kebetulan ke Solo mengunjungi sahabat-sahabat dan sekalian mencari pelayan atau istilahnya babu karena babu-babu dari Solo terkenal sebagai pelayan-pelayang yang setia di Jakarta. Dari seorang tetangga kakaknya, ia tahu bahwa ada keluarga kaya dari Jakarta mencari pelayan, maka kakak iparnya membujuknya untuk bekerja. Karena kakak iparnya amat galak dan ia sudah merasa tidak betah tinggal bersama kakaknya semenjak ibunya meninggal, maka Darmi dengan senang hati ikut bersama keluarga Danumiharja itu ke Jakarta. Itu tiga empat tahun yang lalu, atau tepatnya empat tahun kurang satu bulan. Kini usianya sudah tujuhbelas tahun, dan sudah mempunyai seorang anak. Ia terlahir di Pungkruk, bersekolah rakyat di Pungkruk, ayahnya telah meninggal ketika ia masih kecil dan ibunya yang menjanda itu membuka warung kopi. Kakaknya, Darmo, bekerja sebagai petani.
Ketika ia berusia sebelas tahun, ibunya meninggal dunia dan ia ikut dengan Darmo yang baru setengah tahun menikah dan tinggal di rumah lain. Dan mulailah ia mengalami penderitaan, karena kakak iparnya amat galak dan hampir setiap hari memarahinya, walaupun ia sudah bekerja keras dalam rumah kakaknya. Karena inilah agaknya maka kakaknya mengambil kebijaksanaan, membujuknya untuk bekerja pada keluarga kaya di Jakarta itu. Selain Darmo, ia tidak mempunyai keluarga lain dan karena itu pulalah ketika meninggalkan Jakarta, tidak ada tempat lain kecuali rumah Darmo di Pungkruk itu yang menjadi tempat tujuannya. Ia tidak melihat perbedaan di Pungkruk. Tiada bedanya malam gelap sekarang di Pungkruk dengan empat tahun yang lalu dan hatinya terasa gelisah. Bagaimana kalau tiada perbedaan pula di rumah kakaknya, tiada perbedaan pada sikap kakak iparnya?
Ternyata telah terjadi perbedaan di rumah kakaknya, setidaknya, rumah itu telah berobah sekarang. Kalau dahulunya hanya merupakan sebuah gubuk tua, sekarang menjadi sebuah rumah kotangan (bagian bawah tembok bagian atas bilik) yang cukup besar. Di depan rumah itu terdapat sebuah Papan nama yang dapat dibacanya karena atas Papan dipasangi lampu. Sudarmo, carik desa. Demikian bunyi Papan nama itu. Carik desa? Darmi meragu, akan tetapi nama itu jelas nama kakaknya. Dan memang kakaknya lulusan SMP, tidak seperti dia yang berhenti pada kelas lima SD. Kakaknya menjadi carik desa? Hatinya berdebar tegang ketika ia menghampiri pintu yang sudah tertutup itu. Akan tetapi dari luar ia dapat menangkap suara orang bicara di balik pintu, tanda bahwa penghuninya belum tidur.
"Kulonuwun"""!"
Darmi berseru dengan jantung berdebar tegang.
"Monggo"".! Siapakah itu?"
Terdengar suara wanita menjawab. Suara Lasminah, isteri kakaknya!
"Saya, mbak Las, saya"". Darmi!"
"Darmi"""?"
Teriakan itu adalah suara Darmo atau Sudarmo kakaknya! Daun pintu terbuka dan sejenak Darmi menjadi silau oleh sinar lampu yang menyorot dari dalam ke tempat gelap di mana ia berdiri."Ah, kau Darmi".. dari mana kau malam-malam begini"""? Masuklah"".."
Kata Darmo sambil membantu adiknya menjinjing koper pakaian itu. Darmi melangkah memasuki pintu dan ternyata di dalam ruangan itu terdapat Lasminah, kemudian ibu mertua kakaknya, dan Tarminah, adik perempuan kakak iparnya yang berusia kurang lebih lima belas tahun.
Tiga orang wanita itu berdiri dan memandang kepada Darmi dengan sinar mata penuh selidik, dan nampak jelas oleh Darmi betapa mereka itu mengagumi pakaiannya dan merasa iri. Memang pakaiannya jauh lebih baik dari pada pakaian mereka, bukan lagi pakaian dusun dari kain dan kebaya, melainkan gaun dengan leher terbuka dan kancing-kancing di depan, untuk memudahkan ia menyusui bayinya, gaun yang khusus dibuat oleh nyonya Liyani untuknya. Tiga pasang mata itu dengan cepat telah menjelajahi seluruh dirinya, dari rambutnya yang disanggul modern, dipilin di belakang dan diberi jepitan rambut, tidak disanggul model????? untuk pakaian kebaya dan kain, sampai ke gaunnya kemudian ke sandalnya, menimbulkan kagum dan iri.
"Mbak Las""
Bu-de". dan kau , Tarminah!"
Demikian salamnya kepada mereka, salam dusun yang bersahaja, cukup dengan menyebut nama mereka.
"Darmi""! Ah, kau mengejutkan kami. Malam-malam begini""!"
Kakaknya menegur dan pada pandang mata kakaknya terbayang keharuan yang membuat Darmi ingin menangis. Saudara kandungnya hanya Sudarmo seorang, dan kakaknya ini se puluh tahun lebih tua darinya dan ia tahu bahwa kakaknya amat menyayangnya.
"Kang Darmo""., aku"""
Aku dari Jakarta naik kereta api, lalu dari Solo naik opelet".., kau "".. kau baik-baik sajakah, kang?"
"Darmi"".. tak kusangka"""
Kau bukan anak-anak lagi sekarang"".. dan bayi ini"".?"
"Dia ini anakku, kang"""."
"Dan ayahnya"""?"
Ditanya demikian, Darmi merasa seolah-olah jantungnya ditikam pisau. Ia mencoba menggigit bibir untuk bertahan, namun tidak kuat dan iapun menangis mengguguk. Ketika Darmo dengan kaget dan terharu memegang pundaknya, ia lalu merangkul dan menangis di pundak kakaknya, tersedu-sedu dan merasa nelangsa sekali. Ia tidak dapat berkata apa-apa dan semua kata-katanya hanya tenggelam dalam sebutan nama kakaknya,
"Kang Darmo""., kang Darmo""""
Tiga orang wanita itu saling pandang dan sinar mata mereka menduga-duga.
"Kenapa ditanya ayah anaknya malah menangis? Ayahnya tentu suamimu, bukan? Dik Darmi, kenapa suamimu tidak ikut datang dan kapankah engkau menikah?"
Makin mengguguk tangis Darmi mendengar pertanyaan kakak iparnya yang seolah-olah pisau berkarat yang disayat-sayatkan jantungnya itu. Ia hanya dapat menggeleng-geleng kepala sambil tersedu-sedu. Darmo mengejap-gejapkan kedua matanya, menahan air matanya. Betapapun juga, dia merasa kasihan kepada adiknya yang hanya satu-satunya ini. Dia lalu merangkulnya dan berkata,
"Sudahlah, tenanglah dan jangan berduka, Darmi. Engkau tentu lelah, engkau mengasolah dulu."
Darmi mengangguk-angguk dan masih terisak-isak. Iapun duduk di atas kursi ketika kakaknya menuntun ke arah kursi itu dan dengan ujung selendang penggendong bayinya, ia menyusuti air matanya dan ingusnya.
"Dik Darmi, apakah yang telah terjadi dengan suamimu?"
Lasminah bertanya. Ingin sekali ia mendengar apa yang terjadi maka adik iparnya itu menangis ketika ditanya tentang suaminya. Akan tetapi pada saat itu, selagi Darmi kebingungan untuk menjawab, bayinya terbangun dan segera ia melupakan semua kesedihannya dan membuka kancing gaunnya dan kutangnya, lalu menyusui bayinya. Sudarmo memandang semua ini dengan hati tertusuk. Dia merasa terharu. Adiknya telah menjadi seorang ibu! Bayi yang menyedot air susu dari susu yang penuh itu, menyedot dengan amat lahapnya sehingga mengeluarkan bunyi, membuat hatinya terharu. Adiknya, yang ketika perginya masih kanak-kanak, sekarang telah menjadi seorang ibu.
Hampir dia tidak percaya akan hal ini dan rasa haru membuat dia menggosok mata dengan punggung kepalan tangannya. Iserinya sendiri gagal melahirkan anak. Anak itu mati ketika dilahirkan dan sampai sekarag belum nampak tanda-tanda isterinya akan melahirkan lagi. Dan adiknya, si Darmi kecil mungil itu, kini telah menjadi ibu! Dia melihat betapa isterinya memandang kepada Darmi dengan sinar mata yang tidak senang. Sejak dulu isterinya tidak senang kepada Darmi. Dianggapnya Darmi terlalu genit, kewat, kenes. Padahal tidak demikian. Darmi adalah kembang Pungkruk, sejak berusia duabelas tahun sudah menarik perhatian hampir semua pemuda dusun itu. Dan hal ini dianggap oleh isterinya bahwa Darmi genit! Melihat adiknya menyusui sambil mengelus-elus kepala bayinya itu, Darmo merasa makin kasihan.
"Kau mengasolah, Darmi. Besok kita bicara lagi. kau tidurlah di kamar sebelah kiri ini"""
"Habis, Tarmi dan simbok tidur di mana?"
Tiba-tiba terdengar suara Lasminah, ketus.
"Si mbok tidur bersamamu dan dik Tarminah tidur bersama Darmi. Aku sendiri akan tidur di kursi panjang."
"Biarlah aku tidur di bawah saja, kang, dengan tikar""."
"Jangan, Darmi. Anakmu bisa masuk angin nanti. Tidurlah bersama dik Tarminah."
"Hemm, untuk seterusnya?"
Lasminah menegur.
"Besok bisa kita atur lagi bagaimana baiknya,"
Kata suaminya dengan suara mengandung nada kesal.
"Sudahlah, untuk semalam ini tidak mengapa diatur begitu. Tarmi, bawakan kopor itu ke kamarmu,"
Kata mertua Darmo.
"Marilah, mbak Darmi. Aih, anakmu montok sekali, mbak."
Kata Tarminah sambil membawakan kopor itu dan DArmi dengan kepala tunduk lalu mengikuti Tarminah memasuki kamar di sebelah kiri untuk menidurkan anaknya. Malam itu, setelah anaknya tertidur dan ia sendiri sudah membersihkan diri dan makan nasi sekedarnya yang dibelikan kakaknya di warung karena nasi di rumah sudah habis, Darmi terpaksa menceritakan pengalamannya. Ia sudah bersiap sekarang, menekan perasaannya dan ia dapat bertahan untuk tidak menangis ketika menceritakan persoalannya kepada kakaknya. Sebetulnya, ia bercerita kepada kakaknya seorang, akan tetapi hal itu tidak mungkin karena Lasminah dan ibunya ikut mendengarkan dengan asyik. Tarminah mengeloni Mimi, bahkan sudah tidur pulas.
"Nah, sekarang ceritakan siapakah ayah anakmu itu, Darmi."
Demikian kakaknya mulai bertanya setelah ia selesai makan dan duduk bersama kakaknya, kakak iparnya, dan ibu mertua kakaknya itu mengelilingi meja di bawah penerangan lampu minyak.
"Namanya den Dedi"""""
Jawab Darmi singkat sambil memandang kepada kuku-kuku jari tangan kirinya yang ditekuk ke dalam.
"Masih raden?"
Suara Darmo terdengar mengandung kebanggaan dan tentu saja kebanggaan ini ditujukan kepada ibu mertua dan isterinya.
"Dan dia"". dia sekarang berada di mana, Darmi?"
Darmi menggeleng kepala, sekilas memandang wajah kakaknya dan merasa kasihan karena ia tahu bahwa jawabannya akan mengecewakan hati kakaknya.
"Aku tidak tahu dia di mana, kang Darmo."
"Tidak tahu di mana suaminya berada? Alangkah janggalnya!"
Lasminah berseru.
"Bagaimana ini. Darmi? Aku tidak mengerti"."
"Dia bukan suamiku, kang"""
"Dia siapa maksudmu? Den Dedi itu?"
"Ayah anakku, den. Dedi itu, dia bukan suamiku""
Maksudku, kami belum kawin."
"Ya Allaaahhh""!"
Ibu Lasminah berseru.
"Apa maksudmu, Darmi? Sungguh aku tidak mengerti,"
Kata Sudarmo, wajahnya berobah merah.
"Maaf, kang, aku berterus terang. Aku masih menjadi pelayan keluarga Danumiharja dan den Dedi adalah seorang mahasiswa yang mondok di rumah itu ketika".. ketika"""
"""
Kalian berjina!"
Sambung Lasminah.
"Las!"
Ibunya menegur dan suaminya memandangnya marah. Akan tetapi Darmi tidak perduli.
"".. ketika hal itu terjadi,"
Sambungnya tenang."Memang aku cinta padanya, kang dan aku menyerahkan diri dengan rela. Akan tetapi, seminggu kemudian dia""
Dia pergi dan tak seorangpun tahu ke mana dia pergi. Diapun agaknya belum tahu bahwa aku telah mengandung dari perbuatan kami itu dan berkat kebaikan majikan-majikanku aku melahirkan dengan selamat. Kabar terakhir yang kudapat adalah bahwa den Dedi telah kembali ke Solo".."
"Dia orang Solo? Di mana alamatnya?"
Kembali jawaban Darmi mengecewakan hati kakaknya.
"Aku tidak tahu, kang. Akan tetapi, aku akan mencarinya. Pulangku inipun dengan maksud hendak mencarinya, dan karena tidak ada yang kutuju kecuali engkau, kang, maka aku datang ke sini".."
Kakaknya menarik napas panjang dan beberapa kali bertukar pandang dengan isterinya. Keadaan menjadi sunyi sekali, lalu terdengar suara ibu Lasminah perlahan-lahan, dengan sikap seorang wanita tua yang menggurui,
"Ahh, nak Darmi, engkau telah berdosa besar sekali kepada Pangeran, maka Pangeran telah menghukummu. Tidak ada dosa yang lebih besar bagi seorang wanita yang melebihi dosanya ketika menyerahkan keperawanannya di luar nikah, apa lagi kalau hal itu mengakibatkan ia melahirkan anak haram"""
"Bu-de, aku akan menanggung segala hukuman itu!"
Jawab Darmi dengan menahan kemarahannya, dan iapun lalu menyambung sambil memandang wajah kakaknya.
"Kang Darmo, jangan khawatir, aku tidak ingin mengganggumu, tidak ingin menyusahkanmu. Aku mempunyai cukup uang untuk membiayai hidupku sendir. Nah, terimalah uangku ini dan simpanlah, aku ingin makan dari uangku sendiri agar engkau tidak sampai menjadi repot, kang."
Darmi menyerahkan bungkusan uangnya, yaitu uang pemberian tuan Danumiharja kepadanya itu. Darmo tidak berkata apa-apa ketika menerima bungkusan itu, akan tetapi ketika bungkusan dibukanya dan dia menghitung uang sebanyak dua ribu rupiah itu, dia kelihatan terkejut juga.
"Dua ribu? Bagaimana engkau dapat memiliki uang sebanyak ini, Darmi?"
Dia menatap wajah adiknya dengan tajam, lalu menyambung dengan ragu.
"Kurasa tak mungkin gajihmu dapat terkumpul sebanyak ini."
"Gajihku hanya seratus sebulan, kang. Memang bukan uang gajihku, melainkan pemberian dari tuan Danumiharja majikanku ketika aku hendak pergi. Dia kasihan kepadaku dan memberi uang itu. kau simpanlah, untuk biayaku, aku sendiri masih menyimpan beberapa ratus."
Darmo mengangguk dan mengantongi bungkusan uang itu.
"Sekarang kau mengasolah, Darmi. Biar besok kita bicara lagi."
Seminggu sudah Darmi tinggal di rumah kakaknya, dibuatkan sebuah kamar yang ruangannya diambilkan dari ruangan belakang dan dapur. Masyarakat dusun Pungkruk segera berdatangan ketika mendengar bahwa Darmi, anak perempuan yang pernah menjadi kembang Pungkruk dan dikabarkan pergi ke Jakarta untuk bekerja itu sekarang telah pulang dan membawa seorang anak yang baru berusia sebulan. Tentu saja sebagian besar di antara mereka menanyakan ayah dari anak itu, dan sesuai dengan keputusan perundingan antara keluarga kakaknya.
Darmi selalu mengatakan bahwa ayah anak itu bekerja di kapal dan kini kapalnya sedang berlayar ke luar negri untuk waktu sedikitnya tiga bulan, maka ia lalu pulang ke Pungkruk untuk menengok kakaknya. Semua orang percaya kepadanya dan memuji peruntungan yang baik, karena selain mempunyai seorang anak montok dan mungil, juga dari pakaiannya dapat diketahui atau diduga bahwa keadaan Darmi cukup berbahagia! Bukan hanya penduduk dusun, bahkan penduduk kota sekalipun selalu mendasarkan penilaian mereka akan kebahagian seseorang dengan mengukur keadaan kekayaan orang itu. Kalau ada seeorang mengatakan bahwa orang itu telah maju, hal itu sudah tentu berarti bahwa orangitu memperoleh kedudukan tinggi atau menjadi kaya, setidaknya lebih tinggi kedudukannya atau lebih kaya dari pada sebelumnya.
Demikian pula kalau ada yang mengatakan bahwa seseorang sudah makmur atau bahagia, yang dimaksudkan adalah bahwa orang itu telah berhasil dalam bidang harta atau kedudukan. Bahkan lebih dari itu malah. Perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, olah raga, kesenian, atau agama sekalipun selalu dikatakan telah maju kalau berhasil di bidang materi, kalau gedungnya atau bangunannya telah menjadi besar, isinya lengkap dan anggautanya menjadi banyak jumlahnya. Seolah-olah yang terpenting hanyalah soal lahiriah belaka, seolah-olah kebahagiaan dapat dibeli dengan uang! Kalau malam sudah tiba, sambil mengeloni anaknya, Darmi suka menangis sendiri. Kakaknya sudah berusaha untuk mencari Dedi, akan tetapi sampai hari itu ternyata tidak berhasil sama sekali.
"Bagaimana mungkin mencari seorang pemuda mahasiswa yang bernama Dedi di kota Solo yang begitu besar? Pula, menurut dugaanmu, dia pindah sekolah ke Surabaya, Yogya atau Semarang. Kita tidak tahu nama orang tuanya, tidak tahu alamatnya, bagaimana aku dapat mencarinya?"
Demikian keluh kakaknya sore hari itu dengan hati kesal. Berita yang tidak membesarkan hati ini ditambah lagi oleh laporan bibi Irah, tetangga di selatan, seorang janda yang sering kali pergi ke Solo untuk berdagang macam-macam barang, dari pakaian bekas, botol-botol kosong sampai kertas-kertas kiloan, yang berkata dengan nada menaruh kasihan,
"Kasihan sekali kau , nduk, mempunyai kakak ipar demikian culas. kau tahu, isteri kakakmu itu sering bicara yang tidak-tidak tentang kau , demikian pula ibunya. Hanya adik iparmu sajalah selain kakangmu sendiri yang tidak membencimu."
"Apakah yang dikatakan mereka, lik (bibi)"
Tanya Darmi, hanya asal menjawab saja karena dari gerak-gerik dan pandang mata mereka, iapun tahu bahwa kakak iparnya dan ibu mertua kakaknya tidak suka kepadanya.
"Coba bayangkan, aku sendiri ikut merasa panas hatiku. Dikatakannya bahwa anakmu ini".. tidak punya ayah, anak haram katanya!"
Darmi mendekap anaknya yang dikeloninya dan menghapus air matanya yang kembali jatuh berderai ketika ia teringat akan kata-kata bibi Irah siang tadi. Apa yang harus ia lakukan? Ia tahu bahwa kalau ia terus tinggal di rumah kakaknya ini, akhirnya rumah tangga kakaknya akan mengalami keretakan. Betapapun juga, kakaknya hendak melindunginya, akan tetapi tentu saja kakaknya juga berat untuk memusuhi isteri dan ibu mertua sendiri demi ia seorang. Dan ia merasa tidak enak untuk mengganggu kakaknya seperti itu.
Betapapun juga, dari percakapannya dengan kakaknya selama seminggu ia tinggal di situ, rumah tempat tinggal kakaknya ini dibangun oleh uang ibu mertuanya dan oleh karena itulah maka ibu mertuanya kini tinggal di situ, bersama adik iparnya. Jadi, ialah yang menjadi pendatang baru, orang luar, pengganggu ketenangan rumah tangga orang. Darmi menggigit bibirnya agar jangan sampai mengeluarkan suara tangisnya. Bibir bawah itu menggigil dan cepat didekapnya mukanya dengan bantal, didekapnya keras-keras sampai ia menjadi sesak napas. Bagaimana kalau ia dekap mukanya sampai habis napasnya? Ia akan bebas dari derita batin ini. Akan tetapi ia teringat akan Mimi, anaknya yang tidur di sampingnya, dan ia melepaskan lagi bantal itu, napasnya sengal-sengal dan ia merangkul anaknya, diciuminya pipi anaknya yang merah dan montok itu dengan air mata bercucuran.
Tidak, ia tidak boleh mati demi anaknya. Akan ikut siapakah anaknya kalau ia mati? Ikut pamannya? Dia bisa digoreng di kwali panjang oleh isteri kakaknya! Ia harus tenang dan tiba-tiba ia merasa haus sekali. Perlu minum air dingin untuk menenangkan diri, pikirnya dan Darmi lalu turun dari atas pembaringan dan membuka pintu dengan hati-hati agar jangan sampai menimbulkan berisik, kemudian berjingkat menuju ke ruangan tengah di mana terdapat air kendi yang selalu penuh dengan air dingin kesukaan kakaknya. ia berjingkat dengan hati-hati karena ia tahu bahwa kakaknya dan kakak iparnya belum tidur dan ia harus melewati kamar mereka. tiba-tiba ia berhenti di depan pintu kamar mereka karena jelas terdengar suara kakak iparnya yang terdengar marah-marah dan menyinggung namanya.
"Kenapa kau selalu membela Darmi yang tak tahu malu itu? Ingat, engkau seorang carik desa, engkau orang yang terpandang di dusun Pungkruk ini, dan apa jadinya kalau penduduk tahu bahwa adik kandungmu hanya seorang pelacur di Jakarta?"
"Hushh! Jangan berteriak-teriak, dan kau tidak berhak memakinya pelacur! Adikku bukan pelacur!"
"Hemm, aku bukan menuduh sembarangan, mas. Coba pikir, dengan pekerjaan sebagai babu, mana mungkin ia dapat mengumpulkan uang sebanyak dua ribu rupiah lebih? Dan begitu baikkah majikannya mau memberi yang sebanyak itu setelah ia melakukan hal yang semestinya amat memalukan majikannya? Dari mana lagi ia memperoleh uang itu? Mas, kita harus memikirkan keadaan kita sendiri. Sekarang saja sudah kau lihat laki-laki mata keranjang semua merubung tempat ini dan sebentar lagi tempat ini bisa menjadi seperti rumah seorang mucikari yang menyewakan pelacur."
"Ah, jangan kau berkata begitu!"
"Habis, berkata apa lagi! Aku sebagai isterimu tentu tidak rela kalau kelak mendengar omongan orang bahwa adik pak carik adalah seorang pelacur".."
"Plakk!"
Terdengar muka ditampar dan terdengar suara Lasminah menjerit kecil, lalu menangis, kemudian caci-makinya,
"Kau".. kau menamparku untuk membela lonte itu? Biar kau pilih, aku atau ia yang pergi dari sini!"
Darmi tidak mendengar lebih lanjut, sambil menutupi mukanya menahan tangis ia lari kembali ke kamarnya.
Hatinya terasa panas sekali. Tak mungkin ia tinggal di tempat ini, tidak mungkin! Ia harus pergi dari sini, sekarang juga! Dan dikemasilah semua pakaiannya, dimasukkan ke dalam kopornya. Ia telah membeli sebuah almari kayu untuk tempat pakaian, dan kini dikeluarkannya semua pakaian dari dalam almari. Ada sejam lebih ia berkemas sambil menangis. Pakaiannya dan pakaian bajunya ada sekopor lebih dengan barang-barang keperluan lain yang dimasukkannya ke dalam tas plastik. Kemudian digendongnya bayinya yang masih tidur dan iapun keluar dari kamarnya sambil menjinjing kopor dan tas plastik. Agaknya percekcokan di kamar kakaknya sudah berhenti. Ia mengetuk pintu kamar itu perlahan, sambil menahan isak tangisnya.
"Siapa itu?"
Terdengar suara Darmo, masih kaku karena marah. Sekilas teringat ia akan kedatangannya seminggu yang lalu, ketika ia mengetuk di luar rumah. Kedatangannya diawali dengan ketukan pintu dan diakhiri dengan ketukan pintu pula, akan tetapi betapa jauh bedanya. Ketika ia datang, ia mengetuk pintu dengan hati gembira, tegang dan penuh harapan. Sekarang, ia mengetuk pintu kamar kakaknya dengan hati perih dan penuh duka.
"Aku, kang"."
Katanya menahan isak.
"Ehh".?"
Terdengar Darmo turun dari pembaringan dan membuka pintu. Sekilas Darmi melihat kakak iparnya duduk di tepi pembaringan dengan wajah merengut, akan tetapi ia tidak perduli.
"Kang, aku mau pergi".."
"Ehhh""?"
Darmo memandang ke arah kopor dan tas plastik itu, matanya terbuka lebar-lebar."Malam-malam begini mau pergi ke mana?"
Melihat kakak iparnya itu agaknya mendatangkan kemarahan yang lebih besar dari pada kedukaannya sehingga tangisnya terhenti sama sekali dan berkata,
"Kemana saja asal tidak di sini, kang."
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, eh""
Kenapa""?"
Sudarmo bertanya bingung.
"Tidak kenapa-kenapa,kang, aku hanya tidak ingin menjadi pengganggu kebahagian rumah tanggamu"."
"Nah, itu baru omongan orang yang tahu diri."
Tiba-tiba terdengar suara Lasminah dari dalam kamar.
Darmo menutupkan pintu kamar dan memegang lengan adiknya.
"Dengar, Darmi, jangan pergi sekarang pada saat malam gelap seperti ini. Agaknya kau sudah mendengar percekcokan kami tadi. Kalau mau pergi juga, besok bisa diatur".."
"Tidak, kang. Sudah, aku mau pergi, sudah kupersiapkan segalanya. Selamat tinggal, kang"."
Darmi lalu melangkah menuju ke pintu depan dan pada saat itu, pintu kamar ibu Lasminah terbuka dan muncullah nenek itu bersama Tarminah.Tampak bahwa mereka itu belum tidur dan agaknya juga mendengar pula percekcokan dalam kamar Darmo tadi.
"Mbak Darmi, kau membawa kopor mau kemana?"
Tanya Tarminah.
"Mau pergi, dik".."
"Nak Darmi, mengapa malam-malam begini mau pergi? Besok kan masih ada hari".."
Ibu mertua Darmo ikut pula menahan, sungguhpun suaranya dingin dan ucapan itu agaknya hanya untuk pemanis bibir saja. Akan tetapi Darmi tidak menjawab. Ia memandang lagi kepada kakaknya.
"Kang Darmo, maafkan aku, aku pergi sekarang"."
"Eh, nanti dulu, kau hendak pergi ke mana? Mari kuantar."
"Tidak, jangan, kang. Engkau harus menjaga keuTUHAN rumah tanggamu, kang. Selamat tinggal"."
"Nanti dulu! Uangmu masih ada padaku, jangan pergi dulu!"
Darmo lalu melompat dan lari ke dalam kamarnya, dan keluar lagi membawa bungkusan uang dua ribu rupiah itu. Masih utuh! "Ini uangmu yang dua ribu itu, Mi."
"Tapi, kang, potonglah dengan biaya-biayamu ke Solo beberapa kali itu".."
"Tak usah, kau bawalah, itu uangmu."
Darmi menerima bungkusan itu dan memasukkannya ke dalam tas plastiknya.
"Kang Darmo, selamat tinggal, jaga baik-baik kerukunan keluargamu, kang. Aku pergi".."
Dan ia cepat membuka pintu, dibantu oleh Tarminah yang memandang bingung, ia segera melangkah keluar dengan cepat sebelum tangisnya datang. Darmi tidak pergi jauh, hanya beberapa ratus meter jauhnya dari rumah kakaknya, ke selatan, dan ia mengetuk pintu rumah gubuk sambil memanggil pelan.
"Lik Irah".. lik, bukalah pintunya""."
Irah, janda berusia empat puluh tahun lebih yang tinggal menyendiri di dalam gubuk itu, terbatuk-batuk, batuk buatan seperti biasa dilakukan orang di waktu malam untuk mengusir kaget atau takut.
"Siapa itu diluar""?"
"Aku lik. Aku Darmi"""
Pintu bambu itu dibuka dan Irah muncul membawa sentir yang apinya bergerak-gerak dilanda angin, yang masuk setelah daun pintu dibuka.
"Eh, kau , Darmi? Ada apa, mau ke mana? Eh, masuklah....., masuklah....."
Darmi memasuki pondok itu dan setelah pintunya ditutup, dengan tubuh lemas ia melepaskan kopor dan tas plastik di atas lantai tanah, dan duduk tanpka diminta ke atas bangku atau dipan bambu di situ. Menangis. Kini, setelah ia keluar dari rumah kakak nya, baru terasa olehnya beban berat menindih perasaannya dan air matanya membanjir keluar.
"Ah, kenapa? Ada apa?"
Irah meletakkan sentir di atas meja tua itu.
"Lik aku aku telah meninggalkan rumah kang Darmo"". mereka cekcok karena aku, lebih baik aku pergi saja"""
Janda setengah tua itu menarik napas panjang.
"Sudah kuduga, lambat-laun tentu akan terjadi juga. Dua periparan serumah lebih berbahaya dari pada dua ekor macan betina sekandang. kau tinggalah di sini untuk sementara, nduk, Darmi, walaupun tempat ini tentu saja sangat tidak memadai untuk dan anakmu."
"Aku mohon bantuanmu untuk semalam ini saja lik. Besok aku akan pergi dari Pungkruk."
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo