Darah Daging 8
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Tentu saja engkau mampu, Mimi, yaitu dengan jalan""
Tidak menolak bantuan-bantuanku. Dengan demikian, aku akan gembira sekali. Aku akan berbahagia kalau dapat melihat hidupmu senang, jauh dari penderitaan.
"Ah, bapak seorang yang mulia"".."
"Bukan, Mimi, hanya seorang yang suka padamu, yang kasihan padamu, itu saja."
Pada jam dua itu, setelah kantor tutup. Dedi mengendarai Holden-nya keluar dari halaman kantor. Mimi duduk di sampingnya. Memang ada senyum dan pandang mata penuh arti dari beberapa orang pegawai perusahaan itu.
Namun Dedi tidak memperdulikannya dan bersikap biasa saja. Hanya Mimi yang merasa agak malu-malu, akan tetapi melihat sikap direkturnya, iapun lalu tersenyum dan is merasa memperoleh pelajaran yang berharga. Perduli apa dengan pendapat dan sangkaan orang lain? Yang terpenting adalah keadaan diri sendiri. Kalau memang hubungannya dengan Pak Suroto itu tidak ada apa-apanya yang tidak wajar dan kotor. perlu apa melayani segala senyum dan pandang mata orang lain yang menduga yang tidak-tidak? Jauh lebih baik disangka orang namun sesungguhnya tidak bersaiah, dari pada tidak ada yang menyangka namun sesungguhnya membawa kesalahan. Akan tetapi, betapa heran rasa hati Mimi ketika mobil itu tidak membawanya ke jurusan Tanah Abang, melainkan ke jurusan kota! Ia sudah hafal akan jalan-jalan di Jakarta, maka tahulah ia bahwa jurusan yang ditempuh mobil itu tidak benar.
"Eh, ke mana kita ini. pak?"
"Kita singgah dulu di suatu tempat, tidak jauh sini. Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu, Mimi."
Gadis itu tidak membantah dan tidak bertanya lebih banyak. Selama satu bulan ini, Pak Suroto sudah banyak dan sering sekali mendatangkan kejutan-kejutan baginya. Bungkusan-bungkusan terisi bahan pakaian, bahan makanan dan sebagainya. Beberapa kali ia diajak nonton film di bioskop-bioskop mahal, diajak makan di restoran-restoran besar.
Semua itu dilakukan dengan tiba-tiba dan seperti tidak disengaja saja, seolah-olah Pak Suroto bahwa kalau ditanya lebih dulu. Mimi tentu akan menolak. Dan yang amat mengharukan, juga buat Mimi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali, selama itu belum pernah satu kalipun Pak Suroto memperlihatkan sikap yang tadinya amat dikhawatirkan, yaitu sikap seorang pria yang memancing-mancing untuk mendapatkan yang satu itu dari seorang wanita muda, yaitu hubungan cinta. Tidak, sama sekali Pak Suroto belum pernah menyatakan hal ini, baik dengan mulut maupun dengan tangan. Hanya dalam pandang matanya saja Mimi merasa betapa pria ini mencintanya! Mobil berhenti di depan sebuah rumah kecil mungil yang terletak dalam sebuah jalan kecil pula, hanya dapat dimasuki sebuah mobil.
"Kita turun sebentar, Mimi."
"Rumah siapakah ini, pak?"
Tanya Mimi dan alisnya agak memandang rumah yang tertutup daun jendela dan pintunya itu,
"Nanti dulu, Mimi, aku ingin sekali memperoleh pendapatmu tentang rumah ini dipandang dari luar. Cukup menyenangkankah rumah ini untuk ditinggali?"
Mimi hanya mengira direkturnya itu tentu hendak mencarikan rumah untuk sanak keluarganya, maka dengan sungguh-sungguh gadis ini memandang ke kanan kini, ke arah jalan dan para tetangga, kemudian kepada rumah itu.
"Hemm, rumah yang mungil dan nyeni bentuknya, pak, dan jalan inipun tidak terlalu ramai, dan rumah-rumah para tetangga juga hampir semua mungil dan indah. Suasananya menyenangkan, paak."
"Bagus, engkau sependapat dengan aku, Mi. Mari kita masuk dan melihat bagian dalamnnya."
Mimi mengangguk dan tersenyum. Pak Suroto seperti anak kecil saja. Mencari rumah kenapa mengajaknya untuk minta pendapatnya seolah-olah ia tukang taksir saja! Akan tetapi diam-diam ia merasa gembira sekali karena hal itu berarti bahwa atasannya ini percaya kepadanya dan menghargai pendapatnya. Dedi mengeluarkan sebuah kunci dari saku baju nya dan membuka daun pintu depan rumah itu. Begitu daun pintu dibuka dan mereka masuk, Mimi melihat bahwa rumah itu ternyata bukan kosong, melainkan rumah yang terisi lengkap dengan perabot-perabot rumahnya!
"Eh, rumah siapakah ini, pak? Kiranya bukan rumah kosong""!"
Dedi tersenyum,
"Lihat saja lulu, bagaimana keadaan rumahnya? Dan bagaimana perabotnya? Mari lihat, ini ruangan depan. Kecil saja, dan ini ruangan tengah. Ini ruang makan dan di sana itu kamar mandi dan WC. Cukup bersih, kan? Memang, penghuninya tadinya adalah suami isteri Canada tanpa anak. Nah, mari melihat kamar tidurnya."
Dedi membuka pintu kamar tidur di sebelah ruangan tengah itu dan dia memasukinya. Mimi berdiri di luar pintu, ragu-raga untuk masuk dan diam-diam jantungnya berdebar kencang. Inikah saatnya yang dikhawatirkan selalu itu? Benarkah Pak Suroto ternyata tiada bedanya dengan pria-pria lain?
"Masuklah, Mimi dan lihat keadaan kamar ini. bagaimana menurut pendapatmu."
Mendengar suara yang serius dan biasa itu, Mimi memberanikan diri memasuki kamar tidur. la melihat Pak Suroto berdiri di dekat pembaringan. Sebuah pembaringan yang indah dan cukup lebar untuk tidur berdua. Dan ada sebuah T.Y. 18 inch di dalam kamar, ini, juga sebuah toilet, almari pakaian, dan ada tempat cuci muka dari porselen di sudut. Sebuah kamar yang mungil sekali.
"Nah, bagaimana pendapatmu?"
Mimi mengangguk, menelan ludah untuk menyembunyikan rasa tegangnya.
"Sebuah kamar yang indah sekali, Pak."
Dedi tertawa.
"Ha-ha-ha, bagus! Aku girang sekali melihat engkau suka dengan kamar ini, dan bagaimana dengan yang lain? Bagaimana pendapatmu dengan rumah ini?"
Dia melangkah, menghampiri Mimi yang menjadi semakin tegang sampai kedua kakinya terasa menggigil. Gadis ini mengira bahwa tentu atasannya itu akan merangkulnya, merayu dan membujuknya. Akan tetapi sama sekali jauh dari pada yang disangkanya. Pak Suroto melewatinya dan terus berjalan ke pintu kamar, keluar dari kamar itu.
Dengan tubuh masih panas dingin Mimi juga keluar dari situ. Kepalanya terasa pening, hatinya penuh dengan rasa penyesalan. Ah, bagaimana ia dapat menyangka yang bukan-bukan? Sungguh tak patut sekali. Ia tadi telah menyangka bahwa Pak Suroto akan mempergunakan kesempatan itu untuk merayunya! Dan iapun tahu bahwa ia tidak akan dapat menolaknya! Apa lagi semenjak timbul dugaan di dalam hatinya bahwa kehidupan Pak Suroto dengan isterinya tidak mengalami kebahagiaan, ia ingin sekali membahagiakan atasannya yang berhati mulia ini. Dengan penyerahan dirinya sekalipun, kalau dikehendaki oleh pria itu! Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Pak Suroto agaknya terlalu bersih dan terlalu mulia untuk itu. Dan ia sudah menyangkanya tadi, bahkan sudah hampir yakin dalam hatinya. Ia berdosa, sungguh berdosa.
"Eh, kau kenapa, Mimi?"
Dedi cepat memegang lengan gadis itu ketika melihat Mimi memejamkan mata dan agak terhuyung. Mimi membuka matanya.
"Tidak apa-apa, Pak.. Hanya agak pusing"""
"Ah, engkau masuk angin barangkali. Atau...... ah, benar, sudah jam setengah tiga dan kau belum makan siang. Kalau begitu, sebaiknya kita makan dulu. Hayo kita keluar dan ke restoran."
Mimi digandeng keluar oleh Dedi yang menutup dan mengunci pintu rumah itu dari luar, kemudian mengajak gadis kemobil. Mimi membiarkan dirinya digandeng, bahkan ia agak membiarkan dirinya ditarik. Ah, betapa mulianya orang ini. Begitu memperhatikan dirinya. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya. Belum pernah ada orang begini baik dan memperhatikannya, kecuali Teja, akan tetap Teja berada di penjara!
"Salahku, kenapa tidak mengajak kau makan dulu? Bagaimana sekarang, masih pening?"
Tanya Dedi sambil meluncurkan mobilnya perlahan. Mimi menggeleng kepalanya, belum berani mengeluarkan suaranya karena ia tahu bahwa suaranya akan gemetar. Mereka berhenti di depan pekarangan sebuah restoran dan masuklah mereka.
"Engkau bestik ayam dan nasi, ya?"
Tanya Dedi dan Mimi mengangguk.
"Bestik ayam satu, nasi putih dua, dan soup ayam, sosis dan telur mata sapi dua."
Dedi memesan kepada pelayan yang segera mencatat pesanan itu. Mimi memandang mesra. Pria ini malah sudah ingat benar akan kesukaannya. Setelah mereka makan, Dedi memesan secangkir kopi kental untuknya dan coklat untuk Mimi, juga kegemaran Mimi sehabis makan untuk minum coklat.
"Nah, engkau tidak nampak pucat lagi. Mimi, coba katakan, bagaimana pendapatmu dengan rumah yang kita lihat tadi?"
"Ah, sebuah rumah yang mungil dan mewah Pak."
"Mewah? Ah, itu rumah sederhana sekali, Mimi. Tapi cukup lengkap. Ada lemari esnya, ada TV nya. biarpun lemari es kecil dan TV kecil pula. Perabot dapur sederhana namun lengkap. Memang cukup untuk hidup berdua saja atau seorang diri. Bagaimana pendapatmu, Mimi. Sukakah kalau engkau tinggal di rumah itu? Ada tilpunnya pula""."
"Ah, bapak ini ada-Ada saja. Tentu saja saya suka."
"Bagus. Nah, ini kuncinya. kau pindahlah ke sana"
Sepasang mata itu terbelalak dan wajah itu seketika menjadi pucat. Hati Mimi benar-benar terkejut bukan main.
"Saya"".? Tinggal disana"..? Ah, bapak berkelakar?"
"Tidak, Mimi. Rumah itu milik suami isteri Canada yang meninggalkannya selama tua tahun. Merekaa percaya kepadaku, maka mereka mengontrakkan rumah itu berikut seluruh perabotnya kepadaku, selama dua tahun.
"Tapi".. tapi apa artinya ini, pak?"
"Artinya sudah jelas, Mimi. Aku mengontraknya, sengaja mengontraknya untukmu. Engkau tidak layak tinggal di gang itu. Kontraknya murah, dan untuk siapa kukontrak rumah itu kalau bukan untukmu?"
"Tapi""
Tapi""
Bagaimana ini, pak? Kita bukan apa-apa""
Saya sekretaris bapak".. dan saya orang miskin, mana mungkin tinggal di rumah seperti itu? Baru membayar listriknya, tilpunnya, segala pajaknya saja gajih saya mana cukup...?"
"Jangan khawatir, semua saya yang bayar."
"Tapi apa artinya ini? Kenapa bapak melimpahkan kebaikan yang begini luar biasa? Ini sudah melampaui batas, pak, mana saya berani menerimanya?"
Suara itu sudah gemetar karena gejolak perasaan yang ia sendiri tidak tahu bagaimana. Apakah ini rasa girang, terkejut, terharu, khawatir, ia sendiri tidak tahu. Perasaan yang luar biasa sekali, yang membuat ia merasa seperti berada di sebuah perahu yang dilanda badai. Akan tetapi suara Pak Surot terdengar tenang dan bersungguh-sungguh,
"Ingat, Mimi, lupakah engkau bahwa aku pernah mengatakan kepadamu ingin aku membahagiakanmu? Aku".. aku tidak dapat mendatangkan kebahagiaan di rumahku sendiri, Mimi dan setelah berjumpa denganmu, aku".. aku ingin sekali membahagiakanmu, Mimi. Tegakah engkau mengecewakan hatiku? kau pindahlah, besok dan lusa engkau boleh libur untuk mengurus perpindahanmu dan"..dan aku akan merasa bahagia kalau engkau suka tinggal di rumah hidup layak dan senang"".
"
"Tapi, pak, rumah dan semua isinya itu milik orang lain""
Dan aku tidak biasa hidup mewah. Kalau tiba waktunya dikembalikan dan aku harus kembali lagi seperti sekarang""
Ah, tidak enak itu, lebih baik seperti sekarang inilah"" "
"Mimi, rumah itu sudah kukontrak. Sayang kalau tidak ditinggali. Dua tahun adalah waktu yang lama. Segala hal bisa terjadi dalam waktu selama itu. Siapa tahu terjadi perobahan dalam hidupmu. Sementara ini, engkau menempati rumah itu. Soal kelak, tak perlu dipikir. aku selalu akan membantumu, Mimi."
Akhirnya gadis itu tidak mampu lagi menolak. Tidak ada alasan baginya untuk menolak, sungguhpun hatinya berat menerimanya. Budi orang ini sudah berlimpah-limpah kepadanya, dan pula, bagaimana ia harus menerangkan semua ini kepada Teja? Apakah Teja tidak akan merasa cemburu dan menarilh curiga? Ia sendiri percaya sepenuhnya akan kemuliaan, hati direkturnya ini, akan tetapi apakah ada orang lain yang mau percaya? Apa lagi kau m pria, maukah mereka percaya bahwa segala budi kebaikan yang dilimpahkan oleh Pak Suroto itu kepadanya sama sekali tidak mengandung pamrih dan balasan?
Akan tetapi, untuk berkeras menolak, iapun tidak tega. Ia benar-benar melihat harapan agar ia menerimanya dalam pandang mata itu. Dan bukankah pria ini mengatakan bahwa kalau ia hendak membalasnya, kalau ia hendak membahagiakanya, satu-satunya yang dapat ia lakukan hanyalah menerima semua pertolongannya? Beberapa hari kemudian. Mimi telah pindah ke rumah itu. Ia merasa seolah-olah telah hidup baru dengan rumah dan segala perlengkapannya yang baginya amat mewah itu. Lemari es,-T.Y., perabot rumah lengkap, dapur yang serba lux dan lengkap pula, kamar mandi yang bersih sekali, bahkan ada tilpunnya! Akan tetapi iapun merasa semakin berat menerima budi Pak Suroto, merasa semakin dalam tenggelam ke dalam hutang budi yang ia tidak tahu entah bagaimana harus dibayarnya.
(Lanjut ke Bagian 10)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 10
"Aduh, engkau kelihatan cantik jelita seperti bidadari Dewi Suprobo baru turun dari kahyangan, Mimi!"
Dedi memuji dengan suara sungguh-sungguh, dan pandang matanya terkandung kekaguman secara terbuka. Memang cantik sekali Mimi malam itu. ketika membukakan pintu rumah menyambut kedatangan Dedi, begitu daun pintu dibuka, keharuman yang semerbak halus, sedap dan tidak terlalu menyolok hidung seperti biasa kalau wanita bersolek, menyambut Dedi. Dan gadis itu berdiri di depannya dengan tegak namun semampai, dengan pinggang ramping, membayangkan kesederhanaan namun penuh daya pikat kewanitaan yang membayangkan kehalusan, kelembutan dan kehangatan. Melihat atasannya itu memandang dengan kekaguman yang begitu terbukka, dan mendengar pujian ini, Mimi tersenyum dan tak disadarinya, kedua pipinya menjadi kemerahan.
"Ihh, bapak bisa saja memuji orang. Kalau Dewi Suprobo turun dari kahyangan, biasanya tentu dengan tugas memikat hati Sang Arjuna, bukan? Lalu siapa gerangan Arjunanya?"
Dedi memasuki ruangan itu dan tertawa.
"Ha-ha-ha, tentu saja bukan aku, Mimi. Aku sudah tua dan..."."
"Bapak pandai memuji orang lain akan tetapi selalu merendahkan diri sendiri. Lihat, bapak sendiri nampak begini charming, gagah dan anggun. Dan siapa bilang bapak sudah tua? Bapak seorang pria yang penuh wibawa, penuh daya tarik, pria yang sudah masak dan seorang yang hatinya semulia-mulianya orang."
"Aduh-aduh""
Jangan teruskan, Mimi. Bisa membengkak kepala ini nanti. kau sudah siap?"
"Sudah, Pak. Kita janji jam tujuh, dan kurang seperempat tadi saya sudah siap menanti kedatangan bapak"
"Bagus, engkau bukan seperti wanita yang kalau berjanji jam tujuh, maka jam delapan masih juga belum selesai memakai lipstick. Pesta dimulai jam tujuh tiga puluh, dan aku harus mengucapkan sambutan pada jam delapan. Hayo kita berangkat, jangan sampai terlambat."
Mereka keluar dari ruangan depan dan pintu depan dikunci oleh Mimi. Kemudian mereka menuju ke mobil Holden yang diparkir di depan rumah Mimi. Mobil segera meluncur membawa dua orang itu menuju ke perusahaan yang dipimpin oleh Dedi Suroto. Perusahaan itu merayakan hari ulang tahunnya yang ke dua puluh lima dan tentu saja dalam kesempatan ini, semua pegawainya dari direkturnya, sampai para manager atau kepala bagian dan sampai pegawai-pegawai yang paling rendah, datang untuk ikut merayakan dalam pesta yang meriah. Sebetulnya, Mimi merasa tidak enak juga ketika Dedi menyatakan bahwa direkturnya itu akan menjemputnya.
"Apakah bapak tidak datang bersama ibu? Dan putera bapak?"
Akan tetapi Dedi hanya menggeleng kepala dengan wajah muram. Dedi tidak mau banyak menceritakan betapa isterinya menolak untuk ikut dengan alasan kepala pusing, sedangkan Joni, ah, dia tidak mau mengajak puteranya itu. Biarpun Joni sekarang tidak berani kepadanya dan bersikap pendiam, namun pemuda itu masih suka keluyuran sampai malam.
"Aku pergi sendiri, Dan karena engkaupun sendirian, maka engkau akan kujemput. Ataukah..."
Engkau akan datang membawa partner?"
Mimi juga menggeleng kepala. Ia tidak mau menceritakan bahwa "partnernya"
Kini masih meringkuk dalam penjara! Hal ini tidak pernah disinggung atau karena ia khawatir kalau-kalau Pak Suroto akan merasa kecewa dan akan timbul pandangan yang tidak enak baginya.
Biarlah rahasia itu ia simpan sendiri saja, termasuk rahasia-rahasia pribadinya, atau lebih tepat rahasia orang tuanya yang sudah tidak ada. Dedi sama sekali tidak pernah menduga bahwa malam itu, setelah dia meninggalkan rumah dengan pakaian indah dan gagah, isterinya, Widayani, menangis dalam kamarnya. Widayani adalah seorang wanita modern, pandangannya sudah maju dan tidak mudah diserang cemburu. Bahkan ia pernah menganjurkan dengan sungguh hati kepada suaminya untuk membiarkan dirinya dioperasi vasectomi, bahkan juga agar menggunakan kondom, agar kehidupan sex mereka sebagai suami isteri tidak terganggu. Namun suaminya selalu menolak dan karena ia sendiri tak mau kalau sampai mengandung lagi, maka ia membatasi hubungan sexnya dengan suaminya.
Ia tahu bahwa diam-diam suaminya menderita, seperti juga ia sendiri, karena merasa selalu haus dalam hal ini. Maka, andaikata ia mendengar suaminya menggauli wanita lain, hostess umpamanya. hanya sekedar untuk melampiaskan gairah yang tak tersalurkan, ia dapat mengerti akan hal itu dan tidak akan membuat ribut. Akan tetapi, ketika ia mendengar desas-desus, dari para isteri rekan suaminya yang sering dijumpainya pula dalam perkumpulan wanita dalam arisan. hatinya terasa panas juga. Bayangkan saja! Desas-desus itu mengabarkan bahwa suaminya tergila-gila kepada sekretarisnya sendiri! Padahal, seorang sekretaris bekerja setiap hari di samping suaminya. Bahkan bagi seorang pegawai kantor, hubungan antara sekretaris dengan bossnya lebih akrab dengan hubungan pria itu dengan wanita lain.
Bahkan, dengan isteri hanya bertemu setelah kantor tutup sampai malam. Akan tetapi dengan sekretarisnya, sejak pagi sampai kantor tutup, dan selalu rnereka berdua berbincang bincang tentang pekerjaan, tentang segala urusan dan mungkin juga tentang diri pribadi masing-masing. Ia teringat akan kata-kata kuno nenek moyangnya yang kebenarannya masih dapat dirasakan sampai pada jaman nuklir ini, yaitu : Witing tresno jalaran soko kulino (Awal cinta disebabkan oleh keakraban). Pergaulan akrab dapat menyalakan api daya tarik yang memang sudah ada pria dan wanita terhadap diri masing-masing. Dan pergaulan antara seorang sekretaris dan bossnya, tentu saja akrab dan "kulino" (terbiasa). Inilah sesungguhnya yang menjadi sebab mengapa Widayani menolak dengan alasan kepala pusing ketika, suaminya mengajaknya untuk pergi ke pesta ulang tahun perusahaannya.
Ia tidak mau bertemu dengan sekretaris itu! Pernah ia melihat sekretaris itu beberapa kali, diperkenalkan oleh suaminya, akan tetapi ia tidak begitu menaruh perhatian. Seorang gadis biasa saja, sederhana, halus dan sopan. Kiranya di balik kehalusan, kesederhanaan dan, kesopanannya itu tersembunyi kepalsuan. Hendak mencuri suami orang, memikat bossnya sendiri! Hatinya panas bukan main. Apa lagi ketika ia mendengar bahwa sekretaris yang menjadi pacar suaminya itu telah dibelikan sebuah rumah mungil dengan perabot rumah lengkap! Koelkast, T.V., lengkap! Jelas bahwa wanita itu telah menjadi peliharaan suaminya! Pantas saja akhir-akhir ini, selama beberapa bulan ini, suaminya tidak pernah lagi mengeluh karena gairah yang tak tersalurkan. Dan suaminya nampak gembira! Kiranya ada udang di balik batu!
"Mama ada apakah, Mama?"
Widayani terkejut, akan tetapi melanjutkan tangisnya tanpa mengangkat mukanya dari bantal.
"Kenapa mama menangis? Sakitkah""?"
Kini Joni duduk di tepi pembaringan. Makin pedih rasa hati Widayani. Juga terheran-heran karena selamanya belum pernah Joni memperhatikannya. Tangisnya makin menjadi dan iapun bangkit duduk dan merangkul puteranya.
"Joni. ah, Joni....."
Ia tersedu-sedu di atas bahu puteranya. Keharuan menyentak-nyentak hati, membuat is mengeluh dan merintih. Joni juga memeluk ibunya dan tangannya mengelus pundak ibunya. Sikapnya sungguh bukan seperti seorang pemuda remaja lagi, melainkan seperti orang yang sudah matang. Juga dia sama sekali tidak ikut menangis menyaksikan keharuan ibunya. Wanita tidak tahu betapa seringnya sejak kecil dia menangis seorang diri di dalam kamarnya, tangis kesepian dan tangis kekecewaan yang menimbulkan duka dan membuatnya matang dalam usia muda. Karena tidak memperoleh perhatian dan kasih di dalam rumah, dari ayah-bundanya. Maka anak ini sejak kecil telah belajar menghibur diri sendiri, dan ia memperoleh kesenangan dari luar rumahnya.
"Mama..... aku tahu, karena Papa bukan, Ma?"
Tangis Widayani agak mereda dan mendengar pertanyaan ini, ia hanya mengangkat muka dari pundak anaknya, lalu mengangguk dan menyandarkan lagi mukanya di pundak itu. Ibu ini memperoleh rasa tenteram ketika bersandar di pundak puteranya seperti memperoleh sandaran yang dapat dipercaya dan diandalkan.
"Kantor Papa malam ini ada pesta, mengapa mama tidak ikut bersama Papa, Ma?"
Widayani sudah tidak menangis lagi, hanya tinggal isak jarang. Ia meninggalkan pundak anaknya, duduk di atas pembaringan dan merebahkan kepala.
"Tidak, Jon, mama tidak ikut.....
"
Katanya Iirih.
"Karena..."perempuan itu, bukan, Ma?"
Widayani memandang kepada anaknya dengan mata dibelalakkan, mata yang agak merah oleh tangis.
"Apa...""
Apa maksudmu?"
"Mama menangis dan marah kepada Papa karena Papa bermain gila dengati perempuan yang menjadi sekretarisnya itu, bukan?"
Kembali Widayani terkejut.
"Kau...""
Kau tahu, Joni...".."
Pemuda itu tersenyum sinis.
"Tentu saja aku tahu, ma. Perempuan itu yang menjadi biang keladi semuanya, mula-mula aku, sekarang mama yang menderita karenanya."
Tiba-tiba Joni turun dari pembaringan itu dan keluar dari kamar ibunya.
"Joni..."..!"
Widayani juga bangkit dan memanggil puteranya sambil mengejar sampai di pintu kamar. Akan tetapi anak itu sudah lari dan terdengar suaranya dari belakang.
"Mama, aku pergi dulu!"
Lalu terdengar derum sepeda motornya. Widayani tidak menangis lagi melainkan duduk termenung di dalam kamarnya. la tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh anaknya dengan ucapannya tadi. Perempuan itu menjadi biang keladi semuanya? Mula-mula Joni yang menderita dan sekarang ia sendiri? Apa maksudnya? Siapakah perempuan yang menjadi sekretaris itu? Apakah Joni sudah mengenalnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengaduk hatinya dan mendatangkan perasaan tidak enak sekali.
Suaminya tadi mengatakan bahwa paling lambat jam duabelas akan pulang. Maka ketika jam di atas kepala pembaringannya menunjukkan bahwa waktu telah tengah malam dan suaminya belum juga pulang, demikian pula Joni, hatinya merasa tidak enak sekali. Iapun lalu menilpun perusahaan taksi untuk dikirimi sebuah taksi dan sambil menanti datangnya taksi, Widayani berganti pakaian dengan cepat. Sementara itu, mobil Holden Kingswood yang dikemudikan oleh Dedi Suroto meluncur memasuki jalan kecil itu. Mimi duduk di sebelah kirinya. Pesta di perusahaan tadi amat menggembirakan. Semua berjalan lancar dan mereka berdua telah bergembira dengan para rekan mereka. Dan tidak ada seorangpun rekan yang berani memberi komentar atas kedatangan direktur dan sekretarisnya bersama-sama itu.
Sesungguhnya wajarlah kalau mereka datang bersama, karena betapapun juga, dalam perayaan pesta itu diadakan sambutan-sambutan dan tentu saja sang sekretaris harus membantu bossnya untuk persiapan pidato dan lain-lain. Hanya para isteri rekan-rekan direktur itu, yaitu isteri para managers dan para pemegang saham perusahaan itu yang nampak saling berbisik-bisik. Kenyataan ini merupakan bahan gossip yang menarik bagi mereka, karena mereka tahu betul bahwa siang tadi nyonya direktur masih menghadiri arisan dan berada dalam keadaan sehat gembira. Mengapa tahu-tahu sekarang tidak datang dan direktur Suroto mengatakan bahwa isterinya sedang tidak enak badan? Dan direktur itu demikian akrab nampaknya dengan sekretarisnya yang muda dan manis!
Di dalam pesta itu, wakil para pemegang saham yang mengucapkan sambutan pula, memuji-muji kecakapan direktur Suroto yang memimpin perusahaan itu selama belasan tahun sehingga menjadi maju seperti keadaannya sekarang. Dan memang Surot adalah seorang direktur yang baik. Selain pandai mengemudikan perusahaan. juga sikapnya amat baik terhadap para pembantunya, yaitu para bawahan, tidak sombong, tidak menekan, melainkan dapat mengajak mereka bekerja sama. Tentu saja sambutan ini amat membanggakan hati Suroto dan demikianlah, dia mengantar pulang Mimi dengan hati yang gembira.
"Pak, semua orang memujimu dan memang sudah selayaknya bapak memperoleh pujian itu,"
Kata Mimi dalam mobil.
"Ahh, mereka itu hanya membesar-besarkan saja. Dan engkau bagaimana, Mimi.? Senangkah hatimu malam ini?"
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Senang sekali, Pak."
"Bagus, aku gembira mendengar engkau senang."
Ucapan Suroto seperti ini selalu menyentuh keharuan hati Mimi. Kenapa pria ini selalu mementingkan perasaannya? Selalu memperhatikannya?
"Pak, saya harap ibu baik kembali kesehatannya sekarang"
"Ahh...". ya, terima kasih, Mi."
Mobil berhenti di depan rumah Mimi. Jalan kecil itu sunyi sekali. Tengah malam telah tiba dan semua tetangga sudah menutup pintu rumah masing-masing. Mimi sudah membuka pintu mobil sebelah kin dan turun. Dedi juga turun dari pintu kanan.
"Sudahlah, Pak. Sudah malam, harap bapak segera pulang. Selamat malam, Pak."
Sebelum Dedi sempat menjawab, karena diapun turun hanya dengan maksud mengantar Mimi sampai pintu dan melihat gadis itu sudah memasuki rumah dengan aman, tiba-tiba muncul bayangan lima orang dari balik pohon-pohon di tepi jalan dan mereka sudah mengurung mobil itu! Mimi menahan jeritnya ketika mengenal bahwa dua orang di antara lima bayangan ini adalah dua orang pemuda yang pernah mencoba untuk menculiknya, dua orang pemuda yang pernah dihajar oleh Pak Suroto. Dan sikap mereka, bersama tiga orang teman pemuda lain itu, nampak penuh ancaman, di tangan mereka terdapat rantai-rantai sepeda motor yang mereka putar-putar dengan sikap menyeraikan sekali. Dedi juga segera mengenal dua orang pemuda itu dan dia menjadi marah bukan main.
"Mimi, cepat larilah ke dalam dan kunci pintunya! Biar kuhadapi mereka ini!"
Akan tetapi, kedua kaki Mimi sudah menggigil dan sukar digerakkan, apa lagi, jalan menuju ke pintu halaman rumahnya sudah dihadang dua orang. Mereka telah terkurung dan tidak dapat meloloskan diri.
"Hemm, kalian mau apa mengepung kami?"
Dedi membentak, suaranya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan marah sekali. Seorang di antara dua pemuda yang pernah dihajarnya itu menyeringai.
"Mau apa, pak bandot tua? Mau membalas dendam kepadamu dan kepada cewek kolokan ini!"
Diam-diam Dedi memandang ke kanan kiri dan merasa lega hatinya bahwa Joni tidak berada di situ di antara mereka.
"Jangan membikin ribut. Pergilah kalau kalian tidak ingin kuhajar lagi!"
Bentaknya. Bentakan ini membuat mereka marah dan serentak mereka maju, didahului oleh pemuda yang menjawab tadi. Dia mengeluarkan teriakan seperti seorang pemain karate jagoan, dan rantai di tangannya sudah menyambar ke arah Dedi. Dedi maklum bahwa dengan tangan kosong, menghadapi lima orang pemuda yang semua memegang rantai ini, bukan tidak berbahaya. Akan tetapi dalam keadaan terancam itu, dia masih mementingkan keselamatan Mimi.
"Lekas masuk dalam mobil, tutup jendelanya!"
Katanya kepada Mimi sambil mengelak ke kanan, menjauhi Mimi untuk memancing lawan. Mimi mengerti apa yang dimaksudkan oleh direkturnya, maka iapun cepat membuka kembali pintu depan mobil dun memasukinya, menutupkan kembali pintu mobil itu dan menguncinya dari dalam. Bagaikan kelinci ketakutan, Mimi memandang dari balik kaca dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa Pak Suroto kembali diserang dengan sambaran rantai. Kini ada tiga orang pemuda yang serentak menyerang Dedi dengan sabetan rantai mereka. Dedi meloncat lagi ke kiri, akan tetapi tetap saja punggungnya terkena pukulan rantai.
"Brettt"..!"
Jasnya robek berikut kemejanya, kaos dan juga sedikit kulitnva. Darah mulai nampak di punggung dan Mimi menjerit tertahan.
Akan tetapi, begitu punggungnya terkena sabetan rantai, Dedi sudah membalik dan menangkap ujung rantai itu dan melangkah maju, kakinya menendang dengan kuat sekali ke arah penyerangnya itu. Pemuda itu hendak menangkis, akan tetapi gerakannya terhalang karena dia masih memegang rantai yang sudah ditangkap Dedi, maka tendangan itu mengenai lengan kanannya dan terlepaslah rantai itu dari tangannya. Akan tetapi pada saat itu, sabetan rantai lain yang mengenai lengan kanan Dedi terasa demikian nyeri, dan kembali lengan jasnya robek berikut kemeja dan kulit lengan. Celakanya, rantai yang sudah dirampasnya itu terlepas dan berada di atas tanah, dekat mobil. Dedi hendak memungutnya, akan tetapi empat orang pemuda yang memegang rantai itu memutar-mutar rantainya, menghalanginya untuk mengambil rantai rampasan itu.
"Sup, ambil lagi rantaimu!"
Teriak seorang di antara mereka kepada pemuda yang kena tendangan tadi setelah dia dan kawan-kawannya dapat menghalangi Dedi mengambil rantai yang terjatuh Orang yang dipanggil "Sup"
Tadi cepat membungkuk dlan menyambar rantainya dengan tangan, akan tetapi Dedi yang sudah marah sekali meloncat dan menerkamnya bagaikan seekor harimau kelaparan.
"Bresss....!"
Pemuda itu kena ditubruknya dan dengan kemarahan meluap-luap, ketika mereka berdua terguling itu, Dedi menghantamkan kepalan tangan kanannya dua kali ke arah kepala pemuda itu.
"Aduhhh..."
Aduhh..."!"
Pemuda itu berteriak-teriak dan empat orang teman-temannya maju dan mengayun rantai-rantai mereka.
"Awas Pak...".!"
Dari dalam mobil Mimi menjerit, akan tetapi tentu saja jeritannya itu tidak terdengar oleh Dedi. Hantaman rantai pertama mengenai pundak kiri dan rantai ke dua mengenai punggung. Dedi mengeluh dan meloncat bangun, terpaksa meninggalkan pemuda yang sudah dipukulnya itu dan kini jasnya robek-robek dan darah mulai membasahi pakaiannya. Rantai-rantai itu menyambar-nyambar, akan tetapi Dedi mengelak ke sana-sini dan membalas dengan tendangan-tendangan sepatunya.
"Ngekkk.....!"
Seorang pemuda terkena tendangan perutnya. Pemuda itu terjengkang dan Dedi. Hendak mencecarnya dengan tendangan atau pukulan, akan tetapi pemuda-pemuda yang lain sudah menyerangnya lagi dari belakang, kanan dan kiri, seperti segerombol anjing saja layaknya. Tiba-tiba Dedi mengeluh dan roboh. Ujung sebatang rantai mengenai leher bawah telinganya dan pandang matanya menjadi gelap.
"Pukul dia biar kapok!"
Terdengar teriakan dan lima orang pemuda itu, bagaikan lima ekor anjing kelaparan, menghujani tubuh Dedi dengan pukulan dan tendangan. Karena mereka maju bersama, tidak ada yang mempergunakan rantai, tentu takut kalau mengenai teman sendiri, maka mereka menggunakan kaki dan tangan.
"Jangan pukuli Papa""!"
Tiba-tiba Joni muncul dari balik sebuah pohon. Dia lari ke tempat terjadinya pengerayokan itu dan dia menariki jmuda-pemuda itu, bahkan memukuli mereka dari belakang.
"Eh, Joni, sudah gila lu? Kenapa jadi mukulin kita?"
Seorang di antara mereka memaki-maki. Akan tetapi Joni tidak memperdulikan itu semua. Dia tetap menariki dan memukulli mereka berteriak-teriak.
"Jangan pukulin Papa gue, jangan pukulin Papa gue!!"
"Eh, setan ini ketularan babenya kali! Nih rasain lu!"
Dan merekapun memukuli Joni. Joni melawan seperti telah menjadi gila, akar, tetapi tentu saja bukanlah lawan lima orang itu. Melihat betapa Pak Suroto sudah tidak berdaya dan juga Joni akhirnya roboh dipukuli, terjadi perobahan hati Mimi. Kalau tadinya gadis ini merasa ketakutan sehingga seluruh tubuhnya menggigil, kini melihat ayah dan anak itu dipukuli, rasa takutnya lenyap menjadi kemarahan yang bernyala-nyala. Apa lagi ketika tiba-tiba dia melihat ada mobil memasuki jalan itu. Ia membuka pintu mobil, melihat adanya rantai di dekat mobil, lalu memungutnya. Dan dengan memutar-mutar rantai itu, menyerang lima orang pemuda itu kalang-kabut, Mimi menjerit-jerit sekuatnya.
"Bajingan-bajingan kalian! Pengecut kalian! Tolooonggg..."
Tolooongggg..."! Perampokan...".! Pembunuhan...".! Tolooongggg..."!"
Dan iapun menerjang lima orang itu sambil mengobat-abitkan rantai di tangannya. Seorang di antara para pemuda itu terkena hantaman ujung rantai tepat pada pelipisnya, dan pemuda itu mengaduh-aduh dan terjungkal.
Para pemuda lain menjadi marah. Seorang di antara mereka menangkap rantai itu dan merangkul leher Mimi. Akan tetapi gadis itu melawan dengan menggigit lengan itu, mencakar dan memukul, nenendang sekuatnya. Mobil yang memasuki jalan itu sudah berhenti, dan yang keluar pertama-tama adalah seorang wanita. Widayani! Ia terbelalak memandang ke depan, melihat betapa ada seorang gadis yang mengamuk dan dikeroyok oleh lima orang pemuda. Dan mobil suaminya berada di situ. Kemudian dia mengenal gadis itu. Sekretaris suaminya! Dan iapun melihat suaminya dan anaknya di atas tanah, bergerak-gerak mencoba untuk bangkit. Akan tetapi pada saat itu, datanglah banyak orang berlarian keluar dari kedua ujung jalan. Melihat ini, para pemuda itu menjadi panik. Seorang di antara mereka memukul keras.
"Dukkk,"
Dan tubuh Mimi terdorong dan terjengkang roboh. Kini terjadilah pertempuran berat sebelah. Tidak kurang dari tiga puluh orang laki-laki,yaitu penghuni jalan itu, tua muda, mengeroyok lima orang pemuda tadi. Sebentar saja lima orang pemuda itu sudah roboh dan terus dipukuli oleh para penghuni yang sudah menjadi marah itu, apa lagi melihat betapa para pemuda itu telah mengeroyok tiga orang yang terluka parah itu.
Mereka masih terpengaruh oleh teriakan Mimi tadi, menyangka bahwa lima orang itu tentunya perampok-perampok dan mungkin sudah membunuh orang. Dan memang akibatnya hebat. Lima orang pemuda itu, sebelum diadili, sudah harus meringkuk di rumah sakit selama hampir satu bulan baru sembuh. Nyaris mereka itu tewas oleh pengeroyokan penghuni jalan itu yang main hakim sendiri. Peristiwa itu. dan ganjaran hukuman kemudian, membuat mereka benar-benar ngeri dan bertobat. Sementara itu, tanpa banyak kata-kata, dibantu oleh Mimi dan beberapa orang penghuni, Joni dan Dedi yang menderita luka-luka cukup parah itu dimasukkan dalam mobil. Kemudian Widayani membawa mereka ke rumah sakit. Akan tetapi, ternyata luka-luka mereka hanya luka-luka kulit saja dan setelah mengalami pengobatan sekedarnya, keduanya diperbolehkan pulang.
"Jadi, engkau menyusulku karena engkau cemburu. Wida?"
Tanya Dedi ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terbangun dari tidurnya setelah malam tadi dia tidur dengan gelisah akibat luka-lukanya yang biarpun tidak berbahaya namun terasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua. Isterinya menjaganya semalam suntuk, kadang-kadang ke kamar Joni, akan tetapi pemuda itu tidak begitu berat luka-lukanya karena hanya dipukuli dengan tangan saja. Maka perhatian nonya ini dicurahkannya kepada suaminya. Pagi hari itu, ketika Dedi terbangun dari tidurnya, dia melihat isterinya masih duduk menjaganya dan melihat isterinya bekas menangis.
"Kau menangis? Kenapa? Aku tidak apa-apa, hanya luka-luka kulit yang tidak ada artinya."
Widayani memegang lengan suaminya.
"Melihat engkau dan Joni menggeletak....... ah, betapa ngerinya...".
"
"Bagaimana Joni?"
"Dia masih tidur, luka-lukanya tidak ada artinya."
"Wida, bagaimana malam tadi engkau bisa tiba di tempat itu?"
Widayani mengusap air matanya.
"Aku..."
Aku..... mendengar desas-desus tentang engkau dan sekretarismu...".. aku mencoba untuk menahan-nahan hati, aku sengaja tidak turut ke pesta..... akan tetapi..."
Kemudian Joni datang menghiburku dan dia pergi, kulihat pada wajahnya terbayang kemarahan padamu. Ah, anak itu tahu segalanya, tentang kau dan sekretarismu..."
Aku merasa khawatir dan menyusulnya, naik taxi...""
Demikianlah, Dedi lalu bertanya,
"Jadi, engkau menyusulku karena engkau cemburu, Wida? Engkau mencemburukan Mimi? Ohhh...". semoga TUHAN mengampunimu...""
"Kau..... kau tidak....., Pap..."?"
Melalui air matanya, Widayani memandang wajah suaminya, penuh selidik. Dua pasang mata bertemu, dan dua titik air mata membasahi mata Dedi ketika dia menyaksikan wajah yang demikian penuh kasih dan penuh kekhawatiran membayang pada pandang mata isterinya, pada wajah yang disayangnya itu. Dia memegang kedua tangan itu. Jari-jari tangan mereka saling cengkeram mesra.
"Perlukah kata-kata lagi, Wida? Hanya engkau seorang yang kucinta sebagai isteri. Oh, tentu saja, aku mencinta Mimi. Aku mencintanya dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, bukan cinta yang begitu, Wida. Aku kasihan kepadanya, dan aku ingin melihat ia berbahagia. Ah, mungkin aku haus akan cinta...". dan ia..."
Ia seorang gadis yang baik sekali..."."
Makin deras air mata runtuh dari kedua mata Widayani.
"Akan tetapi..."
Bagaimana dengan gadis itu, Pap? Bukankah ia..."
Mencintamu...". mecinta sebagai seorang watilta terhadap seorang pria"".? Kulihat ia mengamuk membela engkau dan Joni. Betapa beraninya. Betapa gagahnya. Ah, aku tidak mungkin dapat membencinya melihat is membela engkau dan Joni dengan taruhan nyawa seperti itu. Tapi..... tapi..."
Engkau adalah milikku, Pap, engkau suamiku...""
Dan Widayani menangis sesenggukan, menaruh muka di atas dada suaminya. Dedi mengelus rambut isterinya penuh kasih sayang.
"Tentu..... tentu saja, isteriku. Aku suamimu..."
Aku melihat sekarang, kita semua, kita bertiga. aku, engkau dan Joni, kita semua haus akan kasih sayang..."
Karena kita masing-masing terlalu mementingkan diri sendiri. Ah, kau maafkanlah semua kesalahanku selama ini, Mam...""
"Tidak..."..! Tidak.....! Oh, tidak, Pap..... akulah yang bersalah selama ini..... ah, aku memang selfish, aku egois..... sekarang aku janji, akan kubuang semua keinginan yang bukan-bukan itu. Pap. Aku bersumpah...""
"Apa yang dibuang, Mam..."?"
"Permintaan agar engkau melakukan vasectomi, agar pakai kondom"""
Hampir Dedi tertawa.
"Ah, dan akupun..... ah, apa salahnya pakai kondom? Aku yang keras kepala memang. Dan vasectomi, kusangka baik sekali kalau engkau memang tidak mau lagi mempunyai anak."
"Aku mau.....! Aku mau..."..! Biar aku bertaruh nyawa, aku tidak perduli. Sekretarisnya itu berani bertaruh nyawa untukmu, untuk. Joni. Masa aku tidak berani mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan anak? Aku tidak butuh vasectomi, tidak butuh kondom dan engkau...". suamiku, engkau bapak anak-anakku!"
"Anak-anak? Ah, kau tahu, Mam? Si Joni itu selain kurang kasih sayang dari kita berdua, juga andaikata dia mempunyai adik, aku yakin dia tidak akan begitu liar mencari teman-teman di luar. Jadi engkau mau..."
Punya anak lagi?"
"Aku mau, Pap..."
Sebanyak yang engkau kehendaki..... ah, aku memang telah bersikap bodoh, tapi...""
Tapi sekarang terlambat, Pap, sudah tua...".."
"Hushh, siapa bilang engkau tua? Usiamu baru tiga puluh sembilan tahun, dan engkau belum meng-alami bebas haid. Mam, kita akan memulai hidup baru...""
"Aku berbahagia sekali, Pap. Hanya kasihan Joni...", kita telah bersalah besar terhadap dia..... kita biarkan dia yang haus kasih sayang itu mencari kasih di luar rumah. Ah, betapa selama ini aku merasa kasihan dan cemas terhadap dirinya. Aku telah berusaha mendekatinya, berusaha merobah sikapku terhadapnya, namun agaknya sia-sia. Semenjak kondom itu, aku merasa amat cemas melihat anakku...".."
"Semenjak kondom? Apa maksudmu?"
"Aku mendapatkan sedoos kondom di dalam tas sekolahnya, Pap. Bayangkan! Ada doos kondom di dalam tasnya! Aku mengambilnya dan karena aku takut kalau-kalau engkau akan marah sekali pada nya, maka doos kondom itu kusembunyikan dalam tasku."
Dedi yang tadinya sudah melepaskan tangan isterinya, meraih kembali tangan itu dan diapun bangkit duduk, lalu menarik isterinya dan memeluknya. Kebahagiaan besar menyelinap di dalam hatinya.
"Jadi doos kondom yang tinggal empat itu, yang berada di tas tanganmu itu..... itu milik Joni"".?"
"Ya, benar, Pap. Betapa cemas hatiku ketika engkau menemukannya, maka akupun membohong kepadamu, mengatakan bahwa aku sengaja beli untukmu. Betapa marahnya engkau ketika itu..."
Ah. aku yang tolol."
Dedi mendekap isterinya dengan erat, membenamkan mukanya di rambut isterinya agar isterinya tidak melihat wajahnya.
"Wida..."., Wida...", aku marah bukan karena itu. Ya TUHAN, betapa kita berdua sudah menjadi buta, sehingga timbul kecurigaan dan cemburu yang bukan-bukan.
"Maksudmu, Pap?"
"Dahulu itu, aku menyangka bahwa engkaulah yang memakai kondom itu..."
Ah, dengan pria lain...""
Wida meronta dan melepaskan diri dari pelukan suaminya, untuk dapat menatap wajah suaminya itu. Matanya terbelalak.
"Apa..."? Ah, jadi itukah sebabnya engkau tiba-tiba saja bertanya tentang pemuda yang bersamaku pergi ke Cipayuug itu? Engkau cemburu kepadaku. Pap? Ah, tidak tahukah engkau bahwa selamanya cintaku hanya kepadamu, Pap?"
"Maaf, Wida. Aku memang bodoh.........."
"Dan selama ini, biarpun cemburu telah meracuni hatimu, engkau tetap tidak mau menuduhku, Pap. Engkau masih terus mencintaku. Ah, akulah yang harus minta maaf, Pap."
Dan mereka berdekapan lagi, merasa sangatdekat satu sama lain.
"Mam, mari kita tengok Joni."
Akhirnya Dedi menggandeng tangan isterinya turun dari pembaringan dan menuju ke kamar Joni. Pemuda itu masih tidur, akan tetapi ketika ayah budanya membuka pintu kamarnya, dia terbangun dan memandang kepada mereka.
"Mama..... Papa....."
Dedi dan isterinya menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Ayah dan anak itu saling pandang. Muka Joni masih bengkak-bengkak dan mata kirinya menghitam. Pemuda itupun memandang muka ayahnya dan melihat betapa ada balur-balur merah pada leher dan pipi ayahnya, dan jendolan besar membiru di dahinya, Joni merasa betapa kedua matanya panas dan tak tertahankan lagi, matanya menjadi basah air mata.
"Pap, Ampunkan Joni, Pap...""
"Aah, sudahlah, Joni. Masih untung kita semua selamat."
"Aku..."
Aku bukan memaksudkan agar mereka memukulimu, Pap. Tapi jahanam-jahanam itu..."
Dedi memegang lengan anaknya.
"Sudahlah, Joni. Aku girang bahwa engkau sekarang sadar bahwa teman-temanmu itu adalah jahanam-jahanam yang suka akan kekerasan dan tidak baik didekati."
"Tadinya aku hanya hendak membantu mereka menghajar wanita itu....."
"Sssttt, Joni, wanita yang hendak kau hajar itu telah menyelamatkanmu, telah melawan mereka dengan taruhan nyawa, dan hanya teriakan-teriakannya sajalah yang mendatangkan penghuni jalan itu dan menyelamatkan engkau dan Papamu."
"Aku tahu, mama, dan aku menyesal. Ternyata ia seorang gadis yang berani dan mengagumkan sekali. Kita berhutang nyawa kepadanya."
"Joni, maukah engkau mengatakan kepadaku, mengapa engkau begitu membenci Mimi?"
Tiba-tiba Dedi bertanya dengan suara halus. Joni bangkit duduk dan bersandar pada dinding kepala pembaringannya. Suami isteri itu melihat bahwa putera mereka sudah menjadi seorang laki-laki yang hampir dewasa, dengan dada yang bidang, rambut agak panjang, muka yang biru-biru dan bengkak-bengkak itu sudah membayangkan kedewsaan.
"Biarlah aku berterus terang saja, Pap. Mula-mula, ketika teman-temanku ribut denganya di night club, aku membenarkan teman-temanku bahwa ia sorang wanita yang sombong, karena bukankah wanita yang bekerja di night club itu adalah wanita-wanita nakal, mengapa ia ribut-ribut hanya karena diperlakukan dengan manis oleh teman-temanku? Kemudian, Papa..."
Papa memukulku dan kuanggap ialah yang menjadi gara-garanya. Maka ketika teman-teman mengajakku membalas dendam kepadanya, aku setuju. Tidak tahu bahwa Papa membelanya. Kemudian, aku melihat bahwa Papa dan wanita itu menjadi akrab, bahkan ia bekerja menjadi sekretaris Papa, dan Papa membelikan rumah untuknya. Nah, aku menjadi benci kepadanya, Papa, kuanggap ia telah merebut Papa dari mama dan dariku, dan aku iri hati kepadanya. Maka, melihat mama menangis arena Papa pergi bersamanya, aku lalu minta bantuan teman-teman untuk menghajarnya di depan Papa. Tidak tahunya, jahanam-jahanam itu malah memukuli Papa. Aku menjadi marah dan nekat....."
"Dan akhirnya Mimi yang menyelamatkan kita, Joni."
Semua dugaanmu itu keliru, anakku. Mimi bukanlah wanita seperti yang kau duga. Pertama, biarpun ia pernah bekerja di Night Club, akan tetapi ia bekerja karena terpaksa oleh keadaan dan sama sekali ia bukan seorang wanita nakal yang mau melayani orang karena uang. Ke dua, hubungannya dengan Papa adalah bersih. Papa kasihan kepadanya dan hendak menolongnya, ia sama sekali tidak merebut Papa dari rumah ini, dari keluarga kita. Dan, rumah itu, sama sekali bukan Papa membelikan untuk Mimi melainkan runah seorang teman, suami isteri Canada yang pulang untuk dua tahun dan runah itu kukontrak, kusuruh mendiami Mimi untuk sementara."
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf, Papa, baru sekarang Joni tahu. Dan Joni menyesal sekali. Joni telah terbawa oleh teman-teman Dan, pemuda itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kirinya yang juga biru membengkak. Dia agak menyeringai kesakitan karena lupa menggunakan tangan itu dan terasa nyeri.
"Joni, Papamu tentu memaafkanmu, dan kami girang bahwa engkau telah insyaf..."."
Widayani merangkul puteranya.
"Mama,..."".. mama pernah mengambil..."
Eh, kondom dari tasku, bukan? Barang itu...". eh, barang itu bukan kupergunakan untuk..."
Untuk main perempuan, Mam".."
Tentu saja Widayani merasa canggung untuk bicara soal itu.
"Sudahlah, Joni. Tak perlu kita bicarakan soal itu."
"Kau keliru, Mam,"
Tiba-tiba Dedi berkata.
"Joni sudah dewasa dan sebaiknya kalau dia bicara secara jantan, seperti laki-laki tulen dan tidak menyembunyikan sesuatu.
"Nah, bicaralah tentang kondom itu, Joni. Papa dan mamamu akan dapat mengerti kalau kau bicara sejujurnya."
Dengan kedua mata memandang ke bawah, tanpa berani menentang pandang mata ayah budannya. Joni berkata,
"Ketika kondom itu hilang dari tas, aku tahu bahwa mama yang mengambilnya, karena mama yang memasuki kamarku menurut kata Siyem. Aku malu untuk bertanya, maka kudiamkan saja. Sebenarnya, kondom itu""
Pap..... kupergunakan untuk..."
Untuk..."
Eh, untuk melakukan onani""."
Suami isteri itu saling pandang dan ada bayangan senyum geli pada bibir dan pandang mata mereka, juga bayangan kelegaan. Kiranya si Joni, putera mereka, tidak melakukan perbuatan yang tadinya mereka cemaskan, yaitu melacur.
"Ah, hal itu biasa saja. Joni, walaupun sudah sepantasnya kalau dihindarkan oleh seorang pemuda. Yang sehat rohani dan jasmaninya. Akan tetapi, sekarang bukan saatnya kita bicara soal itu. Biarlah lain hari kita berdua bicara secara terbuka, dari hati ke hati, tentang soal laki-laki ini. Oke?"
Joni memandang kepada Papanya dengan sepasang mata yang berseri dan mulutnya tersenyum. Dia seperti melihat Papanya dengan pandang mata baru, ataukah Papanya yang telah berobah terhadapnya? Dia dan berkata sambil tersenyum,
"Oke, Pap!"
Ketika suami isteri itu hendak meninggalkan kamarnya Joni bertanya,
"Papa dan mama, apakah keadaan ini dapat dipertahankan terus? Apakah Papa dan mama..."
Benar-benar mencinta Joni?"
Seperti terdorong oleh sesuatu, suami isteri itu merangkul Joni. Ketiganya berangkulan tanpa kata-kata dan ini sudah cukup bagi mereka. Mereka telah menemukan kembali kebahagiaan berkeluarga. Dan diam-diam Dedi memperoleh pelajaran yang amat baik.
Selama ini, dia, isterinya, juga Joni, haus akan kasih sayang. Dan kehausan akan kasih sayang ini disebabkan karena tidak adanya kasih sayang itu sendiri di dalam hati. Karena, kalau ada cinta kasih di dalam hati, maka orang itu tidak akan pernah kehausan kasih sayang! Seperti sebuah ruangan yang sudah penuh dengan cahaya terang, tidak membutuhkan lagi penerangan dari luar. Sebaliknya, ruangan yang gelaplah yang membutuhkan penerangan dari luar ruangan itu. Kenyataan ini baru membuka matanya. Memang dia mencinta isterinya selama ini, namun keretakan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan seksuilnya membuat dia merasa menderita! Dan ini hanya menjadi bukti bahwa cinta kasihnya itu bersifat egoistic, mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan pribadi. Dan ini sama sekali bukan cinta kasih!
Bahkan dia menolak vasectomi, menolak kondom seperti yang diusulkan isterinya. Dia hanya mengejar kesenangannya sendiri saja tanpa mengingat akan keadaan isterinya. Demikian pula sifat cinta isterinya terhadap dirinya. Ternoda atau terhalang oleh egoisme, oleh keinginan mengejar ksenangan diri sendiri. Jadi sebenarnya, mereka berdua itu kosong dari cinta kasih! Dan Joni, anak mereka, menjadi korban dari keretakan hubungan suami isteri ini. Sekarang dia, dan isterinya telah insyaf. Sekarang mereka membiarkan cinta kasih bersinar di dalam batin, tidak mengotorinya lagi dengan soal-soal seks! Dengan adanya cinta kasih, maka segala hal dapat diatasi dengan lancar dan mudah. Soal seks tidak akan menjadi penghalang cinta kasih, karena kalau demikian halnya, jelas bahwa cinta kasih itu palsu.
Hari itu tentu saja Dedi tidak dapat masuk kerja. Dari rumah, dia menilpun wakilnya untuk membereskan urusan kantor. Juga menceritakan bahwa sepulangnya dari pesta, dia dan Mimi diserang oleh segerombolan anak nakal. Segera berita ini,terdengar oleh semua pegawai perusahaan, dan hari itu, para manager dan pegawai tingkat atas berdatangan dan berkunjung ke rumah Dedi. Hanya Mimi yang tak dapat datang dan hal ini dapat dimengerti. Biarpun tidak menderita luka-luka seperti yang dialami oleh Dedi dan Joni, namun Mimi terkena pukulan. Pipi kirinya mernbengkak dan biru, maka tentu saia iapun tidak masuk kerja dan bahkan malu untuk keluar dengan pipi biru dan bengkak itu. Ia tinggal saja di rumah sehari itu.
(Lanjut ke Bagian 11 - Tamat)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 11 (Tamat)
"Aku cinta padanya..... ohhh, aku cinta padanya..."".! Ah, kak Teja...". apa yang terjadi dengan diriku? Kak Teja, aku cinta pada padamu, akan tetapi..."
Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo