Ceritasilat Novel Online

Drama Gunung Kelud 2


Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



* * *

   Pada keesokan harinya, Haryanto bangun dan tergesa-gesa turun dari dipan ketika matanya menjadi silau oleh cahaya matahari yang menerobos celah-celah bilik. Wah, dia telah kesiangan bangun. Mungkin saking lelahnya, atau karena sejuknya hawa, ia tidur enak sekali. Cepat ia turun dan menuju kebelakang untuk mandi. Didengarnya Ibu Waluyo tengah sibuk dapur. Sekembalinya dari mandi, ia telah melihat Waluyo menjiapkan secangkir kopi tubruk berikut sepiring jagung rebus,

   "Wah, jangan repot-repot, bu,"

   Katanya menyopan.

   "Ah tidak, nak. Seadanya saja,"

   Sepagi itu istilah abadi Ibu Waluyo sudah keluar. Seadanya. Alangkah sederhana istilah ini, istilah keluar dari kesederhanaan murni, penuh kepribadian Indonesia aseli!

   "Mana dik NING, kok tidak kelihatan, bu?"

   Kata Haryanto sambil menarik kursi dan duduk menghadapi hidangan nikmat itu.

   "Tuh diluar,"

   Wanita tua ini bersungut-sungut "Pagi-pagi benar si Karto sudah datang. Latihan nyanyi, apalagi?"

   Tiba-tiba terdengar, bunyi gitar dan disusul suara nyanyi yang cukup merdu, nyanyi Langgam Jawa "Wujung."

   Diiringi kendangan gitar, nyanyian itu mendayu-dayu, sedap didengar diwaktu pagi. Pagi-pagi sudah bernyanyi lagu rindu, pikir Haryanto.

   "Laraning lara, ora kaya wong kang nandang wujung..." (sehebat-hebatnya sakit, tidak seperti yang sedang rindu...)

   Haryanto makin enak minum kopi dan makan jagung rebus. Merasa seperti kalau sedang menghadapi radio. Ibu Waluyo tetap sibuk didapur. Diam-diam Haryanto tidak puas melihat sikap Sriningsih. lbunya sepagi itu sibuk didapur, anaknya sudah bernyanyi-nyanyi luar rumah! Ia mengembalikan cangkir dan piring kedapur, sekalian berpamit hendak mulai dengan pekerjaannya, melakukan penyelidikan tentang Kelud.

   "Pagi benar sudah hendak pergi, nak. Tapi siang nanti harus pulang lho, kumasakkan sajur asem,"

   Pesan Ibu Waluyo. Haryanto keluar. Suara gitar sudah berhenti. Dilihatnya Sriningsih duduk dibangku dan didepannya duduk seorang laki-laki muda bertubuh tinggi, tampan dan usianya kurang Iebih tiga puluh tahun, memegang gitar. Melihat tambalan pada kemeja orang itu dapat diduga bahwa dia seorang yang tidak cukup keadaannya.

   "Eh, mas Har, sudah bangun? Dan sepagi ini hendak pergi?"

   Tegur Sriningsih sambil bangun berdiri. Dia agaknya belum mandi, rambutnya masih diurai, tapi benar-benar nampak makin manis. Kebayanya hanya memakal sebuah peniti, itupun agak dibawa sehingga bagian atas kebayanya terbuka memperlihatkan kutangnya yang berwarna hijau muda, membayangkan dadanya yang penuh. Hemm, pikir Haryanto dara ini benar-benar tak dapat menjaga diri, murah saja membiarkan bagian tubuhnya dilihat laki-laki.

   "Aku harus bekerja, dik,"

   Jawab Haryanto singkat.

   "Eh, sampai lupa aku. Perkenalkan, mas, ini mas Karto. Dan inilah mas Haryanto pengarang terkenal yang kuceritakan tadi, mas Karto."

   Karto mengangguk kaku dengan gitar masih dalam rangkulannya. Haryanto juga mengangguk.

   "Maaf, aku harus pergi,"

   Katanya lagi sambil mengangguk lalu melangkah keluar. Suara gitar berbunyi lagi dan terdengar Sriningsih tertawa halus. Tapi Haryanto tidak mau memperdulikannya lagi.

   Khayal pengarangnya sudah mulai bekerja ketika ia memandang kearah puncak Kelud yang berasap. Ia mulai berkeliaran didaerah Jatilengger, bertanya sana-sini kalau-kalau ada yang masih ingat tentang letusan Gunung Kelud ditahun 1919. Akan tetapi sayang, orang yang setua itu, yang mengalami perletus gunung itu ditahun 1919, empat puluh tujuh tahun yang lalu, amat sedikit jumlahnya. Kalaupun ada orang tua yang usianya sudah enam puluh, ia hanya ingat sedikit saja tentang malapetaka itu, karena di waktu itu usianya baru belasan tahun. Banyak yang menceritakan tentang letusan-letusan berikutnya, yaitu di tahun 1951. Akan tetapi perletusan ini tiada hubungannya dengan tewasnya kakeknya, Malah tak seorangpun mengenal nama kakeknya, Pak Surodiwirjo, Ia kecewa, akan tetapi ia banyak juga mencatat tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitar perletusan dalam tahun 1951.

   Sehari itu ia berjalan kaki menuju ke tempat-tempat yang diwaktu perletusan dahulu dilanda lahar panas, Ia melihat Kali Pucung, melihat pula Gunung Pegat dekat Srengat yang selalu dijadikan tempat mengungsi setiap kali Gunung Kelud mengamuk, Menurut dongeng, Gunung Pegat ini dahulunya adalah sebuah tanggul besar yang dibuat dijaman Prabu Brawijaya, khusus dibangun untuk melindungi kerajaan Prabu Brawijaya, yaitu kerajaan Mojopahit daripada serangan lahar Gunung Kelud. Ia mengumpulkan keterangan-keterangan penduduk sekitar Gunung Kelud tentang keadaan gunung itu, tentang tiga buah kawah yang besar. Akan tetapi yang paling besar adalah kawah yang terletak disebelah barat. Kata orang, kawah yang paling berbahaya dan selain besar, juga amat dalam, kabarnya lebih dari seratus meter dalamnya!

   Banyak dikumpulkan dongeng-dongeng tentang keajaiban gunung Kelud. Tentang asap hitam berbentuk raksasa yang kelihatan nyata diatas gunung apabila gunung itu sedang mengamuk. Kata dongeng, inilah bayangan raksasa Lembusura! Ada pula yang mengabarkan bahwa Gunung Kelud meletus untuk mengeluarkan pusaka, keris keramat yang tak sembarang orang dapat menemukannya. Ada pula yang mendongeng bahwa gunung itu pasti meletus jika di Pulau Jawa terdapat banyak orang yang berdosa, untuk menghukum mereka yang sudah terlalu kotor jiwanya. Macam-macam dongeng orang dan kesemuanya itu dicatat lengkap oleh Haryanto. Sore hari baru ia pulang kerumah Bu Waluyo. Lelah tapi cukup puas akan hasil yang dicapainya. Catatannya satu buku tulis penuh. Besok ia akan pergi lagi mengumpulkan bahan tulisannya. Pulangnya disambut senyum Sriningsih.

   "Mas, kemana saja kau tadi?"

   "Ah, putar-putar, mencatat sana-sini, dik."

   Bu Waluyo keluar dan menegur.

   "Kenapa tadi tidak pulang, nak Har? Lekaslah pergi makan aku sudah menggoreng tempe dan ikan asin untuk kita makan."

   Haryanto tersenyum penuh terima kasih.

   "Ah, kok jadi repot dengan adanya saya disini, bu."

   "Hih, repot apa? Tidak repot, nak, seadanya saja."

   Haryanto memperlebar senyumnya, mengerling kearah Sriningsih yang memandang dengan wajah berseri, lalu pergi mandi dan bertukar pakaian. Malam itu sebelum tidur, Bu Waluyo bercerita tentang keadaan keluarganya. Bahwa suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu, dan bahwa ia tinggal di Jatilengger baru tiga tahun, pindah dari Blitar. Haryanto seorang pengarang dan biasanya seorang pengarang paling mudah menyelami isi hati orang yang bicara kepadanya.

   Kiranya ketajaman indranya ini yang membuat Haryanto mengerti kemana arah angin bertiup ketika Ibu Waluyo bicara tentang anak perempuannya, tentang pengharapannya agar supaja ningsih mendapatkan seorang suami yang akan dapat memimpinnya dan menjamin hidupnya, seorang sebagai suami yang datang dari kota dan yang pandai seperti Haryanto! Apalagi setelah dengan dalih ngantuk dan ingin tidur lebih dulu, ibu ini meninggalkan anaknya berdua saja dengan dia, Haryanto makin merasa yakin bahwa ibu tua ini keadaannya sama dengan seorang pengail yang sedang memasang umpan untuk menarik kakap besar! Hanya bedanya, umpannya merupakan dara remaja yang amat cantik sedangkan kakapnya bukanlah kakap besar seperti disangkanya, melainkan seekor... ah, kalau digolongkan dengan ikan, kiranya dia paling patut juga menjadi lele!

   "Mas Har, apakah besok kau juga hendak pergi?"

   Mata yang redup seperti orang mengantuk itu memandangnya penuh kemesraan.

   "Tentu saja, dik NING. Bukankah memang itu tujuanku datang kesini? Masih banyak tempat belum didatangi dan catatanku masih jauh daripada lengkap.

   "Mas, besok kalau pergi aku ikut, ya?"

   "Ah, aku berjalan kaki tak menentu, lagi jauh dan perjalanan amat sukar, mendaki bukit. Kau tak kuat, dik."

   Sriningsih merajuk dan mulutnya seperti NING bergaun biru benar kalau sudah cemberut seperti itu.

   "Aku anak gunung masa tidak kuat jalan, mas. Boleh cobalah, kalau aku Ielah, aku berjanji takkan minta gendong!"

   Lirikannya penuh daya pikat dan Haryanto bersikap waspada, waspada terhadap hatinya sendiri.

   "Ibu takkan mengijinkan kau pergi bersamaku dik."

   "Mana bisa? Ibu tentu akan senang aku pergi bersamamu, mas. Ibu selalu memuji-mujimu biarpun baru sehari semalam kita berkenalan. Kau dikatakannya halus dan sopan, terpelajar dan pandai."

   "Hemmm..."

   Haryanto kehabisan akal.

   "Mas Har, bawalah aku serta besok. Aku lebih mengenal daerah ini. Kau kan sedang mencari bahan tentang perletusan Kelud ditahun 1919? Nah, aku akan membawamu ke Ponggok, di dusun-dusun Kawedung atau Manding dan sekitarnya, didesa Sumbernar dan sepanjang kali Wonokranan dan Kali Pucu terdapat banyak orang-orang tua yang tentu akan dapat menceritakan tentang perIetusan tahun 1919 itu."

   Tentu saja berita ini amat baik bagi Haryanto. Sekaligus perhatiannya tertarik.

   "Dimana tadi kau katakan, dik? Di Ponggok Dan dikali apa? Betulkah banyak orang-orang tua tinggal disana? Siapa diantaranya? Aku ingin sekali menemui mereka..."

   Tanyanya penuh nafsu.

   "Nah... nah... nah..., enaknya! Aku takkan memberi tahu lagi. Sebaiknya kau bawa aku serta tanggung kau akan mendapatkan banyak bahan untuk bukumu."

   Haryanto bimbang. Memang, kalau dia bisa mendengar cerita dari orang-orang tua yang mengalami sendiri tentang perletusan tahun 1919, ia akan mendapat banyak bahan penting untuk roman yang hendak ia karang, Akan tetapi pergi berdua dengan Sriningsih, ia anggap hal itu terlalu berbahaya! Ia sudah mulai ragu-ragu akan "benteng pertahanan"

   Batinnya terhadap wanita seperti yang sudah-sudah ia banggakan. Semua ini gara-gara NING bergaun biru, pikirnya. Kalau saja ia tak pernah bertemu dengan NING gaun biru, kalau saja Sriningsih ini tidak serupa NING gaun biru, kalau...

   "Bagaimana, mas? Aku ingin ikut, mas. Besok ku pinjamkan sepeda dari Pak Marto tetangga kidul itu, kita boncengan. Ya mas, ya?"

   Sukar bagi Haryanto untuk menolak lagi. Ia mengangguk.

   "Bagaimana, mas Har? Boleh tidak?"

   "Aku sudah mengangguk."

   "Ah, kok cuma mengangguk. Jawablah, biar puas hatiku!"

   Sriningsih merajuk lagi.

   "Boleh kan, mas Har yang ganteng?"

   "Hayo dah! Tapi jangan terlalu kenes (genit) bikin aku gemas!"

   Sriningsih bangkit dari kursinya, menghampiri Haryanto, berdiri didepan pemuda itu dengan kepala di kedikkan dan dada dibusungkan.

   "Kalau sudah gemas, mau apa hayoh?"

   Hem, hemm... menantangnya bocah ini. Kalau dipeluk dan kucium dia tentu takkan melawan kiranya. Tapi, ah... ia tak serendah itu! Haryanto mau menampar kepala sendiri, karena sedetik yang lalu timbul hasrat hatinya ingin melayani godaan Sriningsih, ia bangkit dan undur selangkah.

   "Sudahlah, dik, jangan bergurau. Kalau terlanjur kita bisa salah langkah. Baiklah, kau besok boleh ikut. Tapi kalau lelah jangan salahkan aku, lho"

   "Aku tidak akan menyalahkan, tapi minta digendong, lho!"

   Katanya genit manja.

   "Ya, ya, digendong dibelakang sepeda sih boleh saja."

   Dan Haryanto meninggalkannya, memasuki kamarnya. Ia sudah merasa betapa keadaan menjadi terlalu gawat, terlalu berbahaya baginya. Dari dalam bilik tidurnya ia berkata,

   "Selamat tidur, dik. Besok bangun pagi-pagi, ya?"

   Terdengar Sriningsih tertawa kecil.

   "Paling-paling kau yang kesiangan, mas. Awas, ya, kalau kesiangan jangan kaget kalau ada air dingin menyiram kepala Hi-hi..."

   Dan terdengar kasut menuju diseret menuju kamar sebelah.

   Malam itu Haryanto makin sukar lagi tidurnya. Lebih sukar daripada kemarin malam, sungguhpun sekarang ini tubuhnya jauh lebih lelah daripada kemarin. Sikap Sriningsih terlampau berani, terlampau menantang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang seperti ini sikapnya. Bayangan NING bergaun biru makin jelas dan makin sering terbayang didepan matanya. NING bergaun biru sudah pasti tidak seperti Sriningsih. Ia meraba pipinya dan tersenyum. NING bergaun biru itu amat angkuh, tak sembarangan membiarkan dirinya disentuh Iaki-Iaki, seperti harimau betina Tidak seperti Sriningsih yang seperti seekor kucing, mendekat dan membujuk, minta dibelai, minta diberi kasih-sayang, Ia melihat perbedaannya kini, perbedaan batiniah yang membuat NING bergaun biru makin mulia dalam pandangannya.

   Semalam ini Haryanto hanya bermimpi tentang NING bergaun biru. Sriningsih tak pernah muncul dalam alam mimpi. Dan pagi harinya ia merasa bahagia karena ini. Betapapun juga, setelah alam mimpi terganti alam kenyataan, NING bergaun biru tidak nampak lagi. Jauh, terlalu jauh karena ia tidak tahu dimana adanya dara itu. Kini terdesak oleh Sriningsih yang sepagi itu sudah ia lihat keluar dari tempat mandi ketika ia menuju kesana. Hanya berkain pinjung berkain tanpa kutang, sebatas dada), berurai rambut dan bersenandung. Cantik segar bagaikan bunga sedang mekar, berseri-seri seperti Puteri Pagi. Setengah dadanya bagian atas berikut pundaknya tampak. Kulitnya halus kuning langsep, jelita sedap dipandang mata. Mau tak mau Haryanto terpesona menyaksikan penglihatan seindah ini.

   "Hampir saja aku membawa air kekamarmu untuk membangunkanmu, mas!"

   Senyum lebar mengiring pandang mata mesra. Gigi putih diantara sepasang bibir merah membasah menyilaukan mata Haryanto yang belum tersentuh air.

   "Pagi benar kau sudah mandi, dik."

   Hanya demikian tegurnya dan cepat-cepat Haryanto memasuki tempat mandi. Ia sengaja bersiul-siul untuk mengusir kesan aneh didalam dadanya. Setelah selesai mandi, kopi-tubruk panas-panas berikut sepiring ketan kelapa telah tersedia dimeja, Sriningsih tak tampak. Ibu Waluyo nampak gembira ketika bertanya,

   "Katanya NING hendak kauajak jalan-jalan, nak Har?"

   Haryanto kaget. Beda sekali nada suaranya, juga beda maksud hatinya dengan persangkaan ini. Dia mengajak Sriningsih pergi jalan-jalan? Benar pandai memutar-balikkan fakta bocah itu, pikirnya mengkel juga.

   "Ah, dia yang ingin ikut, bu, dan ingin memperkenalkan aku dengan orang-orang tua yang akan dapat menceritakan tentang perletusan Kelud ditahun yang lalu,"

   Jawabnya agak panjang-lebar untuk menangkis persangkaan "mengajak pergi jalan-jalan"

   Tadi. Bu Waluyo mengangguk-angguk dan mulutnya yang ompong masih menjeringai.

   "Kalau bukan kau yang mengajak, tentu aku tak boleh, nak. Tapi kami percaya kepadamu, percaya penuh."

   Ia tertawa lebar. Merah wajah Haryanto, akan tetapi tak tega ia untuk mengucapkan sesuatu yang berlawanan dengan maksud hati dan harapan orang tua itu. Biarlah dia menyangka apa saja asalkan aku berhati-hati dan tidak mudah terjebak, pikirnya. Kemunculan Sriningsih membuyarkan lamunannya. Gadis ini datang menuntun sebuah sepeda yang cukup kuat. Sudah berpakaian lengkap, berkain batik sabuknya berwarna merah-muda mengintai dari bawah kebaya yang berkembang hijau. Kebaya itu tipis membayangkan bentuk tubuhnya yang padat menggairahkan.

   "Siap, mas!"

   Kata Sriningsih gembira dan tersenyum lebar. Aneh, ada sesuatu yang aneh dalam diri gadis ini. Beberapa kali Haryanto merasai ini, akan tapi segera perasaan ini tertutup oleh segala kemanisan yang bertumpuk diwajah dan tubuh gadis itu. Sekarang, melihat senyum lebar dan suara gembira, lagi-lagi ia merasai sesuatu yang aneh. Ia memandang penuh perhatian dan tahulah ia sekarang mengapa ia merasai sesuatu yang aneh.

   Mata gadis itu! Biarpun bibirnya yang manis tersenyum, biarpun suaranya genit manja penuh kegembiraan, namun pandang matanya membayangkan kemuraman, membayangkan kesajuan seakan-akan ada hal hebat yang sedang dirisaukannya. Pandang mata seorang pengarang biasanya tajam akan haI ini dan otak Haryanto yang penuh daya khayal itu segera bekerja. Apakah yang menyebabkan gadis ini menderita dalam batin? Apa yang dirisaukan dan kenapa pula hendak disembunyikan kedukaan hatinya? Agaknya cara kerja otak pengarang tidak jauh bedanya dengan cara kerja otak detektip. Haryanto memutar otak dan sepanjang pengetahuannya, kalau ada hal yang patut disusahkan oleh dara denok ayu bukan lain hanyalah karena keinginan hatinya mengikuti sayembara bintang radio tak tercapai. Hmm, kasihan juga, pikirnya.

   "Marilah, dik Ningsih,"

   Katanya sambil berdiri. Sejak malam tadi, tak sampai hatinya memanggil gadis ini "NING"

   Saja. Tak sampai hatinya kepada "NING"-nya yang bergaun biru! Sriningsih mengerling tajam. Perubahan yang sedikit ini kiranya tak terlepas daripada perhatiannya.

   "Lho, kok sekarang memanggil Ningsih, mas? Yang sudah-sudah kan cukup dik Ning?"

   Haryanto kaget. Tajam juga ingatan bocah ini pikirnya. Akan tetapi ia tertawa.

   "Bukankah nama Sriningsih? Kurasa lebih enak aku memanggil Ningsih."

   Dan gadis itupun tertawa manja. Diam-diam dibelakang Haryanto, Bu Waluyo juga tersenyum girang. Ia tentu akan lebih rela memberikan anaknya kepada pengarang dari kota ini, daripada si Karto "buaja-keroncong"

   Itu. Dipandang dari sudut keperluannya mengumpulkan bahan karangan, memang kepergiannya dengan Sriningsih ini berhasil baik. Gadis itu memperkenalkan kepada lurah-lurah di dusun-dusun, kepada orang-orang tua yang dapat bercerita tentang Gunung Kelud dan perletusannya.

   Sibuk Haryanto membuat catatan dalam buku tulisnya. Tapi ia harus mempertahankan hatinya sekuat tenaga. Sikap Sriningsih makin menjadi-jadi. Ketika memboncengnya, gadis itu dengan dalih takut jatuh melalui jalan yang berbatu, sengaja memeluk pinggang Haryanto erat-erat, dada gadis itu menempel rapat dipunggungnya. Ia baru merasa lega ketika mereka pada sore harinya sudah kembali kerumah. Malam itu Haryanto sibuk mengatur catatan-catatannya menambah sana-sini dan menjusunnya. la sudah mendapatkan catatan tentang latar-belakang perletusan Gunung Kelud tahun 1919. Sudah dicatatnya daerah mana yang dilanda lahar. Ia malah mendengar bahwa puluhan juta kubik meter isi kawah dimuntahkan oleh gunung itu ketika mengamuk ditahun 1919. Banyak desa hancur lebur dan lenyap terendam lahar panas.

   (Lanjut ke bagian 02 - Tamat)

   Drama Gunung Kelud

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 02 (Tamat)

   Tidak kurang dari lima ribu jiwa melayang diwaktu itu. Ia dapat membayangkan dalam dunia-khayalnya betapa hebat bencana alam diwaktu itu. Separo kota Blitar hancur-luluh dan semua desa yang. berada dilereng gunung sebelah selatan habis binasa. Dapat ia, membayangkan kehebatan malapetaka dalam bulan Mei tahun 1919 yang juga telah merenggut nyawa kakeknya, Sayang ia tidak berhasil menyelidiki dimana kakeknya itu tewas, dan dimana pula bekas rumah ledek yang membuat kakeknya tergila-gila. Malam hari, itu, lapat-lapat ia mendengar suara wanita menangis. Ketika ia membuka mata dan memperhatikan, ternyata olehnya bahwa Sriningsih yang menangis, perlahan-lahan akan tetapi cukup Menyedihkan. Tak lama tangis itu berhenti, lalu iapun pulaslah. Malam itu ia tidak bermimpi tentang NING seperti dimalam kemarin.

   Aneh sekali, ia sekarang bermimpi tentang Sriningsih yang menari dan bertembang sebagai ledek! Ia bermimpi tentang Sriningsih yang memikat hati kakeknya, sesuai dengan khayalnya disiang hari tadi. Memang, sikap Sriningsih tepat sekali kalau ia jadikan sebagai gambaran tokoh pemikat dalam roman-nya. Kiranya tidak akan jauh perbedaannya antara ledek yang menjatuhkan hati kakeknya dan Sriningsih yang sekarang agaknya, dan ia hampir yakin akan hal ini, berusaha pula menjatuhkan hatinya! Dalam mimpinya, Sriningsih menari-nari dengan gaya yang indah mempesona. Dan dia sendiri hadir disitu, malah tamu-tamu lainnya tiba-tiba lenyap meninggalkan dia seorang-diri disitu, menikmati tarian Sriningsih. Lirikan mata dan senyum itu seluruhnya ditujukan kepadanya. Sambil menari Sriningsih mendekatl tempat-duduknya, bibirnya yang manis berkomat-kamit,

   "Mas Har..., mas Haryanto..."

   Dan tanpa malu-malu lagi ledek Sriningsih itu menghampirinya, memeluk pinggangnya seperti diwaktu membonceng sepeda. Mulutnya berbisik-bisik dekat telinganya.

   "Mas Har..."

   Haryanto tersentak kaget. Serasa ada benda halus panjang melingkari lehernya. Seketika ia menyangka bahwa itu adalah ular, maka cepat ia membuka mata, napasnya sesak. Dan... Sriningsih sudah duduk dipinggir tempat tidurnya, duduk diatas dipan sambil meraba-raba lehernya!

   "Dik Ningsih... kau disini?"

   Ia berkata gagap dan bingung, tidak tahu apakah ia sudah sadar ataukah masih berada dialam mimpi. Sriningsih menangis terisak-isak, lalu... menjatuhkan diri menubruk Haryanto, meletakkan kepala di dadanya. Air mata yang menembus ke baju pijama yang membasahi kaus kutang dadanya, membuat Haryanto yakin bahwa ini bukan mimpi. Ini sungguh terjadi! Ia serentak bangkit dan duduk, membuka pelukan kedua lengan Sriningsih.

   "Dik... apa yang terjadi? Kenapa kau memasuki kamarku...?"

   "Oh, mas... mas Har... kau tolonglah aku mas... aku sudah tidak kuat lagi tinggal disini. Ibu selalu memusuhiku... selalu melarang keinginanku Mas... mas Har... kau bawalah aku pergi dari sini, aku ingin minggat saja...!"

   Sriningsih terisak-isak lagi, kini menutupi mukanya dengan kedua tangan. Pakaiannya tidak karuan, hanya berkutang dan kainnya kusut. Dibagian bawah, pada betisnya, kain itu terbuka. Mata pengarang yang dimiliki Haryanto dapat menduga bahwa semua itu disengaja oleh Sriningsih, siasat yang direncanakan lebih dulu! Tiba-tiba api panas yang tadinya mulai bernyala didalam dada dan seluruh tubuhnya, yang membuat ia hampir mata gelap dan yang mendorong keinginan hati ditunggangi hawa nafsu, lenyap seketika oleh pengertian ini. Ia bangkit berdiri turun dari dipan, Pandang matanya dingin, suaranya juga dingin.

   "Dik Sriningsih, tidak baik semua ini, dik. Jangan membiarkan dirimu terbujuk setan. Kembalilah kekamarmu, tidurlah. Persoalanmu dengan ibumu dapat dibicarakan secara tenang besok hari."

   "Mas... mas Har... kau kasihanilah aku, mas"

   Sriningsih juga ikut turun dan masih nekat berusaha merangkul Haryanto. Ganda sedap mengharum yang keluar dari tubuhnya terang bukanlah hasil sisa minyak wangi pagi tadi, masih amat keras, tentu baru saja dipercikkan keluar dari botolnya. Haryanto menolak rangkulan Sriningsih.

   "Jangan, jangan kataku! Insaflah, jangan membiarkan diri kita tergelincir kedalam jurang kehinaan. Kau pergilah tidur."

   "Tidak, mas... kau harus membawaku pergi... aku... ah, mas Har. Tidak kasihankah kau kepadaku? Tidak cintakah..."

   "Hush, diam! Tak malukah kau, dik?"

   Haryanto mulai mengkal hatinya. Mendengar suara dan melihat sikap ini, Sriningsih undur selangkah. Mukanya menjadi merah padam dan dengan isak tertahan ia keluar dari kamar itu. Haryanto melihat jam tangan yang diletakkan diatas meja kecil. Sudah jam dua, lewat tengah malam! Sampai pagi ia tak dapat pulas lagi, hatinya gelisah.

   Aku harus pergi dari sini. Harus. Kalau dilanjutkan, ia ragu-ragu apakah pertahanannya akan cukup kuat. Seluruh tubuhnya sudah menggigil dalam perjuangannya menghadapi peristiwa tadi. Bukan main. Serasa terdengar bunyi detak jantungnya. Hampir saja ia tidak kuat menahan tadi, dan Haryanto meramkan mata, ngeri kalau membayang apa yang akan terjadi andaikata ia tidak kuat menahan. Ketika ia meramkan mata, aneh sekali, ia teringat kembali akan dongeng tentang kakeknya. Seperti itu pulakah ledek itu membujuk-rayu kakeknya empat puluh tujuh tahun yang lalu? Ia tidak terlalu menyalahkan kakeknya kalau begitu. Tidak mengherankan kalau seorang laki-laki jatuh oleh bujuk-rayu seperti yang baru ia rasakan tadi. Dan Haryanto merasa bersukur, diam-diam ia mengucap terima kasih kepada Tuhan dan mohon perlindungan, mohon kekuatan agar ia dapat melawan godaan maha dahsyat itu.

   * * *

   "Mas Har, kau... kau maafkan aku, ya?"

   Ucapan lemah-lembut yang dikeluarkan dari mulut Sriningsih ketika gadis ini menghidangkan kopi dan pengan pagi-hari itu mengusir ketidak-senangan hati Haryanto.

   
Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia hanya mengangguk dan merasa kasihan juga melihat betapa sepasang mata bening itu memandangnya penuh permohonan, penuh kedukaan, dan melihatbetapa sepasang pipi yang bulat itu kemerah-merahan karena jengah dan malu. Ia hanya mengangguk sepenuh hati, tanda bahwa ia maafkan, tak dapat ia mengeluarkan kata-kata karena menghadapi hal demikian ini, kata-kata apa yang harus ia keluarkan?

   "Dan kau tidak akan pergi meninggalkan kami..? Takkan pergi sebelum selesai pekerjaanmu?"

   Lemah-lembut dan penuh penjesalan, penuh harapan dara itu. Semalam Haryanto sudah mengambil keputusan harus pergi meninggalkan rumah itu. Sekarang keputusan ini buyar menipis. Pekerjaannya memang belum rampung dan andaikata ia pergi, kemanakah? Bermalam dirumah orang lain? Ah, kiranya tak perlu sejauh itu tindakannya. Lagipula, ia merasa malu kalau disangka melarikan diri, takut menghadapi Sriningsih. Bukankah hatinya kuat? Ia merasa kuat, apalagi sekarang ia sudah punya pegargan. Ia tidak boleh mengulangi peristiwa yang menimpa kakeknya. Pula, ia sudah dapat membedakan bahwa Sriningsih jauh bedanya dengan NING-nya. Seperti bumi dengan langit. Bukan gadis macam Sriningsih dikehendaki hatinya, yang dikehendaki hati ibunya, hati neneknya.

   "Mengapa aku pergi? Kalau kau dan ibumu masih membolehkan..."

   "Tentu saja boleh. Mas Har, kau memang orang mulia!"

   Dan lenyap awan kedukaan dari wajah Sriningsih. Senyum manisnya muncul kembali. Pagi itu Sriningsih tidak berani rewel minta ikut pergi. Haryanto pergi seorarg diri. Disebuah dusun Manding ia bertemu dengan seorang kakek, Pak Bunaris namanya. Seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun. Jadi sudah mengalami berkali-kali letusan Gunung Kelud karena memang selamanya ia tinggal didaerah Kelud. Ia mengalami bencana Kelud ditahun 1901 tahun 1919, 1951. Senang sekali Haryanto mendengar penuturan kakek tua ini. Banyak hal diketahuinya, teristimewa tentang Gunung Kelud sendiri, tentang "watak-watak"

   Nya seperti yang dikatakan oleh Pak Bunaris itu. Sajangnya, Pak Bunaris tidak mengenal kakeknya.

   "Seingatku, letusan tahun 1919 itulah yang paling hebat,"

   Demikian antara lain Pak Bunaris bercerita.

   "Dusunku terbenam lahar, semua rumah hanyut oleh lahar atau hancur, hanya belasan buah saja yang tidak roboh. Sebagian besar penduduknya tewas. Aku sendiri lari mengungsi ke Gunung Pegat."

   Banyak ia bercerita tentang kejadian yang mengerikan itu. Akan tetapi yang paling berkesan bagi Harianto, yang membuat bulu-romanya meremang adalah kata-kata kakek yang diucapkan dengan suara parau dan dalam,

   "Sekarang sudah mulai terasa olehku, Kelud akan mengamuk lagi..."

   "Ah, jangan main-main, pak."

   "Sudah terasa olehku... sudah terlalu sering aku mengalaminya... sekarang terasa olehku, oleh tulang punggungku..., tak lama lagi..."

   Ketika sorehari itu ia kembali kerumah Bu Waluyo, Haryanto masih teringat akan ucapan kakek itu. Terngiang terus ditelinganya,

   "Tak lama lagi, sudah terasa oleh tulang-punggungku... Kelud akan mengamuk..."

   Ah, dia perduli apa akan segala macam tahyul? Apalagi, andaikata Kelud meletus lagi, sekarang tidak perlu ditakuti benar. Pengetahuan modern telah banyak menolong, penjagaan telah diadakan, Usaha-usaha untuk mencegah bencana sudah pula diadakan. Bukankah menurut keterangan yang ia peroleh, telah banyak sekarang dibuat terowongan-terowongan penyalur lahar yang langsung menuju ke sungai-sungai? Tak mungkin Kelud meletus lagi sehebat ditahun 1919. Mengapa khawatir? Dirumah ia disambut oleh Sriningsih dan ibunya. Bu Waluyo masih bersikap biasa, ramah-tamah. Hanya Sriningsih yang agak berbeda. Senyumnya,d ipaksakan dan kali ini Haryanto melihat betapa sinar duka membayang lebih jelas diwajah ayu itu.

   Iapun tidak banyak mengajak mereka bicara. Setelah makan malam ia segera memasuki kamarnya untuk memeriksa hasil catatan-catatannya siang tadi. Sudah hampir lengkap catatan-catatannya. Sehari lagi saja sudah cukuplah., Gambaran-gambaran tentang tokoh-tokohnya dalam roman itu sudah ada pula. Dalam sebuah roman, cukup sepasang tokoh baik dan sepasang tokoh jahat sebagai lawan atau imbangannya. Tokoh baik sudah ia dapatkan. Siapa lagi kalau bukan NING-nya? Prianya mudah, seperti biasa untuk tokoh pria terbaik ia dapatkan dalam diri sendiri. Siapakah yang lebih baik daripada dirisendiri? Sebagai tokoh-lawan dari NING-nya, sudah ada pula. Sriningsih tepat menduduki peran tokoh itu. Tokoh prianya? Ini yang belum, tapi bisa ia "ciptakan"

   Dalam khayalnya. Dengan bahan-bahan catatan ini ia akan dapat merangkai sebuah, roman dirumah nanti.

   Malam itu kembali Haryanto gelisah tidurnya. Peristiwa malam kemarin masih amat mengganggunya. Seperti juga malam-malam kemarin, ia mendengar Sriningsih berisak-tangis. Tapi kenapa tidak dikamar sebelah. Kali ini suaranya terdengar dari belakang, hanya sayup sampai. Haryanto bangun perlahan. Jam tangan di meja menunjukkan pukul setengah dua belas. Ia tak perlu perdulikan dara itu, tapi suara orang berbicara membangkitkan perhatiannya. Ada suara laki-laki terdengar. Perlahan diturunkannya kedua kaki kelantai tanpa ia sadari sendiri, ia telah berindap-indap keluar kamar menuju kebelakang. Pintu belakang terbuka sedikit dan makin dekat ia dengan pintu itu, jelas terdengar percakapan orang yang agaknya duduk atau berada dibelakang rumah. Isak-tangis Sriningsih juga terdengar jelas.

   "Tidak perduli!"

   Terdengar Sriningsih berkata antara isaknya.

   "Tak perduli semua alasanmu, Karto.! Kau harus bertanggungjawab. Aku mengandung..., dengar kau? Aku mengandung dan kau yang bertanggungjawab! Aku mengandung, mengerti kau artinya ini? Hanya ada dua jalan bagiku, mengawiniku atau... aku mati saja..."

   Sriningsih menangis tersedu-sedan. Haryanto berdiri terpukau dibelakang pintu itu. Serasa berhenti jantungnya mendengar ini.

   "Sri, kekasihku yang manis, Kau tahu betapa akan senangnya hatiku untuk mengawinimu. Akan tetapi kau tau sendiri keadaanku. Untuk makan saja sudah sukar, bagaimana aku bisa mengawinimu? Darimana aku memperoleh uang untuk biayanya?"

   "Tak perduli kataku, tak perduli! Biar kau merampok, biar kau maling, tak perduli. Pokoknya kau harus mengawiniku, kau harus bertanggungjawab terhadap diriku. Mas Karto, kau yang membujuk-bujukku... kau yang membikin aku celaka..."

   Tangisnya makin sedih.

   "Aaahhh..."

   Suara laki-laki itu, suara Karto, terdengar tak sabar.

   "Tak perlu lagi cela-mencela, salah menyalahkan. Aku membujukmu, kaupun merajuku. Kalau mau bicara tentang kesalahan, kita berdua salah. Aku bukannya tidak mau bertanggungjawab, akan tetapi kawin denganmu? Apa untuk biaya?"

   "Tak perduli...!"

   "Dengar baik-baik, Sri. Pengarang itu... kenapa kita tidak menggunakan dia? Kau pikat dia, pergunakan kecantikanmu, bersikaplah manis. Satu kali saja dia jatuh, sekali saja ia mengganggumu, nah..."

   "Kau bajingan!"

   Sriningsih memaki.

   "Kau hendak menimpakan tanggungjawabmu kepada pundak orang lain? Pengecut!"

   "Husshh, bukan begitu maksudku. Bodoh kau, Sri. Kalau tidak terpaksa, masa aku rela membiarkan kau disentuh laki-laki lain? Maksudku ini sebagai siasat. Kalau berhasil, satu kali saja dia tidur denganmu, nah..., kita bisa ancam dia, Dia pemuda kota yang kaya mana berani mempertanggungjawabkan aib yang menimpa dirinya? Tinggal kau yang memilih, bisa memaksa dia untuk mengawinimu atau... aku tetap hendak mengawinimu asalkan dia itu menanggung semua biaya"

   Laki-laki itu lalu berbisik-bisik, tak terdengar oleh Haryanto. Sampai lama baru terdengar suara Sriningsih perlahan,

   "Gampang saja kau bicara. Kiraku tak semudah itu..."

   "Siapa bilang sukar? Dengan wajahmu yang seperti bidadari ini, dengan tubuhmu yang menggairahkan, apa sukarnya? Dia kan hanya laki-laki biasa juga dan..."

   Haryanto tak mampu mengendalikan hawa-amarah yang mengamuk didadanya lagi. Ia membuka pintu dan meloncat keluar. Dilihatnya Sriningsih duduk di atas bangku rendah dan laki-laki itu itu berdiri didepannya

   "Keparat jahanam kau Karto! Kau seorang laki sudah berani berbuat, tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Kau hendak menjatuhkan fitnah keji kepadaku? Kau lebih rendah dan hina daripada anjing..."

   Gitar yang selalu berada didekat Karto itu menyambar kepala Haryanto. Pemuda ini waspada, mengangkat tangan kanan menangkis.

   "Prakkk!"

   Gitar pecah dan Haryanto terhuyung kebelakang. Karto melompat dan lari. Akan tetapi mana Haryanto mau membiarkan dia lari pergi? Dengan tigakali loncat Haryanto sudah berhasil menubruknya dari belakang. Keduanya roboh terguling. Sriningsih menjerit. Dalam gelap malam dua orang laki-laki itu bergumul. Haryanto berhasil menyeretnya berdiri, kemudian pemuda ini memukul. Duakali mengenai dagu dan kali mengenai dada. Ternyata Karto juga seorang laki-laki yang kuat. Tiga kali pukulan keras ini tidak merobohkannya, hanya membuat ia gelajaran. Dilain saat ia sudah berdiri kembali dan tangan kanannya sudah mengepal gagang sebuah pisau belati.

   la menerjang maju. Haryanto melihat berkilatnya mata pisau, cepat mengelak. Diserang lagi, mengelak lagi sambil menangkap tangan yang memegang pisau. Keduanya bersitegang, memperebutkan pisau. Otot-otot bekerja keras, napas mereka berdengus terengah-engah. Haryanto berhasil menggerakkan tangan memukul siku. Pisau belati terlepas dan lenyap dalam kegelapan. Tak sempat lagi mencari. Perkelahian dilanjutkan, tinju dan tendang berhamburan. Kadang-kadang Haryanto terkena pukulan dan, terhuyung-huyung, dan selalu saat ini dipergunakan Karto untuk melarikan diri. Namun kembali ia kena ditubruk dan kembali ia dipaksa melakukan perlawanan. Hebat perkelahian dalam gelap itu. Mati-matian dan samaa kuat. Mereka sudah tidak menggunakan taktik berkelahi lagi, sudah seperti dua orang hutan berkelahi. Dada rapat dengan dada, lutut dengan lutut.

   Memukul sekenanya, mencekik, memilin, menendang, membanting. Beberapa kali Sriningsih menjerit takut. Kaki kanan Karto berhasil menjegal kaki Haryanto, membuat pemuda itu roboh terlentang. Karto ikut terseret dan menindih tubuh Haryanto. Karto yang. sudah kesakitan dan matagelap itu memukuli muka Haryanto. Beberapa pukulan mengenai muka, tapi Haryanto tetap menangkis dan pada saat yang baik ia meronta, mengangkat kedua kaki keatas dan dapat membanting Karto dengan menjepit leher lawan dengan kakinya. Karto terpelanting, sebelum sempat berdiri, sebuah pukulan yang keras sekali dari tangan kanan Haryanto merobohkannya. Ia merintih, bergerak lemah, merajap bangun, dipukul lagi, roboh dan setiap kali hendak bangun dipukul lagi. Tak kuat lagi Karto.

   "Ampun..."

   Rintihnya.

   "Keparat!"

   Haryanto mendesis, mencengkeram leher baju lawan dan menariknya bangun.

   "Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau akan mengawini Sriningsih. Besok pagi juga!"

   "Tidak... tidak mungkin... tidak ada uang..."

   "Pengecut kau! Aku akan membantumu kalau uang yang. kau perlukan. Hayo berjanji, bersumpah!"

   Karto mengangkat muka, menjeringai menjemukan.

   "Kalau tadi kau katakan demikian, takkan terjadi perkelahian ini..."

   Ia terengah-engah.

   "Baiklah selambatnya besok lusa, ibuku tentu akan merundingkan hal ini dengan Ibu Waluyo. Aku berjanji... eh, bersumpah bahwa aku pasti akan mengawini dik Sri..."

   "Dengar kau, Karto. Aku tidak bisa mempercayai begitu saja omongan yang keluar dari mulutmu. Aku pengarang, tahu? Banyak hubunganku dengan surat kabar. Kalau kau melanggar janji, namamu akan masuk dalam surat-kabar, kau akan kuadukan kepada yang berwajib dan selain itu... aku akan mencarimu dan mengajarmu sampai kepalamu remuk oleh pukulanku. Dengar kau??"

   "Aku... aku tidak akan melanggar janji..."

   Haryanto mendorong tubuh bekas lawannya sampai terlentang, membalikkan diri dan meludahkan darah yang terasa asin dimulutnya, kemudian tanpa menoleh kepada Sriningsih yang menangis disudut ia kembali kedalam rumah dan langsung memasuki kamarnya. Hidung dan sudut bibirnya berdarah, disusutnya dengan saputangan dan ia membaringkan diri lagi diatas dipan, perlahan-lahan mengusir hawa amarah yang mendidih didalam dadanya. Malam ini lebih sukar lagi baginya untuk dapat tidur pulas. Terlalu hebat peristiwa itu mengguncangkan hatinya, akan tetapi juga memperkaja rangkaian roman yang sedang di khayalkan. Tokoh berachlak rendah sudah didapatinya dalam diri Karto. Ia mulai mempelajari watak dan pribadi tokoh ini.

   Yang membuat ia bingung adalah watak tokoh pemikat dalam diri Sriningsih. Begitu penuh dengan kepalsuan, sukar sekali diketahui bagaimana dasar tabiatnya. Dengan kecantikannya yang mempesona, Sriningsih tetap merupakan tokoh yang penuh rahasia baginya, yang aneh. Watak tokoh seperti Karto sudah dikenalnya. Dalam tulisan-tulisannya dahulu, untuk membuat cerpen-cerpen, banyak sudah ia mempelajari watak laki-laki seperti Karto ini. Karto seorang laki-laki yang suka akan seni-musik. Seniman selalu suka akan yang indah-indah, oleh karena inilah maka hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang seniman, termasuk pengarang, adalah seorang yang berjiwa romantis. Suka akan keindahan, terutama kembang dan wanita. Sudah barang tentu Karto tergairah oleh kecantikan dan keindahan tubuh Sriningsih. Siapa orangnya, asal dia laki-laki, tidak demikian?

   

Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini