Ceritasilat Novel Online

Geger Solo 3


Geger Solo Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Kau"

   Kau ingin memasuki rumahmu, dik?"

   Prayitno berkata untuk menghentikan tangis perempuan itu. Nuryati mengangkat muka, mengusap air mata yang membasahi pipi. Belum dapat ia mengeluarkan suara, hanya menggeleng keras. Matanya memandang ke kanan, ke arah yang dilalui air, mencari-cari matanya penuh harap, penuh cemas. Prayitno menunggu saja, tak kuasa bicara, hatinya penuh keharuan dan ia merasa kuatir kalau-kalau mengeluarkan kata-kata yang bukan menghibur, malah menambah perih hati Nuryati.

   """"

   Aku".. hendak mencari ke sana". mas."

   Lumpur mengeluarkan bunyi ketika Nuryati menarik keluar kakinya dan melangkah perlahan-lahan menuju ke kanan. Tempat yang tadinya merupakan jalan kampung itu sekarang berubah menjadi sungai kecil atau selokan yang penuh lumpur. Matanya mencari-cari, ke kanan kiri. Tiba-tiba ia menjerit ketika matanya menoleh ke kiri. Prayitno cepat memandang. Kiranya bangkai seekor anjing, bangkai yang sudah membengkak, perutnya ke atas, lalat merubungnya, baunya busuk sekali. Sejenak keduanya memandang bangkai itu, kemudian Nuryati menutupi muka dengan kedua tangan. Aa lumpur melekat di tangannya sehingga mukanya sekarang berlumur lumpur pula, tak diperdulikannya. Ia terisak menangis.

   "Yanto""

   Aduh Yanto"""

   Prayitno menelan ludah, matanya yang panas ditahan-tahannya. Ia maklum akan apa yang dibayangkan wanita ini ketika melihat bangkai anjing. Ia sendiri tidak berani membayangkan lebih jauh, membayangkan hal yang bukan-bukan. Mudah-mudahan saja, ya Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga saja Iryanto itu dapat tertolong orang lain. Demikian pula Sukardi. Diam-diam Prayitno berdoa di dalam hatinya. Nuryati berjalan terus, terus menjelajahi kampung itu. Dengan mata mencari-cari, mata yang kosong, mata yang agak kemerahan, yang jarang berkedip. Beberapa kali Prayitno membujuknya supaya pulang saja.

   "Percuma dik, tak usah dicari. Kalau mayat mereka tidak ada, itu hanya berarti bahwa mereka masih hidup, tertolong orang lain, jangan kau membayangkan yang bukan-bukan"."

   Mendadak muka itu menoleh kepadanya, pandang mata penuh harap, bersinar-sinar.

   "Betul begitu, mas".?"

   Pandang mata itu penuh selidik, akhirnya dapat menangkap sinar penuh ibat itu di mata Prayitno.

   "Ah, kau hanya menghibur".., mana bisa mereka tertolong".? Kak Kardi"., Yanto setidaknya perlihatkanlah mayat-mayatmu kepadaku"."

   Dan dia berjalan terus, terus, sampai akhirnya menjelang senja ia tak kuat lagi, roboh pingsan dalam rangkulan Prayitno. Untuk kedua kalinya Prayitno memeluk tubuh perempuan ini. Akan tetapi sekarang ia kaget sekali. Tubuh ini terlalu panas. Terlalu panas buat orang sehat. Napasnya sengal-sengal pula. Kasihan"

   Penyelidikan Prayitno tentang diri Rahmanto hanya menghasilkan keterangan bahwa pemuda yang tinggi tegap itu memang seorang pemuda yang tidak mempunyai pekerjaan tertentu. Sekolah tidak, bekerjapun tidak. Kerjanya hanya dolan-dolan menghabiskan uang orang tuanya. Terkenal sebagai "jagoan"

   Di kampungnya, sebagai seorang pemuda yang suka berkelahi, suka menang sendiri. Di samping ini Prayitno amat tertarik ketika mengetahui bahwa akhir-akhir ini Rahmanto mempunyai banyak teman wanita yang cantik-cantik.

   Hari ini pergi ke rumah seorang gadis cantik ini, hari berikutnya ke rumah gadis cantik itu. Banyak gadis-gadis cantik dikunjungi rumahnya, semuanya tinggal di daerah banjir, dan semuanya termasuk orang-orang tua para gadis itu selalu menerimanya dengan ramah tamah. Dalam penyelidikannya, Prayitno mengetahui bahwa para gadis itu adalah korban-korban banjir yang pernah ditolong oleh Rahmanto. Termasuk juga Ningsih yang agaknya menjadi gadis yang paling diistimewakan oleh Rahmanto, buktinya paling sering didatangi rumahnya.

   "Hemmm, beginilah sebenarnya maksudnya menolong gadis-gadis cantik. Agar dianggap pahlawan oleh keluarga para gadis itu. Hemmm, tergolong seorang Don Yuan!"

   Pikir Prayitno dengan hati mengkal. Hari Minggu, empat hari semenjak banjir, Prayitno mengunjungi rumah Ningsih. Rumah gadis itu sudah bersih kembali, sungguhpun masih ada bekas-bekas banjir menggarisi tembok rumah di bawah genteng dan beberapa bagian tembok tampak batanya. Ningsih menyambut kedatangannya dengan kening berkerut.

   "Bagaimana, Ning. Kan selamat semua, to?"

   "Kalau tidak ada orang lain menolongiku, kiranya takkan selamat,"

   Jawab Ningsih dengan suara kering.

   "Mas No, kenapa baru sekarang kau muncul? Eh, kudengar kau menolongi seorang perempuan muda yang kehilangan anak. Orangnya cantik betul kata orang!"

   Merah muka Prayitno.

   "Sudah menjadi tugasku menolong siapa saja yang perlu ditolon, Ning. Mana ayah ibumu? Kan tidak apa-apa semua?"

   "Tidak. Duduklah, tapi kursinya masih kotor."

   Ningsih nampak tidak mengharapkan kedatangan Prayitno, beda dari biasanya. Dan Prayitno juga tidak begitu menghiraukan akan sikap ini karena dia sedang amat tertarik melihat sebuah cincin berlian mata tiga di jari manis kiri Ningsih. Belum pernah ia melihat cincin itu di jari manis Ningsih.

   "Aduh, bagus sekali cincinmu, Ning!"

   Ia pura-pura memuji, teringat akan perincian barang-barang perhiasan hilang yang diberikan oleh nyonya berumah loteng. Rumahnya tak jauh dari situ, di luar kampung dekat jalan besar. Ningsih menarik muka bangga dan menatap jari manisnya.

   "Tentu saja bagus, berlian tulen sih!"

   Katanya membangga dan genit. Memang Ningsih agak genit, kenes seperti biasanya gadis remaja.

   "Waduh, tentu mahal harganya. Pemberian ayahmu, Ning?"

   Mendadak wajah gadis itu merah sekali.

   "Mas No, aku hampir saja mati ketika getekku terbalik. Untungnya ada seorang pemuda yang menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya. Dia baik sekali, mas. Malah"

   Cincin inipun pemberian daripadanya. Nanti kan dia datang, mas. Kukenalkan, ya?"

   "Hemmm, namanya Rahmanto, bukan?"

   Terbelalak mata Ningsih memandangnya.

   "Lho, kok tahu? Sudah kenalkah?"

   Prayitno hanya mengangguk sambil tersenyum.

   "Sebentar aku kembali, Ningsih. Aku ada perlu sedikit, penting sekali. Sebentar aku kembali, ya? Kita bisa mengobrol. Sudah rindu aku padamu, lho."

   "Kalau aku pergi kau duduk saja menunggu pulangnya ayah. Aku". aku sudah ada janji hendak ke Sriwedari, kok."

   Akan tetapi Prayitno agaknya tidak memperhatikan ucapan ini, terus saja pergi dengan langkah lebar. Betapa herannya hati Ningsih ketika lima menit kemudian Prayitno sudah berada kembali di ambang pintu rumahnya.

   "Lho, kau sudah kembali, mas No?"

   "Ya, Ning. Aku ingin sekali melihat cincinmu sebentar. Boleh, kan?"

   Ningsih tersenyum, meloloskan cincin yang agak kebesaran itu, lalu memberikannya kepada Prayitno.

   "Sebentar ya Ning, hendak kuperlihatkan kepada orang."

   Ia berjalan keluar, diikuti oleh Ningsih yang menjadi makin terheran dan mengerutkan alisnya. Ternyata bahwa di luar rumahnya berdiri seorang nyonya Tionghoa dan Prayitno memberikan atau memperlihatkan cincin bermata tiga itu kepada nyonya tadi. Nyonya itu begitu melihat lalu mengangguk dan wajahnya berseri gembira.

   "Nyonya sudah tahu kantor pamanku. Harap beritahukan paman, minta supaya datang ke sini,"

   Kata Prayitno kepada nyonya itu. Cincin itu dibawa oleh nyonya tadi.

   "Eh, mas No. Apa artinya ini? Mana cincinku? Kenapa dibawa nyonya itu?"

   Prayitno memegang lengan Ningsih dan menarik gadis itu duduk di ruangan depan.

   "Duduklah, Ning. Duduk baik-baik dan dengarkan kata-kataku."

   Ningsih agak pucat. Ia tidak dapat menduga apa yang terjadi, akan tetapi hatinya tidak enak.

   "Ning, ketahuilah bahwa teman barumu itu, Rahmanto itu, dia".. dia seorang penjahat, seorang pencuri".. dan".."

   "Bohong"..!!"

   Ningsih serentak bangkit berdiri, matanya bersinar-sinar, wajahnya merah.

   "Mas Rahmanto orang baik-baik. Mas No, jangan kau mengeluarkan fitnah yang bukan-bukan. Kau malah yang hendak menipu dan mengambil cincinku"."

   "Ning, dengarlah baik-baik ceritaku. Ketika banjir itu".."

   "Dia yang menolongku, bukan engkau! Aku tidak mau mendengarkan".!"

   "Ningsih!"

   Prayitno membentak. Dia sayang kepada Ningsih, ingin menyelamatkan gadis remaja yang menarik simpati dan kasihnya ini dari tangan seorang jahat. Pada saat itu terdengar suara sepatu diluar rumah. Seorang pemuda ganteng dan gagah memasuki pekarangan.

   "Hallo, Ning-ku yang manis. Kau lagi apa?"

   Pertanyaan ini terdengar amat manis. Wajah Ningsih memerah.

   "Oh, mas Rahmanto. Baru ada tamu, mas. Mari-mari kuperkenalkan!"

   Pemuda tinggi tegap itu memandang kepada Prayitno dengan muka tak senang. Alisnya yang tebal bergerak-gerak menyatakan kekecewaan hatinya. Dia diam saja sambil menatap wajah Prayitno. Di lain fihak Prayitno juga hanya menatap dengan mata penuh selidik.

   "Tamumu ini pernah kumelihatnya, Ning. Ketika aku menolongmu dulu. Bukankah begitu, bung?"

   Prayitno mengangguk, lalu berkata dengan suara berat,

   "Saudara Rahmanto, memang aku sudah pernah berjumpa denganmu. Malah aku sudah mengenalmu, mengenal baik-baik. Ada sedikit yang hendak kubicarakan denganmu, saudara."

   Rahmanto memandang penuh gemas.

   "Aku sudah berjanji hendak melancong dengan Ningsih. Tidak ada waktu."

   "Harus kauadakan, sekarang juga. Urusan penting!"

   Bantah Prayitno.

   "Lebih baik kita keluar saja, bicara di depan."

   Prayitno lalu melangkah keluar. Rahmanto marah. Dengan langkah tegap dan lenggang a la bintang filem, dia keluar mengikuti Prayitno.

   "Ada urusan apa? Aku tidak ada urusan dengan Hanra!"

   Suara ini mengandung nada mengejek dan memandang rendah, akan tetapi Prayitno tetap tenang. Hanya yang dikuatirkan ketika ia melirik ke arah Ningsih. Gadis remaja ini pucat dan ikut pula keluar, jelas kelihatan ketakutan.

   "Saudara Rahmanto, aku mau bicara tentang sebuah cincin mata tiga berlian yang kauberikan kepada Ningsih,"

   Kata Prayitno memancing. Ia memandang tajam, akan tetapi tidak melihat Rahmanto kaget. Benar-benar ulung dia, pikirnya.

   "Tentang cincin?"

   Rahmanto menengok dan melirik ke arah jari tangan Ningsih yang sudah tak bercincin lagi.

   "Apa hubungannya dengamu, saudara Prayitno? Aku mau memberi hadiah apapun juga kepada seorang gadis kekasih hatiku, kau perduli apa?"

   "Jangan mengoceh yang bukan-bukan!"

   Prayitno gemas sekali mendengar pemuda ini menyebut-nyebut Ningsih sebagai kekasih hatinya.

   "Pendeknya, kau harus mengaku terus terang. Dari mana kau memperoleh cincin mata tiga itu?"

   Kini Rahmanto nampak agak gelisah, kentara dari biji matanya yang liar bergerak ke kanan kiri. Akan tetapi ia segera membusungkan dadanya yang lebar dan bertolak pinggang.

   "Eh-eh, kau ini pangkatmu hanya menjadi Hanra, sombongnya bukan main! Ada hak apa kau bertanya-tanya tentang pemberianku kepada Ningsih?"

   Prayitno tetap waspada dan tenang.

   "Justeru setiap orang Hanra bertugas menjaga keamanan dan ketenteraman, mengikis habis segala macam bentuk kejahatan dan penipuan. Cincin itu adalah sebuah di antara perhiasan-perhiasan yang kau curi dari rumah orang, rumah bertingkat, ketika banjir dan"."

   "Keparat!"

   Rahmanto tiba-tiba menerjang maju, mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah muka Prayitno. Serangan yang tiba-tiba dan dilakukan cepat serta kuat ini membuat Prayitno terkena pukulan beberapa kali. Sekali pada bibirnya dan seketika darah mengucur keluar dari sebelah mulutnya, bibirnya pecah. Ningsih menjerit ngeri.

   Akan tetapi dua orang muda itu tidak memperdulikan keadaan di sekelilingnya. Mereka sudah berkelahi, saling pukul dengan penuh amarah. Rahmanto ternyata merupakan lawanyang amat kuat. Jelas kelihatan bahwa pemuda tegap ini pernah mempelajari ilmu pukulan tinju. Selain pukulannya keras dan cepat, juga tubuhnya amat kuat. Prayitno orangnya gesit, semangatnya bernyala-nyala, dan hatinya tabah. Akan tetapi beberapa kali pukulannya yang jatuh di tubuh lawan agaknya tidak begitu terasa oleh lawan. Beberapa kali Prayitno terkena tinju pada pangkal telinganya. Sekali amat kerasnya sampai topi Hanra-nya terlempar dan ia roboh dengan mata berkunang.

   "Modar kamu!"

   Rahmanto menubruk untuk mencekik lehernya. Prayitno masih bersikap waspada. Melihat lawanya menubruk bagaikan seekor harimau menerkam korbannya, Prayitno cepat mengangkat kaki kanannya ditendangkan ke arah lawan.

   "Ngekkk!!"

   Perut yang besar itu "termakan"

   Sepatu Hanra yang keras ujungnya. Mulut Rahmanto menyeringai kesakitan, kedua tangannya menekan perutnya yang tiba-tiba saja menjadi mulas. Selagi ia membungkuk-bungkuk menahan sakit, Prayitno sudah bangkit lagi dan sebuah pukulan keras pada dagu Rahmanto membuat jagoan ini terjengkang dan roboh. Namun, dia betul-betul kuat, juga sudah biasa berkelahi. Tidak seperti Prayitno yang memang tak pernah berkelahi mati-matian seperti ini. Kembali mereka bertanding. Cabik-cabik pakaian mereka, berpeluh muka mereka, akan tetapi belum juga ada yang kalah atau mau mengalah.

   Prayitno kalah kuat dan kalah biasa dalam perkelahian, akan tetapi dia memiliki modal yang amat besar, yaitu semangat perlawanan, dan menghadapi seorang penjahat, maka hatinya besar dan ketabahannya luar biasa. Sebaliknya Rahmanto nampak makin gelisah, kadang-kadang di waktu mereka memasang persiapan baru, matanya melirik ke kanan kiri ketakutan. Ningsih sudah tak pernah diliriknya lagi. Gadis remaja itu pucat ketakutan, berdiri menggigil di dekat tembok rumahnya. Dari jauh datang beberapa orang polisi berlarian. Rahmanto kaget dan nekat. Ia menerjang hebat ke arah Prayitno, membuat Prayitno terjengkang kena tendangannya. Akan tetapi sebelum sempat lari, dua orang polisi telah meringkus Rahmanto. Paman Prayitno muncul dan menolong Prayitno, diajak pulang. Rahmanto digelandang ke kantor polisi.

   (Lanjut ke Jilid 03 - Tamat)

   Geger Solo (Banjir Bandang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03 (Tamat)

   Sampai lima hari Nuryanti sakit demam panas, tak dapat turun dari tempat tidur. Ia mengigau terus menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya. Kakek Setro yang merawatnya dengan telaten dan sabar. Seringkali orang-orang mendengar kakek ini bicara banyak-banyak di dalam kamar Nuryati. Kakek ini berusaha benar-benar untuk menghidupkan semangatnya, menghidupkan hatinya yang telah mati bersama suami dan puteranya. Ucapan yang paling dalam menggores di lubuk hati Nuryati adalah seperti berikut,

   "Nak Nur, manusia hidup memang seperti anak wayang. Ki Dalanglah yang memegang kekuasaan tertinggi dan mutlak. Kita sebagai anak wayang tinggal menjalani saja. Kewajiban kita sebagai manusia, di samping menerima perinah dan mentaati kehendak Ki Dalang, juga harus selalu menjaga agar amal perbuatan kita tidak menyeleweng dari pada kebenaran dan kebajikan. Kau memang sudah ditakdirkan menerima penderitaan batin ini, akan tetapi di samping penderitaan batin, kaupun telah berhutang budi kepada Prayitno!"

   "Memang mas Yitno baik sekali, semoga Tuhan melindunginya,"

   Nuryati berbisik, menjawab kata-kata yang panjang dari kakek itu.

   "Tak cukup dengan mendoakan saja, nak Nur,"

   Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Hidupmu yang lalu memang buruk nasibnya. Anggaplah saja bahwa hidup yang lalu itu sudah tamat dan sekarang kau memulai hidup baru lagi. Hal pertama-tama yang kau harus ingat adalah membalas budi. Prayitno juga seorang yang sudah patah hati, gagal dalam pernikahan. Akan tetapi, aku yakin akan hal ini, dia jatuh cinta padamu. Dia mencintamu dengan segenap jiwa raganya, nak. Dan aku tahu pula, sudah kehendak Ki Dalang bahwa kau akan memasuki hidup baru bersama Prayitno, dua orang mahluk yang sudah banyak menderita dari pada penghidupan lalu memasuki kehidupan baru yang penuh kebahagiaan."

   "Ah, eyang"."

   Kakek Setro lalu bercerita banyak-banyak tentang Prayitno, dengan kata-katanya yang lincah kakek ini mendobrak dan membuka dengan paksa hati wanita muda itu untuk menerima kasih yang ia bayang-bayangkan, kasih sayang seorang pria budiman seperti Prayitno. Tapi, demikian Nuryati meragu, dapatkah aku melupakan kak Kardi dan Yanto? Tak mungkin""

   Tak mungkin"! Tapi, kembali dia meragu, kalau aku menolak mas Prayitno dan merusak hatinya, bukankah ini membalas budi kebaikan dengan pengrusakan? Apakah ini bukan berarti menambah-nambah dosa saja?

   "Ya, Tuhan, lindungilah hamba-Mu yang tak berdaya, tunjukanlah jalan yang benar"""

   Diam-diam Nuryati berdoa di dalam hatinya. Dan pada hari berikutnya ia tanpa disengaja (atau mungkin disengaja oleh kakek Setro), mendengar percakapan antara kakek itu dan Prayitno di belakang rumah.

   "Percayalah, Yitno. Aku kakekmu, sudah lebih matang dari padamu. Kau akan berbahagia kalau kawin dengan Nuryati, seorang isteri yang cocok sekali untukmu. Diapun akan terobat hatinya. Watak kalian cocok sekali."

   "Tapi, eyang"."

   "Apa kau tidak kasihan kepadanya, Yitno?"

   "Tentu saja, eyang. Saya amat kasihan melihat dik Nur"."

   "Apa kau tidak suka kepadanya? Kau pernah memuji dia amat manis."

   "Memang aku suka kepadanya, dan sukar mencari jodoh seperti dia""

   "Nah, apa lagi?"

   "Jenazah suami dan anaknya belum pernah didapatkan orang, eyang. Setiap kali ditemukan seorang korban, saya selalu datang ke rumah sakit untuk melihat apakah dia itu bukan suami atau anak dik Nur. Sampai sekarang belum ada beritanya. Bagaimana".. bagaimana kalau suaminya masih hidup kelak?"

   "Ah, tak mungkin! Kalau masih hidup masa tidak mencari isterinya? Sudahlah, kau jangan kuatir. Aku yang akan mengaturnya. Dia akan bahagia, hemm, aku girang sekali, dia akan bahagia kembali". dia seperti eyangmu puteri".."

   "Tapi, eyang. Saya yang menolong dik Nur". kalau kemudian dia menjadi isteriku, apa akan kata orang-orang? Mereka akan samakan saya dengan Rahmanto yang menolong wanita cantik dengan pamrih"."

   "Kau berbeda dengan penjahat itu! Orang akan dapat menilainya sendiri, yang becik ketitik yang ala ketara! Orang yang dapat membedakan mana emas murni mana tembaga sepuhan."

   Nuryati tak kuasa mendengarkan lebih lanjut. Ia menutupi telinganya dengan bantal. Hatinya berdebar tidak karuan.

   
Geger Solo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah akan diterimanya kasih sayang Prayitno? Apakah akan dimulainya lagi lembaran baru dalam sejarah hidupnya? Akan ditutup begitu saja sejarah hidup bersama Sukardi dan Iryanto? Prayitno seorang laki-laki yang baik sekali, hal ini harus ia akui dan tak dapat disangkalnya. Seorang laki-laki yang tampan gagah, sopan dan berbudi mulia. Takkan kecewa menjadi isteri seorang seperti Prayitno. Akan tetapi bagaimana mungkin ia dapat menghapus bayangan Sukardi dan Iryanto dari lubuk hatinya dalam waktu sesingkat itu?"

   Prayitno tak pernah menghentikan usahanya mencari jejak Sukardi dan Iryanto. Malah pamannya juga membantunya dan hal ini malah sudah berada di tangan Polisi. Dua hari sesudah Rahmanto ditangkap, pada sore hati itu Prayitno tengah sibuk membersihkan rumah. Semua sudah pindah ke rumah sendiri. Nuryati juga ikut pindah ke situ atas desakan kakek Setro, ikut pula membersihkan rumah. Sore hari itu semua orang beristirahat sesudah mandi. Prayitno tengah sibuk sendirian di depan, dia belum mau beristirahat. Dia mencangkuli lumpur yang mengering, meratakannya di halaman rumah. Tiba-tiba terdengar panggilan dari luar pagar,

   "Mas No"."

   Prayitno melepas paculnya.

   "Eh, kau Ningsih? Masuklah"."

   Akan tetapi Ningsih tidak segera masuk, menengok ke kanan kiri lalu menghampiri Prayitno.

   "Mas"."."

   Tiba-tiba saja air mata bercucuran. Gadis remaja itu berdiri dan menutupi muka dengan saputangannya, pundaknya bergerak-gerak tanda bahwa ia terisak menangis. Prayitno menarik napas panjang, menarik lengan tangan Ningsih dan mengajak duduk di ruangan depan. Kebetulan semua orang sedang berada di belakang dan tempat itu sunyi. Setelah Prayitno duduk, Ningsih segera berkata sambil sesenggukan,

   "Mas No". Kau tidak marah padaku, mas"."

   Sukakah kau mengampuniku".?"

   "Aku tidak marah, Ning, dan apakah yang harus diampunkan? Kau tidak bersalah".."

   "Mas". aku seperti telah buta. Mudah tertipu". tadinya kukira". penjahat itu seorang". seorang pahlawan". seorang satria".. tak tahunya penjahat besar. Baru dia mengaku bahwa". dialah yang menggulingkan perahu kami dahulu". ah, alangkah bodohku, mas. Aku".. aku malah pernah menyatakan"""

   Cinta"""

   Ningsih tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya.

   "Sudahlah, Ning. Memang seorang gadis remaja seperti kau ini mudah sekali termasuk perangkap cinta kasih. Bukan salahmu"."

   "Mas No".. dulu kau amat sayang padaku".mas, masih"

   Masih adakah perasaan itu? Ataukah". cinta kasihmu sudah berpindah kepada"

   Kepada". janda itu".. dan kau tidak mencinta aku lagi, mas?"

   Prayitno tersenyum. Hampir ketawanya meledak. Alangkah ringan dan mudahnya istilah cinta kasih dan asmara keluar dari mulut gadis-gadis remaja sepantar Ningsih ini. Seakan-akan cinta kasih hanyalah permainan-permainan belaka, seperti bedak dan gincu. Alangkah ringannya, menjadi tak berarti sama sekali cinta kasih yang suci dan mendekati persoalan rohani ini kalau sudah diucapkan oleh seorang gadis remaja sebaya Ningsih.

   "Mas No". jawablah, mas. Masih adakah harapan bagiku".? Masih akan terbukakah hatimu untukku?"

   Kembali Prayitno tersenyum. Seperti kata-kata nyanyian sekarang, yang seringkali ia dengar dari radio. Menggembirakan, ringan, dan selalu membawa-bawa cinta kasih, membuat perasaan suci ini seringan balon-balon diisi hawa.

   "Ning, berapa usiamu, Ning?"

   Ningsih tersentak kaget dan heran.

   "Delapan belas". Hampir sembilanbelas"."

   Dengan senyum di bibir Prayitno berkata halus.

   "Marilah kita bicara lagi kelak tentang kau dan aku setelah kau berusia duapuluh, manis. Sudah, hapus air matamu, jangan menangis lagi."

   Prayitno dan Ningsih tidak tahu bahwa Nuryati menyelinap pergi dari balik daun pintu, memasuki kamar dengan muka pucat, lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan, menutupi tangisnya dengan bantal.

   "Aduh, kak Kardi". ampunkan Nur, kak". hampir saja Nur tersesat". hampir saja Nur membuat dosa lebih besar lagi. Hampir merenggut kesetianku sebagai isterimu, kak Kardi, dan merenggut cinta kasih seorang gadis terhadap ma Yitno""

   Demikian ratap tangisnya. Semalam suntuk Nuryati tidak tidur, hanya menangis tanpa mengeluarkan suara. Tengah malam ia menulis secarik kertas di atas meja dengan air mata bercucuran. Menjelang subuh, begitu ayam mulai berkokok, dengan hati-hati dan perlahan-lahan Nuryati membuka pintu samping dan pergi meninggalkan rumah Prayitno. Begitu tiba di jalan, ia berjalan cepat seperti orang berlari-lari.

   "Kak Kardi".. Yanto"tunggulah aku, tempatku di sisi kalian". Tunggulah".!"

   Bagaikan orang gila Nuryati berjalan cepat-cepat di pagi buta, menuju ke""

   Bengawan Solo. Di sebelah jembatan Jurug ia menuruni jalan menuju ke taman Bengawan Solo yang sunyi dan masih gelap. Ia melihat beberapa gerobak berjalan perlahan di atas jembatan, maka ia memilih taman yang gelap dan sunyi itu. Di lain saat ia telah berada di tepi Bengawan Solo yang masih banyak airnya, air kuning kemerahan yang mengalir tenang, sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas amukannya yang dahsyat di kota Solo. Kalau masih ada bekasnya, itu hanyalah baunya yang busuk seperti bau bangkai. Seperti patung Nuryati berdiri di tepi Bengawan Solo. Dari bibirnya yang bergerak-gerak keluar suara memanggil-manggil, memanggil nama Sukardi dan Iryanto, berkali-kali.

   "Kak Sukardi suamiku"., Iryanto anakku".., tunggulah". aku akan menyusul kalian"..! Bengawan Solo, kau telah merenggut orang-orang yang kucinta di dunia ini, terimalah aku pula".. jangan berlaku kepalang tanggung"..!"

   Nuryati sudah siap meloncat ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ketawa menyeramkan. Biarpun Nuryati sudah nekat hendak membunuh diri di Bengawan Solo, mendengar suara ketawa ini meremang bulu tengkuknya. Apakah benar-benar iblis Bengawan Solo yang hendak menjawabnya? Dan suram-suram di antara kabut pagi kelihatan sebuah perahu kecil, didayung seorang laki-laki yang bernyanyi, suaranya keras dan serak, ganjil sekali bunyinya. Ia bernyanyi lagu "Bengawan Solo"

   Dengan nada yang ganjil.

   "Bengawan Solo, riwayatmu ini,

   Sedari dulu jadi perhatian insani

   Musim kemarau, tak berapa airmu,

   Di musim hujan air meluap sampai jauh

   Mata airmu dari Solo,

   Terkurung Gunung Seribu,

   Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.

   Itu perahu, riwayatmu dulu,

   Kaum pedagang slalu melintas naik perahu"

   Setelah lagu ini habis dinyanyikan dengan ganjil, orang itu tertawa lagi terbahak-bahak. Sementara itu perahu yang sudah dekat dengan tempat di mana Nuryati berdiri. Wanita ini sudah berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

   "Kak Kardiii"..!"

   Pekiknya melengking tinggi tanda hatinya penuh kengerian karena Nuryati mengira bahwa penunggang perahu yang bernyanyi lagu Bengawan Solo itu tentu Kardi suaminya yang telah menjadi orang halus! Serta-merta ia meloncat dan terjun ke dalam air. Ia rela ditelan Bengawan Solo yang mendatangkan pelbagai malapetaka kepadanya itu. Suami dan anaknya tewas dihancurkan air bah Bengawan Solo. Air bah itu pula yang mempertemukan dia dengan Prayitno. Sekarang Bengawan Solo pula yang akan menerima tubuhnya, mengakhiri riwayatnya agar ia dapat berkumpul rohani dan jasmaninya dengan suami dan anaknya. Pekiknya yang mengerikan tadi terdengar oleh orang yang menunggang perahu. Orang itu serentak meloncat berdiri, matanya terbelalak dan orang itupun menjerit-jerit,

   "Nur"! Nuryati"..!!"

   Ketika dilihatnya tubuh Nuryati timbul di permukaan air, laki-laki itu meloncat ke air dan berenang secepatnya.

   "Nur".!"

   Nuryati mendengar panggilan ini segera memberi reaksi dengan kaki tangannya, badannya timbul. Mereka saling pandang di antara kegelapan kabut.

   "Kak Kardi".!"

   "Nur". ulah sieun, keun ku akang ditulungan. Aduh, banjir mani kacida hebatnya".! (Nur, jangan takut, biar kanda tolong. Waduh, bukan main hebatnya banjir ini".!)"

   Laki-laki tukang perahu itu yang ternyata memang betul Sukardi adanya, segera menarik tangan Nuryati dan menyeretnya ke pinggir. Mereka mendarat dengan selamat, saling peluk dan Nuryati yang sekarang baru yakin bahwa mereka masih hidup, memeluk, menciumi dan menangisi suaminya. Sukardi seperti orang yang baru saja terjaga dari pada tidurnya. Ia memandang ke kanan kiri, lalu ke air, kelihatan ngeri, lalu berkata perlahan.

   "Di mana ieu the""? Naha urang bisa aya didieu".? (Di mana kita ini? Mengapa kita bisa berada di sini"?) Nur". mana rumah kita? Mana Iryanto".?"

   "Kak Kardi".!"

   Nuryati memeluk lagi suaminya, menjatuhkan kepala di dada suaminya, menyembunyikan muka dan menangis terisak-isak.

   "Kak Kardi""

   Anak kita". ahhh"

   Kak Kardi".!"

   Tangisnya tak dapat ditahannya lagi, tersedu-sedulah Nuryati. Kardi mendekap kepala isterinya di dadanya, mengelus-elus rambut yang basah kuyup itu.

   "Tenanglah, Nur, dimana Iryanto"?"

   "Aduh, kak""

   Dia""

   Dia". hanyut"."

   Tiba-tiba Kardi merenggut tubuh Nuryati jauh-jauh dari tepi sungai, ia memandang ke arah air dengan ketakutan.

   "Tolong".. banjir". tolong!!"

   "Kak"..! Kak Kardi"", ingatlah"."

   "Toloonggg". aduh, bagaimana anak isteriku""

   Tolonggg"..!"

   Kardi meronta-ronta dari pelukan Nuryati, hendak lari, nampak ketakutan sekali. Nuryati memeganginya erat-erat sambil menangis. Pada saat itu, dari atas tebing turunlah Prayitno berlari-larian.

   "Dik Nur".!"

   "Mas Yit, tolonglah. Ini". ini suamiku". dia ". Ahh".!"

   Dengan bantuan Prayitno yang datang bersama kakek Setro, Kardi dapat ditenangkan, lalu dibawa ke rumah sakit. Menurut pemeriksaan dokter, Sukardi mendapat tekanan batin yang hebat, juga kepalanya terpukul sesuatu yang membuat ia mendapat gegar otak ringan. Sukur keadaannya tidak berbahaya. Biarpun Kardi sudah lupa dan tak dapat menceritakan pengalamannya, namun baik Nuryati maupun Prayitno dan kakek Setro dapat menarik kesimpulan bahwa tentu ketika menolong tetangganya, kepala Sukardi tertimpa sesuatu yang keras membuat ia bingung. Agaknya setelah dapat tertolong dari bahaya, Sukardi lupa akan keadaan dirinya dan setiap hari berkeliaran di sepanjang Bengawan Solo sambil bernyanyi-nyanyi lagu Bengawan Solo. Dengan setia Nuryati mengawani suaminya di rumah sakit. Hanya tiga minggu Sukardi dirawat di Rumah Sakit Kadipolo.

   Setelah sembuh dan mendengar cerita isterinya, ia merasa terharu sekali. berkali-kali ia menghaturkan terima kasihnya kepada Prayitno sekeluarga, terutama sekali kepada Prayitno. Sukardi sudah sembuh betul. Kedukaannya karena anaknya yang dikabarkan hilang itu agak terhibur karena ia dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan isterinya yang terkasih. Bersama isterinya ia lalu kembali ke rumahnya dan membersih-bersihkan rumah. Mereka nampak bahagia, hanya kadang-kadang saja kalau teringat kepada Iryanto, mereka bertangis-tangisan. Akan tetapi mereka bisa saling menghibur, saling membesarkan hati sehingga penderitaan hebat itu dapat mereka atasi. Bengawan Solo memang telah mendatangkan banyak malapetaka dengan banjir 16 Maret 1966 ini. Banyak macam cerita yang hebat-hebat. Kisah mengenai diri Nuryati inipun masih belum selesai.

   Dua minggu kemudian, Nuryati dan suaminya mendapat undangan khusus dari kakek Setro dan Prayitno. Katanya undangan ini untuk menghadiri pesta kecil menyembelih kambing untuk merayakan pertemuan kembali Nuryati dan Sukardi. Terharu hati Sukardi atas kebaikan ini. terutama sekali Nuryati. Makin kagum ia kepada Prayitno. Agaknya Prayitno akan memperlihatkan betapa dengan tulus ikhlas ia mengembalikan Nuryati kepada suaminya, tanpa disertai iri atau cemburu. Sepasang suami isteri itu datang ke rumah Prayitno dengan becak. Begitu turun dari becak, mereka disambul oleh Prayitno, kakek Setro, keluarga lainnya, malah di situ hadir pula". Puspaningsih! Gadis remaja riang gembira. Nuryati tersenyum bahagia melihat gadis ini. Diam-diam ia berdoa semoga kelak gadis remaja ini akan benar-benar dapat membahagiakan hidup Prayitno.

   "Dik Nur dan bung Kardi". saya mengucapkan selamat atas berkumpulnya kalian ini dan". saya dan kakek serta semua keluarga". eh".. eyang, tolong lanjutkan, eyang"."

   Prayitno tidak dapat meneruskan kata-katanya karenaorang muda ini telah menitikkan air mata yang diusapnya dengan kepalan tangannya! Nuryati dan Sukardi terheran-heran. Apalagi Nuryati. Apakah yang telah terjadi? Ia menengok ke kanan kiri dan menjadi makin heran melihat Ningsih juga menitikkan air mata, demikian pula ibu Gunawan. Pak Gunawan tunduk, nampak terharu tapi mulutnya tersenyum, tapi diam saja. Kakek Setro yang kini mengangkat dada maju menggantikan Prayitno.

   "Sebetulnya, hanya sedikit lanjutannya. Kami sekeluarga hendak mempersembahkan sesuatu kepada kalian berdua sebagai tanda bahagia. Dan". mari, silahkan kalian masuk dan ambil sendir hadiah kami itu"."

   Dengan terheran-heran, agak ragu-ragu dan tak enak hati, Nuryati dan suaminya memasuki ruangan dalam, diantar oleh kakek Setro, Prayitno dan yang lain-lain. Setelah memasuki kamar yang ditunjuk, Nuryati dan suaminya melihat sebuah pembaringan dan di atas pembaringan itu terdapat". Sebuah boneka besarkah? Ah, bukan, seorang anak kecil. Nuryati terbelalak, lari maju diikuti suaminya.

   "Iryanto".!! Ya Tuhan".. Ya Tuhan Yang Maha Agung".. Iryanto anakku"..!!!"

   Seperti gila Nuryati menubruk dan memeluk anak itu yang terjaga dari tidurnya dan agak ketakutan, terus memeluk leher ibunya.

   "Iryanto".. anaking (anakku)". kau masih hidup". terima kasih, Tuhan".., ha-ha-ha, Iryanto masih hidup".!"

   Sukardi menari-nari dan meloncat-loncat kegirangan, tertawa-tawa dengan air mata bercucuran, lalu mengambil anak itu dari gendongan ibunya, terus diciumi, dibawa menari keluar kamar.

   Nuryati dengan air mata memenuhi mukanya menubruk Prayitno, mencium kening orang muda itu.

   "Mas Yit, terima kasih"."

   Lalu ia memeluk kakek Setro, lalu pak Gunawan, ibu Gunawan, paman Prayitno dan semua yang berada di situ.

   "Terima kasih". Ya Tuhan, terima kasih kepada kalian". Semoga Tuhan yang membalasnya"."

   Semua orang menitikkan air mata karena terharu dan bahagia. Isak tangis segera terganti suara tertawa-tawa dan kakek Setro mendapat kehormatan menceritakan tentang Iryanto. Kiranya usaha Prayitno untuk mencari jejak Iryanto memperoleh hasil. Ternyata anak kecil itu ketika hanyut dahulu, dibawa aliran air bah yang amat kuat keluar kampung. Kebetulan sekali terlihat oleh seorang laki-laki yang seperti yang lain-lain juga membantu para korban.

   Karena bingung harus membawa ke mana anak kecil yang terus menangis saja setelah siuman dari pingsan itu, laki-laki tadi mengantarkannya ke rumah Yayasan Anak Yatim Piatu. Maksudnya menitipkan sementara sebelum diketahui siapa orang tuanya. Malang bagi Iryanto, laki-laki penolongnya tadi pada keesokan harinya tewas oleh banjir ketika ia berusaha menolong para korban! Dan Iryanto terus dipelihara oleh Yayasan Anak Yatim Piatu sampai terdengar kabar tentang dicarinya anak yang ada tanda tembong merah pada pahanya! Demikianlah, sesudah Iryanto didapatkan, keluarga Prayitno yang merasa kasih sekali kepada Nuryati mengatur pesta itu untuk membahagiakan Nuryati dan Sukardi. Di dalam kebahagian sepasang suami isteri yang mendapatkan kembali mustikanya itu, diam-diam Ningsih menyentuh tangan Prayitno, matanya mencurahkan isi hatinya,

   "Alangkah akan bahagianya kalau kita bisa seperti mereka kelak"."

   Prayitno tersenyum, matanya menjawab,

   "Tunggu sampai kau berusia duapuluh tahun."

   Memang, cinta kasih bagi seorang gadis remaja semuda Ningsih masih belum bisa dikatakan serius, mudah berubah-ubah. Akan tetapi, kebahagian besar yang terasa di hati Prayitno adalah kebahagian sejati, rasa bahagia yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang pernah menolong orang lain, menolong dengan ikhlas dan tulus, menolong tanpa pamrih, atas dasar perikemanusian sesuai dengan kehendak Tuhan. Dia telah menolong Nuryati, telang menolong Iryanto, telah menolong Ningsih dari pada cengkeraman seorang jahat. Adakah di dunia ini kebahagian yang lebih besar dari pada kebahagian seorang menolong orang lain dari pada kesengsaraan dan malapetaka?

   Dan selesai pulalah cerita ini, sungguhpun Bengawan Solo masih terus mengalir tak kunjung henti. Mudah-mudahan saja Bengawan Solo akan mengakibatkan cerita-cerita yang lebih menggembirakan, tidak mengulangi lagi cerita banjir yang dahsyat. Harapan penulis ini tidak akan sia-sia kiranya karena sekarang sudah mulai dibangun kembali tanggul-tanggul yang bobol dan sudah diketahui bahwa hutan-hutan di Wonogiri yang ditebangi pohonnya secara liar, tanggul-tanggul yang ditanami dan dijadikan kebun secara liar pula, hal-hal itu merupakan hal-hal terutama sebab-sebab banjir. Kalau sebab-sebabnya sudah diketahui, dan perbaikan-perbaikan dilakukan, kalau semua rakyat sudah sadar akan penjagaan keselamatan bersama, bergotong-gotong, kiranya Bengawan Solo takkan ada kekuasaan pula untuk mengamuk seperti tanggal 16 Maret 1966.

   Misalnya saja, dengan merobah aliran air, meluruskan jalan air yang berbelok di pinggir kota Solo. Mencegah penggundulan hutan-hutan dan pengontrolan terhadap tanggul-tanggul agar jangan dijadikan tanah garapan dan tempat tinggal secara liar. Apabila betul-betul diusahakan penanggulangan yang menyeluruh dan bersungguh-sungguh oleh Rakyat dan Pemerintah, bukan merupakan mimpi kosong apabila kelak "Banjir Solo"

   Hanya akan menjadi dongeng bagi anak cucu kita karena mereka melihat Bengawan Solo menjadi sumber bantuan yang hebat bagi pertanian, juga sumber tenaga listrik. Mudah-mudahan!

   Dengan jalan ini pula penulis ingin menyampaikan rasa sukur dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada para dermawan di seluruh permukaan bumi yang sudah merelakan sumbangan-sumbangan berupa apapun juga demi meringankan penderitaan para korban banjir Bengawan Solo, bencana Nasional 16 Maret 1966!

   Kotakebanjiran, 21 April 1966.

   T A M A T

   Penerbit/Pencetak : CV GEMA "

   Solo

   CETAKAN 1979

   Pelukis : Joko Wartono

   Sumber Image : Awie Darmawan

   Di Ketik oleh : Eddy Zulkarnaen

   Di Posting oleh : Djan M

   Text Editing (E-Book) : Cersil Kph

   


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini