Rondo Kuning Membalas Dendam 7
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Pertempuran antara tumenggung yang menjadi pahlawan besar Mataram ini melawan Sariwati berlangsung ramai sekali. Dari pertahanan yang gigih ini saja dapat diukur sampai dimana kesaktian Panembahan Sidik Paningal, karena dalam waktu kurang dari setahun, ia telah berhasil menurunkan aji kesaktian yang demikian besar kepada Sariwati. Bandini mengamuk sambil menggunakan pisau belati dan busurnya. Sepak terjang gadis ini benar-benar seperti Srikandi yang gagah perkasa. Banyak sekali perajurit yang roboh di dalam tangannya, dan ia mat berhati-hati dalam merobohkan lawan karena teringat akan pesan Sariwati agar ia tidak membunuh perajurit Mataram, cukup merobohkan saja. Karena kehebatan sepak terjang Bandini, maka hati para perajurit menjadi gentar dan kagum dan mereka tidak berani maju seorang demi seorang lagi, tetapi mengeroyok.
Kini Bandini dikeroyok oleh lima orang dari segala jurusan hingga gadis ini mengobat-abitkan gendewanya sedemikian rupa sampai tali gendewa menerbitkan suara mengaung. Pisau belatinya berkelebatan mengerikan, mengancam setiap tangan yang berani datang mendekat! Namun, karena jumlah lawannya banyak sekali dan mereka itupun bukan perajurit-perajurit sembarangan, maka lambat laun ia terdesak juga. Demikian pula dengan keadaan Riyatman. Pemuda ini mengamuk bagaikan banteng terluka dan sebagaimana Bandini, iapun tidak mau menewaskan lawan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan dan pukulan yang keras. Sekali pukul saja seorang perajurit akan roboh tak dapat bangun pula karena kuatnya pukulan itu membuat kepalanya pening. Pengeroyok-pengeroyok lalu mempergunakan senjata hingga Riyatman menjadi sibuk juga.
Ia melawan mati-matian akan tetapi hanya dapat mempertahankan dan menjaga diri saja. Sementara itu Sariwati juga terdesak hebat oleh Tumenggung Suro Agul-agul yang tidak saja lebih unggul dalam hal kesaktian dan ilmu kepandaian bertempur, akan tetapi juga jauh lebih unggul dalam hal pengalaman mempergunakan senjata. Keadaan Sariwati, Bandini dan Riyatman sungguh-sungguh berbahaya dan sebentar lagi akan dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan roboh tertawan. Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba barisan belakang pasukan Mataram menjadi kalut karena mengamuknya seorang pemuda yang setelah berhasil menyerbu dan membubarkan kepungan yang mengurung ketiga teruna remaja itu, ternyata bukan lain ialah Adiguna. Berseri wajah Sariwati melihat pemuda kekasihnya ini dan tak terasa pula bibirnya menyebut nama pemuda itu dengan mesra,
"Kang Mas Adiguna..."
"Diajeng Sariwati, jangan khawatir, kanda datang membantumu."
"Kang Mas Adiguna."
Seru Bandini dengan gembira pula.
"Syukur engkau datang"
Dan melihat pemuda ini, makin berkobat semangat gadis hitam manis ini karena sekarang ada orang yang diandalkan. Ketika Adiguna dan Riyatman bertemu pandang, Riyatman tersenyum dan berkata,
"Adiguna! Aku telah insyaf"
Adiguna tersenyum pula dengan girang, lalu ia menghadapi Tumenggung Suro Agul-agul dan menahan serangan keras tumenggung itu dengan tangkisan lengannya sambil berkata,
"Gusti Tumenggung! Janganlah kau mendesak anak-anak muda yang hendak membalas sakit hatinya yang besar! Kami tidak sekali-kali bermaksud melawan pasukan mataram! Lepaskanlah mereka!"
Dengan mata merah karena marah, Tumenggung Suro Agul-agul membentak,
"Adiguna! Lagi-lagi kau yang menjadi biang keladinya. Janganlah kau yang masih muda ini berlarut-larut terbenam dalam kesesatan. Menyerahlah sebelum terlambat."
Melihat bahwa percuma saja untuk merobah, pendirian tumenggung yang kukuh melakukan tugasnya ini, Adiguna lalu berkata kepada Sariwati,
Gambar 0601
"Adinda, larilah dulu dengan kawan-kawan lain. Biarlah aku yang menahan serbuan mereka."
Sariwati mengangguk lalu berkata kepada Riyatman dan Bandini,
"Mari kita pergi!"
Bandini sebetulnya merasa kurang puas dengan keputusan ini. Setelah Adiguna datang dan tiba saatnya untuk membalas desakan lawan, kini ia bahkan disuruh lari! Sambil bersungut-sungut ia berlari disamping kakaknya dan berkata,
"Kang Mas Guna selalu mengalah."
Sariwati hanya tersenyum. Hati dara ini merasa girang sekali karena dapat bertemu kembali dengan Adiguna yang telah lama dikenang-kenangnya! Dengan cepat mereka bertiga berlari ke kanan untuk mengambil jalan memutar dan selanjutnya mencari Galiga Jaya. Tak lama kemudian, Adiguna yang dikepung oleh Surot Agul-agul dan perajurit-perajuritnya, dapat membingungkan lawan dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu. Kemudian pemuda ini lalu memergunakan kesaktiannya dan melompat ke atas melampau kepala para pengeroyoknya keluar dari kepungan dan menghilang di dalam hutan, menyusul ketiga orang kawannya. Tumenggung Suro Agul-agul merasa kagum sekali dan ia menghela napas. Memang hatinya merasa berat untuk melukai, lebih-lebih lagi kalau harus membunuh empat orang muda yang mengagumkan hatinya itu.
Ia maklum bahwa mereka berempat itu bukanlah orang-orang jahat dan mempunyai sifat yang hampir sama dengan kemenakannya Untari. Ia dapat menduga bahwa Galiga Jaya tentu telah melakukan perbuatan rendah dan kejam yang membuat sakit hati orang-orang muda itu, dan iapun mulai merasa ragu-ragu untuk percaya bahwa empat orang muda itu benar-benar mempunyai niat memberontak kepada Mataram. Kemudian, teringat akan tugasnya menangkap seorang iblis wanita yang mengamuk di Waru, dipimpinnya sisa barisannya ke Waru. Hatinya menjadi lega ketika melihat bahwa sekian banyaknya perajurit yang roboh, tak seorangpun tewas. Ia maklum bahwa anak-anak muda itu memang sengaja tidak mau membunuh anak buahnya, maka ia menjadi makin kagum saja.
Kota raja Karta, Ibu kota Mataram adalah sebuah kota yang besar dan makmur, lambang kejayaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung yang cerdik pandai dan arif bijaksana. Penduduk Karta hidup senang tenteram dan diliputi kebahagiaan. Akan tetapi, semenjak datangnya Galiga Jaya yang membawa kabar mengejutkan tentang mengamuknya seorang iblis wanita, penduduk merasa takut dan khawatir. Dan kekhawatiran mereka ini ternyata terbukti. Malam ketiga semenjak Galiga Jaya tiba di Karta dan menempati sebuah gedung yang disediakan untuk tamu-tamu para pembesar dari daerah luar.
Semenjak sore hari, penduduk Karta tidak ada yang mau keluar pintu rumah, karena mendung tebal menggelapkan udara dan kilat menyambar-nyambar tanda bahwa malam hari itu hujan akan turun deras. Bersama dengan datangnya malam gelap yang sebentar-sebentar diterangi cahaya kilat menyambar dan guntur menggelegar di angkasa, turunlah hujan angin ribut. Genteng-genteng rumah serasa akan pecah tertimpa air hujan yang besar-besar dan deras datangnya itu. Suara di luar rumah bergemuruh dan membisingkan telinga. Suara air menimpa genteng, angin ribut menghembus daun-daun pohon, dan suara guntur membuat semua orang merasa lega dan senang bahwa pada saat itu mereka tinggal di dalam rumah dan berkumpul dengan sanak keluarga dalam keadaan aman sentausa.
Para penjaga di pintu gerbang kota raja menggigil kedinginan dan bahkan ada yang mengutuk hawa udara seburuk itu. Tiba-tiba para penjaga melihat sesosok bayangan yang terbungkuk-bungkuk, berjalan di dalam hujan. Angin ribut membuat rambut kepala orang yang riap-riapan itu berkibar-kibar di belakang tubuhnya dan ketika ia telah datang dekat, semua penjaga merasa bulu tengkuk mereka berdiri. Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita tua yang bongkok dan membawa sebatang tongkat. Wajahnya mengerikan sekali karena dalam cahaya kilat, wajah kurus itu nampak pucat seperti mayat dan rambutnya yang panjang berkibar di belakang tubuhnya menambah seram keadaannya.
"Hordah! Siapa itu?"
Bentak seorang penjaga dengan tombak di tangan. Nenek di dalam hujan itu lalu tertawa dan suara ketawanya mengalahkan suara angin, mendatangkan rasa takut dalam hati semua penjaga yang gagah berani.
"Hai, siapa engkau? Mengakulah!"
Bentak pula seorang penjaga lain dan semua orang penjaga di dalam penjagaan yang berjumlah lima belas orang lalu berkerumun di depan gardu dengan tombak di tangan.
"Ha-ha-ha! Orang Mataram! Serahkan Galiga Jaya kepadaku!"
Pekik wanita itu. Terkejutlah kini semua penjaga karena mereka telah mendengar tentang mengamuknya iblis wanita di Waru dan yang hendak membunuh Galiga Jaya.
"Iblis wanita!"
Seru seorang dengan suara ketakutan. Kembali wanita itu tertawa dan melompat ke arah gardu. Para penjaga lalu menyerang dengan tombak, akan tetapi iblis wanita itu lalu menggunakan tongkatnya untuk memukul tiang gardu yang besar. Tiang itu patah dan gardu itu ambruk. Para penjaga berlarian simpang-siur, tidak memperdulikan air hujan yang turun menimpa dan membasahi seluruh pakaian dan tubuh mereka. Mereka sambil berteriak-teriak mengeroyok dan menyerang iblis wanita itu dengan tombak. Akan tetapi, dengan mengeluarkan suara pekik mengerikan, iblis wanita itu memutar-mutar tongkatnya dan semua tombak terpental, lalu wanita itu menyerang membabi buta hingga bergelimpanganlah tubuh-tubuh para penjaga. Sambil mengamuk, iblis wanita itu terus masuk ke dalam kota dan gegerlah seluruh kota Karta.
"Iblis mengamuk di Mataram!"
Teriak orang-orang dan semua penduduk segera merapat pintu dan jendela kuat-kuat dan berkumpul di dalam rumah dengan hati berdebar takut. Orang-orang lelaki menyiapkan senjata mereka di tangan dan para Ibu memeluk anaknya dengan cemas. Orang-orang tua segera membakar kemenyan dan dupa terus berdoa minta diselamatkan dari iblis yang mengamuk di Mataram itu. Perajurit-perajurit berlari-lari keluar membawa tameng dan tombak dan seluruh tenaga dikerahkan untuk menangkap iblis wanita yang mengamuk di kota raja ini. Para panglima Mataram keluar dari rumah masing-masing membawa pusaka mereka. Iblis wanita itu agaknya mencari-cari dimana adanya Galiga Jaya, oleh karena ia mengamuk sambil memekik-mekik menyebut nama Galiga Jaya.
"Keparat Galiga Jaya! Keluarlah agar dapat kubeset kulit dadamu dan kuganyang (makan mentah-mentah) jantung dan isi perutmu."
Teriakan menyeramkan ini diulangi berkali-kali dan dengan hantam kromo ia mengamuk dan memukuli rumah-rumah penduduk Karta. Tiap kali pintu rumah dipukul hancur, ia menjenguk ke dalam mencari-cari dengan sepasang matanya yang mengerikan. Orang-orang dalam rumah itu saling berpelukan dengan takut bahkan wanita-wanita banyak yang roboh pingsan ketika iblis itu menjenguk dari ambang pintu yang telah ambruk. Iblis wanita itu tidak mengganggu orang di dalam rumah, hanya setelah melihat bahwa Galiga Jaya tidak berada di rumah itu, ia memekik-mekik dan memaki-maki lalu pergi lagi untuk memukul hancur pintu rumah yang lain lagi.
Ada seorang laki-laki yang tinggal di dalam rumah, ketika melihat iblis itu menjenguk dari pintu, lalu menyerang dengan parangnya. Akan tetapi orang ini mencari mati sendiri, karena begitu ia bergerak menyerang, tongkat iblis wanita itu telah menghantam dan menghancurkan kepalanya. Jerit tangis terdengar disana-sini dan para perajurit setelah memburu ke tempat itu lalu mengeroyok. Iblis wanita itu mengamuk lagi dengan hebatnya. Tak seorangpun diantara para perajurit itu kuat menahan serangan tongkatnya yang ampuh dan mengeluarkan bau amis itu. Tubuh para perajurit yang kena pukul bergelimpangan mandi darah dan darah mengalir terbawa oleh air hujan hingga membuat air yang mulai tergenang di jalan raya menjadi kemerah-merahan. Banjir darah di Mataram! Iblis mengamuk di Mataram!
Pahlawan-pahlawan Mataram yang kebetulan berada di Karta ketika hal ini terjadi, adalah Baurekso dan Adipati Uposonto yang terkenal akan kesaktian mereka, rekan-rekan dari Tumenggung Suro Agul-agul yang sedang melakukan pengejaran ke Waru. Mereka berdua lalu mengejar ke tempat keributan itu dan berbareng mereka lalu menyerang iblis wanita itu. Serangan keris kedua pahlawan ini membuat iblis itu terdesak mundur dan mengamuk makin hebat. Akan tetapi, dikeroyok oleh panglima-panglima tangguh ini, iblis wanita ini terdesak hebat dan setelah berkelahi mati-matian di dalam hujan badai, akhirnya iblis wanita itu terkena pukulan tangan kiri Baurekso yang ampuh dan keras. Iblis itu terpukul pundak kanannya dan ia jatuh bergulingan di atas tanah. Akan tetapi, ketika kedua pahlawan itu datang hendak menangkapnya, tiba-tiba iblis itu melompat berdiri dan mengayun tongkatnya.
Gambar 0602
Gerakan ini tiba-tiba sekali datangnya dan kalau tidak dua orang ini memiliki kepandaian tinggi dan cepat sekali mengelak, tentu akan hancurlah kepala mereka. Iblis wanita menggunakan kesempatan ini untuk berlari menghilang di dalam gelap sambil memekik-mekik. Ketika Baurekso mengadakan pemeriksaan, ternyata bahwa yang terluka dan tewas dalam amukan itu berjumlah lebih dari tiga puluh orang! Pada keesokan harinya, pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Suro Agul-agul tiba di Karta, oleh karena tumenggung ini tidak berhasil mencari iblis wanita itu di Waru. Ketika mendengar bahwa iblis itu semalam telah mengamuk di kota raja, tumenggung Suro Agul-agul marah sekali. Penjagaan dilakukan dengan keras dan seluruh daerah Karta diperiksa untuk mencari dimana sembunyinya iblis wanita itu. Akan tetapi, agaknya iblis itu menghilang bersama perginya sang malam.
Hari itu penduduk Karta ramai membicarakan tentang iblis yang mengamuk di Mataram dan menjatuhkan sekian banyak korban. Hati semua orang gentar. Sri Sultan Agung sendiri ketika menerima laporan tertegun dan beliau duduk termenung seakan-akan memikirkan peristiwa yang aneh ini. Sri Sultan lalu memerintahkan agar semua pahlawannya mengerahkan tenaga istimewa dan berusaha sekerasnya untuk menangkap iblis yang mengamuk di Mataram ini. Para panglima dan perajurit maklum bahwa Sang Prabu merasa marah sekali karena menghadapi seorang iblis saja, panglima-panglima Mataram tak mampu menangkapnya. Ketika orang-orang sedang membicarakan tentang iblis wanita yang menyeramkan itu, tiba-tiba terjadi kegegeran lain lagi yang menggemparkan dan lebih mengacaukan keadaan.
Peristiwa yang menimbulkan kegemparan ini terjadi di tempat pemondokan Penewu Galiga Jaya. Dengan menyamar sebagai penduduk biasa, Adiguna berhasil membawa Riyatman, Bandini dan Sariwati memasuki pintu gerbang tanpa menimbulkan kecurigaan dan ia berhasil pula mencari tahu dimana tempat tinggal Galiga Jaya, pokok pangkal segala peristiwa. Akan tetapi Adiguna dan kawan-kawannya belum mengetahui tentang terjadinya geger yang disebabkan oleh iblis wanita malam tadi. Ketika itu Galiga Jaya sedang berada di dalam rumah pondokan dan hatinya berdebar ketakutan ketika mendengar bahwa iblis wanita itu telah mengejar dan menyusulnya ke Karta. Diam-diam ia dapat menduga bahwa iblis wanita itu tentulah Rondo Kuning yang entah bagaimana telah berubah menjadi iblis yang dahsyat dan mengerikan.
Ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri kalau ia ingat akan ancaman Rondo Kuning, maka ia sama sekali tidak berani keluar dari pintu pondokan, berdiam saja di dalam beserta selir-selirnya yang menghiburnya! Ketika penjaga pondoknya memberitahukan bahwa ada orang-orang petani dari Waru hendak bertemu dengannya, Galiga Jaya yang sedang kebingungan itu terpaksa keluar karena iapun ingin sekali mendengar berita tentang keadaan di desanya. Akan tetapi, ketika ia keluar dan melihat bahwa yang datang adalah Adiguna, Riyatman, Bandini dan Sariwati, ia menjerit dan hendak lari masuk lagi. Akan tetapi Riyatman telah melompat dan menyerangnya hingga terpaksa ia melawan! Kepandaiannya yang cukup tinggi membuat Riyatman terhuyung mundur ketika Penewu itu menangkis pukulannya dengan keras. Bandini berseru,
"Penewu bangsat! Terimalah pembalasanku!"
Gadis ini lalu menyerang dengan pisau belatinya! Galiga Jaya yang sudah terkepung itu terpaksa menarik kerisnya dan melakukan perlawan hebat.
Sayang sekali bahwa ia tidak membawa sabuk lawe merah yang diandalkannya hingga ia melawan hanya dengan sebilah keris. Akan tetapi oleh karena ia sudah nekat, maka tidak mudah bagi Bandini dan Riyatman untuk menjatuhkannya. Sariwati lalu maju pula mengeroyok dan Adiguna juga maju pula. Kali ini Galiga Jaya kewalahan dan keadaannya berbahaya sekali. Akan tetapi teriakannya minta tolong telah menarik perhatian orang dan sebentar saja disitu terdapat banyak perajurit yang membantunya hingga sebaliknya keempat orang muda itulah yang dikeroyok! Para perajurit tak dapat melawan empat anak muda yang gagah itu hingga banyak orang yang telah roboh kena pukulan dan tendangan. Terutama sekali Adiguna yang memegang setiap lawan dan melempar-lemparkan kepada pengeroyok lain seakan-akan orang melemparkan ketela-ketela busuk saja!
Tak lama kemudian datanglah Baurekso, Adipati Uposonto dan Tumenggung Suro Agul-agul! Semua perajurit lalu mengundurkan diri, memberi tempat kepada ketiga pahlawan besar ini untuk mewakili mereka menangkap empat orang pengacau itu. Galiga Jaya sendiri segera menyelamatkan diri dan lari ke dalam rumah, masuk ke kamarnya dan mengunci kamar itu dari dalam! Melihat kedatangan panglima-panglima tangguh ini, Adiguna lalu mengajak kawan-kawannya melarikan diri. Ia lari paling belakang, merupakan pertahanan teguh hingga kawan-kawannya dapat lari dengan selamat oleh karena biarpun ia dikeroyok oleh ketiga orang jago Mataram itu, namun pertahanan Adiguna benar-benar tangguh hingga para pengejar tak dapat menghalangi larinya Riyatman, Bandini dan Sariwati.
Baurekso marah sekali dan mengeluarkan tombaknya yang jarang dipakai, yakni Tombak Pusaka Bandudenta. Melihat ujung tombak yang mengeluarkan cahaya merah ini, Adiguna terkejut sekali dan ia lalu melepaskan ikat kepalanya dan mengebut dengan ikat itu. Ketiga jago Mataram terkejut dan mundur karena hawa yang keluar dari kebutan itu sungguh ampuh dan luar biasa! Adiguna mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan cepatnya. Ketiga jago Mataram mencoba mengejar, akan tetapi oleh karena Adiguna mempergunakan aji kesaktian hingga larinya secepat angin, maka sebentar saja pemuda itu dapat melarikan diri keluar kota dan menyusul kawan-kawannya dengan selamat. Makin gegerlah kota raja dengan terjadinya peristiwa ini. Malam tadi iblis wanita mengamuk, dan kini pada siang hari ada empat orang muda yang sakti datang pula mengamuk.
Akan terjadi apakah di Mataram? Demikian orang-orang berpikir dengan hati kecut. Malam hari itu kembali iblis wanita mengamuk lagi. Dan kini iblis wanita ini bahkan terus mengamuk sampai ke depan keraton Sri Sultan! Kalau biasanya ia hanya membawa sebatang tongkatnya yang berbengkok-bengkok dan hitam kini tangan kirinya membawa sehelai kain yang basah dan ketika Baurekso, Adipati Uposonto dan Tumenggung Suro Agul-agul berusaha menangkapnya, ia mengibas-ngibaskan selampai itu dan air memercik dari situ menyerang ke arah ketiga orang panglima Mataram. Mereka segera mundur dengan terkejut sekali karena air yang memercik keluar itu menyiarkan bau busuk seperti bau bangkai yang telah lama rusak! Tentu saja mereka merasa jijik dan tak tahan menghadapi senjata istimewa ini. Ketika tiba di depan keraton Sri Sultan, iblis wanita itu menjerit-jerit,
"Hai...! Sultan Agung Mataram... Kau melindungi seorang penjahat dan membela seorang keparat, apakah itu sesuai dengan kebesaranmu? Apakah itu dapat disebut arif bijaksana? Keluarkanlah Galiga Jaya, kalau tidak, Mataram akan kubikin musnah, kuratakan dengan bumi!"
Tentu saja para perajurit dan panglima menjadi marah sekali dan Baurekso lalu memerintahkan agar menghujani anak panah kepada iblis wanita yang ganas itu!
Para perajurit memasang anak panah yang pada busurnya dan sesaat kemudian beterbanganlah ratusan batang anak parah ke arah tubuh iblis wanita itu. Akan tetapi, ternyata tubuh iblis wanita itu agaknya kebal, karena sambil memutar-mutarkan tongkatnya,ia melarikan diri tanpa menderita luka! Ia memekik-mekik, menjerit-jerit, menangis dan tertawa menyeramkan hati mereka yang mengepungnya dan akhirnya ia berhasil melarikan diri keluar dari pintu gerbang. Juga kali ini ia telah menjatuhkan banyak korban! Melihat keganasan iblis wanita itu, Sri Sultan Agung menjadi marah sekali dan mengambil keputusan untuk keluar sendiri pada besok malam untuk menghadapi iblis pengganggu yang berani itu! Sementara itu, Adiguna, Sariwati, Riyatman, dan Bandini yang mendengar tentang amukan seorang iblis di Mataram menjadi terkejut.
"Kita harus membantu Mataam dan menangkap iblis yang mengamuk dan merusak Mataram itu. Ini adalah tugas kewajiban kita sebagai kawula Mataram,"
Kata Adiguna karena merasa kasihan betapa puluhan orang perajurit telah tewas di tangan iblis yang ganas itu.
"Kau benar, Adiguna. Iblis itu telah berani menyerang keraton, berarti ia telah berani menghina Sri Sultan. Biarlah aku membantu untuk menangkapnya, sebagai penebus dosaku dulu karena aku telah mempunyai maksud untuk memberontak terhadap Mataram,"
Kata Riyatman.
Sariwati dan Bandini saling pandang dan keduanya mempunyai perasaan yang tidak enak sekali. Siapakah iblis wanita itu, pikir mereka dan di sudut hati mereka mempunyai dugaan yang mengerikan. Jangan-jangan iblis itu Ibu mereka, Rondo Kuning! Akan tetapi, mereka segera mengusir pergi dugaan hati ini jauh-jauh! Tak mungkin Ibunya sampai menjadi seorang iblis yang mengerikan! Mereka tidak berani memikirkan hal ini, sehingga ketika Adiguna dan Riyatman menyatakan pendapat mereka, Sariwati dan Bandini tidak dapat menyatakan pendapatnya. Selain itu, sebagai seorang wanita, biarpun mereka memiliki kepandaian, namun merasa ngeri dan takut juga mendengar tentang sepak terjang yang ganas dan kejam itu.
"Terserah kepadamu sajalah, aku dan Bandini tentu saja siap membantu,"
Kata Sariwati dengan menundukkan kepala. Adiguna mencari kesempatan untuk bicara berdua dengan Sariwati dan ketika kesempatan itu tiba, yaitu dengan perginya Riyatman dan Bandini yang mencari buah-buahan di hutanm, Adiguna berkata dengan suara halus,
"Diajeng Sariwati, aku telah maklum apa yang kau khawatirkan. Aku sendiripun mempunyai dugaan kuat bahwa iblis wanita itu bisa jadi Ibumu sendiri, Rondo Kuning."
"Kang Mas Adiguna"!"
Sariwati menahan jeritnya dengan muka pucat.
"Tenanglah, dik. Ini hanya dugaan saja dan belum tentu benar. Akan tetapi andaikata benar bahwa iblis itu adalah Ibumu sendiri, apakah yang harus kuperbuat?"
Ia memandang tajam. Tak tertahan lagi dari kedua mata Sariwati yang indah itu mengalir turun air mata.
"Bagaimana...? Aku sendiri tidak tahu, Kang Mas... Apakah yang harus kulakukan? Aku... Aku menyerah saja kepadamu, terserah kau yang mengaturnya""
Adiguna melangkah maju dan memegang tangan Sariwati.
"Adikku sayang, kita telah mendapat pelajaran untuk menjunjung tinggi kebajikan dan untuk menolong sesama manusia yang menderita. Maka andaikata ternyata bahwa iblis itu benar-benar Ibumu, tak dapat tidak kita harus melawannya. Iblis itu telah mendatangkan malapetaka kepada rakyat Mataram dan kalau kita diamkan saja, apakah kita dapat disebut pembela-pembela keadilan dan penolong orang sengsara? Pikirkanlah baik-baik. Kita mengejar-ngejar Galiga Jaya oleh karena ia seorang jahat dan telah banyak membinasakan orang. Sekarang, iblis inipun telah banyak menewaskan orang Mataram, apabila kita tidak mengejarnya pula, bukankah kita berlaku kurang adil?"
Sariwati mengangguk-angguk dan menyatakan mengerti, akan tetapi oleh karena yang sedang dibicarakan ini adalah pengejaran terhadap Ibunya, maka hatinya terasa perih seperti ditusuk-tusuk pisau.
"Kang Mas, kalau benar dia ini Ibuku"jangan"
Jangan kau berlaku kejam kepadanya"
Jangan kau siksa dia, dan musnahkan saja dengan segera""
Gadis itu lalu menangis, hatinya merasa terharu dan sedih sekali. Dengan bibir gemetar ia mengeluh,
"Ibu... ibu"
Mengapa kau menjadi begitu"?"
Adiguna merasa kasihan dan mendekap kepala kekasihnya ke dada.
"Sariwati, jangan kau bersedih. Apapun yang akan terjadi, bukankah kau masih mempunyai aku? Aku akan selalu membelamu dan menyayangimu sampai akhir zaman! Dan pula, tentang iblis itu, kita baru menduga-duga saja. Belum tentu dia itu Ibumu."
Akan tetapi Sariwati merasa yakin bahwa iblis wanita itu tentu Ibunya, oleh karena siapa lagi wanita yang begitu nekat mengejar-ngejar Galiga Jaya selain Ibunya? Juga dulu Ibunya telah melarikan diri dalam keadaan tidak waras dan hampir gila karena sedih. Sementara itu, Riyatman dan Bandini yang pergi mencari buah di sepanjang jalan bersenda gurau saja. Memang kedua muda-mudi ini mempunyai adat yang cocok, sama jenaka dan sama keras hati, akan tetapi keduanya mempunyai hati yang baik. Ketika Riyatman memanjat sebatang pohon kelapa dengan cekatan dan cepat, Bandini memandang kagum. Setelah pemuda itu memetik beberapa buah kelapa muda dan melemparkan ke bawah, Bandini dari bawah berteriak,
"Riyatman...! Kau sungguh pandai memanjat pohon kelapa, tiada ubahnya seperti"
Seperti""
Riyatman memandang ke bawah.
"Seperti apa?"
Tanyanya sambil meluncur turun.
"Seperti munyuk monyet."
"Kurang ajar kau! Awas, kalau aku sudah turun, akan kucubit bibirmu yang nakal!"
Riyatman mempercepat turunnya dan ketika ia tiba di bawah, Bandini lalu melarikan diri. Riyatman mengejar dan mereka lalu berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa. Bandini cepat larinya dan gesit gerakannya hingga sukar bagi Riyatman untuk menangkapnya. Setelah berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa, Bandini lalu berkata,
"Sudahlah Riyatman, jangan kita bersenda-gurau saja! Mbak Wati dan Kang Mas Adiguna tentu menanti-nanti. Dan lagi, aku ada sesuatu yang hendak kukatakan padamu."
Melihat sikap sungguh-sungguh gadis itu, Riyatman juga bersikap sungguh-sungguh. Mereka berdua lalu pergi mengambil buah kelapa muda dan beristirahat sebentar di atas rumput.
"Jangan engkau memaki aku munyuk monyet lagi, Bandini,"
Kata Riyatman.
"Habis, engkau dulu juga pernah memaki aku banci."
Kata Bandini mengerling tajam.
"Bukankah sekarang aku tak pernah memakimu lagi? Apakah aku begitu buruk seperti seekor monyet?"
"Katakan dulu, apakah akupun begitu buruk seperti seorang banci?"
Riyatman menggeleng kepala dengan cepat.
"Tidak engkau... engkau seperti Srikandi, bahkan lebih hebat lagi. Engkau cantik manis dan gagah."
Dua pasang mata saling pandang dan Bandini merasa girang sekali, akan tetapi tiba-tiba mukanya yang manis itu menunduk dan warna merah menjalar sampai ke telinganya.
"Eh, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi,"
Kata Riyatman. Bandini mengangkat mukanya dan memandang dengan wajah berseri,
"Pertanyaan apa?"
"Apakah aku benar-benar begitu jelek seperti monyet?"
Bandini tersenyum manis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Engkau"
Baik sekali."
Riyatman tertawa dengan senang.
"Kalau engkau menganggap aku seperti monyet, biarlah! Akan tetapi aku bukanlah monyet sembarang monyet. Kalau aku menjadi monyet, aku adalah Sang Hanoman (monyet putih yang sakti dalam cerita pewayangan) dan engkau adalah Tri-jata."
Keduanya tertawa lagi dengan gembira. Akan tetapi tiba-tiba Bandini nampak sedih.
"Riyatman, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."
"Apakah itu?"
Tanya pemuda itu dengan sungguh-sungguh.
"Tentang iblis itu. Aku mendapat perasaan aneh dan timbul dugaanku bahwa dia itu mungkin...ibuku."
Riyatman melompat kaget.
"Apa...? Mbok Rondo Kuning"?"
Ia lalu duduk kembali di dekat Bandini lalu termenung, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin juga! Ibumu mempunyai banyak alasan untuk membenci Galiga Jaya dan mendendam sakit hati yang amat hebat. Habis, apa yang harus kita lakukan?"
Bandini termenung dengan sedih.
"Terserah Mbak Wati saja. Aku tidak tahu. Menurut patutnya, kita harus membasmi iblis yang mengacau Mataram, akan tetapi kalau ia Ibuku... Ah, Riyatman, apakah yang harus kulakukan?"
Gadis ini lalu menangis. Riyatman termenung dan tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Bandini, jangan engkau bersedih. Disini masih ada aku yang akan membelamu dengan seluruh jiwaku."
Bandini terharu sekali dan memandang kepada pemuda itu. Melalui air matanya dengan sinar mata berterima kasih. Kemudian mereka lalu membawa kelapa muda dan buah-buahan lain, kembali ke tempat dimana Adiguna dan Sariwati menanti mereka. Mereka telah mengambil keputusan untuk keluar dari hutan dan masuk ke Karta malam itu, mengintai dan membantu Mataram untuk menangkap iblis yang mengamuk!
Malam itu kebetulan sekali malam Jum"at. Penjagaan dilakukan dengan keras sekali hingga takkan mudah bagi orang luar untuk masuk ke dalam kota Karta pada malam itu. Akan tetapi, dengan cerdiknya Adiguna yang telah dapat menduga hal ini, telah masuk beserta ketiga kawannya siang tadi ke dalam kota dan bersembunyi menanti datangnya malam. Dan di luar dugaan mereka serta dugaan para penjaga, iblis wanita yang dicari-cari itupun telah berhasil memasuki kot pada senja hari, yaitu dengan bersembunyi di dalam tumpukan padi yang dibawa masuk oleh gerobak sapi yang mengangkut padi dari sawah! Tak seorangpun dapat menyangka kecerdikan ini. Ketika gerobak itu tiba di tempat sunyi, iblis wanita itu melompat turun tanpa diketahui orang dan ia lalu bersembunyi juga sambil mencari-cari tempat tinggal Galiga Jaya.
Agaknya iblis wanita itu maklum juga bahwa malam hari ini Sri Sultan sendiri turun tangan dan melakukan penjagaan, bahkan raja yang sakti ini melakukan perondaan dan memeriksa keadaan para penjaga sambil naik kuda! Oleh karena ini, iblis wanita itu tidak berani muncul, sehingga setelah lewat tengah malam tidak melihat terjadinya sesuatu, Sri Sultan merasa bosan dan lelah, lalu kembali ke dalam keraton untuk beristirahat. Akan tetapi menjelang fajar, orang-orang dikejutkan oleh pekik yang mengerikan yang keluar dari tempat kediaman Galiga Jaya! Ternyata bahwa ketika itu Galiga Jaya sedang berada di kamarnya dengan beberapa orang selirnya. Penewu itu merasa aman dan tenteram karena ia percaya penuh bahwa kali ini apabila iblis wanita berani keluar, tentu akan dapat ditewaskan.
Akan tetapi, menjelang pagi, ketika ia telah tidur pulas, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ketawa yang menyeramkan dan ketika ia membuka matanya, ternyata bahwa iblis wanita itu telah berada di dalam kamar dan berdiri di depan pembaringannya sambil memandang dengan sikap mengancam. Galiga Jaya terkejut sekali dan merasa seperti sedang bermimpi. Ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi bayangan yang mengerikan itu bukanlah mimpi. Ia lalu melompat cepat hingga mengejutkan selir-selirnya yang segera bangun dari tidur dan memeluk kawannya sambil menggigil ketakutan. Galiga Jaya menyambar senjatanya, akan tetapi sambil berteriak buas, iblis wanita itu melompat menghalangi Penewu itu mengambil senjatanya yang tergantung di dinding.
Gambar 0603
"Ha-ha-ha, Galiga Jaya! Kau kenal siapa aku? Lihatlah... pandanglah baik-baik... Aku adalah Rondo Kuning, selir yang kau cintai dulu... ha-ha-ha! Dan kau tahu mengapa aku mencarimu? Ha-ha-ha, Galiga Jaya, aku datang untuk merasai jantungmu!"
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rondo Kuning, kasihanilah aku. Aku bekas suamimu..."
Galiga Jaya meratap.
"Keparat rendah!"
Teriak Rondo Kuning sambil melangkah maju ke arah Galiga Jaya yang terduduk di atas pembaringan sambil menggigil ketakutan. Melihat betapa iblis wanita itu melangkah maju, Galiga Jaya menjadi nekat dan ia menerjang. Akan tetapi, sekali Rondo Kuning mengayun tangan, Galiga Jaya roboh sambil mengeluarkan pekik mengerikan karena takutnya. Selir-selirnya juga menjerit-jerit minta tolong lalu roboh pingsan karena takutnya.
"Ha-ha, Galiga Jaya. Engkau tidak patut mati di dalam rumah! Engkau harus mampus di tengah jalan, menjadi tontonan orang!"
Sambil berkata demikian, Rondo Kuning lalu memegang tangan Galiga Jaya dan menyeret tubuhnya yang telah lemas tak berdaya itu keluar dari pondoknya. Beberapa orang penjaga yang terkejut mendengar pekik tadi, dan kini berada di luar pondokan, hendak menyerang dengan tombak mereka, akan tetapi ketika ujung tombak mereka dapat dipukul patah oleh iblis wanita itu, mereka melarikan diri sambil berteriak-teriak minta tolong. Rondo Kuning menyeret tubuh Galiga Jaya yang meronta-ronta itu ke tengah jalan dan kembali terdengar jerit yang menyeramkan dari Galiga Jaya. Beberapa kali terdengar jerit mengerikan itu, seakan-akan Galiga Jaya mengalami kesakitan hebat dan ketakutan besar, kemudian jerit itu tidak terdengar lagi, terganti oleh suara ketawa yang diseling tangis sedih. Adiguna mendengar jerit itu, maka ia segera berkata kepada ketiga orang kawannya.
"Aku mengejar dulu kesana! Kalian menyusullah cepat-cepat!"
Kemudian pemuda yang gagah ini lalu mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat mengejar ke arah tempat dimana terdengar jeritan itu. Pada saat itu, fajar telah mulai menyingsing dan keadaan tidak segelap tadi, akan tetapi kabut tebal masih menyelimuti seluruh kota. Ketika Adiguna tiba di tempat itu dan memandang ke arah dimana ia melihat bayanga orang, hampir saja ia berteriak karena merasa ngeri. Ia melihat betapa mayat Galiga Jaya rebah terlentang di atas jalan dengan mandi darah. Dadanya koyak-koyak dan rongga dadanya terbuka! Dan didekatnya, Rondo Kuning yang telah menjadi iblis itu duduk sambil mengunyah benda yang berdarah hingga mulutnya berlumuran darah, demikian pula kedua tangannya. Ternyata iblis wanita ini benar-benar telah menggayang jantung Galiga Jaya yang dicabutnya keluar dari dalam dadanya.
"Iblis kejam!"
Teriak Adiguna dan ia lalu maju menyerang dengan ikat kepalanya, karena ia tahu bahwa iblis ini sakti sekali. Rondo Kuning lalu melompat berdiri dan bagaikan seekor serigala yang khawatir makanannya direbut, ia mengeram keras dan menyambar tongkatnya lalu menyerang Adiguna. Mereka lalu bertempur hebat sekali. Adiguna mengerahkan kesaktiannya, akan tetapi ia menjadi ketakutan oleh karena Rondo Kuning benar-benar bukan merupakan manusia lagi. Agaknya iblis telah menguasainya hingga ia sejahat dan sekejam iblis, dan kesaktiannya luar biasa sekali. Pukulan ikat kepala Adiguna hanya membuatnya roboh sebentar untuk kemudian melompat lagi dan melakukan serangan pembalasan yang membuat Adiguna terhuyung-huyung mundur. Dan ketika Adiguna masih belum sempat bersiap sedia, tahu-tahu Rondo Kuning telah berhasil menangkap lengannya.
"Ha-ha-ha! Aku memang perlu pemuda-pemuda tampan untuk menjadi pelayan di Laut Kidul! Ha-ha-ha! Galiga Jaya telah kudapati dan ia pantas menjadi pemakan bangkai disana, karena banyak sekali bangkai-bangkai mengotorkan tempat. Galiga Jaya pemakan bangkai, ha-ha-ha! Dan engkau menjadi pelayan yang tampan!"
Ketika Rondo Kuning sudah siap hendak mencekik pemuda itu dengan tangannya yang berkuku runcing, tiba-tiba terdengar jerit keras,
"Ibu...!"
Rondo Kuning tersentak kaget mendengar suara ini dan tangannya yang telah diangkat hendak mencekik leher Adiguna itu tertahan. Ternyata bahwa yang memekik itu adalah Sariwati yang datang bersama Riyatman dan Bandini. Melihat betapa pemuda kekasihnya tertangkap dan hendak dibunuh Ibunya, tak terasa lagi Sariwati menjerit dan jeritannya ini telah menolong nyawa Adiguna. Riyatman marah sekali melihat hal ini dan ia segera menerjang iblis wanita itu dengan kerisnya.
"Iblis terkutuk!"
Serunya dan ia menusuk dengan kerisnya ke arah dada Rondo Kuning. Akan tetapi, Rondo Kuning mengangkat lengannya dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menangkap Riyatman pula.
"Ibu!"
Teriak lagi Sariwati.
"Lepaskan Kang Mas Adiguna!"
Rondok Kuning membelalakan matanya memandang kepada Sariwati.
"Hi-hi-hi..... pemuda ini siapakah? Kekasihmu?"
Sariwati mengangguk dan sambil tertawa terkekeh-kekeh Rondo Kuning melepaskan lengan Adiguna dan mendorong pemuda itu hingga jatuh terduduk di pinggir jalan. Adiguna merasa heran sekali karena ia merasa bahwa yang dilawannya ini benar-benar bukan seorang manusia! Memang setelah berhasil makan jantung Galiga Jaya, keadaan Rondo Kuning benar-benar berobah dan kesaktiannya yang dimiliki pada saat itu mentakjubkan, seakan-akan ada iblis yang masuk ke dalam tubuhnya.
"Hi-hi-hi! Bawalah pulang kekasihmu itu, manis. Akan tetapi, pemuda kasar ini cukup tampan juga untuk menjadi pelayan di Laut Kidul!"
"Ibu..... Kau lepaskan Riyatman! Kalau kau mengganggu dia, aku akan menyerangmu dengan belati ini!"
Bandini berseru sambil memandang Rondo Kuning dengan sinar mata berapi-api. Rondo Kuning terkejut dan nampak marah mendengar ada orang berani melawannya, akan tetapi ketika sinar matanya yang liar itu bertemu dengan pandang mata Bandini yang berani, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh lagi.
"Eh-eh, kau si hitam manis yang galak! Apamukah pemuda ini? Kekasihmu-kah?"
"Tak perlu bertanya. Pendeknya, kau harus melepaskan dia!"
Rondo Kuning menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau bukan kekasihmu aku akan mencekik lehernya!"
Sambil berkata demikian, jari-jari dengan kuku panjang itu telah menjalar ke dekat leher Riyaman yang tak berdaya dan hanya dapat memandang kepada Bandini dengan mata terbelalak!
"Jangan Ibu...! Dia... dia kekasihku..."
Kata Bandini sambil melompat maju, menangkap lengan Riyatman dan menariknya dari pegangan Rondo Kuning. Iblis wanita itu tertawa menyeramkan dan mendorong tubuh Riyatman hingga pemuda itu terlempar dan bertumbukan dengan Bandini hingga keduanya jatuh ke atas tanah. Pada saat itu, Baurekso dan lain-lain panglima telah tiba disitu dan memandang peristiwa ini dengan mata terbelalak. Mereka juga merasa ngeri sekali melihat mayat Galiga Jaya dan melihat keadaan iblis wanita itu. Rondo Kuning berdiri dan mengulurkan kedua tangannya berlumur darah itu keatas sambil berseru mengancam,
"Orang Mataram! Siapa hendak membela Galiga Jaya, majulah! Biar aku menambah sarapanku dengan beberapa buah jantung segar lagi! Ha-ha-ha!"
Pada saat itu, tiba-tiba orang-orang disekeliling tempat itu berlutut dan dari dalam kabut keluarlah seorang laki-laki yang berpakaian indah dan sikapnya agung sekali. Yang baru datang ini bukan lain ialah Sri Sultan Agung sendiri! Dengan langkah tetap dan pandang mata tenang dan tajam, Sultan Agung menghampiri Rondo Kuning yang masih berdiri dengan tubuh bongkok dan mata liar, Sultan Agung lalu berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangan di pinggang sambil menatap wajah Rondo Kuning. Iblis wanita itu ketika melihat Sultan Agung lalu memekik liar dan menubruk dengan jari-jari terbuka ke arah leher Sultan Agung. Akan tetapi, raja sakti itu mengebutkan tangan kirinya yang mengenai kening iblis wanita itu. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh iblis wanita itu roboh di depan Sultan Agung.
"Pergi kamu! Pergi tinggalkan tubuh wanita ini.!"
Sri Sultan Agung membentak dengan suara yang amat berpengaruh. Iblis wanita itu masih memekik-mekik dan melompat berdiri lagi hendak menyerang Sri Sultan. Akan tetapi, kembali tangan kirin Sultan Agung menampar dan kini tubuh itu jatuh bergulingan di atas tanah seperti cacing kena abu panas! Namun, iblis wanita itu memang kebal sekali, ia mencoba untuk menyerang lagi hingga sampai tujuh kali Sultan Agung menamparnya sambil tiap kali membentak mengusir iblis yang mempengaruhi Rondo Kuning. Melihat betapa Ibunya mendapat siksaan dari Sultan Agung, Sariwati dan Bandini menjerit dan menangis lalu menghampiri tubuh yang masih bergulingan setelah kena tampar yang ketujuh kalinya. Agaknya ia tak kuasa bangun lagi dan bergulingan sambil menjerit-jerit.
"Ibu"
Ibu... mintalah ampun, Ibu..."
Kata Bandini sambil memeluk tubuh yang mengerikan itu.
"Ibu... sadarlah, Ibu"
Aku anakmu, Sariwati, Ibu""
Rondo Kuning memandang kepada dua gadis itu, dan tiba-tiba ia terisak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sultan Agung.
"Pergilah, dan bawa tubuh yang kau nodai ini agar jangan mengotori yang lain!"
Sri Sultan Agung bersabda. Rondo Kuning lalu menjerit lagi dengan suara memilukan, lalu bangun berdiri dan berlari pergi dari situ.
"Ibu..."
Kedua gadis itu hendak mengejar, akan tetapi Adiguna dan Riyatman memeluk kekasih masing-masing, mencegah mereka mengejar Rondo Kuning. Orang-orang lain dan perajurit-perajurit yang mengejar nenek bongkok itu melihat Rondo Kuning berlari terus menuju Bengawan Solo dan wanita itu lalu melompat ke dalam air terus menghilang tak timbul lagi. Tubuhnya tak pernah ditemukan orang, entah menjadi korban buaya entah berada dimana. Sementara itu, Sri Sultan Agung lalu memandang kepada dua pasang muda-mudi yang masih bertangisan disitu, lalu bertanya dengan suara keren, Adiguna dan kawan-kawannya lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Ampun beribu ampun, gusti junjungan hamba sekalian. Hamba mengaku salah dan segala keputusan paduka akan hamba terima dengan rela."
Sri Sultan Agung memberi tanda agar supaya mayat Galiga Jaya dibawa pergi. Setelah mayat itu diangkut orang, beliau lalu berkata kepada Baurekso,
"Paman Baurekso, tangkap dan penjarakan empat anak-anak nakal ini!"
Baurekso maklum bahwa Sri Sultan hanya hendak memberi pengajaran kepada empat anak muda itu dan takkan menghukumnya, maka dengan wajah berseri siap menjalankan perintah itu.
Akan tetapi, pada saat itu serombongan wanita datang dengan tangis memilukan dan datang-datang mereka semua berlutut di depan Sang Prabu. Dengan ratap tangis, semua wanita yang ternyata adalah janda dari Pakem, menuturkan tentang keganasan Galiga Jaya, betapa Penewu yang kejam itu telah menganiaya Rondo Kuning bahkan telah membunuh puteranya sendiri dan telah menculik ketiga anak tirinya. Kemudia menceritakan pula betapa Penewu Galiga Jaya telah membasmi dusun Pakem dan membunuh banyak rakyat lalu membuat laporan palsu bahwa rakyat Pakem yang memberontak terhadap Mataram. Semua orang merasa terharu mendengar jerit tangis dan cerita mereka ini dan merasa gemas kepada Galiga Jaya yang telah mati dalam keadaan demikian menyeramkan. Sri Sultan Agung mengangguk-angguk dan bersabda,
"Kalau begitu, kesalahan terletak di pundak Galiga Jaya yang telah tewas. Biarlah peristiwa ini dijadikan contoh oleh semua orang bahwa betapapun pandai seorang menutupi kesalahan dan kejahatannya, akhirnya Hyang Agung akan menjatuhkan hukumanNya juga!"
Kemudian, dengan suara halus dan manis budi, Sri Sultan mengampuni kesalahan Adiguna, Riyatman, Sariwati dan Bandini, bahkan lalu bersabda,
"Adiguna, kau berjodoh dengan Sariwati dan bawalah isterimu ini ke Pakem. Kau kuangkat menjadi kepala desa Pakem dan pimpinlah rakyat dusun itu dengan bijaksana. Dan kau Riyatman, Bandini adalah jodohmu. Kau kuangkat menjadi kepala Desa Waru menggantikan Galiga Jaya. Kurangilah kekerasan hatimu dan pimpinlah rakyat tani dengan baik!"
Keempat anak muda itu menyembah dan menghaturkan terima kasih lalu berangkat ke tempat masing-masing dengan penuh bahagia, diantar oleh rombongan yang datang dari Pakem. Untuk sepekan lamanya di dusun Pakem dan Waru diadakan perayaan ramai untuk merayakan pernikahan Adiguna dengan Sariwati dan Riyatman dengan Bandini.
Demikianlah, keempat anak muda yang gagah perkasa itu hidup bahagia. Ketika Sri Sultan pada tahun 1629 menyerang Belanda, Adiguna dan Riyatman beserta isteri mereka yang setia, ikut pula berjuang dengan gigih. Biarpun senjata para pahlawan Mataram hanya senjata tajam saja, namun perlawanan yang dahsyat itu telah membuat fihak Belandan hancur berantakan. Akan tetapi, siasat Belanda yang terkenal licin dan curang, yang seringkali menjalankan siasat adu domba, akhirnya menggagalkan penyerbuan Sultan Agung hingga terpaksa tentara Mataram di tarik mundur. Namun perlawanan terhadap penjajah Belanda tak pernah lenyap dari hati parah pahlawan bangsa.
TAMAT
Penerbit : CV. GEMA "
Solo
Di Ketik oleh : Eddy Zulkarnaen
Di Posting oleh : Djan M
Di Posting di Grup : Cersil KhoPingHoo
Di Edit ke Doc, PDF, TXT oleh : Cersil KPH
Sumber : https://dunia-kangouw.blogspot.com/2017/09/download-rondo-kuning-membalas-dendam.html
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo