Jaka Galing 1
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Setelah mendengar perintah Sang Adipati Gendrasakti yang disampaikan oleh lima orang Ponggawa Kadipaten itu kepadanya, maka Panembahan Ciptaning lalu menyatakan kesanggupannya dan mempersilahkan kelima orang Ponggawa itu untuk menanti sembentar sambil menikmati hidangan sekedarnya, yaitu air teh kental panas-panas dengan pacitan ubi rebus dan gula kelapa. Karena telah melakukan perjalanan dan jauh sehingga mereka merasa lelah sekali, lima orang Ponggawa itu menghadapi hidangan ini dengan penuh selera dan menganggapnya sebagai rejeki besar. Sang Panembahan Ciptaning lalu minta diri para tamunya untuk berkemas dan berpamit kepada orang dalam. Ia menuju ke sanggar pamujan, yaitu sebuah pondok kecil di kanan rumah, tempat ia dan puteranya memuja Samadhi. Panembahan yang sudah tua dengan jenggot dan rambut yang telah memutih itu lalu mencuci kaki dan tangan kemudian masuk kedalam pondok kecil.
Ia hendak menyampaikan puji kepada Yang Maha Tunggal dan mohon berkah kekuatan untuk menghadapi peristiwa yang akan dialaminya. Tidak lama kemudian, dari luar tampak seorang pemuda berlari-lari mendatangi. Dengan kerling mata tajam pemuda itu memandang lima orang Ponggawa yang masih duduk makan minum di ruang depan, lalu tanpa memperdulikan mereka ia langsung lari ke dalam. Kelima orang Ponggawa itu memandangnya dengan penuh kagum. tak mereka sangka bahwa di tempat sesunyi ini terdapat seorang anak muda yang seperti itu. Tubuhnya yang tak berbaju tampak tegap dengan kulit yang halus putih kekuningan, sepasang lengannya tampak kuat dan tangkas sedangkan wajahnya sangat tampan dan membayangkan keagungan wataknya.
Mata lebar dan bening bercahaya dilindungi bulu mata yang panjang melengkung ke atas, hidung kecil mancung dengan tulang lurus dan di sekeliling lubang hidung tipis, bibirnya bagaikan gendawa dan berwarna merah sehat, sedangkan dagunya tajam berlekuk sedikit di tengah dengan tarikan kuat menandakan bahwa ia memiliki kemauan keras dan kuat serta iman yang teguh. Sepasang telinganya lebar dan bentuknya indah, tanda akan sifatnya yang berbudi. Tetapi pada saat itu, pemuda ini tampak mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang di khawatirkannya. Astaga, elok benar anak muda itu! seru seorang diantara para Ponggawa tadi sambil memandangi sepasang kaki yang kokoh kuat itu melangkah memasuki rumah. Celana warna hitam itu diselimuti kain tenun.
"Siapakah ksatria gagah ini?"
Tanya Ponggawa kedua, sambil memandang kearah rambut kepala yang terbungkus sehelai kain ikat kepala berwarna biru gelap.
Barangkali murid Panembahan bisik yang lain. Sementara itu, teruna elok yang menjadi sasaran pandangan kelima orang Ponggawa tadi, langsung melangkah kedalan dan dengan tindakan cepat menuju kesanggar pamujaan. Ia menanggalkan gendawa yang tadi dikalungkan di bahu kanannya dan melepaskan kantung anak panah yang tergantung di punggung. Dengan tergesa-gesa ia mencuci kaki dan kedua tangannya, lalu menaiki tangga sanggar itu. Dilihatnya kakek pendeta tengah duduk bersila,mengheningkan cipta. Untuk sejenak pemuda itu memandang kepala Panembahan Ciptaning dengan tak bergerak, matanya dibayangi kagum dan haru. Memang kalau orang melihat pendeta tua itu sedang bersemedi, akan timbul rasa kagum dan terhormat.
Tubuh pendeta itu kurus kering tapi kulitnya tidak berkeriput, juga tidak pucat, bahkan wajah yang kurus itu bercahaya kemerahan. Dadanya yang telanjang itu bergerak perlahan dan tetap ketika bernapas. pernapasannya panjang-panjang dan bebas lepas seperti yang hanya dapat dilakukan oleh manusia sidik dan bijaksana. Lengan kanannya memeluk pusar dan lengan kiri ditumpangkan diatas bahu kanan, Kedua kaki bersila tumpang dengan kedua telapak kaki terlentang diatas paha. Bibir tertutup rapat mengarah senyum, mata setengah terkatup dengan pandangan tertuju keujung hidung. Seakan-akan ada hawa panas menyinar keluar dari tubuhnya dan bernyala-nyala diatas kepalanya. Teruna itu lalu menyembah dan tiba-tiba Panembahan Ciptaning membuka matanya, seakan-akan sembah pemuda itu menariknya kembali dari alam hening.
"Putraku galing, kau sudah kembali?"
"Betul, rama Panembahan, karena ada berita buruk disampaikan paman suto kepadaku."
Kakek pendeta itu dengan tenang bertanya ,
"Berita yang mana, anakku?"
"Ketika sedang membidik seekor kijang dengan panahku, tiba-tiba paman suto datang dan berteriak memanggil hingga kijang itu terkejut dan lari ke dalam semak-semak belukar. Kemudian paman suto membertahukan bahwa Rama Bagawan didatangi Ponggawa dari Kadipaten dan bahwa Rama dipanggil menghadap betulkah! Betulkah itu, Rama?"
Begawan Ciptaning mengangguk sambil tersenyum ramah.
"Ahh, anak muda yang berdarah panas. Memang berita itu benar, tapi apakah itu dapat disebut berita buruk? Selayaknya seorang pembesar seperti Gusti Adipati Gendrasakti yang menguasai seluruh daerah Wanagading ini memanggil seorang warga Kadipaten yang mana saja untuk menghadap."
"Tapi, Rama, bayangan yang kulihat dalam mimpi semalam itu..."
Suara Jaka Galing terdengar penuh ragu-ragu dan cemas. Sang Bagawan menarik napas panang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika ia berkata,
"Puteraku yang baik, memang Yang Maha Pengasih selalu memberi alamat dan tanda kepada sekalian hambaNya, tapi hanya mereka yang waspada saja yang dapat menangkap dan mengerti akan alamat itu. Engkau tentu maklum, anakku, bahwa Yang maha Tunggal itu berkuasa mutlak, kuasa memberi dan mengambil, kuasa membangun dan meruntuhkan. Kita sebagai manusia hanya tinggal menjalani saja, kewajiban kita memilih, ialah jalan yang terbaik. Hilangkanlah keraguan dan kecemasan hatimu, kierena itu hanya akan menyeretmu kedalam jurang kelemahan batin dan mengurangi ketabahan dan kekuatanmu."
Jaka Galing menyembah hormat.
"Maaf, Rama Bagawan. Memang tadi hati hamba diliputi kekhawatiran besar terdorong oleh napsu hati. Tapi setelah mendengar wejangan Rama, hatiku menjadi tenteram kembali, sungguhpun terus terang saja hatiku takkan merasa enak melepas rama pergi menghadap sang Adipati. Dalam mimpiku semalam, kulihat rama berpakaian putih dan bersayap terbang keangkasa raya, inipun bukan alamat yang baik. Pula, hamba mendengar kabar angin bahwa sang Adipati sedang bela sungkawa, entah apa yang disusahkannya."
Kini Bagawan Ciptaning kembali tersenyum.
"Anakku, tak perlu kita sembunyikan lagi. Memang kita telah mengetahui bahwa mimpi macam itu biasanya berarti kematian. Tapi apakah kau masih menganggap bahwa kematian adalah hal yang buruk dan perlu disusahkan? Kau tentu tahu bahwa mati pada hakekatnya hanya memenuhi kewajiban, tunduk kepada hukum alam yang tak kuasa kita elakkan, sama halnya dengan kelahiran. Manusia mana yang dapat mengelakkan kelahiran sendiri? Demikian pula diapun takkan dapat menghIndrakan kematian, sesuatu hal lumrah yang akan dialami oleh setiap mahkluk di dunia ini."
Pada saat itu terdengar suara panggilan di luar sanggar pemujaan.
"Sang Bagawan! Harap suka keluar dan kita berangkat sekarang karena matahari telah naik tinggi!"
Itulah suara Ponggawa.
"Baik, mas Ponggawa, aku segera turun,"
Jawab Panembahan Ciptaning. Kakek pendeta itu berdiri dan mengambil jubahnya yang panjang dari sangkutan lalu dikenakan di tubuhnya yang kurus.
"Rama Bagawan!"Jaka Galing memeluk kaki pendeta itu. Bagawan Ciptaning membungkuk dan membelai-belai rambut taruna itu.
"Galing, ingat. Tidak ada pertemuan abadi di dunia dan juga tidak ada perpisahan abadi. Kelak kita semua akhirnya akan menjadi satu juga. Bersikaplah kau sebagai sebagai ksatria dalam segala hal. Janagn menuruti nafsu hati yang liar tanpa kendali. Pergunakanlah akal budi dan hatui nuranimu, perhatikan selalu bisikkan suara jiwa murnimu."
"Rama, aku ikut, rama. Biarkan aku melindungimu selama dalam perjalanan ke Kadipaten."
"Jangan, angger. Gusti Adipati hanya memanggil ramamu, dan kau harus jaga disini memimpin, pamong tani mengerjakan sawah. Hati-hati menjaga tanggul sawah, sekarang musim hujan dan kau tanggul sampai pecah sungguh kasihan nasib kawan-kawan tani kita. Sudahlah galing, puteraku, ramamu pergi."
"Selamat jalan, Rama Bagawan."
"Selamat tinggal, Yang Maha Tunggal akan selalu memberkatimu!"
Kakek pendeta itu lalu menuruni anak tangga diikuti oleh Jaka Galing. Pemuda ini merasakan adanya suatu bisikan didalam hatinya yang membuat ia tidak rela melihat ayahnya pergi. Tapi ayahnya melarang ia ikut dan tak berani membantah kehendak ayahnya. Panembahan Ciptaning lalu dipersilahkan naik tandu yang telah disediakan oleh para Ponggawa itu, tapi sambil tersenyum pendeta itu menolak. Ketika ketika ia dipersilahkan menunggang kuda ia menolak pula. Melihat kesibukan para Ponggawa itu, Jaka Galing bertindak maju dan berkata kepada mereka.
"Paman Ponggawa sekalian tidak perlu sibuk dan bingung. Rama Panembahan tidak pernah menyiksa orang dengan duduk di dalam tandu dan orang lain memikulnya, juga beliau tidak suka menunggang kuda. Akan tetapi, tak perlu kalian khawatir. Larikan saja kudamu secepatnya ke Kadipaten,rama takkan tertinggal oleh kalian!"
Mendengar ucapan itu para Ponggawa saling pandang dan tertawa geli,karena mereka menyangka bahwa anak muda itu membual. Tapi, alangkah heran mereka ketika pendeta itu berkata dengan suara halus.
"Mas Ponggawa, naiklah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki saja."
"Tapi kita akan terlambat dan gusti Adipati akan marah kepada kami kalau kita datang terlambat. Sedang dengan naik kuda saja, baru setelah matahari turun kita akan sampai kesana, apalagi kalau jalan kaki, mungkin sampai besok kita belum tiba!"
"Naiklah kuda kalian dan larikan secepatnya, aku akan pergi lebih dulu,"
Kata pendeta itu.
Ketika lima orang Ponggawa itu bertindak masih agak ragu-ragu dan banyak rewel. Jaka Galing lalu menggunakan telapak tangannya menepuk pangkal paha kelima kuda mereka. Kuda-kuda itu meloncat dan meringkik, lalu melompat ke depan dengan cepat sekali tanpa dapat ditahan pula oleh penunggang-penunggangnya. Jaka Galing tertawa nyaring melihat mereka, dan Panembahan Ciptaning hanya tersenyum. Pendeta tua inipun lalu menggunakan aji kesaktiannya dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah larinya kuda. Untuk akhir kalinya, Jaka Galing berlutut menyembah ke arah ayahnya. Sampai lama pemuda itu duduk bersila di depan pondoknya, dan baru berdiri ketika suto menghampirinya.
"Den bagus, ramamu sudah pergi, mari kita masuk kepondok."
Jaka Galing bagaikan baru sadar dari mimpi. Ia memandang wajah pelayan tua yang setia itu, lalu berkata,
"Paman suto, hari ini aku akan bersamadhi di sanggar pamujan untuk memohon berkah Sang Hyang Agung untuk Rama Panembahan. Aku takkan keluar sampai besok pagi, jangan kau ganggu aku."
Pemuda itu lalu berdiri dan masuk ke sanggar pamujan. Pak Suto menggelengkan kepalanya. Diam-diam ia memuja pemuda yang amat berbakti dan mencintai orang tua ini. Ia sendiri yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada sang pendeta dan maklum betapa saktinya Panembahan Ciptaning, tidak merasa khawatir sedikit juga. Lima orang Ponggawa yang bertugas memanggil Panembahan Ciptaning menjadi marah sekali ketika kuda mereka tiba-tiba lari karena tepukan anak muda itu. Mereka mencoba menahan dan menenangkan kuda mereka, tapi kuda-kuda ini bagikan gila dan lari cepat ke depan hingga terpaksa mereka menurut saja. Sambil memaki-maki mereka mengarahkan kudanya ke jurusan Kadipaten. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang halus dan berpengaruh,
"Mas Ponggawa, jangan suka menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kuda. Kalau kalian terus memaki, tentu kalian akan terlempar jatuh!"
Mendengar suara ini mereka terkejut dan menengok. Ternyata dibelakang mereka tampak Panembahan Ciptaning berjalan seenaknya dengan tongkat di tangan.
Biarpun kedua kaki pendeta itu bergerak perlahan bagaikan seorang yang sedang berjalan-jalan, namun kecepatannya tidak kalah dengan larinya kuda! Melihat keadan yang aneh ini, empat orang Ponggawa segera berhenti nemaki-maki kuda mereka. Tapi seorang diantara mereka yang termuda, tidak merperdulikan peringatan Panembahan Ciptaning, dan bahkan memaki-maki lebih keras dengan kata-kata kotor. Tiba-tiba kudanya meringkik ganjil dan sambil bediri di kedua kaki belakang, binatang itu menggoyang-goyang tubuhnya dengan kuat hingga si Ponggawa tidak dapat bertahan lagi dan terlempar dari atas punggung kuda! Untung ia terlempar ke atas semak-semak yang tebal hingga tidak mengalami patah tulang, dan hanya menderita luka-luka dikulit saja. Sekali lagi Panembahan Ciptaning berkata.
"Mas Ponggawa, kalian paculah kuda itu baik-baik. Aku hendak berjalan lebih dulu."
Terlihat oleh mereka bayangan putih berkelebat dan pendeta tua itu telah lenyap dari pandangan mata mereka! Bukan main kagum mereka melihat kesaktian ini. Sesudah itu dengan cepat mereka menolong kawan mereka yang terlempar oleh kuda tadi. Ponggawa itu merintih-rintih, tapi kini tidak berani memaki lagi! Adipati Gendrasakti adalah Adipati yang mermerintah daerah Kadipaten Tandes dan terkenal sebagai seorang yang sakti mandraguna, karena ia pernah menjadi senopati dari Prabu Brawijaya di kerajaan majapahit.
Karena jasanya yang besar dalam menaklukkan Kerajaan Blambangan pada beberapa tahun yang lalu, ia lalu diangkat menjadi Adipati dan berkedudukan di Kadipaten Tandes, serta dijodohkan dengan seorang puteri kedaton yang cantik jelita bernama Cahyaningsih, yakni puteri seorang selir Prabu Brawijaya. Semenjak Adipati Gendrasakti memerintah di Tandes, daerah itu menjadi subur makmur dan tenteram. Para paman tani bekerja dengan penuh semangat karena selain mendapat petunjuk-petunjuk dari para Ponggawa Kadipaten yang bertugas khusus untuk itu,juga pajak sawah tidak terlalu berat. Para nelayan juga bekerja dengan penuh gembira dan hasil ikan yangt mereka dapat sedemikian banyaknya hingga dapat dikirim kedaerah lain, bahkan sampai dibawa keluar pulau. Tapi memang benar ucapan para cendekiawan zaman dahulu bahwa segala sesuatu yang nampak dipermukaan bumi itu tidak kekal adanya.
Sedangkan samudera yang demikian luasnya mengalami pasang surut, udara yang sedemikian luas mengalami musim panas dan dingin. Apalagi manusia, makhluk kecil yang tidak berdaya terhadap kehendak Sang Hya Agung. Roda pemerintahan yang tadinya berputar lancar di bawah pimpinan Adipati Gendro sakti, tiba-tiba harus tunduk pula kepada nasib yang menimpanya. Hal ini terjadi semenjak Adipati Gendrasakti mengambil seorang selir baru sebagai penambah selir-selirnya yang sudah berjumlah 14 orang itu. Tadinya Adipati sangat mencintai Dewi Cahyaningsih dan tidak memelihara selir, tapi semenjak istrinya yang tercinta itu melahirkan seorang anak perempuan, entah mengapa, berubahlah sifat Adipati Gendrasakti dan selirnya selalu bertambah banyak.
Selirnya yang terbaru adalah ledak yang sangat tersohor karena kecantikannya dan kepandaiannya menari serta suaranya yang merdu. Namanya Sariti, berasal dari Surabaya. Dan sejak memboyong selir ini keKadipaten, Adipati Gendosakti mulai melalaikan dan jarang sekali keluar dari Kadipaten untuk memeriksa keadaan rakyatnya di desa seperti yang dulu sering ia lakukan. Tiap hari ia bersenang-senang dengan selir baru itu dan hampir tiap malam terdengar suara gamelan dimainkan oleh para yogo dari ruang tengah Kadipaten, tanda bahwa Adipati sedang mengadakan klenengan. Dari luar Kadipaten, sayup-sayup terdengar suara Sariti mengalun merdu, merayu-rayu dan membuat sang Adipati tenggelam semakin dalam. Pada suatu malam, Adipati Gendrasakti bermimpi melihat api kecil bernyala di dalam rumahnya.
Lama-lama nyala api itu membesar hingga rumahnya menjadi lautan api dan terbakar habis. Ia berteriak-teriak minta tolong lalu sadar dari mimpinya dengan wajah penuh peluh dan hati tidak tenteram. Pada keesokan harinya, ia panggil menghadap para hulubalangnya dan memerintahkan untuk memanggil menghadap para cerdik pandai di seluruh Kadipaten. Setelah mereka datang menghadap, Adipati Gendrasakti lalu menceritakan kejadian yang diimpikannya dan bertanya kepada mereka apa arti mimpinya itu. Para penasehat itu saling pandang dan tak seorang di antara mereka dapat memecahkan arti mimpi yang aneh itu. Beberapa diantara mereka maklum bahwa mimpi seperti itu mempunyai arti yang tidak baik, maka mereka tak berani menerangkannya di depan Gendrasakti, dan merasa lebih aman dengan menutup mulut dan berpura-pura tidak tahu artinya.
"Paman sekalian adalah orang-orang yang dianggap paling pandai di Kadipaten Tandes. Tapi mengapa memecahkan arti mimpi yang sedemikian sederhananya saja tidak sanggup?"
Kata Adipati Gendrasakti marah. Penasehat tertua yang dianggap paling pandai, bernama Bagawan Sidik Permani, menyembah dan berkata.
"Gusti Adipati yang mulia. Menurut pendapat hamba yang rendah, mimpi adalah kembang tidur. Seorang yang bermimpi menandakan bahwa dia itu tidur nyenyak dan pulas. Hamba rasa tidak perlu paduka merasa bingung dan menyusahkan sebuah mimpi yang tidak ada artinya."
"Paman Bagawan, tak mungkin mimpiku semalam itu tak ada artinya. Sayapun bisa membedakan mimpi yang kosong dengan mimpi yang mengandung arti. Sayang saya tidak dikaruniai kewaspadaan oleh Sang Hyang Agung, dan lebih sayang lagi paman sekalian yang memiliki kewaspadaan ternyata tidak mampu mempergunakannya."
Bagawan Sidik Permani berkata pula,
"Maaf, Gusti Adipati, kalau gusti tetap hendak mengetahui arti mimpi paduak itu, kiranya di seluruh Tandas ini hanya ada seorang saja yang sanggup menerangkannya."
Wajah Adipati Gendrasakti berseri dan kemarahannya berkurang.
"Paman Bagawan, siapakah gerangan orangi itu? "tanyanya.
"Siapa lagi kalau bukan Paman Panembahan Ciptaning dari dusun tiban."
Pendeta yang mengasingkan diri dan bertapa di dusun itu. Ia maklum akan kesaktian dan kewaspadaan Panembahan Ciptaning, karena dulu ketika ia masih menjadi senopati di Majapahit, Panembahan Ciptaning juga mengabdi kepada Prabu Brawijaya dan menjadi penasihat yang dikasihani. Pada waktu itu nama Panembahan Ciptaning masih disebut Empu Ciptaning. Mendengar keterangan Bagawan Sidik Permani, hati Adipati Gendrasakti menjadi sangat girang dan mengutus lima orang Ponggawa untuk pergi ke dusun Tiban dan memanggil orang tua itu.
Panembahan Ciptaning dengan mempergunakan aji kesaktiannya telah mendahului para Ponggawa yang diutus memanggilnya dan sebelum hari menjadi gelap ia telah tiba di Kadipaten. Penjaga pintu gerbang Kadipaten yang telah mendengar bahwa Adipati Gendrasakti mengirim utusan untuk memanggil seorang tua yang sakti, ketika mendengar permintaan kakek itu dan mendengar namanya, segera berlaku hormat sekali dan mengiringkan pendeta itu masuk ke Kadipaten. Adipati Gendrasakti yang mendengar akan kedatangan Panembahan Ciptaning, menjadi girang sekali. Segera ia panggil menghadap semua hulubalang dan penasihatnya. Dan pada senja hari itu ia mengadakan pertemuan di balairung atau ruang di mana biasanya ia mengadakan persidangan dengan para Ponggawanya.
Setelah semua hulu balang datang menghadap, Panembahan Ciptaning yang sementara itu dipersilahkan menanti diruang tunggu, lalu dipanggil menghadap. Dengan langkah perlahan dan wajah yang sabar serta tenang, Panembahan Ciptaning memasuki balairung dan langsung menghadap Adipati Gendrasakti yang duduk di kursi kebesarannya, sebuah kursi dihias dengan gading-gading indah, hadiah dari sanga Prabu Brawijaya. Sebagai seorang tamu agung atau seorang yang terhormat, Panembahan Ciptaning tidak duduk di atas lantai seperti hamba sahaya yanga lain, melainkan dipersilahkan duduk di atas sebuah kursi cendana. Setelah tegur-menegur dan salam-menyalam sebagimana layaknya tamu dan tuan rumah. Adipati Gendrasakti lalu menceritakan maksudnya memenggil orang tua itu. Ia lalu menceritakan tentang mimpinya yang aneh dan yang membuat selalu hatinya bimbang.
"Paman Panembahan."
Katanya dengan sikap hormat.
"Semenjak saya mendapat mimpi itu, entah mengapa, hati saya merasa tidak enak, makan tak mau dan tidur tak nyenyak. Saya akan merasa menderita dan kecewa selalu sebelum mimpi saya itu dipecahkan artiya. Oleh karena itu, saya mohon kepada paman untuk sudi membantu dan menerangkan arti mimpi saya itu."
Semenjak tadi Panembahan Ciptaning mendengar dengan penuh kesabaran, Tidak satu kali pun ia memotong pembicaran Gendrasakti, Setelah Adipati itu selesai menuturkan mimpinya, baru pendeta itu mengangguk-angguk dan menggunakan tangannya meraba-raba jenggotnya yang putih dan panjang.
"Ananda Adipati, memang segala apa yang ada telah di tentukan oleh Sang Hyang Agung. Manusia boleh berusaha, namun Gusti Yang Maha Tinggi juga yang akhirnya jadi penentunya. Betapapun cerdik pandainya seseorang, tapi sebenarnya ia bukan apa-apa dan hanyalah makhluk kecil lemah dan tak berdaya dan harus tunduk kepada hukum alam. Ananda Adipati, sungguh amat mengherankan kalau dipikir bahwa untuk menerangkan arti mimpi yang sederhana ini saja sampai bersusah payah mendatangkan paman orang tua yang bodoh. Apakah paman takkan dianggap terlalu meremehkan saudara-saudara para cendekiawan di Tandes ini?"
"Inilah yang membingungkan hati saya, paman. Ternyata kali ini paman-paman penasihat di Tandes ini kehilangan kewaspadaan mereka dan tak sanggup menerangkan arti mimpi saya, oleh karena itu saya terpaksa mengganggu paman Panembahan."
Sekali lagi, Panembahan Ciptaning mengangguk-anggukkan kepalanya yang sudah ubanan dan terdengar ia menarik napas panjang.
"Hm, inipun kehendak Sang Hyang Agung, memang sudah seharusnya demikian. Baiklah ananda Adipati, dengarkanlah uraian paman akan arti mimpi itu. Ananda melihat buanga api kecil di dalam rumah yang kemudian membesar dan membakar rumah ini sampai habis binasa. Mimpi ini mempunyai arti buruk, ananda Memang, pada permulaan, bahaya yang mengancam Kadipaten Tandes tidak kentara dan karenanya ananda abaikan. Bunga api kecil di dalam rumah itu memperlambangkan adanya siluman di dalam rumah ananda, siluman yang telah menjelma menjadi wujud manusia dan yang kemudian hari akan mendatangkan bencana dan kehancuran kepada anada serta Kadipaten Tandes. Karena ini menjadi peringatan Sang Hyang Agung, maka berhati-hatilah, ananda!"
Tidak saja Adipati Gendrasakti yang menjadi pucat mendengar uraian ini, bahkan semua hadirin juga merasa ngeri dan terkejut. Tiadak hanya terkejut akan ancaman arti mimpi itu, tapi terkejut karena mereka menganggap bahwa pendeta ini terlampau berani dan lancang meramalkan keadaan yang demikian buruk bagi Kadipaten Tandes. Memang di dalam hati Gendrasakti telah timbul amarah besar, tapi ia masih kuasa menekan perasaannya itu, dan bertanya meminta nasihat.
"Kalau demikian halnya, usaha apakah yang dapat saya ikhtiarkan untuk menjauhkan bencana yang mendatang itu, paman Panembahan?"
Dengan suara sungguh-sungguh Panembahan Ciptaning menjawab.
"Seperti kukatakan tadi,manusia boleh berusaha, namun Sang Hyang Agung juga yang akan menentukan! Betapapun juga,kalau benar-benar diusahakan,memang belum terlambat. Jalan satu-satunya ialah ananda harus bertindak cepat, mengambil bunga api itu dan membuangnya jauh-jauh hingga tak menimbulkan kebakaran besar! Ananda harus insyaf bahwa segala akibat itu bersebab. Sang Hyang Agung takkan menjatuhkan hukuman kepada makhlukNya tanpa sebab, seperti juga air diam takkan bergerak tanpa ada yang menyentuhnya! Dan kesalahan-kesalahan apa yang telah ananda perbuat, hanya ananda sendiri yang bisa mencarinya."
Adipati Gendrasakti berpikir keras dan mencoba untuk menerka siapa gerangan siluman berwujud manusia yang merupakan bunga api yang kelak akan membakar rumah tangganya itu. Tapi ia tak sanggup menemukannya maka ia lalu bertanya lagi.
"Duhai, paman Panembahan yang waspada, janganlah kepalang tanggung menolong kami. Sebutkanlah orangnya yang paman anggap sebagai bunga api itu, dan saya akan melenyapkannya dari muka bumi ini sekarang juga!"
Karena agak lama pendeta itu belum menjawab, maka keadaan menjadi sunyi dan tegang. Setiap telinga dipasang baik-baik untuk mendengar jawaban Panembahan Ciptaning dan setiap dada berdebar. Kemudian terdengar jawaban Panembahan itu, perlahan dan tenang hingga jelas terdengar oleh semua orang.
"Bunga api indah dilihat dan setiap orang membutuhkannya. Dalam mimpi ini ia melambangakan seoarang yang cantik dan pada waktu ini paling ananda cintai dan anada sayang. Dialah orang itu!"
Hening sesaat, bahkan hembusan napaspun hampir tak terdengar lagi, tapi tiba-tiba meledaklah uap panas di dalam dada Adipati Gendrasakti.
"Paman Panembahan! Kau maksudkan Sariti?!"
Panembahan itu menundukkan kepala.
"Bukan aku yang memaksudkan, tetapi mimpi anada sendiri."
Tiba-tiba meledaklah suara ketawa dari mulut Gendrasakti. Suara ketawa terbahak-bahak yang sengaja dikeraskan untuk menekan gelora hatinya yang diliputi rasa cemas dan takut. Kemudian ia berkata keras.
"Ha, ha! Panembahan Ciptaning! Kau... kau curang! Agaknya kau menyimpan dendam padaku dan sekarang kau hendak membalasnya! Kau anggap Sariti akan merusak hidupku? Ha,ha! Gila! Kau sudah gila, Ciptaning!"
"Memang demikian sifat orang yang telah lupa."
Jawab Panembahan Ciptaning.
"Yang bodoh memaki yang lain goblok, yang edan memaki yang lain gila!"
"Pengkhianat tua bangka!"
Gendrasakti marah dan ia mencabut kerisnya. Tapi para penasihatnya segera meloncat menubruk dan menyambarnya hingga Adipati yang sedang marah itu tidak jadi membunuh Panembahan Ciptaning. Tapi ia masih marah sekali dan segera memerintahkan pengawal-pengawalnya.
"Tangkap tua bangka ini! Penjarakan dukun tenun itu!"
Panembahan Ciptaning lalu ditangkap, dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Tapi senyum sabar tak pernah meninggalkan wajah pendeta itu. Adipati Gendrasakti menyumpah-nyumpah dan akhirnya hanya Sariti saja yang dapat menyabarkannya.
"Kang Mas Adipati,"
Kata Sariti dengan suara merdu dan gaya manja.
"Saya telah mendengar tentang ramalan yang diucapkan oleh Panembahan Ciptaning. Kalau memang Kang Mas menganggap bahwa saya dapat menimbulkan malapetaka di Tandes sini, lenyapkanlah saya, Kang Mas, bunuhlah saya, saya rela berkorban demi kebahagian Kang Mas."
Setelah berkata demikian, Sariti menangis terisak-isak.
"Yayi Sariti, jangan kau dengar obrolan kosong dukun tua itu!"
Sariti yang masih muda remaja dan memang cantik itu berkata lagi.
"Jadi kalau begitu dia bukan seorang Panembahan suci seperti yang orang anggap, Kang Mas?"
"Pendeta suci? Ha, ha! Ciptaning hanya seorang kampung yang bisanya hanya mengobati anak-anak kecil. Ha, ha, ha!"
"Kang Mas Adipati, kalu begitu, orang itu berbahaya sekali dan selayaknya dihukum mati."
"Memang! Memang tadinya juga hendak saya binasakan pada saat itu juga, tapi para Ponggawa mencegah saya! Biarlah besok akan kuperintahkan pengawal untuk menjatuhkan hukuman picis [hukuman mati dengan mengguliti tubuh si terhukum sedikit demi sedikit] padanya."
Adipati Gendrasakti makin geram saja.
"Kakang Mas Adipati, jangan jatuhkan hukuman picis padanya, kasihan. Ia akan menderita luar biasa dan hatiku takkan tega mendengar ini."
Adipati Gendrasakti memeluk selirnya yang tercinta itu.
"Ah, makluk begini manis, begini cantik jelita, begini halus dan lembut, serta mempunyai hati pengasih penyayang, makhluk indah ini disebut siluman berwujud manusia oleh Ciptaning? Gila!"
Pikir Gendrasakti.
"Kalau kau keberatan, baik ia dihukum penggal kepala saja, manis,"
Katanya menghibur.
"Kang Mas Gendrasakti, saya masih sangsi dan khawatir kalau-kalau ia memang benar-benar seorang sakti. Bukankah macan putih yang kita dapat dari Madura itu liar sekali? Nah, sebaiknya kita uji kesaktian Panembahan Ciptaning itu. Kalau benar ia dapat menghadapi macan putih yang buas itu dengan selamat, maka benar-benar ia seoarang suci dan tidak seharusnya dibinasakan. Tapi kalau ternyata macan putih sampai membinasakannya, berarti ia memang seorang dukun penipu dan biarlah ia dikubur dalam perut macan putih itu!"
Adipati Gendrasakti senang sekali mendengar usul ini dan ia menganggap selirnya cerdik sekali. Dan malam itu mereka lalui dengan bersenang-senang seperti biasa. Pada keesokan harinya, Adipati Gendrasakti memerintahkan kepada para pengawalnya untuk mengumumkan kepada semua penduduk bahwa di alun-alun hendak diadakan ujian bagi pendeta Ciptaning. Pendeta tua hendak diadu dengan harimau putih yang ditangkap dihutan Madura sebagai ujian.
Jika ia mati diterkam hariamau, ternyata bahwa ia memang seorang penipu, tetapi apabila ia dapat menalahkan harimau putih, ia akan dibebaskan. Berita itu disampaikan oleh rakyat dengan gembira sekali karena memang belum pernah ada peristiwa semacam itu. Sudah menjadi kebiasan bahwa sesuatu pertunjukan yang aneh selalu disukai orang, tanpa memikirkan baik buruknya pertunjukan itu. Sebaliknya para penasehat dan sentana merasa sangat cemas karena ujian itu dianggap terlalu kejam dan tak kenal perikemanusian. Kalau hendak menghukum mati, mengapa tidak dibunuh saja? Mengapa harus dijadikan mangsa seekor harimau yang terkenal ganas dan kejam? Sebelum ditangkap, macan putih itu telah membinasakan puluhan rakyat kampung di Madura dan terkenal sebagai seekor binatang buas yang jahat.
Namun, siapa berani menentang kehendak Adipati Gendrasakti yang kuasa? Semenjak pagi-pagi rakyat berduyun-duyun ke alun-alun, hendak menyaksikan tontonan istimewa ini. Setelah gong dipukul, Adipati Gendrasakti keluar dari Kadipaten, diiringkan oleh para abdi dalem dan para Ponggawa. Tampak pula selirnya yang tercinta, Sariti,hendak menyaksikan tontonan yang terjadi sebagi kenyataan daripada buah pikirannya itu. Semua oarang terutama para muda tiada hentinya memuji kecantikan puteri ini dan diam-diam mereka mengakui bahwa untuk seorang cantik jelita seperti Sariti, seorang laki-laki agaknya akan sanggup melakukan apapun jua yang dimintanya. Setelah Adipati Gendrasakti dan rombongannya duduk di atas panggung yang telah disiapkan di situ, Adipati itu memberi perintah.
Dan datanglah beberapa orang prajurit menggotong sebuah kurungan besi yang besar dan berat. Orang-orang merasa ngeri ketika melihat bahwa yang berada di dalam kurungan itu adalah seekor macan loreng putih yang besar sekali. Ketika harimau itu melihat orang banyak, ia mengaum dengan suaranya yang menggetar bumi. Orang-orang menjadi pucat ketakutan dan para penonton yang berdiri paling depan lalu mundur hingga keadaan menjadi panik! Serombongan perajuit pilihan bersenjata tombak yang runcing segera berbaris dan berderet-deret merupakan pagar tembok yang kokoh kuat. Mereka membuat lingkaran dan penonton hanya diperbolehkan berdiri di belakang pagar prajurit yang menjaga dengan tombak itu siap sedia, maka kembali Adipati Gendrasakti memberi tanda.
Dari arah kamar tahanan, dikeluarkan Panembahan Ciptaning yang tua itu. Ia masih diborgol dengan belenggu rantai dan besi panjang dan ujung rantai itu dipegang oleh seorang penjaga yang bertubuh tinggi besar. Pendeta tua itu masih tersenyum, seakan-akan merasa geli melihat pertunjukan ini. Ia berjalan dengan jalan perlahan dan tenang seperti biasa dan mukanya tunduk memandang tanah yang dilalui kakinya. Para penonton melihat pendeta ini lalu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh rendah. Melihat hal ini, Sariti merasa gemas sekali. Ia menujukan pandangan matanya dengan penuh kebencian ke arah pendeta itu. Orang gila, pikirnya, tanpa sebab tanpa alasan hendak mencelakakan aku! Si cantik itu lalu menyentuh lengan Adipati Gendrasakti dan berbisik.
"Cepatkanlah ujian ini agar lekas beres."
Maka Gendrasakti lalu memberi tanda lagi dan belenggu di tangan Panembahan Ciptaning dibuka.
Ia berdiri di dekat kurungan menundukkan kepala. Kemudian kurungan itu dibuka pintunya. Setelah pintu terbuka, prajurit yang membukanya cepat meloncat menyelamatkan diri di belakang para prajurit penjaga. Terdengar macan putih mengaum lagi beberapa kali, lalu ia keluar dengan perlahan. Semua penonton berdebar-debar dan keadaan menjadi tegang sekali. Harimau memandang calon korbannya yang masih berdiri tegak. Kini Panembahan Ciptaning juga memandang kepada binatang itu. Keduanya berdiri diam tak bergerak saling berpandangan, bagaikan terkena gertaran yang menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya harimau itu kalah dan menundukkan kepala, tak kuasa menentang sinar mata kakek tua di depannya itu. Ia mencium-cium tanah dan mengaum lagi, tapi sama sekali tidak berani menatap Panembahan Ciptaning!
"Dia penyihirnya!"
Sariti berbisik di dekat telinga Gendrasakti.
"Benar-benar dia dukun jahat!"
Sementara itu, melihat betapa harimau yang galak dan ganas itu seakan-akan takut kepada pendeta itu, penonton menjadi kagum dan mereka mengeluarkan suara pujian riuh rendah! Keadaan menjadi panik lagi, orang-orang berdesak-desakan hendak menyaksikan kesaktian seorang pendeta yang telah terkenal dan termasyhur namanya! Pada saat itu, di luar lingkungan penonton terjadi keributan hebat. Terdengar suara bentakan nyaring.
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Minggir! Minggir kamu! Buka jalan!"
Suara bentakan itu begitu menakutkan hingga orang-orang menjadi kacau balau, karena orang yang baru datang itu tidak saja mengunakan suara yang menggeledek untuk minta jalan, tapi juga menggunakan sepasang lengan tangannya yang luar biasa kuatnya!
Dengan kedua tangannya, ia memegang orang-orang yang menghalangi jalan di depannya dan melemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja! Dia adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap. Dadanya tak berbaju dan ia hanya mengenakan sepasang celana hitam sebatas lutut, berkalung sarung tenun dan memakai ikat kepala berwarna ungu kehitam-hitaman. Orang ini tidak lain adalah Jaka Galing yang sengaja datang mencari ayahnya, karena ditangkap dan hendak dijadikan korban macan putih telah sampai pula di kampungnya! Dengan kedua lengannya yang kuat, akhirnya Jaka Galing dapat mendesak sampai ke depan. Kedua matanya yang tajam terbelalak marah ketika ia melihat betapa ramanya telah berhadapan dengan seekor harimau putih yang besar sekali dan yang telah siap untuk menubruk dan merobek-robek tubuh ayahnya.
"Jahanam!"
Teriaknya keras sambil meloncat ke dalam kalangan.
Seorang prajurit yang hendak menghalang-halangi dapat digulingkan dengan sekali dorong saja! Macan putih itu memang takut untuk menyerang oarang tua yang memiliki sepasang mata yang luar biasa dan membuatnya lemah itu. Akan tetapi, ketika ia melihat betapa seorang pemuda berani masuk dan datang mendekatinya, dengan menggereng-gereng memperlihatkan giginya yang tajam ia maju perlahan sambil merendahkan tubuh sampai perutnya menempel pada tanah. Kemudian, dengan tiba-tiba dan tak terduga,harimau itu melompat menerkam ke arah Jaka Galing! Terkaman ini dasyat dan cepat sekali dan semua penonton memekik ngeri, terutama para pelayan wanita yang mengiringi Sartini. Semua orang merasa iba dan sayang kalau-kalau dada pemuda yang berkulit halus dan bersih itu akan dibeset dan dirobek-robek oleh kuku harimau putih!
Telah terbayang pada pandangan semua orang yang menyaksikan kejadian ini betapa pemuda yang tampan dan muda itu rebah dada robek terbuka dan leher hampir putus dan tubuhnya rebah dalam genangan darahnya sendiri! Akan tetapi, segera kengerian itu berubah menjadi keheranan dan akhirnya terdengar tepok-sorak yang gegap-gempita dan menggetarkan bumi. Ternyata bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu dengan cara yang mengagumkan sekali telah dapat mengelak ke samping hingga terkaman macan putih tak mengenai sasarannya. Dan sebelum binatang itu dapat menyerang lagi, kaki kanan Galing telah terayun kuat dan cepat menendang tubuh belekang harimau itu hingga binatang yang kuat dan liar itu terlempar ke depan tunggang langgang!
"Alangkah hebat pemuda itu!"
Seruan perlahan ini tanpa disengaja terloncat keluar dari bibir Sariti yang merah dan manis dengan sepasang matanya yang memancarkan sinar merayu serta menggairahkan. Adipati Gendrasakti yang memang sudah marah melihat betapa macan putih itu tidak berani menyerang Panembahan Ciptaning dan betapa seorang pemuda dusun berani lancang tangan membela pendeta itu, kini bertambah marah mendengar pujian selirnya kepada pemuda pengacau itu! Racun-racun cemburu dan iri hati mengotori hati dan pikirannya dan dengan wajah berubah merah tangannya meraba-raba tombak pusaka Kyai Santanu didekatnya! Sementara itu, Jaka Galing masih berdiri dengan gagah dan tabah menghadapi serangan pembalasan dari macan putih yang menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan auman mengerikan.
Kemudian binatang itu menyerang kembali, kini lebih dasyat dan berbahaya daripada serangan yang pertama tadi. Akan tetapi, Jaka Galing ternyata jauh lebih gesit dan tangkas daripada yang ia duga, karena pemuda itu kembali dapat menyelinap di bawah terkaman kakinya dan untuk kedua kalinya memberi pukulan dari belakang dangan tumit hingga macan putih itu berguling sampai beberapa depa jauhnya. Di bawah sorak dan teriakan para penonton, pertempuran dasyat itu berlangsung terus. Beberapa kali Jaka Galing memperlihatkan kesigapannya dan tiap serangan terkaman harimau dapat dielakkan dengan baik dan dibalas dengan serangan tangan dan kaki. Namunharimau itupun memiliki kulit yang tebal dan tubuh yang kuat, hingga pukulan tangan Jaka Galing yang sudah terlatih dan tergembleng itu ternyata tak mampu melukainya, tapi hanya membuatnya terguling-guling.
Bukan main ramainya pertempuran mati hidup antara Jaka galing dan macan putih, hingga tidak saja para penonton yang gembira dan tegang melihatnya, juga para prajurit yang tadinya berjaga dengan tombak di tangan kini juga menjadi penonton yang tidak tinggal diam saja, ikut bersorak-sorak. Jaka Galing merasa gemas juga melihat betapa beberapa kali pukulannya tidak berhasil merobohkan harimau itu. Padahal ia telah mengeluarkan aji kesaktiannya dan kepalan tangan kanannya itu pernah sekali pukul saja memecahkan kepala seekor babi hutan! Ketika macan itu menubruk lagi, Galing melompat tinggi ke kiri dan sebelum tubuh harimau kembali ketanah, pemuda gagah itu telah berada di atas punggungnya dan sambil menggunakan tangan kiri merangkul dan menjepit leher harimau, tangan kanannya bergerak cepat.
"Crepp!!"
Dua buah jari telunjuk dan tengah dari tangan kanannya telah tepat menancap di kedua mata harimau itu!
Harimau putih meraung-raung dan menjatuhkan diri bergulingan, tapi Jaka Galing tetap berada di punggungnya dan menghujani pukulan pada kepala dan tubuh macan putih itu! Para penonton bersorak-sorai bagaikan gila, ada yang berloncat-loncatan, ada yang bertepuk-tepuk tangan ada yang tertawa-tawa dan ada yang mencucurkan air mata karena terharu, girang dan puas melihat kegagahan pemuda itu! Pada saat Jaka Galing masih bergumul mati-matian dengan binatang itu, tiba tampak bayangan orang melompat turun dari panggung dengan sebatang tombak yang mengeluarkan cahaya di tangannya! Bayangan ini tidak lain ialah Adipati Gendrasakti sendiri yang tak dapat menahan gelora nafsu marahnya. Ia menghampiri Panembahan Ciptaning yang semenjak tadi berdiri sambil berpangku tangan dan melihat sepak terjang Jaka Galing. Kini pendeta itu memandang Gendrasakti dengan bibir tersenyum tenang.
"Dukun siluman! Kau berani memberontak?"
Panembahan Ciptaning menggeleng-gelengkan kepala, dan bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata lirih.
"Tidak ada yang memberontak, Adipati! Kedatangan anak ini adalah kehendak Sang Hyang Agung..."
"Pendeta tua, rasakanlah hukumanku!"
Teriak Gendrasakti dan secepat angin ia menyerang dada pendeta tua itu dengan sebuah tusukan tombak. Tombak yang bermata tajam dan mengeluarkan cahaya itu meluncur cepat dan menancap di dada Panembahan Ciptaning bagaikan ujung pisau belati yang tajam ditusukkan pada sebutir buah semangka! Dari mulut Panembahan itu tak terdengar keluhan maupun teriakan sakit, bahkan mulut itu masih tersenyum. Ia masih tetap berdiri, tapi jubahnya yang berwarna putih itu perlahan-lahan menjadi merah di bagian dada!
Jaka Galing pada saat itu sedang mengirim pukulan-pukulan terakhir untuk menewaskan harimau yang telah rebah di tanah dengan kepala pecah-pecah dan mata buta. Sorak-sorai dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton mengobarkan api di dalam dadanya hingga ia lupa akan hal-hal lain dan tujuannya satu-satunya ialah membunuh macan putih itu. Tiba-tiba segala suara di sekelilingnya yang tadinya riuh-rendah itu terhenti sama sekali dan keadaan menjadi sunyi. Tak seorangpun terdengar suara. Jaka Galing seakan-akan baru sadar dari pengaruh hikmat. Ia melepaskan bangkai macan putih yang terkulai diatas tanah, lalu perlahan-lahan ia mengangkat muak memandang kepada orang di depannya. Ia melihat betapa semua mata orang-orang yang berdiri di depannya ditujukan kearah satu tempat, yaitu di belakangnya dan semua orang tampak sedih dan ngeri.
Perlahan-lahan ingatan Jaka Galing kembali dan kesadarannya membuat ia menengok ke arah Panembahan Ciptaning yang tadi berdiri di belakangnya. Tiba-tiba Jaka Galing merasa betapa tubuhnya menggigil dan kepalanya menjadi pusing. Ia memaksa dirinya untuk berdiri dan melihat darah merah membasahi jubah ayahnya di bagian dada ini, matanya menjadi kabur dan suram. Ia menggosok-gosok matanya seakan-akan hendak melenyapkan mimpi buruk yang tampak di depan matanya. Tapi ia bukan sedang mimpi. Ia melihat jelas betapa sebatang tombak menancap di dada ayahnya, tepat diulu hati dan betapa Adipati Gendrasakti yang memegang gagang tombak itu berusaha mencabut dan menrik-narik tombak itu keluar dari dada Panembahan Ciptaning!
"Rama!!"
Pemuda itu menjerit sayu dan belum kuasa melangkah maju karena kedua kakinya seakan-akan lumpuh! Adipati Gendrasakti menjadi gugup karena ternyata ia tak dapat mencabut keluar tombak pusakanya dari dada Panembahan itu! Ia mencoba dan mencoba lagi, tapi sia-sia, ujung tombak Kyai Santanu agaknya terjepit oleh tulang rusuk pendeta tua itu! Melihat betapa pemuda itu telah berhasil membunuh mati macan putih dan mendengar betapa pemuda yang gagah perkasa itu menyebut ayah kepada Panembahan Ciptaning, Adipati Gendrasakti terkejut sekali. Terpaksa ia melepaskan tombak yang dipegangnya dan Penembahan Ciptaning terhuyng-huyung kearah puteranya.
"Rama!"
Jaka Galing melompat maju dan menahan tubuh ayahnya yang hampir roboh. Ia meletakkan kepala ayahnya di atas pangkuannya dan menyebut-nyebut nama ayahnya dengan suara memilukan. Tiba-tiba wajah pemuda itu berubah. Ia mengangkat kepala ayahnya dan perlahan-lahan ia meletakkan kepala itu diatas tanah. Kemudian dengan perlahan sekali ia berdiri, kedua tangannya dikepalkan di tangan kiri dan tangan itu menggigil sedikit, dadanya yang telanjang turun naik bergelombang, matanya yang lebar setengah dikatupkan, memandang ke sekeliling dengan lirikan tajam dan akhirnya ditujukan ke arah wajah Adipati Gendrasakti.
Mulutnya masih terkatup dengan gigi dikertakan, tubuh agak membungkuk siap menerkam bagaikan sikap macan putih tadi ketika hendak menyerangnya! Adipati Gendrasakti bukanlah sembarangan orang yang mudah merasa takut. Ia adalah bekas senopati yang telah kenyang menghadapi musuh, telah kenyang bertempur dan menghadapi bahaya-bahaya maut yang mengancam dari ujung keris lawanya beryuda, juga ia terkenal mempunyai kesaktian dan kepandaian pencak silat yang tinggi. Akan tetapi,menghadapi anak muda gagah perkasa yang sedang diamuk rasa balas dendam dan sakit hati itu, sedangkan tombak Kyai Santanu yang diandalkan kini tertancap di dada Panembahan Ciptaning dan tak dapat dicabut kembali, ia merasa gugup. Tanpa disadarinya, ia mengeluarkan perintah.
"Barisan pengawal! Tangkap dan bikin mampus pengacau ini!"
Para pengawal yang tadi berjaga dengan tombak di tangan untuk menjaga kalau-kalau macan putih mengamuk, kini serentak maju dan mengepung Jaka Galing yang masih berdiri di dekat ayahnya yang rebah di atas rumput, sedangkan Adipati itu cepat menyelamatkan diri dibelakang para prajurit! Bukan main marahnya Jaka Galing melihat sifat pengecut Adipati itu, dan kini rasa marahnya ditumpahkan kepada para prajurit yang mengepungnya dengan tombak mengancam.
"Kalian mau mengeroyok aku? Majulah!"
Teriakan ini keluar dari mulut dengan suara perlahan dan parau karena dadanya masih penuh dengan hawa marah dan sedih. Beberapa orang prajurit bergerak maju, dan tiba-tiba Jaka Galing mengeluarkan seruan yang menyeramkan, hampir menyerupai pekik atau tangis lalu tubuhnya melompat dasyat, lebih hebat daripada lompatan seekor harimau yang menerkam. Sekali serang saja ia telah dapat merobohkan tiga orang prajurit pengawal dan merampas sebatang tombak. Ia memainkan tombak itu dan berputar-putarnya sedemikian rupa sambil bergerak memutar.
Semua prajurit berseru kaget karena ketika mereka mencoba untuk menusuk dengan tombak, tombak mereka tertangkis patah, sedangkan mereka yang berdiri paling depan,tak kuasa menangkis serangan tombak Jaka Galing. Tiap kali tombak pemuda itu menyambar, maka robohlah seorang prajurit dan mereka yang berani menangkis segera berteriak kesakitan karena selain tombak mereka terpental,juga telapak tangan mereka berdarah karena kulitnya terkupas oleh kerasnya pukulan Jaka Galing! Maka sebentar saja para prajurit yang mengepungnya mundur ketakutan. Untung Jaka Galing masih ingat bahwa mereka ini hanyalah alat yang digunakan oleh Adipati Gendrasakti untuk mengepungnya,maka ia tidak mau bertindak terlalu kejam. Tujuannya hanya hendak membubarkan kepungan itu agar ia dapat mencari dan membalas dendam kepada Gendrasakti.
"Hayo, Gendrasakti bangsat tua, pengecut besar! Keluarlah! Mari kau hadapi aku, Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning, hayo kita mengukur kepandaian, mengadu kerasnya tulang liatnya kulit! Hayo, majulah. Mengapa engkau takut kepada anak desa Tiban?"
Jaka Galing berdiri dengan tombak berlumur darah di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang, kedua kaki berdiri terpentang lebar,dada terangkat, menantang-nantang dan memaki-maki Adipati Gendrasakti. Sementara itu, para prajurit hanya berdiri menjaga dari jauh, tak berani mendekati anak muda yang hebat itu.
"Galing...,"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan, suara halus yang seakan-akan datang dari angkasa dan membawa Jaka Galing melayang ke atas. Suara itu bagaikan air wayu yang disiramkan di kepalanya yang panas. Terasa betapa suara itu menembus kepalanya dan langsung memasuki dada, mendatangkan suasana dingin, tenang dan mengusir pergi nafsu marah yang menyala dasyat di dalam dadanya. Cepat Jaka Galing berlutut dan mengangkat kepala ayahnya. Suara tadi tidak lain ialah suara ayahnya yang kini memandang kepadanya dengan mata sayu.
"Galing, tenangkan hatimu, tekanlah perasaanmu dan jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu amarah. Semua ini sudah kehendak Sang Hyang Agung, aku...aku tak dapat lagi mengelak daripada kehendak Gusti Yang Maha Kuasa. Tombak ini... Kyai Santanu... ia terlampau ampuh dan sakti! Aku tak kuasa menerimanya..."
Melihat betapa tombak pusaka itu masih menancap di dada ayahnya. Jaka Galing berkata lirih,
"Harus kucabut tombak ini, rama...?"
Mulut Panembahan Ciptaning tersenyum perlahan dan Jaka Galing tak dapat menahan keharuan hatinya melihat betapa dalam keadaan mandi darah itu ayahnya masih dapat bersenyum. Ia memeluk tubuh ayahnya dan terisak-isak.
"Galing, biarpun aku kalah oleh Kyai Santanu, tapi takkan ada seorangpun yang dapat mencabut tombak itu dari ulu hatiku kecuali kukehendaki. Karena itu, selain engkau, tak seorangpun dapat mencabutnya. Tapi jangan sekarang, Galing,...nanti saja kalau aku sudah berangkat..."
Mendengar ucapan ini, bukan main sedih hati Jaka Galing. Ia maklum bahwa ayahnya takkan dapat tertolong lagi, maka ia hanya dapat memeluk dan menciumi kepala orang tua itu dengan penuh kasih sayang dan hati remuk-redam.
"Galing, sekarang tiba saatnya untuk membuka rahasia yang menyelimuti dirimu. Kau...kau adalah cucuku, bukan anakku..."
Kalau Jaka Galing mendengar rahasia itu pada saat lain, ia tentu akan merasa heran dan tercenggang, tapi seluruh perasaannya telah dipengaruhi oleh keadaan Panembahan Ciptaning yang menyedihkan, maka ia menerima berita ini dengan tenang saja. Baginya sama saja, baik sebagai ayah, maupun sebagai Eyang, Bagawan Ciptaning adalah seorang yang ia kasihi lahir batin, seorang yang telah mendidiknya, memliharanya, menggembengnya dengan penuh kasih sayang.
"Galing, cucuku yang tercinta. Kau adalah anak tunggal dari budiati anakku, dan kau adalah turunan dari... Sang Prabu Brawijaya di Majapahit!"
Betapapun juga, mendengar berita yang hebat dan sama sekali tak pernah disangkanya ini, Jaka Galing membelalakan matanya.
"Dengar, cucuku..."
Suara Panembahan Ciptaning makin lemah hingga hanya terdengar sebagi bisikan lirih saja.
"Dulu sang prabu berkenan berburu binatang hutan dan tersesat di pondokku. Beliau bertemu dengan budiati anakku dan jatuh hati. Sang prabu lalu mengajukan lamaran yang tentu saja tidak dapat kutolak karena budiati sendiri pun suka kepada beliau. Mereka lalu menjadi suami isteri, akan tetapi ibumu tak mau diboyong ke Majapahit. Akhirnya terpaksa sang prabu meninggalkan dan dari perkawinan itu lahirlah engkau, cucuku, Sayang sekali ibumu telah dipanggil pulang oleh Hang Widi ketika melahirkan engkau. Oleh karena itu, untuk mencegah agar kau jangan selalu merindukan ayah bundamu, aku mengaku sebagai ayahmu."
Jaka Galing melihat betapa napas Eyangnya payah sekali. Ia memeluk kepala Eyangnya yang putih dan mengeluh.
"Duhai Eyang Panembahan yang tercinta...aku hanya mempunyai kau seorang kalau sekarang Eyang pergi meninggalkan aku..., betapa akan jadinya nasib cucumu ini. Eyang kau adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi, pergunakanlah kesaktianmu itu, Eyang. Lawanlah maut yang yang hendak membawamu... jangan tinggalkan aku..."
Mendengar ucapan Jaka Galing yang merayu-rayu itu, seketika timbul kekuatan Panembahan Ciptaning dan tenaganya yang hampir habis itu pulih kembali. Ia dapat bergerak dan tiba-tiba ia bangkit lalu duduk. Gaggang tombak Kyai Santanu yang menancap di ulu hatinya tampak lucu ketika Panembahan ini duduk. Akan tetapi ternyata pertapa sakti itu bangkit hanya untuk menegur cucunya saja.
"Kulup, cucuku! Lupakah kau bahwa betapapun tinggi kepandaian sesorang manusia, pada hakekatnya ia tak lebih berarti daripada setitik debu bila dibandingkan dengan kehendak Hyang Agung? Aku atau kau hanyalah setitik air disamudera dan tidak mungkin setitik air itu hendak membawa kehendak sendiri.Mau atau tidak, betapapun ia hendak melawannya, ia pasti aakn hanyut terbawa oleh gelombang itu. Apakah kau akan senang melihat Eyangmu atau gurumu berkhianat dan melawan kehendak Hyang Maha Agung?"
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo