Ceritasilat Novel Online

Jaka Galing 3


Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Bagus, bagus! Memang kau seorang laki-laki setia. Tapi, Kang Mas, apa salahnya kalau kakang mbok Sariti keluar menjumpai kami? Karena ia adalah selirmu, maka ia termasuk keluargaku juga."

   Adipati Gendrasakti memang sengaja memesan supaya selirnya itu jangan keluar menemui tamu agung karena tadinya ia menyangka bahwa kedatangan mereka bertalian dengan urusan Dewi Cahyaningsih. Akan tetapi setelah ternyata bahwa kedatangan mereka itu bukan untuk urusan itu, ia lalu menyuruh seorang pelayan untuk memberitahu kepada Sariti dan meminta supaya selirnya itu keluar menyambut tamu agung.

   Ketika Sariti keluar dari ruang belakang. Pangeran Bagus Kuswara memandang sambil menahan napas. Ia terpesona oleh kecantikan wanita yang sedang melenggang halus menghampiri mereka itu dan ia merasa seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang bidadari yang baru turun dari khayangan! Demikian cantik jelitanya wajah Sariti, demikian menggairahkan potongan tubuhnya, terutama mata dan bibirnya! Sungguh, dalam pandangan mata Bagus Kuswara, belum pernah ia melihat wanita secantik dan sejelita Sariti! Bahkan Ki Ageng Bandar yang sudah tuapun untuk sesaat tercengang dan kagum melihat si jelita itu, tapi ia dapat menekan perasaannya dan batuk-batuk memberi tanda kepada Pangeran yang bengong memandang wanita itu. Pangeran Bagus Kuwara sadar dari mimpinya, lalu ia menyapa dengan hormatnya.

   "Kakang mbok Sariti, sungguh aku merasa bahagia sekali dapat berkenalan dengan engkau. Kang Mas Adipati memang seorang laki-laki yang paling berbahagia di muka bumi ini!"

   Biarpun kata-kata ini sedikitpun tidak menyatakan pujian secara langsung, namun terdengar sedap dan merdu sekali di telinga Sariti. Wanita cantik itu mengerling sedikit dan cepat menundukan muka dengan lagak yang sangat sopan. Sebagai seorang dari keturunan biasa, ia menyembah kepada Pangeran Bagus Kuswara dan kepada Ki Ageng Bandar, lalu menghaturkan selamat datang kepada mereka. Suaranya yang merdu, bening, dan empuk, itu mengelus-elus dada Bagus Kuswara dan membelai-belai jantungnya, membuatnya setengah sadar! Setelah dengan hormat menuang air teh ke dalam cangkir kedua tamu agung itu, Sariti lalu memohon diri dan mundur sambil menundukan mukanya yang cantik dengan sikap hormat sopan sekali. Setelah selir itu pergi, Ki Ageng Bandar menghela napas dan berkata.

   "Ananda Adipati, sungguh kau pandai sekali memilih selir. Orang cantik dan tahu sopan santun seperti selirmu itu memang sukar dicari."

   Tentu saja Adipati Gendrasakti merasa bangga dan senang sekali mendengar pujian ini, akan tetapi ia hanya menjawab dengan sederhana.

   "Ah, ia seorang bodoh dan datang dari dusun. Mana ada harga untuk dipuji-puji?"

   "Kanda Adipati jangan berkata demikian. Sungguh mati, terus terang kuakui bahwa selama hidup belum pernah aku melihat seorang selir demikian... baik dan sopan. Kau sungguh-sungguh bahagia, kanda Adipati. Akan tetapi, pernah aku mendengar berita bahwa kakang mbok Sariti pandai sekali akan seni suara dan seni tari. Ah, kalau saja beliau sudi mempertunjukan untuk menambah meriahnya pertemuan kita ini agaknya takkan sia-sialah kedatanganku di Tandes! Karena terdorong oleh rasa bangga akan selirnya yang terkasih, pada saat itu Gendrasakti lupa bahwa keadaan dirinya sedang diliputi kekhawatiran, hingga terlanjur berkata tanpa di sadarinya,

   "Tentu saja ia suka sekali. Biarlah malam nanti kita bersama melihat ia menari dan bertembang."

   Hanya Ki Ageng Bandar seorang yang merasa akan janggalnya pembicaraan kedua orang itu, akan tetapi ia tidak berani mencampuri. Suka atau duka perasaan Adipati Gendrasakti, bukanlah urusannya dan bukan termasuk tugasnya. Biarpun akhirnya Adipati Gendrasakti insyaf bahwa bersenang-senang dalam waktu itu kurang tepat, akan tetapi janjinya kepada Pangeran Bagus Kuswara tak dapat dibatalkan dan pula kehadiran dua orang tamu agung itu dapat dijadikan alasan untuk berbuat itu.

   Demikianlah, pada malam hari itu, pada saat banyak penduduk Tandes yang mendengar akan malapetaka yang menimpa diri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa khawatir sekali hingga banyak orang-orang perempuan berprihatin dan malam itu sengaja tidak tidur untuk berdoa bagi keselamatan kedua puteri itu, Adipati Gendrasakti menyuruh para yogo untuk menabuh gamelan! Dalam kesempatan yang hanya dihadiri oleh Adipati Gendrasakti dan kedua tamu agungnya ini, Sariti memperlihatkan kepandaiannya. Ia mengenakan pakaian serimpi yang terindah. Kutang hitam yang di hias renda emas itu menyentak dada, pundak dan lengannya yang telanjang tampak putih bersih dan halus bagaikan sutera. Rambutnya yang panjang dan hitam berombak di lepas terurai ke belakang punggung dan diatas kepala dihias kembang-kembang mawar dan rangkaian melati menambah kecantikannya.

   Sabuk warna merah muda terhias emas permata mengikat kainnya yang diwiru indah di bagian depan dan diatur sedemikian rupa hingga ujung kain yang memanjang di belakang itu tersingkap sedikit di di bagian depan hingga betis kakinya yang menguning dan memadi bunting mengintai keluar pada tiap kali ia melangkahkan kakinya! Kalau Sariti dalam pakaian nyonya rumah yang sopan telah dapat menggiurkan hati Pangeran Bagus Kuswara, maka Sariti dalam pakaian srimpi ini membuat pemuda itu betul-betul tenggelam dalam gelombang birahi yang membuatnya bagikan gila! Apalagi setelah kedua lengan yang putih kuning dan telanjang itu bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai menurutkan suara gamelan, dengan pangkal lengan terbuka perlahan,

   Siku melenggak-lenggok dan pergelangan tangan berputar-putar melebihi lemasnya kepala seekor ular, jari-jari tangan yang manis meruncing itu berjentik-jentik dan bergerak-gerak seakan-akan sepuluh ekor burung yang hidup, kaki yang maju mundur perlahan-lahan dengan gaya lemah-lembut dan sopan dengan lenggang yang tidak kasar tapi cukup membayangkan potongan tubuh yang tiada cacatnya, ditambah lagi dengan kepalanya yang manis itu bergerak-gerak di atas leher yang panjang dan indah bentuknya, berjoget leher sedemikian kenesnya hingga mendatangkan air liur di dalam mulut Pangeran Bagus Kuswara yang melihat dengan mata terbelalak! Setelah Sariti membuka mulut bertembang, maka gelora dahsyat di dalam dada Pangeran Bagus Kuswara mencapai puncaknya dan ia mengambil keputusan nekat dan berjanji dalam hati.

   "Aku harus mendapatkan perempuan ini! Biar apapun yang akan terjadi, perempuan ini harus menjadi punyaku!"

   Sariti bukanlah seorang wanita yang tidak berperasaan atau berhati batu.

   Hatinya cukup panas dan darahnya cukup menggelora ketika ia dapat menangkap sinar mata Pangeran Bagus Kuswara yang tampan dan muda itu. Suaminya adalah seorang tua yang telah tua, berusia lima puluh tahun lebih sedangkan ia berusia paling banyak dua puluh tahun! Kini melihat seorang Pangeran yang muda dan tampan serta berpakaian indah, dan yang terang-terangan memperhatikan hasrat dan suara hatinya kepadanya, maka tak heran bila dadanya berdebar-debar pula. Ia menggunakan kerling matanya memandang Pangeran yang duduk di dekat suaminya dan alangkah jauh perbedaan mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan kasar gerak-geraknya, sudah beruban dan bercambang bauk menjemukan, sedangkan yang lain bertubuh sedang dan tegap, tubuh seorang bambang, halus gerak-geriknya, berkulit putih kekuning-kuningan,

   Rambut keriting dan hitam, wajah tampan dengan kumis kecil menghias bawah hidung yang mancung, sepasang mata jenaka dan liar membayangkan gairah, ahh... hati siapa takkan tergoda? Pangeran Bagus Kuswara adalah seorang yang sudah berpengalaman, dan melihat gerak-gerik Sariti, ia maklum bahwa anak panah yang dilepaskannya dari kedua matanya telah mengenai sasaran yang tepat. Karena ia maklum bahwa si jelita itu tentu tidak berani berlaku sembrono di depan Adipati Gendrosaki, karena ia duduk di dekat adaipati itu, maka ia lalu menyatakan bahwa ia ingin sekali mempelajari seni gamelan yang ditabuh oleh para yogo yang mahir dan sangat dipujinya itu. Tentu saja Adipati Gendrasakti hanya tertawa melihat kebodohan Pangeran yang lebih menikmati gamelan daripada nyanyi dan tari selirnya yang indah.

   Pangeran itu lalu berdiri dan lalu duduk di tempat para penabuh gamelan. Sariti dengan sudut matanya dapat melihat perpndahan tempat duduk ini dan diam-diam ia merasa geli serta memuji kecerdikan Pangeran itu. Dengan duduk di tempat gamelan, maka ia dapat memandang kepada Pangeran itu dengan leluasa sekali, karena tempat itu berada di seberang tempat duduk suaminya, hingga pada saat ia memutar tubuh dan menghadap Pangeran, ia berdiri membelakangi suaminya. Maka terjadilah main mata yang leluasa. Tiap Sariti memutar tubuh membelakangi suaminya dan menghadapi Pangeran itu, Pangeran Bagus Kuswara pura-pura memperhatikan gamelan gambang yang dipukul oleh penabuhnya, tapi diam-diam ia mengirim lirikan-lirikan tajam dan matanya di pejam-pejamkan sambil bibirnya tersenyum penuh arti.

   Saritipun menggunakan kesempatan itu untuk mengirim lirikan-lirikan mata yang kenes dan menarik dan memperhatikan senyum semanis-manisnya dengan bibirnya yang kemerah-merahan. Melihat reaksi jelita itu, bukan main senangnya hati Pangeran Bagus Kuswara. Ia lalu memutar-mutar otak mencari akal. Para penabuh gamelan yang merasa mendapat kehormatan besar sekali karena dikagumi oleh seorang Pangeran dari Majapahit, tidak tahu akan rahasia ini karena mereka megerahkan seluruh perhatian dan keahlian mereka untuk memukul gamelan sebaik-baiknya. Dengan bisikan-bisikan, Pangeran Bagus Kuswara mendapat keterangan bahwa pemain gamelan yang sudah berusia tua dan Pak Lenjer. Maka ia lalu menyatakan kagumnya dengan pujian-pujian muluk hingga wajah orang tua itu berseri-seri.

   "Yogo sepandai engkau ini sepantasnya menjadi pemain di Keraton Rama Prabu."

   Katanya hingga Pak Lenjer mersa gembira sekali sampai wajahnya berubah kemerah-merahan dan kedua tangannya menggigil.

   Setelah pertunjukan selesai dan Sariti mengundurkan diri kekamarnya, Pangeran Bagus Kuswara menyatakan maksudnya hendak belajar menabuh gambang dari Pak Lenjer pemimpin rombongan penabuh itu. Tentu saja Adipati Gendrasakti merasa senang dan memberi perintah kepada Pak Lenjer untuk melayani gusti Pangeran, sedangkan penabuh lainnya lalu mengundurkan diri. Demikianlah, karena hari telah jauh malam, Adipati Gendrasakti mengundurkan diri setelah mengantar Ki Ageng Bandar ke kamar tamu. Sedangkan Pangeran Bagus Kuswara tinggal di ruang tengah itu bersama Pak Lenjer dan terdengarlah suara gambang dipukul perlahan ketika orang tua itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Pangeran Bagus Kuswara. Setelah keadaan menjadi sunyi, Pangeran Bagus Kuswara berkata.

   "Pak Lenjer, sudah lamakah kau menjadi penabuh gambang mengiringi permainan kakang mbok Sariti?"

   "Sudah, gusti Pangeran, sudah lama sekali. Semenjak Jeng Roro Sariti masih belajar menari, sudah menjadi pemukul gambang, bahkan ikut melatih beliau."

   Pangeran Bagus Kuswara mengangguk-anguk dengan hati senang. Tiba-tiba ia bertanya.

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Jaka Galing (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   "Sebetulnya, kau pantas sekali menjadi pemimpin para yogo di Keraton Majapahit! Bagaimana pendapatmu, Pak lenjer?"

   Orang tua itu memandang penanyanya dengan mata terbelalak, lalu menyembah,

   "Ah, gusti. Hamba adalah seorang bodoh dan hanya pandai memainkan beberapa lagu. Mana pantas hamba menjadi pemimpin para yogo yang pandai di Majapahit? Untuk menjadi pemukul gamelan biasa saja hamba sudah kurangt patut!"

   "Jangan merendah, Pak Lenjer. Aku bisa menolong engkau menjadi pemimpin penabuh gamelan di Keraton, atau setidaknya menjadi penabuh gambang di sana! Bukan main girang hati orang tua itu, karena yogo manakah yang tidak merindukan kedudukan yang mulia itu?

   Untuk memperlihatkan di hadapan Sang Prabu Brawijaya sendiri! Untuk memainkan gamelan-gamelan pusaka yang sudah terkenal mempunyai suara yang luar biasa bagaikan gamelan dari surga! Demikianlah, dengan licin sekali Pangeran Bagus Kuswara akhirnya dapat juga membujuk orang tua itu untuk menjdi jembatan dan penolong dia bertemu dengan Sariti! Di tengah hutan kledung yang liar, agak sebelah barat dusun Bekti, Jaka Galing dan Indra sedang melatih kawan-kawan mereka bermain pedang.Kedua teruna itu sambil duduk di bawah sebatang pohon beringin yang besar, melepaskan lelah dan memandang ke arah kawan-kawan mereka yang bermain pedang mencontoh mereka tadi. Mereka merasa puas karena kawan-kawan mereka memperoleh kemejuan pesat dan mereka tampak tangkas gesit.

   "Galing. kata Indra memcah kesunyian, Bagaimana pendapatmu tentang tamu kita?"

   Jaka Galing memandang dengan mulut tersenyum. Ia tidak heran mendengar pertanyaan ini, karena memang Indra berwatak gembira dan segala macam hal mungkin ditanyakan pemuda nakal ini.

   "Isteri Gendrasakti itu memang harus dikasihani, jawabnya.

   "Eh, eh, siapa yang menanyakan tentang dia? Yang kumaksud anaknya, Puspasari itu. Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?"

   Tanya Indra pula.

   "Dia...? Ah, mengapa? Dia juga harus dihasihani. Sungguh malang nasibnya."

   "Aah, kawan, jangan berpura-pura lagi. Maksudku tentang kecantikannya."

   "Memang dia cantik dan menarik,"

   Kata Jaka Galing sejujurnya.

   "Nah, begitulah namanya orang jujur! Dengar, Galing, entah mengapa, tapi hatiku tertarik sekali padanya Entah apanya yang menarik hatiku, agaknya... sepasang matanya yang bening dan indah, dihias bulu matanya yang lentik dan alis matanya yang tajam dan panjang itulah agaknya. Sungguh mati, belum pernah aku melihat mata sehebat itu! Jaka Galing tersenyum. Memang sejak kecil antara dia dan Indra tak pernah ada rahasia dan mereka selalu bercakap-cakap denag sejujurnya. Hanya satu saja rahasianya yang disimpan, ialah bahwa dia adalah keturunan Prabu Brawijaya!

   "Menurut pendapatku, agaknya... mulutnyalah yang menarik hati sekali,"

   Katanya setelah berpikir dan membayangkan gadis malang itu.

   "Mulutnya? Indra memandang heran."

   "Ya, mulutnya. Bibirnya manis benar, coba kau perhatikan. Seperti potongan gendawa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sepurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipitnya di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"

   Indra memandang kawannya yang berbicara sambil menggigit bibir dan memandang ke langit itu, dan matanya terbelalak. Tiba-tiba ia menepuk pundak Galing hingga pemuda itu terkejut.

   "Ha, kalau begitu, kaupun terkena!"

   Kata Indra sambil tertawa pahit.

   "Ha, terkena? Apa maksudmu?"

   "Kaupun terkena panah asmara, kau jatuh cinta padanya, kawan, seperti... seperti halku pula...!"

   "Indra, kau gila!"

   "Memang, memang aku gila, gila kepada Puspasari, seperti kau pula. Ha, ha,"

   Dan Indra menepuk-nepuk bahu Galing yang bidang.

   "Indra, jangan kau bicara sembarangan!"

   "Aku tidak berolok-olok, kawan. ketahuilah, kalau seorang pemuda mulai membayangkan bagian tertentu dari tubuh seorang dara, itu tandanya ia telah tergila-gila dan jatuh cinta! Yang terbayang dimuka mataku hanya sepasang mata dara itu dan kau selalu membayangkan mulutnya, nah, itu berarti kau dan aku sama-sama mencintai Puspasari!"

   "Indra, jangan berolok-olok. Dia adalah puteri Adipati dan ayahnya adalah musuh besarku!"

   "Apa salahnya? Ayahnya bukan anaknya dan anaknya berbeda daripada ayahnya. Hal itu tak menjadi soal, Galing. Soalnya ialah, siapa diantara kita yang akan dipilih olehnya. Nah inilah yang penting!"

   "Sudahlah, jangan kau berkelakar soal itu, Indra."

   "Biarpun kelakar, tapi tepat mengenai hatimu, bukan?"

   "Pada saat itu, seorang pemuda datang berlari-lari dengan napas terengah-ngeah ia menuturkan bahwa sepasuakan besar dari Kadipaten Tandes sedang mendatangi ke arah hutan Kledung. Jaka Galing dan Indra meloncat dengan sigap dan mereka memberi aba-aba hingga semua kawan yang sedang berlatih pedang itu berlari menghampiri dan segera kembali ke dalam dusun Bekti. Persidangan kilat dibuka dan mereka mengatur siasat untuk menghadapi musuh.

   "Menurut laporan para penyidik, jumlah barisan musuh berjumlah seratus orang lebih. Kita hanya berjumlah tiga puluh orang. Senja nanti baru mereka akan tiba di hutan dan tentu mereka takkan menyerang malam-malam, kita harus memperhatikan dengan diam-diam dan menanti sampai mereka membuat kemah untuk bermalam. Kemudian kita harus mengurung mereka dan menyalakan api di sekeliling mereka sambil melepas anak panah."

   "Sekarang marilah semua mengumpulkan kayu dan daun kering untuk bahan bakar."

   Semua orang lalu berpencar dan mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering.

   Laki perempuan, tua muda bekerja dengan sibuk dan bersatu hati, karena mereka tahu bahwa pekerjaan ini untuk kepentingan mereka semua. Bahkan Puspasari yang tahu akan maksud mengumpulkan bahan bakar itu tidak mau ketinggalan, dia ikut pula mengumpulkan daun kering bersam-sama gadis-gadis lain! Pada saat puspasari dan dua orang gadis lain mengumpulkan daun kering tiba-tiba ia melihat Indra berjalan menghampiri dengan senyumnya yang menawan hati! Dengan pejaman mata kanan, pemuda itu mengusir pergi dua gadis yang lain hingga ia berdiri berhadapan dengan Puspasari yang masih memondong daun-daun kering yang dibungkus dengan ujung bajunya hingga kembennya yang berwarna hijau muda itu tampak. Karena melihat yang datang adalah Indra, seorang daripada dua orang pahlawan penolongnya, ia lalu tersenyum sambil menundukkan mukanya.

   "Nona, mengapa kau bersusah payah membantu kami mencari daun kering? Tidak tahukah kau bahwa bahan bakar ini digunakan untuk menjebak dan melawan pasukan-pasukan ayahmu?"

   Indra memang biasa berkata secara langsung dan berterus terang. Puspasari memandang dengan dua mata bintangnya yang menimbulkan kagum bagi Indra, lalu berkata dengan suara tetap,

   "Aku telah berada disini dan menjadi orang sini. Aku tidak tahu pasukan siapa yang hendak kita musuhi, pokoknya aku tahu pasti bahwa pasukan yang datang itu adalah musuh kita dan kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Mengapa aku harus tidak membantu?"

   Indra terbelalak memandang dan kekagumannya meningkat.

   "Adinda yang manis, kau sungguh hebat, makin percayalah aku kepada suara hatiku yang setiap saat berbisik-bisik padaku!"

   Puspasari memandang heran. Kata-kata pemuda ini merupakan teka-teki baginya.

   "Apa maksudmu, raden?"

   "Maksudku, pertama-tama jangan kau sebut aku raden, karena aku hanyalah seorang putera lurah biasa saja dan sebutan Kang Mas cukup baik bagiku. Kedua,yang kumaksudkan suara hatiku itu ialah bisikan-bisikan yang terdengar dari sebelah dalam dadaku dan berkata bahwa aku...mencintaimu!"

   Puspasari memandang dengan mulut ternganga. Belum pernah selama hidupnya ia berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu sopan-santun sikapnya, tapi yang bicaranya begitu terung terang tanpa tendeng aling-aling hingga kalau tidak melihat pandang mata dan gerak gayanya yang penuh kesopanan, tentu akan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tidak tahu adat dan kurang ajar!

   "Nah, kau sudah tahu sekarang apa yang terkandung dalam hatiku, maka jangan kau menjadi heran kalau melihat cahaya mesra keluar dari mataku pada saat memandangmu."

   Puspasari menjadi gagu dan tak dapat mengucapkan sepatah-katapun, hanya beberapa kali menelan ludah dengan wajah kemerah-merahan dan mata lebar terbelalak. Kemudian gadis ini tertawa kecil dan membalikkan tubuh dan lari. Tapi Indra masih mendengar gadis itu berkata perlahan.

   "Hi, hi, kau... lucu... Kang Mas Indra!"

   Sepeninggal puspasari, Indra menepuk-nepuk kepalanya yang berambut keriting itu sambil berkata perlahan,

   "Celaka dua belas! Aku menyatakan cintaku dan dia"

   Hanya menganggap aku lucu! Ah, betapapun juga, aku lebih cepat daripada Jaka Galing!"

   Sambil tersenyum-senyum Indra lalu menghampiri kawan-kawannya dan memberi petunjuk untuk mengikat ranting-ranting dan daun-daun itu menjadi satu hingga lebih mudah dibawa. Sementara itu, puspasari termenung memikirkan kata-kata Indra tadi. Ia menganggap Indra seorang pemuda yang sangat jujur dan menarik, akan tetapi... hati gadis itu diam-lebih condong kepada Jaka Galingt yang berwatak pendiam dan sungguh-sungguh. Ia telah jatuh hati kepada Jaka Galing pada saat mereka bertemu untuk pertama kali di dalam hutan beberapa hari yang lalu.

   Setelah hari menjadi senja, para penyelidik memberi laporan bahwa pasukan dari Tandes telah tiba di luar hutan, dan bahwa pasukan itu terdiri dari 120 prajurit pilihan dan dipimpin sendiri oleh Senopati Suranata yang terkenal gagah perkasa. Dan malang bagi mereka, karena senopati yang telah berpengalaman dan berlaku hati-hati itu tidak membawa tentaranya memasuki hutan, akan tetapi membuat perkemahan di pinggir hutan! Jaka Galing dan Indra mengatur siasat baru. Setelah hari menjadi gelap benar barulah kedua pemuda itu membawa ke 28 kawannya menuju ke tempat di mana pasukan Suranata berkumpul. Pada saat itu Suranata sedang mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat yang akan dilakukan besok pagi-pagi untuk menyergap dan menolong Dewi Cahyaningsih dan puterinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam hutan, diikuti suara Jaka Galing yang keras.

   "Suranata! Kau hendak menangkap aku? Ha, ha! Kau dan anak buahmua yang sepengecut ini, hendak menangkap aku? Lucu benar!"

   Suranata dan kawan-kawan cepat memandang dan mereka melihat Jaka Galing dengan obor di tangan sedang berdiri di bawah sebatang pohon johar.

   "Itu dia Jaka Galing!"

   Berkata Dwipa dan di dalam hatinya ia merasa heran sekali karena sebenarnya ia tidak menduga akan bertemu dengan Jaka Galing di situ. Ia tidak kenal dengan dua orang pemuda bertopeng yang menyergapnya dan membunuh kawan-kawannya, dan hanyalah siasat Adipati Gendrasakti belaka yang mengharuskan ia bercerita di luar bahwa perampok itu adalah Jaka Galing. Sementara itu, Suranata yang merasa marah karena ejekan Jaka Galing, diam-diam memberi tanda dan seorang ahli panah yang ulung meluncurkan beberapa batang anak panah ke arah tubuh Jaka Galing. Tapi tiba-tiba obor di tangan Jaka Galing dipadamkan dan keadaan di bawah pohon johar menjadi gelap. Surata dan anak buahnya tidak tahu apakah anak panah itu berhasil mengenai sasarannya atau tidak. Akan tetapi, sekali lagi terdengar suara ketawa Jaka Galing yang berkata.

   "Suranata, kalau kau memang benar laki-laki perwira, majulah ke sini! Atau kau takut kepadaku?"

   Suranata adalah seorang yang telah kenyang mengalami pertempuran, maka hatinya sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi Jaka Galing.

   "Maju! Serbu dan tangkap dia hidup-hidup!"

   Ia memberi perintah dan beberapa orang perjurit yang bertugas sebagai pelapor dan petunjuk jalan segera memasang obor yang telah disediakan.

   Dan majulah mereka memasuki hutan lebat itu, didahului oleh regu obor. Hutan yang tadinya gelap dan penuh pohon-pohon raksasa itu kini menjadi terang dan di mana-mana terdapat bayang-bayang pohon yang menyeramkan. Setelah maju dan mencari-cari sampai beberapa lama tapi tak menemukan Jaka Galing atau kawan-kawannya, Suranata menjadi curiga, maka ia lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mundur dan keluar lagi dari hutan gelap itu. Tapi terlambat! Di sekeliling mereka, terdengar sorak-sorai yang riuh dan tiba-tiba tampak api bernyala-nyala di sekeliling tempat itu. Tidak ada jalan keluar. Dan pada saat semua prajurit merasa bingung dan panik, tiba-tiba datang anak panah bagai hujan menyerang mereka dari segala penjuru. Beberapa orang prajurit memekik ngeri dan roboh terkena anak panah.

   "Berlindung di belakang pohon!"

   Suranata memberi perintah, karena serangan anak panah itu datang dari segala jurusan hingga tak mungkin menggunakan tameng untuk melindungi diri.

   Suranata sendiri yang berkepandaian tinggi, dapat mendengar suara anak panah yang mengarah kepadanya hingga dapat menangkis dengan tepat. Mendengar aba-aba ini, para prajurit lari tunggang langgang di sekitar tempat ini untuk berlindung di balik pohon, tapi karena jumlah mereka banyak dan keadaan gelap setelah banyak pemegang obor menjadi korban anak panah musuh, maka mereka saling tabrak dan berdesak-desakan. Serangan anak panah dari pihak Jaka Galing dan kawan-kawannya makin menghebat, bahkan kini di ujung anak panah dipasang api. Sungguh kasihan prajurit Suranata yang diserang habis-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Suranata menyesal sekali mengapa ia tadi menuruti nafsu amarahnya dan mengejar ke dalam hutan. Kalau ia berada di luar hutan, tak mungkin mereka menjebak seperti ini.

   "Mundur!!"

   Teriaknya. Tapi para anak buahnya bingung, harus mundur ke mana? Di belakang mereka api juga telah berkobar!

   "Hayo mundur, serbu bagian belakang. Cari jalan keluar!"

   Kembali Suranata memberi komando dan sisa-sisa perejurit-prajuritnya lalu berlaku nekat dan lari menyerbu ke arah dari mana mereka tadi datang. Ketika mereka telah tiba di dekat api yang berkobar, ternyata api yang menyala itu hanyalah daun-daun kering yang diikat menjadi satu, bukan pohon-pohon hutan terbakar seperti yang mereka duga semula. Dengan menggunakan tombak, mereka berhasil mengobrak-abrik api dan memadamkannya, lalu menerobos ke luar di antara hujan anak panah yang kini ditujukan ke arah jalan ke luar itu.

   Kembali banyak korban jatuh, tapi sisa tentara Suranata berhasi ke luar dari kepungan dan kembali keluar dari hutan. Ketika Suranat memeriksa keadaan barisannya, ternyata tinggal 57 orang lagi! Ternyata bahwa selain terbinasa di dalam hutan, banyak pula yang melarikan diri dan tidak kembali lagi! Suranata marah sekali. Ia lau memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Tandes dan minta bantuan 100 orang prajurit lagi! Malam hari itu juga, tiga orang pesuruh itu naik kuda menuju ke Kadipaten untuk menyampaikan permintaan bantuan dari Suranata. Akan tetapi, di tengah jalan ketiga orang pesuruh ini tiba-tiba diterkam oleh Jaka Galing dan kawan-kawannya dan sebentar kemudian Indra sendiri dan 2 orang kawannya menggantikan 3 orang pesuruh itu menuju ke Tandes!

   Jaka Galing yang sudah menyelidiki keadaan dan kekuatan barisan Tandes, tahu bahwa para perejurit yang berkumpul di Kadipaten dan menjadi orang-orang kepercayaan Gendrasakti berjumlah 300 orang, maka ia mengatur siasat untuk memancing semua prajurit pengawal itu ke dalam hutan! Pada keesokan harinya, barulah Indra dan 2 orang kawannya tiba di Tandes, dan sedikitpun tak mengira bahwa di Kadipaten sendiri telah terjadi peristiwa hebat pada malam tadi! Pangeran Bagus Kuswara dengan mendapat bantuan Ki Lenjer tukang gambang, pada malam hari menjelang fajar setelah Gendrasakti tidur pulas, berhasil mengadakan pertemuan dengan Sariti. Kedua orang muda yang hanya indah rupa dan kulit tapi sebenarnya kotor dan buruk isi ini, semenjak bertemu pada pertama kali ia telah jatuh hati dan atas petunjuk Ki Lenjer, mereka mengadakan pertemuan yang mesra di dalam taman Kadipaten.

   Memang benar sebagaimana dikatakan orang bahwa perbuatan sesat adalah awal segala malapetaka. Pertemuan ini dapat terlihat oleh seorang juru taman yang menaruh dendam kepada Sariti karena orang tua ini pernah mendapat marah dari si jelita ini. Kini melihat betapa Sariti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Bagus Kuswara yang menjadi tamu agung, juru taman ini cepat menyelinap di antara tetumbuhan bunga di taman dan langsung menuju ke dalam gedung. Ia tahu benar di mana letak kamar Adipati Gendrasakti dan benar saja, pintu kamar Adipati itu tidak terkunci karena ketika Sariti meninggalkan kamar itu untuk pergi ke taman, ia hanya merapatkan saja daun pintunya. Adipati Gendrasakti terkejut sekali ketika membuka mata dan melihat juru taman menggoyang-goyang ibu jari kakinya dan memanggil-manggil namanya.

   "Eh, mengapa kau berani mengganggu aku, juru taman?"

   Bentaknya marah.

   "Ampun, gusti Adipati. Hamba melihat hal yang ganjil dan luar biasa sekali dilakukan oleh gusti ayu!"

   Adipati Gendrasakti cepat memandang ke arah sisi kirinya dan melihat tempat itu kosong.

   "Gustimu Sariti berada di mana? Tanyanya cepat.

   "Gusti Adipati, marilah ikut hamba dan menyaksikan sendiri!"

   Juru taman menjawab perlahan.

   Pucatlah muka Gendrasakti. Ia menyambar sebilah keris yang tergantung di dinding, lalu mengikuti juru taman itu. Dan setelah tiba ditempat itu, ia melihat pemandangan yang membuat giginya berbunyi berkeretak-keretak dan kedua matanya berputar-putar karena marahnya. Cambang bauknya seakan-akan berdiri. Dengan sekali lompat ia telah berada di depan sepasang merpati yang sedang berkasih-kasihan itu. Pangeran Bagus Kuswara terkejut sekali dan memandang ketakutan, tapi ia tidak banyak diberi kesempatan. Tangan Gendrasakti yang besar dan kuat itu diayun dan keris itu beberapa kali masuk dan keluar dari dada Pangeran Bagus Kuswara hingga darah merah menyembur keluar dari dadanya dan tubuhnya lemas lalu roboh tanpa dapat bersuara lagi. Sariti menjatuhkan diri berlutut di depan Gendrasakti sambil menangis memohon ampun.

   "Perempuan rendah! Kaupun harus dibunuh!"

   Gendrasakti menendang tubuh Sariti hingga bergulingan, lalu ia mengangkat kerisnya untuk ditusukkan. Tapi melihat wajah kekasihnya itu memandangnya dengan penuh kesedian dan ketakutan, tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan amarahnya lenyap seketika.

   "Ampun, kanda Adipati... hamba... hamba tidak berdaya... Pangeran telah memaksa hamba dan... hamba takut untuk menolaknya. Hamba sedang berada di taman ini dan... dan gusti Pangeran datang. Apakah daya hamba? Apakah hamba dapat mengusirnya...? Ampun, Kang Mas..."

   Pada saat itu terdengar orang berkata,

   "Bohong! Ananda Adipati, selirmu ini memang berbahaya sekali, hingga ia berani memfitnah gusti Pangeran hingga kau sampai berani membunuhnya!"

   Yang berkata ini adalah Ki Ageng Bandar. Orang tua ini merasa terkejut sekali melihat betapa Pangeran Bagus Kuswara terbunuh mati. Tadinya ia merasa heran mengapa Pangeran itu belum juga memasuki kamarnya, maka ia lalu keluar mencarinya dan kebetulan sekali pada saat ia tiba di situ, Pangeran Bagus Kuswara tak bernapas lagi.

   Biarpun Adipati Gendrasakti sedang marah kepada selirnya terkasih, akan tetapi mendengar kata-kata Sariti kemarahannya berkurang. Kini mendengar ucapan Ki Ageng Bandar dan melihat orang tua itu muncul, ia teringat akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai sang prabu mendengar bahwa ia telah membunuh seorang puteranya, tentu maha raja itu akan marah dan menghukumnya! Tiba-tiba ia mendapat akal, dan setelah melihat ke kanan kiri tak melihat siapapun juga di dalam taman itu, secepatnya ia melompat menerkam dan menyerang Ki Ageng Bandar dengan kerisnya! Apakah daya seorang tua menghadapi serangan Adipati Gendrasakti yang digdaya itu? Beberapa kali keris Adipati itu menancap di ulu hatinya dan Ki Ageng Bandar roboh binasa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun keluhan!

   "Kang Mas Adipati... kau telah membunuh tamu-tamu agung itu, bagaimana ini?"

   Sariti akhirnya mengeluarkan keluhan dengan tubuh menggigil. Adipati Gendrasakti menjatuhkan dirinya diatas bangku yang berada di taman. Biarpun hawa malam itu dingin sekali, tapi ia merasa panas dan jidatnya berpeluh. Ia menghela napas panjang lebar dan pikirannya ruwet dan bingung.

   "Kang Mas Adipati... kalau kau dapat mengampuni saya dan masih percaya kepada saya, maka masih ada jalan baik untuk menghIndarkan diri dari kemurkaan sang prabu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian malam ini, maka lebih baik kita kabarkan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh musuh kita, yaitu Jaka Galing! Katakan saja bahwa Jaka Galing dan beberapa orang kawannya memasuki taman dan hendak membunuhmu, dan bahwa Pangeran Kuswara dan Ki Ageng Bandar hendak membantumu, tapi mati terbunuh... Bagaimana pikiranmu Kang Mas?"

   Bersinarlah cahaya terang dalam pikiran Adipati Gendrasakti yang sedang gelap dan bingung. Ia berdiri dan memeluk selirnya sambil berbisik,

   "Sari, aku maafkan kau. Tapi janganlah kau berbuat bodoh lagi lain kali. Akalmu tadi bagus sekali dan agaknya itulah satu-satunya jalan bagi kita menyelamatkan diri."

   Setelah bermufakat dan mencari akal, Adipati Gendrasakti lalu menggunakan keris untuk menusuk lengan kirinya sendiri hingga mengalirkan darah. Ia lalu merobohkan diri diatas tanah dan Sariti lalu berteriak-teriak minta tolong dengan suara nyaring sambil menangis dan berlutut di depan tubuh Adipati Gendrasakti! Para pengawal dan penjaga malam yang mendengar jerit tangis dalam taman, berlari-lari menghampiri dan alangkah terkejutnya mereka melihat Adipati Gendrasakti rebah dengan dengan lengan berdarah serta melihat kedua tamu agung itu telah binasa!

   Segera Adipati Gendrasakti diangkut kedalam dan kedua jenazah itupun dibawa ke dalam rumah. Maka berceritalah Adipati Gendrasakti dan Sariti betapa pada malam itu ketika mereka berdua sedang menghibur para tamu agungnya di dalam taman, tiba-tiba datang Jaka Galing dan lima orang kawannya dan menyerang mereka.Karena serbuan itu tak terduga datangnya, maka kedua orang tamu agung kena terbunuh dan Adipati Gendrasakti sendiri mendapat luka sebelum mereka sempat minta tolong! Cerita ini memang meragukan, tapi siapakah yang berani menyangkal cerita yang keluar dari bibir Sariti dan Adipati Gendrasakti? Ki juru taman yang mengetahui peristiwa itu saja tidak berani membuka mulut! Juga Ki Lenjer, tukang gambang yang menjadi penghubung natara Pangeran Bagus Kuswara dan Sariti, tak berani menceritakan pengalamannya, karena itu berarti mencekik leher sendiri.

   
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun, pada keesokan harinya, kedua orang tua itu telah lenyap dan tak seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Yang mengetahui hal ini tentu saja hanya Adipati Gendrasakti dan Sariti serta orang-orang kepercayaannya yang diperintahkan membawa pergi dan membunuh kedua orang tua bernasib malang itu! Demikianlah, ketika pagi-pagi hari Indra beserta kedua kawannya tiba di Tandes, ia mendengar peristiwa yang hebat itu dan kembali ia mengutuk akan kekejaman Adipati Gendrasakti karena ia tahu betul bahwa kabar itu bohong dan menyangka bahwa yang membunuh Pangeran Bagus Kaswara dan Ki Ageng Bandar tentu Adipati itu sendiri, walaupun ia masih merasa heran dan tidak tahu akan sebab-sebabnya. Ketika ia minta menghadap Adipati Gendrasakti, ia diterima dan Adipati itu merasa terkejut sekali mendengar kata-kata Indra.

   "Aduh, gusti Adipati, celakalah hamba sekalian kali ini! Pasukan pasukan yang menyerang Jaka Galing telah dihancurkan dan banyak yang tewas. Maka mohon dikirim bala bantuan yang besar jumlahnya!"

   Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang berada di situ meras heran karena tidak mengenal Indra dan dua kawannya, maka seorang diantara mereka membentak.

   "He, anak muda, siapa kau dan siapa yang menyuruhmu membuat laporan ini?"

   Ia menyembah dan berkata.

   "Hamba bertiga adalah prajurit-prajurit dari dusun Pedukuan yang secara suka rela membantu pasukan gusti Suranata karena kamipun merasa benci kepada Jaka Galing dan kawan-kawannya yang menjadi perampok. Akan tetapi, malam tadi kami sekalian telah disergap dan diserang oleh pasukan perampok yang besar jumlahnya dan mengalami kekalahan hebat!"

   Mendengar laporan ini, ributlah semua orang dan Adipati Gendrasakti lalu memukul-mukul meja di depannya.

   "Celaka! Si keparat Jaka Galing ia harus dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi! He, para perwira jangan menyia-nyiakan waktu lagi. Bawa semua prajurit ke hutan Kledung gempur perampok-perampok yang kurang ajar itu, dan kau, Raden Candra, bawa seregu prajurit untuk cepat-cepat memberi kabar kepada gusti prabu di Majapahit tentang tewasnya Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar. Beritahukan bahwa di daerah Tandes timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Galing dan berpusat di tengah hutan Kledung!"

   Maka berangkatlah perwira yang bernama Raden Candra itu membawa 12 prajurit berkuda dan mereka menuju ke Majapahit untuk menyampaikan berita itu. Sementara itu, perwira-perwira lainnya mengerahkan seluruh prajurit dan dengan membawa Indra serta 2 orang kawannya sebagai petunjuk jalan, mereka lalu berangkat ke hutan Kledung. Biarpun mereka lelah sekali, Indra diam-diam tertawa geli dan kegembiraannya tak kenal batas melihat hasil pancingannya ini. Ia maklum bahwa Jaka Galing telah siap dengan rencananya. Diam-diam ia mengatur sedemikian rupa hingga perjalan itu makan waktu sehari penuh hingga ketika mereka tiba di hutan Kledung dari lain jurusan, hari telah menjadi gelap.

   Senopati Suranat dengan gelisah menanti balabantuan yang tak kunjung datang. Ia melarang prajurit-prajuritnya pergi menjauhi perkemahan, takut kalau-kalau datang serbuan lagi! Jaka Galing telah menjalankan siasat yang cerdik dan hendak mencari kemenangan tanpa mengorbankan kawan-kawannya. Ketika melihat bahwa Indra telah dapat memancing pasukan balabantuan dari Tandes di luar hutan, ia lalu mengajak beberapa orang kawannya mengintai dari dalam hutan. Kemudian, setelah memberi petunjuk-petunjuk, ia lalu memberi aba-aba dan dengan riuh rendah mereka bersorak-sorak sambil melepaskan anak panah dari dalam hutan! Indra segera memberi tahu kepada para perwira sambil berteriak.

   "Nah, itulah mereka, di dalam hutan. Hayo serbu mereka!"

   Pasukan-pasukan baru ini berjumlah hampir dua ratus orang. Mereka lalu menyerbu ke dalam hutan yang gelap. Belum beberapa lama terjadi pertempuran beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah yang dilepas oleh Galing dan anak buahnya. Tapi karena para prajurit itu menggunakan tameng untuk melindungi diri, maka yang dapat dirobohkan hanya beberapa orang saja.

   Galing lalu mengajak kawan-kawannya mundur dan tiap kali ia telah berada jauh, ia sengaja menyuruh kawan-kawannya berteriak-teriak untuk memberi tahu tempat mereka kepada pasukan yang mengejar itu. Sementara itu, beberapa orang kawan lain juga menggunakan anak panah menyerang pasukan Suranata yang berkemah di luar hutan. Mereka ini hanya mengganggu belaka dan tidak datang dekat, sekedar memberi tanda bahwa para "Perampok"

   Berada di dalam hutan dan membuat Suranata dan para anak buahnya berjaga-jaga sambil membalas dengan melepaskan anak panah. Setelah para pasukan bala bantuan itu mengejar sampai dekat pinggir hutan di mana pasukan Suranata berada, Galing lalu mengajak kawan-kawannya bersembunyi dan bersatu dengan kawan-kawan yang mengganggu Suranata. Sementara itu, Indra lalu berseru kepada para perwira.

   "Nah, mereka telah lari sampai di luar hutan. Bagus sekali! Mereka takkan dapat bersembunyi lagi. Lihat itu di luar hutan mereka berkumpul, lekas serbu!"

   Para perwira tak dapat melihat nyata dalam gelap itu, mereka hanya melihat remang-remang bahwa di luar hutan memang berkumpul banyak sekali orang dan bahkan dari jurusan itu datang anak-anak panah yang banyak sekali. Maka mereka lalu memberi aba-aba dan semua prajurit mereka menyerbu keluar hutan dengan golok dan tombak di tangan.

   Sebaliknya, pasukan Suranata ketika tiba-tiba melihat banyak sekali orang keluar dari hutan dan lari menyerbu, menyangka bahwa itu adalah barisan Jaka Galing. Mereka cepat-cepat mempersiapkan diri! Dan terjadilah perang tanding di dalam gelap, dibarengi pekik-pekik kesakitan dari mereka yang roboh terluka dan pekik-pekik kemenangan dari mereka yang berhasil dirobohkan seorang "lawan"

   Untuk kemudian dirobohkan oleh kawan lain! Keadaan menjadi hiruk-pikuk dan ramai! Pada saat itu, Jaka Galing memeluk Indra dan memuji-mujinya dan semua kawan mereka bersukaria sambil menonton pertempuran hebat yang terjadi di luar hutan. Akhirnya Suranata dapat juga mengenali pasukan yang menyerbu mereka, demikianpun di fihak pasukan balabantuan. Tapi hal ini telah terlambat karena dikedua fihak telah banyak jatuh korban. Mereka lalu berkumpul dan menyesali kecerobohan masing-masing dan menuturkan pengalaman masing-masing yang menyedihkan.

   "Siapakah tiga orang yang memberi laporan ke Tandes itu?"

   Seorang perwira bertanya kepada Suranata.

   "Memang kami telah mengutus tiga orang utusan untuk memberi laporan dan minta bantuan, tapi mengapa mereka itu menyesatkan kalian dan bahkan menjebak hingga kita bertempur sendiri?"

   "Mungkin pesuruh-pesuruhmu itu berubah pikiran dan menjadi penghianat!"

   Di dalam gelap mereka mencari Indra dan dua orang kawannya, tapi sia-sia belaka. Suranata merasa gemas sekali dan membanting-banting kaki, apalagi setelah mendengar dari para perwira itu bahwa ketiga orang utusan itu sama sekali berbeda wajah dan potongan tubuhnya dengan tiga utusannya.

   "Mereka itu utusan palsu! Keparat benar Jaka Galing! Tentu mereka telah menangkap para pesuruh kita menggantikannya dengan kawan perampok yang sengaja memasang perangkap! Sungguh memalukan!"

   "Biarlah malam ini kita beristirahat di sini dan besok pagi kita kumpulkan semua tenaga untuik mencari dan menyerbu ke dalam hutan!"

   Kata seorang perwira dengan marah.

   Usul ini diterima baik dan semua orang beristirahat, menyesali nasib dan kelalaian mereka. Prabu Brawijaya tengah duduk bersiniwaka, dihadap oleh para senopati dan pembesar lain, sang prabu yang telah lanjut usianya itu masih kelihatan gagah dan tampan,dengan pakaina keprabon yang indah dan duduk diatas singgasana berukir dan terhias emas permata. Para senopati yang menghadap tampak gagah perkasa dan para selir dan pelayan yang duduk di belakang sang prabu semua cantik-cantik dan berpakaian indah. Keadaan Prabu Brawijaya dan segala yang berada disekelilingnya menunjukkan kejayaan Negara Majapahit dan sesuai pula dengan nama besar maha raja itu yang terkenal adil bijaksana dan sidik permana.

   Di antara senopati yang menghadap, tampak Patih Gajah Mada yang terkenal sebagai banteng majapahit, seorang yang cakap dan sakti dan yang telah berjasa besar dalam usahanya memuliakan nama Negara Majapahit. Tampak pula para bupati dan nayaka yang gagah dan di depan di sebelah Patih Gajah Mada tampak pula Pangeran Lembungpangarsa, yakni putera Prabu Brawijaya yang terkenal sakti mandraguna dan banyak mendapat pelajaran ilmu dari Patih Gajah Mada sendiri! Berbeda dengan Pangeran Bagus Kuswara, Raden Lembungpangarsa ini suka akan keperwiraan dan kegagahan. Prabu Brawijaya tengah membicarakan hal Adipati Gendrasakti yang telah lama tidak menghadap dan tentang kepergian Ki Ageng Bandar yang diutus meninjau Kadipaten itu. Patih Gajah Mada berakata.

   "Menurut warta yang telah hamba dengar dari para penyelidik, keadaan di Tandes tidak sangat menggembirakan. Ada berita bahwa dimas Adipati Gendrasakti kurang memperhatikan keadaan rakyat di Tandes dan sudah beberapa bulan tak pernah keluar meninjau keadaan daerahnya. Agaknya ada sesuatu terjadi di Kadipaten itu, gusti."

   Sang prabu membenarkan sangkaan patihnya.

   "Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu karena dulu Gendrasakti adalah seorang hamba yang baik dan perwira."

   Belum lama mereka bercakap-cakap, datanglah penjaga yang memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Tandes dan tampaknya tergesa-gesa sekali. Sang prabu lalu memberi perkenan agar mereka lansung menghadap. Raden Candra, utusan dari Tandes itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Sang Prabu Brawijaya lalu menangis!

   "Eh, eh, Ponggawa. Tak patut bagi seorang prajurit untuk menjatuhkan air mata. Ke mana perginya keteguhan hatimu?"

   Bentak Patih Gajah Mada kepada Raden Candra.

   "Hemm, prajurit Tandes bersifat wanita, mudah sekali menangis."

   Pangeran Lembu Pangarsa juga mencela. Mendengar celaan-celaan ini, Raden Candra cepat menggunakan tangannya menyeka air matanya dan menyembah lagi sambil berkata.

   "Ampun beribu ampun gusti sinuhun, hamba tak dapat menahan keluarnya waspa karena dorongan hati hamba sedih. Mohon ampun bahwa kedatanga hamba membawa berita duka, gusti."

   "Ponggawa, katakanlah apa yang menjadi tugasmu sebagai seorang utusan,"

   Kata Prabu Brawijaya dengan suara halus.

   "Telah terjadi peristiwa maut di Kadipaten Tandes, gusti yang mulia. Kadipaten Tandes telah telah diserbu oleh seorang pemberontak bernama Jaka Galing dan pemberontak itu menyerang Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang sedang dijamu oleh Adipati Gendrasakti dan garwanya di dalam taman. Dan... dan gusti Pangeran berdua dengan Ki Ageng elah tewas terbunuh oleh Jaka Galing, sedangkan gusti Adipati telah terluka, gusti..."

   "Ya Jagat Dewa Batara..."

   Sang prabu berseru sambil menggunakan tangan kanannya menyentuh dada kirinya untuk menenteramkan hatinya yang terpukul.

   "Coba kau tuturkan yang jelas, Ponggawa."

   Maka Raden Candra lalu menceritakan betapa di waktu malam hari, ketika Adipati Gendrasakti sedang menjamu kedua tamu agung itu di dalam taman, datanglah Jaka Galing beserta beberapa orang perempok yang langsung menyerang Adipati Gendrasakti. Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar maju membantu, tetapi keduanya tewas di ujung keris Jaka Galing, sedangkan sang Adipati sendiri mendapat luka.

   "Keparat betul Jaka Galing! Ramanda prabu, perkenankan hamba pergi menangkap si keparat itu! Pangeran Lembu Pangarsa memajukan diri dengan muka merah mendengar betapa adikanya terbunuh oleh jaka Galing. Tapi Patih Gajah Mada berkata,

   "Gusti pujaan hamba, sungguhpun perbuatan Jaka Galing itu sangat kurang ajar dan harus dihukum, akan tetapi perbuatannya itu masih belum diketahui sebab-sebabnya. Sebaliknya, menurut pertimbangan hamba. Adipati Gendrasakti ternyata telah menyia-nyiakan kepercayaan paduka sebagai seorang Adipati yang mengatur Kadipaten Tandes. Buktinya, telah ada seorang pemberontak merajalela dan bahkan ia sebagai seorang yang berkuasa penuh di desa Tandes, tak mampu menjaga keselamatan dua orang utusan paduka. Pantaskah ini bagi seorang pembesar yang telah dipercaya?"

   "Puteraku Lembu Pangarsa, kau siapkan barisan secukupnya untuk mengiringkan aku ke Tandes. Aku sendiri akan menyelidiki perkara ini dan akan memberi hukuman kepada pemberontak itu! Kakang patih, harap kau wakili aku menjaga praja!"

   Maka berangkatlah Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiring dan prajurit terutama di bawah pimpinan Pangeran Lembu Pangarsa yang gagah perkasa! Di sepanjang jalan, rakyat dari dusun-dusun yang yang dilalui oleh rombongan Sang Prabu Brawijaya, bahkan rakyat dari dusun-dusun yang telah mendengar akan lewatnya rombongan agung ini, datang berduyun-duyun menyambut dan berlutut di kanan kiri jalan sambil menaburkan bunga-bunga. Sedangkan Sang Prabu yang terkenal bijaksana dan pemurah, beberapa kali sengaja turun dari kuda dan mengajak paman-paman tani bercakap-cakap, menanyakan tentang kemajuan sawah dan tentang keadaan penghidupan di dusun, bahkan tidak lupa memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Tentu saja kebijaksanaan ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, dan rasa cinta dan bakti mereka terhadap Sang Prabu Majapahit makin menebal.

   Pangeran Lembu Pangarsa yang tampan dan gagah duduk di atas kuda putihnya bagaikan seorang ksatria gagah perkasa dari Negara Pendawa, hingga orang-orang yang memandang menjadi kagum dan para gadis dusun memandang dengan mata merayu dan terpesona hingga wajah dan kegagahan Raden Lembu Pangarsa itu terukir dalam hati mereka dan tak mudah dilupakan! Ketika rombongan Sang Prabu Brawijaya tiba di dekat hutan Kledung, mereka melihat pasukan-pasukan yang dipimpin Suranata berada di pinggir hutan itu. Suranata dan para perwira lainnya terkejut sekali melihat bahwa yang datang itu adalah rombongan dari Majapahit yang dikepalai oleh sang prabu sendiri. Maka dari jauh-jauh mereka telah mengatur persiapan menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan segala kehormatan!

   Telah dua hari bertrut-turut pasukan Suranata ini menyerbu ke dalam hutan, tapi serbuan mereka gagal selalu karena Jaka Galing yang cerdik dan mempunyai pembantu-pembantu yang cepat dan tangkas itu selalu dapat mengetahui lebih dulu akan maksudnya dan dapat menjauhkan diri tepat pada waktunya. Berkali-kali Suranata menyerbu tempat kosong hingga ia makin marah saja. Ia menyuruh anak buahnya mengobrak-abrik dan membakar rumah-rumah dusun Bekti yang telah dikosongkan dan ditinggalkan oleh Jaka Galing. Di waktu malam Suranata tidak berani berdiam di dalam hutan, tapi mengajak anak buahnya bermalam di luar hutan. Karena kegagalan-kegagalan ini, maka hatinya menjadi lemah dan nafsu bertempurnya menjadi berkurang. Maka pada hari ke tiga, ia masih berada di luar hanya mengutus beberapa orang menyelidik masuk ke dalam hutan dan mencari tahu tentang gerakan-gerakan musuh.

   Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa pasukan itu datang dari Tandes dan sedang melakukan pengejaran atas Jaka Galing dan kawan-kawannya, ia lalu memanggil menghadap Suranata untuk ditanyai tentang segala peristiwa yang terjadi di Tandes. Ketika sang prabu mendengar bahwa puterinya Chyaningsih juga diculik oleh Jaka Galing, sang prabu tak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Ia lalu memimpin sendiri para prajurit Majapahit dan bersama Pangeran Lembu Pangarsa lalu menyerbu ke dalam hutan! Pada saat itu, Jaka Galing sedang duduk melamun seorang diri di pinggir sebuah anak sungai yang berair jernih. Ia duduk didekat air, di atas sebuah batu dan dan memandangi daun-daun kering dihanyutkan air. Pikirannya melayang jauh. Tadinya ia termenung memikirkan keadaan Suranata yang dipermainkan itu dengan hati geli dan senang.

   Kemudian ia teringat kepada Gendrasakti dan air mukanya segera berubah menjadi keruh dan muram tanda hati tak sedap dan marah. Ia merasa gemas sekali mengingat akan kejahatan Gendrasakti. Sakit hati mengingat pembunuhan atas kakeknya yang terkasih belum juga terbalas, kini tanmbah lagi denag fitnah Adipati jahanam itu bahwa ia telah membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar! Sungguh kurang ajar sekali! Ia sedang memikir-mikirkan dan mencari jalan keluar untuk dapat bertemu muka dan membalas dendamnya kepada musuh besarnya itu. Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki perlahan-lahan di belakangnya dan berkat kewaspadaannya, ia cepat meloncat dan menghadapi orang yang baru datang dengan perlahan-lahan itu. Tapi ketika melihat bahwa yang datang diam-diam itu tak lain adalah Puspasari, wajah Jaka Galing berubah kemerah-merahan.

   "Aah... kusangka siapa..."

   "Kang Mas Galing, terkejut kau melihat aku datang?"

   Tanya Puspasari dengan senyum yang manis. Telah beberapa kali gadis ini bercakap-cakap dengan Galing dan keramahan mereka membuat mereka cepat dapat melenyapkan rasa segan dan malu-malu hingga perhubungan mereka dalam beberapa hari saja telah menjadi erat seperti kakak beredik. Hanya terhadap Indra, Puspasari masih malu, karena jejaka itu tanpa tendeng aling-aling lagi tiap kali bertemu dengannya selalu memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta!

   

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini