Kemelut Di Majapahit 11
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Sulastri cepat mengelak.
"Hemm... orang sinting! Kau nekat dan hendak berkelahi? Baiklah, nah, terimalah ini!"
"Plakk...!!"
Sebuah tamparan yang dilakukan dari samping mengenai pundak kiri orang itu yang terpelanting dan berputar sampai beberapa langkah. Namun orang itu hanya meringis dan sama sekali tidak gentar walau pun tamparan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak akan menang menghadapi lawan yang masih muda namun sakti ini.
"Ha-ha, mampus kau...!"
Dia menerjang dan menubruk seperti seekor srigala dan parangnya membacok kearah kepala Sulastri, tangan kirinya masih mencengkeram kearah perut!
"Sialan! Kau memang sinting!"
Sulastri berseru kesal dan tubuhnya miring untuk menghindarkan cengkeraman ke perutnya, kemudian dia mengangkat tangan kiri menangkis ke atas dan tangan kanannya memukul dengan penambahan sedikit tenaga ke arah dada lawan dengan menggunakan punggung tangan.
"Dukk! Plakk...!"
Orang itu mengeluh, parangnya terlepas dari pegangan karena ketika tertangkis tadi, dia merasa lengannya seperti lumpuh dan tidak mampu lagi mempertahankan parangnya, sedangkan pukulan ke dadanya membuat dadanya terasa seperti pecah dan matanya berkunang, tubuhnya terjengkang dan dia roboh bergulingan. Akan tetapi orang itu sungguh sudah nekat. Dengan mata beringas, dia meloncat bangun lagi dan dengan teriakan seperti binatang buas dia menubruk, menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke arah Sulastri.
"Dess...!"
Kaki Sulastri yang kecil menendang dan orang itu kembali terpelanting,memegangi perutnya yang kena tending tadi sambil meringis kesakitan. Akan tetapi,kembali dia maju menyerang.
"Orang gila, kau masih nekat?"
Sulastri berseru ganas dan kembali tangannya menampar, kini mengarah tengkuk.
"Plakk...! Aughhh...!"
Orang itu terpelanting dan roboh, mengeluh panjang dan ketika dia bangkit dan duduk, dia menggoyang-goyang kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya, akan tetapi tetap saja pandang matanya berkunang dan dunia seperti berpusing di sekelilingnya.
"Heh... kau bunuhlah aku... hemmm, kau bunuhlah biar aku menyusul Katmi anakku..."
Katanya terengah-engah.
"Kisanak, engkau salah sangka,"
Sulastri berkata dengan tenang dan kasihan karena dia maklum bahwa orang ini adalah orang yang agaknya dibikin gila oleh dendam sakit hati yang hebat.
"Aku tidak merayu anakmu, tidak pula membunuhnya,akan tetapi kalau kau mau menceritakan kepadaku apa yang terjadi dengan anakmu, barangkali saja aku akan dapat membantumu menangkap pembunuhnya."
Laki-laki itu kini mengangkat muka, menatap wajah Sulastri, kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengerutkan alisnya dan bicara kepada diri sendiri.
"Yang seorang tampan dan muda, dengan kumis kecil dan tahi lalat di pipi kirinya, dan dua orang lagi yang muda dan juga berkumis, yang seorang tinggi besar dan seorang lagi pesolek dan matanya agak sipit. Hemm... yang dua sudah mampus, akan tetapi kau biar pun muda dan tampan... kau tidak berkumis..."
(Lanjut ke Jilid 11)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
"Aku memang... eh, belum berkumis!"
Kata Sulastri, meraba bibir atasnya.
"Dan tidak ada tahi lalat padamu..."
"Memang ada, akan tetapi bukan di pipi kiri,"
Jawab pula Sulastri.
Laki-laki itu berusaha bangkit berdiri, akan tetapi terhuyung karena kepalanya masih pening, maka dia menjatuhkan diri lagi, duduk di atas tanah. Sulastri juga duduk di atas batu yang tadi disambitkannya kepadanya.
"Di mana...?"
Laki-laki yang seperti orang bingung itu otomatis bertanya. Sulastri merasa betapa mukanya menjadi panas, dia tidak tahu bahwa kedua pipinya menjadi merah. Dia tersenyum,
"Bukan urusanmu!"
Kemudian dia berkata lagi sambil memandang muka orang.
"Apakah engkau yang disohorkan sebagai orang gila pembunuh yang berkeliaran di hutan ini?"
Laki-laki itu mengeluh.
"Kau sudah mendengar akan itu dan masih berani memasuki hutan ini?"
"Kenapa aku takut? Dan nyatanya, orang gila pembunuh yang dikabarkan berbahaya itu, hanyalah seorang laki-laki tua yang bingung dan lemah."
Pria itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang berulang-ulang.
"Sungguh aneh, dia juga amat pandai, dan engkau... agaknya engkau lebih hebat. Mengapa aku bertemu dengan banyak orang muda yang sakti? Akan tetapi jelas dia berkumis dan bertahi lalat, dan engkau tidak berkumis, tidak bertahi lalat, mukamu halus dan engkau lebih tampan daripada dia."
Sulastri membungkuk dan tersenyum.
"Terima kasih atas pujianmu, akan tetapi siapakah si dia itu? Kalau kau mau menceritakan, aku berjanji akan membantumu dan kalau aku bertemu dengan dia, si tahi lalat di pipi kiri itu, tentu akan kupaksa dia datang kepadamu."
"Dia... dia... tak tahu aku namanya, akan tetapi Katmi, anakku.. telah mati..."
Dan tiba-tiba kakek itu menangis. Agaknya baru sekarang dia dapat menangis.
Tangisnya mengguguk seperti anak kecil dan air matanya bercucuran di antara celah-celah jari tangannya. Sulastri memandang dan merasa kasihan, akan tetapi dia mendiamkannya saja, tidak mengganggu karena dia maklum bahwa tangis itu akan dapat meringankan beban yang menekan batin kakek itu.
Setelah tangis mengguguk itu agak mereda, dia berkata halus.
"Nah, sekarang ceritakanlah, paman. Ketahuilah bahwa aku sengaja memasuki hutan ini untuk mencarimu setelah aku mendengar tentang paman dari seorang keluarga petani di luar hutan ini. Kalau paman mengandung hati penasaran, sebaiknya diceritakan kepada orang lain yang dapat membantumu, dengan demikian akan meringankan beban penderitaan batin paman."
"Engkau aneh... engkau masih muda dan sakti, juga bijaksana... orang muda, siapakah engkau?"
"Aku Bromatmojo, paman,"
Jawab Sulastri.
"Aihh, jadi andika seorang pemuda sakti mandraguna yang baru turun dari Gunung Bromo?"
Sulastri mengangguk "Aku hanya orang biasa saja, paman, hanya aku akan suka menolong kepada siapa yang patut ditolong."
Kakek itu kelihatan lega dan harapannya kembali lagi, pandang matanya tidak beringas lagi, melainkan sayu diliputi kedukaan.
"Dengarlah ceritaku, orang muda yang perkasa dan apakah andika akan menganggap aku seorang yang patut ditolong atau tidak, terserah kepada andika."
Laki-laki itu mulai menuturkan riwayatnya. Dia bernama Kaloka, seorang penduduk dusun Turen. Kaloka adalah seorang pemburu yang terkenal dan keadaannya cukup mampu dan disegani karena selain dia termasuk orang berkecupukan, juga dia suka menolong orang, baik dengan kekayaan mau pun dengan tenaganya karena dia termasuk seorang yang memiliki kedigdayaan. Akan tetapi, isterinya telah meninggal sejak anak tunggalnya berusia lima tahun. Dia tidak mau menikah lagi dan seluruh rasa cinta kasihnya dicurahkan kepada anak tunggalnya, yaitu puterinya yang bernama Katmi. Gadis ini telah berusia tujuh belas tahun ketika malapetaka hebat itu terjadi.
Sebagai seorang pemburu yang berani memasuki daerah-daerah berbahaya untuk mencari buruan yang paling berharga, Kaloka sering kali meninggalkan rumahnya untuk beberapa hari lamanya, kadang-kadang bahkan sampai setengah bulan. Tentu saja Katmi tinggal seorang diri di rumah, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita tua yang telah mengasuhnya sejak dia masih kecil.
Pada suatu hari, ketika sedang pulang dari perburuan, Kaloka berjumpa dengan seorang penduduk Turen yang menceritakan kepadanya bahwa kalau dia pergi berburu,kadang-kadang ada seorang pemuda tampan sedang mengunjungi rumahnya.
"Sikapnya mencurigakan dan dia bukan penduduk Turen, kakang Kaloka,"
Kata tetangga itu.
"Kami khawatir kalau-kalau puterimu sampai terkena bujuk rayunya karena pemuda itu tampan dan bicaranya manis, namun sikapnya mencurigakan."
Mendengar berita ini, Kaloka langsung menemui anaknya dan menanyakan siapa pemuda yang suka mengunjungi di waktu dia tidak ada di rumah itu. Wajah anaknya menjadi merah dan dengan gugup puterinya itu menjawab bahwa dia tidak mengenal nama pemuda itu.
"Dia adalah seorang tamu dari luar dusun yang katanya telah mendengar akan nama ayah dan hanya singgah sebentar, ayah,"
Kata Katmi sambil menundukkan mukanya.
Mula-mula, mendengar alasan puterinya ini, Kaloka tidak mau mengusut lebih jauh. Dia terlalu sayang kepada puterinya dan terlalu percaya. Akan tetapi, Katmi terkenal sebagai kembang dusun Turen dan tentu saja semua pemuda di Turen tergila-gila kepadanya dan mengharapkan untuk dapat memetik bunga ini, yang cantik jelita dan anak orang kaya pula! Memang Katmi cantik, dan dalam usia tujuh belas tahun seperti setangkai bunga sedang mulai mekar. Wajahnya bulat dan manis, bentuk tubuhnya montok padat, agak gemuk tetapi tidak terlalu gemuk,melainkan kegemukan yang mendatangkan gairah karena sesuai dengan bentuk mukanya yang bulat. Kulitnya halus dan agak gelap, akan tetapi bukan hitam, hanya kecoklatan dan yang biasa disebut hitam manis. Karena banyak pemuda yang menaruh hati kepadanya itulah yang membuat peristiwa itu tidak habis sampai disitu saja.
Makin banyak Kaloka mendengar laporan-laporan tentang pemuda tampan yang mengunjungi puterinya di waktu dia tidak berada di rumah, terutama pelaporan yang datangnya dari pemuda-pemuda se-dusun itu.
"Aku tidak akan merintangi kesenangan hati anakku,"
Kaloka mengeluh pada Sulastri yang mendengarkannya dengan tenang.
"Akan tetapi cara pemuda itu menggauli anakku sungguh tidak wajar. Kalau memang dia suka, mengapa dia tidak datang saja menemuiku dan melamar? Mengapa dia mengunjungi anakku di waktu aku tidak berada di rumah?"
Dengan hati mulai digoda rasa curiga, pada suatu malam Kaloka pulang dengan tiba-tiba karena memang dia tidak melanjutkan perjalanannya berburu. Dan dengan kedua matanya sendiri, dia melihat betapa seorang pemuda sedang mengadakan pertemuan dengan puterinya itu di dalam taman di belakang rumah, dan pemuda itu merangkul leher puterinya dengan mesra sambil berbisik-bisik! Dapat dibayangkan betapa marahnya ayah itu dan dengan bentakan keras dia meloncat ke dalam taman, dengan maksud menangkap dan menghajar pemuda yang dianggapnya menganggu puterinya itu.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika pemuda itu dapat mengelak dengan mudah, dan ketika Kaloka yang marah itu memukulnya, dia dapat pula menangkis dan terjadilah perkelahian di dalam taman! Setelah pukul-memukul beberapa lamanya, akhirnya pemuda yang cekatan itu dapat memukul Kaloka, membuat Kaloka terpelanting jatuh dan si pemuda menggunakan kesempatan ini untuk meloncat dan menghilang di dalam gelap. Katmi menubruk ayahnya dan menangis. Ayahnya marah sekali, akan tetapi karena sayang sekali kepada puterinya, Kaloka menahan kemarahannya, Kaloka bertanya siapa adanya pemuda yang berkumis dan bertahi lalat di pipi kirinya itu.
"Aku tidak tahu namanya, ayah..."
"Hemmm..."
Kaloka mengertak gigi saking mengkalnya.
"Kau belum mengenal namanya akan tetapi kau membiarkan saja dia merayu dan merangkulmu?"
"Ampunkan aku, ayah. Dia... dia pandai sekali bicara.... dia bercerita macam-macam dan dia amat manis budi..."
"Bodoh! Engkau harus dapat menghargai kehormatan dan namamu, masa begitu mudah menyerahkan diri karena bujuk rayu seorang yang sama sekali tidak kau kenal siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya? Kau bodoh, Katmi. Kalau dia berani muncul lagi sewaktu aku tidak ada, jangan kau terima dia sebagai tamu, katakan bahwa kalau memang dia mencintaimu, agar orangtuanya datang melamar!"
"Baik, ayah..."
Jawab gadis itu sambil berlinang air mata. Sampai sebulan kemudian, pemuda itu tidak pernah muncul kembali. Beberapa kali Kaloka pura-pura pergi berburu, akan tetapi sesungguhnya dia tidak berburu melainkan kembali lagi melakukan pengintaian. Akan tetapi, pemuda itu tidak muncul lagi dan tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Hatinya menjadi lega dan dia menganggap bahwa tentu pemuda itu sudah tobat dan tidak berani muncul,hal yang menggirangkan hatinya karena dia amat khawatir. Pemuda itu tampan,pandai merayu, dan di samping itu juga memiliki kepandaian berkelahi yang hebat sehingga dia, yang terkenal jagoan dapat dirobohkannya dengan begitu mudahnya.
"Karena dia tidak muncul lagi selama satu bulan lebih, maka hatiku menjadi tenang dan aku mulai pergi berburu lagi. Akan tetapi, begitu aku pergi berburu benar-benar, terjadilah malapetaka itu..."
Dan Kaloka menghentikan ceritanya sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan seolah-olah dia merasa ngeri untuk membayangkan kembali apa yang dilihatnya beberapa bulan yang lalu.
"Apa yang terjadi, paman Kaloka?"
Tanya Sulastri yang mulai tertarik oleh cerita orang tua itu.
"Ketika aku kembali dari berburu, aku disambut dengan tangis oleh pelayan kami yang menceritakan bahwa semalam Katmi telah minggat!"
Kaloka melanjutkan ceritanya. Tentu saja dia menjadi marah bukan main dan sebagai seorang pemburu ulung, dia dapat pula mencari jejak puterinya itu dan akhirnya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, dia mendapatkan puterinya berada di dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Turen.
"Akan tetapi dia... dia...."
Kaloka kembali menghentikan ceritanya.
"Sudah mati...?"
Tanya Sulastri yang merasa kasihan dan juga ngeri.
Kaloka menggeleng kepalanya dan mengusap air mata yang menetes turun.
"Belum,ketika aku menemukan dia, dia belum mati.. dia menggeletak hampir mati dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan. Aku melihat darah... dan dia sama sekali telanjang, pakaiannya cabik-cabik di kanan kiri tempat itu... dia sempat bercerita kepadaku bahwa dia diajak pergi oleh pemuda berkumis bertahi lalat itu,akan tetapi... sampai di tempat itu, dia diperkosa dan dipermainkan, dihina oleh pemuda itu yang mentertawakannya dan mengatakan bahwa hal itu dilakukan untuk menebus penyeranganku malam itu di taman. Anakku sampai menjadi pingsan dan ketika dia siuman, dia melihat seorang pemuda tinggi besar dan seorang lagi pemuda pesolek bermata sipit dan mereka... jahanam-jahaman itu... mereka juga memperkosa anakku..."
"Keparat..!!"
Sulastri membentak sehingga kakek itu terkejut sekali karena suara pemuda itu meninggi dan nyaring seperti pekik dahsyat. Jantungnya sampai terguncang mendengar pekik yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti itu.
"Dan anakmu lalu mati...?"
Kakek itu mengangguk, menelan ludah dan mengejap-ngejapkan mata.
"Dia mati setelah menceritakan semua itu. Aku lalu bersumpah untuk membalas dendam, kucari-cari mereka bertiga itu, terutama si pemuda berkumis dan bertahi lalat. Yang dua dapat kutemukan, si pemuda tinggi besar dan pemuda pesolek bermata juling,karena mereka itu adalah pemuda-pemuda dusun Turen sendiri. Agaknya ketika mereka yang ikut pula mencari Katmi, melihat anakku telanjang di hutan, mereka berdua lalu menggunakan kesempatan itu untuk melakukan perbuatan mereka yang terkutuk. Aku telah berhasil membawa mereka ke hutan ini, mereka mengaku dan kubunuh mereka. Penduduk dusun yang mendengar ini mencariku, akan tetapi aku dapat memukul mundur mereka, lalu aku masuk keluar hutan untuk mencari pemuda berkumis dan bertahi lalat dan akhirnya aku berkeliaran di hutan ini. Sulastri mengangguk-angguk.
"Untung paman bertemu dengan aku, kalau tidak,bukankah paman akan membunuh seorang pemuda yang sama sekali tidak berdosa?"
"Engkau begini muda dan tampan, dan semenjak peristiwa itu, aku merasa benci kepada semua pemuda, terutama yang tampan."
"Aku bisa mengerti, paman. Akan tetapi tentu paman menyadari bahwa hak itu amat keliru. Sebaiknya kalau paman menenangkan hati dan pikiran, kemudian baru perlahan-lahan mencari pemuda berkumis dan bertahi lalat itu. Dan aku pun berjanji bahwa kalau aku bertemu dengan seorang pemuda seperti itu, akan kutangkap dia dan kubawa dia kepada paman."
"Terima kasih, raden. Andika sungguh baik dan sekarang aku telah sadar akan dendam yang membuat aku seperti gila. Memang aku harus menenangkan hati dan pikiran dan sebaiknya hal itu kulakukan di sini agar aku selalu dapat teringat kepadamu dan dapat mengenangkan kembali kesalahanku. Aku akan bertapa di sini,dan setelah tenang, baru aku akan keluar dari hutan ini."
"Terserah kepadamu, paman. Nah, aku pergi sekarang dan jangan sebut aku raden karena aku hanya seorang biasa saja, aku Joko Bromatmojo."
Setelah berkata demikian Sulastri bangkit dan menggunakan aji kesaktiannya, sekali dia melompat lenyaplah dia di antara pohon-pohon. Melihat ini, Kaloka terkejut bukan main,terbelalak dan bengong sampai lama, kemudia tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di tempat Sulastri tadi berdiri!
Iring-iringan pengantin itu cukup megah dan meriah. Pengantin pria naik kuda besar dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang yang memiliki kedudukan dan jelas seorang yang kaya. Pakaiannya indah dihias benang emas gemerlapan, dari jauh kelihatan gagah perkasa sehingga Sulastri yang melihat dari jauh merasa kagum. Pengantin prianya gagah, pikirnya. Di depan berjalan pasukan yang membawa tombak, disusul pasukan memegang parang, kemudian barulah joli pengantin puteri yang dipikul oleh enam orang. Pengantin pria menjalankan kudanya kadang-kadang di dekat joli, kadang-kadang di depan. Di belakang nampak pula rombongan keluarga, yang wanita naik joli, yang pria naik kuda, dan paling belakang kembali pasukan yang memegang tombak. Akan tetapi, setelah Sulastri yang menahan langkahnya untuk menonton iring-iringan pengantin itu melihat sang pengantin pria dari dekat, dia kecewa dan keliru.
Hanya dari jauh saja dia kelihatan gagah karena pakaiannya gemerlapan dan kudanya tinggi besar, akan tetapi setelah dekat, ternyata pengantin pria itu adalah seorang laki-laki yang sudah hampir kakek-kakek, usianya tentu ada lima puluh tahun! Memang gagah dan berwibawa duduk tegak diatas punggung kuda dengan dada terangkat, akan tetapi tetap saja merupakan kejanggalan melihat seorang pengantin pria yang usianya sudah setengah abad!
Tadinya Sulastri sudah akan melanjutkan perjalanannya kembali, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat sebuah joli dekat joli pengantin tersingkap dan seraut wajah wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun,memandang kepadanya dan tersenyum manis penuh daya pikat dan matanya pun mengerling tajam! Dan pada saat itu, dia pun mendengar suara isak tangis keluar dari joli pengantin puteri yang tertutup rapat! Kalau saja dia hanya mendengar isak tangis biasa, dia pun tidak akan merasa aneh karena bukankah sudah lumrah kalau seorang pengantin puteri menangis? Bahkan sudah merupakan semacam "keharusan"
Karena kalau tidak menangis, kata umum, seolah-olah si pengantin puteri kegirangan menjadi pengantin dan tentu saja hal ini amat memalukan bagi seorang perawan!
Akan tetapi, kalau telinga orang-orang lain tidak dapat menangkapnya,telinga Sulastri lain lagi. Telinga dara perkasa ini sudah terlatih sedemikian rupa sehingga dia dapat menangkap lapat-lapat suara seorang wanita mengeluh di antara isak tangis itu.
"Ayah, ibu... tidak kasihankah kalian kepadaku...? Cabutlah saja nyawaku... dan bawa aku beserta kalian...!"
Sulastri menjadi tertarik sekali. Tidak ada seorang pengantin puteri di mana pun juga, melakukan tangis "pengantin"
Seperti itu! Itu adalah tangis seorang wanita yang merasa berduka sekali, yang menderita dan jelas merupakan kawin paksaan yang keji. Tadinya dia masih tidak akan terlalu memperhatikan karena merasa bahwa hal itu bukan urusannya, akan tetapi karena tadi dia melihat wanita cantik yang tersenyum genit kepadanya, timbul perasaan penasaran dan kasihan kepada pengantin puteri yang belum dilihat wajahnya itu. Karena rasa penasaran, maka kedua kakinya membuat gerakan membalik dan Sulastri membayangi rombongan pengantin itu yang menuju ke timur, kemudian membelok ke utara, ke sebuah sungai yang melintang menghalang jalan. Akan tetapi agaknya rombongan pengantin itu,terutama pengantin prianya, adalah seorang yang berpengaruh dan kaya raya, maka disitu memang sudah tersedia beberapa buah perahu yang siap menyeberangkan mereka, bahkan perahu-perahu itu pun di hias warna-warni.
Rombongan itu berhenti dan pengantin pria meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghampiri joli pengantin puteri yang sudah diturunkan. Tirai joli disingkap dan seorang gadis yang cukup manis berpakaian pengantin turun dari joli, akan tetapi ketika pengantin pria mengulurkan tangan untuk membantunya,pengantin puteri menarik tangannya dan tiba-tiba saja sambil menjerit pengantin puteri itu lari ke arah sungai!
"Heee...!"
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebuh yang bertubuh kurus tinggi menubruk dan menangkap lengan pengantin wanita yang hendak melarikan diri itu. Pengantin itu meronta-ronta dan menjerit-jerit.
"Paman.... paman, lepaskan aku... biarkan aku pergi... biarkan aku mati...!"
Kini wanita cantik yang tadi tersenyum kepada Sulastri, melangkah maju dan mengangkat tangannya.
"Plak-plak-plak-plak!!"
Pipi pengantin puteri itu telah ditamparnya berkali-kali!
"Diam kau, bocah tak tahu malu! Engkau membikin malu paman dan bibimu!"
"Sudahlah, bibi. Sudahlah...!"
Pengantin pria yang jauh lebih tua itu melerai dan menyebut bibi kepada wanita cantik itu.
Pada saat itu Sulastri sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Jangan paksa orang yang tidak mau kawin!"
Bentaknya dan dia meloncat ke dekat pengantin wanita itu, sebuah tangannya mendorong ke arah si pengantin pria yang hendak merangkul calon isterinya.
"Heiiitt!"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pengantin pria itu menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terjengkang dan terdengar suara berdebuk ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai mengepulkan debu.
"Tangkap perampas pengantin!"
"Bunuh!"
"Serbu...!"
Keadaan menjadi geger ketika para pengawal yang memegang tombak dan parang itu maju mengepung Sulastri. Akan tetapi Sulastri yang sudah marah itu cepat menggerakkan tubuhnya ke kanan kiri, amat cekatan dan sigap dan kemana pun dia bergerak, kaki tangannya menyambar dan robohlah seorang pengeroyok. Dalam waktu singkat saja sudah ada lima orang pengeroyok jungkir balik dan mengaduh-aduh!
Sementara itu, di dalam keributan ini, pengantin puteri berhasil melarikan diri dan terjun ke sungai! Padahal sungai di bagian itu merupakan kedung yang amat dalam, maka paniklah pengantin pria yang berteriak-teriak minta tolong karena dia sendiri tidak mampu berenang. Akan tetapi, para pengawalnya juga sibuk mengepung Sulastri sehingga mereka tidak mendengar teriakan ini. Hanya pengantin pria, paman dan bibi pengantin puteri itu yang berteriak-teriak dan lari ke sana-sini di tepi sungai seperti induk ayam melihat anak ayam terjatuh ke air. Karena tadinya para tukang perahu juga sudah berloncatan ke darat untuk membantu para pengawal membekuk pemuda yang dianggapnya hendak merampas pengantin, maka mereka pun tidak tahu bahwa pengantin puteri terjun ke dalam Kedung (bagian air sungai yang dalam).
Pada saat itu, nampak seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berlari cepat seperti terbang dan tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu melompat ke dalam air. Caranya melompat dan terjun ke air membuktikan bahwa dia memang mahir bermain dalam air, dengan lompatan lurus dan kepalanya didahului oleh kedua lengan yang disatukan dan dilonjorkan ke depan. Juga ketika tubuhnya menimpa air, tidak terdengar suara seperti sebatang pisau yang runcing menusuk agar-agar saja.
"Cluuuuppp..!"
Tubuhnya sudah lenyap di telan air ketika pemuda itu terjun dan langsung menyelam. Akan tetapi tidak lama kemudian, dia telah timbul kembali,merangkul pengantin puteri yang sudah lemas dan pingsan, lalu berenang dengan cepatnya ke pinggir sungai, terus merayap naik sambil memondong tubuh pengantin puteri itu. Kini para tukang perahu yang sudah diberi tahu dan sudah berlarian ke pinggir sungai, membantunya naik dan gadis itu direbahkan di atas rumput,ditangisi oleh paman dan bibinya.
"Raden... tolong... dia orang jahat hendak merampas keponakanku!"
"Apa? Di siang hari ada orang berani merampas pengantin?"
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan dia lalu bangkit dan memandang ke arah pertempuran itu. Terkejut juga dia melihat pemuda tampan itu mengamuk dengan amat hebatnya dan biar pun dikeroyok oleh belasan orang perajurit, namun dengan enaknya pemuda itu menggerakkan kaki tangan dan para perajurit menjadi mawut, tombak-tombak dan parang-parang beterbangan disusul robohnya tubuh para perajurit itu.
Melihat ini, pemuda tinggi tegap itu menjadi marah. Dia lalu meloncat ke gelanggang pertempuran dan begitu pemuda tampan itu kembali merobohkan dua orang perajurit sehingga yang lain menjadi ragu-ragu dan mundur, pemuda tinggi tegap yang pakaiannya basah kuyup itu menerjang sambil membentak keras. Bagaikan seekor harimau menubruk, dia telah menyerang Sulastri dari depan dengan pukulan tangan kiri ke arah dada sedangkan tangan kanan menyambar ke arah leher.
"Ihhh...!"
Sulastri berteriak kaget ketika merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan itu, apalagi melihat bahwa pukulan itu menuju ke arah dadanya! Cepat dia mengerahkan tenaga saktinya pula dan kedua tangannya memapaki dua tangan lawan yang memukulnya itu.
"Dukkk! Desss...!"
Keduanya terlempar dan terhuyung ke belakang!
"Ahhh...!"
Pemuda tinggi tegap itu terkejut setengah mati.
Dia tadi telah mengerahkan tenaga saktinya dan dia maklum bahwa jarang ada orang sanggup menahan pukulan-pukulannya ini, akan tetapi bocah tampan kurus itu tidak hanya dapat menangkisnya, malah tangkisan itu mengandung tenaga sakti yang tidak kalah kuatnya sampai dia terhuyung dan hampir terjengkang jatuh!
Adapun Sulastri juga terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa pemuda tinggi tegap yang tampan dan gagah itu ternyata kuat bukan main! Dan ketika mereka beradu lengan tadi, air yang membasahi pakaian pemuda itu memercik ke muka dan pakaiannya, maka dia menjadi mendongkol bukan main. Sambil mengusap mukanya yang basah oleh percikan air, dia mengomel.
"Orang gila! Kalau mau berkelahi, kenapa tidak berganti pakaian dulu?"
Pemuda tinggi tegap itu tercengang mendengar bentakan ini. Pemuda tampan dan sakti itu sungguh seperti anak kecil saja! Yang diributkan malah basahnya pakaiannya! Akan tetapi dia masih marah mendengar bahwa pemuda tampan yang wajahnya sama sekali tidak mencerminkan kejahatan ini hendak merampas pengantin,jadi dibalik ketampanannya ini bersembunyi kecabulan! Maka dengan marah dia membentak,
"Memang biasanya orang gila memaki orang lain gila!"
Sulasti melotot.
"Kau bilang aku gila? Kau yang gila! Kau gila, gila, gila!!"
Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda tinggi tegap itu.
"Huh, siapa lagi kalau bukan orang gila yang hendak merampas pengantin wanita di waktu siang hari dan di jalan raya?"
Sulastri menjadi makin marah dan dia melangkah maju dengan dua tangan dikepal.
"Siapa yang merampas pengantin? Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan engkau pemuda cabul?"
"Keparat! Ngawur bicaramu, ya? Kurobek bibirmu nanti! Aku tidak merampas pengantin, tidak merampas siapa-siapa. Mulutmu layak ditampar!"
Sulastri menerjang dan benar-benar tangannya bergerak dengan cepatnya menampari ke arah mulut dan pipi pemuda itu. Pemuda itu cepat menangkis dan mengelak sambil mundur.
Beberapa orang perajurit maju meyerbu, akan tetapi kini mereka yang menjadi sasaran kedua tangan Sulastri yang mengamuk dan tamparan gadis ini amat hebat,membuat mereka yang kena tampar roboh dengan pipi bengkak-bengkak dan gigi copot-copot!
"Heee-heeittt, tahan dulu...!"
Pemuda tinggi tegap itu melompat ke depan dan menangkisi tamparan-ramparan Sulastri yang menyambutnya dengan serangan.
"Kalau kau memang tidak merampas pengantin, kenapa kau mengamuk di sini sehingga pengantin wanita sampai terjun ke dalam kedung...?"
"Ehh..?"
Sulastri terkejut dan menghentikan serangan-serangan yang selalu dapat ditangkis tadi.
"Dan dia mati...?"
Pemuda itu cemberut.
"Kalau tidak aku cepat-cepat menyelam dan menyelamatkannya,tentu dia sudah mati karena gara-garamu!"
Kini Sulastri memandang pemuda tinggi tegap itu dengan penuh perhatian. Pemuda yang tampan gagah, dan kumisnya tipis membuat wajah itu makin menarik.
"Jadi kau kira bahwa dia melompat ke sungai karena gara-garaku?"
"Tentu saja! Kalau tidak, karena apalagi?"
Pemuda itu balas bertanya.
"Dan kau anggota rombongan ini?"
"Bukan, aku baru datang karena tertarik oleh ribut-ribut yang terjadi di sini,kemudian aku melihat pengantin wanita meloncat ke sungai. Kuselamatkan dia dan..."
"Kalau begitu engkau orang tolol ngawur! Orang yang memiliki kesaktian namun bodoh dan goblok!"
"Eh, mulutmu jahat sekali, penuh dengan makian!"
"Habis engkau memang tolol sih! Kau menuduh orang dengan ngawur saja tanpa penyelidikan dulu. Kau tahu mengapa aku menyerang mereka dan mengapa pengantin wanita itu hendak membunuh diri? Dia dipaksa kawin!"
"Ehhh..?"
"Jangan percaya omongannya! Dia seorang perampok, seorang penjahat yang hendak merampas isteriku!"
Pengantin pria yang tadi roboh terjengkang berteriak sambil menuding ke arah Sulastri.
Sulastri tersenyum mengejek.
"Dan kau pemuda sakti tolol tentu percaya omongan kakek yang doyan daun muda ini, bukan? Lihat baik-baik mempelai wanita itu dan taksir berapa umurnya. Seorang dara cantik yang pantasnya kawin dengan aku atau engkau..."
"Ihhh...! Ceriwis benar kau!"
Pemuda tinggi tegap itu membentak dan mukanya berobah merah.
Sulastri tersenyum mengejek lagi.
"Akan tetapi dara itu dikawinkan dengan seorang kakek sombong. Maka kalau dia tadi hendak membunuh diri, aku tidak menyalahkan dia. Kalau aku menjadi dia... hemm, memang lebih senang mati daripada kawin dengan kakek seperti ini!"
"Kurang ajar kau, monyet!"
Kakek itu menjadi marah.
"Hayo keroyok, tangkap dia!"
Akan tetapi Sulastri yang dimaki monyet itu sudah menjadi marah. Ketika ada enam orang perajurit maju, dia menerjang sehingga mereka itu terjengkang ke kanan kiri, kemudian tangannya menampar.
"Plak...! Aduhhh...!"
Kakek itu menjerit dan mulutnya berdarah. Sulastri hendak memukul lagi akan tetapi dia dicegah oleh pemuda tinggi tegap.
"Sudah, sudahlah.... tak perlu membunuh orang!"
"Hemm, lihat siapa yang seperti monyet! Engkau yang menjadi monyet ompong!"
Sulastri mengejek dan pengantin pria itu meludahkan darah dan beberapa buah giginya yang patah oleh tamparan tadi.
"Sesungguhnya, apakah yang terjadi dan bagaimana kau bisa mengatakan bahwa gadis itu dikawinkan dengan paksa?"
Pemuda tinggi tegap itu menjadi bingung dan kini dia menghadapi Sulastri pemuda yang kelihatan masih remaja dan kurus akan tetapi yang memiliki kepandaian hebat dan juga amat galak itu.
"Tentu saja aku tahu! Tidak seperti engkau yang ngawur!"
Sulastri menjawab galak.
"Aku bersuara dengan mereka di jalan dan aku mendengar pengantin puteri di dalam tandu menangis dan bersambat ke pada ayah bundanya minta mati. Tentu saja mendengar ini aku menjadi curiga dan mengikuti rombongan ini. Setelah tiba di sungai ini, tiba-tiba pengantin puteri turun dan melarikan diri, akan tetapi ditangkap oleh orang yang disebutnya paman itu, dan ditampari oleh dia..."
Dia menuding ke arah wanita cantik yang masih berjongkok di dekat tubuh pengantin wanita yang agaknya sudah siuman.
"Nah, tentu saja aku marah dan membela si pengantin puteri, sampai kau datang dan menyerang aku secara membabi buta!"
Pemuda tinggi tegap itu kini membalik dan memandang ke arah pengantin pria yang masih mengusapi mulutnya yang berdarah dengan sehelai saputangan.
"Benarkah begitu?"
"Bohong! Dia bohong...! Tidak ada kawin paksaan...!"
Pemuda tinggi tegap itu menjadi bingung.
"Hemm, siapakah yang harus kupercaya...?"
Sulastri tersenyum mengejek.
"Kalau bodoh mengaku saja bodoh, jangan pura-pura mau menjadi orang pintar mengadili urusan orang lain. Kalau kau bingung, mengapa tidak tanya saja kepada yang berkepentingan langsung, yaitu si pengantin puteri?"
Wajah pemuda itu berseri.
"Ah, kau benar!"
Dan dia menoleh ke arah wanita yang ditolongnya ke luar dari kedung tadi. Akan tetapi pada saat itu, pengantin puteri tadi agaknya sudah mendengarkan semua percakapan itu dan kini dia bangkit,meronta lepas ketika dipeluk bibinya dan dipegangi pamannya, lalu dia lari menghampiri tempat itu dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sulastri!
"Raden, tolonglah saya... tolonglah saya agar jangan saya dipaksa menikah dengan bapak lurah Jati..."
Wanita itu menangis dan merangkul kedua kaki Sulastri.
Sulastri tersenyum, mengerling ke arah pemuda tinggi tegap tadi dan mengejek.
"Nah,katakan apakah aku seorang perampok pengantin wanita?"
Kini pemuda tinggi tegap itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan membalik kepada bapak lurah Jati, pengantin pria tadi sambil membentak.
"Ternyata benar bahwa gadis ini dipaksa kawin. Hemm, lekas kalian minggat sebelum kuhajar kalian sampai babak belur!"
"Tapi... tapi... mas kawinnya..."
Pengantin pria itu berkata.
"Desss...!"
Pemuda tinggi tegap itu menendang sampai pengantin pria terlempar dan jatuh bergulingan.
"Inilah mas kawinnya!"
Pengantin pria berteriak kesakitan lalu melarikan diri bersama para pengiringnya,jerih karena kini pemuda tinggi yang tadinya berpihak kepada mereka itu telah berubah sikap memusuhi mereka. Menghadapi pemuda kecil tampan itu sudah payah,apalagi ditambah pemuda tinggi tegap itu. Kini tinggal pengantin puteri dan paman serta bibinya yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut. Sulastri memandang kepada dua orang itu dengan alis berkerut, apalagi ketika melihat betapa bibi cantik itu kini mengucurkan air mata dan si paman kelihatan pucat ketakutan.
"Berdirilah kau..., nimas...!"
Kata Sulastri sambil memegang kedua pundak pengantin puteri yang manis itu. Pengantin itu bangkit berdiri dan merasa betapa kedua tangan "pemuda"
Tampan yang menolongnya itu masih berada di kedua pundaknya dengan sentuhan halus, dia menundukkan mukanya yang berubah merah.
"Eh, kalian berdua siapakah?"
Tegurnya kepada suami isteri itu.
"Kami... kami adalah... paman dan bibinya..."
Jawab si suami gugup. Akan tetapi tiba-tiba bibi pengantin puteri yang cantik itu bangkit berdiri dan berkata dengan hormat, setelah menghapus air matanya.
"Harap paduka maafkan, raden. Ini suami saya, Parjito, dan saya adalah bibi dari nini Warsini yang sudah yatim piatu. Semenjak kecil Warsini kami pelihara seperti anak sendiri."
"Hem, seperti anak sendiri? Kenapa kalian memaksanya menikah dengan bandot tua itu?"
Sulastri membentak.
"Maaf..."
Dan wanita itu kembali mengucurkan air mata.
"Kami yang terpaksa, raden... sehingga kami terpaksa mempunyai banyak hutang kepada bapak lurah dari dusun Jati. Kemudian, bapak lurah jatuh cinta kepada keponakan kami ini dan... karena terpaksa, kami membujuk Warsini untuk menjadi isterinya..."
"Isteri yang ke lima raden!"
Warsini berkata.
"Ternyata kalian berdua adalah orang-orang mata duitan yang hendak mengorbankan keponakan sendiri untuk mendapatkan uang! Betapa kejinya!"
Pemuda tinggi tegap itu berkata dengan nada suara marah pula.
"Kami terpaksa... ah, sekarang pun kami menjadi bingung. Apa yang harus kami lakukan, raden? Paduka berdua yang memiliki kesaktian boleh jadi tidak takut kepada lurah Jati, akan tetapi kami... ah, mungkin saat ini dengan adanya paduka berdua, kami terlindung akan tetapi setelah paduka berdua meninggalkan kami..."
Wanita cantik isteri Parjito itu berkata lagi.
Sulastri yang tadi merasa gemas kepada wanita ini karena melihat wanita ini menampari pipi Warsini, sehingga kini menjadi bingung karena dia dapat melihat kebenaran dalam kata-katanya.
"Habis, apa yang harus kami lakukan?"
Terdengar Parjito bertanya bingung.
"Pak lurah Jati sudah pasti tidak akan tinggal diam saja dan kami serumah akan celaka..."
Kini pemuda tinggi tegap itu berkata.
"Di mana rumah kalian?"
"Kami dari dusun Kriten, raden."
"Mari kami antar kalian pulang, dan kita cari jalan bagaimana baiknya nanti."
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, terima kasih, raden. Paduka berdua sungguh baik sekali."
Sang bibi berkata dengan nada suara gembira dan penuh harapan.
Tadinya Sulastri tidak ingin mencampuri urusan itu lagi, akan tetapi melihat pemuda tinggi tegap itu begitu baik hendak mengantarkan mereka, tiba-tiba timbul rasa curiga dan rasa penasaran di dalam hatinya. Dia curiga karena siapa tahu apa isi hati pemuda ini, dan pula, dia yang tadi menolong si gadis pengantin,akan tetapi agaknya pemuda itu yang akan melanjutkan dan menerima jasa dan pujiannya. Oleh karena itu, tanpa membantah dia pun ikut pergi mengantar gadis pengantin bersama paman dan bibinya itu ke luar dari hutan. Hari telah gelap ketika mereka tiba di dusun Kriten sehingga tidak sampai menarik perhatian banyak penduduk yang tentu akan menjadi heran dan ribut melihat sang pengantin puteri kembali lagi tanpa pengantin prianya.
Setelah tiba di rumah Parjito, wanita cantik isteri Parjito yang bernama Gianti itu agaknya telah menemukan kembali ketenangannya dan dia melayani dua orang pemuda itu dengan penuh keramahan. Bersama keponakannya yang pendiam itu dia segera memasak air, menanak nasi dan mempersiapkan hidangan dan minuman kepada mereka sedangkan Parjito sendiri lalu menemani dua orang pemuda itu bercakap-cakap di serambi depan.
Setelah menerima hidangan dan makan bersama, mereka lalu bercakap-cakap membicarakan persoalan mereka yang terancam oleh ki lurah Jati. Dari sikap dan percakapan dengan mereka itu, Sulastri makin tidak suka kepada suami isteri ini yang agaknya merupakan orang-orang malas yang hanya pandai menghamburkan uang,maka tidaklah heran kalau mereka sampai mempunyai banyak hutang kepada ki lurah Jati yang sebenarnya menghendaki keponakan mereka. Dan agaknya, paman dan bibi ini sengaja hendak mempergunakan Warsini sebagai sumber penghasilan!
"Pak lurah Jati pasti datang dan memaksa kami menyerahkan Warsini,"
Demikian kata Parjito dengan sikap khawatir.
"Dan mungkin peristiwa siang tadi akan mengakibatkan dia marah kepada kami."
"Apakah kalian tidak mempunyai keluarga di dusun lain ke mana kalian dapat mengungsi?"
Tanya pemuda tinggi tegap. Mereka menggeleng menyatakan tidak punya.
"Kalau lurah itu hendak memaksa, apakah kalian tidak melapor kepada pejabat yang lebih tinggi kedudukannya?"
Pemuda tinggi tegap itu menoleh kepadanya dan berkata,
"Agaknya andika tidak tahu, kawan, bahwa melaporkan seorang pejabat kepada pejabat yang lebih tinggi sama artinya dengan minta bantuan seekor harimau untuk mengusir seekor srigala."
Semua orang menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana memecahkan persoalan itu,dan Warsini yang sejak tadi mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya, tiba-tiba berkata sambil memandang kepada Sulastri.
"Raden, jalan satu-satunya hanyalah bahwa saya harus minggat dari dusun ini. Kalau paduka sudi menolong saya,setelah paduka membela saya di hutan itu, saya... saya akan menghambakan diri kepada paduka... harap paduka membawa saya ke mana pun, menjadi hamba atau apa saja juga saya rela... raden..."
Pemuda tinggi tegap itu mengerutkan alis dan memandang kepada Sulastri, lalu kepada gadis pengantin itu, akan tetapi dia diam saja. Sedangkan Sulastri yang mendengarkan penyerahan ini menjadi merah mukanya.
"Warsini jangan begitu! Kalau kau pergi bersama raden ini... lalu... bagaimana dengan kami...?"
Bibinya, Gianti yang sejak tadi bersikap manis sekali, terlalu manis kepada Sulastri, berkata khawatir.
"Pak lurah telah mengancam, kalau hutang-hutangku tidak dilunasi... dan ditambah lagi mas kawin itu..."
"Bibi yang menerima uangnya, dan bibi pula yang menerima mas kawinnya... saya tidak tahu menahu tentang itu!"
Jawab Warsini.
"Eh, eh... kau bocah tak mengenal budi! Dan sejak kecil siapa yang memeliharamu sampai sebesar ini? Siapa yang memberi makan setiap hari, memberi pakaian kepadamu? Dan kami harus mengurus agar engkau mendapatkan suami yang baik dan mencukupi, masih kurang bagaimanakah kami?"
Gianti berkata dengan marah, dan suaminya cepat menyabarkannya dan memegang lengan isterinya, akan tetapi si isteri merenggutkan lengannya dan suami itu agaknya pun tidak berani banyak cakap lagi. Sikap suami itu jelas membayangkan bahwa dia kalah pengaruh, bahkan takut kepada isterinya yang cantik.
"Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut!"
Sulastri berkata. Gianti kini berkata kepada Sulastri.
"Raden, paduka melihat betapa sulitnya keadaan saya. Saya telah melakukan segala sesuatu demi kebaikan keponakan suami saya ini, akan tetapi sekarang hanya kesulitan saja yang saya peroleh darinya..."
Dan dia menangis sesenggukan.
"Sudah, aku mempunyai jalan yang baik. Besok, keponakanmu akan kubawa dan kuserahkan kepada seorang yang tentu akan mengganggapnya sebagai anak sendiri dan akan sanggup menghadapi ancaman yang akan muncul. Dia adalah seorang sahabatku yang sudah setengah tua dan kehilangan anak perempuannya."
"Terima kasih, raden...!"
Warsini berseru dengan girang sekali.
"Kau mau ikut bersamaku dan kuberikan kepada seorang sahabatku untuk menjadi anaknya?"
Tanya Sulastri.
Gadis itu mengangkat mukanya dan memandangnya, memandang dengan sinar mata yang luar biasa, yang membuat hati Sulastri merasa tidak enak karena pandang mata itu demikian mesra dan penuh penyerahan! "Saya akan menurut saja apa pun yang akan paduka lakukan terhadap diri saya."
Ucapan ini sudah mengandung makna yang luas dan kerut alis pemuda tinggi tegap itu makin mendalam.
"Akan tetapi bagaimana dengan kami kalau Warsini pergi?"
Kini Parjito berkata gelisah.
"Pak lurah Jati tentu akan..."
"Ada dia ini yang akan melindungi kalian!"
Kata Sulastri sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda tinggi tegap itu.
"Hemm, tak mungkin aku tinggal di sini terlalu lama. Banyak pula urusanku sendiri. Hal itu tidak perlu diributkan. Kalau pak lurah datang, katakan saja bahwa keponakan kalian telah dilarikan oleh dia itu."
Dia pun menudingkan telunjuknya ke arah Sulastri.
Sulastri mengangguk-angguk.
"Hemm, kiranya tidak begitu bodoh. Memang itu merupakan alasan yang baik sekali. Kalian katakan saja bahwa keponakan kalian kularikan, tentu mereka akan mengejarku, kalau berani!"
Setelah mengambil keputusan bulat, akhirnya mereka setuju untuk bermalam di rumah itu semalam. Parjito memberikan kamar tamu yang sederhana untuk dua orang pemuda itu, akan tetapi Sulastri tegas-tegas menolak.
"Aku tidak bisa tidur berdua, tidak biasa! Kalau tidak ada kamar lain, biarlah aku tidur di luar, di lantai saja!"
"Ah, mana bisa begitu raden?"
Warsini cepat berseru.
"Biarlah paduka memakai kamar saya, dan saya tidur di lantai."
Kini Gianti yang cepat berkata kepada suaminya.
"Kenapa kau tidak tidur saja di rumah tetangga malam ini? Aku bisa tidur bersama Warsini, dan kamar kita biar dipakai oleh Raden ini."
Sang suami mengangguk-angguk.
"Baiklah. Nah, selamat tidur, raden berdua,"
Kata Parjito yang segera ke luar dari rumahnya itu.
Pemuda tinggi tegap itu mendapatkan kamar tamu sedangkan Sulastri kebagian kamar suami isteri itu, sedangkan Gianti memasuki kamar keponakannya bersama Warsini. Lampu-lampu dipadamkan dan mereka pun merebahkan diri di atas pembaringan di kamar masing-masing. Sulastri tidak dapat tidur. Peristiwa tadi siang membayang di dalam pikirannya dan dia membayangkan betapa akan gembiranya bapak Kaloka kalau dia datang bersama Warsini. Tidak ada jalan lain, sebaiknya Warsini diserahkan kepada Kaloka yang kehilangan anak perempuannya itu. Dengan mempunyai seorang ayah seperti Kaloka, tentu keselamatan Warsini terjamin, dan Kaloka juga akan terobati dari luka di hatinya kerena kehilangan puterinya. Dia teringat pula kepada pemuda tinggi tegap yang tidur di kamar sebelah. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng, juga gagah perkasa. Ingin dia menguji kepandaiannya!
Terdengar bunyi kentongan ronda malam yang menandakan bahwa waktu tengah malam telah tiba. Mendadak Sulastri mendengar suara berkeresekan di arah pintu kamarnya. Sinar lampu satu-satunya yang masih dipasang di ruangan tengah,menembus celah-celah bilik dan membuat kamarnya remang-remang, namun dia masih dapat melihat ketika daun pintu terbuka perlahan dari luar. Jantungnya berdebar dan semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Tentu maling, pikirnya. Atau seorang penjahat. Kaki tangan lurah Jati? Dia pura-pura tidur, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian. Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan sesosok bayangan memasuki kamar itu,bayangan seorang wanita yang bertubuh ramping! Sulastri makin terheran-heran. Kini wanita itu yang hanya bentuk tubuhnya yang ramping, berjalan perlahan menghampiri pembaringannya. Rambut wanita itu terurai lepas. Tercium olehnya bau wangi bunga dan teringatlah dia akan bau yang sama dari Gianti, bibi Warsini.
Dia cepat bangkit duduk.
"Mau apa kau...?"
Tanyanya heran.
"Ssttt... raden..."
Suara Gianti terengah-engah dan lalu dia duduk di tepi pembaringan, tangannya meraba-raba dan memegang tangan Sulastri.
"Raden... saya tidak dapat membalas budi kebaikanmu kecuali... dengan tubuhku ini..."
Dan dia lalu merangkul leher Sulastri dan seperti seekor harimau betina kelaparan dia menciumi muka Sulastri.
"Eh...! Sulastri gelagapan akan tetapi cepat tangannya mendorong dan tubuh wanita itu terdorong ke belakang.
"Jangan..., aku tidak bisa... tidak mau... eh,kau ini seorang wanita yang sudah bersuami mengapa..."
"Raden... terimalah saya..., sejak saya melihat raden di tepi jalan itu, ingatkah paduka? Ketika saya menyingkap tirai joli... melihat paduka di tepi jalan, hati saya telah terpikat dan saya tergila-gila... raden, kasihanilah saya yang jatuh cinta kepada paduka..."
Kini Sulastri melompat turun dari pembaringan. Hatinya geli akan tetapi juga marah. Betapa tidak geli hatinya melihat betapa ada seorang wanita yang jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya? Hampir saja dia tertawa. Ditahannya geli hatinya dan dia cepat berkata lirih agar jangan sampai membangunkan semua orang,"Bibi, pergilah. Aku tidak sudi, dan kau ingatlah kepada suamimu. Pergi!!"
Wanita itu terisak dan dengan perlahan lalu meninggalkan kamar itu, keluar dengan langkah tersaruk-saruk. Sulastri cepat menutupkan kembali daun pintunya. Akan tetapi peristiwa itu membuat dia makin tidak dapat tidur lagi. Dia masih merasa geli, serem dan juga marah kalau teringat kelakuan Gianti yang dianggapnya tak tahu malu itu. Dan karena tidak dapat tidur inilah maka lewat tengah malam menjelang pagi dia mendengar suara-suara yang tidak wajar di sebelah luar. Dia menjadi curiga dan cepat dia membuka daun jendela kamar itu dan dengan gerakan ringan sekali dia meloncat keluar jendela ke dalam kebun di belakang rumah, cepat menyelinap ke bawah ketika melihat betapa beberapa bayangan orang di sekitar tempat itu. Dengan pandang matanya yang awas Sulastri mendapatkan kenyataan yang mengejutkan bahwa rumah itu telah dikurung oleh banyak orang!
Ketika dia mendengar suara tertawa yang diikuti suara wanita yang dikenalnya,yaitu wanita yang malam tadi menyelinap ke dalam kamarnya, dia cepat merunduk, menyelinap diantara semak-semak dan pohon-pohon, mendekati arah datangnya suara itu. Kiranya suara itu datang dari sebuah gubuk kecil di sudut kebun dan di antara remang-remang cahaya bintang-bintang di langit dia melihat lurah Jati duduk di dalam gubuk dan di atas pangkuan lurah ini duduk Gianti yang merangkul leher pak Lurah itu!
"Kenapa susah-susah mengejar Warsini?"
Terdengar Gianti berkata manja.
"Bagaimana kalau diganti saja oleh saya, kakangmas?"
"Ha-ha-ha, engkau bibiku akan tetapi menyebut aku kakangmas!"
Terdengar suara lurah Jati.
"Engkau memang telah menjadi milikku, mengapa harus engkau menggantikan bocah itu? Jangan khawatir, cah ayu, kalau keponakanmu itu telah menjadi milikku, engkau pun akan kutarik ke dalam kelurahan. Kau tahu aku sayang padamu."
Terdengar suara cumbuan dan Sulastri cepat menyelinap mundur, mendekam sambil mendengarkan saja, hatinya panas dan marah bukan main melihat bahwa sesungguhnya Gianti yang tak tahu malu itu adalah kekasih lurah itu sendiri!
"Apakah kakangmas yakin akan berhasil? Mereka itu adalah pemuda-pemuda yang berilmu tinggi."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Lima puluh orang kaki tanganku mengepung tempat ini,dan dikepalai dua orang kepala pengawalku. Kalau ada mereka siang tadi, tentu dua orang bocah itu telah dapat ditangkap atau dibunuh. Di mana mereka berdua sekarang?"
"Hik-hik, di dalam kamar, tidur pulas agaknya. Suamiku sudah kusuruh keluar dan bermalam di rumah tetangga. Warsini pun tidur sendiri di kamarnya."
"Ha-ha, kau memang manis! Mari..."
"Ihh, masa di gubuk ini? Nanti ketahuan orang, kakangmas..."
"Hushh, siapa berani melihat kita? Dan masih ada waktu... anak buahku akan bergerak kalau hari sudah agak terang. Mari, manis, kau berjasa besar..."
Terdengar suara ketawa genit dan Sulastri sudah cepat meninggalkan gubuk itu dengan muka terasa panas. Dia cepat memasuki lagi kamarnya, lalu membuka daun pintu setelah membereskan semua pakaiannya, menghampiri pintu kamar pemuda tinggi tegap. Akan tetapi baru saja tangannya hendak mengetuk pintu, tiba-tiba daun pintu terbuka dan pemuda tinggi tegap itu telah berdiri di ambang pintu, kelihatan segar dan sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa pemuda itu habis tidur!
"Eh... ?"
Sulastri terkejut.
"Ssttt... aku sudah tahu bahwa kita dikurung oleh anak buah lurah jahanam itu,"
Kata si pemuda.
Pemuda itu agaknya tidak mendengar ejekan Sulastri.
"Aku menduga bahwa paman dan bibi Warsini bukan orang baik-baik, dan mereka itu menjadi kaki tangan lurah Jati. Kita harus dapat melarikan Warsini dari rumah ini."
"Kaki tangan lurah Jati? Huh, perempuan jahanam itu adalah kekasih sang lurah bejat! Dan Parjito adalah suami lemah yang tunduk di bawah kaki isterinya."
"Ehh? Bagaimana kau tahu...? Sudahlah, yang penting adalah menyelamatkan Warsini!"
"Hemm, kau begitu bersemangat untuk membela Warsini. Kenapa?"
"Kenapa? Tentu saja karena aku kasihan padanya."
Sulastri tersenyum mengejek.
"Dia wanita lemah, bagaimana bisa diajak lari? Lebih baik dipondong dan dibawa lari, seorang di antara kita yang melindungi."
"Dipondong? Hemm...Ya, begitu kiranya lebih baik. Dilarikan dengan cepat dan seorang di antara kita melindungi dan membuka jalan darah di antara kepungan musuh."
Sulastri timbul sifat bengalnya dan dia hendak menggoda, atau mungkin juga hendak mencoba pemuda tinggi tegap itu.
"Nah, kau bangunkan dia dan kau pondong dia. Aku yang akan melindungimu melarikan gadis cantik itu."
"Heh? Aku? Memondong dia? Tidak... eh, maksudku kau saja...
"
Jawabnya gagap dan di bawah sinar lampu, Sulastri melihat bahwa muka pemuda itu menjadi merah sekali.
"Mengapa?"
Dia bertanya geli melihat pemuda yang pemalu ini.
"Tidak baik... kalau aku yang memondong."
"Apa bedanya? Kita sama-sama pria, kau atau aku yang memondong sama saja. Pula, bukankah kau yang menyelamatkannya dari kedung dan tentu kau pernah memondongnya?"
"Justru itulah... aku... aku masih merasa ngeri kalau mengingat hal itu."
"Ngeri memondong tubuh gadis itu? Eh, kau aneh...!"
"Sudahlah, kau cerewet benar! Seperti perempuan saja!"
Seketika Sulastri membungkam mulutnya, kemudian berkata singkat.
"Baik, aku memondongnya, kau melindungi aku melarikan dia."
Diketuknya pintu kamar Warsini dan karena gadis itu yang telah beberapa malam tidak dapat tidur kini kelegaan hati membuatnya pulas dan tidak mendengar ketukan pintu, Sulatri tanpa ragu-ragu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Melihat ini, pemuda tinggi tegap itu mengerutkan alisnya. Tidak enak hatinya melihat "pemuda"
Yang terlalu tampan, cerewet dan tentu pandai merayu dan memikat hati gadis-gadis cantik itu begitu saja memasuki kamar seorang gadis yang masih tidur pulas. Akan tetapi tidak lama kemudian, Sulastri telah keluar dari kamar itu, menggandeng tangan Warsini yang kelihatan pucat ketakutan.
(Lanjut ke Jilid 12)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
"Tak usah takut, ada kami yang akan melindungimu,"
Kata si pemuda tinggi tegap, pura-pura tidak melihat betapa gadis itu digandeng oleh si pemuda ceriwis!
"Warsini rumah ini telah dikepung oleh lima puluh orang anak buah ki lurah Jati,maka kita harus melarikan diri dari sini sekarang juga,"
Kata Sulastri.
"Ah, bagaimana..., raden? Tentu mereka akan mencelakakan paduka..."
Warsini memandang Sulastri dengan matanya yang terbelalak.
"Eh, kau malah mengkhawatirkan aku? Kaulah yang harus dilindungi, manis! Dan agar kita dapat berhasil, engkau akan kupondong dan kularikan dari sini,sedangkan dia itu yang akan melindungi kita."
Sulastri sengaja bersikap manis kepada Warsini ketika dia melihat betapa pemuda tinggi besar itu mengerutkan alis sejak dia menggandeng keluar gadis itu dari dalam kamar tadi.
"Dipondong...?"
Wajah yang pucat itu menjadi berubah merah.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terserah kepadamu,raden... dan saya hanya menurut saja..."
Sulastri lalu memondong gadis itu dengan lengan kirinya dan Warsini menjaga dengan keseimbangan tubuh, terpaksa merangkul pundak Sulastri. Mereka kelihatan begitu mesra dan kembali pemuda tinggi tegap itu memandang dengan alis berkerut.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo