Kemelut Di Majapahit 13
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Terima kasih, kakang Tejo."
Maka berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke barat lalu membelok ke utara karena mereka ingin langsung pergi ke Sungai Tambakberas yang menjadi tapal batas antara Mojopahit dan Tuban.
Malam itu terang bulan. Bulan purnama, bulat penuh dengan sinarnya yang keemasan mendatangkan suasana yang redup dan sejuk, dan hanya kadang-kadang saja bulan bersembunyi di balik segumpal awan tipis yang lewat seperti kucing-kucing berbulu tebal yang ingin membelai dan dibelai sejenak lalu pergi lagi.
Tepi Sungai Tambakberas itu rungkut, penuh dengan semak belukar yang tidak pernah dibersihkan oleh manusia. Tempat itu merupakan sebuah hutan kecil yang lebat dan jarang didatangi manusia. Suasana yang amat sunyi, ditimpa cahaya bulan, membuat tempat itu kelihatan serem dan angker. Demikian sunyinya tempat itu sehingga bunyi kelapak ikan yang melompat dari bawah permukaan air, untuk mencaplok sesuatu yang hanyut oleh air yang tenang itu, atau agaknya ikan-ikan yang bergembira hendak bercanda dengan cahaya bulan di atas air, sampai dapat terdengar dari dalam hutan kecil itu.
"Tidak salahkah engkau, adi Bromo? Benar di sini tempatnya?"tanya Sutejo yang sejak tadi berjongkok di dalam hutan itu bersama Sulastri, meneliti tempat di mana Sulastri sembilan tahun yang lalu telah mengubur jenazah Sri Winarti.
"Tidak, kakang. Di sinilah tempatnya. Aku ingat benar. Lihat pohon-pohon raksasa itulah yang menjadi tanda bagiku, dan ini... nah, ini lagi..."
Sulastri mengambil tombak-tombak patah yang terpendam di situ.
"Dengan tombak dan golok patah inilah dahulu aku menggali lubang untuk mengubur jenazah mbakayuku Narti..."
Suara Sulastri terhenti oleh keharuan yang mencekik leher.
"Kalau begitu, mari kita gali, adi Bromo,"
Kata Sutejo yang sudah menyiapkan cangkul untuk keperluan itu. Memang mereka bersepakat untuk mencari keris pusaka itu di malam hari karena menurut Sutejo, bukan tidak mungkin kalau ada fihak lain yang juga menginginkan pusaka itu dan kalau mereka menggali di siang hari,banyak bahayanya akan ketahuan orang lain sehingga akan terdapat banyak gangguan dan halangan.
Tanpa kata-kata lagi, kedua orang muda itu lalu menggali lubang dengan cangkul. Karena keduanya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian dan tenaga sakti,pula mereka kini menggunakan cangkul, tentu saja pekerjaan itu dilakukan dengan mudah dan cepat sekali, jauh bedanya dengan sembilan tahun yang lalu ketika Sulastri yang berusia sembilan tahun menggali lubang dengan susah payah,menggunakan tombak dan golok sampai semalam suntuk baru selesai!
"Hati-hati, kakang, pelan-pelan saja jangan sampai cangkulmu mengenai mbakayu Narti,"
Kata Sulastri setelah galian mereka cukup dalam dan dia tahu bahwa sedikit lagi sampai pada jenazah mbakayunya yang sekarang entah telah bagaimana macamnya. Jantungnya berdebar keras, keharuannya mencekik lehernya dan membuat matanya terasa panas akan tetapi dia menahan tangisnya.
"Baik, adi Bromo..."
Sutejo juga tergetar suaranya ketika dia mendengar perubahan pada suara kawannya itu yang jelas amat terharu dan berduka.
Akhirnya mereka hanya menggunakan tangan untuk mencokel-cokel tanah karena sudah nampak tulang-tulang putih dan tak lama kemudian, ketika semua tanah yang menutupi sudah diangkat dan sinar bulan sepenuhnya menimpa lubang galian itu, kelihatan dengan jelas sebuah kerangka manusia yang lengkap, dengan sebatang keris menancap di antara tulang-tulang iga depan!
"Mbakayu Narti...!"
Sulastri tidak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan dia menutupi mukanya, menahan tangisnya sampai sesenggukan. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia adalah seorang yang menyamar sebagai pria, tentu dia sudah menjerit-jerit. Maka ditahannya jeritnya dia mingseg-mingseg dan sesenggukan,air matanya bercucuran ketika dia memandang ke arah kerangka itu, jari-jari tangannya menutup hidung dan mulutnya.
Sutejo menepuk bahu kawannya.
"Sudahlah, adi Bromo. Tidak ada gunanya lagi meremas hati sendiri. Lebih baik kita sempurnakan sisa-sisa jasmani mbakayumu dan kau ambillah pusaka itu."
Sulastri mengangguk-angguk tidak berani mengeluarkan suara karena sukarlah bagi hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya itu untuk bicara. Akan tetapi pada saat itu, mereka berdua terkejut sekali oleh suara gaduh di sekeliling mereka.
"Aha, ini mereka!"
"Tangkap!"
"Serbu... !!"
Sulastri dan Sutejo terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikepung oleh belasan orang yang tinggi besar dan kelihatan kuat-kuat, dan di tangan mereka nampak senjata-senjata tajam berkilauan tertimpa cahaya bulan. Dua orang muda itu maklum bahwa orang-orang itu tentu memang telah menanti sejak tadi dan tentu ada hubungannya keris pusaka Kolonadah, maka Sulastri yang sedang dilanda kesedihan melihat jasmani mbakayunya telah berubah menjadi kerangka yang mengerikan itu, kini meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring, begitu meloncat dia telah menerjang dua orang di depannya yang memegang tombak.
Dua orang itu cepat menggerakkan tombaknya, seperti dua orang pemburu menghadapi tubrukan seekor harimau mengamuk. Akan tetapi Sulasrti bukanlah seekor harimau bodoh yang hanya mengandalkan kekuatan dan kebuasannya saja. Melihat dua batang tombak itu menyambut dan menusuknya, cepat tubuhnya merendah, merunduk dan ketika dua tangannya menyambar dari bawah dengan kekuatan aji kesaktian Hasto Bairowo, terdengar suara "Krakk-krakk!"
Dan dua batang tombak itu pun patah-patah.
Dua orang itu terkejut bukan main, akan tetapi Sulastri tidak memberi kesempatan lebih lanjut kepada mereka itu kaget-kagetan, karena dia sudah melangkah maju dan dua kali tangannya melayang.
"Plak! Plak!"
Dua orang itu mengeluh, tubuh mereka terjungkal dan mereka roboh pingsan tak dapat bergerak lagi! Sementara itu, Sutejo sudah dikepung dan mengamuk. Maka di dalam hutan belukar itu, di bawah penerangan yang kadang-kadang gelap oleh halangan awan dari bulan purnama, terjadilah pertempuran yang hiruk-pikuk karena dua orang muda itu dikeroyok oleh belasan orang yang rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah. Kalau dua orang pertama tadi dengan amat mudah dirobohkan oleh Sulastri,adalah karena mereka berdua terlalu memandang rendah kepada pemuda tampan yang bertubuh kecil itu.
Betapa pun juga, mereka tidak kuat menahan amukan Sulastri dan Sutejo dan dalam waktu yang tidak berapa lama, enam orang di antara mereka telah roboh oleh tamparan-tamparan Sulastri dan Sutejo. Tiba-tiba Sulastri mendengar Sutejo berseru.
"Adi Bromo, awas ada yang menyerbu lubang kuburan...!"
Sulastri cepat menengok dan dia melihat berkelebatnya bayangan hitam yang mukanya memakai topeng hitam dan kepalanya yang juga tertutup kedok itu dihias sebuah burung emas!
"Keparat...!"
Sulastri meninggalkan para pengeroyoknya dan langsung dia menerjang bayangan yang sudah membungkuk di dekat lubang kuburan jenazah mbakayunya itu. Bayangan itu meloncat dan memandang Sulastri dengan sepasang mata berkilat di bawah kedoknya, kemudian menangkis.
"Dukkk!!"
Akibatnya, Sulastri terdorong dua langkah akan tetapi orang itu mengeluarkan jerit tertahan dan meloncat ke belakang.
Sementara itu para pengeroyok sudah menerjang lagi sehingga terpaksa Sulastri harus membela diri dan kembali dia dikepung dan dikeroyok seperti halnya Sutejo dan karena pada saat itu bulan tertutup awan yang agak tebal, maka cuaca menjadi gelap dan dia tidak melihat lagi orang berkedok hitam tadi.
Sulastri menjadi marah sekali, sepak terjangnya makin hebat dan sungguh pun dia masih selalu menjaga agar jangan sampai membunuh orang, namun tamparannya kini lebih berat daripada tadi sehingga roboh pula dua orang pengeroyok. Sutejo juga sudah merobohkan beberapa orang. Hal ini membuat sisa para pengeroyok mereka menjadi jerih dan mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman mereka yang pingsan terkena tamparan dua orang muda perkasa itu.
Dalam kemarahannya, Sulastri hendak mengejar, akan tetapi Sutejo bekata.
"Tidak perlu mengejar mereka, adi Bromo. Yang penting kita melihat apakah... ah, celaka, lihatlah, adi!"
Sulastri datang berlari ke dekat lubang dan mukanya menjadi pucat ketika melihat bahwa keris pusaka yang tadinya menancap di antara tulang-tulang iga kerangka mbakyunya itu kini telah lenyap!
"Keparat! Tentu si topeng hitam tadi...!"
Seru Sulastri.
"Aku harus mengejar dan mencarinya!"
Dia sudah melompat, akan tetapi Sutejo memanggilnya.
"Adi Bromo, kembalilah!"
Sulastri kembali dan memandang heran.
"Adi, kita tidak tahu ke mana dia lari. Akan tetapi, kita telah tahu bahwa yang mencuri pusaka adalah seorang yang memakai kedok hitam."
"Dan seorang wanita."
"Eh, bagaimana kau tahu, adi?"
"Ketika menangkis pukulanku tadi, dia terkejut dan menjerit."
"Lebih baik lagi kalau begitu. Biarlah kita nanti menyelidiki dan mencarinya perlahan-lahan. Kalau sekarang kita berdua pergi, bagaimana dengan jenazah mbakayumu ini? Apakah ditinggal begini saja dan ada kemungkinan akan diganggu orang jahat? Bukankah lebih baik kita menyempurnakan sisa-sisa jenazah mbakayumu ini seperti yang kita rencanakan semula, kemudian baru kita mencari pencuri pusaka itu?"
Sulastri memandang ke arah kerangka mbakayunya, kemudian kepada pemuda itu dan menarik napas panjang.
"Engkau benar, kakang Tejo. Hampir saja aku menyia-nyiakan jenazah mbakayu Narti. Ke mana pun terbangnya pencuri itu, kita tentu akan dapat menangkapnya."
Mereka lalu mengumpulkan kayu dan daun kering sampai banyak sekali dan ditumpuknya tinggi di pinggir sungai, kemudian dengan hati-hati mereka mengumpulkan dan mengangkuti tulang-tulang Sri Winarti dan meletakkannya di atas tumpukan kayu kering dan daun. Setelah mereka mengheningkan cipta dan melakukan sembahyang dan berdoa, maka dibakarnyalah tumpukan kayu kering itu. Api berkobar tinggi. Nyala api dan asap menyelelimuti tulang-tulang itu. Sulastri berdiri dengan kedua lengan bersedakap, memandang nyala api yang menjilat-jilat,kemudian memandang asap yang membubung tinggi, membayangkan betapa arwah mbakayunya dengan ringan melayang naik menuju ke bulan purnama yang sudah condong ke barat.
Pada keesokan harinya, dua orang muda itu meninggalkan tepi pantai Sungai Tambakberas setelah mereka melarung abu jenazah ke sungai itu, dan mulailah mereka melakukan perjalanan untuk mencari jejak si pencuri pusaka Kolonadah. Sebagai seorang yang sejak kecilnya tinggal di daerah itu, Sulastri tentu saja mengenal daerah itu dan dia mengajak temannya pergi ke dusun Gedangan, di mana dia dan kakaknya dahulu tinggal, karena kalau menyelidiki pencuri itu, agaknya paling tepat kalau dia menyelidiki dari Gedangan. Siapa pun adanya pencuri itu, agaknya dia tahu akan rahasia Kolonadah, dan kalau orang tahu akan rahasia pusaka itu, tentu telah tahu pula akan riwayat Sri Winarti dan tahu pula tempat tinggal mbakayunya.
"Kakang sudah sembilan tahun aku meninggalkan Gedangan, dan karena kita sedang menyelidiki pencuri, sebaiknya kalau aku tidak memperkenalkan diri kepada penduduk Gedangan keadaan diriku. Mereka pun tentu telah lupa kepadaku, apalagi karena namaku telah kuubah..."
Tiba-tiba Sulastri menghentikan kata-katanya karena dia terkejut mendengar mulutnya sendiri membuka rahasianya itu. Akan tetapi sudah terlanjur dan hatinya lega ketika Sutejo berkata,
"Aku sudah menduga bahwa tidak mungkin namamu Bromatmojo, adi. Engkau bukan asal dari gunung Bromo, maka tentu nama itu hanyalah nama samaran. Sedangkan namamu sendiri, kalau kau tidak suka memberi tahu kepadaku, aku pun..."
"Ah, tentu saja kepadamu aku tidak perlu menyimpan rahasia!"
Kata Sulastri yang merasa lega dan gembira bahwa keterlanjuran mulutnya tadi tidak dan belum berlarut-larut.
"Namaku yang sebenarnya adalah Sulastomo, akan tetapi sebaiknya kalau kakang Tejo tidak mengingat nama itu agar jangan salah panggil dan tetap menyebutku Bromo saja!"
"Sulastomo... nama yang bagus. Akan tetapi aku akan tetap menyebutmu adi Bromo,jangan kau khawatir."
Maka berangkatlah dua orang ini memasuki dusun Gedangan. Jantung Sulastri berdebar keras. Ternyata dalam waktu sembilan tahun lamanya, sedangkan dia sendiri yang dahulu adalah seorang anak perempuan yang baru berusia sembilan tahun kini telah berubah menjadi seorang gadis dewasa berusia delapan belas tahun, bahkan telah berubah menjadi seorang "pemuda"
Adalah dusun itu masih sama saja seperti sembilan tahun yang lalu! Rumah-rumahnya masih sama, hanya lebih butut lagi, tegalan dan kebun-kebun masih sama pula, penuh dengan tanaman jagung dan kacang, dan jalan dusun itu penuh kerikil dan di bagian kiri jalan becek seperti juga sembilan tahun yang lalu!
Mereka berjalan-jalan di dalam dusun itu, mencari-cari kalau-kalau ada orang yang mencurigakan, dan Sulastri mengharapkan akan terjadi sesuatu yang akan dapat membawa mereka menuju kepada jejak si pencuri, atau setidaknya jejak orang-orang yang semalam menyerang dia dan Sutejo, karena tentu saja ada hubungan antara orang berkedok dan belasan orang yang menyerang itu. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu. Sulastri mengenal wajah beberapa orang kakek dan nenek yang memandang kepada dia dan Sutejo dengan sikap kagum dan juga hormat. Tentu mereka itu menyangka bahwa dia dan Sutejo adalah dua orang muda bangsawan! Kembali Sulastri merasa terharu dan membayangkan betapa akan gembiranya kalau tidak ada urusan apa-apa menyangkut dirinya dan dia kembali ke dusun itu sebagai Sulastri dan menjumpai para tetangga-tetangga lama itu!
Sulastri mengajak Sutejo lewat di depan rumah gedung lurah Gedangan. Ada kenang-kenangan pahit terhadap lurah ini di dalam hatinya. Lurah Gedangan itu dahulu pernah membujuk-bujuk Sri Winarti untuk menjadi selirnya, dan hanya karena campur tangan Adipati Ronggo Lawe diserahkan ke dalam perlindungannya.
Akan tetapi baru saja mereka tiba di depan gedung itu, nampak banyak orang berlari ke luar dari halaman kelurahan dan berteriak-teriak menghadang dan mengurung mereka berdua!"
"Nah ini mereka!"
"Benar, ini mereka semalam!"
"Tangkap saja mereka!"
"Bunuh...!"
"Minggir semua!"
Bentakan terakhir ini terdengar berpengaruh sekali dan semua orang yang ribut-ribut itu membuka jalan. Sulastri dan Sutejo mengenal beberapa orang di antara mereka yang semalam mengeroyok mereka di dalam hutan. Giranglah hati Sulastri dan dia bersama Sutejo dengan sikap tenang menanti siapa yang akan muncul, orang yang mengeluarkan bentakan terakhir tadi.
Ketika ada tiga orang laki-laki muncul, Sulastri segera mengenal lurah Gedangan yang kini sudah tua dan keriput mukanya. Di sampingnya berjalan dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua berusia enam puluh tahun dan yang ke dua bertubuh tinggi agak kurus, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih. Sulastri memandang kepada dua orang ini penuh perhatian. Orang yang tua, yang berjenggot panjang dan yang lengannya memakai gelang akar bahar, tidak dikenalnya. Akan tetapi orang tinggi kurus yang sama sekali tidak dikenalnya itu kini memandang kepada Sutejo dengan penuh perhatian, seolah-olah dia hendak meneliti apakah dia belum mengenal pemuda itu.
Sebaliknya, Sutejo memandang laki-laki kurus itu dan dia segera mengenalnya. Laki-laki tinggi kurus itu bukan lain adalah si Klabang Curing, pembantu Panewu Progodigdoyo yang dulu pernah hendak membunuhnya! Ketika Progodigdoyo melakukan perbuatan terkutuk di rumah ibunya, dia disuruh bunuh oleh panewu itu, dibawa oleh Klabang Curing ini ke hutan untuk dibunuhnya, akan tetapi dia mampu melarikan diri setelah melukai Klabang Curing dengan keris pusaka ayahnya, yaitu keris Nogopusoro yang kini terselip di ikat pinggangnya!
"Hemm, kalian ini semua mau apakah?"
Sulastri bertanya sambil menentang pandang mata lurah Gedangan dengan sinar mata mengejek dan memandang rendah.
"Kisanak,"
Lurah itu berkata, suaranya mengandung suara bujukan yang amat dibenci oleh Sulastri karena dia pun mendengar sendiri ketika dahulu lurah ini sering kali membujuk-bujuk mbakayunya untuk dijadikan selirnya.
"Kalian berhadapan dengan lurah Gedangan!"
Dia berhenti sebentar akan tetapi ketika melihat betapa dua orang pemuda itu agaknya tidak terkesan oleh kedudukannya, dia cepat melanjutkan.
"Kami mengemban perintah kanjeng gusti bupati di Tuban..."
Tentu saja hati Sulastri tertarik sekali karena dia ingin tahu siapa gerangan yang kini menjadi bupati di Tuban, yang kini agaknya menggantikan kedudukan mendiang Adipati Ronggo Lawe. Maka dia cepat bertanya.
"Ki lurah, siapakah sang bupati di Tuban?"
Semua orang kelihatan terkejut dan heran, saling pandang karena pertanyaan itu sungguh aneh. Orang dari manakah pemuda-pemuda ini maka tidak tahu siapa Bupati Tuban padahal mereka berdua berada di daerah Tuban?
"Heh-heh, andika sungguh lucu, orang muda. Siapa lagi kalau bukan Kanjeng Gusti Bupati Progodigdoyo?"
"Ahhh...!!"
Seruan ini keluar dari mulut Sutejo yang tentu saja merasa terkejut dan juga marah. Orang jahat itu kini malah diangkat menjadi bupati?
Seruan dan perubahan wajah Sutejo itu dianggap oleh lurah Gedangan sebagai tanda kaget dan jerih, maka dia mengurut kumisnya dan berkata.
"Nah, karena itu, orang-orang muda yang bagus lebih baik kalian berdua cepat minta maaf dan kalian serahkan pusaka itu kepada kami."
"Pusaka? Apa maksudmu?"
Sulastri bertanya heran karena dia menyangka bahwa orang-orang ini yang semalam menyerang dia dan Sutejo tentu bersekongkol dengan pencuri berkedok itu, akan tetapi mengapa kini malah menuntut pennyerahan pusaka?
"Hemmm, tidak perlu berpura-pura lagi!"
Seorang di antara orang-orang tinggi besar yang semalam ikut mengeroyok membentak.
"Semalam kalian membongkar kuburan dan mengambil pusaka Kolonadah..."
Kini yakinlah Sulastri bahwa pencuri berkedok itu agaknya merupakan pihak ke tiga, dan timbul kemarahannya kepada lurah Gedangan.
"Ki lurah, dengan hak apakah andika minta agar kami menyerahkan Kolonadah?"
Ki lurah mengurut kumisnya.
"Orang muda, sikapmu sungguh lancang. Tentu saja atas perintah Kanjeng Gusti Bupati Progodigdoyo."
Tiba-tiba kini Klabang Curing melangkah ke depan. Dengan mengangkat dadanya si tinggi kurus ini membentak, pandang matanya angkuh sekali.
"Ki lurah, kenapa banyak melayani mereka? He, kalian orang-orang muda. Tidak perlu banyak cakap,lekas berlutut menyerah dan serahkan Kolonadah!"
Sutejo mendahului Sulastri dan dia sudah melangkah ke depan.
"Klabang Curing, lihat baik-baik, apakah kau sudah lupa kepadaku?"
Klabang Curing terkejut dan memandang dengan alis berkerut, mata terbelalak marah. Sejak tadi dia merasa seperti pernah melihat pemuda tinggi tegap yang tampan ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Kini, melihat pemuda itu menyebutkan namanya dan mengajukan pertanyaan seperti itu, dia memandang dengan penuh perhatian dan penyelidikan, mengingat-ingat.
"Eh, siapakah andika? Aku merasa pernah mengenalmu, akan tetapi lupa lagi..."katanya.
"Lupakah engkau kepada anak kecil yang sembilan tahun yang lalu hendak kau bunuh? Kalau masih lupa, raba lambungmu yang pernah merasakan gigitan pusakaku Nogopusoro ini!"
Dia menepuk keris di pinggangnya.
Makin terbelalak mata Klabang Curing. Tentu saja dia teringat dan seketika matanya menjadi merah, giginya berkerot dan kedua tanganya dikepal.
"Babo-babo...! Kiranya engkau bocah setan itu! Engkau putera Lembu Tirta, hemm siapa namamu?"
"Sutejo!"
"Benar, namamu Sutejo! Bagus, engkau dicari-cari oleh Gusti Bupati Progodigdoyo, dan aku pun sudah lama mencarimu untuk membalas tusukan kerismu. Dulu aku gagal membunuhmu, akan tetapi sekaranglah saatnya!"
Klabang Curing sudah membentak keras dan lengannya yang panjang sudah menyambar ke arah Sutejo, cepat dan kuat karena Klabang Curing termasuk jagoan di Tuban. Dahulu pun, kalau orang lain yang tertusuk keris pusaka Nogopusoro, tentu telah tewas. Akan tetapi, ketika dulu ditusuk keris lambungnya oleh Sutejo dalam keadaan tidak menyangka sama sekali, Klabang Curing telah dapat mengerahkan kekebalannya sehingga keris itu hanya menusuk ujungnya saja dan karena daya keampuhan pusaka itu maka dia roboh pingsan, akan tetapi tidak sampai tewas.
Melihat Klabang Curing sudah menyerang, kakek berjenggot panjang yang memakai gelang akar bahar itu pun menerjang maju dengan kedua tangan membuat gerakan mencengkeram seperti cakar garuda, menyerang Sulastri. Orang-orang tadi yang sudah mengurung, kini pun membantu dua orang itu maju mengeroyok.
"Haaaaiiiittt...!"
Sutejo cepat mengeluarkan bentakan keras ketika melihat Klabang Curing maju menyerangnya dan diikuti pula oleh belasan orang. Dengan cepat sekali dia mengelak dari serangan Klabang Curing dan serbuan orang-orang itu, tubuhnya berkelebat ke kanan kiri dan kakinya menendang roboh dua orang pengeroyok, tangannya menangkis tombak dengan kuat sekali sehingga tombak itu membalik dan merobohkan orang ke tiga.
Sulastri yang melihat serangan kakek berjenggot panjang itu, maklum bahwa kakek ini ternyata kuat sekali. Gerakannya cepat, aneh mengandung tenaga sakti yang cukup berbahaya. Apalagi di samping kakek itu, masih ada belasan orang lain mengepungnya dan menggerakkan bermacam senjata untuk mengeroyoknya.
"Hyaaaahhhh!" Dia mengeluarkan suara melengking panjang, membuat para pengeroyoknya tergetar dan dengan gerakan tiba-tiba dara perkasa ini meloncat ke atas untuk menghindarkan semua serangan, kemudian dari atas kedua kakinya bergerak menendang dan mengenai kepala dua orang pengeroyok yang menjerit dan roboh tak berkutik lagi, sedangkan kakek yang memakai akar bahar lengannya itu pun cepat menghindar ketika Sulastri melakukan tendangan lagi sebelum tubuhnya meluncur turun... Tendangan itu luput dan kakek itu cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kaki Sulastri.
"Ihh...!"
Sulastri berseru kaget, tubuhnya membuat gerakan jungkar balik dan dia sudah membalikkan tubuhnya, lalu tangannya bergerak menangkis lengan kakek itu.
"Dukkk...!"
"Ahh...!"
Kini kakek itu berseru kaget karena tangkisan "pemuda"
Tampan itu membuat tubuhnya tergetar dan terasa panas, sedangkan Sulastri sudah meloncat turun lagi ke atas tanah. Para pengeroyok menerjangnya lagi seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkerik.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setan kalian, pengecut-pengecut tukang keroyok!"
Sulastri mengomel dan dia mengamuk, kaki tangannya bergerak dan terpelantinglah empat orang pengeroyok.
Melihat kehebatan pemuda tampan ini, para pengeroyok menjadi gentar. Semalam pun mereka itu, sebagian dari mereka sudah merasakan kesaktian pemuda ini, maka kini mereka merasa gentar juga. Akan tetapi, kakek yang memakai akar bahar telah maju lagi ketika para pembantunya mundur. Dia mengangkat tangan ke atas menahan gerakan Sulastri sambil berseru,
"Nanti dulu, orang muda! Siapakah namamu? Aku tidak ingin bertanding dengan orang yang tidak mempunyai nama sehingga kalau dia tewas aku tidak tahu siapa yang tewas di tanganku!"
"Kakek sombong!"
Sulastri tersenyum mengejek.
"Engkaulah yang akan mampus dalam pertandingan ini, maka sepatutnya kalau engkau yang memperkenalkan diri terlebih dahulu!"
"Orang muda, engkau terlalu besar kepala. Ketahuilah bahwa aku adalah Gagaksona, seorang perwira Mojopahit yang terkenal!"
"Mungkin, akan tetapi aku tidak mengenalmu, Gagaksona. Dan kalau kau ingin mengetahui siapa calon pembunuhmu, aku adalah Bromatmojo!"
Lagak dan kata-kata Sulastri memanaskan telinga Gagaksona. Dia adalah seorang tokoh di Mojopahit yang terkenal digdaya dan dia telah dipercaya sebagai seorang di antara pembantu-pembantu Resi Mahapati yang terkenal sakti itu, dan dia bahkan diserahi tugas untuk mengepalai sepasukan perajurit untuk mencari pusaka Kolonadah di daerah Tuban, bekerja sama dengan Bupati Tuban yang juga menjadi kaki tangan Resi Mahapati. Ketika dia mendengar berita bahwa anak buahnya melihat dua orang muda menggali tanah di dekat sungai Tambakberas, kemudian melihat kerangka manusia di mana terdapat sebatang keris pusaka yang disangka tentu keris pusaka Kolonadah, dan betapa anak buahnya itu tidak mampu mengalahkan dua orang muda itu, maka Gagaksona langsung pergi ke tempat itu bersama Klabang Curing orang kepercayaan Bupati Progodigdoyo. Akan tetapi dua orang muda itu telah pergi dan mereka lalu menghubungi kelurahan Gedangan dan kebetulan sekali mereka melihat dua orang muda itu berada di dusun Gedangan!
Mendengar nama Sulastri yang tidak terkenal, yang menggunakan nama sebuah gunung, Gagaksona dapat menduga bahwa tentu pemuda ini seorang yang baru turun dari gunung, murid seorang pertapa yang sakti, maka dia lalu mencabut senjata yang berkilauan saking tajamnya, sebatang kelewang yang lebar dan tipis...
"Keluarkan senjatamu, Bromatmojo!"
Teriaknya sambil menggerakkan kelewangnya sehingga terdengar suara bersuitan tajam mengerikan.
Akan tetapi Sulastri tersenyum mengejek.
"Senjata? Melawan seorang seperti engkau dengan golok penyembelih kerbaumu itu tidak perlu menggunakan senjata, cukup dengan tangan dan kakiku saja..."
"Heeeettt...!!"
Gagaksona sudah menerjang dengan marah sekali karena kata-kata Sulastri benar-benar amat merendahkan. Kelewang atau golok di tangannya itu bergerak cepat, membentuk lingkaran sinar yang bergulung-gulung menyelimuti diri lawannya.
Sulastri hanya sikapnya saja sengaja bersombong diri untuk memancing kemarahan lawan, akan tetapi sebenarnya dia amat waspada karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan bahkan jauh lebih sakti daripada orang tinggi kurus yang bersama anak buahnya kini mengeroyok Sutejo. Maka begitu golok berkelebat, dia juga cepat mengerahkan aji kesaktiannya, tubuhnya menjadi ringan dan cepat gerakannya berkat aji kesaktian Turonggo Bayu, dan dia pun mengisi kedua tangan dengan Aji Hasto Bairowo. Dengan gesit dan trengginas dia mengelak dari setiap sambaran golok dan membalasnya dengan pukulan Hasto Bairowo atau tendangan kaki yang amat cepat. Melihat pukulan yang sampai mengeluarkan suara mencicit itu terkejutlah Gagaksona karena dia pun mengenal pukulan sakti yang tidak kalah berbahayanya dengan segala macam senjata tajam. Maka, dia pun tidak melarang ketika anak buahnya sudah maju pula membantunya dan mengeroyok pemuda tampan bertubuh ramping itu.
Pertandingan itu lebih hebat daripada malam tadi di tepi sungai Tambakberas,karena di situ terdapat Klabang Curing dan Gagaksona yang memiliki kepandaian tinggi, pula, jumlah para pengeroyok bertambah dengan perajurit-perajurit yang kuat dari Mojopahit yang datang bersama dua orang itu. Akan tetapi, sebetulnya kalau dua orang muda itu menghendaki, dengan mudah saja mereka berdua akan dapat merobohkan dan menewaskan semua pengeroyok itu. Akan tetapi baik Sulastri mau pun Sutejo sudah menerima gemblengan dari guru masing-masing yang bijaksana,maka merupakan pantanganlah bagi mereka untuk sembarangan saja membunuh orang.
Mereka memang merobohkan banyak pengeroyok, akan tetapi tanpa membunuh mereka,paling hebat mereka hanya menderita patah tulang saja. Sutejo telah berhasil merobohkan Klabang Curing, mematahkan keris lawan ini dan juga mematahkan tulang lengannya. Kemudian dengan gerakan cepat, Sutejo melompat dan sekali sambar saja dia telah dapat membekuk batang leher ki lurah Gedangan.
Dengan mengempit tubuh ki lurah yang berteriak-teriak minta tolong itu, Sutejo meloncat ke dekat tempat Sulastri bertempur, dengan kakinya merobohkan dua orang dan tangan kanannya menghantam ke arah Gagaksono yang sudah terdesak hebat oleh Sulastri. Gagaksona terkejut, berusaha mengelak akan tetapi karena pada saat itu Sulastri mendesaknya, dia terlambat dan pundaknya kena ditampar oleh Sutejo. Dia berteriak dan terpelanting.
"Adi Bromo, mari kita pergi, kita boleh mencari keterangan dari lurah ini!"kata Sutejo sambil melompat jauh.
Sulastri juga sudah yakin bahwa bukan orang-orang ini yang mencuri keris pusaka Kolonadah dan mereka ini jelas tidak ada hubungannya dengan pencuri keris yang berkedok hitam, maka setelah merobohkan empat orang pengeroyok lainnya dengan tendangan-tendangan kakinya, dia pun melompat dan lari mengejar Sutejo.
Dua orang muda itu membawa Ki Lurah Gedangan ke Sungai Tambakberas dan Sutejo menjambak rambut kepala lurah itu, membenam-benamkan kepalanya di air sampai ki lurah mengap-mengap dan matanya terbelalak penuh ketakutan.
"Hayo kau jawab semua pertanyaan kami dengan benar, kalau tidak, kubenamkan kepalamu sampai putus napasmu!"
Sutejo menghardik.
Ki Lurah itu mengeluh, menangis dan mengangguk-angguk ketakutan.
"Pertama, benarkah bahwa semua pengeroyokan itu adalah atas kehendak Bupati Tuban?"
Ki Lurah mengangguk-angguk.
"Benar... benar, Raden... kami hanya melakukan perintah... pasukan dari Mojopahit yang dipimpin oleh Gagaksona dan pasukan dari Tuban yang dipimpin oleh Klabang Curing, memang bertugas mencari keris pusaka Kolonadah, menaruh penyelidik di mana-mana. Ketika mendengar bahwa andika berdua menggali tanah di dekat Sungai Tambakberas, mereka lalu berusaha untuk merampas keris pusaka Kolonadah... saya... saya tidak turut-turut..."
Sutejo dan Sulastri saling pandang dan makin yakinlah hati mereka bahwa jelas keris itu tidak berada di tangan para perajurit itu.
"Pertanyaanku yang ke dua, siapakah wanita yang memakai pakaian dan kedok hitam?"
Mendengar ini, mata Pak Lurah terbelalak dan dia memandang kepada Sutejo dengan heran.
"Wanita berkedok hitam...?"
Dia kelihatan ketakutan dan hal ini merangsang hati Sutejo untuk mengetahui lebih banyak.
"Ya, wanita berpakaian hitam, berkedok hitam..."
"Dan di kepalanya ada hiasan seekor burung emas!"
Sambung Sulastri.
Wajah Pak Lurah itu makin kaget dan dengan suara berbisik dia berkata gagap.
"Ehh... Sriti... Sriti Kencana..."
Sutejo mengguncang leher baju Pak Lurah dan menghardik.
"Siapa itu Sriti Kencana? Hayo ceritakan yang jelas!"
"Baik... baik..."
Pak Lurah mengap-mengap, takut kalau kepalanya dibenamkan lagi dan setelah Sutejo melepaskan cengkeramannya pada leher bajunya, dia melonggarkan leher bajunya, menelan ludah beberapa kali, lalu berkata.
"Sriti Kencana adalah sekelompok orang-orang penuh rahasia yang selama satu tahun lebih ini mulai muncul di seluruh daerah Tuban. Mereka itu kabarnya terdiri dari wanita-wanita berpakaian hitam, berkedok hitam dan di kepalanya ada hiasan seekor burung sriti dari emas, karena saya sendiri belum pernah melihatnya. Semua orang takut kepada mereka karena mereka sudah membunuh banyak orang, di antaranya banyak pula pejabat-pejabat yang tidak melakukan tugasnya dengan baik. Dan yang mereka bunuh itu juga adalah kaum penjahat yang suka mengacau di daerah Tuban. Oleh karena itu, maka Gusti Bupati seolah-olah melindungi atau membiarkan saja mereka itu bergerak di seluruh daerah Tuban. Dan kami... para pejabat... merasa takut kepada mereka, karena kabarnya mereka terdiri dari orang-orang sakti..."
Kembali Sutejo dan Sulastri bertukar pandang.
"Di mana sarang mereka? Hayo katakan, di mana sarang Sriti Kencana?"
Sulastri membentak tidak sabar lagi.
Ki Lurah memandang bodoh.
"Saya... saya tidak tahu, Raden. Siapakah yang bisa mengetahui di mana sarang mereka? Saya rasa tidak ada yang mengetahuinya..."
"Bodoh! Engkau seorang lurah, masa tidak tahu?"
Sulastri menghardik lagi.
"Saya rasa...eh, karena Kanjeng Gusti Bupati di Tuban seolah-olah melindungi.., saya rasa kalau andika berdua menyelidik dan mencari di Tuban, tentu akan dapat menemukan mereka. Apalagi kabarnya putera-puteri kanjeng gusti bupati adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi saya tidak tahu benar... harap ampunkan saya..."
Sutejo dan Sulastri saling mengangguk dan Sutejo berkata lagi.
"Pertanyaanku yang terakhir dan ke tiga, engkau sebagai lurah bawahan Bupati Tuban tentu telah mendengar akan keadaan dan sepak terjang Bupati Progodigdoyo itu. Ceritakan apa yang terjadi dengan keluarga Lembu Tirta di dusun Kembangsri sembilan tahun yang lalu."
"Keluarga Lembu Tirta di Kembangsri...? Ah, andika maksudkan janda Kembangsri yang cantik itu dan anak-anaknya...? Ya, saya ingat... rumah mereka terbakar dan kabarnya, janda yang cantik itu tewas terbakar akan tetapi anak-anaknya lenyap..."
"Anak gadisnya diculik oleh Progodigdoyo! Apa yang terjadi dengan gadis itu?"
Sutejo mendesak, jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Ki Lurah menggeleng kepalanya.
"Sungguh mati, saya tidak tahu, Raden. Memang saya mendengar tentang peristiwa itu, yang terjadi sebelum Sang Adipati Ronggo Lawe memberontak terhadap Kerajaan Mojopahit, akan tetapi apa yang terjadi selanjutnya, saya tidak tahu dan juga tidak berani menyelidiki. Siapa yang berani mati hendak menyelidiki urusan pribadi Kanjeng Gusti Bupati Progodigdoyo?"
Sutejo memandang Sulastri dan berkata.
"Adi Bromo, apa yang akan kita lakukan kepada lurah ini?"
Dia berkedip.
"Kita bunuh saja?"
"Hemm, lemparkan ke kedung agar dimakan buaya, Kakang,"
Kata Bromatmojo. Mendengar ucapan dua orang pemuda itu, pak lurah itu lalu menyembah-nyembah dan menangis minta diampuni.
"Baik, kami tidak akan membunuhmu. Akan tetapi engkau harus bersumpah untuk menjadi seorang lurah yang baik, jangan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mengerti?"
Sutejo membentak.
"Dan jangan memaksa wanita untuk menjadi selirmu!"
Bentak pula Bromatmojo.
"Baik... baik... saya bersumpah... memang selama ini pun saya telah menjadi seorang lurah yang tidak berani melakukan penyelewengan, apalagi ada nama Sriti Kencana yang selalu akan turun tangan membunuh mereka yang menyeleweng. Saya bersumpah, Raden."
Kembali lurah itu menyembah-nyembah, dan ketika ia mengangkat mukanya, dia terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena dua orang muda itu telah lenyap dari depannya! Dengan seluruh tubuh gemetar dan kedua kaki seperti lumpuh rasanya, lurah dusun Gedangan itu menyeret tubuhnya kembali ke dusun di mana dia disambut oleh orang-orangnya dan keluarganya dengan girang karena mereka mengira bahwa lurah itu tentu akan dibunuh oleh dua orang muda yang sakti itu.
Beberapa hari kemudian, pagi-pagi dua orang pemuda itu telah tiba di luar kota Kabupaten Tuban yang sudah tampak dinding temboknya dari jauh. Mereka berjalan perlahan di sepanjang jalan raya itu, melewati sebuah warung di tepi jalan yang agaknya sepagi itu sudah buka.
"Kisanak berdua, silahkan mampir!"
Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita dari warung itu.
"Kami menjual teh dan kopi panas, dawegan (kelapa muda), ketan dan jagung rebus, semua masih hangat!"
Menyusul suara ke dua yang tidak kalah merdunya.
Sutejo dan Bromatmojo menoleh ke arah warung dan mereka melihat ada empat orang wanita muda yang cantik-cantik dan manis-manis di dalam warung itu. Belum ada tamu lain dan empat orang wanita itu memandang ke arah mereka dengan senyum manis dan pandang mata memikat.
"Kita sarapan (makan pagi) dulu, Kakang Tejo."
"Tidak, kita terus saja!"
Jawab Sutejo sambil mengerutkan alisnya.
"Tapi sejak tadi malam saya belum makan, perut saya lapar sekali, Kakang."
"Kita makan di tempat lain saja."
"Eh, apa bedanya? Dan aku suka sekali makan jagung rebus!"
"Tapi... perempuan-perempuan itu..."
"Mengapa? Mereka cantik-cantik dan manis-manis malah! Hayo, Kakang Tejo!"
"Hemm, perempuan warungan!"
Tejo yang ditarik tangannya oleh Bromatmojo mengomel.
"Ha, apa bedanya? Mereka juga manusia, dan... hemm, cantik manis yang berbaju hijau itu.
"Huh, kau mata keranjang!"
Bromatmojo masih tertawa-tawa ketika menarik tangan Sutejo memasuki warung disambut oleh empat orang wanita yang memang benar masih muda-muda dan cantik manis. Usia mereka antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan yang berbaju hijau, yang usianya termuda, memang paling manis di antara mereka, kulitnya putih mulus, matanya bening dan mulutnya yang berbibir merah dan indah bentuknya itu selalu tersenyum penuh daya pikat.
"Silahkan duduk, Kisanak...!"
Kata yang berbaju ungu.
"Aihh, mbakayu, apakah engkau tidak melihat bahwa mereka adalah bangsawan muda? Harap maafkan, Raden!"
Si baju hijau berkata merdu.
"Heh-heh, tidak apa, disebut kisanak atau raden bagi kami sama saja. Betul tidak, Kakang Tejo?"
Yang ditanya diam saja, merengut dan duduk dengan muka merah, sama sekali tidak berani menentang empat wajah wanita yang tersenyum manis dan mengelilingi mereka dengan sikap amat ramah itu. Terlalu ramah malah, pikirnya. Tentu wanita-wanita ini bukan wanita baik-baik! Dia mendongkol sekali mengapa Bromatmojo bersikap demikian bebasnya, seolah-olah pemuda tampan ini sudah biasa bergaul dengan segala macam wanita begituan!
Lekas hidangkan jagung rebus hangat!"
Dengan sikap gembira sekali Bromatmojo berkata.
"Engkau hendak makan apa, Kakang? Jagung rebus atau ketan? Dan minumnya?"
"Apa saja pun boleh,"
Jawab Sutejo sambil memandang kepada dua tangannya yang berada di atas meja di depannya. Bromatmojo memandang wanita baju hijau yang paling dekat dengannya.
"Aku minta jagung rebus dan sahabatku ini memesan apa saja pun boleh."
Empat orang wanita itu tertawa cekikikan dan wajah Sutejo menjadi makin merah. Dia melirik ke arah Bromatmojo dengan marah sehingga empat orang wanita itu makin terkekeh geli, sedangkan Bromatmojo juga tertawa.
"Pendeknya, hidangkan seadanya di sini, manis, biar sahabatku memilihnya nanti. Dia pemalu sih, maklumlah dia masih perjaka thing-thing (tulen)!"
"Hik-hik!"
Empat orang itu terkekeh genit dan si baju hijau yang kelihatan memandang kepada Bromatmojo dengan sinar mata kagum dan bersinar-sinar itu bertanya, suaranya halus merdu dan jelas kemanja-manjaan.
"Lalu minuman apakah yang harus saya hidangkan untuk paduka, Raden?"
Bromatmojo memandang dan tersenyum.
"Kau sungguh cantik manis, Nimas. Aku minta minuman air dawegan saja."
Kini Sutejo yang sejak tadi diam saja dan membiarkan dirinya dijadikan godaan sahabatnya, melihat kesempatan untuk membalas.
"Sepagi ini minum air dawegan, sungguh orang aneh sekali kau!"
Akan tetapi dengan tangkasnya Bromatmojo menangkis.
"Eeh, apa kau tidak tahu, Kakang Tejo? Air dawegan di pagi hari menambah kekuatan dan kejantanan. Betul tidak, manis?"
Dia menoleh pada empat orang wanita itu dan mereka pun terkekeh,membuat Sutejo menjadi makin malu dan tidak berani lagi bicara.
"Kau mau minum apa, Kakang?"
"Apa saja pun..."
"Nah, sediakan minuman apa saja pun boleh!"
Kata Bromatmojo memancing gelak ketawa empat orang wanita itu. Makanan dan minuman dihidangkan dan tanpa setahu Sutejo, ketika minum air dawegan, Bromatmojo melempar sebutir benda kecil seperti kacang ke mulutnya dan menelannya bersama air kelapa itu. Mereka lalu makan minum dilayani oleh empat orang wanita itu yang selain ramah juga genit dan manja. Sutejo makan dan minum dengan sikap sungkan dan gugup, berbeda dengan Bromatmojo yang kelihatan gembira sekali, makan jagung sampai habis tiga buah dan makan ketan sebungkus.
Sutejo dengan diam tanpa banyak cakap makan ketan hitam dan minum segelas air teh. Tak lama kemdian, Sutejo mengerutkan alisnya dan berkata.
"Adi Bromo... aku merasa pening dan mengantuk...
"Kalau andika lelah, Raden, mari silahkan tidur di dalam. Kami mempunyai sebuah kamar untuk andika mengaso..."
Kata Si Baju Ungu kepada Sutejo.
Tentu saja Sutejo menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Kakang, kalau kau pening, dan mengantuk, apa salahnya kau mengaso sebentar? Biar aku menanti di sini."
(Lanjut ke Jilid 14)
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
"Tidak, aku... ahhh..."
Sutejo kelihatan terkejut karena rasa kantuk dan pening itu makin menghebat menyerang kepalanya.
"Mari, mari Raden... kata wanita baju ungu dan dia sudah menghampiri Sutejo hendak memegang lengan pemuda itu. Sutejo terkejut, tidak mau membiarkan dirinya dipegang, maka dalam keadaan pening dia mendorong. Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja wanita baju ungu itu dapat mengelak. Hal ini kelihatan jelas oleh Bromatmojo yang juga sudah bangkit berdiri.
"Mari aku yang mengantarmu, Kakang,"
Katanya sambil menggandeng tangan Sutejo.
"Di mana kamarnya, Nimas yang manis? Tolong kau antarkan..."
Katanya kepada gadis baju hijau tadi.
"Mari, Raden. Ke sini..."
Kata Si Baju Hijau dengan manis dan dia mendahului jalan dengan langkah yang membuat buah pinggulnya menari-nari!
Bromatmojo melihat Sutejo terhuyung.
"Aihh...!"
Dia berseru kaget dan dia pun terhuyung.
"Hik-hik, mari kubantu, Raden!"
Si Baju Hijau cepat membalik dan memegang lengannya agar pemuda tampan ini tidak sampai jatuh. Yang berbaju ungu juga sudah memegang lengan kiri Sutejo dan kini pemuda itu tidak menolak karena dia seperti orang tidur saja, berjalan terhuyung dan membiarkan dirinya dipapah sambil memejamkan matanya. Bromatmojo juga sama keadaannya dengan Sutejo. Ketika mereka dipapah sampai ke dalam kamar di mana terdapat sebuah pembaringan kayu yang lebar, kedua orang muda itu didorong ke atas pembaringan dan sebentar saja mereka tak bergerak lagi, rebah miring dan tidak ingat apa-apa lagi.
Empat orang gadis cantik itu memasuki kamar sambil terkekeh girang.
"Bagus! Mereka dengan mudah dapat kita tundukkan!"
Kata Si Baju Hijau dengan suara garang dan tegas, jauh bedanya dengan tadi ketika merayu Bromatmojo.
"Mbakayu Ambar dan Tarmi, kalian pergilah melapor kepada Den Bagus dan Den Roro, katakan bahwa mereka telah ditangkap dan kita menanti keputusan mereka."
"Baik, Ayu,"
Kata Si Baju Merah dan baju biru. Mereka cepat meninggalkan tempat itu, pergi ke belakang dan tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda yang dibalapkan.
"Cempaka, kau pergi cepat menutup warung itu agar jangan sampai ada tamu mengganggu."
"Baik, Ayu,"
Dan gadis baju ungu segera pergi ke depan, menutupkan warung,kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Dia tertawa ketika melihat wanita baju hijau itu menggunakan tangan membelai pipi dan dagu Bromatmojo.
"Ah, kau agaknya tergila-gila kepada yang satu itu, Ayu."
Ayu atau Si Baju Hijau itu, menarik napas panjang.
"Siapa yang tidak tergila-gila kepada pemuda sehebat ini? Cempaka, agaknya akan bahagia hidupku kalau aku akan dapat menjadi isteri pemuda ini... heemmmm..."
"Tapi dia adalah tawanan kita, Ayu. Kita harus menanti keputusan Den Roro atau Den Bagus..."
"Tentu saja. Akan tetapi mudah-mudahan mereka ini, atau setidaknya pemuda ini,jangan sampai dibunuh. Sayang..."
"Engkau tahu, kita mana bisa tidak mentaati perintah mereka? Ayu, kita harus cepat mengenakan pakaian kita sebelum Den Roro atau Den Bagus datang. Dan dua orang ini harus cepat dibelenggu. Mereka ini tentu memiliki kepandaian tinggi,berbahaya kalau tidak diringkus ketika mereka nanti sadar kembali."
"Engkau benar, Cempaka."
Dua orang gadis itu lalu menanggalkan baju dan kain, lalu mengenakan pakaian serba hitam, bahkan muka dan kepala mereka tertutup kain hitam dan di kepala mereka terdapat hiasan seekor burung emas! Setelah kini mengenakan pakaian aneh itu, gerakan mereka terlihat tangkas sekali ketika mereka mengambil dua helai tali untuk membelenggu kaki tangan Sutejo dan Bromatmojo. Dengan cekatan, gadis baju ungu yang kini telah menjadi seorang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula, membelenggu kedua kaki dan tangan Sutejo dan tentu saja pemuda yang sedang tidur atau pingsan itu tidak bergerak sama sekali. Sedangkan baju gadis hijau yang tadi bersikap mesra terhadap Bromatmojo, menghampiri "pemuda"
Tampan itu sambil membawa sehelai tali besar. Pada saat itu, Bromatmojo meloncat turun dan menggunakan lengan kirinya merangkul dan memuntir leher gadis baju hijau.
"Cempaka... tolong...!"
Gadis bernama Ayu yang kini juga sudah menjadi seorang berpakaian dan bertopeng hitam itu menjerit. Cempaka melepaskan Sutejo yang telah terbelenggu, lalu dengan tangkasnya dia menerjang ke arah Bromatmojo untuk menolong kawannya. Akan tetapi kaki Bromatmojo menendang.
"Bukk... ahhh...!"
Cempaka terpental dan terbanting roboh. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pisau mengkilap yang amat runcing. Bromatmojo berdiri dengan tenang, lengan kirinya masih mengempit leher Ayu sambil memegang pergelangan tangan kanan gadis itu yang tadi dipuntirnya ke belakang sehingga Ayu tidak mampu berkutik. Dengan sinar mata tajam Bromatmojo memandang ke arah Cempaka yang telah memegang pisau belati itu.
"Haiiiiittt!"
Cempaka menerjang dan pisau belati di tangannya menghunjam ke arah Bromatmojo, namun dengan tenang "pemuda"
Ini menggerakkan tangan kanannya, menampar ke arah pergelangan lengan dan kakinya juga meluncur lagi ke depan.
"Plakk! Dukk...!!"
Untuk kedua kalinya tubuh Cempaka terlempar dan pisaunya terlepas dari pegangan karena lengannya terasa lumpuh terkena tamparan tangan Bromatmojo tadi. Dia terkejut bukan main, nanar sejenak, lalu merangkak bangun,memandang penuh keraguan, lari keluar dari pintu belakang dan tak lama kemudian terdengar pula derap kaki kuda meninggalkan tempat itu.
"Nah, semua temanmu telah pergi, tinggal engkau sendiri. Sekarang, kau beri obat penawar kepada sahabatku itu!"
Kata Bromatmojo sambil melepaskan wanita itu.
"Heiiiiittt!"
Tiba-tiba wanita yang berpakaian hitam dan bertopeng hitam itu menyerangnya. Gerakannya gesit sekali, jauh lebih gesit daripada gerakan wanita yang menyerang dengan pisau tadi. Pantas saja wanita termuda ini menjadi pemimpin antara empat orang tadi, kiranya dia memang memiliki kelebihan, bukan saja paling muda dan paling cantik, akan tetapi melihat gerakannya juga memiliki kepandaian paling tinggi. Akan tetapi tentu saja dia bukanlah lawan Bromatmojo yang dapat menangkis dengan cepat dan sekaligus menampar dengan tangan kirinya, mengenai pundak wanita itu.
"Plakk! Aduhhh...!"
Wanita itu menjerit, akan tetapi begitu terhuyung dia sudah meloncat lagi, gerakannya seperti burung sriti yang amat lincah, menerjang dengan kedua tangan mengirim pukulan keras.
"Plak! Plak! Bresss...!"
Untuk kedua kalinya, wanita itu dapat digagalkan serangannya dengan tangkisan oleh Bromatmojo yang kemudian mendorong sehingga wanita itu terlempar dan terbanting ke atas lantai.
"Ah...!"
Wanita itu mengeluarkan seruan kaget bukan main, agaknya tidak mengira bahwa pemuda tampan itu demikian hebat ilmunya, maka dia lalu meloncat ke belakang dan hendak melarikan diri.
"Perlahan dulu! Hendak lari ke mana kau?"
Bromatmojo juga meloncat dan loncatannya jauh lebih gesit sehingga dia dapat merangkul pinggang wanita itu dari belakang dan mereka terguling bersama! Dengan mudah saja Bromatmojo memegang dan menelikung kedua tangan wanita itu ke belakang tubuh sehingga biar pun dia meronta-ronta namun sia-sia saja.
"Kau kenapa? Aku hanya minta kau menyembuhkan sahabatku!"
Kata Bromatmojo.
Sejenak wanita itu tidak bergerak, lalu menarik napas panjang dan berkata,suaranya rendah menunjukkan bahwa dia tidak berdaya dan merasa kalah.
"Engkau hebat sekali, Raden. Melawan pun tidak ada gunanya bagiku, dan pula, sahabatmu itu tanpa diobati pun nanti akan sadar sendiri."
"Aku menghendaki agar dia dapat sadar sekarang!"
Kata Bromatmojo.
"Baiklah, aku mempunyai obatnya."
Bromatmojo melepaskan pegangannya. Wanita itu membalik dan memandang kepadannya melalui dua lubang di topeng itu, matanya yang bening itu bersinar-sinar penuh kekaguman, kemudian kembali dia menarik napas panjang dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari dalam saku baju hitam itu, menghampiri Sutejo dan menaburkan sedikit obat bubuk pada lubang hidung Sutejo, dipandang dan dijaga oleh Bromatmojo.
Tiba-tiba Sutejo berbangkis dua kali dan dia terbangun memandang heran, lalu meloncat bangun.
"Ada apa, Adi Bromo...?"
"Hemm, wanita-wanita itu ternyata adalah anggota-anggota Sriti Kencana, Kakang. Dan hampir saja kita kena dibius."
Sutejo teringat akan semua yang dialaminya, maka melihat wanita bertopeng itu berdiri di situ, dia cepat meloncat dan biar pun wanita itu berusaha mengelak, tetap saja Sutejo telah menangkap pergelangan tangannya dan tangan kiri pemuda itu merenggut topeng dari muka itu.
"Bretttt...!"
Dan nampaklah wajah cantik manis dari wanita termuda yang tadi memakai baju hijau! Sepasang mata yang bening itu memandang Sutejo dengan terbelalak, terkejut dan juga gentar.
"Hayo katakan!"
Sutejo berkata, suaranya mengandung kemarahan besar.
"Siapa pemimpin kalian dan siapa pula yang mencuri keris pusaka Kolonadah, dan di mana keris itu sekarang? Hayo cepat kau mengaku!"
Tiba-tiba terjadi perubahan wajah yang cantik manis itu. Kalau tadinya dia kelihatan gentar, tiba-tiba sinar matanya penuh tantangan.
"Kami para anggota Sriti Kencana bukanlah kaum pengkhianat dan pengecut. Kami tidak takut mati dan kalau kau hendak membunuhku, kau bunuhlah!"
Mendengar tantangan ini Sutejo makin marah.
"Kau penjahat wanita sombong! Orang seperti engkau masih bicara tentang kegagahan, bukan pengkhianat dan bukan pengecut? Huh, kalian anggota-anggota Sriti Kencana adalah sekumpulan maling betina, menggunakan rayuan palsu untuk menjatuhkan kami. Hayo mengaku tidak?"
Sutejo memperkeras cekalannya pada pergelangan tangan itu dan gadis itu menyeringai. Bukan main nyerinya rasa lengannya, seperti akan hancur dalam cengkeraman tangan pemuda tinggi tegap itu. Maklumlah dia bahwa pemuda ini sakti bukan main dan dia bukanlah lawannya, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menyerah.
"Tidak perlu banyak cakap. Bunuhlah! Aku tidak takut mati!"
Sepasang mata yang bening itu bersinar-sinar penuh tantangan.
"Bagus! Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi aku bisa memotong hidungmu dan merobek pipi dan bibirmu!"
Sutejo melepaskan gadis itu, secepat kilat dia menyambar pisau belati milik Cempaka yang tadi menyerang Bromatmojo.
Ketika merasa dirinya dilepaskan gadis bernama Ayu itu cepat menyambar burung sriti emas di kepalanya, lalu menyambitkan burung emas itu ke arah Sutejo. Kiranya hiasan kepala itu pun dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh karena ketika menyambar ke arah Sutejo, burung emas itu mengeluarkan suara mengaung dan cepat sekali luncurannya, dengan patuk siap menusuk sasaran! Akan tetapi, tentu saja serangan seperti itu bukan apa-apa lagi bagi Sutejo. Dia miringkan tubuh dan ketika tangan kirinya menyambar, dia telah menangkap burung emas itu yang dia lemparkan ke arah Bromatmojo.
Ayu hendak meloncat dan lari, terkejut menyaksikan betapa sambitannya dihindarkan dengan demikian mudahnya. Akan tetapi tahu-tahu dia melihat bayangan berkelebat dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata pemuda tinggi tegap itu telah berdiri di depannya, menghadang jalan keluar melalui pintu belakang. Karena nekat, Ayu lalu menubruk dan mengirim serangan, akan tetapi dengan tangkisan dan tamparan, kembali lengannya dapat dipegang dan ditelikung ke belakang, dan kini pisau tajam itu ditempelkan di lehernya!
"Bunuhlah! Bunuhlah aku!"
Dia menantang.
Sutejo menggeleng dan tersenyum mengejek.
"Tidak, karena aku tahu bahwa engkau tidak takut mati. Akan tetapi ingin kulihat apakah engkau tidak takut kalau hidungmu kupotong, pipi dan bibirmu kurobek dengan pisau ini!"
Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak ketika pisau itu kini menempel di hidungnya yang kecil mancung. Air mata menetes-netes turun dari kedua matanya.
"Nah, kau masih tidak mau mengaku dan menjawab pertanyaanku tadi?"
Sutejo mengancam. Ayu menggeleng kepala sehingga Sutejo harus menarik kembali pisaunya agar jangan sampai mengiris hidung yang bentuknya indah itu.
"Kalau begitu, aku akan benar-benar akan membuntungi hidungmu!"
Pisau itu ditekan dan Ayu memejamkan matanya. Air matanya turun seperti hujan menetes-netes melalui kanan kiri hidungnya.
"Tahan Kakang Tejo! Jangan siksa dia!"
Tiba-tiba Bromatmojo berkata setelah tadi dia berkedip dan bermain mata dengan Sutejo.
"Huh, kenapa kau membela penjahat wanita ini, Adi Bromo? Sudah patut kalau dia kehilangan hidungnya, pipi dan bibirnya robek-robek agar dia tidak dapat menggunakan kecantikannya untuk menjebak orang lain!"
Kata Sutejo dan dia mendorong tubuh Ayu sehingga gadis itu terlempar ke atas pembaringan.
Ayu membuka matanya, meraba hidungnya dan dia menangis sesenggukan ketika mendapat kenyataan bahwa hidungnya masih ada, pipi dan bibirnya belum terobek. Akan tetapi dia takut setengah mati.
Bromatmojo sudah mendekatinya dan merangkulnya.
"Ahh, sungguh keterlaluan sekali Kakang Tejo sahabatku itu..."
Katanya berbisik mesra.
"Masa orang cantik manisnya hendak dirusak mukanya. Terlalu sekali, terlalu! Pipi yang begini halus,hidung mancung dan bibir begini indah..."
Bromatmojo mengambung pipi dan hidung itu, kemudian dia mengecup bibir itu.
Ayu tersedak dan membuka matanya yang tadi dipejamkan, memandang wajah Bromatmojo yang begitu dekat. Dia kaget bukan main ketika tadi pipi dan hidungnya diambung, bibirnya dicium. Melihat betapa sepasang mata pemuda tampan itu memandangnya demikian mesra, dia tidak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menubruk, merangkul dan menangis di atas pundak Bromatmojo.
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo