Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 14


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Ahhhh..., Raden... saya... bukan penjahat wanita..."

   Dia terisak-isak.

   Bomatmojo mengelus-elus rambut yang panjang hitam dan harum itu.

   "Hemm, tentu saja bukan, Nimas. Engkau seorang gadis yang amat manis dan gagah perkasa..."

   Kata Bromatmojo sambil memandang kepada Sutejo dari pundak Ayu, mengedipkan mata dan tersenyum. Akan tetapi Sutejo memandang marah, mulutnya cemberut lalu membalikkan tubuhnya dengan gerakan cepat untuk menunjukkan kemarahannya dan kemuakannya melihat rayuan maut yang dimainkan oleh Bromatmojo kepada Ayu itu.

   Dengan marah Sutejo mengepal tinju, duduk di atas bangku di dalam kamar itu dengan punggung menghadap pembaringan di mana Bromatmojo sedang merayu Ayu.

   "Nimas, siapakah namamu?"

   Ayu terisak-isak, menahan tangisnya kemudian terdengar suaranya lirih.

   "Nama saya Ayu Kunti, Raden..."

   "Nama yang bagus, dan tepat. Memang kau ayu sekali, Nimas. Akan tetapi orang yang cantik manis dan masih muda seperti engkau ini, kenapa menjadi anggota Sriti Kencana, bahkan rela mati untuk perkumpulan itu? Aku Bromatmojo dan aku percaya bahwa engkau bukan orang jahat. Akan tetapi engkau pun harus mengerti bahwa kami juga bukan orang jahat."

   "Akan tetapi sahabatmu itu..., dia begitu kejam..."

   Kata Ayu

   Kunti.

   "Dia? Ah, dia sedang marah karena ingat bahwa dia telah kalian bius sampai pingsan! Ha-ha, akan tetapi dia adalah seorang yang amat baik, sama sekali tidak kejam,"

   Kata Bromatmojo.

   "Dan andika sendiri, Raden? Kenapa tidak pingsan terbius...? Padahal andika juga minum dan makan ketan..."

   "Aku? Tak mungkin kau dapat membius aku, Ayu. Aku adalah racun! Aku telah minum obat penawar sebelumnya."

   "Bagus! Dan kau membiarkan aku terbius, ya? Sahabat macam engkau, Adi Bromo!"

   Sutejo membalik dan memandang marah.

   "Maaf, Kakang. Tidak waktu untuk memberimu obat penawar itu. Akan tetapi mari kita dengarkan penuturan Ayu Kunti. Sebagai seorang wanita perkasa dan orang baik-baik kuyakin dia suka menceritakan tentang Sriti Kencana. Bukankah begitu, Nimas Ayu?"

   Ayu Kunti menarik napas panjang. Menghadapi pemuda yang begini tampan, begini halus, begini mesra, sedangkan ciumannya tadi saja sudah bisa membikin dia semaput, dia menjadi "mati kutu", tak mungkin dia mampu menolak permintaannya.

   "Baiklah, akan kuceritakan, Raden..."

   "Hushh, jangan menyebutku raden. Kakangmas kan lebih akrab?"

   Wajah dara itu menjadi merah. Bukan main pemuda ini! Begitu menyenangkan, begitu pandai mengelus hatinya. Ingin dia merangkul dan mencium pemuda ini kalau saja di situ tidak ada Sutejo yang masih keruh wajahnya dan marah pandang matanya.

   "Terima kasih, Kakangmas!"

   Bromatmojo tersenyum ketika melihat sinar mata Sutejo seolah-olah hendak membakarnya! Maka dia sengaja hendak mempermainkan sahabatnya itu dan juga untuk menundukkan hati Ayu Kunti yang dia dapat menduga seorang gadis yang penuh keberanian dan kesetiaan terhadap perkumpulan Sriti Kencana,akan tetapi juga seorang gadis yang "panas"

   Dan tentu mau melakukan apa saja kalau sudah jatuh hati. Apalagi dia mendengar pula pernyataan Ayu Kunti ketika dia pura-pura pingsan tadi, bahwa Ayu Kunti akan hidup bahagia kalau bisa menjadi isterinya! Hal ini berarti bahwa Ayu Kunti telah tergia-gila kepadanya,maka dia sengaja merayu dengan mesra gadis ini untuk memancing keterangan darinya.

   "Nah, Nimas Ayu Kunti yang cantik manis! Engkau tentu maklum bahwa sesungguhnya antara kami berdua dan Sriti Kencana tidak terdapat permusuhan apa pun, dan mungkin hanya karena keris pusaka Kolonadah itu sajalah maka kami dimusuhi oleh Sriti Kencana. Oleh karena itu, setelah kita menjadi sahabat, kau ceritakanlah sejelasnya tentang rahasia ini semua."

   "Saya percaya sepenuhnya kepadamu, Kakangmas Bromatmojo. Dengarlah, saya akan menceritakan semua karena sesungguhnya tidak ada rahasia yang memalukan dalam perkumpulan kami. Perkumpulan kami dikenal sebagai Sriti Kencana karena hiasan kepala yang merupakan senjata rahasia kami berupa burung sriti emas itu. Perkumpulan kami didirikan kurang lebih dua tahun yang lalu dan kami para anggota Sriti Kencana terdiri dari dua puluh wanita yang kesemuanya memiliki kepandaian pencak silat yang kemudian ditambah dengan bimbingan dua orang pimpinan kami. Kami dipimpin oleh dua orang yang hanya kami kenal sebagai seorang pria dan seorang wanita yang keduanya masih muda remaja."

   "Siapakah mereka?"

   "Kami tidak tahu, Kakangmas. Tidak ada seorang pun di antara kami yang pernah melihat wajah mereka berdua dan karena kami tahu dari suara dan tingkah laku mereka bahwa mereka itu keduanya masih amat muda sungguh pun ilmu kepandaian mereka hebat sekali dan mereka itu sakti mandraguna, maka kami semua anggota hanya menyebut mereka Raden Bagus dan Raden Roro saja."

   "Hemm, sungguh menarik,"

   Kata Sutejo yang kini ikut pula bicara, kemarahannya agak mereda karena dia tertarik mendengarkan penuturan Ayu Kunti.

   "Apa saja yang dilakukan oleh Sriti Kencana?"

   Ayu Kunti melirik ke arah Sutejo, akan tetapi Bromatmojo mengelus lengannya dengan mesra sehingga dara itu yang belum pernah dibelai oleh seorang pria,belum pernah disentuh tangan pria, apalagi begitu mesranya, merasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdebar tidak karuan.

   "Kami melakukan semua pekerjaan yang diperintahkan oleh dua orang pimpinan kami itu, dan selalu pekerjaan itu merupakan pekerjaan menentang kejahatan. Terutama sekali kami harus menghajar, kalau perlu membunuh, para pejabat yang berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan banyak lagi yang kami lakukan, akan tetapi semua itu adalah demi rakyat yang tertindas."

   "Hemm, sungguh hebat dan aneh!"

   Bromatmojo berseru.

   "Dan kalian menjadi anggota-anggota yang demikian setia dari perkumpulan aneh seperti itu? Sungguh luar biasa sekali kalau tidak ada latar belakangnya!"

   "Begini, Kakangmas. Kami sebetulnya adalah penduduk di sekitar Tuban. Ada pula yang telah bersuami, dan saya sendiri adalah anak dari seorang yogo (penabuh gamelan) yang bekerja di Kabupaten Tuban, ibu saya seorang pesinden yang terkenal. Kami, wanita-wanita yang usianya antara delapan belas sampai tiga puluh tahun, yang memiliki ilmu silat, diterima menjadi anggota Sriti Kencana oleh Raden Bagus dan Raden Roro, setelah disumpah untuk setia dan memang kami semua mempunyai tekad yang sama, yaitu memberantas kejahatan dan membela rakyat yang tertindas. Dan untuk ini, kami menerima upah yang cukup besar dari pimpinan kami. Tentu saja kami memegang rahasia kami, bahkan ayah ibu saya pun tidak tahu bahwa saya menjadi anggota Sriti Kencana yang ditakuti orang-orang jahat itu, juga para isteri itu tidak ada yang berani membuka rahasia kepada suami mereka."

   "Akan tetapi engkau telah membuka rahasia kepadaku, Nimas,"

   Bromatmojo sengaja berkata sambil merangkul.

   "Karena... karena saya telah tertawan... dan paduka... eh, biarlah, saya siap untuk menerima hukuman dari pimpinan kami."

   "Hukuman? Apa hukumannya?"

   "Apalagi kalau bukan hukuman mati? Akan tetapi saya rela mati untuk paduka..."

   Ayu Kunti balas merangkul, tidak memperdulikan lagi kepada Sutejo. Melihat pemuda itu kembali menjadi merah mukanya dan sinar matanya tak senang, Bromatmojo cepat melepaskan rangkulannya.

   "Tidak, Nimas. Aku akan bertemu dengan pimpinanmu dan aku akan mintakan ampun untukmu. Sekarang ceritakan tentang keris pusaka Kolonadah. Ketika kami berdua diserbu oleh para perajurit Tuban itu, ada seorang anggota Sriti Kencana yang mencuri atau mengambil keris itu, bukan? Siapa dia?"

   "Dia adalah Den Roro sendiri, Kakangmas!"

   "Ah...!"

   Bromatmojo berseru, teringat betapa kuatnya tenaga pimpinan Sriti Kencana itu ketika mereka saling beradu tangan.

   "Kami telah lama menerima perintah untuk menyelidiki dan membayangi gerak-gerik para perajurit Tuban yang dipimpin oleh Klabang Curing dan para perajurit dari Mojopahit yang dipimpin oleh Gagaksona. Ketika malam itu mereka mengurung andika berdua yang sedang menggali di tepi Sungai Tambakberas di dalam hutan itu, kami cepat mengirim laporan kepada Den Roro yang kebetulan berada di dekat tempat itu. Den Roro lalu turun tangan sendiri, mengambil keris pusaka itu setelah melihat andika berdua dan para perajurit itu memperebutkan keris pusaka Kolonadah yang memang sudah lama dihebohkan orang dan dicari-cari itu. Kemudian Den Roro memerintahkan kepada kami berempat untuk membayangi andika dan menangkap andika berdua karena pimpinan kami menganggap andika berdua adalah pencuri-pencuri yang telah berhasil menemukan tempat keris pusaka itu tersembunyi. Kami diperintahkan menangkap, bukan membunuh karena menurut Den Roro, biar pun andika berdua adalah pencuri-pencuri, akan tetapi telah berjasa menemukan keris pusaka itu."

   "Hemm, keparat! Dia yang menjadi kepala maling yang mencuri keris itu dan dia menuduh kami pencuri-pencuri!"

   Sutejo membentak marah.

   "Tenanglah, Kakang. Kita hanya disangka saja, karena Den Roro itu belum mengenal siapa kita. Betapa pun juga, dia adalah kepala dari sekelompok wanita-wanita perkasa..."

   "Huh! Kau selalu lemah kalau berhadapan dengan wanita!"

   Sutejo berkata dengan nada suara kesal dan muak.

   Bromatmojo tersenyum dan bertanya kepada Ayu Kunti.

   "Nimas, sekarang di mana adanya Den Roro itu dan apakah keris itu dibawanya?"

   "Benar, Kakangmas."

   "Sebenarnya, siapakah dia dan di mana dia tinggal?"

   "Sudah saya katakan, kami semua tidak ada yang pernah melihat wajahnya, dan karena cara bicaranya seperti priyayi agung, maka kami menyebutnya Den Roro dan Den Bagus. Tentu saja kami tidak tahu di mana mereka tinggal?"

   "Dan di mana biasanya kalian berkumpul dan mengadakan pertemuan?"

   "Ah, rahasia besar..., Kakangmas."

   Bromatmojo mengerutkan alisnya dan memandang tajam, mengambil sikap seperti orang kecewa dan berduka.

   "Ahhh... jadi engkau masih belum percaya benar kepadaku, Nimas?"

   Ayu Kunti cepat memegang lengan "pemuda"

   Itu.

   "Tidak, tidak sama sekali, Kakangmas. Aku sudah menceritakan semuanya, bahkan saya rela untuk mati demi andika, tentu saja saya sudah percaya sepenuhnya. Cuma saya... andika berdua demikian sakti, dan saya tidak ingin melihat andika berdua menghancurkan perkumpulan kami."

   "Ihh, bocah ayu yang bodoh!"

   Bromatmojo mencubit dagu meruncing halus itu.

   "Siapa yang akan menghancurkan perkumpulanmu yang gagah itu? Kami hanya ingin ke sana untuk bertemu dan bicara dengan pimpinanmu."

   "Akan tetapi, kalau saya yang mengantar andika berdua ke sana, hal itu merupakan dosa dan pelanggaran sumpah yang amat besar, Kakangmas. Pula, kedua orang teman saya tadi, bahkan juga mbakayu Cempaka, tentu kini telah memberi pelaporan tentang andika berdua dan sebentar lagi Den Roro tentu akan berada di sini."

   Tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring melengking dari luar rumah itu dan wajah Ayu Kunti seketika menjadi pucat sekali, tangannya yang tadi memegang lengan Bromatmojo menggigil.

   "Omonganmu benar, Ayu!"

   Terdengar suara halus merdu namun cukup nyaring.

   "Ajak mereka menemui kami ke tepi sungai di kaki pegunungan kapur di barat!"

   Sutejo sudah melompat dan lari keluar dari warung itu, memandang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melihat ada orang, kecuali beberapa orang petani yang agaknya mulai pergi ke sawah ladang mereka memanggul cangkul dan beberapa orang wanita menggendong dan yang laki-laki memikul, agaknya mereka yang dari dusun-dusun hendak berdagang ke kota Tuban. Tidak kelihatan ada orang berpakaian hitam, apalagi bertopeng hitam. Maka dia cepat berlari kembali ke dalam.

   "Mari, Kakang Tejo. Nimas Ayu Kunti akan mengantarkan kita bertemu dengan mereka. Tadi adalah Den Roro pemimpin mereka yang mengundang kita,"

   Kata Bromatmojo yang sudah berdiri dan menggandeng tangan Ayu Kunti.

   Sutejo mengerutkan alisnya.

   "Adi Bromo, aku tidak suka akan semua ini. Kita tentu akan terjebak lagi. Aku paling tidak percaya kepada wanita-wanita, mereka itu curang dan licik."

   "Kakang Tejo, jangan bicara begitu bodoh!"

   Bromatmojo membentak, marah sehingga mengejutkan Sutejo.

   "Kalau Kakang merasa takut, tinggallah saja di sini dan biar aku sendirian menghadapi mereka!"

   Sutejo membelalakkan mata.

   "Eh, eh... bagaimana kau bisa berkata demikian, Adi Bromo? Tentu saja aku tidak takut dan akan membantumu sampai berhasil. Akan tetapi, aku hanya khawatir mereka ini akan berlaku curang seperti tadi..."

   Ayu Kunti segera maju membela Bromatmojo.

   "Raden sebetulnya kami sama sekali tidak dan bukan orang-orang yang bersikap curang dan pengecut, apalagi pimpinan kami! Kalau kami tadi menggunakan obat bius untuk menangkap andika berdua hanyalah karena kami merasa tidak akan menang menggunakan kekerasan, sedangkan perintah pimpinan kami adalah bahwa kami harus menawan andika berdua."

   "Maaf, Kakang Tejo. Bukan maksudku menyatakan engkau penakut, akan tetapi untuk mendapatkan keris pusaka itu, kita harus berani menghadapi bahaya apa pun juga."

   Sutejo menarik napas panjang.

   "Baiklah, sebetulnya aku tidak akan takut menghadapi musuh yang bagaimana pun juga, asal jangan perempuan-perempuan yang..."

   "Sudahlah!"

   Bromatmojo memotong dengan nada suara tak sabar.

   "Mari kita berangkat!"

   Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan warung itu. Di sepanjang perjalanan Bromatmojo menggandeng tangan Ayu Kunti dan mereka kelihatan bersikap mesra dan saling mencinta. Hal ini membuat hati Sutejo menjadi semakin panas dan tidak senang. Dia tidak dapat menduga, karena pikirannya penuh dengan kemarahan, bahwa Bromatmojo melakukan hal itu untuk mencegah kalau-kalau anggota Sriti Kencana itu menggunakan akal untuk melarikan diri. Dengan adanya Ayu Kunti di tangannya, setidaknya dia dapat mencegah kecurangan dilakukan oleh pihak musuh.

   Tempat yang dimaksudkan itu ternyata tidak begitu jauh. Terletak di sebelah barat kota Tuban di mana terdapat pegunugan kapur yang memanjang dari barat ke timur dan di kaki sebuah di antara gunung-gunung kapur itu memang terdapat sebatang sungai kecil yang airnya sedikit sekali, hampir kering. Akan tetapi kaki gunung kapur ini masih cukup mempunyai tanah sehingga berbeda dengan gunungnya sendiri yang gundul dan keputih-putihan, di tempat ini masih ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang tidak begitu rimbun dan segar keadaannya. Tempat itu sunyi sekali karena kaum tani juga enggan untuk mengolah tanah yang dangkal dan bercampur kapur itu yang hasilnya tidak dapat banyak diharapkan.

   Ketika tiga orang itu tiba di situ, Bromatmojo makin erat menggandeng tangan Ayu Kunti dan gadis ini memandang kepadanya dengan sinar mata mesra di balik topeng yang sudah dipakainya lagi itu, dan terdengar dia berbisik.

   "Terima kasih Kakangmas, dengan andika di samping saya, saya tidak takut apa-apa lagi..."

   Bromatmojo hanya tersenyum dan memandang ke depan penuh kewaspadaan, seperti juga dilakukan oleh Sutejo. Tiba-tiba, ketika mereka telah tiba di tepi sungai kecil itu, nampak bermunculan dari balik-balik batang pohon dan batu, banyak sekali orang-orang yang berpakaian serba hitam dan bertopeng hitam, semua memakai hiasan kepala seekor burung sriti emas yang berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah mulai condong ke barat. Bromatmojo melepaskan tangan Ayu Kunti karena setelah dia berhadapan dengan mereka dan tidak mengkhawatirkan jebakan lagi, dia tidak memerlukan Ayu Kunti. Sutejo berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan sinar matanya yang tajam.

   Sejenak mereka semua diam dan dua puluh satu orang bertopeng itu, termasuk Ayu Kunti, telah mengurung dua orang muda ini. Bromatmojo menghitung dan tahu bahwa jumlah mereka itu kurang satu. Karena pakaian mereka sama semua, dia tidak dapat menduga yang mana di antara mereka itu yang menjadi pemimpin, maka dia hanya menanti. Juga Sutejo hanya mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak dapat menduga pula yang mana pemimpinnya.

   Akan tetapi, tiba-tiba dengan suaranya Sang Pemimpin memperkenalkan dirinya sendiri dengan kata-kata yang berwibawa namun merdu terhadap Ayu Kunti.

   "Ayu! Bagaimana sikap mereka terhadap dirimu?"

   Ayu Kunti kelihatan terkejut, menghadapi kepalanya yang bertubuh ramping kecil itu dan berkata.

   "Den Roro, mereka adalah pemuda-pemuda yang gagah dan sakti mandraguna, juga mereka tidak melakukan sesuatu yang buruk terhadap saya."

   Diam-diam Sutejo harus mengakui bahwa hanya berkat rayuan maut Bromatmojo saja maka Ayu Kunti tidak melaporkan kepada pemimpinnya betapa gadis itu tadi dia ancam akan dipotong hidungnya dan dirobek pipi dan bibirnya, sungguh pun hal itu hanya dipergunakannya untuk menakuti-nakutinya saja.

   "Hemm, sudah kusangka demikian. Eh, Kisanak berdua. Kami melihat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang perkasa dan gagah...!"

   "Tidak seperti kalian yang menggunakan kecurangan untuk mencelakakan kami!"

   Sutejo memotong dengan suara tegas.

   Orang yang bertopeng yang disebut Den Roro itu, yang tubuhnya ramping kecil, menoleh kepadanya dan memandang tajam sejenak.

   "Maaf, Kisanak. Anak buah kami hanya menjalankan tugas untuk mencoba menangkap kalian, akan tetapi ternyata gagal. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah kalian?"

   "Namaku Bromatmojo dan sahabatku ini bernama Sutejo."

   "Sungguh mengherankan, orang-orang muda yang gagah perkasa seperti kalian ini mengapa melakukan perbuatan yang demikian tak terpuji, membongkar kuburan orang dan hendak mencuri sebatang keris pusaka?"

   "Eh, eh, perlahan dulu engkau menuduh orang!"

   Bromatmojo berseru marah.

   "Keris pusaka Kolonadah itu banyak diperebutkan banyak orang, dan kami yang mengetahui tempatnya mengambil keris itu dengan baik. Akan tetapi andika malah mencurinya selagi kami menghadapi serbuan perajurit-perajurit itu, dan sekarang andika menuduh kami mencuri! Sungguh tidak pantas!"

   "Memang aku telah mengambil keris itu. Inilah dia!"

   Den Roro yang berkedok itu mengeluarkan keris pusaka Kolonadah yang dibungkusnya dengan kain kuning.

   "Akan tetapi aku tidak mencuri, aku hanya mengambilnya lebih dulu untuk menentukan siapa yang berhak karena tadinya aku menyangka bahwa andika berdua adalah pencuri-pencuri yang tidak berhak, demikian pula para perajurit itu. Tahukah kalian milik siapa keris pusaka Kolonadah ini?"

   Bromatmojo menjawab cepat.

   "Milik mendiang Adipati Ronggo Lawe di Tuban!"

   "Hemm, ternyata andika tahu benar. Lalu bagaimana andika tahu bahwa keris itu berada bersama kerangka itu di sana, padahal orang seluruh Tuban dan Mojopahit mencari-carinya tanpa hasil?"

   "Den Roro atau siapa pun juga namamu, orang bertopeng! Kalau andika merahasiakan keadaan andika, bahkan wajah pun dirahasiakan, maka kami pun mempunyai rahasia kami sendiri. Bagaimana kami mengetahui tentang di mana adanya Kolonadah merupakan rahasia kami yang tidak akan kami ceritakan kepada siapa pun."

   Sepasang mata di balik topeng itu bersinar-sinar, agaknya dia kagum akan tetapi juga penasaran melihat sikap Bromatmojo, pemuda yang amat tampan dan berani itu.

   "Akan tetapi setidaknya tentu andika dapat mengatakan apakah andika berdua berhak atas pusaka ini?"

   "Tentu saja!"

   "Atas hak yang bagaimana?"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tahukah andika, wahai gadis bertopeng, siapa pencipta Kolonadah?"

   Gadis bertopeng itu menggeleng kepala.

   "Aku... aku tidak tahu."

   "Penciptanya adalah guru mendiang Adipati Ronggo Lawe. Tahukah andika siapa beliau?"

   Kembali wanita itu menggeleng kepala.

   "Guru mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah Empu Supamadrangi di puncak Bromo, dan beliau adalah guruku pula! Nah, beliau yang mengutus aku untuk mengambil pusaka itu, akan tetapi ternyata ketika kami dikeroyok orang, engkau telah mencurinya!"

   Sepasang mata itu berkilat-kilat.

   "Kami bukan pencuri!"

   Bentaknya, nyaring akan tetapi merdu suaranya itu.

   "Kalau bukan pencuri, mengapa tidak kau kembalikan kepadaku?"

   Bromatmojo berkata dengan suara lantang.

   "Kini kau malah mengumpulkan semua anak buahmu, dan agaknya hendak mengeroyok kami berdua, bukankah hal itu menunjukkan bahwa engkau bukan hanya pencuri melainkan juga perampok?"

   "Hemm, Bromatmojo, lancang sekali ucapanmu! Sudah kukatakan bahwa aku tidak mencuri, hanya karena tidak ingin pusaka ini terjatuh ke tangan orang jahat, maka aku mengambilnya ketika terjadi pertempuran itu, karena aku belum tahu siapa adanya andika berdua. Akan tetapi sekarang, setelah kami mengetahui bahwa engkau adalah utusan pencipta keris ini, semestinya memang harus kukembalikan kalau saja engkau tidak begitu lancang mulut."

   "Hemm, bocah ayu..."

   "Ceriwis! Bagaimana kau bisa mengatakan ayu kalau kau belum melihat wajahku?"

   "Orang yang suaranya seperti andika, dengan bentuk tubuh seperti andika, tidak bisa tidak tentu ayu seperti bidadari dari Kahyangan. Kalau benar aku lancang mulut, lalu kau mau apa?"

   Bromatmojo menantang.

   "Adi Bromo! Jangan begitu...!"

   Sutejo mencela karena menganggap sikap sahabatnya itu keterlaluan.

   Akan tetapi Den Roro yang memakai topeng itu sudah menjadi marah.

   "Bromatmojo, kalau begitu, engkau harus bisa mengalahkan aku lebih dulu sebelum engkau berhak memiliki keris pusaka Kolonadah!"

   Setelah berkata demikian, dia menyerahkan keris yang dibungkus kain kuning itu kepada seorang anak buahnya dan ia melangkah maju, memasang kuda-kuda menghadapi Bromatmojo.

   "Hemm, boleh saja, manis. Bersiaplah engkau!"

   Kata Bromatmojo dan dia segera menggerakkan kaki tangannya menerjang ke depan dengan hebat, melakukan tamparan-tamparan dari kanan kiri.

   "Plak-plak-plak!"

   Kepala perkumpulan yang memakai nama samaran Sriti Kencana itu mengelak mundur sambil menangkis dengan tangannya pula, kemudian balas menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya seperti terbang saja menyerang dengan kedua tangannya membentuk sayap-sayap burung yang menampar dari kanan kiri sambil meloncat tinggi.

   "Hemm, engkau memang patut menjadi burung sriti!"

   Kata Bromatmojo sambil cepat mengelak karena dia melihat betapa gerakan lawannya memang amat cepat dan tangkas.

   Sebetulnya, biar pun Sriti Kencana memiliki kelebihan dalam ilmu meringankan tubuhnya, namun dalam hal pukulan dan aji kesaktian, Bromatmojo masih lebih menang, karena memang memiliki dasar yang lebih matang. Akan tetapi Bromatmojo kini telah yakin bahwa Sriti Kencana memang bukan sekumpulan orang-orang jahat dan sekarang buktinya, kepalanya tidak mengerahkan anak buah yang sebanyak itu untuk mengeroyok. Semua wanita bertopeng itu hanya mengurung tempat itu dan menjadi penonton, dengan kedua lengan bersilang di dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda mereka hendak mengeroyok. Agak lega juga hati Sutejo melihat betapa sahabatnya itu tidak melakukan pukulan yang sungguh-sungguh, melainkan mendesak lawan dengan tamparan-tamparannya yang mengandung hawa pukulan ampuh dan kuat sekali.

   Seru dan hebat pertandingan itu, berlangsung lama juga. Akan tetapi lama kelamaan Sriti Kencana kelihatan lemah gerakannya dan setiap kali lengannya beradu dengan lengan Bromatmojo, dia mengeluh dan terhuyung. Akhirnya, tamparan Bromatmojo mengenai pundak kirinya dan dia terhuyung lalu jatuh terduduk. Napasnya terengah-engah dan dengan lengan bajunya dia menghapus peluhnya. Dengan anggukan kepala dia memberi isyarat kepada anak buahnya yang membawa keris.

   "Berikan pusaka itu kepadanya!"

   Anak buahnya itu cepat menghampiri Bromatmojo yang berdiri dengan bertolak pinggang, menyerahkan keris yang diterima dengan bangga oleh Bromatmojo. Dibukanya kain kuning itu dan setelah melihat bahwa keris itu memang benar pusaka Kolonadah yang mengeluarkan hawa panas menyeramkan sehingga cepat-cepat dia membungkusnya kembali dengan kain kuning, dia memandang ke arah Sriti Kencana yang telah bangkit berdiri.

   "Terima kasih, Sriti Kencana ataukah... Den Roro?"

   Wanita bertopeng itu hanya berkata.

   "Engkau telah menang, tidak ada perlunya lagi mengejek. Engkau memang gagah dan sakti, akan tetapi sikapmu menyakitkan hati."

   Dengan isak tertahan, Sriti Kencana membalikkan tubuhnya dan cepat pergi diikuti oleh dua puluh orang anak buahnya. Setelah mereka pergi, Sutejo berkata mengomel.

   "Engkau benar-benar terlalu sekali, Adi Bromo. Sikapmu memang benar menyakitkan hati seperti kata-katanya tadi."

   "Eh, eh..., sejak kapan engkau membela musuh, Kakang Tejo? Apakah engkau akan lebih senang kalau aku tadi kalah dan pusaka ini tetap dibawa olehnya?"

   "Engkau tahu bahwa bukan begitu maksudku. Akan tetapi, jelas bahwa dia seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan pemberani, menentang kejahatan dan membentuk kelompok wanita-wanita yang begitu hebat berani menentang kejahatan. Dan engkau... engkau bersikap begitu memandang rendah, padahal dia bukan pencuri, bahkan dia menyerahkan keris itu dengan baik-baik."

   "Hemm..., kalau menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya menghadapi mereka?"

   "Sikapmu sudah jelas, mengapa pakai tanya-tanya segala?"

   "Sikapku bagaimana maksudmu?"

   "Tadi engkau merayu Ayu Kunti, dan kini engkau menghina pemimpinnya. Aku tahu mengapa engkau melakukan hal itu."

   "Memang kau pandai, Kakang tejo, kau tahu segala. Nah, katakan, apa yang kau ketahui sehingga aku melakukan hal itu?"

   "Karena kau telah melihat bahwa Ayu Kunti cantik, maka kau merayunya sehingga dia jatuh hati. Sebaliknya, pemimpinnya itu belum kau lihat wajahnya, dan karena kau takut kalau-kalau dia tidak cantik, maka kau tega menyakitkan hatinya dengan sikapmu yang merendahkan dan sombong."

   "Sombong? Aku...? Sombong?"

   "Ya, kau sombong sekali menghadapi seorang wanita yang begitu gagah dan baik budi. Engkau terlalu mengandalkan kepandaian hanya untuk menghina wanita,padahal dia sudah berjasa terhadapmu."

   "Eh, Kakang Tejo. Kau menuduhku sembarangan dan kau bilang dia berjasa? Jasa yang mana?"

   "Kalau bukan dia yang mengambil keris pusaka itu dan menyimpannya, dalam keributan ketika kita dikeroyok itu, bukankah ada bahaya pusaka itu lenyap diambil orang lain?"

   Bromatmojo mengangguk-angguk, lalu memandang tajam.

   "Agaknya pembelaanmu terhadap wanita itu ada benarnya juga, Kakang Tejo. Akan tetapi mengapa sekarang kau tiba-tiba saja membela dia secara mati-matian? Kakang, engkau belum melihat wajahnya bagaimana, namun engkau sudah membelanya..."

   "Aku tidak seperti engkau yang gila wanita cantik!"

   Tejo berkata marah.

   "Eh, eh, kau memandang rendah wanita cantik?"

   "Aku tidak memandang kecantikannya, melainkan budi pekertinya. Wanita cantik biasanya berhati curang dan karena mengandalkan kecantikannya maka dia memandang rendah kaum pria dan suka mempermainkannya. Wanita cantik seperti ular berbisa..."

   "Eh, eh! Mengapa kau ini? Tiada hujan tiada angin memaki-maki wanita cantik? Kakang Tejo, kalau engkau kelak memilih kekasih..."

   "Aku bukan tukang merayu wanita seperti engkau, aku tidak akan memilih kekasih!"

   "Hemm, kalau engkau kelak berpacaran..."

   "Aku muak dengan itu!"

   Bromatmojo memandang dengan mata terbelalak.

   "Muak? Muak dengan pacaran, berkasih-kasihan? Ah, Kakang Tejo, apakah engkau sudah gila?"

   "Hemm, berani kau bilang begitu? Mengapa kau mengatakan aku sudah gila?"

   "Karena, Kakang, manusia dijelmakan berkelamin dua jenis, untuk saling tertarik,saling mencinta, berpacaran, menikah sebagai suami isteri, mempunyai keturunan..."

   "Tapi tidak untuk saling menggoda, saling merayu palsu seperti engkau! Pemuda macam apa engkau ini, setiap melihat wanita cantik lalu menjadi hijau matanya,merayu setiap wanita cantik dengan kata-kata dan sikap halus, mengandalkan ketampanan. Adi Bromo, engkau harus sadar dari penyelewenganmu dan kembali ke jalan benar!"

   Kata Sutejo dengan sikap sungguh-sungguh.

   Bromatmojo bersedekap dan memandang pemuda itu dengan mata bersinar-sinar.

   "Ehem,sahabatku yang mulia, yang alim, yang agaknya akan menjadi pertapa muda yang tahan uji, seorang pria utama yang memandang rendah kaum wanita, yang membutakan mata terhadap keindahan dan kecantikan, ceritakanlah kepadaku, wejanglah aku agar aku dapat kembali ke jalan benar!"

   Sutejo tidak memperdulikan kata-kata dan sikap yang mengejek ini, lalu dia duduk di atas batu besar dan dengan bersungut-sungut tanpa memandang wajah Bromatmojo dia berkata.

   "Aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang baik dan memiliki kesaktian, murid seorang pertapa yang sakti, Adi Bromo. Akan tetapi engkau masih amat muda, masih seperti kanak-kanak sehingga engkau tidak tahu bahayanya seorang wanita, apalagi wanita cantik. Apakah engkau tidak pernah mendengar dongeng-dongeng tentang riwayat jaman dahulu? Betapa banyaknya ksatria-ksatria runtuh kegagahannya, raja-raja berkuasa runtuh kekuasaannya, pendeta-pendeta runtuh kealimannya, bahkan dewata sekali pun runtuh kesuciannya hanya karena kecantikan wanita! Oleh karena itu aku prihatin sekali melihat sifatmu yang suka sekali merayu wanita. Adikku, percayalah kepadaku, jangan engkau menuruti nafsu,karena kalau engkau melanjutkan kesesatan itu, aku khawatir kelak engkau pun akan jatuh oleh wanita. Wanita adalah pusat keindahan dan keburukan, wanita adalah sumber kemanisan dan kepahitan, wanita adalah tempat kebaikan dan kejahatan, sumber kecintaan dan kebencian, pencipta kebahagiaan dan kesengsaraan!"

   Sepasang mata Bromatmojo makin bersinar-sinar. Lalu mulutnya berjebi dan dia merubah kedudukan kedua lengannya, kini dia bertolak pinggang.

   "Kakang Tejo, agaknya engkau tentu sudah mempunyai banyak pengalaman dengan wanita, tentu sudah sering sekali jatuh cinta kepada wanita sehingga..."

   "Tidak, tidak sama sekali!"

   Sutejo menggoyang-goyangkan tangannya.

   "Aku tidak akan mudah begitu saja jatuh cinta kepada wanita!"

   Kedua tangan di pinggang itu bergerak dan kini kembali bersedakap di depan dada,dan Bromatmojo menengadah, memandangi awan yang bergumpal-gumpal seperti sekumpulan domba putih dan berarak perlahan-lahan hendak pulang ke kandang nan jauh di puncak bukit. Mulutnya berkemak-kemik dan terdengar dia bicara perlahan,"Wahai para dewi dan bidadari di kahyangan, dengarkanlah pemuda tinggi hati ini! Dia selama hidupnya belum pernah mencinta wanita, belum pernah berhubungan dengan wanita, namun pengetahuannya tentang wanita demikian luas, demikian mendalam, agaknya dia telah mempelajari dan menyelidiki tentang mahluk yang dinamakan wanita itu...

   Sutejo tidak memperdulikan sikap Bromatmojo yang dianggapnya mengejek. Dia membantah.

   "Wanita adalah seperti tulisan daun lontar yang terbuka, mudah dibaca dan dimengerti..."

   "Huh...!"

   "Wanita adalah seperti bunga mawar, harum akan tetapi penuh dengan duri..."

   "Wahai awan di angkasa, tidakkah kalian mau berhenti sejenak mendengarkan wejangan sang bijaksana ini? Sang arif bijaksana yang tak pernah dan tak mau jatuh cinta namun pandai bicara tentang cinta...?"

   Bromatmojo tetap mengejek.

   "Cinta adalah semacam penyakit!"

   "Waduhh!"

   "Laki-laki yang jatuh cinta adalah lemah dan bodoh sudah sepatutnya laki-laki macam itu menjadi permainan wanita sampai bertekuk lutut, menjadi kesed kaki wanita, diinjak-injak, akhirnya merana dan kelak hanya menjadi umpan api neraka..."

   "Uwahhh...!!"

   Bromatmojo tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Kini dia menghadapi Sutejo yang duduk di atas batu, telunjuk kanannya menuding sampai hampir menyentuh dahi Sutejo.

   "Dan kau... manusia sombong dan tinggi hati, aku berani mempertaruhkan nyawaku bahwa kelak, laki-laki macam engkau ini, kalau sudah jatuh cinta kepada seorang wanita, kelak engkau akan menyembah-nyembahnya, menciumi ujung kakinya, memujanya dan wanita itu akan menghinamu, akan memaksamu menelan kembali semua kata-katamu tadi, dan aku akan bersorak melihatmu, karena aku muak melihatmu!"

   Bromatmojo lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Sutejo.

   Tak dapat ditahan lagi kedua matanya menjadi panas dan air mata mengalir di sepanjang kedua pipinya. Bromatmojo cepat menghapus air matanya dan terus lari secepatnya meninggalkan Sutejo yang menimbulkan kemarahan besar di dalam hatinya itu. Pemuda sombong! Pemuda besar kepala! Pemuda gila! Demikian hatinya memaki-maki. Akan tetapi..., dia merasa bingung dan heran sekali mengapa kakinya menjadi berat dan hatinya seolah-olah tertinggal bersama pemuda itu di sana!

   Bromatmojo akhirnya dapat menenangkan hatinya dan tidak ada tanda air mata lagi di kedua pipinya, hanya matanya agak merah sedikit. Wajahnya muram ketika dia tiba di luar kota Tuban karena perasaannya sungguh tidak nyaman, seolah-olah kehidupan menjadi berbeda sekali setelah dia meninggalkan Sutejo. Dunia seperti sunyi, warna-warna menjadi pucat dan suara-suara menjadi sumbang!

   "Adi Bromo...!"

   Bromatmojo hampir berteriak dan bersorak saking girangnya mendengar suara ini.

   Akan tetapi dia menahan gelora hatinya dan memasang muka merenggut dan membalikkan tubuh seenaknya seolah-olah suara itu hanya mengganggu ketenangannya! Hari telah lewat senja dan malam hampir tiba, namun dia mengenal baik bayangan laki-laki yang melangkah lebar menghampirinya itu. Sejenak mereka berdiri berhadapan, Bromatmojo merengut dan Sutejo tersenyum.

   "Kenapa engkau mengikuti aku?"

   Tanya Bromatmojo setelah menekan hatinya sehingga suaranya tidak begitu gemetar.

   "Karena banyak hal, Adi Bromo. Pertama, karena memang aku hendak ke Tuban. Ke dua, karena tidak tahan aku melihat engkau pergi meninggalkan aku dalam keadaan marah setelah kita menjadi sahabat baik. Ke tiga, karena aku merasa penasaran."

   "Hemm, engkau malah yang merasa penasaran?"

   Bromatmojo bertanya dengan mata terbelalak heran. Siapa yang tidak merasa heran? Kata-kata dan sikap Sutejo membuat dia penasaran setengah mampus, eh, kini pemuda itu datang menyatakan merasa penasaran!

   "Setelah engkau pergi, aku merasa penasaran sekali mengingat mengapa engkau,seorang laki-laki, seorang pemuda seperti aku pula, begitu mati-matian membela wanita dan marah-marah karena aku mencela wanita. Nah, itulah yang ingin kuketahui sebabnya, Adi Bromo."

   Berdebar rasa jantung Bromatmojo. Celaka, hampir saja dia membuka rahasia pribadinya oleh

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   sikapnya itu! Dia hampir lupa bahwa dia adalah seorang "pria", dan memang tidak semestinya kalau dia mati-matian membela wanita. Akan tetapi,dia adalah seorang yang cerdik dan sambil tersenyum mengejek dia menjawab.

   "Mengapa sikapku itu membuat engkau penasaran, Kakang Tejo? Kau merasa dirimu sebagai pria terlalu tinggi dan agungkah? Engkau lupa agaknya, bahwa tanpa adanya wanita di dunia ini, seorang Sutejo tidak akan dapat lahir di dunia! Engkau lupa bahwa ibu-ibu kita adalah wanita, saudara-saudara perempuan kita adalah wanita, bibi-bibi kita adalah wanita. Apakah engkau pun hendak mengutuk mereka, termasuk ibumu sendiri?"

   "Ah..., ah...! Tidak begitu sama sekali! Aku tidak mengutuk wanita, dan tidak semua wanita jahat. Sriti Kencana itu seorang wanita yang hebat. Aku hanya ingin menasihatimu agar engkau jangan terlalu banyak main cinta dengan wanita, Adi Bromo, dan..."

   "Sudahlah, Kakang Tejo. Agaknya memang tidak ada kecocokan dalam urusan wanita ini antara engkau dan aku. Sekarang, setelah aku menjelaskan mengapa aku membela ibu-ibu kita, tentu engkau tidak penasaran lagi. Nah, selamat tinggal!"

   Bromatmojo sudah melangkah dan berjalan cepat memasuki pintu gerbang Kadipaten Tuban. Akan tetapi Sutejo cepat mengejarnya.

   "Eh, Adi Bromo. Benar-benarkah engkau marah sekali kepadaku? Apakah engkau tidak suka memaafkan aku?"

   Sambil melangkah terus Bromatmojo hanya mendengus.

   "Hemmm...!"

   "Kita adalah sahabat-sahabat kontan, sahabat-sahabat karib yang sudah mengalami suka duka bersama. Maukah engkau... eh, bolehkah aku menemanimu, Adi Bromo? Tujuan kita juga sama..."

   "Asalkan engkau tidak lagi menghina kaum ibu..."

   "Tidak, sungguh mati tidak!"

   Maka masuklah dua orang muda itu ke kota Tuban di waktu orang-orang telah mulai menyalakan lampu penerangan. Karena dua orang muda itu sudah sejak kecil meninggalkan dunia ramai dan hidup sebagai pertapa di pegunungan, dan baru sekarang mereka melihat kota sebesar kota Tuban yang ramai, keduanya melihat-lihat dengan hati kagum. Setelah mereka makan di dalam warung, menikmati nasi dan goreng udang yang banyak dijual di kota pelabuhan itu, Bromatmojo lalu mengajak Sutejo untuk mencari tukang menjual warangka (sarung keris).

   "Tidak enak membawa pusaka dibungkus begini, kakang. Kita harus membeli sebuah warangka untuk Kolonadah."

   Mereka segera mendatangi pedagang warangka dan keris, lalu memilih sebuah warangka yang cukup indah ukirannya karena Bromatmojo menghendaki agar keris pusaka itu memperoleh warangka yang indah.

   "Aku ingin segera menyelidiki si keparat Progodigdoyo, Adi Bromo."

   "Memang semestinya demikian, aku pun ingin mendengar apa jadinya dengan mbakayumu, akan tetapi kita akan menyelidiki sebuah gedung kadipaten di mana terdapat banyak penjaganya, Kakang. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mencari rumah penginapan lebih dulu sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, kita dapat dengan mudah menyembunyikan diri."

   Sutejo mengangguk tanda setuju dan pergilah mereka mencari sebuah rumah penginapan kecil di ujung kota. Mereka menyewa dua buah kamar karena seperti biasa, Bromatmojo ingin tidur menyendiri. Akan tetapi baru saja mereka memasuki kamar masing-masing, Bromatmojo sudah mengetuk pintu kamar Sutejo dan ketika pemuda ini membuka pintunya, Bromatmojo berkata dengan muka tegang.

   "Kakang Tejo,terjadi suatu hal yang luar biasa. Mari kau lihat di kamarku!"

   Sutejo cepat mengikuti Bromatmojo memasuki kamarnya dan di situ Bromatmojo memperlihatkan warangka Kolonadah yang telah menjadi pecah berantakan sehingga keris pusaka itu kelihatan, mencorong mengeluarkan sinar yang panas!

   "Eh, apa yang terjadi?"

   Sutejo bertanya heran.

   "Aku sendiri tidak tahu. Begitu memasuki kamar, aku mengeluarkan pusaka ini dan meletakkannya di atas meja. Tiba-tiba terdengar suara membeletak dan kulihat warangka itu telah pecah berantakan.

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sutejo memeriksa warangka itu dan menggelengkan kepalanya.

   "Warangka itu terbuat dari kayu yang tua dan kuat, sungguh aneh sekali bagaimana bisa pecah seperti ini. Akan tetapi bukankah engkau tadi membeli dua buah warangka?"

   "Benar, yang sebuah adalah warangka kayu galih asem yang amat indah ukirannya dan kubeli karena aku suka akan ukirannya."

   "Nah, kalau begitu pakai saja itu,"

   Kata Sutejo.

   Bromatmojo lalu mengeluarkan warangka ke dua yang tadi dimasukkan bungkusan pakaiannya, dan mencabut Kolonadah dari warangka yang sudah pecah-pecah itu dan dimasukkan keris pusaka itu ke dalam warangka galih asem. Akan tetapi, begitu dia meletakkan keris itu di atas meja, terdengar suara membeletak dan ketika mereka memandang, ternyata warangka galih asem yang terukir indah itu pun pecah berantakan!

   "Luar biasa...!!"

   Kata Sutejo sambil memandang Kolonadah di atas meja dengan mata terbelalak.

   Bromatmojo mengambil keris itu, mengeluarkannya dari warangka yang pecah, lalu membungkusnya dengan kain kuning. Sebagai murid seorang empu yang sakti, ahli pembuat keris pusaka, Bromatmojo mengerti apa yang telah terjadi.

   "Kakang Tejo, Kolonadah adalah pusaka sakti, maka tentu saja tidak mau bertempat tinggal di warangka biasa saja. Warangka biasa itu tentu saja tidak kuat menahan hawa sakti yang keluar dari pusaka ini. Sebaiknya sekarang kita mencari seorang empu yang sakti di kota ini dan minta dibuatkan sebuah warangka yang cocok."

   "Baiklah, Adi Bromo. Sungguh hebat sekali pusaka itu..."

   Kata Sutejo yang masih belum hilang kagum dan kagetnya akan keampuhan pusaka peninggalan Adipati Ronggo Lawe itu.

   Setelah mencari keterangan kepada pelayan rumah penginapan, mereka mendengar bahwa di ujung barat kota Tuban terdapat seorang empu tua yang berilmu tinggi. Menurut keterangan itu, empu ini dahulu menjadi empu di Mojopahit dan kini telah mengundurkan diri, kembali kepada tempat asalnya, yaitu di Tuban dan di Tuban hanya melayani pesanan-pesanan yang penting saja, dengan bantuan dua orang cantriknya.

   Kedua orang muda itu lalu berangkat malam itu juga, menuju ke rumah Empu Singkir, demikian nama empu terkenal dan sudah tua itu. Ketika mereka tiba di depan rumah sederhana itu mereka sudah mendengar berdentingnya baja digembleng, suaranya perlahan namun melenting nyaring tanda bahwa yang digemleng adalah baja murni yang baik. Seorang cantrik menerima kedatangan mereka dan ketika Bromatmojo menyatakan bahwa dia datang untuk mohon pertolongan Empu Singkir untuk memilihkan atau membuatkan sebuah warangka untuk keris pusakanya, cantrik itu lalu mempersilakan mereka menanti di ruangan depan dan melaporkan kepada Empu Singkir yang sedang bekerja. Suara baja digembleng itu terhenti dan tak lama kemudian muncullah seorang kakek yang sudah tua sekali, sedikitnya delapan puluh tahun usianya, kurus kering dan berpakaian sederhana dan jalannya sudah terbongkok-bongkok. Sutejo dan Bromatmojo cepat bangun berdiri dan memberi hormat kepada kakek ini.

   "Siapakah andika berdua, Raden?"

   Tanya kakek itu dengan suara yang sudah gemetar.

   "Saya bernama Bromatmojo dan sahabatku ini bernama Sutejo, Eyang."

   "Uh-hu-huh... andika berdua adalah orang-orang muda yang gemblengan, dapat saya lihat dari sikap dan pandang mata kalian. Akan tetapi, menurut laporan cantrik, andika datang untuk dibuatkan warangka? Sungguh aneh sekali, biasanya orang datang untuk memesan, curigo (keris), bukan warangka! Warangka hanyalah wadah dan merupakan hiasan belaka, angger, dan yang terpenting adalah isinya, yaitu kerisnya. Mengapa andika hanya memesan warangkanya saja?"

   Sebagai murid Empu Supamandrangi yang sakti, Bromatmojo cepat dapat menangkap arti kata-kata yang tidak begitu dimengerti oleh Sutejo itu, dan menjawablah pemuda Bromo itu.

   "Maaf, Eyang. Sungguh pun apa yang Eyang katakan itu benar,akan tetapi warangka tidaklah kalah pentingnya dengan curigo, karena tanpa warangka, curigo tidaklah lengkap, bahkan tidak berwujud dan tidak kelihatan. Karena itu, betapa pun baiknya curigo, tanpa mempunyai warangka yang indah dan kuat, berarti tidak sempurna. Tentu saja sebaliknya pun demikian, betapa pun indah dan kuatnya warangka, tanpa curigo, juga tidak ada artinya dan hanya merupakan kemewahan yang sia-sia. Bukankah demikian, Eyang?"

   "Hu-hu-huh... wawasanmu memang tajam dan tepat, Angger. Dan karena andika bernama Bromatmojo, agaknya datang dari Bromo dan..."

   "Terus terang saja, saya adalah murid dari eyang guru Empu Supamandrangi."

   Sepasang mata tua itu memandang terbelalak, kemudian dia membungkuk penuh hormat.

   "Jagad Dewa Bathara..., sungguh mata tua ini sudah lamur... maafkan saya, Raden. Kiranya saya berhadapan dengan murid seorang yang sakti mandraguna... ahh,sungguh merupakan kehormatan besar bagi saya kalau andika sudi minta bantuan seorang bodoh seperti saya. Andika tadi katanya memesan warangka. Untuk apakah, Raden Bromatmojo?"

   "Untuk sebuah pusaka, Eyang. Pusakaku itu demikian ampuhnya sehingga sudah dua buah warangka pecah berantakan olehnya."

   "Bolehkah saya melihat pusaka yang ampuh itu, Raden?"

   "Silakan, Eyang."

   Bromatmojo mengeluarkan bungkusan kain kuning dan menyerahkannya kepada Empu Singkir. Dengan jari-jari tangannya yang lentik panjang dan halus, tangan seorang seniman, Empu Singkir membuka bungkusan itu dan memeriksa gagang keris pusaka Kolonadah. Matanya terbelalak lebar.

   "Kolonadah...?"

   Dia berteriak, keras sekali teriakannya dan Bromatmojo cepat merampas kembali keris pusakanya karena tiba-tiba dia mendengar suara gaduh dari balik pintu ruangan. Empu Singkir yang tua renta itu kini tiba-tiba meloncat ke belakang dan dari balik pintu muncullah seorang kakek tinggi besar yang mukanya brewok penuh cambang bauk, sikapnya gagah bukan main dan biar pun usianya tentu sudah tujuh puluh tahunan, namun dia masih kelihatan gagah perkasa menyeramkan, dengan pakaiannya serba hitam dan ikat kepala yang hitam pula.

   "Dia... dia membawa Kolonadah!"

   Teriak pula Empu Singkir sambil menudingkan telunjuknya kepada Bromatmojo. Mendengar ini, kakek berpakaian hitam itu menerjang ke depan dan berkata kepada Bromatmojo.

   "Serahkan Kolonadah kepadaku!"

   Bentakan ini dibarengi dengan uluran tangan hendak merampas keris pusaka yang sudah dipegang oleh Bromatmojo, namun pemuda ini dengan mudah mengelak dan membungkus keris pusaka itu, menyelipkan di pinggangnya kemudian dia menghadapi serangan kakek tinggi besar yang ternyata memiliki gerakan cepat dan pukulan ampuh yang mendatangkan angin besar itu.

   Ketika Sutejo hendak membantu sahabatnya, Empu Singkir bersama dua orang cantriknya sudah menyerang dan mengeroyoknya sehingga terjadilah pertempuran hebat di dalam ruangan depan yang cukup luas itu. Sutejo tidak tega untuk sembarangan melukai empu tua dan dua orang cantriknya itu, maka dia hanya bersikap mempertahankan diri, mengelak dan menangkis. Akan tetapi tidak demikian dengan Bromatmojo. Melihat kakek raksasa itu bertekad untuk merampas Kolonadah, maka dia menyangka buruk dan dia mengerahkan tenaga pada setiap tangkisannya dan beberapa kali kakek raksasa itu terhuyung dan berseru kaget. Ketika melihat bahwa pemuda tampan itu ternyata sakti dan kuat sekali, kakek itu melolos ikat kepalanya yang hitam dan dengan seruan menggeledek dia menggerakkan ikat kepala itu melecut. Angin menyambar dan Bromatmojo terkejut bukan main karena merasa betapa ikat kepala itu menyambar dengan kekuatan dahsyat. Namun, tentu saja dia tidak takut, bahkan mengangkat tangan kirinya menangkis.

   "Plakk! Brettt...!"

   Ikat kepala itu tertangkis tangan Bromatmojo, membalik, akan tetapi ujungnya tadi masih menyambar melalui tangan Bromatmojo dan mengenai leher baju orang muda itu sehingga leher bajunya terkoyak dan nampaklah kalung yang selalu dipakainya. Karena tidak tertutup leher baju, kalung itu terjuntai keluar.

   "Eh... Kundolo Mirah...??"

   Kakek berpakaian hitam itu berteriak sambil melompat mundur.

   "Tahan dulu...! Hentikan pertempuran...!!"

   Bromatmojo memandang tajam dan Empu Singkir bersama dua orang cantriknya yang kewalahan menghadapi Sutejo, kini juga mundur. Napas empu itu empas-empis seperti ikan berada di darat.

   "Memang ini Kundolo Mirah. Habis mengapa?"

   Tanya Bromatmojo sambil memandang kakek raksasa itu dengan sikap menantang.

   "Dan memang keris ini pusaka Kolonadah. Apakah kalian masih hendak merampasnya?"

   Kakek raksasa itu memandang dengan mata terbelalak.

   "Engkau... engkau siapakah...? Dari mana engkau memperoleh Kolonadah dan Kundolo Mirah?"

   Bromatmojo memandang tajam dan kini dia teringat bahwa dia pernah bertemu dengan kakek ini. Dia mengingat-ingat dan tiba-tiba teringatlah dia ketika sembilan tahun yang lalu dia hendak disiksa oleh Reksosuro dan Darumuko, dia ditolong oleh seorang kakek berpakaian hitam, kakek raksasa yang bernama Ki Ageng Palandongan! Inilah dia kakek itu! Akan tetapi, Bromatmojo segera teringat bahwa dia tidak mungkin mengaku kepada kakek ini, bahwa dia adalah anak perempuan sembilan tahun yang lalu itu, maka dia lalu berkata.

   "Harap andika ketahui bahwa saya Bromatmojo adalah murid eyang guru Empu Supamandrangi, dan bahwa atas perintah Empu Supamandrangi maka saya mengambil keris pusaka Kolonadah ini."

   "Ehh..., tapi... tapi Kundolo Mirah itu...?"

   "Ini?"

   Bromatmojo memegang mainan kalungnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya.

   "Kundolo Mirah ini adalah hadiah yang saya terima dari...eyang guru.."

   Dia terpaksa membohong.

   "Serupa benar dengan milik mantuku, mendiang Adipati Ronggo Lawe!"

   Kata Ki Ageng Palandongan.

   "Tentu saja,"

   Kata Bromatmojo cerdik.

   "Bukankah mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah murid dari eyang guru Empu Supamandrangi?"

   Sementara itu, mendengar ucapan kakek raksasa itu, Sutejo menjadi terkejut.

   "Jadi paduka adalah ayah mertua mendiang Adipati Ronggo Lawe?"

   "Benar. Aku bernama Ki Ageng Palandongan, dan aku sering kali datang ke Tuban untuk menyelidiki hilangnya Kolonadah, pusaka milik mendiang Adipati Ronggo Lawe. Memang pusaka itu adalah ciptaan gurunya, yaitu Paman Empu Supamandrangi dan setelah kini Paman Empu sendiri mengutus muridnya dan telah berhasil mendapatkan kembali pusaka itu, hatiku merasa lega. Harap andika berdua suka memaafkan kelancangan seorang tua. Ketika aku mendengar teriakan sahabatku, Empu Singkir bahwa ada orang datang membawa Kolonadah, tentu saja aku menjadi terkejut dan menyangka buruk kepada andika berdua."

   "Tidak mengapalah, Paman Ki Ageng Palandongan. Sudah biasa di antara orang-orang gagah bahwa setelah bertanding baru saling berkenalan. Dan memang agaknya sudah ditakdirkan bahwa antara kita akan terjadi pertemuan dan perkenalan. Sahabatku ini bernama Sutejo."

   "Bukan main, sungguh andika memiliki kesaktian yang hebat, Raden Sutejo. Aku dengan bantuan dua orang cantrikku sama sekali tidak berdaya menghadapi kedigdayaanmu."

   Empu Singkir memuji sambil memandang kepada Sutejo dengan sinar mata kagum.

   "Tentu saja, Eyang Empu, sahabatku ini adalah murid dari Panembahan Ciptaning di lereng Gunung Kawi,"

   Kata Bromatmojo yang merasa bangga akan kesaktian sahabatnya.

   "Ahhh...!"

   Seru Empu Singkir.

   "Ohhh...!!"

   Ki Ageng Palandongan juga berseru kaget karena tentu saja dia mengenal nama Panembahan Ciptaning yang sakti mandraguna itu.

   "Kiranya andika berdua adalah murid orang-orang sakti dan tentu kedatangan andika berdua di Tuban mempunyai maksud tujuan yang penting."

   Bromatmojo melirik ke arah Sutejo yang mengerutkan alis, lalu berkata.

   "Pertama-tama, kami merasa pusing karena sukar sekali mencarikan warangka untuk keris pusaka Kolonadah, maka kami sengaja datang minta bantuan Eyang Empu Singkir."

   Empu yang tua itu tersenyum.

   "Tidaklah mudah mencarikan warangka yang tepat bagi sebuah keris pusaka seampuh Kolonadah. Saya tahu akan sifat keris pusaka seperti ini, yang mengandung hawa panas sekali. Pusaka ini harus sebuah warangka yang dingin, yang dibuat oleh tangan seorang perawan dan untuk membuat warangka yang baik, tentu saja gadis itu haruslah mempunyai kesaktian."

   Mendengar ini, Bromatmojo menjadi bingung. Tentu saja dia sendiri memenuhi syarat untuk membuatkan warangka itu, akan tetapi hal ini akan berarti membuka rahasianya. Maka dia lalu berkata.

   "Kalau begitu, saya menyerahkan pembuatan warangka itu kepada Eyang. Dan urusan ke dua dari kami yang amat penting adalah urusan sahabatku, Kakang Sutejo ini."

   Sutejo yang memang ingin menyelidiki keadaan mbakayunya, tidak menghendaki urusannya itu diceritakan oleh Bromatmojo kepada orang-orang lain, maka dia lalu berkata.

   "Saya mempunyai urusan pribadi dengan Progodigdoyo dan malam ini juga saya harus menyelidiki tempat tinggalnya."

   Mendengar ini, baik Empu Singkir maupun Ki Ageng Palandongan memandang tajam penuh selidik, dan kening kakek raksasa berpakaian hitam itu berkerut khawatir.

   "Raden, amatlah berbahaya untuk menyelidiki keadaan kabupaten. Selain sang Bupati memiliki kepandaian tinggi, juga pembantu-pembantunya adalah orang-orang sakti. Harap saja andika berdua bersikap hati-hati sekali kalau hendak melakukan penyelidikan."

   "Saya tahu orang macam apa adanya Progodigdoyo, Paman. Adi Bromo, aku ingin pergi sekarang juga,"

   Katanya kemudian kepada Bromatmojo.

   "Tunggu sebentar Kakang Tejo,"

   Kata Bromatmojo yang kemudian menyerahkan keris pusaka Kolonadah yang terbungkus kain kuning itu kepada Empu Singkir sambil berkata.

   "Eyang Empu, saya titipkan pusaka ini agar Eyang buatkan warangkanya. Tidak enak membawa-bawa pusaka ampuh ini tanpa warangka."

   "Baiklah, Raden. Akan saya usahakan mencarikan orang yang akan membantu kita membuatkan warangka itu,"

   Jawab Sang Empu sambil menerima bungkusan kuning itu dengan kedua tangan gemetar. Pusaka ampuh ini selama bertahun-tahun menimbulkan keributan karena banyak sekali orang ingin memperebutkannya, dan kini secara tidak terduga sama sekali, pusaka itu berada di tangannya.

   Setelah menyerahkan pusaka dan berpamit dari Empu Singkir dan Ki Ageng Palandongan, dua orang muda itu meninggalkan rumah kecil itu dan menyelinap di dalam kegelapan malam hendak menyelidiki istana Kabupaten Tuban. Malam itu gelap karena langit tertutup mendung, dan kalau ada yang kebetulan melihatnya, tentu orang itu akan menjadi ketakutan dan menyangka setan berkeliaran ketika dua orang muda ini mempergunakan aji kesaktian mereka untuk bergerak cepat sekali melalui jalan yang sunyi menuju ke bangunan-bangunan rumah besar berkelompok di sebelah dalam lingkungan tembok kabupaten yang tebal dan tinggi.

   "Adi Bromo kenapa engkau begitu sembrono meninnggalkan Kolonadah kepada mereka? Kita baru saja mengenal mereka dan tidak tahu apakah mereka dapat dipercaya..."

   "Jangan khawatir, Kakang Tejo,"

   Jawab Bromatmojo yang kini mengerti mengapa tadi sahabatnya itu kelihatan tidak senang melihat dia menyerahkan keris pusaka kepada empu itu.

   "Aku percaya penuh kepada Ki Ageng Palandongan."

   "Akan tetapi, baru saja kita mengenalnya, dan hanya karena pengakuannya saja kita tahu bahwa dia adalah mertua dari mendiang Adipati Ronggo Lawe."

   Bromatmojo menggeleng kepala.

   "Percayalah, Kakang Tejo. Dia benar Ki Ageng Palandongan yang gagah perkasa dan kita boleh percaya sepenuhnya kepada orang tua itu. Dahulu aku pernah bertemu dengan dia, hanya dia yang lupa kepadaku."

   

Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini