Kemelut Di Majapahit 16
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Kami tidak bertanding, mengapa harus saling serang? Kami hanyalah berlatih saja! Saya dan Kakang Tejo sedang berlatih agar tidak menjadi kaku gerakan kami,"
Kata Bromatmojo.
"Benarkah begitu, Kakangmas Sutejo?"
Roro Kartiko bertanya sambil menoleh kepada Sutejo, akan tetapi dia masih berdiri dekat Bromatmojo.
"Benar, kami hanya berlatih,"
Jawab Sutejo.
"Aihh, kalian berlatih demikian hebatnya, sampai kami berdua merasa kaget bukan main. Baru latihan saja sudah demikian hebat, apalagi kalau sungguh-sungguh,benar-benar kalian adalah dua orang yang memilki kesaktian hebat!"
Joko Handoko berseru kagum bukan main.
"Hebat apanya? Jangan terlalu memuji, Kakangmas Joko Handoko. Kami adalah orang-orang bodoh, terutama aku sendiri, sehingga mudah saja ditipu orang,"
Kata Bromatmojo,menarik napas panjang dan diam-diam dia merasa lega karena kalau saja dua orang ini tidak cepat datang, agaknya dia harus mengakui keunggulan Sutejo.
"Eh apa maksudmu?"
Roro Kartiko bertanya.
"Keris pusaka Kolonadah yang saya titipikan kepada Empu Singkir telah lenyap!"
"Ehh?? Apakah Empu Singkir melarikannya?"
Tanya Joko Handoko.
"Tidak,"
Jawab Bromatmojo.
"Malah dia dan dua orang cantriknya kami dapati tewas di rumahnya, dan pusaka itu lenyap tak meninggalkan bekas, tentu dilarikan oleh pembunuh mereka. Dan semua itu adalah karena kelalaian saya yang mempercayakan pusaka itu di sana."
Sambil berkata demikian, Bromatmojo melirik ke arah Sutejo karena kata-katanya itu seolah-olah pengakuan bahwa memang dia lalai dan sembrono.
"Hemm, kami berjanji akan mengerahkan saudara-saudara kami untuk menyelidiki hal itu, Dimas Bromatmojo. Kami akan membantu kalian,"
Kata Joko Handoko.
"Terima kasih,"
Sutejo yang sejak tadi diam saja ikut menjawab.
"Akan tetapi,Andika berdua hendak pergi ke manakah?"
Joko Handoko menarik napas panjang lalu menceritakan.
"Setelah malam tadi Andika berdua pergi, datang seorang anak buah Sriti Kencana yang melaporkan adanya peristiwa yang patut kami selidiki sendiri. Menurut laporan itu, di Pegunungan Kendeng terdapat beberapa orang penyembah Bhatari Durga yang kabarnya banyak memikat para wanita untuk menjadi pengikut mereka. Hal itu sebenarnya bukanlah hal aneh dan tentu kami tidak akan melakukan penyelidikan kalau saja tidak ada laporan bahwa keadaan para pendeta penyembah Bhatari Durga itu, pendeta-pendeta perempuan yang aneh, amat mencurigakan. Selain banyak wanita cantik yang seperti tergila-gila dan berbondong menjadi murid mereka, juga terdapat berita bahwa tiga orang wanita yang tadinya masih gadis, setelah menjadi Anggota selama beberapa bulan, pada suatu hari pulang ke dusun mereka dalam keadaan hamil dan membunuh diri! Nah, itulah sebabnya maka Anggota kami lalu melapor dan karena kabarnya pendeta-pendeta Durga memiliki kesaktian, kami berdua sendirilah yang akan pergi menyelidikinya. Kalau Adimas berdua suka, kami harap Andika berdua ikut menyelidiki ke sana, dan kalau Andika berdua mau, sungguh pertemuan ini merupakan hal yang amat menguntungkan."
Bromatmojo yang ingin cepat menyelidiki tentang keris pusaka Kolonadah yang lenyap, sebetulnya ingin menolak ajakan itu. Akan tetapi dia didahului oleh Sutejo yang berkata.
"Maaf, saya harus cepat-cepat menuju ke Mojopahit, dan karena pusaka Kolonadah juga lenyap, maka saya kira kami tidak bisa dan..."
Terdorong oleh hati yang sedang marah terhadap Sutejo, penolakan Sutejo itu sudah cukup untuk mendorong hati Bromatmojo untuk mengambil sikap yang berlawanan. Kalau tadinya dia sendiri ingin menolak, kini cepat dia berkata.
"Tentu saja aku suka sekali untuk membantu Andika berdua! Gunung Kendeng tidak jauh dari sini, mari kita berangkat sekarang juga!"
Sutejo menerutkan alisnya, memandang kepada Bromatmojo.
"Akan tetapi, Adi Bromatmojo, kalau kita tidak lekas mengejar, tentu pembunuh dan pencuri keris itu akan lari makin jauh."
"Seorang ksatria mendahulukan hal yang terpenting,"
Kata Bromatmojo, sengaja menentang untuk melampiaskan perasaanya yang mengkal terhadap pemuda itu.
"Orang-orang jahat penyembah Bhatari Durga menyebar kemaksiatan dan mengganggu rakyat, hal itu tidak boleh ditunggu lagi dan harus cepat ditanggulangi, sedangkan urusan keris Kolonadah yang dilarikan pencuri, lain hari masih boleh diselidiki dan dicari. Bukankah benar demikian, Diajeng Roro?"
Bromatmojo sengaja bersikap manis kepada puteri itu.
Wajah Roro Kartiko yang kini sudah tidak tertutup kedok itu menjadi merah.
"Andika adalah seorang ksatria utama, dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan yang andika janjikan itu, Kakangmas Bromatmojo."
Hati Sutejo meradang, akan tetapi di depan kakak beradik itu, apa yang dapat dia lakukan kecuali menahan kemarahannya? "Baiklah, mari kita berangkat,"
Katanya singkat sambil menelan kemarahannya terhadap Bromatmojo yang jelas hendak menggunakan kesempatan itu untuk menarik hati puteri jelita itu.
Bromatmojo tentu saja mengerti bahwa temannya itu marah-marah dan mendongkol, akan tetapi karena dia tahu bahwa marahnya itu karena dia berbaik dengan Dyah Roro Kartiko,dia malah makin menjadi dan makin mesra sikapnya terhadap Roro Kartiko untuk menggoda hati Sutejo! Demikian mesra dan terang-terangan dia menggandeng tangan dara itu, sampai Raden Handoko sendiri menyentuh tangan Sutejo dan memberi isyarat dengan matanya ke arah pasangan yang bergandengan tangan itu. Tentu saja Sutejo menjadi makin meradang! Tidak, dia tidak cemburu, dia tidak mempunyai rasa cinta kasih terhadap Roro Kartiko, akan tetapi dia kagum terhadap dara itu dan tidak rela hatinya kalau melihat Roro Kartiko dipermainkan oleh Bromatmojo yang dia tahu adalah seorang "pemuda mata keranjang!"
Apakah yang terjadi di Pegunungan Kendeng? Daerah pegunungan ini selamanya tenteram dan tenang, tanahnya subur, dan hawanya sejuk, tidak pernah terjadi sesuatu yang menggegerkan rakyat yang tinggal di sekitar daerah itu. Akan tetapi sejak beberapa bulan terakhir ini, ramai rakyat membicarakan datangnya seorang nenek yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa! Nenek itu bertubuh tinggi besar dan dia datang entah dari mana tidak ada orang mengetahuinya, seorang nenek yang membawa tongkat panjang yang mula-mula menimbulkan rasa takut di hati orang, akan tetapi tak lama kemudian menjadi seorang yang dipuja-puja seperti seorang dewa yang sakti.
Munculnya nenek itu sudah aneh. Pada suatu sore yang tenteram, beberapa bulan yang lalu, ketika suami isteri Parmono dan Partiwi sedang sibuk menggodok ketela untuk makan malam sambil bercakap-cakap karena mereka adalah pengantin baru yang belum ada sebulan menjadi pengantin, terdengar suara dari luar pondok mereka,suara seperti orang minta dibukai pintu.
"Ihh, siapa yang datang bertamu di waktu surup (senja) begini, sih?"
Partiwi mengomel karena merasa terganggu.
Parmono sedang membelah kayu bakar dengan kapak, maka dia berkata.
"Mungkin seorang tetangga, atau seorang yang datang untuk minta-minta. Keluarlah sebentar,manis."
Sebutan ini menyenangkan hati Partiwi dan dia mau melakukan perintah apa saja kalau suaminya, yang baru dikenalnya kurang dari sebulan itu, menyebutnya seperti itu. Setelah mendorong beberapa kayu baru ke dalam perapian, dia lalu keluar dan membukakan daun pintu depan. Setiap matahari telah terbenam, pintu-pintu depan harus ditutup agar jangan ada "setan masuk"
Ketika daun pintu terbuka, bulu tengkuk meremang di tengkuk pengantin baru itu. Hampir saja dia menutupkan lagi daun pintu dan lari masuk, akan tetapi ketika nenek itu tersenyum memandangnya, dia tidak jadi menutupkan daun pintunya. Kiranya yang berdiri di luar pintunya adalah seorang nenek yang usianya tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan punggung agak bongkok, tangan kiri membawa sebatang tongkat panjang berwarna hitam dan berbentuk tubuh ular, tangan kanannya menyangga sebuah arca yang amat bagus,arca yang ukirannya amat indah membentuk tubuh seorang wanita cantik, arca Bathari Durga!
"Ommm... syanti... syanti... syanti...!"
Nenek itu berdoa dengan suara yang parau dan besar.
"Semoga para dewata memberkahimu, cah ayu. Genduk, bocah ayu,kau tolonglah seorang nenek tua seperti aku, berilah aku sekedar makan dan tempat untuk melewatkan malam ini, dan aku akan berdoa agar Sang Hyang Bhatari Durga memberkahimu dengan seorang putera yang bagus dan mulia."
Wajah yang manis itu seketika menjadi merah padam, akan tetapi tentu saja Partiwi cepat tersenyum dan mempersilakan nenek itu masuk.
"Silakan masuk, Nek. Akan tetapi tempat kami kotor dan kami tidak mempunyai hidangan yang layak."
"Hik-hik! Senyummu telah menerangi semua tempat sehingga nampak indah, dan sinar matamu membuat semua hidangan menjadi lezat, genduk bocah ayu!"
Makin tersipu-sipulah Partiwi oleh pujian ini dan dia menutupkan kembali daun pintu setelah nenek itu memasuki pondoknya yang sederhana.
"Siapa dia, isteriku?"
Tiba-tiba Parmono muncul membawa kapak di tangan dan sepotong kayu bakar di tangan kiri. Ketika dia melihat seorang nenek tua bongkok, dia memandang penuh keheranan.
"Kakang dia ini adalah seorang nenek yang kemalaman di jalan dan minta ikut makan dan bermalam di sini."
"Hemm, kalau saja aku tidak mengganggu, orang muda,"
Nenek itu berkata sambil memandang kepada Parmono. Parmono mendapat kenyataan dengan hati kaget bahwa nenek itu biar pun sudah tua sekali namun sinar matanya tajam dan penuh wibawa!
"Tentu saja tidak, sama sekali tidak!"
Katanya gugup.
"Akan tetapi, kami miskin,tidak punya apa-apa, hanya godokan ketela..."
Nenek itu terkekeh.
"Benarkah, mari kita lihat!"
Katanya.
Suami isteri itu saling pandang, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dan ketiganya lalu kembali ke dalam dapur. Nenek itu tanpa diminta lalu membuka tutup dandang dan melihat bahwa memang benar mereka menggodok ketela, atau lebih tepat mengedang ketela.
"Kenapa tidak menanak nasi?"
Tanyanya.
Suami isteri itu saling pandang.
"Belum waktunya panen padi, Nek, dan kami tidak mempunyai simpanan beras,"
Kata Partiwi.
"Heh-heh, mengapa amat susah? Mari kuberi kau beras, cah ayu,"
Katanya sambil terbongkok-bongkok keluar dari pintu kecil belakang dapur. Suami isteri itu merasa bingung dan dengan bingung mengikutinya. Nenek itu lalu mengambil pasir di luar pondok dan memasukkan pasir itu ke dalam sebuah tumbu (tempat beras dari bambu).
"Nah, kau masaklah beras ini."
Partiwi hendak membantah dengan marah, akan tetapi suaminya menyentuh lengannya dan mengedipkan pandang matanya. Celaka, pikir Partiwi, agaknya nenek ini adalah seorang gila dan suaminya tidak berani membantahnya, khawatir kalau-kalau nenek itu mengamuk. Padahal bukan demikianlah pandangan Parmono. Dia melihat nenek itu datang membawa sebuah arca Bathari Durga yang amat indah, sikapnya pun aneh dan luar biasa sekali pandang matanya, maka timbul kepercayaan di dalam hatinya.
Dengan bersungut-sungut Partiwi mulai menanak "beras"
Itu dan setelah memasukkan pasir itu di atas kuwali dan menggodoknya, nenek itu berkata.
"Genduk bocah ayu, jangan kau buka tutup kuwali itu sebelum berasnya matang, ya?"
Partiwi hanya mengangguk dan nenek itu hanya terkekeh duduk di atas dingklik yang terdapat di dalam dapur. Parmono lalu menanggapnya.
"Kalau boleh kami mengetahui, Nenek ini siapakah dan datang dari manakah?"
"Ha-ha-ha, aku adalah Nyi Durgakelana, orang muda. Sang Hyang Bathari Durga sendiri yang berkenan mengutus aku untuk berkelana di seluruh jagad raya untuk memberi penerangan kepada umat manusia yang sedang dilanda kegelapan. Jangan kalian khawatir, karena kebetulan Sang Hyang Bathari Durga yang memilih kalian untuk menjadi pembantu-pembantuku, maka aku datang malam ini di sini."
Parmono terkejut.
"Tapi..."
Bantahnya.
Pada saat itu terdengar suara tangis riuh rendah dari rumah tangga di sebelah kiri.
"Hemm, mengapa ribut-ribut menangis itu?"
Nenek yang mengaku bernama Nyi Durgakelana bertanya.
Tiba-tiba Parmono mendapat gagasan yang baik.
"Nenek yang baik, kalau memang benar Andika adalah pilihan Sang Hyang Bathari, maka tolonglah keluarga Karyo di sebelah itu. Anaknya sakit keras dan agaknya sudah sukar untuk diobati lagi, maka mereka itu selalu menangis dengan sedih."
"Benar, Nenek yang sakti. Tolonglah mereka."
Partiwi juga membujuk karena dia merasa amat kasihan kepada keluarga yang ditimpa kemalangan itu.
"Heh-heh-heh, apa sih sukarnya? Suruh bawa si sakit ke sini!"
Jawab Nyi Durgakelana.
Tanpa diperintah dua kali, Parmono segera meloncat dan lari ke tetangga di sebelah. Sementara itu, Partiwi mengusap keringat di dahinya dan mengusap sinom (anak rambut) yang melingkar di dahinya. Sejak tadi dia selalu bermain di dekat api, tadi menggodok ketela, kini menanak "beras". Dia tidak tahu bahwa sejak tadi nenek itu memandangnya dengan pandang mata penuh gairah.
"Siapa namamu, cah ayu?"
Tiba-tiba nenek itu bertanya.
"Partiwi, Nek."
"Hemm, namamu bagus sekali, akan tetapi orangnya lebih bagus. Engkau sungguh manis sekali, Partiwi."
Biar pun, yang memujinya hanya seorang wanita tua, namun jantung wanita muda itu berdebar aneh dan mukanya menjadi merah.
"Ke sinilah, genduk cah ayu."
Dengan hati tegang dan agak takut-takut Partiwi mendekat dan nenek itu lalu memegang kedua pipinya yang halus dengan jari-jari tangan kasar, kemudian mengecup dahi yang berkeringat itu.
"Cupp...!!"
"Ah, Nek. Dahiku berkeringat..."
Partiwi cepat menjauhkan diri, jantungnya makin berdebar tidak karuan. Biar pun nenek ini seorang wanita tua, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ada orang mengecup dahinya semesra itu, kecuali suaminya tentu. Akan tetapi itu lain lagi.
"Ke sinilah, genduk cah ayu, aku masih belum puas menikmati kecantikanmu!"
Kata pula nenek itu dengan nada suara yang aneh. Partiwi hendak membantah, akan tetapi sungguh aneh sekali, hatinya tidak kuasa membantah, tidak berani dia menentang dan di luar kehendaknya, kakinya kembali melangkah mendekati nenek itu.
"Heh-heh-heh, kau menjadi muridku yang pertama, engkau menjadi kepercayaanku dan engkau yang akan menjadi bendaharaku, akan tetapi engkau harus mentaati aku dan menjadi kesayanganku, cah ayu."
Berkata demikian, jari-jari tangan yang kasar dan panjang-panjang itu mulai menggerayangi ke seluruh tubuh Partiwi.
Bukan main kagetnya wanita muda itu.
"Ih... Nek...!"
Akan tetapi dia tidak kuasa menolak, apalagi menjauhkan diri sehingga dia hanya memejamkan mata ketika nenek itu memeluk dan menggerayangi dadanya. Akan tetapi nenek itu segera melepaskan pelukannya dan mendorong tubuh Partiwi yang sudah menggigil dan panas dingin itu ke samping ketika terdengar suara dari pintu dapur.
Parmono muncul dan suami ini tidak melihat betapa isterinya yang berjongkok di depan perapian itu menggigil seluruh tubuhnya seperti orang kedinginan dan mukanya pucat, matanya sayu. Suami ini sedang sibuk membantu Pak Karyo menggotong seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun yang sakit dan pingsan,ditangisi oleh ibunya dan saudara-saudaranya yang ikut pula mengantar si sakit ke rumah Parmono karena menurut orang muda itu, dia kedatangan seorang "dukun"
Yang aneh.
Anak kecil yang pingsan itu dibaringkan ke dalam kamar Parmono, di atas balai-balai bambu dan nenek itu lalu menghampirinya. Tiba-tiba tubuh nenek itu mengejang, matanya terbelalak dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya mengejang kaku dengan jari-jari terbuka lebar ditodongkan ke arah si sakit. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari dalam bajunya, membuka mulut si kecil yang pingsan itu dengan paksa dan meludahi mulut itu.
"Ambil batok dan air!"
Bentaknya, suaranya sudah menjadi lain.
Parmono cepat lari mengambilkan air dalam batok kelapa. Nenek itu lalu memasukkan sedikit bubuk hitam dari bungkusan yang diambil dari saku tadi ke dalam air dan dengan bantuan Parmono, dia menuangkan cairan hitam itu ke dalam mulut si anak yang sakit. Kemudian kembali dia dengan kedua lengan mengejang,menggerak-gerakkan jari-jari tangan di atas badan anak itu sampai lama sekali.
"Angger, bangunlah, Angger. Bangunlah!"
Suaranya penuh dengan pengaruh mujijat sehingga mereka yang tadinya duduk pun otomatis bangkit berdiri seolah-olah suara itu ditujukan kepada mereka dan bukan pada Si Anak yang sakit. Dan terjadilah keanehan! Anak itu mengeluh, lalu bangkit duduk! Ibunya menjerit dan menubruk, merangkul dan menangis tersedu-sedu. Anaknya sudah dianggap mati tadi, dan sekarang hidup kembali!
Semenjak peristiwa itu, Nenek Nyi Durgakelana menjadi terkenal sekali. Dia tetap tinggal di pondok Parmono dan makin banyaklah orang yang datang, bukan hanya orang-orang sakit minta diobati, akan tetapi juga nenek ini menerima banyak sekali murid-murid. Dan hebatnya, yang dapat diterima menjadi muridnya hanyalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik yang menjadi "murid kepala"
Adalah Partiwi!
Tidak ada seorang pun tahu, juga Parmono sendiri tidak tahu, apa yang terjadi pada malam itu setelah anak tetangga itu disembuhkan. Parmono hanya tahu bahwa isterinya mendapatkan bahwa "pasir"
Itu berubah menjadi nasi dan malamnya, nenek itu minta agar ditemani oleh Partiwi! Dan Parmono tentu saja tidak berani membantah, bahkan merasa bahagia sekali bahwa isterinya dipilih dan disayangi oleh nenek utusan Sang Bathari Durga itu! Dia tidak tahu apa yang terjadi, hanya semenjak malam itu, isterinya jarang menggaulinya, wajah isterinya agak pucat,matanya sayu dan seringkali isterinya termenung seperti orang bingung. Dia hanya mengira bahwa isterinya tentu telah menjadi murid dan mulai menerima ilmu maka sikapnya berubah aneh!
Di dalam beberapa bulan itu, beberapa kali Sang Nenek aneh ini menerima tamu, yaitu dua orang kakek yang sama anehnya. Akan tetapi dua orang kakek itu hanya bermalam satu malam saja, tidak mau menemui lain orang, hanya bicara dengan Nyi Durgakelana di dalam kamar tanpa ada yang berani mengintai atau mendengar percakapan mereka. Dan kedatangan mereka selalu di waktu bulan purnama, sehabis dusun itu mengadakan pesta persembahan kepada Bathari Durga yang dilakukan dengan meriah dan penuh kegembiraan oleh para murid Nyi Durgakelana. Murid-muridnya sudah banyak sekali, lebih dari dua puluh orang wanita muda yang cantik, yang datang dari berbagai dusun, dan Partiwi tetap menjadi murid kepala dan orang kepercayaan, bahkan wanita ini pula yang memegang segala harta sumbangan yang datang membanjir dari segenap dusun. Bahkan kepala-kepala desa pun tunduk kepada nenek ini dan menganggapnya sebagai seorang keramat yang suci!
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dusun-dusun kita telah menjadi dusun yang suci "murni!"
Demikian antara lain Nyi Durgakelana berkata dalam berbagai "ceramahnya". Dusun-dusun kita telah dipilih Sang Bathari sendiri. Oleh karena itu, janganlah kalian melakukan kejahatan dan taatilah semua permintaan Sang Bathari yang dilakukan melalui mulutku. Apa pun yang dimintanya adalah baik dan jangan menafsirkan dengan akal budi dan pikiran, karena kehendak Sang Bathari tentu saja berlainan dengan kehendak manusia. Semua orang yang melakukan kejahatan, sudah pasti akan dihukum secara langsung di dusun-dusun ini!"
Dan memang benar. Semenjak ada agama baru ini berkembang di dusun-dusun itu,tidak ada lagi maling berani beraksi dan orang merasa takut melakukan kejahatan! Apalagi setelah ada dua orang maling tahu-tahu telah tewas di dalam rumah yang dimalinginya tanpa ada yang tahu apa sebabnya! Dan dua orang laki-laki dan wanita yang melakukan perjinaan di tengah sawah dalam gubug, Si Wanita seorang janda dan Si Pria sudah beristeri, tahu-tahu mati pula di dalam gubuk itu tanpa luka! Tentu saja tidak ada yang menduga bahwa kematian maling-maling dan orang-orang yang bermain cinta haram di gubuk itu terbunuh oleh Nyi Durgakelana yang memiliki kesaktian!
Untuk mencari nama dan pengaruh, pada malam-malam pertama nenek ini selalu menggunakan kepandaiannya untuk meronda di dusun-dusun sekitarnya, bahkan dia berhasil pula mendatangkan "mimpi-mimpi"
Kepada semua kepala dusun sehingga mereka ini ketakutan dan tunduk kepada Si Nenek ajaib! Akan tetapi tidak ada sesuatu yang kekal di dunia ini. Apalagi hal-hal yang sifatnya jahat, bahkan yang baik sekali pun menurut ukuran umum belum tentu selalu lancar dan tidak ada gangguan. Pada malam bulan purnama dua bulan yang lalu, di antara para wanita muda cantik yang menjadi
"Anggota"
Baru dari perkumpulan penyembah Bathari Durga itu, terdapat tiga orang gadis-gadis cantik.
Yang dua orang adalah gadis-gadis dusun yang jujur dan mulus, semulus tubuh mereka. Akan tetapi yang ke tiga sebenarnya adalah seorang Anggota Sriti Kencana yang merasa curiga dan melakukan penyelidikan! Bersama dua orang gadis dusun itu,dia diterima menjadi Anggota baru dan seperti biasa dalam penerimaan Anggota baru, mereka bertiga diberi minum "darah suci"
Dan di dalam keadaan setengah mabok, mereka bertiga lalu diharuskan "bertapa"
Di dalam kamar-kamar tertentu tanpa ada yang boleh mengganggu mereka.
Setelah pesta habis dan bubar, apa yang terjadi? Sungguh amat mengerikan bagi tiga orang gadis itu! Nyi Durgakelana mendatangi mereka diharuskan "bertapa"
Selama tiga hari tiga malam di dalam kamar masing-masing, tidak boleh keluar dan tidak boleh bicara dengan siapa pun juga.
"Ingat, selama tiga hari tiga malam itu mungkin saja kalian menerima ilham dan anugerah dari para dewata dan jangan heran atau terkejut kalau ada dewa datang dari kahyangan untuk menemani kalian karena dengan menjadi Anggota kami, kalian adalah pilihan-pilihan para dewata. Kalian menurutlah saja karena apa pun yang terjadi yang dilakukan oleh para dewa, tentu saja amat baik bagi kalian!"
Demikian pesan nenek itu dan pada malam pertama itu juga, di kamar masing-masing muncullah seorang kakek dalam keremangan penerangan kecil di dalam kamar itu, seorang kakek yang sama sekali tidak bersikap sebagai dewa karena kakek itu merayu mereka dan kemudian memperkosa mereka yang sama sekali tidak berani melawan karena ketakutan! Sampai tiga hari tiga malam tiga orang kakek itu selalu muncul untuk mempermainkan mereka! Pada hari ke empatnya, dua orang gadis dusun itu dinyatakan sebagai murid dan diharuskan tinggal di asrama, sedangkan Anggota Sriti Kencana itu diangkat menjadi pelayan nenek itu, bekerja di sebelah dalam sedangkan dua orang temannya bekerja di sebelah luar.
Dua bulan kemudian, pada suatu malam dua orang gadis manis itu melarikan diri, pulang ke kampung mereka dan tahu-tahu ada berita bahwa mereka itu membunuh diri di rumah mereka dalam keadaan sudah mengandung hampir dua bulan! Anggota Sriti Kencana yang tadinya seperti orang tidak sadar karena selalu diberi minum "darah suci", menjadi terkejut dan cepat dia melarikan diri lalu melaporkan hal yang aneh itu kepada pimpinan Sriti Kencana, yaitu Joko Handoko dan Roro Kartiko yang menjadi marah dan berangkat sendiri untuk melakukan penyelidikan.
Malam itu bulan purnama berser-seri di langit cerah. Di lereng Pegunungan Kendeng, di dusu Kabalan yang kini menjadi dusun yang amat terkenal di seluruh daerah Kendeng karena menjadi dusun pusat agama Durga yang baru itu, lampu-lampu dinyalakan dengan terang sekali dan dari jauh saja sudah terdengar suara gamelan yang mengiringi suara pesinden yang merdu. Gamelan dan pesinden itu sengaja didatangkan dari dusun Kabangan, merupakan gamelan dan pesinden yang paling terkenal dan mahal di seluruh daerah itu dan yang membiayainya adalah seorang hartawan dari dusun Kabangan yang telah menerima berkah dari Sang Hyang Bathari.
Pondok kecil milik Parmono yang dulunya kecil sederhana, kini telah berubah menjadi sebuah rumah besar yang mewah dan di sebelah belakang bangunan itu, yang dulunya hanya merupakan tegalan luas yang ditanami ketela dan jagung, kini telah menjadi sebuah taman di mana terdapat sebuah panggung dari kayu jati yang kokoh kuat dan di tempat inilah diadakan pesta meriah malam itu untuk memuja Sang Bathari Durga seperti biasa setiap bulan, yaitu di waktu bulan purnama menghias langit.
Taman bunga itu penuh dengan orang yang menonton, mereka terdiri dari orang laki-laki perempuan, tua muda yang datang dari dusun-dusun di sekitar Gunung Kendeng. Banyak pula yang membawa Anggota keluarga yang sakit untuk minta berkah dan penyembuhan di malam istemewa itu, yang menurut Nyi Durgakelana, pada malam seperti itu Sang Bathari Durga amat gembira dan welas asih, menolong siapa saja yang minta pertolongannya. Akan tetapi seperti biasa, yang paling banyak mengunjungi tempat itu adalah para wanita, karena agaknya Sang Bathari ini paling suka memberkahi wanita.
Yang tidak mempunyai anak minta agar bisa mempunyai seorang anak yang amat baik dan yang kelak dapat "mendem jero mikul duwur", yang belum menikah minta agar dapat segera bertemu jodoh seorang pria yang amat baik, dan perawan-perawan yang sudah agak terlambat usianya, sudah lewat dari delapan belas tahun dan belum menikah, mereka inilah yang paling prihatin dan tentu akan menurut dan taat biar disuruh apa pun oleh Nyi Durgakelana asal mereka dijamin akan cepat memperoleh jodoh! Biar disuruh menginap dan "bertapa"
Di situ sampai sebulan lamanya pun mereka bersedia. Juga ayah bunda mereka tidak menaruh keberatan. Orang tua manakah yang tidak akan bangga mendengar bahwa anak perawan mereka ada harapan untuk menjadi isteri orang besar? Tidak kurang pula banyaknya para janda yang ingin kawin lagi, dan para pedagang yang ingin dagangannya maju dan laris, pejabat-pejabat yang ingin agar pangkatnya segera mendapat kenaikan. Karena agaknya Sang Bathari Durga ini seolah-olah menuruti keinginan semua orang, dari yang bertingkat rendah sampai yang bertingkat tinggi, maka tidak ada orang yang menentang Nyi Durgakelana.
Agaknya seluruh manusia di dunia ini, tidak ada yang tidak mempunyai keinginan untuk "maju"
Dan untuk mengecap keuntungan dan kesenangan, maka tentu saja sumber pemberi kesenangan seperti Nyi Durgakelana itu memperoleh dukungan orang sejagad!
Mengapa hampir semua manusia di dunia ini condong untuk menyembah sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi, lebih agung, dan lebih berkuasa? Semenjak sejarah berkembang sampai di jaman ultra modern ini, masih tidak ada bedanya. Setiap orang manusia ingin untuk memuja dan menyembah sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi, suci dan berkuasa. Baik sesuatu itu diberi nama dengan sebutan Setan, Dewa, Nabi, Guru dan sebagainya lagi menurut pendidikan lingkungan masing-masing.
Mari kita selidiki mengapa kita ini menyandarkan diri kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada kita? Apakah artinya kalau kita membakar kemenyan dan menyediakan kembang setaman di malam Jumat dan malam Selasa? Apa artinya kalau kita berdoa kepada para Dewa? Apa artinya kalau kita bersujud kepada guru-guru kebatinan yang kita percaya! Apakah yang MENJADI DASAR dari pada semua perbuatan itu?
Kita merasa berdosa! Itukah satu di antara sebab-sebabnya? Kita merasa berdosa dan kita mohon ampun daripada dosa! Dengan lain kata-kata, kita ingin bersih dari dosa, karena dosa itu mendatangkan hukuman kesengsaraan. Atau berarti, kita ingin terbebas dari hukuman! Atau juga berarti, kita ingin terbebas dari kesengsaraan, jadi kita ingin enak, ingin senang, ingin terbebas dari kesengsaraan yang melenyapkan kesenangan.
Jadi jelaslah bahwa kita berdoa kepada sesuatu yang lebih berkuasa karena dorongan ingin hidup senang, baik lahir maupun batin! Kita hanya mau berdoa memuja sesuatu yang KUASA MEMBERI KESENANGAN kepada kita, sebaliknya kita mengutuk sesuatu yang mendatangkan kedukaan kepada kita. Kita selalu mengejar kesenangan, dengan jalan apa pun juga, dengan kekerasan, dengan kelembutan dengan kemunafikan! Kita tidak pernah mau membuka mata melihat betapa semua itu timbul karena perbuatan kita sendiri! Kita tidak pernah mau sadar dan waspada akan kekotoran diri sendiri! Kita mau enaknya saja!
Kita melakukan hal-hal yang menimbulkan kesenangan dan akibat daripada itu,kalau kita sengsara karenanya, kalau kita berdosa karenanya, kita lontarkan semua itu kepada sesuatu yang lebih tinggi untuk minta dibersihkan dan diampuni lagi, agar kita tetap berada dalam kesenangan, kesentausaan, kedamaian dan ketenteraman! Betapa munafiknya kita ini! Demikian pula mengapa tempat pemujaan Sang Hyang Bathari Durga penuh dengan manusia yang meminta-minta.
(Lanjut ke Jilid 17)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
Minta senang tentunya. Kesenangan menurut ukuran masing-masing, menurut keinginan hati masing-masing. Ada yang akan merasa senang kalau penyakitnya sembuh, kalau laku kawin, kalau dagangannya laris, kalau pangkatnya naik, bahkan lebih gila lagi, ada yang merasa senang kalau dapat mencelakakan orang yang dibencinya! Kesenangan memang bermacam-macam karena kesenangan berarti terpenuhinya keinginan hati! Dan untuk memenuhi keinginan hati, yang dikejar-kejar itu, manusia tidak segan melakukan apa pun juga, lupa bahwa segala kesengsaraan hidup, segala permusuhan, segala kebencian dan konflik, semua timbul karena pengejaran itulah!
Bulan purnama terang sekali. Langit bersih tiada awan dan dalam keadaan seperti itu sinar bulan yang murni dan sepenuhnya menyinari bumi menciptakan suasana yang sejuk dan tenteram, dengan sinarnya yang keemasan dan jernih, membuat segala sesuatu nampak cukup terang namun tidak menyilaukan, mendatangkan suasana mujijat kepada setiap benda di permukaan benda yang bermandikan cahaya bulan.
Daun-daun dan kembang-kembang menjadi lebih hidup di dalam keadaan yang tenang, tidak seperti di waktu siang, daun-daun dan kembang-kembang hidup seperti memprotes panasnya sinar matahari dan amukan angin lalu. Kini, semua kelihatan tenang dan tenteram, seolah-olah dunia merupakan tempat yang amat menyenangkan, seperti gambaran sorga loka, bukan merupakan neraka yang lebih terasa di siang hari di mana manusia mengumbar hawa nafsu keinginannya yang jutaan macam itu.
Gamelan pun terdengar lebih indah di waktu malam. Di waktu siang, suara-suara hanya terbatas sekali jarak jangkauannya, ditelan oleh suara lain dan dihembus pergi oleh angin lalu, dikeringkan oleh hawa panas matahari. Akan tetapi di waktu malam, suara dapat bergema sampai jauh. Bahkan dari bawah bukit, dari kaki Pegunungan Kendeng, terdengar suara gamelan itu, lapat-lapat mengandung daya tarik yang amat kuat sehingga banyak pula orang-orang yang tinggal di kaki Pegunungan Kendeng berbondong naik ke lereng gunung untuk menonton keramaian pemujaan Sang Hyang Bathari Durga.
Menurut kepercayaan para penyembah Durga, apalagi karena propaganda dari Nyi Durgakelana, Sang Candra (bulan) sendiri menghormati Sang Hyang Bathari Durga sehingga malam itu muncul sepenuhnya untuk membantu pesta pemujaan itu! Dan pada malam itu kabarnya banyak pula wanita yang ingin masuk menjadi Anggota baru.
Kabarnya tidak kurang dari dua puluh orang wanita muda dan cantik! Para Anggota yang sudah dianggap agak "tinggi"
Tingkatnya, yaitu wanita-wanita yang telah "berkenalan"
Dengan para dewa yang malam-malam di waktu sunyi memberkahi mereka, sudah duduk berjajar, berlutut di atas panggung di sekeliling arca Sang Hyang Bathari yang dikalungi rangkaian bunga dan asap kemenyan mengepul tebal menyiarkan bau yang harum aneh menyeramkan. Nyi Durgakelana sendiri duduk di atas kursi rendah di sebelah kanan arca itu, tersenyum-senyum sehingga wajahnya yang kasar hitam dan buruk itu kelihatan makin menyeramkan,tangan kanannya memegang tongkat hitamnya yang panjang dan bentuknya seperti ular. Nyi Durgakelana sendiri yang kadang-kadang menambah dupa di pedupaan, dan mulutnya selalu berkemak-kemik kalau dia menambah dupa, seolah-olah dia bercakap-cakap dengan arca Sang Hyang Bathari Durga yang kelihatan tersenyum manis itu.
Kini semua penduduk yang memuja Dewi Durga yang berbentuk arca batu itu, sudah berduyun-duyun datang membawa sesajen dan di dalam tumpukan sesajen inilah terdapat banyak benda yang amat berharga. Ada yang memberi buah-buahan dan sayur-mayur,makanan, akan tetapi ada pula yang menyertai kain dan benda-benda berharga seperti perhiasan emas perak dan lain-lain karena menurut ceramah Nyi Durgakelana, makin berharga sesajen di waktu terang bulan itu diserahkan kepada Sang Bathari Durga, makin banyak pula berkah yang dilimpahkannya.
Setelah para pemuja Durga yang sebagian besar terdiri dari kaum wanita itu sudah menaruh sesajen mereka di atas panggung di depan arca itu dan menerima "berkat"
Dari Nyi Durgakelana, mereka mengundurkan diri dan kini naiklah dua puluh orang wanita muda yang ingin masuk menjadi "murid"
Sang Bathari Durga. Akan tetapi tiba-tiba keadaan menjadi geger dengan naiknya seorang laki-laki yang masih muda. Laki-laki ini meloncat ke atas panggung dengan membawa sebatang keris.
"Sang Bathari, kau telah merampas isteriku!"
Bentaknya dan dengan keris di tangan pemuda itu lalu menerjang dan menusukkan kerisnya ke arah dada arca Bathari Durga.
"Takkk!"
Keris itu terpental dan laki-laki itu terdorong ke belakang lalu roboh terjengkang dalam keadaan pingsan! Nyi Durgakelana yang tadi menggerakkan kedua tangan melihat pemuda itu mengamuk, diam-diam telah menggunakan kesaktiannya memukul pemuda itu dari jarak jauh. Ketika pemuda itu terpukul roboh, dia pura-pura kaget dan cepat bangkit berdiri, lalu dengan lemah lembut dia menolong menyadarkan pemuda itu. Pemuda itu mengeluh dan ketika melihat Nyi Durgakelana,dia cepat berlutut.
"Hemm, orang muda, mengapa engkau seperti gila berani kurang ajar terhadap Sang Bathari?"
Nyi Durgakelana membentak marah.
"Ampunkan saya... saya menjadi gelap mata karena... karena sejak isteri saya menjadi murid Sang Bathari, sikapnya terhadap saya menjadi dingin..."
Terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut keterangan suami muda yang dikecewakan oleh isterinya itu dan orang muda itu menjadi makin malu dan akhirnya setelah dia menyembah kepada Nyi Durgakelana, dia lalu meninggalkan panggung dan menyelinap di antara para penonton, diantara sorak dan ejekan.
"Kau lihat pukulan tadi?"
Bromatmojo berbisik kepada Sutejo.
"Sudah kuduga, dia bukan orang sembarangan."
Sutejo yang berada di antara banyak penonton bersama Bromatmojo dan Joko Handoko, mengangguk dan dia melirik ke atas panggung di mana telah berkumpul wanita-wanita muda yang malam itu hendak dilantik menjadi murid-murid baru. Hatinya terasa tidak enak ketika pandang matanya bertemu dengan Roro Kartiko yang juga berlutut di atas panggung, di antara banyak wanita muda itu. Roro Kartiko sengaja memasuki rombongan calon murid-murid baru itu untuk mengungkapkan rahasia apa yang tersembunyi di balik perkumpulan Pemuja Bathari Durga ini. Sedangkan tiga orang temannya melindunginya dari dekat, berada di antara penonton.
Bromatmojo mengerutkan alisnya, hatinya merasa tidak enak sekali akan keselamatan Roro Kartiko. Dia memberi isyarat kepada dua orang temannya dan mereka menyisih keluar, ke tempat yang agak sunyi. Suara gamelan masih ramai sehingga mereka dapat saling berbisik tanpa khawatir didengarkan orang lain.
"Nini, kau sungguh cantik jelita."
Tangan yang merangkul pinggang ramping itu menurun dan mencubit pinggul.
"Dan kau tentu masih perawan, bukan?"
Wajah Sulastri menjadi merah sekali dan kalau saja dia tidak sedang melakukan tugas yang berbahaya dan penting, tentu sudah ditamparnya wanita genit itu. Dia mengangguk.
"Hi-hik, malam ini engkau tentu akan terpilih. Mudah-mudahan saja seorang perawan cantik seperti engkau akan dipilih oleh dewa yang muda dan tampan, dan tidak sampai terpilih oleh dua orang raksasa mengerikan itu."
"Raksasa? Apa maksudmu?"
Sulastri bertanya kaget.
"Hi-hik, engkau tidak tahu, bukan? Di antara para dewata memang terdapat mereka yang wajahnya seperti raksasa. Pagi tadi sudah muncul dua orang. Tuh di kamar sebelah kiri. Mereka sedang makan minum. Siang tadi mereka kenyang mengganyang daging domba dan malam ini tentu akan menikmati perawan-perawan yang terpilih. Mudah-mudahan bukan engkau. Mereka itu memang dewa, akan tetapi... uhh, mengerikan."
Wanita itu lalu melepaskan rangkulannya dan menuding ke arah sebuah kamar besar.
"Nah, itulah kamar Nyi Durgakelana."
Bergegas dia pergi meninggalkan Sulastri, agaknya ngeri mengingat akan dua raksasa yang diceritakannya tadi.
Sulastri berdiri termangu-mangu. Dia merasa heran dan juga curiga. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah ini. Suasana sunyi sekali, dan benar dugaannya bahwa semua orang tentu sibuk di luar, di panggung yang ramai karena sedang diadakan upacara pemujaan dan pemilihan murid-murid baru sehingga rumah itu sunyi.
Sulastri mendengar suara orang laki-laki bicara dan tertawa dia dalam kamar yang ditunjukkan oleh wanita setengah tua tadi sebagai kamar yang didiami oleh dua orang "raksasa". Karena merasa heran dan curiga, dia lalu berindap menghampiri kamar besar itu, mempergunakan kepandaiannya sehingga dia dapat mengintai ke dalam melalui celah-celah pintu tanpa menimbulkan suara apa-apa.
Apa yang tampak olehnya di dalam kamar itu membuat Sulastri terperanjat sekali. Dia melihat dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar sedang duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap dan tertawa. Di sudut kamar itu terdapat dua buah pembaringan dan dua orang kakek raksasa itu duduk seenaknya dengan mengangkat sebelah kaki ke atas bangku. Benarkah mereka ini adalah sebangsa dewa? Sulastri tidak percaya. Andaikata benar mereka itu bukan manusia, mereka ini tentulah sebangsa iblis jahat, sama sekali tidak pantas kalau menjadi dewa!
"Hemm, kenapa lama amat?"
Seorang di antara mereka yang hidungnya besar berkata, suaranya jelas membayangkan ketidaksabaran.
"Ha-ha-ha, Adi Warak, agaknya kau sudah tidak sabar menanti lagi. Ha-ha-ha, tenanglah mereka sedang sibuk bersembahyang. Nanti kita tentu akan berpesta pora. Ha-ha, betapa akan senangnya. Durgakelana telah menjanjikan kepada kita masing-masing menerima dua orang perawan!"
"Kakang Sarpo, engkau sebagai seorang saudara tua harus mengalah dan membiarkan aku memilih lebih dulu nanti,"
Kata orang ke dua yang hidungnya besar itu. Orang pertama yang matanya lebar tertawa.
"Ha-ha-ha, apa sih bedanya bagiku? Mereka tentu perawan-perawan yang muda dan mulus-mulus. Durgakelana tidak begitu tolol untuk memilih perawan yang buruk. Ha-ha, sekali ini dia pegang janji dapat menyenangkan kita."
"Tentu saja, dia tentu belum lupa ketika kita menyelamatkan dia dari tangan-tangan musuh-musuhnya ketika dia dikeroyok di pantai Madura itu."
Cukuplah bagi Sulastri mendengar percakapan itu. Dadanya terasa panas dan ingin dia membobol pintu dan menghajar dua orang raksasa itu. Mereka ini sama sekali bukanlah iblis, apalagi dewa, melainkan dua orang laki-laki yang jahat dan berbatin kotor. Dan mereka ini adalah sahabat-sahabat Nenek Durgakelana yang agaknya hendak menghidangkan murid-murid wanita yang baru itu kepada dua orang raksasa ini! Keparat jahanam! Sulastri marah bukan main. Pantas saja menurut cerita Joko Handoko yang mendengar dari anak buah Sriti Kencana, banyak gadis yang membunuh diri karena mengandung. Kiranya terjadi kekotoran macam ini! Perawan-perawan yang terjebak menjadi murid Sang Bathari Durga, ternyata oleh Nyi Durgakelana disajikan kepada pria-pria jahat yang menjadi sahabatnya. Dengan hati panas sekali Sulastri lalu berindap menghampiri kamar Nyi Durgakelana.
Setelah mengintai dan mendapat kenyataan bahwa kamar yang amat mewah itu kosong,dia lalu membuka pintunya dan menyelinap masuk. Heran dan kagumlah dia melihat isi kamar yang serba lengkap dan serba indah, seperti kamar seorang pembesar berkedudukan tinggi yang kaya raya saja. Bahkan tidak kalah indah dan lengkapnya dibandingkan dengan kamar Joko Handoko dan Roro Kartiko, kedua orang putera-puteri Bupati Tuban itu!
Sementara itu, Sutejo dan Joko Handoko yang menyelinap di antara para penonton, melihat pertunjukan yang amat hebat dan meriah. Dengan sikap seperti seorang dukun sakti, Nyi Durgakelana membaca mantera-mantera sambil memimpin para murid wanita untuk memuja dan menyembah arca Bathari Durga. Asap kemenyan yang mengepul tebal, dan suara doa yang menyeramkan itu seolah-olah menyihir semua orang di situ. Bahkan Sutejo seperti melihat betapa arca batu itu seperti berkedip-kedip kepadanya dan mengulum senyum! Akan tetapi dia cepat menekan batinnya dan arca itu kembali seperti batu biasa, hanya ukirannya memang amat halus, tanda bahwa pembuat arca itu seorang ahli yang pandai.
Dari tempat duduknya yang agak tinggi, Nyi Durgakelana tadi sudah melirik-lirik dan pandang matanya yang tajam sudah memilih-milih, dan segera pandang matanya tertarik sekali kepada kecantikan Roro Kartiko yang memang luar biasa dan amat menonjol di antara kecantikan perawan-perawan dusun itu. Kulitnya yang putih kuning, matanya yang seperti bintang, bulu matanya yang melengkung ke atas,wajahnya yang mengandung keagungan telah memikat hati Nyi Durgakelana. Kemudian, pandang matanya kembali mencari-cari dan dia sudah memilih empat orang wanita muda lainnya di samping Roro Kartiko, yang dianggapnya tepat untuk menjadi murid-murid baru malam itu.
Perayaan itu memuncak dengan diadakannya tari-tarian oleh para murid Sang Bathari, yang menari dalam keadaan mabok sehingga tari-tarian mereka itu lebih berani dan menggairahkan. Kemudian, lewat tengah malam, seperti biasa setiap malam bulan purnama, Nyi Durgakelana "kesurupan"
Oleh Sang Bathari Durga sendiri.
Tiba-tiba saja nenek ini roboh kemudian mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang, lalu dia meloncat bangun, tongkat hitamnya diputar cepat sampai berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menutupi tubuhnya. Melihat gerakan ini, Sutejo terkejut karena dia mengenal gerakan yang mengandung kesaktian.
Gerakan tongkat itu makin melambat dan akhirnya nenek itu menggunakan tongkatnya untuk menuding. Yang pertama dituding adalah Roro Kartiko, kemudian empat orang perawan lain yang memang diam-diam sudah dipilihnya tadi. Para anak muridnya cepat maju dan mengangkat bangun Roro Kartiko dan empat orang gadis itu, diiringi sorak-sorai para anak murid yang lama dan juga para penonton ikut bersorak. Keluarga empat orang gadis itu tertawa bangga sekali, hanya Roro Kartiko yang tersenyum seorang diri karena pancingannya berhasil. Dia melirik dan melihat Sutejo dan kakaknya, Joko Handoko tidak jauh dari panggung. Akan tetapi dia mengerutkan alis ketika tidak melihat adanya Bromatmojo. Ke manakah perginya pemuda itu, pikirnya.
Dengan suara tinggi melengking, seperti suara yang datangnya dari angkasa, Nyi Durgakelana lalu memerintahkan murid-muridnya untuk memberi minum "darah suci"
Kepada lima orang gadis yang dipilih sendiri oleh Sang Bathari itu! Tentu saja Roro Kartiko tidak akan sudi minum apa yang dinamakan darah suci itu kalau memang minuman itu benar-benar darah, akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang berada di cawan itu dan yang dinamakan darah itu sebenarnya hanyalah minuman tuwak yang diberi warna merah, maka untuk tidak menimbulkan kecurigaan, dia meminumnya seperti yang dilakukan oleh empat orang gadis lainnya. Kemudian dia dan empat orang itu disuruh berlutut menyembah arca Bathari Durga, kemudian menyembah Nyi Durgakelana dan dituntun oleh murid-murid lain memasuki rumah.
Upacara itu pun selesai dan semua penonton bubaran, juga keluarga empat orang perawan yang pulang dengan hati girang karena anak gadis mereka terpilih sebagai murid Sang Bathari dan tentu hal ini akan mendatangkan berkah berlimpah-limpah!
Sunyi sekali malam itu. Lima orang perawan itu dihadapkan kepada Nyi Durgakelana yang sudah duduk di atas kursi dalam sebuah ruangan besar. Lalu nenek ini memberi isyarat kepada para murid lain agar mereka itu mundur karena dia ingin memberi "wejangan"
Kepada murid-murid baru ini.
"Kalian pandang aku baik-baik dan dengarkan semua pesanku, Nini,"
Nyi Durgakelana mulai dan lima orang gadis itu semua mengangkat muka memandang. Roro Kartiko terkejut bukan main ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang tajam luar biasa, seperti mata kucing, pandang mata yang seperti menembus jantungnya dan mencengkeram atau melekat pada nenek itu!
"Engkau, Nini, engkau ikut bertapa bersamaku di dalam kamarku dan kalau malam nanti terjadi apa pun, jangan engkau kaget atau menolak. Mungkin sekali ada dewa yang akan datang melantikmu dan kalau kau menolak atau melawan tentu engkau akan kena kutuknya dan akan celaka. Sebaliknya kalau engkau menurut, maka engkau akan memperoleh berkah berlimpah-limpah. Dan kalian berempat harus bertapa dalam sebuah kamar besar bersama-sama. Juga kalian jangan sekali-kali melawan atau menolak kalau ada para dewata datang mengunjungi kalian. Mengertikah?"
Empat orang gadis itu menyembah dan mengangguk dan Roro Kartiko merasa heran dan terkejut sekali karena dia merasa bahwa di luar kehendaknya, dia pun mengangguk! Kemudian, dengan lemas dia merasa tangannya dipegang dan digandeng, lalu diajak bangkit berdiri oleh nenek yang pakaiannya berbau apak itu! Empat orang gadis itu pun disuruh bangkit, kemudian mereka disuruh memasuki sebuah kamar besar yang dibuka sendiri oleh Nyi Durgakelana. Mereka memasuki kamar itu seperti boneka-boneka hidup, tidak tahu bahwa sudah ada dua orang kakek raksasa yang telah menanti mereka dengan air liur membasahi bibir. Sambil tersenyum Nyi Durgakelana berkata.
"Terimalah tanda persahabatanku, sahabat-sahabatku!"
Dia lalu menutupkan pintu kamar itu dan menggandeng tangan Roro Kartiko.
"Nini, siapakah namamu, cah ayu?"
Dengan suara gemetar Roro Kartiko menjawab.
"Nama saya Kartiko..."
"Bintang! Sungguh hebat, memang kau cantik dan cemerlang seperti bintang di langit! Marilah, manis."
Roro Kartiko terkejut sekali mendengar ucapan itu dan menyaksikan perubahan sikap nenek ini, akan tetapi anehnya agaknya tubuhnya tidak mau menurut kata-kata hatinya dan dia seperti bergerak sendiri mengikuti nenek itu yang menggandeng tangannya memasuki sebuah kamar yang amat indah.
Sulastri yang kini telah mengenakan kembali pakaian pria dan yang bersembunyi di balik lemari besar sambil mengintai, tentu saja memandang dengan jantung berdebar ketika melihat Nyi Durgakelana memasuki kamar itu sambil menggandeng tangan Roro Kartiko. Penerangan di dalam kamar besar itu cukup terang dan melihat betapa Roro Kartiko melangkah masuk seperti boneka berjalan. Sinar mata dara itu memandang jauh, tak pernah berkedip, mulutnya setengah terbuka dan wajahnya membayangkan keheranan besar, akan tetapi agaknya dia menurut saja dibimbing masuk oleh nenek itu.
Nenek Nyi Durgakelana lalu duduk di atas tepi pembaringan dan menarik gadis itu duduk pula di sebelahnya, kemudian dia berkata.
"Nini Kartiko, cah ayu. Engkau telah dipilih oleh Sang Bathari dan mulai sekarang engkau berhak memasuki alam kahyangan, akan tetapi engkau harus menyucikan diri lahir batin. Untuk menyucikan jasmanimu, engkau harus kumandikan dengan air suci."
Dia bangkit dan mengambil sebuah tempayan yang penuh air dengan ada kembang mawar di dalamnya, membawanya ke dekat pembaringan.
"Nah, tanggalkan semua pakaianmu, Nini."
Bromatmojo melihat dan mendengar semua itu dengan mata terbelalak. Dia melihat betapa Roro Kartiko mengerutkan alisnya, wajahnya jelas membayangkan penolakan atas permintaan itu, akan tetapi anehnya, kedua tangan dara itu melepaskan kemben yang melilit dadanya yang membusung padat. Roro Kartiko mulai menanggalkan pakaiannya!
Karena dia sendiri adalah seorang wanita, tadinya Bromatmojo tentu akan mendiamkannya saja, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya karena bukankah Nyi Durgakelana itu pun hanya seorang nenek wanita tua? Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika kemben yang melilit dada Roro Kartiko itu mulai terlepas dan sebagian dari buah dada yang indah bentuknya itu kelihatan, tiba-tiba saja tangan Nyi Durgakelana bergerak menyentuh ke arah dada itu!
"Cah ayu... engkau benar-benar cantik jelita... manis menggairahkan... ah, aku tidak akan perdulikan perempuan-perempuan yang lain setelah memperoleh dirimu, manis..."
Dan nenek itu dengan cepat menanggalkan jubahnya. Baru tahulah Bromatmojo bahwa nenek itu sebenarnya adalah seorang pria karena dadanya rata dan tenggorokannya yang biasanya tertutup leher jubah lebar itu nampak ada kalamenjingnya!
"Keparat jahanam!"
Bromatmojo membentak dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari balik lemari dan langsung saja dia menerjang kakek yang menyamar sebagai nenek itu dengan marah sekali.
"Bressss!! Bromatmojo yang marah sekali itu menyerang dengan aji kesaktian Hasto Bairowo, hebatnya bukan kepalang sehingga biar pun kakek itu sudah menangkisnya, tetap saja dia terlempar dan terbanting roboh sehingga kakek itu terkejut sekali.
Selain terkejut, kakek itu pun marah bukan main karena ada seorang pemuda berani bersembunyi di dalam kamarnya dan selain menentangnya, juga rahasianya telah diketahui orang. Dengan menggereng seperti seekor harimau marah, dia lalu menyambar tongkat hitamnya yang panjang dan menerjang Bromatmojo tanpa bicara lagi. Rahasianya sebagai pria telah diketahui pemuda ini, maka dia harus dapat cepat membunuhnya, hanya inilah isi hatinya.
"Wuuuutttt....! Brakkk!"
Bromatmojo maklum akan kehebatan tongkat itu maka dia sudah cepat menggunakan kegesitan tubuhnya mengelak dan tongkat itu menghantam lemari di belakangnya sampai hancur berantakan! Sementara itu, seperti baru terbangun dari tidur nyenyak, Roro Kartiko kelihatan terkejut dan setengah menjerit menutupi dada dengan tangan, lalu tergesa-gesa membereskan kembennya lagi, wajahnya merah dan kedua matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Jahanam busuk!"
Bentaknya setelah pakaiannya beres dan dia sudah menyambar sebuah bangku untuk menyerang Durgakelana dengan dahsyat.
"Brakkk!!"
Bangku itu pecah berhamburan ketika ditangkis oleh tongkat di tangan Durgakelana dan tubuh Roro Kartiko agak terhuyung ke belakang.
"Desssss....!!"
Ketika Durgakelana menangkis serangan Roro Kartiko tadi,Bromatmojo mempergunakan kesempatan itu untuk menampar dengan telapak tangannya yang ampuh. Durgakelana terkejut dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya kena tamparan ampuh dan dia terlempar dan terbanting jatuh.
"Ahhhh...!!"
Dia terkejut bukan main. Baru tahu dia sekarang bahwa memang pemuda dan gadis ini agaknya sengaja memancingnya. Dara cantik jelita itu tentu bukan sembarangan hendak menjadi murid Bathari Durga, melainkan sengaja memancing karena ternyata dara iu bukan orang lemah melainkan seorang yang sudah menyelundup masuk. Celaka, pikirnya dan dia lalu meloncat ke luar dari dalam kamar itu.
"Keparat busuk hendak lari ke mana kau?"
Bromatmojo membentak dan bersama Roro Kartiko dia meloncat keluar untuk mengejar.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika mereka tiba di luar kamar, ternyata di ruangan tengah juga sedang terjadi pertempuran hebat. Sutejo dan Joko Handoko sedang menyerang dan mendesak dua orang kakek raksasa dan beberapa kali dua orang kakek itu terbanting jatuh lalu bangkit kembali dan melawan mati-matian.
"Kakang Durgakelana, tolong...!"
Seorang di antara dua raksasa itu, yang didesak oleh pukulan-pukulan sakti dari Sutejo, tiba-tiba berteriak ketika dia melihat Durgakelana. Akan tetapi, tentu saja kakek cabul ini sendiri tidak mampu membantu mereka karena dia sendiri pun segera diterjang oleh Bromatmojo yang dibantu oleh Roro Kartiko.
Kiranya Sutejo dan Joko Handoko tadi pun segera menyelinap ke dalam rumah gedung itu ketika pesta berakhir dan lima orang gadis itu dibawa ke dalam. Dan karena dua orang raksasa itu berbeda caranya menguasai korbannya dengan Durgakelana yang menggunakan kekuatan sihir, yaitu hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dua orang pemuda itu segera mendengar jerit ketakutan di antara suara gelak tawa mereka. Dan ketika dua orang pemuda itu mengintai dan melihat betapa empat orang gadis itu dipermainkan oleh dua orang kakek raksasa, tentu saja mereka tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi dan sekali tendang, pintu kamar itu jebol dan menyeret keluar dua orang raksasa itu untuk dihajar di luar kamar!
Pertandingan yang berlangsung di ruangan itu hebat sekali, akan tetapi jelas bahwa fihak Durgakelana dan dua orang temannya terdesak hebat. Beberapa kali mereka bertiga terbanting roboh dan mereka hanya melakukan perlawanan untuk membela diri saja, sama sekali tidak mampu balas menyerang lagi. Sebetulnya, kepandaian Dugakelana cukup tinggi, akan tetapi dia tidak tahan menghadapi ilmu-ilmu kesaktian Bromatmojo. Demikian pula dua orang raksasa itu memiliki kedigdayaan yang cukup hebat dan kiranya kalau hanya sendirian saja, Joko Handoko dan Roro Kartiko tentu tidak akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi dengan adanya Sutejo, maka dua orang raksasa itu pun menemukan lawan yang terlalu berat sehingga mereka jatuh bangun.
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo