Kemelut Di Majapahit 17
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Kakang Tejo, kita basmi saja iblis-iblis ini!"
Bromatmojo berseru. Dia sudah amat marah kepada Durgakelana dan dia tahu bahwa Sutejo adalah seorang pemuda yang agaknya berpantang membunuh dan merasa khawatir kalau-kalau Sutejo akan membebaskan mereka itu.
Sebelum Sutejo menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan dari luar rumah dan terdengar suara yang nyaring.
"Tahan dulu! Jangan berkelahi!"
"Plak-plakk!"
Dua kali bayangan itu berkelebat cepat dan menangkis pukulan Bromatmojo yang ditujukan ke arah kepala Durgakelana dan tamparan Sutejo yang menyerang dua orang raksasa. Bromatmojo dan Sutejo merasa betapa lengan mereka bertemu dengan tangan yang amat kuat, yang mengandung tenaga ampuh. Keduanya terkejut dan siap, memandang dengan penuh perhatian.
"Bapa Guru!"
Joko Handoko dan Roro Kartiko berseru kaget ketika melihat orang yang datang itu bukan lain adalah Resi Harimurti, guru mereka sendiri. Sementara itu, ketika mereka tidak lagi diserang oleh orang-orang muda yang sakti itu, Durgakelana dan dua orang raksasa cepat meloncat keluar dan melarikan diri.
"Kejar...!!"
Bromatmojo berteriak akan tetapi Resi Harimurti sudah menghadang di pintu.
"Tahan...!"
Harimurti membentak.
"Joko dan Roro, kalian tidak boleh kurang ajar!"
"Akan tetapi, Bapa Guru, mereka adalah orang-orang jahat!"
Joko Handoko membantah.
"Hemm, kita sama sekali tidak boleh mencampuri urusan agama golongan lain, apalagi menghina mereka. Kalau Nyi Durgakelana hendak mengembangkan agama menyembah Sang Bathari Durga dan menerima murid-muridnya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita dan kita tidak boleh mengganggunya."
"Bapa Guru, yang menyebut diri Nyi Durgakelana itu sesungguhnya adalah seorang kakek cabul dan jahat! Dia memikat para wanita muda yang dikatakan hendak menjadi murid Sang Bathari Durga, padahal wanita-wanita itu menjadi korban kebiadabannya bersama dua orang kawannya tadi! Apakah melihat hal seperti itu kami harus diam saja?"
Roro Kartiko membantah dengan suara penasaran.
Resi Harimurti kelihatan terkejut sekali.
"Ahh... benarkah itu? Apakah itu bukan fitnah saja?"
Roro Kartiko yang diam-diam merasa benci kepada gurunya ini karena kakek ini pun pernah bersikap kurang ajar dan tidak semestinya terhadap dirinya, menjadi marah.
"Bapa Guru tidak percaya kepada saya? Saya sendiri yang membuktikan dengan masuk menjadi murid, dan hampir saja saya menjadi korban kebiadababan Kakek Durgakelana itu!"
"Kakang Tejo, mari kita kejar mereka. Mereka tentu belum lari jauh!"
Bromatmojo berseru.
"Ah, kalau begitu, sungguh mereka harus dihukum dan biar aku sendiri yang akan menghukum mereka!"
Resi Harimurti berseru dan dia lalu melompat keluar dan melakukan pengejaran.
Kalau saja di situ tidak ada Joko Handoko dan Roro Kartiko, tentu Bromatmojo dan Sutejo sudah melakukan pengejaran karena mereka tidak percaya kepada Resi Harimurti. Akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau harus menentang Resi itu di depan orang muda yang menjadi murid Resi itu. Roro Kartiko mengepal tinjunya. Dia pun tidak percaya kepada gurunya sendiri,akan tetapi merasa tidak enak kalau harus memusuhi gurunya.
"Biarkan Bapa Guru berurusan dengan mereka. Kita basmi tempat ini dan menolong wanita-wanita itu,"
Katanya.
Ternyata banyak wanita muda yang dikeram di tempat itu, ada yang seperti sudah tidak waras ingatannya, ada yang menangis menyesali nasib akan tetapi ada pula yang sudah menerima nasib karena tidak berdaya melawan Nyi Durgakelana. Ketika empat orang muda itu mengumpulkan para wanita itu, tiba-tiba muncul Parmono dan Partiwi dan suami isteri ini langsung berlutut dan menyembah empat orang muda perkasa itu. Tentu saja kini Parmono telah tahu siapa adanya "Nyi"
Durgakelana itu dan tahu pula bahwa sebagai "murid kepala"
Isterinya telah dijadikan kekasih kakek yang menyamar wanita itu. Akan tetapi dia tidak berani berkata apa-apa karena maklum akan kesaktian kakek itu dan pula, bukankah mereka kini memiliki rumah yang besar dan menjadi kaya raya?
"Raden, harap sudi mengampuni kami yang tidak tahu apa-apa, yang hanya diperalat oleh Nyi Durgakelana..."
Parmono meratap.
"Hemm, siapa kalian?"
Bromatmojo bertanya sambil memandang tajam.
"Mereka ini adalah suami isteri yang memiliki pondok ini dan diangkat menjadi murid-murid kepala dan pembantu dari Durgakelana,"
Kata seorang di antara wanita-wanita yang kini telah berkumpul di situ.
"Ampun, kami ditipu... kami tidak berdaya..."
Partiwi berkata sambil menangis.
"Beberapa bulan yang lalu, dia datang dan mengobati orang-orang sakit... kami diangkat menjadi murid dan pembantu..."
"Sudahlah,"
Roro Kartiko berkata.
"Kalian semua hanyalah orang-orang bodoh dan tahyul yang menjadi korban penipuan keparat itu. Sekarang kalian keluarkan semua harta kekayaan dari kakek jahanam itu dan kumpulkan di sini!"
Parmono dan Partiwi cepat melakukan perintah ini. Kemudian, harta itu dibagi-bagi di antara mereka semua.
"Sekarang kalian semua boleh pulang ke dusun masing-masing dan bagian harta itu adalah milik kalian. Nah, pergilah sekarang juga karena kami mau basmi tempat terkutuk ini,"
Kata Roro Kartiko.
Para wanita itu menyembah dan menghaturkan terima kasih. Juga Parmono dan Partiwi yang mendapatkan bagian pula, tidak berani membantah dan mereka berdua lalu pergi dari tempat itu untuk memulai hidup baru di tempat lain dengan modal pembagian harta yang mereka terima.
Menjelang pagi, nampak api berkobar menjulang tinggi ketika empat orang muda perkasa itu membakar rumah yang tadinya menjadi sarang kemaksiatan itu. Empat orang muda itu tidak melihat betapa di tempat gelap terdapat seorang kakek yang memandang semua itu dengan tangan dikepal dan muka marah. Kakek ini adalah Resi Harimurti! Sebenarnya Durgakelana adalah seorang teman dari Sang Resi ini dan sudah beberapa kali Resi Harimurti berkunjung ke tempat temannya itu di waktu malam terang bulan dan sudah beberapa kali Kakek Pendeta yang berbatin kotor ini disuguhi pula "murid"
Baru dari Durgakelana. Malam itu Harimurti datang untuk mengharapkan bagian murid baru pula dan secara kebetulan saja dia dapat menyelamatkan Durgakelana dan dua orang raksasa yang menjadi sahabatnya. Setelah melakukan pengejaran, dia menasihatkan kepada Durgakelana yang sudah terbuka rahasianya itu untuk pergi sejauh mungkin, kemudian dia kembali dan melihat tempat yang merupakan tempat hiburan amat menyenangkan baginya itu dibakar oleh dua orang muridnya dan dua orang pemuda tampan yang sakti itu. Hatinya panas dan marah, akan tetapi tentu saja dia tidak berani sembarangan membela Durgakelana yang sudah terbuka kedoknya itu.
Hemm, Bupati Progodigdoyo sedang berada di kota raja, pikirnya. Dan dua orang anaknya, yang menjadi murid-muridnya, telah berkawan dengan dua orang muda yang mencurigakan. Dia harus cepat pergi ke kota raja dan memberitahukan hal itu kepada Progodigdoyo. Kalau dia sendiri yang turun tangan terhadap dua orang muridnya, sungguh tidak baik. Tentu Bupati Tuban itu akan dapat mengendalikan dua orang pemuda yang hendak mengacau di Tuban. Maka pergilah Resi Harimurti, meninggalkan Tuban pada pagi hari itu juga.
Sementara itu, dengan berpakaian sebagai Sriti Kencana, Roro Kartiko dan kakaknya, Joko Handoko lalu mendatangi para lurah di dusun-dusun sekitar tempat itu untuk memperingatkan mereka agar jangan mudah tertipu dan terbujuk oleh penjahat-penjahat seperti Durgakelana yang menyamar sebagai nenek itu. Mereka berdua ditemani oleh Sutejo dan Bromatmojo yang memakai pakaian anggauta Sriti Kencana. Para lurah itu sudah mendengar akan pembasmian tempat maksiat itu,mendengar bahwa wanita itu sebenarnya tertipu dan bahwa Durgakelana adalah seorang kakek cabul, tentu saja merasa terkejut dan menghaturkan terima kasih kepada empat orang Sriti Kencana. Semenjak itu, makin terkenallah nama Sriti Kencana yang ditakuti oleh para pejabat dan penjahat, yaitu para pejabat yang bersikap sewenang-wenang dan menindas rakyat dan para pejabat yang ketenteraman hidup rakyat.
Hari telah siang ketika mereka akhirnya menyelesaikan tugas mereka itu dan ketika Bromatmojo dan Sutejo menyatakan hendak melanjutkan perjalanan ke Mojopahit, Roro Kartiko dan kakaknya mengantar mereka sampai ke perbatasan Tuban. Kelihatan berat sekali bagi Roro Kartiko untuk berpisah dengan dua orang pemuda itu.
"Sudah cukup sampai di sini saja Andika berdua mengantar kami, Dimas Joko dan Diajeng Roro Kartiko,"
Kata Sutejo.
"Benar, sudah cukup jauh. Terima kasih atas kebaikan kalian dan mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali,"
Kata Bromatmojo.
Roro Kartiko mengangkat mukanya dan memandang wajah Bromatmojo.
"Benarkah kita akan dapat saling bertemu kembali? Kapan dan di mana? Apakah Andika berdua sudi berkunjung ke Tuban dan tidak melupakan kami?"
"Kalau sudah selesai semua urusan kami, dan kalau sekali waktu kami lewat Tuban,pasti kami tidak akan lupa untuk singgah,"
Kata Sutejo.
"Ah, siapa dapat melupakan seorang seperti engkau, Diajeng Roro Kartiko? Sampai mati pun aku tidak akan dapat melupakanmu. Akan tetapi, ada waktunya bertemu tentu ada saatnya berpisah, dan sekarang kami berdua harus cepat melanjutkan perjalanan. Selamat tinggal dan selamat berpisah!"
Bromatmojo melambaikan tangan dan berjalan pergi dari situ bersama Sutejo.
Kakak beradik itu memandang dan tiba-tiba terdengar suara Kartiko.
"Kakangmas Bromatmojo... aku menanti kunjunganmu...!"
Bromatmojo hanya menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan, tidak menjawab,namun senyumnya yang manis sudah cukup bagi Roro Kartiko karena senyum itu terukir di dalam hatinya. Setelah dua orang itu lenyap di tikungan jalan, Joko Handoko menarik napas panjang.
"Sungguh hebat mereka itu... dan aku tidak menyalahkan engkau kalau hatimu tertarik dan jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Dimas Bromatmojo itu..., akan tetapi aku lebih kagum kepada Dimas Sutejo yang pendiam. Dia benar-benar seorang ksatria yang gagah perkasa."
Roro Kartiko tidak menjawab, hanya menunduk dengan muka berubah merah. Akhirnya dia berkata tanpa menyinggung dua orang pemuda itu.
"Aku curiga sekali kepada Bapa Guru, agaknya ada apa-apa antara dia dan kakek jahanam Durgakelana itu."
Joko Handoko mengangguk-angguk.
"Aku pun berpikir demikian, akan tetapi kita harus waspada dan mengerahkan teman-teman kita untuk melakukan penyelidikan,jangan sampai kakek jahanam itu mengulangi perbuatannya di wilayah Tuban."
Kakak beradik ini lalu kembali ke Tuban sambil membicarakan ayah mereka yang sudah agak lama meninggalkan Tuban dan pergi ke kota Raja Mojopahit. Memang agak sudah lama Bupati Progodigdoyo pergi ke Mojopahit. Biasanya, kalau Bupati ini bepergian ke Mojopahit, dalam waktu seminggu dia tentu sudah pulang ke Tuban. Akan tetapi sekarang, sudah hampir tiga minggu dia pergi dan belum juga pulang.
Seperti biasa, setelah menghadap Sang Prabu untuk melaporkan keadaan Tuban yang aman dan makmur seperti yang selalu keluar dari mulut para bupati kalau melaporkan daerah yang dikuasainya kepada atasan, Progodigdoyo lalu pergi mengunjungi Resi Mahapati. Memang sesungguhnya inilah yang menjadi inti kunjungannya ke Mojopahit. Kalau dia menghadap Sang Prabu untuk menghaturkan sembah bakti dan melaporkan keadaan wilayah Tuban, itu hanya untuk basa-basi belaka, akan tetapi sesungguhnya dia ingin menghadap Resi Mahapati dan seperti biasa mengadakan perundingan dengan orang yang dianggap sebagai pemimpinnya ini.
Ada suatu hal lain yang makin menarik hati Progodigdoyo untuk berkunjung sesering dan selama mungkin di istana Resi Mahapati, yaitu Lestari! Pada kunjungannya yang terakhir, pada suatu kesempatan ketika Resi Mahapati sedang tidur siang, tiba-tiba saja Lestari mengunjungi dia yang sedang duduk di ruangan belakang. Begitu bertemu berduaan, Lestari lalu menangis sehingga hal ini amat mengejutkan dan mengherankan hati Progodigdoyo. Sepanjang pengetahuannya, puteri dari mendiang Lembu Tirta ini, setelah diselir oleh Resi Mahapati, menjadi kekasih dan mendapatkan kedudukan paling tinggi di samping Sang Resi yang amat mencintanya. Bahkan dia sendiri setelah mendengar betapa segala permintaan Lestari diturut belaka oleh Sang Resi, dia menjadi agak gentar terhadap wanita muda yang amat cantik jelita ini. Dan kini, begitu bertemu dengan dia di tempat itu, Lestari menangis sesenggukan!
"Eh, maaf..... ada..... ada apakah? Mengapa kau menangis?"
Tanya Progodigdoyo dengan kaget, heran dan juga gugup karena baru sekarang dia sempat bertemu berdua saja dengan wanita muda yang dulu hampir dipaksanya menjadi selirnya itu.
Sekarang, setelah usianya cukup dewasa dan menjadi seorang wanita yang sudah matang, Lesatri benar-benar mirip sekali dengan mendiang ibunya, Galuhsari yang pernah dicintanya, hanya tentu saja Lestari ini jauh lebih muda dan lebih cantik. Akan tetapi persis seperti inilah Galuhsari ketika masih perawan dahulu, ketika dia memperebutkan cintanya dengan Lembu Tirta akan tetapi akhirnya Lembu Tirta yang menang dan menjadi suami Galuhsari.
Harus diakuinya bahwa dia dahulu tergila-gila kepada Galuhsari sehingga pernikahannya dengan Sariningrum yang cantik jelita pun tidak dapat mengobati rasa rindunya kepada Galuhsari yang sudah menjadi isteri Lembu Tirta. Karena iri hati dan cemburu, timbullah dendam dan bencinya kepada Lembu Tirta, padahal Lembu Tirta adalah sahabatnya yang paling baik, yang seolah-olah telah menjadi saudaranya sendiri, kawan seperjuangan yang selalu bahu-membahu dalam perang ketika mereka bersama-sama menghamba kepada Raden Wijaya.
Kebenciannya itulah yang membuat dia tega untuk membunuh Lembu Tirta secara curang, ketika mereka berdua sedang berada dalam medan perang melawan musuh. Progodigdoyo membunuh Lembu Tirta dari belakang dan hal ini dilakukan hanya karena dia ingin memperoleh jandanya, yaitu Galuhsari! Namun, Galuhsari yang sudah tahu akan kekejaman Progodigdoyo, menolaknya sehingga akhirnya terjadilah kemaksiatan di malam itu, di mana Progodigdoyo dengan kekerasan memaksa Galuhsari menyerahkan diri kepadanya, diperkosanya di depan anak-anaknya! Akan tetapi karena cintanya hanya cinta terdorong oleh nafsu berahi belaka, setelah dia memperoleh apa yang dikejar-kejar selama bertahun-tahun itu, dia kecewa.
Galuhsari telah terlalu tua untuk dapat dinikmatinya dan pandang matanya beralih kepada Lestari, gadis remaja puteri Galuhsari. Namun dia gagal memperoleh Lestari sehingga terpaksa dia menyerahkan gadis itu kepada Resi Mahapati dalam usahanya menjilat resi yang sedang berkuasa itu. Dan kini, Lestari yang usianya sudah dua puluh empat tahun, yang seperti bunga sedang mekar-mekarnya, seperti buah sedang ranum-ranumnya, sehingga membangkitkan kembali gairahnya yang telah lama terpendam, wanita cantik itu menangis di depannya!
"Lestari.... Mengapa kau menangis? Apa yang menyusahkan hatimu?"
Tanyanya dengan nada suara halus ketika wanita itu tidak menjawab pertanyaannya tadi dan terus menangis sesenggukan. Dia sudah bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri wanita itu. Mendengar nada suara pertanyaan yang penuh dengan perhatian, lembut dan penuh perasaan itu, Lestari makin keras menangis, lalu dia berlari maju, menubruk dan merangkul, menangis di atas dada Progodigdoyo yang bidang!
"Eh..... eh.....! Mengapa begini...? Ada apa ini?"
Progodigdoyo tentu saja terkejut bukan main melihat kekasih Resi Mahapati ini merangkulnya begitu saja. Tentu saja dia merasa takut kalau sampai ketahuan orang, akan tetapi tidak urung jantungnya berdebar keras dan otomatis jari-jari tangannya balas merangkul dan mengelus rambut kepala yang halus dan berbau harum itu.
"Kakangmas Progodigdoyo, kau... kau kejam terhadap aku...."
Sepasang mata bupati yang lebar itu membelalak, kumisnya yang panjang melintang itu bergerak-gerak.
"Aku....? Kejam terhadapmu......?"
"Engkau kejam sekali, Kakangmas...." Kumis itu makin bergerak-gerak dan jantung Bupati Progodigdoyo makin berdebar tidak karuan. Kakangmas? Lestari menyebutnya kakangmas! Padahal dahulu menyebutnya paman, dan memang sejak kecil Lestari menganggapnya seorang paman.
Akan tetapi sekarang tiba-tiba saja menyebutnya kakangmas! "Engkau keliru, Lestari. Aku selalu sayang padamu....."
"Kalau sayang, mengapa dahulu Kakangmas menyerahkan aku kepada tua bangka itu? Mengapa Kakangmas melempar aku ke dalam lembah kekecewaan dan kesengsaraan ini?" Lestari kembali menangis dan membasahi dada baju Progodigdoyo dengan air matanya.
"Eh, bukankah kau hidup bahagia di sini? Bukankah kau menjadi kekasih Paman Resi dan hidup penuh kemuliaan? Aku mengira engkau berbahagia......"
"Berbagia hidup di samping kakek tua bangka yang sudah tidak mampu apa-apa itu? Ah, Kakangmas jangan mengejek aku! Di luar saja aku kelihatan bahagia, akan tetapi di sebelah dalam...... terutama di waktu malam...... aku merana dan sengsara, kecewa dan... ah, tidak mengertikah kau, Kakangmas? Semestinya aku yang masih muda ini hidup di samping seorang pria yang kuat dan perkasa seperti Kakangmas...... akan tetapi kau kejam sekali, menyerahkan aku kepada seorang tua bangka yang loyo dan sudah hampir mati!"
Debar jantung Progodigdoyo makin menghebat. Benarkah ini? Hampir dia tertawa. Benarkah bahwa Resi Mahapati yang sakti mandraguna itu sudah tidak ada gunanya lagi dalam hubungan suami isteri?
"Akan tetapi.... Lupakah engkau, Lestari? Dahulu aku ingin sekali mengangkatmu sebagai selirku yang terkasih, akan tetapi engkau tidak mau sehingga terpaksa aku menghadiahkan engkau kepada Paman Resi..."
Lestari mengangkat mukanya, merenggangkannya dari dada Progodigdoyo dan menatap tajam wajah bupati itu dengan kedua mata kemerahan karena tangis.
"Kakangmas,sebagai seorang wanita yang masih perawan, seorang gadis remaja, apakah aku harus tertawa girang menerima pinanganmu dahulu? Tentu saja aku malu, dan sebagai gadis baik-baik tentu saja aku pura-pura menolak, padahal di dalam hati... aku... aku selalu mengagumi kegagahanmu. Apalagi sekarang..... setelah bertahun-tahun aku selalu kecewa dalam pelukan tua bangka itu....."
"Ahhh.....!"
Progodigdoyo berseru dengan hati merasa terharu, lalu mempererat rangkulannya.
"Benarkah itu, Lestari? Benarkah bahwa engkau sejak dahulu suka kepadaku? Apakah kau sampai sekarang..... masih.... cinta kepadaku.....?"
Dia tergagap karena pertanyaan itu dianggapnya tidak mungkin.
Akan tetapi, tiba-tiba kedua lengan yang kecil bulat itu seperti dua ekor ular merayap merangkul lehernya, sepasang mata yang masih basah itu memandangnya penuh kemesraan, dan muka itu dekat sekali ketika berbisik.
"Masih perlukah kau bertanya lagi.....? Masih ragukah kau kepadaku, melihat sikapku ini, Kakangmas....?"
Mulut itu setengah terbuka, bibirnya basah dan merah, deretan gigi yang putih mengkilap nampak sedikit dan napas yang hangat keluar dari mulut itu menghembus pipinya.
"Lestari.....!"
Progodigdoyo menunduk dan entah siapa yang mendahului gerakan itu, tahu-tahu mulut mereka saling bertemu dalam kecupan mesra dan panas karena Progodigdoyo sudah dibakar oleh berkobarnya nafsu berahinya. Merasa betapa mulut wanita itu bergerak penuh gairah, dia mencium lebih bernafsu lagi dan dengan mata terpejam Progodigdoyo mencengkeram tubuh yang padat, lembut dan hangat itu seperti seekor burung garuda menerkam kelinci.
"Eh, jangan Kakangmas....."
Lestari terengah-engah setelah berhasil melepaskan mulutnya dari kecupan Progodigdoyo, lalu dengan halus dia mendorong dada pria itu dan melangkah mundur. Mukanya kemerahan, air matanya masih membasahi pipi dan matanya bersinar-sinar penuh kemesraan. Cantik bukan main dia dalam keadaan seperti itu.
"Jangan terburu-buru, Kakangmas. Bukan di sini tempatnya....."
Dia berbisik dan menjilati bibirnya. Melihat lidah kecil merah itu menjilati bibir, Progodigdoyo hampir saja menubruknya lagi, akan tetapi cepat Lestari menghindar dan berbisik,"Jangan...., kalau terlihat orang nanti....."
Bisikan ini membuat Progodigdoyo sadar kembali. Terkejutlah dia mengingat apa yang baru saja terjadi. Kalau sampai ketahuan orang dan terdengar oleh Resi Mahapati tentu celakalah dia! Akan tetapi, melihat kini Lestari tersenyum manis dan menggunakan kedua tangan untuk membereskan gelung rambutnya sehingga untuk pekerjaan itu dia mengangkat kedua lengan ke atas, memperlihatkan ketiak yang halus dan ditumbuhi sedikit rambut keriting yang mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan juga gerakan kedua lengan itu membuat buah dada yang tertutup kain tipis itu menonjol penuh tantangan, jantungnya berdebar lagi dan seluruh tubuhnya terbakar api gairah.
Beberapa kali dia menelan ludah sebelum berkata.
"Lestari, kekasihku.... ah,pujaan hatiku, kalau tidak di sini, di manakah dan kapankah....?"
Lestari tersenyum dan matanya menyambar dengan kerlingan tajam.
"Bukan hanya engkau, Kakangmas, akan tetapi aku pun haus sudah....., akan tetapi kita harus berhati-hati....."
"Mari kau kubawa minggat saja, kuboyong ke Tuban, sayang....."
"Ah, kau mencari penyakit. Tentu akan geger."
"Tidak takut! Kalau perlu kukerahkan pasukanku untuk melawan!"
"Ssstt, jangan begitu. Tidak perlu menggunakan kekerasan. Di sini pun bisa asal kita dapat mengaturnya dengan tepat. Besok siang, kalau tua bangka itu sudah tidur, aku akan mandi di pemandian. Kau tahu bukan, pemandian puteri di dekat taman? Nah, aku akan mandi di sana dan aku akan menyuruh semua pelayan mundur. Kau dapat memasuki pemandian itu dari belakang, dari taman, dengan memanjat tembok, lalu masuk ke pemandian. Aku akan menantimu di sana. Kau lihat saja, kalau aku diiringkan oleh para pelayan sudah menuju ke taman, tak lama kemudian kau boleh masuk ke sana dan kita dapat leluasa...."
Lestari tidak melanjutkan kata-katanya, hanya senyum dan pandang matanya yang penuh gairah itu menjanjikan sesuatu yang membuat jantung Progodigdoyo dag-dig-dug tidak karuan.
"Aku akan ke sana!"
Saking girangnya, Progodigdoyo melompat, menerkam dan merangkul, lalu menciumi lagi mulut itu. Lestari meronta dan melepaskan diri.
"Ssstt, cukup... besok banyak kesempatan bagi kita dan aku akan menyerahkan segala-galanya untukmu, Kakangmas Progodigdoyo yang tercinta...."
Bisiknya dan wanita itu lalu membalikkan diri, meninggalkan ruangan itu di mana Progodigdoyo berdiri bengong, mengikuti lenggang yang membuat kedua bukit pinggul itu bergoyang-goyang amat menggairahkan. Setelah bayangan Lestari lenyap, Progodigdoyo ingin sekali bersorak dan menari-nari! Begitu girang hatinya dan dia lalu berjalan kembali ke kamarnya sambil bersiul-siul, sikapnya seperti seorang pemuda remaja yang baru saja mencium pacarnya untuk yang pertama kalinya. Dia dicinta oleh Lestari!
Bukan main bahagia hatinya. Dia haus akan cinta kasih dan isterinya sendiri,Sariningrum, tak pernah memperlihatkan cinta kasih demikian berkobar seperti yang diperlihatkan oleh Lestari tadi! Bahkan dua orang anaknya juga kelihatan acuh tak acuh kepadanya, tidak terasa ada rasa kasih dari mereka kepadanya. Tidak ada seorang pun yang benar-benar mencintanya, dan baru sekarang dia melihat bukti cinta kasih seorang wanita yang demikian berkobar seperti yang diperlihatkan Lestari tadi!
Memang demikianlah. Seperti Progodigdoyo itu pulalah kebanyakan dari kita manusia. Kita selalu haus akan cinta. Kita ingin agar kita DICINTA oleh semua orang, oleh siapa saja di sekeliling kita. Namun kita tidak pernah menjenguk batin sendiri apakah kita ada cinta kasih di dalam batin kita, apakah kita MENCINTA orang dalam arti kata seluas-luasnya dan semurni-murninya. Kita ingin agar semua orang baik kepada kita, namun kita tidak pernah melihat atau menyelidiki apakah kita pernah baik kepada orang lain! Kalau toh kita merasa bahwa kita sudah mencinta dan sudah baik, perlu pula kita teliti apakah cinta dan kebaikan kita itu benar-benar ataukah bukan sesuatu yang mengandung pamrih untuk mengharapkan imbalan?
Biasanya, kita tidak mencinta orang, kita tidak baik kepada orang, kita melainkan ingin mengejar kesenangan kita melalui cinta kita kepada orang lain itu, kita juga mengejar kesenangan dengan kebaikan kita kepada orang lain, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir! Kita mencinta seseorang dengan TUJUAN atau HARAPAN agar orang itu pun mencinta kita, melayani kita, pendeknya menyenangkan kita! Kita berlaku baik kepada orang lain dengan tujuan atau harapan agar orang itu mengingat akan budi kita, membalas kebaikan kita, atau agar kita memperoleh pahala batiniah dan sebagainya. Cinta model itu bukanlah cinta namanya, kebaikan model itu bukanlah kebaikan, melainkan pengejaran kesenangan diri pribadi melalui yang dinamakan cinta atau kebaikan!
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian, semua titik tujuan kita hanya satu, yaitu demi kesenangan diri pribadi. Kita ingin dicinta orang, karena dicinta orang ini mendatangkan kesenangan bagi kita. Kalau toh kita merasa mencinta orang, hal itu pun didorong oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi kita sendiri.
Padahal, dicinta orang lain atau dibaiki orang lain itu tidak mungkin ada kalau kita tidak ada cinta dan kebaikan di dalam batin kita terhadap orang lain! Tidak mungkin orang lain baik kepada kita kalau kita tidak baik kepadanya! Dan kalau kebaikan kita kepadanya itu palsu, pura-pura atau hanya penilaian belaka, tentu kebaikan kepada kita pun palsu adanya! Kalau cinta kita kepada orang lain itu hanya cinta yang merupakan jembatan untuk pemuasan nafsu keinginan kita mengejar kesenangan, maka sudah tentu cinta orang lain kepada kita itu pun ada iri, tidak ademikian pula. Cinta adalah wajar, tidak dibuat-buat, tidak ada pamrih, tidak ada benci, tidak ada kecewa. Dari cinta timbul kebajikan atau kebaikan yang wajar pula, tidak dibuat-buat, tidak mengharapkan imbalan, melainkan timbul dari welas asih (belas kasihan) yang juga cinta kasih adanya.
Cinta kasih Progodigdoyo terhadap Lestari sama sekali bukanlah cinta kasih dan hal ini sudah dibuktikan ketika dia hendak memaksa Lestari sembilan tahun yang lalu. Cintanya hanyalah cinta untuk mengejar kesenangan diri sendiri, dalam hal ini kesenangan itu adalah nafsu berahi! Cintanya hanya untuk mencari kepuasan nafsu berahinya belaka. Dan cinta yang hanya merupakan jembatan untuk mengejar kesenangan, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti hanya akan menimbulkan kekecewaan, kebosanan, dan kesengsaraan belaka Karena itu, perlu sekali kita membuka dada menjenguk isi batin kita.
Adakah cinta kasih itu di dalam hati kita? Kita selalu ingin agar Tuhan mencinta kita,akan tetapi kita tidak pernah memeriksa diri sendiri apakah ada cinta kasih kita itu terhadap Tuhan? Ataukah yang ada hanya perbuatan-perbuatan kita yang hanya merongrong Tuhan, yang selalu melanggar dan menyeleweng, kemudian minta ampun dan minta diberkahi, seperti seorang anak bengal yang tak pernah mau bertobat, selalu mengulangi kenakalannya kemudian merengek dengan manja minta diampuni?
Adakah cinta kasih kita terhadap Tuhan atau terhadap sesama manusia? Kalau tidak ada, mengapa? Inilah pertanyaan pokok yang harus kita selidiki selama kita hidup, kalau benar-benar kita ingin mengetahui apakah sebenarnya hidup ini mengapa ada penderitaan di dunia ini, mengapa ada kematian dan sebagainya. Sinar cinta kasih akan menerangi segalanya, dan cinta kasih tidak dapat dikejar, tidak dapat dipupuk, tidak dapat dicari dengan akal budi. Akan tetapi kalau semua kotoran,kebencian, iri hati, ambisi yang merupakan inti dari pementingan diri pribadi, itu lenyap, maka sinar cinta kasih akan bercahaya kembali.
Progodigdoyo malam itu tidak dapat tidur. Dia sudah tiga minggu berada di Mojopahit dan sebetulnya akan pulang hari ini. Akan tetapi dengan adanya perkembangan luar biasa dalam sikap Lestari kepadanya, dia sama sekali tidak ingat untuk pulang! Yang diingatnya hanya perjanjian Lestari untuk menerimanya besok di dalam tempat pemandian! Di tempat pemandian! Dia sudah menyeringai dan mengusap-usap kumisnya teringat akan ini dan membayangkan betapa akan mesranya pertemuan mereka di kolam pemandian!
Sama sekali tidak disangkanya bahwa Lestari yang dirindukannya, yang sudah dibayangkannya akan membalas belaiannya, membalas ciumannya seperti yang dilakukannya siang tadi, membalas peluapan cintanya besok di kolam pemandian yang lebar, pada malam itu dengan suara merengek manja berkata kepada Resi Mahapati setelah kakek ini tergolek kelelahan sehabis dilayani hasrat nafsunya oleh selir terkasih itu.
"Kakangmas Resi, saya merasa muak melihat sikap Progodigdoyo itu."
"Eh, jangan berkata begitu, sayang. Dia seorang baik, bahkan bukankah yang menjadi perantara pertemuan kita dahulu adalah Progodigdoyo?"
Lestari merangkul.
"Benar, Kakangmas Resi. Akan tetapi aku tidak senang melihat pandang matanya kepadaku yang kelihatan mengandung kekurangajaran itu. Paduka harus berhati-hati terhadap orang seperti dia, Kakangmas Resi. Agaknya di dalam hatinya terkandung niat yang kurang senonoh terhadap diri saya."
Resi Mahapati mengelus pipi yang halus itu.
"Sudahlah, dia tidak berbahaya, dan aku akan menegurnya."
Akan tetapi di dalam hatinya, kakek ini tersenyum. Mana mungkin Progodigdoyo akan berani kurang ajar terhadap Lestari? Kalau Progodigdoyo memandang kepada selirnya ini penuh gairah dan tertarik, hal itu sudah lumrah. Pria mana di dunia ini yang tidak akan memandang wajah cantik jelita dan tubuh padat menggairahkan itu dengan mata tertarik? Diam-diam dia merasa bangga sekali dan kecurigaannya terhadap Progodigdoyo pun lenyap berbareng dengan dengkurnya yang menandakan bahwa dia telah tidur pulas.
Dengan hati-hati Lestari melepaskan lengan berbulu yang merangkul lehernya dan menimpa dadanya itu, kemudian dia membereskan pakaiannya, lalu turun dari pembaringan dan menyelinap keluar, menemui empat orang pelayannya yang amat dipercayanya dan yang sudah dibanjiri hadiah sehingga empat orang itu benar-benar amat setia kepadanya. Dengan suara bisik-bisik dia mengatur rencananya dan empat orang emban itu mengangguk-angguk. Setelah empat orang emban itu mengerti benar apa yang dimaksudkan, barulah Lestari kembali ke dalam kamarnya, menutupkan pintunya, menghampiri pembaringan dan setelah memandang ke arah Resi Mahapati yang tidur mengorok itu dengan pandang mata menghina dengan hidung dikernyitkan dan bibir dicibirkan, wanita itu lalu naik ke atas pembaringan dan rebah miring membelakangi Sang Resi.
Pada keesokan harinya Progodigdoyo sudah lupa makan dan lupa segalanya. Sejak masih pagi Progodigdoyo sudah menanti di ruangan tengah, di mana Lestari tentu akan lewat kalau hendak pergi ke taman. Kagetlah dia ketika menjelang tengah hari, seorang pengawal mengundangnya atas perintah Resi Mahapati, padahal,setiap siang dia dijamu makan oleh tuan rumah dan hanya kalau
(Lanjut ke Jilid 18)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
malam dia makan sendiri. Resi Mahapati menyambut kedatangannya dengan senyum.
"Wah, pakaianmu indah sekali, Nakmas Bupati,"
Kata Sang Resi dan memang pagi itu Progodigdoyo memakai pakaian serba baru sehingga dia nampak makin gagah. Lestari yang juga hadir dalam makan siang itu tersenyum saja dan ketika mereka bertemu pandang, di luar tahu Resi Mahapati Lestari mencibir dengan lagak menantang cium kepada Progodigdoyo.
"Ah... eh, biasa saja, Paman Resi..."
Katanya gagap lalu duduk menghadapi meja makan dan mereka makan bersama. Sejak tadi Resi Mahapati yang teringat akan rengekan kekasihnya semalam, memperhatikan Progodigdoyo, akan tetapi bupati ini dengan pandainya menyembunyikan perasaannya dan jarang sekali dia mengerling ke arah Lestari.
"Nakmas Bupati, sudah tiga minggu Andika berada di Mojopahit. Apakah Andika tidak ditunggu-tunggu oleh urusan pemerintahan di Tuban?"
"Ah... masih ada sedikit urusan, Paman Resi. Dalam beberapa hari ini saya akan kembali ke Tuban,"
Katanya sambil mengerling ke arah Lestari, akan tetapi karena lirikannya ini biasa saja, Resi Mahapati pun tidak menaruh curiga. Dalam pandangannya, Bupati Tuban ini tetap sopan seperti biasa, tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Tentu hanya karena watak manja Lestari saja yang semalam melapor yang bukan-bukan.
Tak lama kemudian, lewat tengah hari, seperti biasa Resi Mahapati memasuki kamarnya ditemani oleh Lestari. Selir yang tercinta ini memijiti kaki Sang Resi dan tak lama kemudian mendengkurlah Resi Mahapati. Lestari lalu turun dari atas pembaringan dan keluar kamar memanggil empat orang emban kepercayaannya. Mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mandi Sang Puteri terkasih itu, kemudian dengan diiringkan oleh empat orang emban itu, Lestari meninggalkan keputren dan menuju ke taman untuk pergi ke pemandian. Dan untuk perjalanan ini, tentu saja dia harus melewati ruangan tengah di mana Bupati Progodigdoyo sudah duduk menunggu sejak tadi. Melihat Lestari lewat, Progodigdoyo cepat bangkit berdiri dan mengangguk dengan hormat, sedangkan Lestari membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, akan tetapi tidak berhenti dan melanjutkan langkahnya diikuti para emban. Progodigdoyo tersenyum dan mengurut kumisnya melihat gerak pinggul Lestari yang seperti menggapai-gapai kepadanya itu!
Dia menanti sebentar. Setelah kira-kira wanita dan para emban itu sudah tiba di pemandian, barulah dia berjalan, dengan perlahan, seenaknya agar tidak menarik perhatian para penjaga, lalu memasuki taman. Untung bahwa di taman itu sunyi tidak nampak penjaga, dan hal ini memang sudah diketahui baik oleh Lestari sebelum dia mengatur rencananya, maka dengan mudah Progodigdoyo lalu menyelinap di antara rumpun di taman itu, menghampiri tembok yang mengurung tempat pemandian itu.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan. Progodigdoyo sudah berusia hampir lima puluh tahun, namun dia adalah seorang laki-laki yang bertubuh kuat dan berhati muda. Sudah banyak dia bermain cinta dengan segala macam wanita, namun tidak ada wanita yang benar-benar memikat hatinya seperti Lestari ini! Wanita muda ini mirip benar dengan Galuhsari, wanita yang dicintanya di waktu dia masih perjaka, dan kini Lestari menjanjikan kemesraan yang luar biasa! Belum pernah ada wanita baik-baik bersikap mesra dan berani seperti Lestari, yang dalam ciuman pertama sudah menggerakkan bibir membalas ciumannya dengan mesra. Yang pernah dan berani melakukan hal seperti itu hanyalah wanita-wanita pelacur, akan tetapi dia tahu bahwa semua itu hanya palsu belaka. Dan kini Lestari kiranya telah mencintanya! Dan dia makin nikmat membayangkan betapa Lestari tentu akan puas bermain cinta dengan dia yang masih kuat dan gagah perkasa, setelah sembilan tahun lamanya setiap hari dikecewakan oleh pelukan seorang tua bangka yang loyo!
Dengan kesaktiannya, mudah saja bagi Progodigdoyo untuk merayap naik ke atas tembok pemandian. Ketika dia berjongkok di atas tembok, sudah nampak olehnya Lestari sedang mandi kungkum (membenamkan tubuh) dalam air jernih kolam pemandian itu. Rambutnya terlepas, hitam panjang dan halus, kulit tubuhnya dari dada ke atas sampai kedua lengannya nampak halus kuning bersih dan halus. Dadanya yang menonjol itu hanya tertutup tapih pinjung, yaitu kain tipis yang menutupi dada sampai ke bawah, tanpa dibelit kemben (ikat pinggang), lepas-lepas saja dan dengan sekali gerakan saja akan terlepaslah kain itu!
Lestari tersenyum dan melambaikan tangannya. Tangan kanan menggapai dengan isyarat menyuruh Progodigdoyo turun, sedangkan telunjuk tangan kiri ditaruh di depan bibir tanda agar pria itu tidak membuat gaduh. Melihat senyum itu, Progodigdoyo lalu meloncat turun, ke sebelah dalam, lalu berindap-indap mendekat.
"Kakangmas..."
Lestari berseru lirih dengan mesra dan membuka kedua lengannya, kedua lengan mengembang seolah-olah hendak memeluk tubuh pria itu dan kain itu hampir terlepas dipermainkan air yang sepinggang dalamnya.
"Lestari..."
Progodigdoyo berseru lirih pula penuh kegembiraan dan saking besarnya hasrat yang mendorongnya, bupati ini lupa diri dan dengan pakaian masih lengkap dia langsung saja terjun ke dalam kolam air!
"Hi-hi-hik! Pakaianmu basah semua... hemmmmmppp..."
Lestari tidak dapat melanjutkan ketawa dan kata-katanya karena dia sudah dipeluk oleh Progodigdoyo dan mulutnya diciumi penuh nafsu oleh pria itu.
Progodigdoyo tidak tahu bahwa sejak dia meloncat turun tadi, seorang di antara empat orang emban yang berada di luar dan pura-pura tidak tahu namun sebenarnya mengintai dan melihat gerakan Progodigdoyo, kini berlari-lari melalui taman menuju ke kamar di mana Resi Mahapati sedang tidur mendengkur.
Sang Resi Mahapati meloncat bangun dari tempat tidurnya ketika dia mendengar suara emban yang menggugahnya. Matanya melotot marah ketika dia tidak melihat Lestari melainkan emban yang berani menggugahnya.
"Keparat, kau sudah bosan hidup? Berani benar kau mengganggu tidurku?"
"Ampunkan hamba..."
"Di mana gusti puterimu?"
"Hamba... hamba hendak melaporkan... gusti puteri sedang siram (mandi) di pemandian... dan... hendaknya paduka ketahui... di dalam pemandian terdapat seorang pencuri...!"
Karena masih setengah mengantuk, Resi Mahapati bersikap acuh tak acuh.
"Maling? Beri tahu penjaga. Maling masuk di pemandian mau mengambil apa? Mau mencuri airkah?"
"Tapi... gusti puteri sedang siram di sana..."
"Wahh..., benar juga! Dan maling itu laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki..."
"Babo-babo, keparat!"
Resi Mahapati meloncat lagi dan hendak lari ke pintu,karena dia tergesa-gesa dia sampai lupa bahwa dia masih setengah telanjang! Memang kebiasaan Resi ini untuk tidur tanpa pakaian.
"Maaf... paduka lupa..."
Emban itu menahan ketawa sambil menuding ke arah tubuh Sang Resi.
"Eh, celaka hampir aku malu. Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Hayo ambilkan celanaku...!"
Sambil menahan ketawa emban yang muda dan cantik itu mengambil celana dan baju Sang Resi.
Terpaksa emban itu membantu Sang Resi mengenakan pakaiannya dan karena mereka begitu berdekatan, baru tampak oleh Sang Resi betapa emban ini memilki kulit yang halus dan kuning. Tiba-tiba saja dia merangkul dan mencium pipinya.
"Eh..., eh...!"
Emban itu menjerit kecil.
"Denok, apakah engkau pernah melayani aku di pembaringan?"
Sang Resi bertanya sambil meraba sana-sini sehingga emban itu menjadi kegelian.
"Be... belum..."
Jawabnya.
"Ha-ha, kalau begitu sewaktu-waktu engkau harus melayani aku. Kau manis denok..."
Sang Resi Mahapati yang memang mata keranjang itu agaknya lupa akan pelaporan tadi dan mulai membelai.
"Akan tetapi... maling itu..."
"Eh, maling? Oya, keparat jahanam, dia harus mampus!"
Dan Pendeta itu meloncat keluar dari dalam kamar, langsung dia berlari menuju ke taman dan tempat pemandian.
Sementara itu setelah memeluk tubuh yang padat dan basah air pemandian, yang hanya terbungkus kain tipis sehingga terasa olehnya lekuk lengkung tubuh itu, biar pun basah namun masih terasa kehangatan yang membakar, apalagi ketika merasa betapa bibir dan lidah wanita cantik itu menyambut ciuman-ciumannya, nafsu berahi telah berkobar-kobar membakar seluruh tubuh Progodigdoyo.
"Lestari... kekasihku... dewiku..."
Bisiknya dengan gemetar, jari tangannya meraba-raba.
"Hi-hik, kau lupa... Kakangmas... pakaianmu..."
Lestari berbisik manja dan jari-jari tangannya yang runcing halus itu membantu Sang Bupati membukai kancing bajunya. Dengan tergesa-gesa Progodigdoyo menanggalkan pakaiannya, menjadi setengah telanjang dan dia sudah memondong tubuh Lestari, hendak dibawanya keluar dari dalam air menuju ke bagian yang lebih dangkal.
Lestari melirik ke kiri dan dia melihat seorang emban telah memberi isyarat dari balik daun pintu gapura pemandian dengan sehelai saputangan yang dilambaikan. Itulah tandanya bahwa Sang Resi telah hampir tiba di pintu gapura pemandian!
Tiba-tiba saja dia merangkul dan mencium mulut Progodigdoyo penuh gairah. Tentu saja Progodigdoyo membalasnya dan memeluknya erat-erat, hampir tidak kuat menahan gelora nafsunya. Dan pada saat itu, bagaikan halilintar menyambar telinganya, dia mendengar Lestari menjerit-jerit nyaring.
"Lepaskan aku... ahhh,tolonggg...! Tolonggg...! Kakangmas Resi..., tolong...! Lepaskan bedebah!"
"Eh, Lestari...?"
Progodigdoyo yang masih menciumnya dan memeluknya itu terkejut, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan di pintu gapura pemandian.
"Jahanam kau, Progodigdoyo!"
Progodigdoyo terkejut bukan main ketika menoleh dan melihat bahwa yang berdiri di ambang pintu gapura adalah Resi Mahapati! Tentu saja Sang Resi marah bukan main melihat Lestari meronta-ronta, tapih pinjungnya terlepas bagian atasnya sehingga nampak buah dadanya yang menonjol, dan betapa Progodigdoyo memeluk kekasihnya itu dan menciumnya!
Saking kagetnya, Progodigdoyo melepaskan pelukannya dan Lestari lalu terhuyung menjauhkan diri dan keluar dari kolam pemandian sambil membereskan tapih pinjungnya dan lari menangis menubruk Resi Mahapati.
"Aduhhh... Kakangmas Resi... dia itu... jahanam itu... dia hampir memperkosa saya... hu-hu-huuuukkk.."
"Tidak..., tidak... saya tidak..."
"Keparat kau!"
Resi Mahapati melepaskan pelukan Lestari dan tubuhnya sudah menerkam ke depan, ke arah Progodigdoyo yang pucat ketakutan dan hendak menaiki tangga kolam itu dalam keadaan setengah telanjang.
"Bresss!!"
Progodigdoyo menangkis pukulan itu akan tetapi tetap saja tubuhnya terpelanting dan terjatuh kembali ke dalam kolam air.
"Byurrrr!"
Progodigdoyo cepat bangkit berdiri, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.
"Nanti dulu, harap sabar dulu, Paman Resi... saya tidak bersalah... saya..."
"Keparat, kau masih hendak menyangkal? Mataku telah melihat sendiri dan kau masih berani untuk menyangkal?"
Resi Mahapati sudah marah sekali dan dia lalu meloncat ke dalam kolam sambil menerkam dengan serangan kilat ke arah Progodigdoyo.
Progodigdoyo maklum bahwa dia harus melawan, karena kalau tidak tentu dia akan mati konyol. Melihat Resi itu menubruk dan mengirim dua pukulan yang dahsyat bukan main, cepat dia mengelak, akan tetapi gerakannya di dalam air tentu saja kurang gesit dan serangan Sang Resi datangnya seperti halilintar.
"Desss...!! Kembali tubuh Progodigdoyo terpelanting dan sekali ini dia merasa seluruh tubuhnya panas dan kepalanya pening karena pukulan tadi masih menyerempet pundaknya, padahal Sang Resi menggunakan aji kesaktiannya sehingga pukulan itu amat ampuh."
"Aduh...! Tunggu saya tidak berdosa..."
Progodigdoyo masih berusaha membela diri dan menangkis pukulan susulan, namun dari samping tangan Sang Resi menampar,mengenai tengkuknya dan dia terguling roboh dan pingsan! Sang Resi sudah menjambak rambutnya dan membenamkan kepala Progodigdoyo ke dalam air.
"Tunggu, Kakangmas, jangan bunuh dia!"
"Ehh...?"
Resi Mahapati yang sudah merah mukanya itu memandang kepada Lestari dengan mata terbelalak.
"Kau minta aku tidak membunuh keparat ini?"
Tanyanya dengan nada suara hampir tidak percaya. Jangan-jangan kekasihnya itu mencinta laki-laki ini, pikirnya penuh cemburu.
"Ya, jangan Kakangmas membunuhnya karena saya hendak membunuhnya dengan kedua tangan saya sendiri! Dia telah berani menyentuh saya, memeluk dan menciumi saya, kalau saja Kakangmas dapat merasakan betapa hebatnya penghinaan itu. Saya harus membunuhnya dengan tangan saya sendiri!"
"Ha-ha-ha-ha!"
Legalah hati Resi Mahapati dan dia menjambak rambut Progodigdoyo keluar dari dalam air, lalu diseretnya Bupati yang pingsan itu keluar dari kolam.
"Keinginan hatimu akan terlaksana, manis. Engkau boleh membalas dendam sepuas hatimu!"
Resi Mahapati lalu memanggil penjaga dan para penjaga menjadi terheran-heran ketika mereka melihat bupati yang setengah telanjang itu dan setelah mereka mengerti bahwa Progodigdoyo tentu telah mengganggu Sang Puteri, mereka tidak ragu-ragu lagi ketika diperintah untuk mengikat kaki tangan Progodigdoyo dan membawanya ke dalam kamar tahanan dan mengikatnya pada tiang di dalam kamar itu.
Ketika Progodigdoyo siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya diikat di tiang dalam kamar itu, dia teringat akan segala pengalamannya dan tubuhnya menggigil. Mengertilah dia kini bahwa dia telah masuk perangkap yang dipasang oleh Sulastri! Rasa takut merayapi seluruh parasaannya. Dia tahu bahwa Lestari sengaja hendak membalas dendam dengan cara yang amat licik dan dia, Si Mata Keranjang Tolol, dia begitu saja dengan mudah dapat terjebak! Progodigdoyo memaki-maki dirinya sendiri, akan tetapi kembali dia terbelalak ketakutan karena dia teringat akan segala hal yang telah dilakukannya terhadap Galuhsari dan dua orang anaknya itu. Dia ketakutan, akan tetapi tidak berdaya meloloskan diri,apalagi karena di luar kamar tahanan itu terdapat banyak penjaga. Dia seperti seekor harimau yang telah terjebak dalam kerangkeng, menanti kematian. Bahkan dia sudah tidak berdaya sama sekali karena selain dijebloskan dalam tahanan,juga kaki tangannya terikat! Saat-saat itu merupakan siksaan yang amat hebat bagi Progodigdoyo dan dia merasa seakan-akan bayangan Lembu Tirta dan Galuhsari muncul untuk menagih nyawa kepadanya!
"Kita harus menyelidiki ke mana hilangnya Kolonadah,"
Kata Roro Kartiko kepada kakaknya.
"Benar, kita harus membantu Adimas Sutejo dan Bromatmojo,"
Jawab Joko Handoko setelah dia dan adiknya kembali ke kamar mereka di Kabupaten Tuban.
"Akan tetapi ke mana kita harus menyelidikinya?"
Joko Handoko mengerutkan alisnya.
"Kita tahu bahwa sejak dahulu Ayah selalu mengerahkan pasukannya untuk menyelidiki dan mencari Kolonadah, sehingga hampir semua orang di Tuban tahu belaka bahwa pusaka itu dicari oleh Ayah. Dan melihat kenyataan bahwa lenyapnya pusaka itu di Tuban, tentu ada orang Tuban yang mengetahuinya. Sebaiknya kita menyelidiki di sini, mungkin di antara para perajurit ada yang mendengar sesuatu tentang peristiwa kematian Empu Singkir dan cantrik-cantriknya itu. Kabarnya, pagi harinya sepasukan perajurit datang ke rumah Empu itu, dan ini berarti tentu ada sesuatu yang mereka ketahui."
Dua orang muda itu lalu melakukan penyelidikan dan akhirnya mereka mendengar dari seorang anak buah Sriti Kencana bahwa ada perajurit yang menceritakan bahwa malam terjadinya pembunuhan itu, seorang cantik dari Empu Singkir yang ikut pula terbunuh, telah mengunjungi kabupaten dan tadinya bermaksud mencari dan menghadap Sang Bupati.
Karena Bupati Progodigdoyo tidak ada, maka cantrik itu diterima oleh seorang perwira yang bernama Klabang Curing, yaitu orang kepercayaan Sang Bupati. Kemudian pada keesokan harinya, perajurit itu dan pasukannya dipimpin oleh Perwira Klabang Curing, mendatangi rumah Empu Singkir dan melihat bahwa empu dan dua orang cantriknya telah tewas.
Hanya itulah yang dapat diceritakan oleh perajurit itu kepada isterinya yang secara rahasia menjadi anggota Sriti Kencana. Setelah mendengar penuturan itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko lalu menemui Klabang Curing. Karena yang bertanya adalah putera puteri atasannya, Klabang Curing lalu menceritakan bahwa memang benar pada malam hari itu cantrik pembantu Empu Singkir telah datang melapor bahwa keris pusaka Kolonadah berada di rumah Empu itu, akan tetapi di situ terdapat pula Ki Ageng Palandongan, mertua mendiang Ronggo Lawe maka Empu Singkir minta agar Bupati Progodigdoyo mengirim pasukan untuk melindungi Empu Singkir dari Ki Ageng Palandongan dan keris pusaka itu akan diserahkan kepada Bupati Progodigdoyo oleh Sang Empu.
"Karena Gusti Bupati tidak ada, maka hamba tidak berani sembrono dan pada keesokan harinya baru hamba membawa pasukan pergi ke sana. Dan ternyata sesampainya di tempat itu, Empu Singkir dan dua orang cantriknya telah tewas, Ki Ageng Palandongan tidak ada di sana dan keris pusaka itu pun tidak ada."
Demikian Klabang Curing melanjutkan ceritanya.
Joko Handoko dan Adiknya lalu pulang dan mereka bercakap-cakap di dalam kamar mereka.
"Tidak salah lagi, tentu Ki Ageng Palandongan yang melarikan keris itu,"
Kata Joko Handoko.
"Kita harus mengejarnya! Kakang Joko, kalau aku mengingat akan sikap Ayah, aku merasa malu sekali dan biarlah kita berdua menebus dosa-dosa Ayah dengan membantu Kakangmas Sutejo dan Kakangmas Bromatmojo. Kita pergi ke kota raja untuk melaporkan hal itu kepada Ayah yang masih berada di sana, kemudian kita menyelidiki dan mengejar Ki Ageng Palandongan yang kurasa membawa pusaka itu ke Lumajang."
Joko Handoko mengangguk-angguk.
"Agaknya dugaanmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi, sungguh aku tidak mengerti mengapa Ki Ageng Palandongan sampai membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya. Padahal aku mendengar bahwa beliau adalah seorang yang gagah perkasa dan berbudi."
"Tidak perduli bagaimana dia itu, aku harus dapat merampas keris itu untuk kuserahkan kepada Kakangmas Bromatmojo..."
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, Adikku yang manis. Agaknya hatimu sudah benar-benar terpikat oleh Adimas Bromatmojo yang tampan itu, ya?"
Joko Handoko menggoda Adiknya.
Sepasang pipi itu menjadi merah dan Roro Kartiko menundukkan mukanya. Akan tetapi hanya sebentar karena dia segera memandang Kakaknya, satu-satunya orang yang disayang dan dipercayanya karena hubungannya dengan Ayah mereka hambar saja,sedangkan ibu mereka pun kelihatan tidak suka kepada suaminya.
"Memang benar, Kakang Joko aku... aku jatuh cinta kepadanya dan aku malah telah bersumpah dalam hatiku bahwa aku hanya mau menjadi isteri Kakangmas Bromatmojo seorang."
"Ah, sudah demikian jauh?"
Kakak itu berseru dengan terharu sambil memegang lengan adiknya.
"Jangan khawatir, Adikku. Aku melihat bahwa Dimas Bromatmojo agaknya mencintamu pula, sikapnya jelas kelihatan mesra, dan aku pasti akan membantumu agar tercapai apa yang menjadi idaman hatimu."
"Terima kasih, Kakang Joko Handoko, engkau memang Kakakku yang amat baik."
Pada keesokan harinya, berangkatlah kakak beradik ini menuju ke kota raja. Ibu mereka hanya menyetujui saja karena ibu ini mengerti bahwa kedua orang anaknya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkannya, apalagi karena dua orang anaknya itu berpamit untuk menyusul ayah mereka yang sudah terlalu lama pergi ke Mojopahit.
Apakah sesungguhnya yang terjadi di malam hari itu di rumah Empu Singkir? Dan benarkah Ki Ageng Palandongan membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya lalu membawa lari keris pusaka Kolonadah? Dugaan Joko Handoko dan Roro Kartiko hanya benar sebagian saja.
Pada malam hari itu, secara kebetulan Ki Ageng Palandongan terbangun dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Agar tidak mengganggu tuan rumah, Kakek ini dengan hati-hati keluar dari dalam biliknya dan hendak pergi ke luar, ke belakang rumah. Akan tetapi ketika dia berindap-indap melalui kamar Empu Singkir,dia mendengar percakapan bisik-bisik antara Empu Singkir dan dua orang cantriknya.
"Bejo, engkau sekarang juga pergilah ke kabupaten, menghadap Sang Bupati dan katakan bahwa aku yang menyuruhmu untuk memberi tahu kepada Sang Bupati bahwa keris itu berada di sini! Katakan agar Gusti Bupati mengirim pasukan untuk melindungi kita karena di sini terdapat Ki Ageng Palandongan. Kalau kita serahkan pusaka itu kepada Sang Bupati, tentu akan mudah bagiku untuk mencari kedudukan lagi. Nah, kau berangkatlah, Bejo!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Ageng Palandongan mendengar ini. Dia cepat menyelinap dan setelah cantrik yang bernama Bejo itu pergi, dia mengintai lagi, lupa akan keinginannya untuk kencing tadi. Sampai Bejo kembali melaporkan bahwa Sang Bupati belum pulang dan bahwa besok pagi seorang perwira akan datang bersama pasukan, Ki Ageng Palandongan terus mengintai dan mengetahui rencana mereka. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Ageng Palandongan sudah keluar dari kamarnya dan dia disuguhi sarapan ketan dan minuman teh oleh cantrik Bejo. Karena sudah tahu akan rencana mereka, Ki Ageng Palandongan menangkap tangan cantrik itu dan berkata,
"Bejo, coba kau minum tehku ini."
"Tidak... tidak... kenapa begitu, Ki Ageng...?"
"Hayo minumlah, aku hendak melihat apa jadinya!"
Hardik Ki Ageng Palandongan.
"Tidak... saya tidak mau...!"
Cantrik yang bernama Bejo menjadi pucat sekali mukanya dan dia melarikan diri. Akan tetapi sekali menggerakkan lengannya, Ki Ageng Palandongan telah menangkap pundaknya dan dengan sentakan kuat dia memaksa Bejo menghadapinya, kemudian dengan tangan kirinya dia memaksa cantrik itu membuka mulutnya dengan menekan kedua pipinya kuat-kuat dan dengan tangan kanannya dia menuangkan isi cangkirnya, yaitu air teh yang disuguhkannya tadi,ke dalam mulut Bejo dan memaksa cantrik itu menelannya dengan memencet hidungnya. Air teh itu di "cekokkan"
Ke dalam perut cantrik Bejo.
"Aaaahhh... aahhh, tolong... Bapa Empu...!"
Cantrik itu menjerit-jerit, akan tetapi dia segera roboh dan melolong-lolong sambil memegangi perutnya karena racun warangan telah mulai bekerja di dalam perutnya. Sebagai seorang ahli keris, tentu saja Empu Singkir menyimpan banyak warangan yang dipakai untuk mencuci keris pusaka dan racun ini memang amat dahsyat. Empu Singkir dan cantrik ke dua datang berlarian dan terkejutlah melihat Bejo telah berkelojotan dalam sekarat.
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo