Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 18


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Ki Ageng, apa yang kau lakukan ini?"

   Empu Singkir menegur, pura-pura heran.

   "Empu Singkir, tidak perlu lagi berpura-pura. Aku telah mendengar semua rencanamu bersama para cantrikmu semalam. Aku memaksa dia minum racun yang kau suguhkan untukku. Hayo kau serahkan Kolonadah!"

   Empu Singkir terkejut bukan main dan sebagai jawabannya, dia dan cantriknya sudah menyerang dengan keris di tangan. Namun, Empu yang lemah dan tua itu bersama cantriknya merupakan lawan yang lunak bagi Ki Ageng Palandongan yang gagah perkasa, maka biar pun Kakek tinggi besar ini tidak menggunakan senjata, namun dengan mudah dia dapat merampas keris di tangan Empu itu dan keris itu makan tuan ketika ditusukkannya ke dada Empu Singkir.

   "Ki Ageng Palandongan... aku... aku sahabatmu..."

   Empu itu merintih ketika dia roboh ke atas tanah.

   "Hemm, keadilan tidak kawan atau lawan, Empu Singkir. Engkau berkhianat dan dalam usia tua masih loba akan kedudukan dan kemuliaan duniawi!"

   "Ahhh... aku menyesal sekali... aku bertobat..."

   Empu itu merintih dan tewas. Cantriknya hendak lari akan tetapi Ki Ageng Palandongan menyambitnya dengan keris rampasan itu.

   "Wuuuttt... cesss... !"

   Keris itu menancap di lambungnya sampai ke gagangnya dan robohlah cantrik itu, tewas seketika karena ampuhnya keris milik Empu Singkir.

   Ki Ageng Palandongan cepat mencari-cari ke dalam kamar Sang Empu dan akhirnya dia menemukan Kolonadah yang masih dibungkus kain kuning karena belum memperoleh warangka. Tanpa membuang waktu lagi, dibawanya pusaka itu dan larilah Ki Ageng Palandongan di waktu pagi sekali, sewaktu belum ada seorang pun penduduk Tuban keluar dari rumah mereka. Dia mengambil keputusan untuk melarikan keris Pusaka Kolonadah ke Lumajang. Demikianlah, maka ketika pasukan kabupaten yang dipimpin oleh Klabang Curing itu muncul di depan pintu pondok Empu Singkir, mereka hanya menemukan jenazah tiga orang itu, sedangkan keris Pusaka Kolonadah telah lenyap,demikian pula Ki Ageng Palandongan tidak dapat ditemukan jejaknya lagi.

   Wanita muda yang cantik jelita itu kini wajahnya amat mengerikan dan menakutkan bagi Progodigdoyo. Dia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri ketika dia melihat siapa yang memasuki kamar tahanannya. Lestari masih cantik jelita, akan tetapi kini sinar matanya seperti sinar mata iblis yang haus darah ketika dia berdiri dan memandang Progodigdoyo yang berdiri bersandarkan tiang dan diikat kaki tangannya itu. Tentu saja bagi orang lain, mata itu indah sekali dan bersinar-sinar menggairahkan, namun, bagi Bupati Tuban itu, sinar mata Lestari seperti mata iblis yang penuh hawa maut.

   Senyumnya yang manis itu kini nampak seperti senyum kuntilanak yang siap untuk menyedot darahnya! Tubuh Progodigdoyo menggigil. Dia adalah seorang laki-laki yang pemberani dan tak pernah mengenal takut, bahkan di antara hujan anak panah dan keroyokan musuh di dalam perang, dia dapat tersenyum tabah dan sedikit pun tidak pernah merasa gentar. Akan tetapi sekarang,menghadapi Lestari yang memandangnya penuh dendam, dia merasa ngeri juga. Apalagi karena sejak kemarin dia selalu membayangkan wajah Lembu Tirta dan Galusari.

   "Lestari, kau... kau sengaja hendak mencelakakan aku...!"

   Akhirnya dia dapat berkata juga. Lestari tersenyum lebar dan sepasang matanya ikut pula tersenyum. Wanita itu kelihatan girang dan bernafsu sekali, bahkan kelihatan seperti orang yang sedang diamuk gairah berahi! Atau seperti sinar mata seorang calon ibu yang mengidam dan melihat apa yang diidamkannya!

   "Hi-hik, kau baru tahu sekarang? Nah, sekarang kita berhadapan di sini, berdua saja dan aku dapat melakukan apa pun atas dirimu sesuka hatiku. Hi-hi-hik! Progodigdoyo, sekarang kau hendak mengeluh kepada siapakah?"

   Wanita itu melolos sebatang pisau belati yang kelihatan amat tajam dan runcing, yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya.

   "Lestari, kau... kau mau apa...?"

   Progodigdoyo bertanya, suaranya kering,sekering mulutnya dan kini lidahnya berusaha untuk membasahi bibir dengan jilatan gugup.

   "Mau apa? Hi-hi-hik, kau masih bertanya mau apa lagi, Progodigdoyo? Mau merayu engkau? Ha-ha, mau melayanimu agar nafsu berahimu terpuaskan? Mau menyanjungmu karena engkau telah begitu gagah perkasa membunuh Ayahku secara curang dan pengecut? Dan engkau mau mengulangi perkosaanmu atas tubuh Ibuku yang suci itu kepada diriku? Dan memujimu karena Adikku telah mati kau bakar? Begitukah Progodigdoyo?"

   Lestari mendekati dan mengejek. Progodigdoyo melihat sinar mata itu dan kembali dia bergidik ngeri. Sinar mata itu serupa dengan sinar mata Lestari ketika dia hendak memperkosanya dahulu.

   "Kau... kau... gila!!"

   Dia berseru.

   "Ha-ha-ha, aku memang gila, gila oleh dendam! Dan kau pun gila, gila karena nafsu angkara. Dan sekarang aku memperoleh kesempatan untuk membalas dan menyiksamu sepuas hatiku!"

   Lestari mendekati sampai hampir menyentuh tubuh Progodigdoyo dan pisau belatinya diamang-amangkan di depan wajah Progodigdoyo.

   "Kau gila! Kau boleh bunuh aku sekarang juga. Jangan kira aku takut mati!"

   Progodigdoyo menghardik, tetapi di dalam hatinya dia takut sekali, takut oleh ancaman siksaan dan penghinaan.

   "Hi-hik, enak saja kau minta mati. Lupakah kau betapa Ibuku memohon-mohon kepadamu, betapa Ibuku merintih-rintih ketika kau perkosa dan kau hina? Sekarang,aku ingin mendengar kau juga merintih-rintih dan memohon ampun!"

   "Tidak sudi!"

   Progodigdoyo yang maklum bahwa dia tentu akan mati itu mengeraskan hatinya dan tidak mau menerima penghinaan itu. Dia ingin mati dalam keadaan gagah.

   "Tidak sudi? Hi-hik, kita sama lihat saja. Engkau seorang hidung belang, ya? Begitukah macamnya seorang laki-laki hidung belang? Hidungnya harus dibuang saja!"

   Sambil berkata demikian, Lestari menggunakan pisaunya yang amat tajam itu untuk membacok hidung Progodigdoyo. Akan tetapi Progodigdoyo menggerakkan kepalanya dan mengelak.

   "Crottt"

   Pipinya yang tertusuk dan berdarah. Akan tetapi Lestari sambil tertawa-tawa seperti seorang anak kecil memperoleh sebuah mainan baru, terus menghunjamkan pisaunya dan akhirnya karena kaki tangannya terikat, tentu saja Progodigdoyo tak dapat terus mengelak dan hidungnya kena dirobek dan dikerat sampai buntung!

   Darah mengucur deras, dan hidung itu kini merupakan lubang hitam melompong yang berdarah, di samping bibir dan pipinya yang tadi terkena ujung pisau dan juga luka-luka berdarah ketika dia mengelak. Namun siksaan ini masih belum mendatangkan rasa takut bagi Progodigdoyo, sungguh pun dia menderita rasa nyeri dan perih. Matanya melotot lebar memandang kepada Lestari penuh kebencian.

   "Perempuan iblis, terkutuk..."

   Dia memaki akan tetapi suaranya terdengar aneh dan lucu karena hidungnya buntung itu. Lestari tertawa terkekeh seperti iblis,kegirangan dan kegembiraannya makin bertambah ketika dia melihat keadaan musuhnya dan dia seperti seekor binatang buas yang mencium darah dan menjadi makin buas.

   "Dan kau laki-laki mata keranjang. Ya, mata keranjang, maka harus dibuang satu matanya, hi-hik!"

   Dan kini pisau itu menyambar ke arah mata kiri Progodigdoyo! Progodigdoyo mengelak dan miringkan kepalanya.

   "Crepp!"

   Pelipisnya tergores pisau, bukan main nyeri dan perihnya. Dan mulailah dia merasa takut sekali.

   "Lestari, bunuh sajalah aku!"

   Katanya dengan suara pelo dan gemetar.

   "Ha-ha, kau boleh minta ampun!"

   Saking ngeri dan takutnya, Progodigdoyo tidak dapat lagi mempertahankan kekerasan hatinya.

   "Ampunkan aku, Lestari. Ampunkan aku dan kau bunuh sajalah aku... ohhh..."

   "Engkau belum menangis! Engkau harus minta ampun sambil menangis, seperti Ibuku dulu!"

   "Ah... kurang bagaimana lagi, Lestari? Aku sudah minta mati..., kau ampunkan aku..."

   "Crott!"

   Kembali pipi atasnya dekat mata termakan ujung pisau ketika dia mengelak dari tusukan ke dua.

   "Kau mintalah ampun kepada Ayahku!"

   "Kakang Lembu Tirta, saya minta ampun kepadamu...!"

   "Kepada Ibuku!"

   "Diajeng Galuhsari... ampunkan aku... ampunkan aku..."

   "Creppp...! Aughhhh...!"

   Progodigdoyo menjerit kesakitan ketika pisau itu menancap di mata kirinya, diputar dan dicongkelkan, diiringi suara ketawa Lestari yang kini benar-benar telah menjadi seperti orang gila!

   "Aduhh... Lestari... Lembu Tirta... Galuhsari... ampun...!"

   Progodigdoyo juga merintih-rintih seperti gila saking takutnya.

   "Dan sekarang hukumanmu ketika kau memperkosa Ibuku! Brettt ..."

   Pisau itu bergerak dan terbukalah celana di depan tubuh Progodigdoyo.

   "Jangan, Lestari...! Bunuh saja aku...! Akan tetapi kata-kata ini disusul pekik mengerikan ketika pisau itu menyambar dan menusuki alat kelaminnya yang dilakukan dengan ganas sekali oleh Lestari yang tertawa-tawa. Para penjaga di luar kamar tidak berani menjenguk karena mereka sudah dipesan agar membiarkan kekasih Sang Resi itu menyiksa dan membunuh tawanan itu. Mereka bahkan tertawa-tawa karena semua penjaga merasa marah mendengar betapa Progodigdoyo berusaha untuk memperkosa Sang Puteri di tempat pemandian!

   Akan tetapi betapa pun Progodigdoyo merintih, mengeluh, minta ampun dan merengek-rengek, semua itu bahkan menambah buasnya Lestari dan wanita yang sudah seperti gila ini terus-menerus menggerakkan pisaunya yang tajam, mengiris sana mengerat sini, menusuk dan mengiris lagi, semua dilakukan perlahan karena dia tidak ingin cepat-cepat membunuh orang yang disiksanya.

   Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat memasuki tempat tahanan itu dan seorang pemuda memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Pemuda ini adalah Sutejo! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan ditemani oleh Bromatmojo, Sutejo yang mendengar bahwa Mbakayunya, Lestari, kini telah menjadi selir dari Mahapati, juga ketika mendengar bahwa Progodigdoyo yang dicari-carinya itu kebetulan sekali sedang menjadi tamu di gedung Resi Mahapati, malam itu cepat mempergunakan kesaktiannya, bersama Bromatmojo dia meloncat ke atas genteng istana Resi itu dan mencari-cari.

   Ketika dia mendengar pekik-pekik kesakitan yang mengerikan itu, cepat dia bersama Bromatmojo menghampiri dan mengintai dari atas genteng. Alangkah kaget rasa hati Sutejo ketika dia melihat seorang wanita yang seingatnya mirip benar dengan Mbakayunya, sedang menyiksa seorang pria yang bukan lain adalah Progodigdoyo. Baru setelah orang yang disiksa itu menyebut nama Lestari dan minta diampuni dan dibunuh saja, dia tidak merasa ragu-ragu lagi.

   "Adi Bromo, harap kau menjaga di sini. Aku harus mencegah Mbakayuku melakukan kekejaman seperti itu!"

   Katanya kepada Bromatmojo, kemudian dia membuka genteng dan meloncat turun seperti seekor burung garuda.

   "Mbakayu Lestari...!"

   Lestari yang tadinya terkekeh dan matanya bersinar-sinar, mulutnya terengah-engah dan peluhnya membasahi leher dan dahi, mukanya agak pucat, terkejut mendengar suara panggilan itu dan cepat dia menoleh, pisau yang sudah berlepotan darah itu di tangan kanannya, sebagian bajunya juga terkena darah yang muncrat-muncrat dari luka-luka baru setiap kali pisaunya menusuk atau mengerat. Sejenak mereka berpandangan dan Lestari tidak lagi mengenal Adiknya.

   "Engkau siapa?"

   Bentaknya marah.

   "Mbakayu Lestari, ini aku... Sutejo!"

   Kata Sutejo dengan leher seperti dicekik rasanya. Mbakayunya kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang cantik sekali,bukan lagi seorang dara remaja, akan tetapi dia tidak akan dapat melupakan wajah Mbakayunya. Akan tetapi, melihat keadaan Mbakayunya seperti itu, teringat betapa tadi Mbakayunya menyiksa orang itu, dia bergidik. Dia menoleh ke arah Progodigdoyo dan bergidik lagi. Seluruh tubuh orang itu tidak ada yang utuh,tidak ada yang tidak terkena darah sehingga sukar dilihat bagian mana yang belum terluka. Pakaiannya compang-camping dan terutama di bagian kelaminnya hanya kelihatan warna merah, penuh darah! Mengerikan sekali, dan Progodigdoyo kini hanya dapat merintih perlahan-lahan, ah-ah-uh-uh mengerikan dan menyedihkan sekali.

   "Sutejo...!! Engkau...? Tejo adikku...!"

   Lestari hendak memeluk Adiknya, akan tetapi Sutejo mundur dan memandang Mbakayunya dengan alis berkerut.

   "Mbakayu Lestari, apa yang kau lakukan ini?"

   Tegurnya, suaranya nyaring.

   "Hi-hik, Tejo adikku. Arwahmu kah ini yang datang untuk menyaksikan sendiri balas dendam keluarga kita?"

   Wanita itu bicara seperti gila.

   "Tidak, Mbakayu. Ini aku, Sutejo, aku belum mati, ketika rumah kita terbakar,aku ditolong oleh Eyang Guru. Mbakayu, mengapa kau melakukan perbuatan yang amat kejam ini?"

   "Aku? Kejam? Heii! Bagaimana kau ini? Dan kau mau bilang bahwa jahanam Progodigdoyo ini tidak kejam? Ah, kau tidak melihat ketika Ibu diperkosa, ya? Jahanam, aku harus hancurkan itu...!"

   Pisaunya sudah diangkatnya pula ketika dia membalikkan tubuhnya dan dengan beringas dia hendak membacokkan pisau itu ke arah bawah pusar yang sudah penuh darah itu.

   "Prakkk!"

   Kepala Progodigdoyo yang sukar dikenal lagi itu karena hidungnya buntung dan matanya buta sebelah, juga mukanya penuh coret-coret bekas keratan pisau, tiba-tiba pecah dan orangnya tewas seketika.

   Lestari menoleh ke arah Sutejo dan memandang dengan marah.

   "Ah, kenapa kau tergesa-gesa membunuhnya, Tejo? Belum puas hatiku menyiksanya. Sebetulnya dia harus mati sedikit demi sedikit, akan tetapi kau bunuh dia. Sungguh terlalu enak bagi Si Keparat ini. Cuh-cuh!"

   Dia meludah ke arah muka mayat Progodigdoyo.

   Sutejo mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa Mbakayunya telah berubah menjadi seperti iblis. Begitu cantik jelita, akan tetapi begitu kejam luar biasa. Dan dengan hati penasaran dia lalu menegur.

   "Mbakayu Lestari, engkau ternyata telah tersesat terlampau jauh! Engkau seperti gila oleh dendam! Perbuatanmu ini kejam sekali dan membikin aku merasa malu, Mbakayu!"

   Lestari juga memandang kepada adiknya dengan marah.

   "Kau? Malu? Kau kira selama bertahun-tahun ini siapa yang menderita sengsara? Siapa yang mengorbankan dirinya, rela dihina, rela menanggung segala kepedihan, berkali-kali mempertahankan keinginan untuk membunuh diri, yang sampai kehabisan air mata untuk menangis,yang hatinya selalu bercucuran darah, yang ..."

   Suaranya habis dan dia menangis sesenggukan.

   Sadarlah Sutejo bahwa dia bersikap terlalu keras kepada Mbakayunya.

   "Mbakayu Lestari, kau maafkanlah aku..."

   Katanya perlahan sambil menundukkan mukanya, tidak tahan melihat Mbakayunya menangis. Sama benar Mbakayunya ini dengan mendiang Ibunya ketika menangis.

   "Tejo...!"

   Lestari menubruk, mereka berangkulan dan bertangisan, sungguh pun sebenarnya hanya Lestari yang menangis karena Sutejo dapat menekan keharuannya dan masih belum hilang rasa kaget dan ngerinya melihat kekejaman yang dilakukan oleh Kakaknya itu kepada Progodigdoyo. Secara terpaksa sekali dia tadi menggerakkan tangan menampar kepala Progodigdoyo dan membunuhnya karena dia tidak ingin melihat orang itu lebih lama tersiksa lagi oleh Mbakyunya, sungguh pun orang itu adalah musuh besar keluarganya. Tamparannya tadi dilakukan untuk mengakhiri penderitaan Progodigdoyo yang amat hebat itu.

   "Adikku sayang... kau harus mengerti keadaanku. Aku tadinya mengira bahwa kau sudah mati dan aku seorang diri, bagaimanakah aku dapat membalas dendam? Apa dayaku? Bagaimana mungkin aku dapat membalas dendam selain mempergunakan kecantikan dan kewanitaanku? Dan dendam keluarga kita bertumpuk setinggi gunung! Mendiang Ayah kita telah berjuang mati-matian selamanya untuk kejayaan Mojopahit,akan tetapi imbalan apa yang kita terima? Ayah dibunuh secara curang Ibu diperkosa, dihina dan dibunuh, engkau hampir mati, dan aku... sudah rusak hidupku, hancur semua harapanku. Akan kubasmi seluruh Mojopahit!"

   "Hushhh, Mbakayu, apa yang kau katakan itu?"

   Sutejo terkejut.

   "Musuh keluarga kita hanya dia dan dia sudah mati."

   "Tidak! Yang melakukan memang jahanam itu, akan tetapi mengapa Mojopahit diam saja melihat ponggawanya berbuat kejahatan terhadap kita? Dari Rajanya sampai semua ponggawanya adalah tidak baik semua dan harus kubasmi, baru akan puas hatiku!"

   "Mbakayu, buanglah jauh-jauh pikiran gila itu..."

   Sutejo menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncul Resi Mahapati dan Resi Mahapati diiringi para pengawalnya membuka pintu kamar tahanan dan memasuki tempat itu.

   Resi Mahapati tidak berani lancang membunuh Progodigdoyo begitu saja karena orang itu adalah seorang Bupati, seorang ponggawa pula, maka dia menghadap Sri Baginda dan melaporkan tentang perbuatan Progodigdoyo yang melanggar kesusilaan.

   Pada waktu itu, Kerajaan Mojopahit telah mempunyai undang-undang hukum, dan barang siapa mengganggu seorang wanita yang sudah bersuami, maka pengganggu itu dihukum mati dan pelaksanaan hukumannya dapat dilakukan oleh Si Suami. Marahlah Sang Prabu mendengar pelaporan itu dan tentu saja sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana, dia mengijinkan Resi Mahapati untuk menghukum mati kepada Progodigdoyo dan Sang Prabu mengutus Panji Samara dan Empu Wahono pergi ke Tuban untuk sementara mengatur kabupaten itu yang tidak mempunyai kepala daerah lagi.

   Kebetulan sekali pada hari itu, Resi Harimurti tiba dan segera dua orang Resi ini bercakap-cakap sambil makan minum dan di situ Resi Harimurti menceritakan semua pengalamannya ketika dia berada di Tuban. Tentang dua orang muda yang sakti dan yang menyerbu kabupaten lalu menghilang. Kemudian dia menceritakan pula tentang kematian Empu Singkir dan cantrik-cantriknya dan tentang keris Pusaka Kolonadah yang kabarnya tadinya berada di tangan Empu Singkir.

   "Menurut berita itu, agaknya tidak salah lagi bahwa yang membunuh Empu Singkir dan merampas Kolonadah adalah Ki Ageng Polondangan, Adi Resi Mahapati."

   Resi Harimurti mengakhiri ceritanya.

   Tentu saja Resi Mahapati merasa tertarik sekali. Dia maklum bahwa keris Pusaka Kolonadah adalah sebatang keris pusaka ampuh ciptaan Maha Empu Supamandrangi dan keris itu khusus diciptakan untuk menjadi pegangan para raja besar. Pemegang keris itu akan mempunyai wibawa untuk menjadi raja besar. Hanya karena khasiat ini sajalah maka dia mati-matian mencari keris pusaka Kolonadah itu dan kini dia mendengar bahwa keris yang dicari-cari itu telah terjatuh ke dalam tangan Ki Ageng Palandongan!

   "Hemm, berita ini penting sekali, Kakang Resi Harimurti,"

   Katanya sambil mengelus jenggotnya yang masih hitam.

   "Kalau benar Ki Ageng Palandongan yang memperoleh pusaka itu, tentu dia akan membawanya lari ke Lumajang. Kita harus dapat merampasnya kembali, Kakang."

   Resi Harimurti mengangguk-angguk.

   "Memang seharusnya begitu, Adi Resi. Dengan pusaka itu di tangan Andika, kiranya baru lengkaplah perabot-perabot untuk mencapai cita-cita Andika. Dan saya akan siap untuk membantu sampai akhir tujuan cita-cita kita tercapai. Akan tetapi, ada apakah ribut-ribut yang kudengar dibicarakan orang di rumah Andika ini? Saya mendengar berita tentang Progodigdoyo ketika dalam perjalanan ke sini."

   Resi Mahapati menarik napas panjang.

   "Aahhh, sungguh menggemaskan sekali Si Progodigdoyo, Kakang Resi Harimurti. Dia telah tergila-gila kepada kekasiku, Si Lestari!"

   Resi Mahapati mengepal tinjunya.

   Resi Harimurti tersenyum dan minum tuwaknya.

   "Ha-ha-ha, Adi Resi. Apakah anehnya itu? Selirmu itu demikian cantik jelita, siapa orangnya tidak akan tergila-gila kepadanya? Mengapa hal seperti itu saja diributkan benar?"

   "Kakang Resi, Andika tidak tahu. Kalau hanya tergila-gila saja, tentu saya tidak begitu bodoh untuk meributkannya, akan tetapi dia telah berani melanggar kesusilaan dan berusaha memperkosa selirku di waktu dia sedang berada di kolam pemandian."

   "Ahhh...! Tertangkap basah?"

   Resi Mahapati mengangguk.

   "Saya sendiri yang menangkapnya. Hal itu berarti menghinaku dan bolehkah dibiarkan begitu saja?"

   Resi Harimurti menarik napas panjang.

   "Ahhh..., tak kusangka dia akan segila itu! Habis sekarang bagimana, Adi Resi?"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mungkin saja, mengingat dia belum berhasil dalam usahanya memperkosa, dan mengingat dia merupakan seorang pembantu yang baik, saya sendiri akan dapat mengampuninya. Akan tetapi saya sangsi apakah Lestari sudi untuk melupakan peristiwa itu!"

   Mahapati termenung dan mengerutkan alisnya.

   "Selirku merasa sakit hati sekali, bahkan dia melarang saya membunuh Progodigdoyo dalam kemarahanku yang meluap kemarin, dan dia minta agar dia sendiri yang akan membunuhnya."

   Resi Harimurti tentu saja merasa sayang sekali kalau seorang pembantu seperti Progodigdoyo sampai dibunuh hanya karena urusan wanita. Dia sendiri sudah menerima banyak kesenangan dari Bupati itu, bahkan putera dan puteri Bupati itu telah berguru kepadanya.

   "Kalau sekiranya mungkin, sebaiknya kalau dia diampuni, Adi Resi. Diberi hajaran dan peringatan saja pun sudah cukuplah. Kita menghadapi urusan besar, jangan sampai urusan besar dihalangi oleh segala urusan yang lebih kecil, sungguh pun saya tahu bahwa perbuatannya itu benar-benar keterlaluan terhadap Andika."

   Resi Mahapati mengangguk-angguk.

   "Saya mengerti, Kakang. Akan saya coba untuk membujuk Lestari nanti."

   Para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan yang masih panas datang dan Mahapati segera berkata.

   "Sudahlah, mari kita makan dulu dan kita lupakan saja hal-hal yang tidak menyenangkan itu. Malam masih panjang dan masih banyak waktu untuk urusan itu."

   Harimurti tertawa dan Mahapati memberi tanda kepada para pengawal. Gamelan dibunyikan dan segera beberapa orang wanita cantik menari dan bertembang mengikuti irama gamelan untuk menghibur dua orang Resi yang sedang pesta itu.

   Akan tetapi, Resi Mahapati tidak dapat menikmati makanan dan suasana yang meriah itu. Alisnya berkerut dan semua masakan yang dicobanya terasa cemplang (hambar). Karena itu, dia lebih banyak menuangkan minuman tuwak ke dalam perutnya daripada makanan, sehingga mukanya menjadi merah sekali karena hawa minuman keras itu. Kelezatan tidaklah sepenuhnya terletak di dalam piring.

   Memang harus diakui bahwa bumbu-bumbu menambah sedap makanan, namun sesungguhnya keselarasanlah yang membuat kita makan terasa enak. Keselarasan atau keseimbangan antara kesehatan jasmani, ketenangan batin, dan rasa dari makanan itu sendiri. Kalau ketiganya ini seimbang atau selaras, barulah makanan terasa enak. Bahkan yang memegang peran utama adalah kesehatan badan dan ketenangan batin itulah. Makanan yang sederhana sekali pun, kalau dimakan dalam keadaan perut lapar, badan sehat dan pikiran tenang, maka akan terasa nikmat. Sebaliknya, biar pun menghadapi puluhan macam masakan yang paling lezat seperti yang dihadapi oleh Mahapati, kalau pikirannya tidak tenang seperti dia, akan terasa tidak enak semua masakan itu. Demikian pula, betapa pun enaknya masakan, kalau badannya sedang tidak sehat,akan terasa tidak enak pula masakan itu. Maka yang penting bagi manusia adalah kesehatan badan dan ketenangan batin.

   Malam makin larut dan gamelan dipukul makin keras, suara tembang para penari makin nyaring menyusup dalam kegelapan malam. Tiba-tiba beberapa orang pengawal datang mengiringkan dua orang muda memasuki ruangan makan itu. Karena para pengawal telah mengenal pemuda dan gadis yang datang ini, maka mereka berdua itu langsung saja diantar ke ruangan makan di mana Resi Mahapati sedang makan minum bersama Resi Harimurti.

   Resi Harimurti terkejut dan cepat bangkit berdiri ketika mengenal bahwa yang datang itu adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko, dua orang muridnya. Juga Resi Mahapati merasa tidak enak. Dia sudah pula mengenal dua orang muda itu sebagai putera-puteri Progodigdoyo, maka cepat dia menyambut kedatangan mereka.

   "Andika berdua datang di waktu malam begini, ada keperluan apakah?"

   Mahapati bertanya.

   "Maaf, Paman Resi. Kami datang untuk mencari Ayah. Kami mendengar bahwa Ayah bertamu di sini dan karena tadi mendengar adanya suara di luar bahwa di sini terjadi keributan yang menyangkut nama Ayah, maka malam-malam ini juga kami memberanikan diri untuk datang menghadap. Di manakah Ayah, Paman Resi? Benarkah berita di luar bahwa Ayah telah Paman tangkap?"

   Tanya Joko Handoko.

   "Benar,"

   Jawab Mahapati tenang saja.

   "Mengapa?"

   Roro Kartiko bertanya dengan suara nyaring.

   "Mengapa Paman menangkap Ayah? Apa dosanya?"

   "Kalian berdua boleh bertanya sendiri kepada Ayah kalian mengapa dia sampai kami tangkap,"

   Kata Resi Mahapati dan dia mengangkat tangan memberi isyarat sehingga suara gamelan dan nyanyian berhenti. Begitu suara itu berhenti, terdengar suara teriakan mengerikan dari arah belakang.

   Mahapati terkejut.

   "Mari cepat ikut dengan kami!"

   Katanya kepada Resi Harimurti dan dua orang muda itu, dan dia juga memberi isyarat kepada para pengawal yang cepat berkumpul dan mengikuti Sang Resi bergegas menuju ke tempat tahanan yang letaknya di belakang. Kiranya,gamelan dan nyanyian yang nyaring tadi membuat mereka tidak mendengar teriakan-teriakan Progodigdoyo ketika mengalami siksaan dari Lestari, dan baru setelah gamelan berhenti, terdengar teriakan itu. Hanya Mahapati seorang yang dapat menduga suara teriakan itu datang dari mana, maka dia cepat mengajak mereka untuk menuju ke tempat tahanan.

   Demikianlah, ketika Sutejo sedang bercakap dan berbantahan dengan Mbakayunya, pintu tahanan terbuka dan muncullah Resi Mahapati dan Resi Harimurti. Akan tetapi segera terdengar teriakan tertahan dan dua orang menerobos masuk. Mereka itu adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko. Kedua orang itu menubruk mayat Progodigdoyo sambil menangis. Dengan kerisnya, Joko Handoko membabat putus ikatan-ikatan tangan dan kaki mayat Ayahnya, kemudian dia membuka bajunya dan menutupi tubuh bawah Ayahnya dengan baju itu, lalu diletakkan mayat itu di atas lantai. Sementara itu, Lestari yang melihat betapa suaminya memandang kepada Sutejo dengan mata penuh ancaman, cepat menghampiri suaminya dan berkata.

   "Kakangmas Resi, dia... dia adalah Adikku yang bernama Sutejo..."

   Sementara itu, Sutejo juga mengkhawatirkan keselamatan Mbakayunya, maka dengan sikap tenang dia berkata.

   "Sayalah yang telah membunuh Progodigdoyo!"

   Mendengar ini, Roro Kartiko melompat dan menghadapi Sutejo. Dia sudah mendengar penuturan Bromatmojo tentang kejahatan Ayahnya terhadap keluarga Sutejo, akan tetapi melihat Ayahnya disiksa seperti itu, dengan mata mendelik dan muka pucat dia menghadapi Sutejo, mengepal tinjunya dan membentak.

   "Kenapa kau menyiksa Ayahku? Kenapa kau membunuh Ayahku?"

   Sutejo menarik napas panjang, memandang gadis itu dengan sinar mata penuh iba karena dia maklum bahwa gadis ini adalah seorang yang gagah dan baik, hanya sayang Ayahnya demikian jahat. Betapa pun juga, Progodigdoyo adalah ayah kandung gadis ini maka dia dapat memaklumi kemarahan yang diperlihatkan oleh Roro Kartiko melihat Ayahnya mati secara demikian mengenaskan.

   "Mengapa? Karena dia telah memperkosa Ibuku dan membunuh Ibuku setelah dia membunuh pula Ayahku..."

   "Dan dia hendak memperkosa aku pula, setelah dia memperkosa Ibu di depan mataku! Itulah sebabnya Sutejo membunuhnya!"

   Hardik Sulastri. Ucapan itu seperti ujung keris menghunjam di ulu hati Roro Kartiko. Mendengar Ayahnya melakukan hal-hal sejahat dan sekeji itu, membuat dia merasa sakit sekali di dalam hatinya.

   "Ahhh... Ayah...!"

   Dia menubruk jenazah Ayahnya dan menangis sesenggukan.

   "Sudahlah, Diajeng. Mari kita bawa pergi jenazah Ayah, tidak ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini,"

   Kata Joko Handoko dan dia sudah memondong jenazah Ayahnya, lalu keluar dari situ diikuti oleh Adiknya. Tidak ada orang yang berani mencegah mereka pergi, juga Resi Mahapati diam saja karena lebih baik mereka itu membawa mayat yang sudah tidak karuan rupanya itu cepat-cepat pergi dari rumahnya, pikirnya.

   Sementara itu, diam-diam Resi Harimurti berbisik di dekat telinga Mahapati.

   "Adi Resi, inilah satu di antara dua orang muda yang mengacau di Tuban itu. Mungkin dia mempunyai hubungan dengan lenyapnya Kolonadah."

   Resi Mahapati lalu menghampiri Sutejo.

   "Orang muda, biar pun Lestari mengakui engkau sebagai adiknya, akan tetapi karena kau telah melakukan pembunuhan di sini, engkau harus kutangkap dan kulaporkan. Yang kau bunuh adalah seorang ponggawa kerajaan, maka urusan ini harus dilaporkan ke istana."

   "Kakangmas...!"

   Lestari menjerit dan merangkul suaminya.

   "Dia adalah Adikku,adik kandungku sendiri. Dia Sutejo! Dia membunuh jahanam itu karena marah mendengar aku hampir diperkosanya!"

   "Biar pun begitu, dia harus ditahan dulu, Lestari. Kalau sampai urusan ini terdengar oleh Sang Prabu dan aku melepaskan dia yang telah membunuh seorang ponggawa, tentu akan celaka kita semua.

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   Sutejo, menyerahlah sebagai tawanan."

   Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau ditangkap begitu saja. Dia membusungkan dadanya dan mengerling ke arah Resi Harimurti sambil berkata.

   "Siapa pun boleh mencoba untuk menangkap aku kalau bisa!"

   "Keparat! Kau sombong sekali! Di Tuban kau terlepas dari tanganku, kini jangan harap dapat mengulangi lagi hal itu!"

   Resi Harimurti sudah menubruk ke depan dan tangannya mencengkeram ke arah pundak Sutejo sedangkan tangan yang kiri menampar ke arah pelipis kanan lawan. Dia maklum bahwa pemuda ini amat sakti dan pernah dia bertanding segebrakan dengan Sutejo, maka begitu menyerang dia telah mempergunakan aji kesaktiannya dan mengeluarkan serangan maut. Melihat ini,Mahapati terkejut karena dia mengenal kesaktian temannya, akan tetapi dia hanya menonton saja sambil menggandeng tangan Lestari yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

   "Plakk! Desss!!"

   "Ahh...!"

   Resi Mahapati terkejut dan berseru kagum ketika melihat betapa tangkisan kedua tangan pemuda itu berhasil membuat Resi Harimurti terpental dan terhuyung ke belakang! Bukan main! Adik dari selirnya ini ternyata adalah seorang pemuda yang sakti!

   "Kakangmas Resi, maafkanlah Adik saya itu... bebaskan dia..."

   Lestari meratap. Mahapati mengelus lengan kekasihnya.

   "Diamlah, Lestari. Adikmu hebat, biar dia diuji oleh Harimurti,"

   Kata Mahapati tanpa melepaskan pandang matanya dari dua orang yang sedang bertanding itu. Resi Harimurti juga terkejut sekali. Tadi dia sudah mengerahkan tenaganya,sungguh tidak disangkanya bahwa tangkisan pemuda itu akan membuatnya terpental dan terhuyung, dan dia merasa betapa dari lengan pemuda itu menyambar keluar hawa panas yang dahsyat bukan main!

   Dia adalah pembantu dan kini menjadi tangan kanan Resi Mahapati, dan dia terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Tentu saja di depan Mahapati dia sampai terhuyung oleh tangkisan seorang pemuda, hatinya menjadi panas dan dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang menggetarkan dinding-dinding tahanan itu dan membuat Mahapati cepat merangkul kekasihnya dan membawanya keluar, sedangkan para pengawal juga menggigil mendengar lengking yang mengandung wibawa hebat itu. Namun, Sutejo berdiri dengan tenang, kedua kakinya terpentang dan kedua lengannya tergantung lepas di kanan kiri tubuhnya,sepasang matanya tak pernah berkedip mengikuti gerak gerik Resi Harimurti.

   "Hyaaaaaahhhh...!!"

   Dengan gerengan nyaring seperti suara orang penjaga sawah menggertak dan mengusir burung-burung yang makan padi di sawah, Resi Harimurti sudah menerjang lagi dengan gerakan kilat dan kedua tangannya sudah menghujankan tamparan-tamparan maut. Bunyi angin bersiutan menyambar-nyambar menandakan betapa dahsyatnya kedua tangan kakek itu ketika menyerang bertubi-tubi dari kanan kiri, atas dan bawah ke arah tubuh Sutejo dan pada bagian-bagian yang berbahaya.

   Sutejo sudah waspada sejak tadi, maka begitu tubuh lawannya menerjangnya, dia sendiri pun menggerakkan kedua kakinya bergeser ke sana sini dan kedua tangannya juga bergerak secepat kilat, menangkis, mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulannya yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pasang lengan mereka saling bertemu, dan setiap kali terjadi bentrokan paling keras karena kedua pihak mengerahkan seluruh tenaga, tentu Resi Harimurti yang terpental dan terhuyung ke belakang.

   "Keparat!"

   Bentak Resi Harimurti dan kedua tangannya bergerak ke pinggangnya.

   "Tar-tar-tarrr...!"

   Sehelai senjata pecut panjang telah meledak-ledak di udara, dan tangan kirinya sudah memegang pula senjatanya yang kedua, yang tidak kalah aneh dan hebatnya,yaitu sebuah kipas bambu yang bentuknya bundar. Melihat ini, Sutejo cepat mencabut kerisnya dan nampaklah sinar berkilauan ketika keris pusaka Nogopusoro tercabut keluar dari warangkanya. Tiba-tiba Resi Mahapati berseru,

   "Tahan!"

   Dan dia sudah melompat ke tengah di antara mereka.

   "Kakang Resi, harap simpan kembali senjata Andika!"

   Setelah itu, Resi Mahapati lalu menghadapi Sutejo sambil tersenyum ramah.

   "Dimas Sutejo, setelah mendengar penuturan Lestari, Andika ternyata adalah adik iparku sendiri, maka tidak baik kalau di antara kita terjadi kekerasan. Engkau harus mengerti bahwa kami adalah ponggawa-ponggawa kerajaan, maka terjadinya peristiwa pembunuhan atas diri Bupati Progodigdoyo, tentu saja tidak dapat didiamkan saja. Simpanlah keris pusakamu dan mari kita bicara dengan baik. Akan kucarikan jalan agar urusan ini dapat diselesaikan dan kita tidak mendapat marah dari Sang Prabu. Akan tetapi,kuharap agar engkau suka menjadi tamu di sini dan jangan pergi dulu sebelum urusan kematian Bupati Progodigdoyo ini selesai. Bagaimana, Dimas Sutejo?"

   Lestari sudah lari dan memegang lengan Adiknya.

   "Tejo Adikku! Apa yang dikatakan oleh Kakangmas Resi memang benar dan tepat. Marilah, kita bicara di dalam, Adikku. Aku sungguh rindu sekali padamu dan dapat kau bayangkan betapa bahagianya aku dapat bertemu dengan engkau yang tadinya kukira sudah mati."

   Sepasang mata yang bening itu mengalirkan air mata dan Sutejo menghela napas panjang. Kalau Resi Mahapati bersikap baik, tentu saja dia pun tidak akan melakukan kekerasan. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat kepada Bromatmojo.

   "Nanti dulu, aku akan memanggil temanku!"

   Katanya kepada Lestari dan dia memandang ke atas, ke arah genteng yang terbuka di atas kamar tahanan itu.

   "Adi Bromo, turunlah!"

   Akan tetapi tidak ada jawaban dari atas.

   "Adi Bromatmojo!"

   Sutejo kembali berseru memanggil. Namun sunyi saja yang menyambut panggilannya. Resi Harimurti sudah melompat dari luar kamar itu ke atas genteng, dan tak lama kemudian dia melayang turun kembali.

   "Tidak ada siapa-siapa di atas,"

   Katanya. Sutejo mengerutkan alisnya, merasa heran mengapa Bromatmojo meninggalkan dia.

   "Siapakah temanmu itu, Tejo?"

   Tanya Kakaknya.

   "Dia? Ah, hanya seorang teman seperjalanan,"

   Jawab Sutejo singkat karena dia tidak mau bicara lebih banyak tentang Bromatmojo.

   Demi menjaga keselamatan kakaknya yang telah menjadi selir Resi Mahapati, Sutejo terpaksa tunduk dan dengan sabar dia menurut saja ketika digandeng oleh kakaknya meninggalkan kamar tahanan itu.

   Ke manakah perginya Bromatmojo? Tadi ketika Sutejo memasuki kamar tahanan itu,Bromatmojo hanya mengintai dari atas genteng. Dia juga ikut merasa ngeri menyaksikan wanita cantik yang amat kejam itu, yang ternyata adalah Kakak dari Sutejo, wanita yang agaknya sudah hampir gila oleh dendam sehingga mampu melakukan penyiksaan sedemikian kejamnya. Dia terkejut pula ketika melihat masuknya Joko Handoko dan Roro Kartiko dan diam-diam dia pun merasa amat kasihan kepada dua orang putera-puteri dari Progodigdoyo itu. Kemudian, ketika melihat Sutejo bertanding melawan Resi Harimurti, dia pun tidak dapat turun tangan. Pertandingan itu adalah satu lawan satu, maka tidak sepatutnya kalau dia mencampuri. Apalagi, bukankah Sutejo berada di antara keluarganya sendiri? Kalau dia melihat Sutejo dikeroyok misalnya, tentu dia sudah turun dan mengamuk.

   Apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Sutejo tidak mungkin kalah oleh Resi itu. Dia percaya akan kesaktian pemuda itu. Ketika Resi Mahapati melerai dan dia mendengar percakapan di bawah, tahulah dia bahwa keadaan Sutejo tidak akan berbahaya, dan bahwa tentu wanita cantik itu akan melindungi adiknya. Maka dia pun diam-diam lalu cepat pergi dari situ, karena dia sendiri maklum bahwa urusan Sutejo telah selesai dan kehadirannya di situ tentu hanya akan menimbulkan keributan saja. Sutejo telah berhasil membunuh musuh besarnya dan bertemu dengan Mbakayunya. Tidak perlu dia mengganggunya, dan pula, dia merasa tidak senang kalau harus berhadapan dengan Resi Mahapati, nama yang sudah tidak disenanginya semenjak dia mendengarnya sebagai majikan dari dua orang yang dibencinya, yaitu Reksosuro dan Darumuko. Dan ternyata Mahapati itu adalah kakak ipar dari Sutejo!

   Demikianlah, tanpa pamit Bromatmojo meninggalkan istana Resi Mahapati dan dia melakukan perjalanan cepat sehingga ketika Resi Harimurti mencari ke atas genteng dia sudah pergi jauh. Malam itu dilewatkan oleh Bromatmojo di dalam sebuah gubuk di belakang sebuah candi tua yang sunyi di tepi kota. Gubuk itu tadinya menjadi tempat penjaga, akan tetapi karena candi itu sudah tidak dipakai lagi, maka gubuk itu pun kosong. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melakukan penyelidikan untuk mencari dua orang yang dibencinya itu, yaitu Darumuko dan Reksosuro.

   Tadinya,setelah melihat Sutejo bertemu dengan kakaknya, dia ingin melanjutkan perjalanan ke Lumajang, untuk mencari Ki Ageng Palandongan. Akan tetapi ketika teringat kepada dua orang itu, dia ingin dulu bertemu dan memberi hajaran kepada dua orang yang dulu pernah menghina jenazah kakaknya itu. Mahapati telah dia lupakan karena dia mau memaafkan Mahapati yang ternyata adalah kakak ipar dari Sutejo, akan tetapi dua orang pria yang pernah menghina jenazah Mbakayunya dan pernah pula menghinanya di waktu dia masih kecil, harus dihajar!

   Tidaklah sukar bagi Bromatmojo untuk mencari dua orang itu yang cukup dikenal sebagai perwira-perwira pembantu Resi Mahapati. Dengan mengaku sebagai keponakan Darumuko, akhirnya Bromatmojo mendengar dari seorang perajurit pengawal Mahapati yang suka sekali mengobrol bahwa tadi dia melihat kedua orang perwira itu mengunjungi ledek (penyanyi/penari) Madumirah.

   "Ledek Madumirah? Di manakah rumahnya?"

   Tanya Bromatmojo dengan wajar, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, perajurit tadi dan dua orang temannya tertawa-tawa sehingga Bromatmojo memandang heran.

   "Orang muda, hati-hati kau kalau ke sana. Engkau muda dan wajahmu tampan sekali,bisa dimakan bulat-bulat engkau!"

   Kata seorang di antara mereka.

   "Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok dan dihisap sampai kering!"

   Orang ke dua tertawa.

   "Ahh, mana mungkin? Ada Pamannya, Darumuko dan Reksosuro berada di sana, siapa berani mengunjungi tempat itu kalau ada mereka?"

   Tentu saja Bromatmojo menjadi bingung dan sama sekali tidak mengerti.

   "Kisanak yang baik, tolong Andika beritahukan di mana rumah ledek Madumirah itu karena aku sungguh belum pernah mengetahuinya."

   "Setiap hidung di Mojopahit tahu belaka di mana rumahnya. Dia adalah seorang pensiunan ledek istana yang terkenal karena dia memelihara banyak sekali gadis-gadis cantik, heh-heh. Kau pergilah ke dusun Pemintihan di luar pintu gerbang sebelah barat. Aihh, kalau saja Pamanmu tidak sedang berada di sana dan kau mau membiayaiku, tentu suka sekali aku mengantarmu ke sana, Kisanak."

   Bromatmojo belum mengerti betul, akan tetapi baginya penunjukkan tempat itu sudah cukuplah. Maka berangkatlah dia ke pintu gerbang sebelah barat dari kota raja itu dan setelah tiba di dusun Pamintihan yang berada di luar kota raja,barulah dia tahu bahwa ledek Madumirah itu terkenal sebagai seorang germo yang mempunyai banyak sekali anak buah yang terdiri dari gadis-gadis cantik dan bahwa tempat itu sering kali dikunjungi oleh pejabat-pejabat Mojopahit yang datang untuk mencari hiburan!

   Hari telah siang ketika dia tiba di depan rumah yang cukup besar dan bersih itu,dan dengan langkah tenang dia memasuki pekarangan rumah. Baru saja tiba di depan pintu, dia telah disambut senyum manis dan kerling memikat dari dua orang wanita muda yang cantik. Sikap mereka menarik dan genit sekali, akan tetapi Bromatmojo harus mengakui bahwa mereka adalah dua orang yang tergolong cantik dan menarik.

   "Raden, silakan masuk..."

   "Agaknya baru sekarang kami melihat paduka, Raden. Dari istana manakah Paduka datang?"

   Bromatmojo tersenyum dan jantung dua orang wanita pelacur yang biasanya terpaksa melayani orang-orang tua dan buruk itu berdebar. Bukan main gagah dan tampannya pemuda ini, masih remaja pula. Tentu masih seorang perjaka yang belum tahu apa-apa,masih segar dan bersih!

   "Terima kasih, Nimas berdua. Aku datang dari tempat jauh dan ingin mencari dua orang yang bernama Darumuko dan Reksosuro. Apakah mereka berada di sini?"

   Kata Bromatmojo setelah dia dipersilakan duduk di ruangan depan.

   "Ahh... mereka memang berada di sini"

   Kata yang seorang.

   "Tetapi, mereka sedang... ehmmm..."

   Bromatmojo tidak mengerti.

   "Sedang apa?"

   Tanyanya karena dia sungguh tidak mengerti apa artinya kata-kata yang disambung dengan deheman itu.

   "Hi-hik, masa Paduka tidak tahu, Raden?"

   Kata yang baju hijau sambil mencubit lengan Bromatmojo dengan sikap manja.

   Bromatmojo bergidik. Celaka, pikirnya. Wanita-wanita di sini sungguh amat tak tahu malu dan genitnya bukan main. Dia tersenyum dan teringatlah dia akan pengalamannya bersama Sutejo ketika dirayu oleh wanita-wanita cantik yang kemudian ternyata adalah anggota-anggota Sriti Kecana.

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Manis, aku sungguh tidak mengerti. Mereka itu di mana sekarang?"

   Yang bajunya merah terkekeh genit, kemudian jari tangannya lancang mengusap dagu Bromatmojo yang halus itu.

   "Aih, ada orang kok begini gantengnya! Aduh, Raden, rasanya aku mau dijadikan tebu..."

   "Heh? Dijadikan tebu? Apalagi artinya ini?"

   Bromatmojo memang tidak biasa dengan kelakar-kelakar mereka yang mengandung sindiran cabul.

   "Ya, biar menjadi tebu dan dihisap-hisap oleh bibir ini..."

   Si Baju Merah kini menyentuh bibir Bromatmojo dengan sikap memikat sekali.

   "Dan saya ingin sekali dijadikan selimut, biar setiap malam menyelimuti Paduka kalau kedinginan, Raden,"

   Kata Si Baju Hijau.

   "Heii...! Ada apakah ramai-ramai di situ? Wah, ada tamu rupanya!"

   "Amboi, agaknya Raden Janoko yang datang ini. Aduh, bagusnya diborong sendiri saja!"

   "Pantas aku semalam mimpi kejatuhan bulan, kiranya akan bertemu dengan Sang Hyang Komajaya!"

   Tiga orang wanita yang baru datang dari dalam itu pun muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi kesemuanya genit dan bersikap memikat. Sebentar saja Bromatmojo dikurung oleh mereka, bahkan sudah ada yang berani mendekatkan muka ingin menciumnya. Dengan tertawa dan menyabarkan hatinya Bromatmojo mengelak dan menolak rayuan-rayuan mereka.

   "Maafkan, Nimas sekalian yang cantik manis. Kedatanganku ini sungguh bukan hendak bersenang-senang dengan kalian, sungguh pun hatiku bingung untuk memilih siapa di antara kalian yang paling cantik jelita. Semuanya cantik manis seperti bidadari dari kahyangan!"

   "Hi-hi-hik! Pandainya merayu!"

   "He-heh, sungguh persis seperti Raden Arjuno ketika dirayu oleh bidadari dari kahyangan!"

   Lima orang wanita muda itu menjadi makin gemas, bahkan kini ada yang mencoba untuk menarik-narik tangan Bromatmojo agar suka mengikuti masuk ke dalam kamarnya.

   "Kau tidak usah memberi hadiah apa-apa, Bagus..."

   "Aku malah rela menyerahkan semua tabunganku..."

   Mereka berebutan dan nyaris terjadi perkelahian antara wanita-wanita itu kalau tidak muncul seorang laki-laki dari sebelah belakang. Laki-laki ini usianya sudah empat puluh lima tahun, bertubuh jangkung dan pakaiannya cukup garang dan indah. Sikapnya angkuh dan bajunya terbuka memperlihatkan dadanya yang kurus sehingga nampak tulang iganya. Akan tetapi sebatang keris panjang terselip di pinggangnya.

   "Heh, siapa berani membuat gaduh di sini? Mengganggu orang yang sedang bersenang-senang dan mengaso! Hayo mengaku siapa kau atau kuhancurkan kepalamu!"

   Bentak orang itu sambil melotot memandang kepada Bromatmojo. Seorang wanita yang cantik pula,tidak berbaju hanya memakai tapih pinjung dan rambutnya kusut, leher dan mukanya berpeluh, agaknya dialah wanita yang melayani laki-laki galak ini, keluar dari kamar dan menyentuh lengan laki-laki itu.

   "Kenapa marah-marah, Kakangmas...?"

   "Minggir kau! Aku akan menghajar bocah lancang ini! Berani kau datang ke sini,ya? Tidak tahu bahwa aku sedang bersenang di sini dan tidak sudi diganggu oleh bocah macam engkau? Mau menjual tampang, ya?"

   Laki-laki itu makin marah ketika melihat wanita yang baru saja melayani itu kini juga memandang kepada pemuda tampan itu dengan sinar mata kagum!

   Si Baju Merah yang amat bernafsu untuk meraih cinta kasih pemuda tampan seperti Arjuno itu cepat berkata.

   "Harap maafkan, Kakangmas, Raden ini katanya adalah masih keluarga dari Kakangmas Darumuko. Bukankah begitu katamu tadi, Raden?"

   Bromatmojo mengangguk tersenyum, akan tetapi matanya tajam memandang kepada laki-laki di depannya itu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan mata yang juling itu. Kiranya hanya seorang saja laki-laki jangkung sombong yang bermata juling seperti Reksosuro ini di atas dunia atau setidaknya di seluruh Mojopahit! Akan tetapi dia menahan sabar karena dia ingin mendapatkan dua-duanya.

   "Benar, manis. Di manakah Paman Darumuko?"

   Tanya Bromatmojo sambil mencubit dagu Si Baju Merah sehingga wanita itu menjadi merah mukanya. Matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum gemetar seperti seorang anak perawan yang baru pertama kali jatuh Cinta! Mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah keponakan Darumuko, tentu saja Reksosuro tidak mau bertindak ceroboh.

   Akan tetapi dia merasa tidak percaya bahwa temannya itu mempunyai seorang keponakan yang tampan ganteng seperti ini,maka dia lalu berteriak.

   "Adi Darumuko! Ke sinilah sebentar! Keluarlah, ada urusan penting!"

   Dari dalam sebuah kamar yang daun pintunya tertutup terdengar suara orang,nadanya tidak senang.

   "Aah... bagaimana sih Kakang Reksosuro. Mengganggu saja!"

   "Keluarlah sebentar saja, ada orang mengaku sebagai keponakanmu!"

   Kata pula Reksosuro yang masih belum hilang marahnya.

   Lama terdengar suara orang bersungut-sungut diselingi kekeh seorang wanita dari dalam kamar itu, lalu daun pintu berbunyi dan terbuka. Muncullah seorang laki-laki yang pakaiannya masih kedodoran diikuti seorang wanita yang juga hanya bertaping pinjung dengan rambut kusut dan badan penuh keringat. Siang itu memang hawanya panas sekali. Pria ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya kurus kecil, bibirnya tebal sekali dan matanya liar, mukanya bulat. Girang sekali hati Bromatmojo ketika dia mengenal bahwa orang ini memang benar Darumuko. Dua orang musuhnya itu telah berada di depannya sekarang!

   "Apa maksudmu, Kakang Reksosuro? Mana orangnya yang mengaku keponakanku itu?"

   Darumuko bertanya dengan muka jelas memperlihatkan ketidak-senangan hatinya.

   "Itu dia. Katanya dia adalah keponakanmu."

   Darumuko sudah siap untuk memaki orang yang mengaku-aku dan mengganggu kesenangannya itu, akan tetapi ketika dia melihat wajah yang tampan dan ganteng itu, dia tidak jadi marah. Mempunyai seorang keponakan seperti ini sungguh boleh dibanggakan! Maka dia lalu berkata dengan lagak sombong, memandang ke arah wanita-wanita itu dengan matanya yang liar.

   "Mungkin saja dia ini seorang di antara keponakanku yang sangat banyak."

   "Adi Darumuko, engkau benar mempunyai keponakan sehebat ini?"

   Reksosuro heran dan kagum.

   "Biasa saja. Banyak keponakanku yang seperti ini. Memang sudah kukatakan berkali-kali,ada darah priyayi mengalir dalam tubuhku, Kakang Reksosuro!"

   "Hemm, karena keturunan dan darah priyayi luhur, kenapa ada yang keluar seperti engkau itu?"

   Reksosuro yang sudah biasa berkelakar itu berkata sambil tertawa.

   "Ha-ha, apakah aku kurang gagah? Memang tidak begitu tampan, akan tetapi aku menuruni kegagahannya. Mungkin darah endeg-endeg (bagian yang kotor) yang menjadi aku, dan yang bening-bening menjadi seperti dia inilah. Eh, kulup,benarkah engkau mencari Pamanmu yang bernama Darumuko?"

   Tanya Darumuko dengan sikap manis kepada Bromatmojo yang hanya tersenyum mendengar percakapan mereka yang konyol itu.

   "Benar, aku mencari Darumuko dan Reksosuro."

   "Akulah Darumuko! Engkau tentu keponakanku!"

   "Dan akulah Reksosuro! Jangan-jangan aku Pamanmu itu!"

   Reksosuro tidak mau kalah.

   Bromatmojo tersenyum dan bangkit berdiri dari bangku yang tadi didudukinya sambil mendorong wanita-wanita yang masih mengerumuninya itu ke kanan kiri.

   "Sungguh kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan kalian berdua di sini. Memang aku mencari kalian karena ada pesan untuk kalian."

   "Eh, pesan? Untuk kami? Pesan dari mana?"

   Reksosuro kini memandang tajam karena dia melihat betapa sikap pemuda itu sama sekali tidak menghormat lagi dan tidak menyebut Paman lagi.

   "Dari kuburan!"

   Jawab Bromatmojo. Wanita-wanita itu menjerit lirih dan melangkah mundur, terbelalak memandang kepada Bromatmojo. Dua orang laki-laki yang sudah biasa menghadapi musuh itu adalah orang-orang yang tangguh dan pemberani, akan tetapi semenjak kecil sampai usianya empat puluh tahunan, Darumuko yang pemberani dan kejam itu amat penakut terhadap setan. Maka begitu mendengar bahwa pesan itu datang dari kuburan, seketika mukanya menjadi pucat dan kakinya menggigil!

   "Bocah, jangan main-main dan kurang ajar kau! Hayo berkata yang benar!"

   Reksosuro membentak dan mulai curiga dan marah.

   "Memang sesungguhnya aku mendapat pesan dari orang yang sudah mati untuk disampaikan kepada kalian berdua,"

   Kata Bromatmojo dengan sikap dan suara sungguh-sungguh.

   "Hiiihhhh"

   Darumuko mendekati Reksosuro, matanya makin liar dan mukanya makin pucat dan mulutnya berkemak-kemik,

   "Hong...wilaheng...nir boyo sedyo rahayu...!

   "Keparat, kau berani mempermainkan kami? Hayo mengaku siapa kau dan apa niatmu datang mencari kami!"

   Reksosuro membentak dan melangkah maju mendekati Bromatmojo. Betapa pun juga, tentu saja dia tidak merasa takut menghadapi pemuda remaja yang tampan dan halus itu, yang agaknya dengan sekali pukul saja sudah akan dapat dia robohkan.

   "Reksosuro dan Darumuko, dengarlah baik-baik. Buka lebar-lebar kedua telingamu dan kedua matamu! Ingatkah kalian akan seorang dara suci murni bernama Sri Winarti yang tewas suduk seliro (bunuh diri dengan keris) di Sungai Tambakberas karena berbela pati atas kematian Adipati Ronggo Lawe? Nah, dara suci itulah yang menyuruh aku menyampaikan pesan kepada kalian!"

   Wajah Reksosuro menjadi pucat dan kini Darumuko makin menggigil. Mereka segera teringat dan terbayanglah di depan mata mereka dara cantik jelita yang bunuh diri dengan keris pusaka Kolonadah itu, yang kemudian lenyap entah ke mana,seolah-olah jenazah itu hidup kembali dan dapat melarikan diri begitu saja!

   Kemudian mereka mendengar pelaporan yang disampaikan kepada Resi Mahapati oleh Gagaksona malam tadi bahwa keris pusaka Kolonadah telah diambil orang dari sebuah kuburan tersembunyi di dalam hutan dekat Sungai Tambakberas. Dan sekarang,pemuda ini menyatakan bahwa dia membawa pesan dari gadis yang mati itu untuk mereka! Betapapun juga, timbul harapan di hati Reksosuro untuk mendengar tentang keris pusaka Kolonadah yang kabarnya tidak berhasil dirampas oleh orang-orang Resi Mahapati.

   "Hemm, tentu kami ingat. Bukankah yang membunuh diri dengan keris pusaka Kolonadah itu? Apakah kau hendak memberitahukan kepada kami di mana adanya keris pusaka Kolonadah? Jangan khawatir, engkau akan mendapatkan hadiah besar, orang muda."

   "Sayang sekali, pesannya bukan begitu, Reksosuro dan Darumuko."

   "Habis, apa... apa... pesannya?"

   Darumuko mencoba untuk

   mengatasi rasa takutnya dengan bersikap garang dan membentak-bentak, akan tetapi tetap saja bentakan-bentakan itu keluar dengan gagap. Sementara itu, melihat bahwa suasana menjadi makin panas, para wanita pelacur itu sudah mundur-mundur menjauhkan diri dan sekarang di antara mereka terdapat seorang wanita setengah tua yang masih kelihatan cantik, dan dia ini adalah Nyi Madumirah bekas ledek keraton itu! Wanita-wanita itu kelihatan ketakutan dan mengkhawatirkan pemuda tampan itu karena mereka semua sudah mengenal siapa adanya Reksosuro dan Darumuko yang kejam.

   Pernah mereka berdua memukuli dan menghajar dua orang pemuda sampai pingsan ketika pemuda-pemuda itu berani datang ke tempat itu dan bercanda dengan para pelacur selagi mereka berdua berpelesir. Tentu saja pemuda-pemuda itu bukanlah putera bangsawan, melainkan rakyat biasa, karena dua orang perwira ini pun bukan orang bodoh. Terhadap putera-putera bangsawan yang orang tuanya lebih tinggi kedudukannya tentu saja mereka itu siap untuk setiap saat bersikap hormat dan menjilat-jilat. Biasanya, seorang yang suka menindas ke bawah tentulah suka pula menjilat ke atas, seorang yang kejam terhadap bawahannya tentulah seorang penjilat terhadap atasannya. Karena seorang penjilat adalah seorang yang mengejar kekuasaan, dan sikapnya yang menindas terhadap bawahan justru untuk menonjolkan kekuasaannya itulah!

   Bromatmojo tersenyum mengejek. Dia ingin menghajar dua orang ini bukan demi dirinya sendiri, maka dia tidak perlu memperkenalkan diri sebagai Sulastri,melainkan untuk menebus penghinaan terhadap jenazah Kakaknya.

   

Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini