Kemelut Di Majapahit 2
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Akhirnya dia naik ke pentas dan selagi dia hendak mengenakan kembali pakaian dia hendak mengenakan kembali pakaian luarnya, tiba-tiba telinganya mendengar suara jerit wanita, datangnya jauh dari dalam hutan itu. Trengginas, seperti seekor harimau, Sang Adipati Rongo Lawe melompat dan berlari memasuki hutan itu, meninggalkan kuda dan pakaiannya, mengerahkan seluruh aji kesaktiannya sehingga larinya secepat seekor suara tangis wanita yang makin jelas terdengar itu.
Tiba-tiba dia berhenti dan mengintai dari balik pohon dengan mata beringas. Kemarahan yang sejak tadi sudah bernyala di dalam rongga dada adipati ini, kini menjadi makin berkobar ketika dia melihat lima orang laki-laki tinggi besar duduk seenaknya di atas rumput. Tiga orang di antara mereka tertawa terkekeh sambil menonton adegan yang memuakkan hati Ronggo Lawe, yaitu seorang wanita yang sudah terlepas gelung rambutnya yang panjang dan hampir telanjang pakaiannya yang dicabik-cabik oleh laki-laki itu. Si wanita berusaha mempertahankan kehormatan dengan meronta-ronta, mencakar dan kadang-kadang menjerit dan menangis, sedangkan laki-laki tinggi besar berperut gendut itu berusaha untuk menciumi bibir wanita itu dan menindihnya sambil terkekeh (Lanjut ke Jilid 02)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
menjijikkan. Ada pun orang ke dua sedang mempermainkan seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang terbelalak ketakutan dan mengigil ketika laki-laki tinggi besar yang memangkunya itu menciumi mukanya sambil terkekeh dan berkata.
"Engkau juga calon seorang dara cantik, ha-ha-ha!"
"He, Jubis, hayo cepat, kami sedang menanti giliran kami, ha-ha-ha!"
Tiga orang itu memandang laki-laki pertama yang menggumuli dara itu dengan mata mengandung penuh gairah nafsu.
Ronggo Lawe merasa betapa dadanya hampir meledak saking marahnya. Bagi dia yang sedang marah kepada Mojopahit, pemandangan yang dilihatnya itu merupakan tanda keruntuhan kerjaan sehingga ada penjahat yang demikian nekat melakukan perbuatan laknat tidak jauh dari wilayah Mojopahit. Dia mengeluarkan suara seperti harimau untuk melepaskan kemarahannya, kemudian tubuhnya meloncat ke depan, dua kali dia menendang dan dua orang laki-laki tinggi besar yang menggumuli dara cantik bersama anak perempuan itu terlepas dari cengkraman mereka dan terpelanting pula. Si dara dengan muka pucat menengok, dan melihat bahwa penolongan itu seorang laki-laki gagah perkasa yang hanya memakai cawat dan pakaian dalam, dia cepat membetulkan kainnya yang koyak
Sementara itu, dua orang yang kena tendang tadi mengaduh-aduh, akan tetapi dengan marah mereka bangkit berdiri, bersama tiga orang temannya mereka mencabut kelewang (golok) dan memandang kepada Ronggo Lawe penuh kemarahan. Tentu saja mereka tidak mengenal adipati yang telah meninggalkan pakaian luarnya itu, dan mengira bahwa yang menganggu kesenangan mereka hanyalah seorang dusun belaka.
"Heh keparat siapa kamu, berani mengantar nyawa dengan mengganggu kesenangan kami?"
Bentak seorang di antara mereka yang jenggotnya sekepal sebelah dan matanya sebesar jengkol, agaknya pemimpin mereka yang tadi sedang berusaha memperkosa dara itu dan dipanggil dengan nama Jubris oleh kawan-kawannya.
Sinar mata Rongo Lawe ketika memandang mereka seperti api yang hendak membakar, kemarahan membuat dia sukar membuka mulut untuk bicara, akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata.
"Aku mewakili Sang Hyang Yomodipati untuk mencabut nyawa kalian manusia-manusia busuk!"
Lima orang itu menjadi makin marah dan dengan teriak-teriak liar mereka lalu menyerbu, mengeroyok dan menyerang Ronggo Lawe denagn golok mereka. Terdengar angin bersuitan dan golok itu berdesing ketika senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar ganas ke arah tubuh Ronggo Lawe dari semua jurusan. Ternyata bahwa lima orang penjahat itu bukanlah perampok-perampok sembarangan dan melihat gerakan mereka ketika menyerang, jelas bahwa mereka itu memiliki kepandaian dan kekuatan yang lumayan. Adipati Ronggo Lawe memang sudah menduga akan hal ini karena melihat dua orang itu tadi masih sanggup bangkit lagi setelah terkena tendangan-tendangannya, dia mklum bahwa mereka bukan orang-orang lemah.
Akan tetapi betapa pun ganas dan kuatnya lima orang gerombolan penjahat yang pekerjaannya hanya merampok, membajak dan mangganggu rakyat kecil, tentu saja bukan apa-apa bagi Adipati Ronggo Lawe, Senopati Mojopahit yang sudah terkenal sekali memiliki kepandaian hebat, sakti mandraguna dan sudah memeiliki pengalaman luas dalam pertempuran dan perang campuh. Maka begitu melihat lima orang yang amat dibencinya karena perbuatan mereka tadi kini menerjang dengan golok mereka yang berkilauan saking tajamnya dan sering diasah, Ronggo Lawe sama sekali tidak mau mengelak, bahkan dia memapaki mereka dengan gerakan cepat dan tangkas sekali.
Kedua tangannya sudah menyambar ke depan, menyambut dua batang golok yang datang paling dulu, tahu-tahu kedua tangannya dari bawah sudah menangkap pergelangan tangan dua orang yang memegang golok itu, kemudian dengan bentakan keras dia mengerahkan tenaga dan dua batang golok itu berikut tangan-tangan yang memegangnya telah terjerumus ke depan menyambut dua batang golok lain sedangkan kaki kirinya yang panjang menendang ke arah depan, tepat menghantam perut seorang diantara lima pengeroyoknya sebelum golok orang itu dapat mendekatinya.
"Tranggg...cringggg...bukkk...!"
Lima orang perampok itu berteriak kaget sekali, dan orang yang kena ditendang perutnya, sekali ini merupakan tendangan yang dilakukan denagn pengerahan tenaga sakti sehingga datangnya amat cepat dan kuat. Batu gunung sekali pun akan ambyar terkena tendangan maut ini, apalagi hanya perut itu disisi dengan benda-benda kotor sedangkan hawa murni di tubuh itu sudah habis oleh penghamburan melalui nafsu-nafsu rendah.
Orang itu hanya sempat mengeluh pendek, tubuhnya terlempar ke belakang dan terbanting jatuh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena dia tewas seketika pada saat kaki telanjang Ronggo Lawe bertemu dengan perutnya. Ada pun empat orang perampok lainnya terbelalak kaget karena mereka tadi hanya merasakan senjata golok-golok mereka yang diadu dengan amat kerasnya itu menjadi patah-patah!
"Keparat, hidup kalian hanya mengotorkan jagad!"
Ronggo Lawe membentak dan tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Selagi mereka melongo saking kaget dan herannya, tubuh Ronggo Lawe bergerak cepat, dua tangannya menyambar-nyabar dan dua kali mesing-masing telapak tangannya menampar. Tamparan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh empat orang itu.
"Plak-plak-plak-plak!"
Empat orang terpelanting dan berpusing seperti disambar halilintar, kedua tangan memegangi kepala, kemudian roboh tergelimpang dan tidak bergerak lagi karena kepala mereka retak-retak oleh tamparan maut itu dan mereka tewas seketika. Ronggo Lawe berdiri tegak dan menunduk, memandang ke arah lima mayat yang dirobohkannya, dadanya yang tadi penuh hawa amarah menyesakkan napas, kini terasa lega seolah-olah telah tersalur ke luar segala rasa penasaran dan kemarahannya yang mulai menyala di dalam istana sang prabu di Mojopahit. Lenyap rasa pening di kepalanya dan pandang matanya menjadi awas. Mengingat akan kekejian yang dilakukan lima orang ini terhadap gadis dan anak perempuan tadi, dia melihat bahwa sudah semestinya turun tangan memberi hukuman kepada mereka, maka Ronggo Lawe tidak merasa menyesal telah membunuh mereka, bahkan merasa lega karena gadis dan anak perempuan kecil itu dapat terbebas dari bencana. Ngeri itu membayangkan andaikata dia tadi datang terlambat!
"Saya dan adik saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kisanak yang telah menyelamatkan kami".."
Suara halus di belakangnya inu membuat Ronggo Lawe sadar dan dia cepat membalikkan tubuhnya dan memandang ke bawah, di mana gadis tadi sambil menggandeng anak perempuan itu telah berlutut dan menyembah kepadanya. Wajah gadis itu menengadah, memandang kepadanya denagn sinar mata lembut dan bening, penuh keharuan dan penuh rasa terima kasih, sepasang mata yang bercahaya terang di wajah yang masih agak pucat, wajah seorang dara ayu, seperti setangkai bunga yang masih basah dan kekelahan habis diserang badai mengganas.
"Hemmm"..siapakah engkau, nini???"
Tanya Ronggo Lawe, diam-diam dia mengagumi kecantikan yang asli dari gadis tepi sungai Tambakberas ini.
"Saya bernama Sri Winarti, dan ini adalah adik saya"."
"Saya Sulastri! Kepandaian paman hebat bukan main, dan saya ingin sekali dapat memiliki kepadanian seperti itu untuk melindungi kakak saya!"
Dengan lincah dan jenaka anak perempuan itu menyambung kata-kata kakaknya.
Ronggo Lawe tersenyum dan lenyaplah keangkeran wajahnya yang berkumis seperti Gatutkaca itu, berobah menjadi wajah tampan yang ramah. Namun hanya sebentar saja perasaan ksatria ini tersentuh kegembiraan oleh sikap Sulastri, dan dia sudah memandang lagi penuh wibawa.
"Sudahlah, bahaya sudah lewat. Kalian pulanglah, aku akan melaporkan kematian mereka itu kepada lurah setempat."
Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe melangkah hendak pergi mengambil pekaiannya di luar hutan dan melapor kepada kepala dusun yang berdekatan agar lima mayat penjahat itu dapat diurus sebagaimana mestinya.
Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara halus merdu dari belakang memanggilnya.
"Kisanak"..!"
Ronggo Lawe berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia tahu bahwa Sri Winarti yang memanggilnya dan maklum bahwa gadis itu tentu saja tidak tahu bahwa dia adalah Adipati Ronggo Lawe karena pada saat itu dia hanya mengenakan pakaian dalam dengan dada telanjang. Diam-diam Ronggo Lawe tersenyum dan teringat akan kenyataan bahwa yang membedakan manusia, dari tingkat dan derajat, pandai dan bodoh, kaya dan miskin mulia dan hina, hanyalah pakaian belaka. Tanggalkanlah pakaian dari tubuh mereka, dan semua manusia adalah sama saja! Apa bedanya dia dengan seorang pentani atau nelayan? Juga tidak ada bedanya antara dia dan ang prabu sekali pun! Maka yang terpenting dalam kehidupan bukanlah benda-benda lahiriah, kedudukan, harta, pengetahuan dan nama, karena semua itu tidak ada bedanya dengan pakaian belaka. Yang terpenting adalah batinnya! Batinnya yang harus berubah, yang harus "maju", bukan lahir!
"Ada apakah, nini?"
Tanyanya halus, terharu juga dia mendengar sebutan "kisanak"
Tadi karena selamanya baru ini ada orang, gadis remaja lagi, menyebutnya kisanak, padahal biasanya dia disebut dengan penuh pengormatan dan sanjungan.
Sri Winarti menggandeng tangan Sulastri, berlari kecil menghampiri Ronggo Lawe, kemudian dara itu menjatuhkan dirinya berlutut lagi. Ronggp Lawe mengerutkan alisnya, menduga bahwa agaknya gadis ini mengenal siapa dia maka menyembah-nyembah.
"Ah, aku hanya seorang dusun, jangan kau sembah-sembah, nini."
"Tidak, kisanak adalah sesembahan saya, bintang penolong saya".. dan harap suka menaruh kasiahan kepada saya".. kepada adik saya".."
"Hemm".. apa maksudmu?"
"Saya dan adik saya tentu telah tewas, bahkan lebih hebat daripada itu, apabila tidak ada pertolongamu, kisanak. Oleh karena itu, terimalah kami untuk menghambakan diri"..saya hendak menyerahkan jiwa raga saya kepadamu untuk membalas budi dan untuk mohon perlindungan selamanya".."
"Ehhh! Maksudmu". kau hendak menyerahkan diri menjadi isteriku?"
Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah dan cepat menunduk. Dengan suara gemetar dara itu berkata halus.
"Terserah kepada kehendakmu, saya menyerahkan jiwa raga kepadamu"., menjadi isteri, menjadi pelayan atau apa saja akan saya lakukan dengan tulus ikhlas dan setia."
Ronggo Lawe mengerutkan alisnya yang tebal.
"Hemm, nini, engkau masih amat muda akan tetapi telah mengambil keputusan begitu aneh dan nekad. Aku telah mempunyai dua orang isteri, dan aku menolongmu tadi tanpa pamrih balasan apa pun, aku tidak mempunyai niat untuk memperisterimu."
"Eh, paman, apakah mabkyuku ini kurang cantik? Dia adalah kembang dusun kami, dan aku akan girang sekali kalau mempunyai kakak ipar seperti paman yang gagah perkasa! Aku ingin belajar kesaktian tadi!"
Sulastri berkata lantang.
"Kisanak, maafkan saya. Kalau kisanak tidak berkenan mengambil saya sebagai isteri, biarlah saya menghambakan diri sebagai pelayan, mencucikan pakaianmu, membersikan lantai dan kebun rumahmu".."
"Tidak, aku tidak bisa menerima"..kalian pulanglah ke rumah kalian, aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan."
Ronggo Lawe menganggap bahwa peluapan rasa terima kasih yang dirasakannya berlebihan dari dara muda cantik jelita itu sebagai suatu godaan, maka dia segera meninggalkan dara itu. Akan tetapi ketika dia mendengar isak tangis, dia terheran dan cepat menengok. Gadis itu berlutut sambil menangis dan menutupi mukanya dengan sedih sekali! Sedangkan Sulastri, anak kecil itu, berdiri dekat kakaknya dan memandang kepadanya dengan mata mengandung rasa penasaran dan kemarahan!
"Eh, mengapa kau menangis, nini?"
Ronggo Lawe melangkah kembali dan bertanya dengan suara halus, penuh selidik.
Dengan suara terisak-isak Sri Winarti menceritakan keadaannya. Dia dan adiknya adalah dua orang anak yatim piatu karena ayah dan ibunya telah tiada. Semenjak ayahnya meninggal karena sakit menyusul ibunya, beberapa bulan yang lalu, dai hanya hidup berdua dengan adiknya di dusun Gendangan dekat sungai Tambakberas. Dan mulailah mereka, atau lebih tepat dia, mengalami gangguan-gangguan dari para pria di mana pun dia berada. Hari itu dia dan adiknya mencari kayu bakar di hutan dan hampir saja mereka menderita malapetaka yang amat mengerikan.
"Berkat pertolongan kisanak maka saya dan adik saya selamat dan saya merasa yakin bahwa di bawah perlindungan kisanak saja maka kehidupan saya dan adik saya akan terjamin keselamatannya. Saya tidak berani pulang".. setelah mereka ini tewas"., karena tentu hal ini akan terdengar oleh kawan-kawan mereka dan kami akan celaka"."
Demikian Sri Winarti melanjutkan kata-katanya.
Ronggo Lawe menarik napas panjang, kemudian berlata.
"Jangan khawatir. Kalau begitu, marilah engkau ikut bersamaku ke dusun Gendangan, di mana aku akan menyerahkan engkau dan adikmu dalam perlindungan Ki Lurah Gendangan."
"Ahhhh".!"
Dara itu menjerit lirih seperti orang terkejut dan ketakutan.
"Kenapa?"
Ronggo Lawe bertanya heran.
"Telah lama Lurah Gendangan membujuk-bujuk saya untuk menjadi selirnya, akan tetapi selalu saya tolak. Menyerahkan saya dalam perlindungan Lurah Gendangan sama artinya sengan memasukkan saya ke dalam sarang harimau buas."
Makin dalam kerut merut di kening adipati itu.
"begitukah? Mari, kita lihat saja nanti di Gendangan. Aku tanggung bahwa lurah itu tidak akan berani bertindak sewenang-wenang lagi. Jangan kau takut, aku akan melindungimu."
Akhirnya Sri Winarti dan Sulstri mengikuti Ronggo Lawe yang mengambil pakaiannya di dekat sungai, setelah berpakaian di dekat sungai, setelah berpakaian dan menuntun kudanya lalu adipati itu mengajak Sri Winarati dan adiknya menuju ke dusun Gendangan. Setelah Ronggo Lawe berpakaian, dia lalu berlutut dan menyembah.
"Harap paduka sudi mengampuni hamba, raden"..hamba tidak tahu bahwa paduka"..seorang bangsawan"."
"Hushhh, sudahlah. Bangsawan atau bukan, aku hanya seorang manusia saja, tidak ada bedanya dengan engkau. Mari kita berangkat ke Gendangan!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Sri Winarti ketika mereka tiba di halaman gedung Ki Lurah Gendangan, dia melihat ki lurah sendiri bersama para pembantunya menyambut penolongnya sambil menyembah-nyembah dan menyebutnya gusti adipati! Seluruh tubuh dara itu mengigil dan kedua kakinya lemas sehingga diapun berlutut dan menyembah sambil menarik adiknya untuk berlutut pula. Kiranya yang menolongnya itu adalah Adipati Tuban, Adipati Ronggo Lawe yang terkenal! Perasaan aneh menyelinap di dalam hati dara remaja ini. Memang tdia dia telah merasa kagum dan berterima kasih, perasaan itu telah membangkitkan cinta kasih dan penyerahan di dalam hati dara ini terhdap penolongnya. Biar pun penolongnya itu bukan seorang pria yang sudah matang, yang usianya hampir empat puluh tahun, namun dia melihat seorang pria yang jantan, gagah perkasa, berbudi dan halus tutur sapanya, membuat dia merasakan kemesraan yang mendalam. Kini, setelah mendengar bahwa pria itu adalah Sang Adipati Tuban yang terkenal sakti mandraguna dan arif bijaksana, hati dara itu makin tertnduk dan cinta yang bersemi di lubuk hatinya menjadi makin subur.
Dengan singkat Ronggo Lawe menceritakan kepada Ki Lurah Genangan tentang lima penjahat yang hendak mengganggu Sri Winarti dan adiknya.
"Mereka telah kubunuh dan mayat mereka berada di dalam hutan,"
Adipati itu melanjutkan.
"Harap engkau suka mengurus mayat-mayat itu."
"Baik, gusti adipati,"
Ki lurah menjawab cepat.
"Selain itu, aku mendengar bahwa Sri Winarti dan Sulastri ini sudah yatim piatu, maka sudah sepatutnya kalau ki lurah melindungi mereka di dusun ini."
Wajah ki lurah yang sudah lebih dari lima puluh tahun usianya itu berseri gembira mendengar ini.
"Tentu ".., tentu mereka baik-baik, harap paduka jangan khawatir, gusti adipati.""Aku mendengar bahwa engkau pernah membujuk Sri Winarti untuk menjadi selirmu?"
Pertanyaan yang tiba-tiba ini sekaligus mengusir seri wajah ki lurah dan dia menjadi gugup.
"Ini". Ini"."
Dia tergagap.
"Aku tidak akan melarang engkau untuk mengambil selir. Itu adalah hakmu, ki lurah. Akan tetapi kalau engkau memaksa seorang wanita menjadi selirmu, dengan menggunakan kekuasaanmu, berarti engkau akan sama jahatnya dengan mereka yang kubunuh di dalam hutan itu!"
"Ti".Tidak ".Hamba takkan memaksa orang"."
"Baik kalau engkau tidak melakukannya, dan ingat dua orang anak ini berada di bawah perlindungaku, kalau sampai terjadi sesuatu atas diri mereka, aku akan minta pertanggungan jawabmu. Mengerti?"
Dengan muka berobah lurah itu mengangguk-angguk seperti seekor ayam mematuki gabah, menyatakan janji ketaatannya.
Ronggo Lawe lalu menoleh kepada Sri Winarti dan Sulastri yang masih berlutut.
"Nini, kauajaklah adikmu pulang."
Sri Winarti menyembah, mengangkat muka dan memandang denagn muka penuh kedukaan kemudian pergi bersama adiknya dari halaman gedung kelurahan itu. Setelah menerima penyambutan dan jamuan Ki Lurah Gendangan, tak lama kemudian Adipati Ronggo Lawe meninggalkan dusun Gendangan, membedal kudanya menuju ke Tuban. Akan tetapi baru saja keluar dari batas dusun, di tengah jalan dia melihat di dalam gelap sosok tubuh seorang wanita. Dia menahan kudanya dan ternyata Sri Winarti dan Sulastri telah menanti di tengah jalan.
"Eh, engkau lagi, nini? Mengapa kau menghadangku di sni?"
Ronggo Lawe meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri dara itu sambil menuntun kudanya.
Dengan isak tertahan Sri Winarti melangkah maju kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki sang adipati dan menyembah-nyembah.
"Gusti adipati". Hamba".Hamba sekali lagi mohon agar paduka menerima hamba bersuwita (menghambakan diri)"."
Setelah meragu sebentar seolah-olah berat dia mengeluarkan kata-kata itu, Sri Winarti menyambung.
"Hamba telah bersumpah tidak akan menghentikan usaha hamba untuk membalas budi paduka"."
"Sudahlah, nini. Engkau masih amat muda, dan cantik rupawan. Dunia terbentang luas dihadapanmu dan ki lurah tidak nanti akan berani mengganggumu lagi. Kau akan bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan cakap, yang sesuai untuk menjadi suamimu dan""
"Hamba juga sudah bersumpah tidak akan melayani lain pria kecuali paduka!"
Dara itu memotong cepat.
Ronggo Lawe terkejut sekali, apalagi ketika dia melihat di antara kesuraman cuaca senja yang hampir terganti malam, betapa sepasang mata yang jernih itu memandangnya dengan sinar yang mengandung asmara! Ronggo Lawe menghela napas panjang.
"Dan hamba pun bertekad untuk berguru kepada paduka!"
Sulastri yang kecil dan pandai bicara, juga tabah sekali itu, berkata.
Ronggo Lawe lalu mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari sela kudanya. Pundi-pundi itu terisi uang yang diserahkan kepada Sri Winarrti.
"Nini ketahuilah bahwa aku sedang menghadapi persoalan negara yang amat ruwet, maka tentu saja pada saat seperti ini aku tidak mempunyai waktu dan minat untuk bicara tentang niatmu menghambakan diri padaku, sungguh pun aku menerimanya dengan hati terharu dan gembira. Kauterimalah pundi-pundi ini dariku, dan kelak kalau sudah selesai urusan negara, percayalah bahwa aku tidak melupakan seorang dara bernama Sri Winarti yang tinggal di susun Gendangan."
Ucapan halus yang merupakan bayangan janji itu membuat Sri Winarti girang bukan main, dan sendang sesengukan dia mencium kaki sang adipati sambil menerima pundi-pundi dan menghaturkan terima kasih. Kemudian Adipati Ronggo Lawe juga menyerahkan sebuah benda kepada Sulastri. Benda ini adalah sebuah cincin yang tadi dilolos dari jari manis kiri sang adipati.
Sulastri, aku tahu bahwa engkau adalah seorang calon pendekar wanita yang hebat, akan tetapi sekarang bukanlah saatnya bagiku untuk menerima murid seperti engkau ini. Akan tetapi, kau terimalah Kundolo Mirah ini sebagai tanda bahwa engkau adalah murid Adipati Ronggo Lawe. Kundolo ini akan membuka pintu bagimu untuk dapat berhubungan dengan orang-orang yang sakti mandra guna di seluruh Nusantara.
Sulastri menerima perhiasan itu dengan girang. Kundolo adalah perhiasan cincin untuk telinga, yang oleh adipati itu dipakai di jari tangannya. Terbuat daripada emas berukir dan di tengahnya terhias sebutir batu mirah yang aseli.
Setelah memberikan pundi-pundi dan kundolo, Adipati Ronggo Lawe lalu meloncat ke atas kudanya dan melanjutkan perjalanannya ke utara, ke Tuban. Sri Winarti berdiri sambil memeluk adiknya dan memandang sampai bayangan pria yang telah merenggut cinta kasih hatinya itu lenyap dalam cuaca yang meulai menggelap. Kemudian, dengan pundi-pundi ditekan di dada, seolah-olah benda itu menggantikan pemberinya, dara ini bersama adiknya perlahan-lahan memasuki dusun Gendangan, membayangkan wajah yang gagah perkasa itu penuh kemesraan.
Pada keesokan harinya, Aryo Wirorojo yang bernama Banyak Wide atau Aryo Adikoro, Bupati Sumenep yang semenjak Raden Wijaya menjadi raja di Mojopahit tidak kembali ke Madura, melainkan tinggal bersama puteranya, Ronggo Lawe di Tuban, pergi ke kadipaten untuk menemui puteranya setelah dia mendengar bahwa puteranya telah kembali malam tadi dari Mojopahit.
Senopati Mojopahit yang telah berusia enam puluh tahun lebih ini masih nampak gagah dan sehat, sikapnya tenang dan bijaksana, tidak seperti puteranya yang berdarah panas. Semenjak Ronggo Lawe pergi dengan marah ke Mojopahit, ayah ini merasa tidak enak hatinya, maka begitu mendengar bahwa puteranya telah kembali, pagi-pagi itu dia sudah mengunjungi puteranya di kadipaten.
Begitu bertemu dengan Ronggo Lawe yang menyambutnya dan mereka duduk berhadapan di rungan dalam kadipaten, Aryo Wirorojo telah dapat menduga dari tingkah laku dan gerak-gerik puteranya bahwa ada sesuatu yang hebat terjadi dengan puteranya itu. Makin khawatirlah hati orang tua ini dan dia cepat bertanya tentang kunjungan puteranya itu ke istana sri baginda di Mojopahit.
Semenjak peristiwa di dalam hutan di mana dia menyelamatkan Sulastri dan Sri Winarti, membunuh lima orang penjahat keji, Adipati Ronggo Lawe telah dapat menenangkan hatinya, sungguh pun perasaan penasaran dan marah masih merupakan titik api yang tak kunjung padam. Maka kini mendengar pertanyaan ayahnya, diceritakannyalah semua peristiwa yang terjadi semenjak dia menghadap sang prabu sampai keributan yang terjadi sebagai semenjak dia menghadap sang prabu sampai keributan yang terjadi sebagai akibat protesnya terhadap pengangkatan Nambi sebagai patih hamangku bumi di Mojopahit. Diceritakannya pula bahwa pamannya, Lembu Sora sendiri yang maju dan menasihatinya untuk pulang ke Tuban sehingga dia tidak melanjutkan amukannya.
Mendengar penuturan puteranya itu, Sang Aryo Wirorojo terkejut dan menjadi pucat wajanya. Sejenak dia menatap wajah puteranya tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Betapa tidak akan sakit perasaannya. Dia adalah seorang panglima yang amat setia kepada sang prabu dan dia rela untuk menyerahkan nyawanya sewaktu-waktu demi membela Mojopahit, dan kini puteranya yang amat dibanggakannya itu telah memperlihatkan sikap memberontak terhdap raja junjungannya, kiranya tidak akan dapat dibandingkan dengan cinta kasihnya terhadap puteranya. Oleh karena itu, dia lebih mengutamakan keselamatan puteranya dan mendengar penuturan Ronggo Lawe, ayah yang tua dan sedang di himpit duka dan kebingungan karena dihadapkan pada pilihan berat, yaitu kesetiaan terhadap raja atau kecintaan terhdap putera, Sang Aryo Wirorojo meruntuhkan air mata yang segera diusapkan dengan kepalan tangannya yang masih kokoh kuat.
"Ayah menangis?"
Ronggo Lawe memandang heran, hampir tidak percaya. Ayahnya adalah seorang ksatria utama yang amat gagah, dan bagi ksatria perkasa, air mata jauh lebih berharga dari pada darah. Lebih baik mencucurkan darah dari badan daripada mencucurkan air mata! Air mata dianggap ebagai permainan wanita dan tanda kelemahan jiwa.
"Apakah ayah pun hendak menyalahkan saya seperti senopati yang lain?"
Aryo Wirorojo menggeleng kepalanya dan sudah dapat menguasai dirinya kembali.
"Anakku, jangan engkau alah sangka. Memang, demi keadilan, rasa penasaran di hatimu itu benar. Melihat jasa dan kesetiaan, sepatutnya Lembu Sora atau engkau yang harus menjadi patih, bukan si Nambi. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa seorang senopati mengutamakan kesetiaan dan kepatuhan terhadap semua sabda sang prabu yang menjadi junjungannya. Andaikata sang prabu menghendaki agar kita menempuh lautan api, kita akan mentaatinya, tanpa mengingat akan kepentingan diri pribadi. Hendaknya engkau ingat baik-baik, Lawe. Sikapmu itu berarti memberontak, dan pemberontakan berarti penghianatan terhadap sang prabu. Tahukah engkau apa akibatnya kalau engkau berkhianat? Akibatnya amat berat dunia akhirat, anakku. Nama keturunanmu akan terseret pula ke dalam lumpur kehinaan. Camkanlah baik-baik, pertimbangkanlah dengan kesadaran, sebelum terlambat oleh perbuatan yang hanya terdorong oleh nafsu amarah yang membuta."
Ronggo Lawe menjadi pucat wajahnya dan dia termenung dengan kepala tunduk menengar nasihat ayahnya itu. Terbayang olehnya betapa dua orang isterinya dan terutama sekali puteranya yang terkasih dan masih kecil kelak akan menjadi orang-orang yang dipandang rendah dan terhina, sebagai keluarga pemberontak dan penghianat!
Melihat betapa puteranya mulai sadar, Aryo Wirorojo melanjutkan dengan penuh harapan.
"Puteraku, ksatria yang gagah, adipati yang bijaksana, ingatlah akan sabda dan janji sang prabu dahulu kepadaku. Bukankah sang prabu telah berjanji ketika beliau masih belum menjadi raja dahulu bahwa apabila Mojopahit berhasil dibangun, maka negara itu akan dibagi menjadi dua dan yang separuh akan diserahkan kepadaku sebagai imbalan jasa? Nah, kalau bagian itu sudah diserahkan kepadaku, siapa lagi kalau bukan engkau yang akan menjadi rajanya? Kalau sudah begitu, baru kita berdiri sendiri sebagai sebuah kerajaan yang terpisah dari kedulatan Mojopahit dan kalau kita sudah bukan menjadi ponggawa Mojopahit lagi, barukah engkau boleh bersikap sesuka hatimu tanpa ada bahaya akan dianggap sebagai pemberontak dan penghianat, anakku."
Ronggo Lawe mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebijaksanaan dalam kata-kata ayahnya itu. Dia telah terburu nafsu, terdorong oleh amarah yang kini dia melihat jelas dibangkitkan oleh perasaan iri hati terhadap Nambi. Timbul penyesalannya dan baru terbuka matanya kini betapa dia telah bersikap keterlaluan dan tidak hormat di depan sri baginda. Dia harus mohon ampun kepada junjungannya itu!
Akan tetapi, selagi sang adipati mulai sadar dan mendengarkan wejangan-wejangan selanjutnya dari Aryo Wirorojo, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada seorang prajurit datang dari Mojopahit yang mengaku sebagai utusan Sang Resi Mahapati. Resi Mahapati adalah seorang di antara para pendeta yang mengepalai keagamaan di Mojopahit, dan Resi Mahapati adalah kepala Agama Syiwa.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ronggo Lawe bertukar pandang dengan ayahnya. Mereka tentu saja mengenal Sang Resi Mahapati yang sakti mandrahuna, seorang yang memiliki kedudukan tinggi di samping Pendeta Brahmanaraja yang mengepalai agama penyembah Brahma. Resi Mahapati terkenal ramah dan baik sikapnya terhadap semua senopati di Mojopahit.
"Suruh dia masuk saja ke sini,"
Perintah Ronggo Lawe kepada pengawalnya.
Tak lama kemudian, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam menandakan kecerdikannya datang. Bersujud di depan Adipati Ronggo Lawe. Adipati ini cepat bertanya siapa dia dan apa keperluannya datang menghadap ke Kadipaten Tuban."Harap paduka gusti adipati sudi mengampunkan kalau hamba mengganggu. Hamba bernama Maruto, pengawal peribadi Sang Resi Mahapati dan hamba diutus oleh sang resi untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi paduka gusti adipati."
Ronggo Lawe mengerutkan alisnya dan Aryo Wirorojo menyela.
"Apakah engkau tidak membawa surat dari beliau?"
Maruto menyembah hormat.
"Karena tergesa, sang resi tidak sempat surat dan hanya mengutus hamba untuk melapor ke sini secara lisan saja."
"Katakan, apa yang hendak diberitahukan oleh sang resi kepadaku?"
Ronggo Lawe bertanya tak sabar lagi.
"Sang resi menganjurkan agar paduka gusti adipati hendaknya segera menyelamatkan diri mengungsi dan pergi dari Kadipaten demi keselamatan paduka"."
"Apa".?"
Ronggo Lawe menggebrak meja dengan muka merah. Biar pun pesan sang resi itu bermaksud baik, akan tetapi menyuruh dia melarikan diri sugguh-sungguh merupakan suatu berita yang merendahkan dan menghina!"
Apa maksud sang resi dengan anjuran itu?"
"Sang resi mengutus hamba memberi tahu bahwa sekrang ini, Sang Patih Hamangkubumi Nambi telah berhasil memperoleh ijin dari sang prabu hendak menyerbu Tuban dan membasmi paduka sekeluarga yang dianggap pemberontak."
"Jahanam Nambi".!!"
Ronggo Lawe bangkit berdiri dengan mata mendelik saking marahnya.
"
Heh, Maruto, pulanglah engkau dan sampaikan terima kasihku kepada Sang Resi Mahapati, akan tetapi katakan bahwa Ronggo Lawe bukan seorang pengecut dan akan menyambut serbuan Nambi keparat dengan keris di tangan!"
Marunto menjadi ketakutan, menyembah dan bergegeas meninggalkan gedung kadipaten, melompat ke atas kudanya dan membalapkan tunggangannya itu keluar dari Kadipaten Tuban, kembali ke selatan ke Mojopahit.
Sementara itu, Aryo Wirorojo mencoba untutk menenangkan hati puteranya.
"Lawe, tenanglah dan pikirkan masak-masak sebelum melakukan sesuatu."
"Ayah, bagaimana saya bisa tenang dan bersabar lagi kalau dihina orang seperti ini? Siapakah bedebah Nambi itu sehingga berani dia menghina Ronggo Lawe? Ayah, paduka sendiri tentu maklum bahwa saya taidka berniat memberontak atau berkhianat terhdap junjungan kita, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana di Mojopahit. Akan tetapi sebagai seorang ksatria, mundur dan lari merupakan pantangan besar bagi saya! Mati bukanlah apa-apa karena semua mahluk takkan terlepas dari kematian. Akan tetapi kehormatan merupakan hal yang jauh lebih berharga daripada nyawa. Lebih baik seribu kali mati sebagai seorang ksatria perkasa, mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seorang pengecut yang lari tunggang langgang menghadapi bahaya. Tidak, ayah, saya harus melawan si Nambi keparat itu, biar pun dia menggunakan nama sang prabu di Mojopahit untuk menghina saya!"
Percuma saja Aryo Wirorojo menyabarkannya. Ronggo Lawe lalu mengumpulkan para pembantunya yang dihimpun oleh Panewu Progodigdoyo dan segera mereka melakukan perundingan. Semua ponggawa Tuban dikumpulkan dan para pembesar, akuwu, demang, dan tumenggung mengucapkan sumpah setia sampai mati kepada Ronggo Lawe Adipati Tuban. Utusan dikirim ke daerah Mojopahit menghubungi kawan-kawan yang menaruh simpati kepada Adipati Tuban.
Mendung mulai menyuramkan langit di atas Kerajaan Mojopahit. Api pemberontakan mulai bernyala dan api ini ternyata akan menjadi makin besar, merupakan kemelut di Mojopahit yang tak terlupakan orang dan tercacat di dalam sejarah sebagai lembaran-lembaran hitam, karena yang memberontak adalah senopati yang tadinya menjadi banteng Mojopahit, bahkan merupakan tiang-tiang pendiri Kerajaan Mojopahit Raden Wijaya yang kini menjadi raja!
Dua hari kemudian, ketika Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana sedang dihadap oleh para menteri dan senopati seperti biasa, dalam suasana anak murung karena peristiwa yang ditimbulkan oleh Ronggo Lawe masih berbekas di hati sang prabu dan para ponggawa, tiba-tiba datang seorang prajurit menghadap sang prabu, menghaturkan sembah dan dengan muka pucat prajurit itu melapor.
"Hamba adalah seorang prajurit penjaga di dekat Sungai Tambakberas, di perbatasan antara Mojopahit dan Tuban, gusti, dan pagi hari tadi hamba mendengar berita bahwa sang adipati di Tuban telah mempersiapkan pasukan untuk menggempur Mojopahit, bahkan hamba melihat sendiri banyak pasukan menyeberang ke Tuban""
Tentu saja sang prabu menjadi terkejut sekali, dan juga marah mendengar pelaporan perajurit yang bernama Maruto ini.
"Sungguh tak tahu diri sekali kakang Ronggo Lawe!"
Sang Prabu berseru,
"Ijinkan hamba memimpin pasukan untuk menghancurkan pemberontak, gusti!"
Nambi mendahului yang lain, mengajukan permohonan dengan kata-kata tegas. Sang Prabu maklum bahwa Nambi menjadi sasaran kemarahan Ronggo Lawe, maka sudah sepantasnya kalau Nambi yang menanggulangi keributan itu pula, maka sang prabu memberi ijin persetujuannya. Nambi menyembah dan dengan tangkas patih ini lalu keluar dari istana dan mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari seribu orang pilihan untuk menghadapi pasukan Tuban. Hari itu juga Nambi memimpin pasukan ini menuju ke utara dengan gerakan cepat.
Sang Prabu membubarkan persidangan dan para senopati dengan prihatin kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang tahu, bahkan menduga pun tidak betapa setelah persidangan bubar, terjadi hal yang amat luar biasa di dalam gedung tempat tinggal Sang Resi Mahapati. Seorang tinggi kurus dengan sikap sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang lain menyelinap dan masuk ke dalam gedung itu, lagsung menuju ke ruangan belakang yang terjaga oleh beberapa orang prajurit pengawal Sang Resi Majapahit.
Sebagai seorang pendeta yang mempunyai kedudukan tinggi di istana, tentu saja Resi Mahapati bukanlah sebangsa pendeta miskin, melainkan seorang pendeta yang memiliki rumah gedung, lengkap dengan perabot rumah mewah dan dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal. Ternyata di ruangan itu telah menanti Sang Resi Mahapati dan orang yang menyelinap masuk tadi, yang bukan lain adalah Maruto, orang kepercayaan Mahapati yang telah disuruh oleh pendeta itu, mula-mula ke Tuban kemudian menghadap sang prabu.
Dengan muka girang Maruto memberi hormat dengan sembah, kemudian berkata, wajahnya berseri, suaranya mengandung kebanggaan dan kegirangan.
"Semua perintah paduka telah hamba jalankan denagn baik, Adipati Tuban menjadi terbakar hatinya dan mempersiapkan bala tentara, sedangkan sang prabu sendiri juga telah menyetujui Gusti Patih Nambi mempersiapkan pasukan untuk mengempur Tuban. Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik agar paduka memakluminya."
"Apakah telah kaujaga baik-baik sehingga tidak ada orang kedua yang mengetahui semua perbuatanmu itu, Maruto?"
"Tidak ada, sang resi yang mulia. Setanpun tidak ada yang melihatnya."
"Kalau begitu, biarlah engkau menjadi setan!"
"Apa ".,apa maksud paduka"..? Maruto bertanya oucat ketika Resi Mahapati memberi isarat dengan tangan kirinya diangkat ke atas. Empat orang pengawal muncul dan menyerang Maruto dengan keris mereka. Maruto terkejut sekali, meloncat dan mengelak, berusaha melawan sekuatnya. Akan tetapi denagn satu lagkah saja, Resi Mahapati menerjang dengan pukulan tanagn terbuka.
"Plakk!"
Tubuh Maruto terpelanting dan sebelum mampu bangkit atau menangkis, empat batang keris telah menghujam di tubuhnya. Dia terpekik satu kali dan tewas.
"Singkirkan mayatnya, kubur denagn baik, jangan sampai ada yang tahu."
Resi Mahapati memerintah dan empat orang pengawal itu lalu membawa pergi mayat Maruto yang sial itu.
Resi Mahapati lalu melangkah ke dalam kamarnya, tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk-angguk.
"Ronggo Lawe harus dilenyapkan dulu, dia merupakan penghalang pertama yang berbahaya".."
Gerutunya seorang diri.
Berbondong-bondong memang pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh mereka yang bersimpati kepada Adipati Ronggo Lawe, meninggalkan Mojopahit untuk menyeberang ke Tuban dan membantu adipati yang gagah perkasa itu. Akan tetapi, ketika ratusan orang itu tiba di tepi Sungai Tambakberas, air sungai waktu itu sedang apsang karena di sebelah turun hujan lebat sehingga memenuhi sungai. Selagi ratusan orang ini sibuk membuat persiapan untuk menyeberang sungai yang airnya naik tinggi itu, tiba-tiba datang pasukan seribu orang prajurit Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi. Patih Nambi yang merasa sakit hati dan marah oleh pemberontakan Ronggo Lawe yang ditujukan kepadanya itu, segera mengeraahkan bala tentaranya dan menyerbu.
Para pengikut Ronggo Lawe melakukan perlawanan mati-matian. Mereka berdiri dari orang-orang gagah yang dipimpin oleh bekas perwira-perwira Mojopahit atau dahulu menjadi anak buah Ronggo Lawe ketika adipati ini masih menjadi senopati di Mojopahit, di antara mereka adalah Ki Tosan, Empu Siddhi, Kidang Glatik, dan Muringgang. Namun jumlah pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi itu jauh lebih bear sehingga akhirnya, setelah melawan mati-matian sampai senja hari, akhirnya para pengikut Ronggo Lawe dapat dihancurkan dan selain banyak yang roboh tewas, selebihnya lari cerai-berai mencari keselamatan masing-masing.
Patih Nambi yang memperoleh kemenangan di tepi Sungai Tambakberas itu tidak puas dengan hasil kemenangannya. Pada senja hari itu, air sungai sudah surut, maka dia lalu menyeberangi Sungai Tambakberas dan menyerbu Tuban. Kekalahan para pengikut Ronggo Lawe yang datang dari Mojopahit ini segera terdengar oleh Ronggo Lawe. Sang adipati menjadi marah sekali, segera mengumpulkan pasukan dan menyuruh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain untuk mengerahkan pasukan, menyambut musuh yang atang dari selatan. Ada pun sang adipati sendiri lalu memasuki istananya untuk minta diri kepada dua orang isterinya.
Begitu dia memasuki kamarnya, dia disambut oleh dua orang isterinya yang tercinta itu. Mertaraga kelihatan muram wajahnya dan kusut rambut serta pakaiannya, sedangkan Tirtawati yang mengandeng Kuda Anjampiani, putera sang adipati yang baru berusia delapan tahun, juga kelihatan berduka. Mereka telah mendengar akan usaha pemberontakan suami mereka dan kedua orang isteri ini merasa prihatin dan khawatir sekali. Begitu melihat suaminya, Mertaraga lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suaminya sambil menangis. Melihat ini, Tirtawati juga menangis sedangkan Kuda Anjampiani atau yang juga disebut raden Turonggodewa, memandang kepada ibunya, ibu tirinya dan ayahnya dengan terheran-heran.
"Ah, kenapa kalian menangis? Mertaraga, adinda sayang, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil."
Ronggo Lawe menarik lengan isterinya dan menuntunnya duduk di tengah kamar.
"Kakangmas adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang melawan Mojopahit. Benarkah itu?"
Tanya Tirtawati yang agak lebih tabah dibanding dengan madunya, Mertaraga.
"Benar demikian, adinda Tirtawati,"
Jawab sang adipati dengan tenang.
"Ohh, kenapakah, kakangmas? Kenapa paduka hendak memberontak terhadap Mojopahit?"
Pertannyaan ini diajukan oleh Tirtowati dengan suara terheran-heran dan terkejut, karena sesungguhnya sukar baginya untuk percaya bahwa suaminya yang dia tahu adalah seorang pahlawan Mojopahit yang setia kepada kerajaan sampai ke tulang sumsumnya itu kini dapat memberontak terhadap Mojopahit!
Melihat wajah isterinya dan mendengar suara serta menatap sinar matanya, Adipati Ronggo Lawe maklum apa yang bergolak di dalam batin isterinya, maka dia merangkul isteri ke dua, ibu kuda Anjampiani itu dan menjawab tenang.
"aku sama sekali tidak memberontak terhadap Mojopahit, isteriku sayang, melainkan sedang menentang kejaliman dan melawan penghinaan yang ditimpakan kepadaku."
Dengan singkat Adipati Ronggo Lawe yang dialaminya kepada dua orang isterinya dan memandang suami mereka tercinta denagn muka pucat dan sinar mata penuh kegelisahan.
"Demikianlah, diajeng sekalian, bukan aku memberontak melainkan hendak menentang si keparat Nambi yang hendak menghinaku dengan menggunakan nama sri baginda dan menggunakan bala tentara Mojopahit."
"Aduh, kakangmas adipati"."
Tirtawati menubruk suaminya sambil mengis."
Bagaimana mungkin paduka akan melawan bala tentara Mojopahit yang besar dan kuat itu?"
"Kalah menang bukan soal yang amat penting dalam hal ini, adinda. Ini adalah soal kehormatan dan sekarang si Nambi telah menyerang Sungai tambakberas, telah memasuki wilayah Tuban, berarti telah melanggar kedaulatanku dan aku harus berangkat untuk menumpasnya!"
"Kakangmas".!"
Mertaraga menjerit dan menjatuhkan diri berlutut, merankul kedua kaki suaminya dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Tirtawati juga ikut menangis, sedangkan Kuda Anjampiani berdiri serlongong di sudut kamar, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi sehingga kedua orang ibunya itu menangis seperti itu.
Ronggo Lawe agak terheran melihat Mertaraga. Isterinya yang pertama ini adalah puteri dari Ki Ageng Palandongan, seorang yang tahu akan sifat-sifat kegagahan dan isterinya ini pun bukan seorang wanita lemah. Akan tetapi mengapa saat ini isterinya itu memperlihatkan sikap seorang wanita yang cengeng dan amat lemah? Kekalahan para pengikut Ronggo Lawe yang datang dari Mojopahit ini segera terdengar oleh Ronggo Lawe. Sang adipati menjadi marah sekali, segera mengumpulkan pasukan dan menyuruh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain untuk mengerahkan pasukan, menyambut musuh yang atang dari selatan. Ada pun sang adipati sendiri lalu memasuki istananya untuk minta diri kepada dua orang isterinya.
Begitu dia memasuki kamarnya, dia disambut oleh dua orang isterinya yang tercinta itu. Mertaraga kelihatan muram wajahnya dan kusut rambut serta pakaiannya, sedangkan Tirtawati yang mengandeng Kuda Anjampiani, putera sang adipati yang baru berusia delapan tahun, juga kelihatan berduka. Mereka telah mendengar akan usaha pemberontakan suami mereka dan kedua orang isteri ini merasa prihatin dan khawatir sekali. Begitu melihat suaminya, Mertaraga lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suaminya sambil menangis. Melihat ini, Tirtawati juga menangis sedangkan Kuda Anjampiani atau yang juga disebut raden Turonggodewa, memandang kepada ibunya, ibu tirinya dan ayahnya dengan terheran-heran.
"Ah, kenapa kalian menangis? Mertaraga, adinda sayang, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil."
Ronggo Lawe menarik lengan isterinya dan menuntunnya duduk di tengah kamar.
"Kakangmas adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang melawan Mojopahit. Benarkah itu?"
Tanya Tirtawati yang agak lebih tabah dibanding dengan madunya, Mertaraga.
"Benar demikian, adinda Tirtawati,"
Jawab sang adipati dengan tenang.
"Ohh, kenapakah, kakangmas? Kenapa paduka hendak memberontak terhadap Mojopahit?"
Pertannyaan ini diajukan oleh Tirtowati dengan suara terheran-heran dan terkejut, karena sesungguhnya sukar baginya untuk percaya bahwa suaminya yang dia tahu adalah seorang pahlawan Mojopahit yang setia kepada kerajaan sampai ke tulang sumsumnya itu kini dapat memberontak terhadap Mojopahit!
Melihat wajah isterinya dan mendengar suara serta menatap sinar matanya, Adipati Ronggo Lawe maklum apa yang bergolak di dalam batin isterinya, maka dia merangkul isteri ke dua, ibu kuda Anjampiani itu dan menjawab tenang.
"aku sama sekali tidak memberontak terhadap Mojopahit, isteriku sayang, melainkan sedang menentang kejaliman dan melawan penghinaan yang ditimpakan kepadaku."
Dengan singkat Adipati Ronggo Lawe yang dialaminya kepada dua orang isterinya dan memandang suami mereka tercinta denagn muka pucat dan sinar mata penuh kegelisahan.
"Demikianlah, diajeng sekalian, bukan aku memberontak melainkan hendak menentang si keparat Nambi yang hendak menghinaku dengan menggunakan nama sri baginda dan menggunakan bala tentara Mojopahit."
"Aduh, kakangmas adipati"."
Tirtawati menubruk suaminya sambil mengis."
Bagaimana mungkin paduka akan melawan bala tentara Mojopahit yang besar dan kuat itu?"
"Kalah menang bukan soal yang amat penting dalam hal ini, adinda. Ini adalah soal kehormatan dan sekarang si Nambi telah menyerang Sungai tambakberas, telah memasuki wilayah Tuban, berarti telah melanggar kedaulatanku dan aku harus berangkat untuk menumpasnya!"
"Kakangmas".!"
Mertaraga menjerit dan menjatuhkan diri berlutut, merankul kedua kaki suaminya dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Tirtawati juga ikut menangis, sedangkan Kuda Anjampiani berdiri serlongong di sudut kamar, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi sehingga kedua orang ibunya itu menangis seperti itu.
Ronggo Lawe agak terheran melihat Mertaraga. Isterinya yang pertama ini adalah puteri dari Ki Ageng Palandongan, seorang yang tahu akan sifat-sifat kegagahan dan isterinya ini pun bukan seorang wanita lemah. Akan tetapi mengapa saat ini isterinya itu memperlihatkan sikap seorang wanita yang cengeng dan amat lemah? Dengan langkah lebar sang adipati meninggalkan istananya, akan tetapi baru beberapa langkah, dia menoleh, dan berkali-kali dia menoleh, hatinya penuh keharuan karena dia harus meninggalkan orang-orang yang amat dikasihinya itu.
Sedangkan Tirtawati dan Mertaraga mengikutinya dengan pandang mata sayu, dengan air mata seperti untaian mutiara membasahi pipi, akan tetapi kedua orang wanita itu dengan tabah menahan isak mereka dan bibir mereka yanag masih panas oleh ciuman-ciuman dan cumbuan-cumbuan suami mereka itu kini tersenyum mengantar keberangkatan suami mereka seperti yang diminta oleh sang Adipati Ronggo Lawe. Para pelayan yang tahu benar akan perasaan sang adipati dan dua orang isterinya itu, tidak dapat bertahan menyaksikan perpisahan ini dan mereka yang menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di belakang selendang. Perpisahan yang amat mengharukan.
Setelah tiba di pintu gerbang, sang adipati untuk penghabisan kali menengok, memandang seolah-olah hendak menguburkan bayangan dua orang isterinya dan puteranya itu ke dalam lubuk hatinya, kemudian dia dengan cepat membalikkan tubuhnya dan meloncat cepat membalikkan tubuhnya dan meloncat ke atas punggung Ki Mego Lamat, kuda kesayangannya yang berbulu putih agaknya kelabu seperti warna awan tipis, lalu membedal kudanya menuju ke arah barisannya yang telah bersiap di luar kota tuban. Dua orang isterinya tidak dapat melihat lagi bayangan suaminya, hanya mendengar derap kaki kuda Mego Lamat, makin lama makin lirih, makin jauh membawa terbang semangat mereka. Tubuh mereka manjadi lemas dan tiba-tiba mereka terkulai, ditubruk oleh para emban yang menjerit-jerit, kemudian mereka dipapah masuk ke dalam kamar, diiringi tangis Kuda Anjampiani.
Baru saja Ronggo Lawe tiba di luar kota Tuban di mana pasukan-pasukannya telah siap dalam barisan yang rapi, dipimpin oleh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain, tiba-tiba seorang kakek menghampirinya. Melihat kakek ini, Adipati Ronggo Lawe cepat meloncat turun dari kudanya dan memberi salam, karena kakek ini bukan lain adalah Ki Ageng Palandongan, ayah dari isterinya yang pertama, Mertaraga. Setelah memberi salam balasan, Ki Ageng Palandongan dengan wajah yang keriputan itu membayangkan kecemasan hatinya, berkata.
"Puteranda adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang dengan Mojopahit! Apakah hal ini sudah kaupikirkan baik-baik? Apakah tidak ada lain jalan untuk mendamaikan urusan antara Tuban dan Mojopahit?"
Ronggo Lawe menggeleng kepala.
"Harap kanjeng rama tidak mencampuri urusan ini, karena urusan ini adalah urusan kehormatan antara saya dan Nambi. Nambi yang curang telah menghasut sang prabu, kini telah membawa pasukan untuk menggempur Tuban, biar bagaimana pun juga, harus saya tandingi dia!"
Melihat mantunya yang dia tahu amat keras hati, Ki Ageng Palandongan hanya menarik napas panjang.
"Kehendak Hyang Widhi tak apat dicegah oleh kekuasaan manusia. Saya hanya membekali pangestu, sang adipati dan hendaknya kau selalu ingat bahwa segala tindakanmu adalah demi kebenaran, bukan terdorong oleh kebencian."
"Terima kasih, kanjeng rama."
Demikianlah, tanpa menghiraukan bujukan mertuanya, Ronggo Lawe lalu menggerakkan pasukannya dan membanjirlah pasukan Tuban itu ke selatan, melakukan perjalanan semalam suntuk.
Pada keesokan harinya, bertemulah pasukan Tuban dengan pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh Patih Nambi sendiri. Begitu terjadi perang campuh, Ronggo Lawe membedal kudanya, berputar-putaran mencari musuh besarnya. Akhirnya dia melihat Patih Nambi mengamuk di sebelah timur. Nambi mengendarai seekor kuda yang berbulu ke kuningan, kuda yang bernama Brahma Cikur. Melihat lawannya, Ronggo Lawe menggereng seperti seekor harimau kelaparan, lalu membedal kudanya mengejar ke tempat itu. Setelah dekat dan berhadapan muka, Ronggo Lawe membentak keras,
"Si keparat Nambi! Macam engkau akan menjadi patih hamangkubumi di Mojopahit? Boleh kau menjadi patih kalau dapat melangkahi mayat Ronggo Lawe! Kalau tidak, maka engkau yang akan menggeletak di atas tanah, kepalamu akan kuinjak-ijak sampai lumat!"
"Babo-babo Ronggo Lawe manusia sombong, pemberontak hina dina. Majulah untuk menerima hukuman mati!"
Nambi juga membentak marah sambil mencabut kerisnya yang ber-luk tiga dan bernama kyai Bangodolong. Keris ini mengeluarkan sinar kehitaman dan merupakan keris pusaka yang ampuh.
"Bagus, majulah, keparat!"
Ronggo Lawe juga mencabut kerisnya, yaitu Kyai Kolondah, keris ber-luk lima yang mempunyai sinar kemerahan menggiriskan. Keris Kyai Kolonadah ini adalah keris pusaka pemberian gurunya, bahkan keris ciptaan atau buatan gurunya itu sendiri, Sang Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna, pertapa di puncak Gunung Bromo yang sudah amat terkenal.
Kini dua ekor kuda pilihan itu mulai berlaga, dikendarai oleh dua orang senopati perang yang sama digdaya, sama gemblengan. Kuda Brahma Cikur dan kuda Mego Lamat meringkik dan menyepak-nyepak, menyirik dan berputar dalam lingkaran ketika kedua tuan mereka mulai bertanding. Keris pusaka dan kepalan melayang saling tikam saling hantam dan saling tangkis. Bunyi nyaring bertemunya dua pusaka disusul oleh berpijarnya bunga api yang menyilaukan mata dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu dengan dorongan tenaga sakti yang amat kuat, keduanya terdorong dan hampir roboh dari atas kuda.
Perang tanding yang amat seru di antara dua orang musuh yang saling membenci ini berlangsung di tengah-tengah perang campuh antara orang-orang Tuban dan orang-orang Mojopahit, yang dahulunya merupakan kawan-kawan seperjuangan yang berperang bahu-membahu menghadapi musuh mereka bersama. Akan tetapi, di antara para perwira Mojopahit, dan juga para prajuritnya, banyak yang diam-diam merasa jerih an juga segan terhadap Adipati Ronggo Lawe, maka mereka berperang setengah hati, apalagi karena jumlah barisan Tuban lebih banyak daripada mereka. Akhirnya, setelah berperang hampir setengah hari lamanya, setelah banyak korban berjatuhan, barisan Mojopahit terdesak mundur. Apalagi ketika Ronggo Lawe berhasil menikam leher kuda Brahma Cikur yang menjadi kesakitan, meloncat-loncat dalam sekarat kemudian terbanting mati, semangat para perwira Mojopahit mengendur. Untung bahwa Patih Nambi dapat cepat meloncat dan menyelamatkan diri dengan bersembunyi dalam pasukannya.
Dua orang wanita itu merangkul suami mereka dan mereka mencurahkan kasih sayang dan berkasih-kasihan dengan sepenuh jiwa raga karena mereka berdua sedang tenggelam dalam keharuan yang mendalam. Tiada puas-puasnya agaknya Ronggo Lawe mencurahkan cinta kasihnya kepada mereka berdua, dan dua orang isterinya itu pun agaknya tidak pernah mau melepaskan suaminya tercinta dari dekapan mereka.
Setengah hari lamanya Ronggo Lawe dan kedua orang isterinya berada di dalam kamar mereka, saling mencurahkan cinta kasih mereka, lupa segala, lupa waktu, lupa diri dan tenggelam dalam kemesraan. Akhirnya suara canang menyadarkan Ronggo Lawe bahwa bala bantuan tentaranya yang dikumpulkan oleh para pembantunya sudah siap, tinggal menanti dia untuk diberangkatkan menyambut musuh.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo