Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 20


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Dara itu menangis terisak-isak. Dia mengira bahwa Bromatmojo belum tahu akan hal itu. Mendengar Sutejo dicela dan dipersalahkan, aneh sekali, hati Bromatmojo menjadi panas! Tanpa disadarinya sendiri, timbul keinginan untuk membela pemuda itu!

   "Sudahlah, Diajeng Roro Kartiko, yang sudah lewat tidak ada gunanya disesalkan lagi. Dan saya kira tidak bijaksanalah kalau Andika mencela dan menyalahkan Kakang Sutejo tentang hal itu."

   "Ah... hu-hukk... kau... kau tidak melihatnya, Kakangmas Bromatmojo... betapa kejamnya Kakangmas Sutejo... dia menyiksa Ayah sampai seperti itu..."

   "Diajeng Roro! Apakah artinya kejam? Apakah engkau tahu apa yang telah dilakukan oleh mendiang Ayahmu terhadap dia dan keluarganya?"

   Suara Bromatmojo terdengar keras sehingga Roro Kartiko memandang terbelalak karena kaget melihat pemuda itu marah. Wajahnya menjadi merah ketika dia berkata gagap,

   "Aku tahu... mendiang Ayah telah membunuh Ayahnya dan Ibunya terbakar dalam rumahnya karena Ayahku... tapi... tapi mengapa menyiksanya seperti itu?"

   "Hemm, agaknya engkau belum mendengar seluruhnya, Diajeng. Baiklah kuceritakan apa yang pernah kudengar dari Kakang Sutejo agar engkau dapat mempertimbangkan mengapa Kakang Sutejo dan Mbakayunya membunuh Ayahmu. Ketika Kakang Sutejo masih kecil, Ayahmu datang dan menyuruh bunuh Kakang Sutejo oleh kaki tangannya, kemudian... kemudian Ayahmu itu... memperkosa Ibunya di depan kedua anaknya itu! Bahkan lalu menculik Mbakayunya..."

   "Ahhh...!!"

   Seruan ini keluar dari mulut Roro Kartiko dan Joko Handoko karena sungguh baru sekarang mereka mendengar perbuatan keji yang dilakukan oleh Ayah mereka itu. Muka mereka pucat sekali dan Joko Handoko tertunduk, termenung,sedangkan Roro Kartiko menangis sesenggukan. Ibu mereka yang duduk agak jauh dari situ, yang tidak mendengar percakapan mereka, memandang dan menunduk,mengira bahwa anak-anak mereka itu kembali menangis ketika membicarakan kematian Ayah mereka.

   Wanita ini cukup mengenal suaminya dan dia hanya merasa kasihan kepada suaminya yang semasa hidupnya terlalu mengejar kesenangan, mengumbar nafsu dan bertindak angkara murka dan sewenang-wenang sehingga akhirnya menemui kematian yang menyedihkan, dan kasihan kepada anak-anaknya yang sekarang menanggung akibat perbuatan Ayah mereka.

   "Kakangmas Bromatmojo... maafkan aku... kalau begitu... Kakangmas Sutejo dan Mbakayunya tidaklah terlalu salah... mereka tentu mata gelap dan menaruh dendam sedalam lautan kepada Ayah. Ahh, Kakangmas, setelah Kakangmas mengetahui itu semua, mengetahui betapa kejamnya Ayah kami... tentu... tentu Kakangmas menganggap kami keturunan dari keluarga rendah..."

   Gadis itu menangis makin sedih sampai terisak-isak.

   Bromatmojo memandang dengan penuh iba. Dia maklum apa yang menjadi gejolak hati dara ini. Jelaslah bahwa Roro Kartiko jatuh cinta kepadanya! Karena cintanya,maka gadis itu khawatir kalau-kalau dia akan memandang rendah kepadanya karena Ayahnya, khawatir kalau cintanya takkan terbalas. Ah, hal seperti ini tidak boleh berlarut-larut, pikirnya. Roro Kartiko seorang dara yang baik sekali,tidak semestinya kalau dia permainkan, tidak boleh menjadi korban cinta yang salah alamat ini! Maka dia lalu memegang tangan gadis yang masih terisak-isak itu, lalu menariknya berdiri.

   "Diajeng, mari kita bicara berdua saja di tempat lain, apakah kau mau...?"

   Roro Kartiko yang masih dipegang tangannya itu mengangkat muka dan memandang dengan wajah basah oleh air mata dan rambutnya kusut. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, gadis itu malah kelihatan cantik, kecantikan yang wajar dan asli.

   Dia mengangguk pasrah, sungguhpun kedua pipinya menjadi merah sekali karena tangannya masih belum dilepaskan oleh Bromatmojo. Joko Handoko juga memandang,akan tetapi lalu membuang muka, pura-pura tidak tahu karena dia tidak mau membikin malu Adiknya.

   "Akan tetapi aku harus minta ijin Ibumu lebih dulu. Mari..."

   Bromatmojo lalu menuntun tangan Roro Kartiko menghampiri Ibu gadis itu yang masih duduk menginang di bawah pohon dan kini memandang kedatangan mereka berdua dengan wajah cerah.

   "Kanjeng Bibi, bolehkah saya mengajak Diajeng Roro untuk bicara berdua di depan sana? Kami ingin membicarakan urusan penting dan tidak ingin terlihat atau terdengar oleh orang lain."

   Sariningrum memandang sejenak kepada mereka berdua, lalu mengangguk dan tersenyum! Bukan main girangnya hati Roro Kartiko dan ingin dia menubruk, merangkul dan mencium Ibunya untuk menyatakan terima kasihnya! Akan tetapi dia malu untuk melakukan ini, maka hanya memandang Ibunya dengan mata bersinar-sinar. Kemudian mereka berdua meninggalkan tempat itu dan lenyap di antara gerombolan pohon dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Semua orang mengikuti mereka dengan pandang mata penuh kemesraan sampai mereka berdua lenyap.

   Setelah berdua saja di antara pohon-pohon, tidak nampak dari tempat tadi,Bromatmojo memegang kedua tangan Roro Kartiko dan memandang wajahnya. Gadis itu menunduk, merasa jengah dan malu, namun jantungnya berdebar tegang tidak karuan,menduga-duga apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh pemuda tampan seperti Arjuno ini.

   "Diajeng Roro, katakanlah sebenarnya, apakah kau cinta kepadaku?"

   Tentu saja Roro Kartiko merasa malu sekali. Memang dia jatuh cinta kepada pemuda ini, akan tetapi sebagai seorang perawan, mana mungkin dia menjawab pertanyaan itu? Bukankah wanita itu menyimpan cintanya di lubuk hatinya, diselimuti oleh kesusilaan dan hanya pasrah menanti saja, menikmati cinta kasihnya secara diam-diam bahkan kepada orang yang dicintanya pun tidak diperlihatkan secara nyata? Bukankah cinta kasih terpendam dan menjadi rahasia pribadinya ini malah lebih dapat dinikmatinya daripada kalau dibuka secara terang-terangan dan menjadi hambar karenanya, karena sudah tidak ada ketegangan yang terkandung dalam setiap rahasia lagi?

   "Bagaimana, Diajeng? Kita sekarang sudah bertemu empat mata, berdua saja di sini, tidak ada yang melihat atau mendengar. Nah, katakanlah terus terang, apakah engkau cinta padaku?"

   Beberapa kali Roro Kartiko menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Sukar sekali bagi seorang wanita yang sejak kecil dididik untuk memegang teguh kesusilaan untuk membuka mulut mengaku cinta kepada seorang pemuda, biar pun perasaan cinta sudah menguasainya sepenuh hatinya. Maka akhirnya karena tidak berhasil mengeluarkan suara, dia hanya mengangkat muka memandang sejenak, lalu mengangguk dan tunduk kembali. Denyut jantungnya terasa sampai ke ubun-ubun kepalanya!

   "Jangan kaget, Adikku yang manis. Sungguh pun aku sama sekali tidak ingin mengecewakan hatimu, akan tetapi sungguh mati aku tidak mungkin dapat membalas cintamu itu, Roro Kartiko. Karena sesungguhnya aku... aku telah jatuh cinta kepada seorang lain..."

   Muka Roro Kartiko seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu, maka melihat hal ini, Bromatmojo cepat melanjutkan.

   "aku telah jatuh cinta sejak dulu kepada... Kakang Sutejo!"

   "Ihhh...!!"

   Roro Kartiko melangkah mundur sampai tiga tindak, wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan dia menatap wajah Bromatmojo seperti melihat setan di tengah hari, penuh kekagetan, penuh keheranan.

   "Apa ... apa yang kau katakan ini?"

   Dia berhasil mengeluarkan kata-kata dengan gagap.

   "Akan tetapi dia... dia seorang pria..."

   "Tentu saja! Karena dia seorang prialah maka aku mencintainya, dan karena kau seorang wanitalah maka aku tidak mungkin dapat membalas cintamu. Roro Kartiko, mendekatlah dan lihat baik-baik, aku siapa?"

   Bromatmojo telah menangkap tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya. Roro Kartiko meronta, akan tetapi Bromatmojo tetap memeluknya.

   "Bocah ayu yang bodoh... apakah kau tidak tahu bahwa aku pun seorang wanita...?"

   "Ihhh...!!"

   Roro Kartiko meronta dengan keras dan berhasil melepaskan pelukan Bromatmojo. Tangan kanannya menutupi bibirnya agar dia tidak menjerit, matanya terbelalak memandang Bromatmojo dan bibirnya menggigil.

   "Aku... aku tidak percaya...!"

   Sepasang mata yang indah jeli itu makin terbelalak saja ketika melihat Bromatmojo perlahan-lahan membukai kancing bajunya dan tak lama kemudian sepasang mata itu memandang dengan penuh keheranan sepasang buah dada di dada "pemuda"

   Tampan itu, jelas merupakan sepasang buah dada wanita muda yang tidak kalah indah bentuknya dengan dia punya sendiri! Tak dapat diragukan lagi bahwa Bromatmojo adalah seorang wanita!

   "Hi-hik, Adikku yang baik, bagaimana aku dapat menjadi suamimu?"

   Bromatmojo atau Sulastri itu tertawa geli.

   Roro Kartiko mengalihkan pandang matanya, dari dada ke mata Sulastri, sejenak mereka saling pandang dan meledaklah suara ketawa Roro Kartiko. Gadis ini lalu berlari kembali ke tempat tadi dan suara ketawanya masih terdengar terus menerus seperti orang kegelian. Sulastri merasa khawatir dan setelah membereskan bajunya dia lari mengejar.

   "Ha-ha-ha, heh-heh...! Dia... dia seorang wanita... hi-hi-hik...! Bromatmojo seorang wanita...!"

   Gadis itu berkata kepada ibu dan kakaknya sambil terus tertawa-tawa akan tetapi suara ketawanya itu makin lama kedengarannya seperti suara orang menangis dan akhirnya gadis itu menangis tersedu-sedu!

   Kalau saja Roro Kartiko tidak pernah mendapat gemblengan batin ketika dia mempelajari aji-aji kesaktian, mungkin saja dia bisa menjadi gila oleh pukulan batin yang tiba-tiba dan amat hebat itu. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Ada rasa terharu, rasa malu, kecewa dan juga geli. Akan tetapi rasa kecewa yang lebih besar sehingga biarpun dia ingin sekali tertawa akan tetapi akhirnya dia menangis!

   Bromatmojo mendekati dan memeluknya.

   "Tenanglah, Adikku, tenanglah dan karena kau telah membuka rahasiaku kepada yang lain, maka biarlah hanya keluargamu dan anggauta Sriti Kencana ini saja yang tahu. Selanjutnya aku tetap Kakangmas Bromatmojo bagimu dan kau Adikku Diajeng Roro Kartiko."

   "Hi-hik... hu-huuhhh..."

   Roro Kartiko merangkul Bromatmojo dan menangis di atas dadanya. Bromatmojo mencium pipi yang halus itu.

   "Sebagai Kakak dan Adik, kita masih dapat saling mencinta, bukan?"

   Bisiknya.

   Joko Handoko dan ibunya menghampiri mereka sedangkan para anggauta Sriti Kencana saling bisik-bisik sendiri, terutama sekali mereka mendengarkan cerita Ayu Kunthi yang menceritakan betapa dahulu mereka pernah "merayu"

   Bromatmojo yang mereka kira juga pria itu. Dan mereka tertawa-tawa sendiri setelah kini mereka mendengar bahwa pemuda yang terlalu tampan itu adalah seorang wanita! "Dimas... eh... Diajeng Bromatmojo..."

   Joko Handoko berkata gagap dan bingung.

   Bromatmojo tersenyum manis kepadanya.

   "Kakangmas Joko, harap kau tetap menyebut aku Dimas Bromatmojo saja sungguh tidak pantas kalau Diajeng Bromatmojo, karena nama itu adalah nama pria, bukan?"

   Joko Handoko juga tersenyum. Kiranya pemuda tampan yang mengagumkan itu adalah seorang gadis, gadis yang riang jenaka pula! "Harap kau maafkan, karena aku sendiri tidak pernah menduga bahwa engkau seorang wanita maka... ah, mungkin sikapku kurang hormat..."

   "Jangan berkata demikian, Kakangmas Joko. Laki-laki atau perempuan tidak ada bedanya bagi orang-orang yang bersahabat, bukan?"

   Kata Bromatmojo.

   "Hehhh, dasar kalian anak-anak yang bodoh. Sejak tadi aku sudah tahu bahwa dia ini seorang wanita. Kalau tidak, masa aku membolehkan dia mengajak Roro berdua saja ke tempat sunyi? Dan kalian malah sudah lama berkenalan. Hemm, anak muda sekarang memang bodoh!"

   Tiba-tiba Ibu mereka berkata.

   Joko Handoko merasa heran sekali mengapa tiba-tiba dia merasa canggung dan malu, maka dia lalu menjauhkan diri dan sikapnya termenung. Setelah Joko Handoko menjauh, Roro Kartiko yang sudah menyusut kering air matanya dan kini merangkul pinggang Bromatmojo yang ramping itu dengan sikap mesra, bertanya kepada ibunya,wajahnya sudah cerah dan biarpun bekas air matanya masih membasahi pipi, namun bibirnya tersenyum.

   "Ibu , bagaimana Ibu dapat menduga bahwa dia ini wanita?"

   Ibu itu melirik ke arah Joko Handoko yang berdiri cukup jauh, kemudian setelah memadang ke arah tujuh orang anggauta Sriti Kencana yang kini mendekat, dia berkata sambil tersenyum.

   "Kalian orang-orang muda memang kurang waspada dan kurang perhatian. Lihat saja, bukit pinggul wanita adalah bulat lebar dan menonjol rata, sedangkan bukit pinggul pria meruncing seperti kukusan atau trepes. Hanya pria gemuk saja yang kadang-kadang mempunyai pinggul menyerupai pinggul wanita. Karena Nakmas Bromatmojo bukan seorang pria gemuk, maka pinggulnya yang indah penuh dan bulat itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita, seorang perawan. Tentu saja, dengan melihat pinggulnya saja aku sudah menduganya, apalagi ditambah oleh ketampanannya yang amat luar biasa itu, mudah saja bagiku, sama dengan dua ditambah dua menjadi empat!"

   Semua orang tertawa dan Bromatmojo lalu mengeluh,

   "Wah, kalau begini tidak ada gunanya lagi menyamar! Untungnya menyamar pria belum ada, dan ruginya sudah jelas sekali, pertama : Diajeng Roro Kartiko tergila-gila kepadaku dan banyak lagi wanita lain yang tertarik,"

   Dia mengerling ke arah sekelompok wanita anggauta Sriti Kencana dan Ayu Kunti menjadi merah mukanya.

   "dan ke dua..."

   Dia tidak melanjutkan, wajahnya berubah merah dan sinar matanya kelihatan lesu.

   Roro Kartiko berbisik.

   "... adi dia belum tahu?"

   Bromatmojo menggeleng. Hanya mereka berdua saja yang mengerti apa artinya tanya jawab terakhir ini.

   "Mbakayu... eh, Kakangmas Bromatmojo, aku ingin sekali melihat engkau kalau berpakaian wanita. Mari kupinjami pakaianku..."

   Roro Kartiko memaksa-maksa dan untuk menghibur hati gadis yang "patah hati"

   Karena cinta yang salah alamat itu, Sulastri mau saja berganti pakaian wanita dan dibantu oleh Roro Kartiko dia menyanggul rambutnya. Setelah selesai, Roro Kartiko bertepuk tangan memuji.

   "Bukan main! Engkau... engkau cantik sekali!"

   Serunya. Ibunya mengangguk-angguk.

   "Memang manis dan kewes, gagah dan luwes, seperti Srikandi!"

   Joko Handoko yang dipanggil oleh adiknya dan datang mendekat, memandang kepada Sulastri dengan melongo ketika adiknya memperkenalkan. Dia sendiri terkejut dan kagum melihat bahwa Bromatmojo sesungguhnya adalah seorang gadis yang demikian cantik jelita dan manisnya! Dia hanya mengangguk kaku, kemudian duduk di atas rumput dan mulai membuat api unggun dengan umpan daun-daun dan kayu kering yang tadi dikumpulkan oleh para anggauta Sriti Kencana. Senja telah larut dan cuaca makin suram, bahkan kegelapan mulai menyusup di antara cabang-cabang pohon. Api unggun yang kini bernyala besar itu amat berguna bagi mereka. Pertama untuk memberi cahaya penerangan, ke dua untuk menghangatkan badan melawan hawa dingin yang mulai menyusup datang, dan ke tiga untuk mengusir nyamuk dan menakut-nakuti binatang buas yang mungkin datang mengganggu.

   Setelah mereka makan dari perbekalan dan ibu kedua orang kakak beradik itu mengaso sambil rebahan di bawah pohon, dijaga dan ditemani oleh tujuh orang anggauta Sriti Kencana yang sebagian lagi melakukan penjagaan di empat penjuru,tiga orang muda itu bercakap-cakap di dekat api unggun.

   "Diajeng... eh, sungguh canggung menyebutmu Dimas Bromatmojo dalam pakaian seperti sekarang ini,"

   Kata Joko Handoko yang sudah mulai dapat melenyapkan rasa gugup dan malunya.

   "Bolehkah kami mengetahui nama aslimu?"

   "Namaku Sulastri, dan karena aku mulai menyamar pria ketika turun dari Gunung Bromo tempat pertapaan Eyang Empu, maka aku menggunakan nama Bromatmojo,"

   Jawab Sulatri.

   "Diajeng Sulastri, sungguh untung sekali kami bertemu denganmu. Akan tetapi,mengapa bisa begini kebetulan? Andika sedang hendak pergi ke manakah dan datang dari mana?"

   Tanya Joko Handoko.

   "Aku pulang dari Pegunungan Pandan, mencari Guruku,"

   Jawab gadis itu.

   "Bukankah Gurumu Empu Supamandrangi di Bromo?"

   Roro Kartiko bertanya.

   "Itu adalah Guruku yang ke dua. Atau katakanlah Guru ke tiga. Guruku yang pertama adalah mendiang Adipati Ronggo Lawe yang belum pernah sempat mendidikku,dan Guruku kedualah yang kucari di Pegunungan Pandan itu. Dia adalah yang terkenal dengan nama Ki Jembros."

   "Ki Jembros? Ah, yang juga terkenal dinamakan Setan Jembros?"

   "Kau tahu di mana dia, Kakangmas Joko?"

   Sulastri bertanya penuh harapan ketika mendengar bahwa pemuda itu mengenal nama Gurunya.

   Joko Handoko mengangguk dan menunduk, jawabannya datar.

   "Ketika Senopati Lembu Sora memberontak kira-kira empat tahun yang lalu, dibantu oleh Raden Gajah Biru dan Juru Demung..."

   "Ya, kedua orang Paman itulah yang ketika itu berada di Pegunungan Pandan bersama teman-teman mereka!"

   Sulastri berkata girang.

   "Dan Guruku tinggal beristirahat bersama mereka."

   "Mereka menyerbu ke Mojopahit dibantu oleh Ki Jembros dan mereka semua telah tewas..."

   "Eyang Jembros...?"

   "Menurut cerita, Ki Jembros yang terakhir tewas dikeroyok oleh Resi Mahapati,Resi Harimurti dan Empu Tungjungpetak yang juga tewas oleh Ki Jembros."

   "Eyang...!!"

   Sulastri menjerit dan menangislah gadis ini dengan sedih. Kakak beradik itu membiarkan Sulastri menangis. Terasa perih hati Sulastri mendengar gurunya itu tewas. Teringatlah dia akan semua kebaikan Ki Jembros kepadanya dan makin terasalah kesunyian menyusup hatinya, teringat akan nasibnya yang terpaksa harus berpisah dari Sutejo sebagai musuh!

   Orang-orang yang menangisi orang mati selalu terdorong oleh perasaan iba diri,oleh perasaan kasihan kepada dirinya sendiri yang merasa ditinggalkan, merasa kehilangan dan sebagainya. Sama sekali bukan menangis karena kasihan kepada Si Mati, karena kita yang tidak tahu apa jadinya sesudah mati, bagaimana bisa menaruh kasihan kepada orang mati? Yang jelas, kita menangis dan berkabung karena merasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggal oleh Si Mati. Akan tetapi sayang, jarang yang ingat akan kebenaran ini sehingga banyak air mata terbuang sia-sia, banyak kedukaan diderita tanpa ada gunanya dan banyak kepalsuan dipamerkan tanpa disadari.

   Sulastri adalah seorang dara yang masih polos dan wajar. Hanya sebentar saja rasa duka mencekam hatinya karena tak lama kemudian dia sudah dapat mengatasinya, termenung sejenak kemudian berkata sambil melihat pakaian yang dipakainya,"Untung aku sudah menjadi wanita, kalau masih menjadi pria tentu akan sukar untuk menangis sepuasnya. Kalau menangis tentu akan ketahuan juga!"

   Dia tersenyum dengan pipi masih basah air mata!

   Roro Kartiko tersenyum dan menggoda.

   "Aih, engkau ini sungguh seorang yang aneh luar biasa! Belum juga berhenti tangisnya sudah tertawa!"

   "Lebih enak begini, tidak menahan-nahan perasaan seperti kalau menjadi pria,"

   Jawab Sulastri.

   "Kalau begini, mau menangis, mau tertawa, menurut sekehendak hatiku."

   Joko Handoko juga memandang heran, lalu cepat mengalihkan pandang matanya ketika gadis itu memandang kepadanya, takut kalau disangka memandang tak pernah berhenti. Seorang gadis yang hebat, pikirnya, demikian sakti, demikian lincah gembira, dan wataknya polos, aneh dan amat menarik hati!

   Memang tangis kadang-kadang merupakan jalan keluar untuk peluapan duka dan setelah orang menangis menumpahkan semua perasaan duka, pikiran menjadi kosong,hati menjadi lega dan orang lalu condong untuk mudah tertawa dan mudah gembira! Sebaliknya, orang yang terlalu gembira, tertawa-tawa sampai keluar air matanya! Kiranya jelas bahwa ada hubungan yang amat dekat, bahkan erat antara tawa dan tangis. Betapa besar manfaatnya bagi hidup kalau kita menyadari kenyataan ini setiap saat.

   Semenjak Adipati Ronggo Lawe gugur ketika berperang melawan Mojopahit, memang sudah ada rasa tidak senang dalam hati Sulastri terhadap Mojopahit, apalagi karena Reksosuro dan Darumuko adalah orang-orang Mojopahit. Ketika dia ikut bersama Ki Jembros dan bertemu dengan Gajah Biru dan Juru Demung, kembali dia mendengar tentang ketidakadilan di Mojopahit sehingga orang-orang itu memberontak. Biarpun semua perasaan kurang senang terhadap Mojopahit ini dibikin mereda oleh nasihat-nasihat Empu Supamandrangi dan oleh pesan Eyang Gurunya itu untuk menyerahkan Kolonadah kepada Pangeran Mahkota di Mojopahit, namun kenyataannya sekarang membuat rasa tidak senang itu timbul kembali. Tewasnya Ki Jembros, kakek yang disayangnya itu pun oleh orang-orang Mojopahit, dan lebih lagi, Sutejo telah terbujuk oleh Mahapati pula.

   Maka terdapat kecocokan antara dia dan kakak beradik itu yang mendendam kepada para ponggawa di Mojopahit.

   "Sang Prabu yang sudah amat sepuh itu ternyata kurang bijaksana dan lemah,"

   Demikian antara lain Joko Handoko berkata ketika mereka bertiga mengadakan perundingan di sekeliling api unggun itu.

   "Dengan adanya isteri beliau dari Melayu itu, maka terpecahlah para senopatinya dan banyak senopati yang semenjak dahulu setia kepada Beliau, kini merasa kurang senang. Apalagi setelah Pangeran Kolo Gemet diangkat sebagai Pangeran Pati.

   Pangeran itu bukanlah keturunan dari Sang Prabu Kertanegara, padahal sebagian besar dari para Senopati Sepuh adalah para pengikut Sang Prabu Kertanegara yang tentu saja ingin melihat keturunan Sang Prabu Kertanegara memegang tampuk Kerajaan Mojopahit. Keadaan di kota raja sudah panas sejak dahulu, secara diam-diam telah terjadi perpecahan di antara para senopati. Mereka itu hanya karena rasa sayangnya kepada Sang Prabu, maka masih menyimpan rasa tidak senangnya itu."

   "Dalam keadaan seperti itu tentu muncul orang-orang yang mementingkan diri pribadi, orang-orang yang menyeleweng seperti Resi Mahapati dan... dan... mendiang Ayah,"

   Kata pula Roro Kartiko.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sulastri memegang tangan dara itu.

   "Sudahlah, jangan menyebut lagi nama Ayahmu yang sudah tidak ada. Tentang Resi Mahapati, memang aku menduga bahwa dia adalah orang yang tidak baik. Sayang sekali bahwa kakak dari Kakang Sutejo telah menjadi selirnya, bahkan sekarang Kakang Sutejo terbujuk dan membantunya. Mahapati adalah pembunuh guruku Eyang Jembros, maka aku harus dapat membalasnya kelak."

   Joko Handoko memandangnya dengan penuh selidik.

   "Harap kau hati-hati, Diajeng Sulastri. Mahapati itu adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi, apalagi setelah ternyata Sutejo adalah Adik iparnya. Aku tahu Sutejo memilki kepandaian yang hebat pula. Dan di Mojopahit terdapat banyak orang-orang sakti, bahkan Guru kami, Resi Harimurti, juga menjadi pembantu Mahapati. Engkau hendaknya jangan sembrono untuk menyerbu ke sana."

   Sulastri menggeleng kepala.

   "Tidak, aku pun tidak sebodoh itu, Kakangmas Joko. Aku akan menanti saat yang baik dan tepat, dan sekarang yang penting bagiku adalah mencari pusaka Kolonadah yang hilang."

   "Menurut pendapatku, pusaka itu tentu telah dibawa oleh Ki Ageng Palandongan."

   Sulastri mengangguk-angguk.

   "Kurasa pun begitulah.

   Eyang Empu memesan kepadaku untuk menyerahkan pusaka itu kepada Pangeran Pati. Akan tetapi melihat perkembangan keadaan, aku sendiripun merasa tidak cocok kalau Mojopahit dipegang oleh bukan keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara. Aku berfihak kepada mendiang Guruku Adipati Ronggo Lawe dan para pemberontak lain. Oleh karena itu,mengingat bahwa pusaka Kolonadah tadinya adalah milik Adipati Ronggo Lawe, maka aku akan menyelidiki apakah benar kini terjatuh ke tangan Ki Ageng Palandongan. Kalau benar demikian, aku hanya akan mengajak Ki Ageng Palandongan untuk berunding, kepada siapa sebaiknya pusaka itu diserahkan, karena beliau adalah mertua Adipati Ronggo Lawe."

   Kakak beradik itu mengangguk-angguk.

   "Pendapatmu itu bijaksana, mbakayu Sulastri,"

   Kata Roro Kartiko.

   "Menurut perhitunganku, tentu Ki Ageng Palandongan melarikan diri ke Lumajang karena semenjak gugurnya Adipati Ronggo Lawe, dia pun boyongan ke sana dan tentu berlindung di bawah kekuasaan Adipati Wirorojo, dan memang semua sisa anak buah Adipati Ronggo Lawe dan Senopati Lembu Sora juga berkumpul di Lumajang."

   "Aku memang hendak menyusul ke sana."

   "Kami pun bermaksud hendak ke sana, Diajeng Sulastri. Kami rasa, hanya di Lumajang sajalah tempat paling aman bagi kami sekarang ini,"

   Kata Joko Handoko.

   "Ah, kalau begitu, sungguh kebetulan. Kita dapat melakukan perjalanan bersama ke Lumajang!"

   "Tidak ada hal yang lebih baik daripada itu!"

   Roro Kartiko berseru sambil memegang tangan Sulastri.

   "Akan tetapi aku akan menyamar sebagai pria lagi, Diajeng, dan jangan lupa, kau harus menyebutku Kakangmas Bromatmojo, pria yang kau cinta..."

   "Hushhh!"

   Roro Kartiko mencubit lengan Sulastri keras sekali sampai Sulastri menjerit-jerit minta ampun baru dilepaskan. Ke manakah perginya Ki Ageng Palandongan? Memang tepat dugaan semua orang bahwa Ki Ageng Palandongan melarikan diri dari Tuban, langsung menuju ke Lumajang dengan mengambil jalan memutar ke selatan dan menjauhi Kota Raja Majapahit.

   Keris pusaka Kolonadah yang dahulu dimiliki mendiang mantunya itu masih terbungkus kain kuning dan disembunyikan di bawah jubahnya, terselip dan diikat pada pinggangnya dengan kuat. Dia berjanji di dalam hatinya untuk melindungi keris pusaka itu dengan seluruh jiwa raganya. Dia mengerti bahwa banyak orang menghendaki keris pusaka yang merupakan keris pegangan raja itu. Tentu Sang Prabu di Mojopahit sendiri menghendakinya, untuk diserahkan kepada Putera Mahkota kelak, dan juga Mahapati menghendakinya melalui Progodigdoyo. Belum lagi golongan-golongan lain, adipati-adipati dan raja-raja kecil yang sudah mendengar tentang pusaka itu. Maka dia harus menjaganya dengan hati-hati sekali dan menyerahkan kepada Adipati Wirorojo, besannya yang kini menjadi Adipati Lumajang dengan kekusaan besar dan telah berdiri sendiri itu. Terserah nanti kepada keputusan Sang Adipati hendak dikemanakan keris itu.

   Ki Ageng Palandongan jalan menyusup-nyusup hutan melalui pegunungan kidul,sengaja mencari jalan yang sunyi. Pada suatu pagi, jauh sekali di daerah selatan dari wilayah Mojopahit yang hampir tak pernah tersentuh kekuasaan Mojopahit karena terpencil, Ki Ageng Palandongan berjalan perlahan melalui sebuah dusun yang rakyatnya hidup sederhana dan serba kekurangan karena memang daerah selatan ini merupakan daerah yang kurang subur tanahnya, penuh dengan bukit-bukit gamping. Selagi dia berjalan seenaknya karena kedua kakinya sudah terasa lelah, dia mendengar suara suling di sebelah depan.

   Suara suling yang amat merdu dan mendengar jenis lagunya, dia merasa curiga karena agaknya

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   bukan orang dusun yang meniup suling itu. Lagu dusun amat sederhana, akan tetapi gending yang dimainkan suling itu mempunyai banyak cengkok dan kembangan dan lagu seperti itu hanya dapat dimainkan oleh orang kota yang mengerti tentang seni suara! Maka dia bersikap hati-hati, mengancingkan kembali kancing jubah paling atas biarpun hawanya amat panas. Kemudian dia melanjutkan langkahnya kini lebih cepat daripada tadi, menuju ke timur, ke arah suara suling itu. Jalan kecil ke arah timur hanya sebuah saja, maka dia tidak dapat menggunakan jalan lain dan terpaksa melanjutkan perjalanannya melalui jalan itu.

   Betapapun juga, agaknya kecurigaannya tidak berdasar, karena daerah ini sudah jauh sekali dari Kota Raja Mojopahit dan lebih jauh lagi dari Tuban. Siapa yang akan mengenalnya di tempat asing ini? Bahkan dia sendiri baru pertama kali ini melalui daerah ini! Hatinya tenang dan dari jauh dia sudah melihat bahwa yang meniup suling itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, meniup sebatang suling yang berwarna hitam sambil duduk di atas galengan sawah di tepi jalan itu.

   Laki-laki itu kelihatannya berpakaian sederhana saja, dengan ikat kepala hitam,seperti pakaian seorang petani, akan tetapi Ki Ageng Palandongan tahu bahwa orang itu bukan petani. Biarpun orang itu kelihatan asyik meniup suling, namun ada beberapa kali matanya yang seperti terpejam itu terbuka dan memandang ke arah dia. Namun Ki Ageng Palandongan tidak perduli, seolah-olah tidak mendengar orang itu meniup suling dengan indahnya. Padahal, andaikata dia tidak sedang membawa pusaka Kolonadah, ingin dia berhenti mendengarkan tiupan suling itu dan sekedar omong-omong dengan peniup suling yang amat pandai itu.

   Setelah dia berjalan cepat kurang lebih dua ratus langkah, tiba-tiba suara suling itu terhenti. Dia menoleh dan ternyata orang itu telah lenyap dari atas galengan sawah tadi. Padahal tempat itu terbuka. Ke mana perginya? Tak mungkin demikian cepatnya lenyap kalau hanya berlari biasa! Dia merasa curiga sekali,jantungnya berdebar bukan karena takut, melainkan karena tegang, merasa bahwa tentu akan ada sesuatu yang terjadi. Ki Ageng Palandongan adalah seorang kakek yang gagah perkasa, sudah biasa menghadapi kekerasan dalam peperangan, maka tentu saja dia tidak gentar menghadapi bahaya bagi dirinya. Hanya karena dia membawa Kolonadah, maka dia merasa tegang sekali. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Hatinya lega ketika dia sudah meninggalkan dusun itu. Di depan terdapat pohon trembesi yang besar, penuh dengan bunga dan dari jauh daun-daun kecil yang rontok tertiup angin nampak seperti hujan saja.

   Memang daun pohon trembesi selalu rontok tertiup angin. Akan tetapi bukan pohon itu yang menarik perhatian Ki Ageng Palandongan, melainkan seorang laki-laki yang duduk di bawah pohon itu. Sesaat jantungnya seperti berhenti berdetik karena dia menyangka bahwa Si Peniup Suling tadi yang duduk di depan itu. Kalau benar demikian betapa anehnya. Akan tetapi hanya usianya saja yang s.a dan ikat kepalanya yang sama hitamnya. Akan tetapi orangnya jauh berbeda.

   Peniup suling tadi bertubuh jangkung, nampak kakinya yang panjang ketika duduk di galengan sawah dan mukanya bulat telur dengan kulit agak kuning, akan tetapi orang yang duduk di bawah pohon trembesi ini mukanya hampir persegi, telinganya lebar dan matanya lebar, kulitnya hitam sekali. Akan tetapi orang itu ramah, dari jauh sudah menyeringai ramah ke arah Ki Ageng Palandongan. Ternyata orang itu sedang menyiapkan kinang dan ketika Ki Ageng Palandongan sudah datang dekat, dia berkata dengan suaranya yang besar parau namun ramah,"Hari amat panas, Kisanak, silakan duduk istirahat sambil menikmati sekapur sirih!"

   Melihat keramahan seperti itu, biasanya tentu Ki Ageng Palandongan akan menyambut dengan gembira. Akan menyenangkanlah duduk mengaso di situ, makan sirih dan mengobrol dengan orang yang ramah ini. Akan tetapi sekali ini dia mengeraskan hati, tersenyum dan berkata.

   "Terima kasih, Kisanak, saya mempunyai urusan penting dan tidak ada waktu. Lain kali saja!"

   Dan dia melanjutkan langkahnya dengan cepat. Seperti ada isarat tertentu, kurang lebih dua ratus langkah kemudian dia menoleh dan jantungnya makin berdebar. Orang ramah itu telah lenyap pula! Sama anehnya dengan Si Peniup Suling tadi! Ki Ageng Palandongan melanjutkan perjalanannya hampir lari. Dan tiba-tiba saja terdengar orang membentak nyaring.

   "Perlahan dulu, Ki Ageng Palandongan!"

   Ki Ageng Palandongan yang sudah tegang hatinya itu terperanjat dan menoleh ke kiri. Dari balik serumpun pohon muncullah seorang kakek yang kelihatan tegap dan gagah biarpun usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis dan jenggotnya masih hitam dan terpelihara baik, matanya tajam dan tangan kirinya memegang sebatang kipas bambu bundar yang dikebut-kebutkannya untuk mengipasi lehernya. Ki Ageng Palandongan memandang penuh selidik, akan tetapi dia tidak mengenal kakek yang sudah tahu namanya itu. Dia adalah seorang gagah. Memang benar bahwa dia melakukan perjalanan melalui tempat-tempat sunyi agar jangan sampai bertemu dengan tokoh-tokoh Tuban dan Mojopahit, akan tetapi dia bukan seorang pengecut yang tidak berani mengakui namanya.

   "Andika siapakah? Dan ada keperluan apa kiranya Andika menghentikan saya?"

   Dia bertanya, sikapnya tenang namun penuh kewaspadaan.

   "Ha-ha-ha, Ki Ageng Palandongan, susah payah aku sengaja mencari dan mengejarmu. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan mengambil jalan ini, ha-ha-ha. Resi Harimurti tidak pernah keliru dalam perhitungannya!"

   Kakek itu mengipasi dadanya dan sikapnya jumawa sekali.

   Ki Ageng Palandongan terkejut sekali, akan tetapi tidak diperlihatkan pada wajahnya. Dia memang belum pernah bertemu dengan Resi Harimurti, akan tetapi sudah mendengar nama prtapa ini sebagai sahabat dan pembantu Resi Mahapati yang kabarnya memiliki kesaktian hebat sekali. Maka dia dapat menduga bahwa tentu munculnya Resi ini adalah atas perintah Resi Mahapati. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan berkata,"Ah, kiranya Andika adalah Sang Resi Mahapati yang namanya sudah terkenal sekali itu. Saudara Resi jauh-jauh Andika mengejar dan menyusul saya, ada keperluan apakah?"

   Wajah yang tadinya tertawa-tawa itu tiba-tiba saja berubah menjadi garang dan kipasnya berhenti bergerak, mulutnya membentak nyaring.

   "Ki Ageng Palandongan, serahkan Kolonadah, baru aku mengampuni nyawamu!"

   Ki Ageng Palandongan tidak kaget mendengar ini karena dia sudah menduga bahwa Resi ini tentu menghendaki Kolonadah. Dan dia pun tidak perlu lagi menyembunyikan diri.

   "Resi Harimurti, memang benar aku yang membawa pusaka Kolonadah. Akan tetapi ketahuilah, pusaka ini adalah milik mendiang mantuku Ronggo Lawe, maka aku berhak melindunginya."

   "Ha-ha-ha, pandai kau bicara, Ki Ageng Palandongan! Setelah engkau membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya dengan keji!"

   "Tidak perlu memutarbalikkan kenyataan, Resi Harimurti. Memang aku telah membunuh mereka, akan tetapi hal itu hanya merupakan pembelaan diri belaka karena sesungguhnya merekalah yang hendak meracuniku dan merampas pusaka Kolonadah."

   "Tak perlu banyak cerewet! Berikanlah Kolonadah atau harus kubunuh dulu kau?"

   "Resi Harimurti, siapapun juga tanpa kehendakku hanya akan dapat mengambil pusaka Kolonadah dari atas mayatku!

   "Babo-babo keparat, besar mulutmu, nyaring suaramu seolah-olah engkau dapat menumbangkan gunung menyurutkan air lautan!"

   Resi Harimurti membentak dan dia pun segera menyerang dengan kipasnya yang ampuh. Angin sambaran kipas seperti badai menyambar muka Ki Ageng Palandongan. Kakek ini cepat mengelak dan dia sudah menduga bahwa di dalam angin itu tentu menyambar pukulan maut. Benar saja,tangan kanan Resi Harimurti menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan maut yang amat kuat. Ki Ageng Palandongan cepat menangkis dengan tangan kirinya.

   "Desss...!!"

   Ki Ageng Palandongan mengeluh pendek dan tubuhnya terjengkang dan terbanting. Resi Harimurti tertawa bergelak karena jelas bahwa dia menang kuat dalam penggunaan tenaga sakti. Namun Ki Ageng Palandongan cukup sigap karena biarpun dia terpelanting, dia ternyata sudah dapat meloncat bangkit kembali dan kini ikat kepalanya yang hitam telah berada di tangan kanannya. Dia maklum akan kedigdayaan lawan, maka dia tidak membuang waktu lagi segera melolos ikat kepalanya karena itulah senjatanya yang paling ampuh.

   Kipas sudah menyambar lagi, kini lebih ganas diikuti oleh tamparan dari bawah oleh tangan kanan yang bersembunyi dari balik kipas dan sambarannya pun ditutupi oleh angin sambaran kipas. Ki Ageng Palandongan sudah siap, maka ketika kipas menyambar, dia menggerakkan ikat kepalanya itu. Gulungan sinar hitam berkelebat dan menyambut tamparan tangan kanan Resi Harimurti.

   "Brakkk... plakkk!"

   Kini Resi Harimurti juga terhuyung biarpun Ki Ageng Palandongan juga terdorong ke belakang dan merasa betapa tangan kanannya panas sekali. Resi Harimurti kaget dan marah melihat kipasnya agak rusak pinggirnya. Kiranya ikat kepala kain hitam itu merupakan senjata yang ampuh!

   "Tar-tar-tarrrr...!"

   Cambuk yang sudah dicabut dari pinggang itu kini meledak-ledak di udara. Pecut sapi panjang itu memang hebat, tentu saja jauh lebih hebat daripada senjata kipas yang pendek. Dan Resi Harimurti memang mahir mempermainkan pecut itu karena memang ketika dia masih kecil, dia bekerja sebagai penggembala sapi dan sejak kecil dia sudah biasa bermain-main dengan pecut.

   Dengan mengeluarkan suara meledak-ledak nyaring, ujung pecut itu kini menyambar ke arah kepala Ki Ageng Palandongan. Kakek ini mengelak dan berusaha menangkis dengan ikat kepalanya untuk membikin patah ujung pecut, akan tetapi sebelum tertangkis, pecut itu sudah mengelak dan menyambar lagi, seperti seekor ular hidup saja. Diserang seperti itu, akhirnya pundak dan punggung Ki Ageng Palandongan terkena lecutan cambuk sehingga bajunya robek dan kulitnya pecah. Kekebalannya tidak mempan ketika terkena lecutan cambuk yang digerakkan oleh tenaga sakti yang amat kuat itu.

   Ki Ageng Palandongan melawan dengan mati-matian dan nekat. Namun kini dia kena dihajar oleh Resi Harimurti yang ternyata memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada lawan. Pakaian Ki Ageng Palandongan sudah robek-robek dan berdarah, dan ketika dia menggerakkan ikat kepalanya dengan nekat untuk balas menyerang tanpa memperdulikan ujung cambuk yang seperti hidup itu, tiba-tiba ujung pecut menyambar ke bawah, menyambut ikat kepala dan membelit seperti ekor ular. Ki Ageng Palandongan terkejut, berusaha menarik ikat kepalanya, akan tetapi pada saat itu, kipas di tangan kiri Resi Harimurti sudah menyambar ganas.

   "Plakkk!!"

   Hebat sekali pukulan itu yang mengenai Ki Ageng Palandongan. Kakek ini tidak dapat mengeluarkan suara lagi, tubuhnya berputaran, ikat kepalanya terlepas dan akhirnya dia roboh ke atas tanah dan rebah miring, tak berkutik lagi dengan muka pucat dan dari mulutnya mengalir darah merah! Resi Harimurti tersenyum, akan tetapi dengan tergesa-tesa dia cepat menggerayangi pinggang Ki Ageng Palandongan. Dengan seruan girang dia mengambil keris pusaka Kolonadah yang terbungkus kain kuning itu. Dibukanya bungkusan itu dan sekali pandang saja tahulah dia bahwa itu adalah pusaka yang dicari. Dia bergidik melihat sinar pusaka itu, dibungkusnya kembali lalu diselipkan di ikat pinggangnya, tertutup jubah dan diikatnya kuat-kuat di pinggangnya. Sekali lagi dia menoleh kepada Ki Ageng Palandongan yang diduganya tentu sudah tewas oleh pukulan kipasnya pada tengkuk tadi, maka karena maklum akan bahayanya membawa pusaka yang diperebutkan itu, dia cepat melarikan diri ke utara.

   Ketika dia tiba di dalam hutan di depan, tiba-tiba terdengar suara suling di sebelah depan. Resi Harimurti terkejut dan heran, memandang ke kanan kiri penuh curiga dan mengancingkan jubahnya untuk menyembunyikan pusaka Kolonadah. Ketika dia hendak membalik, tiba-tiba di belakangnya ada suara orang tertawa dan tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua meludah-ludahkan ludah sirih yang merah seperti darah dari mulutnya. Dia membalik lagi dan kini dia melihat seorang setengah tua yang lain lagi berdiri di depannya, membawa sebatang suling!

   "Hemm, kalian siapakah berani menghadang perjalananku?"

   Resi Harimurti membentak dan berdiri tegak sambil membalikkan tubuhnya sehingga dia menghadapi dua orang itu yang tadi datang dari depan dan belakang menjadi berada di kanan kirinya dan kedua tangannya sudah siap memegang kipas dan pecutnya.

   "Tidak perlu tahu kami siapa, Sang Resi. Berikan saja Kolonadah kepada kami!"

   Kata yang memegang suling.

   "Keparat! Jadi kalian adalah perampok-perampok!"

   Bentak Resi Harimurti marah sambil meledakkan pecutnya di atas kepalanya.

   "Tar-tarr!"

   "Ha-ha-ha, kawan. Kalau kami perampok, Andika adalah begal (perampok), jadi kita sama-sama, tidak ada bedanya, ha-ha!"

   Kata orang yang mukanya hitam dan bibirnya merah berlepotan ludah kinang itu dan kini tangan kanannya telah memegang sebatang keris.

   Diejek seperti itu, Resi Harimurti menjadi makin marah. Ejekan itu menandakan bahwa dua orang ini tadi telah melihat dia membunuh Ki Ageng Palandongan dan merampas keris, maka dia tidak mau merahasiakannya lagi.

   "Jadi kalian merasa iri atas kematian Ki Ageng Palandongan? Nah, majulah, biar kukirim kalian ke neraka!"

   Dua orang itu menerjang dari kanan dan kiri. Agaknya mereka sudah maklum akan kesaktian Resi ini maka begitu menyerang mereka telah maju berbareng. Dan ternyata mereka memiliki gerakan yang amat cepat, jauh lebih cepat daripada gerakan Ki Ageng Palandongan tadi. Si Muka Kuning memainkan sulingnya yang berwarna hitam dan terbuat dari baja itu, sedangkan Si Muka Hitam menusukkan kerisnya dengan cepat dan kuat.

   Namun Resi Harimurti cepat mengelebatkan pecutnya yang meledak-ledak dan mengibaskan kipasnya dan dua serangan itu tertangkis dan terpental. Dua orang itu terkejut, maklum bahwa Sang Resi ini benar-benar amat sakti dan kuat. Maka mereka lalu menyerang dengan hati-hati dan saling melindungi, kalau yang satu menyerang yang lain melindungi dan mereka dapat bekerja sama dengan baiknya. Resi Harimurti bergerak cepat dan berusaha merobohkan mereka, akan tetapi dengan kerja sama yang baik itu, selalu serangannya dapat ditangkis atau dielakkan,sungguh pun semua serangan dua orang lawan itu juga dapat dia hindarkan dengan baik.

   Sebetulnya, kalau mereka itu maju satu demi satu, mereka bukanlah lawan Resi Harimurti. Baik dalam kekuatan tenaga sakti, mau pun dalam permainan senjata dan kecepatan gerak, mereka itu kalah jauh. Namun karena mereka berdua mampu bekerja sama dengan baik sehingga mereka itu seolah-olah merupakan satu lawan yang bertangan empat dan dapat pindah ke kanan dan ke kiri, Resi Harimurti menjadi repot juga dan dua orang itu mampu mengimbanginya. Makin lama pertempuran berjalan makin seru, akan tetapi kedua fihak berlaku hati-hati sehingga sekian lamanya belum juga ada yang terkena senjata. Dua orang sekawan itu sudah mulai berkeringat dan napas mereka agak terengah-engah, sedangkan Resi Harimurti masih tetap segar saja. Hal ini membuat mereka merasa khawatir.

   Tahulah mereka bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan resi ini, dan celakanya, Kolonadah disimpan demikian rapatnya sampai tidak kelihatan. Kalau Kolonadah kelihatan, mungkin mereka dapat menggunakan akal untuk merampasnya. Akan tetapi keris pusaka itu disimpan di balik jubah dan tidak nampak, sedangkan pecut itu panjang sekali sehingga tidak memungkinkan mereka mendekati Sang Resi.

   "Mundur...!"

   Tiba-tiba Si Pemegang Suling berseru dan segera dia melompat ke belakang, diikuti oleh Si Muka Hitam dan dengan beberapa loncatan saja lenyaplah mereka di antara pohon-pohon di dalam hutan.

   Resi Harimurti berdiri tegak, lalu tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.

   "Ha-ha-ha, belum lecet kulitmu secuwil, belum mengucur darahmu setetes, kalian sudah lari! Huh, pengecut!"

   Dan dia melanjutkan perjalanannya dan baru sekarang nampak betapa napasnya juga memburu. Cepat dia menarik napas panjang untuk menghilangkan kelelahannya dan dengan berjalan perlahan akhirnya dia dapat juga mengatur pernapasannya dan ketika dia tiba di tengah hutan, keadaannya sudah pulih kembali. Sebetulnya, Sang Resi ini adalah seorang gemblengan yang sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi, oleh karena dia lemah menghadapi nafsu berahinya sendiri, dan terlampau sering dia melampiaskan nafsu berahinya secara melewati batas, maka daya tahannya berkurang dan kalau tadi dia tidak kelihatan lelah di depan orang lawannya adalah karena dia menggunakan ilmu hitam sehingga dua orang lawan itu melihat dia seolah-olah masih segar, padahal dia sudah mulai loyo dan kalau pengeroyokan itu dilanjutkan terus, keadaan bisa berbahaya juga baginya.

   Ternyata hutan di Pegunungan Kidul itu lebat dan panjang juga sehingga menjelang senja barulah dia dapat keluar dari dalam hutan. Dia sengaja mengambil jalan menyusup-nyusup di antara semak-semak untuk memotong jalan dan pedomannya hanyalah matahari yang condong ke barat. Tujuannya adalah ke utara, maka kalau matahari yang condong ke barat itu berada di sebelah kirinya, sudah benarlah arahnya. Hatinya lega ketika dia melihat betapa hutan itu habis di lereng bukit depan.

   "Eeiiihhhh...!"

   Dara itu menjerit dan otomatis tangan kirinya diangkat dan punggung tangan itu menutupi mulutnya dengan mata terbelalak memandang kepada Resi Harimurti. Saking kagetnya barangkali, kemben yang melilit pinggang terus ke dada itu ujungnya terlepas sehingga kainnya melorot turun memperlihatkan kaki dan lereng sepasang bukit yang halus padat dan mulai membusung. Apalagi ketika lengan kiri itu diangkat ke atas, nampak ketiak yang halus bersih menyambung kaki bukit kembar itu. Resi Harimurti tersenyum dan matanya memandang penuh gairah dari atas ke bawah sambil menilai-nilai. Seorang dara dusun yang kelihatannya masih "hijau"

   Usianya tentu tidak lebih dari enam belas tahun,hidup di alam bebas membuatnya cepat matang namun tidak menyadari kematangannya sehingga kelihatan masih "polos". Rambutnya awut-awutan namun membentuk keindahan yang wajar tanpa bantuan minyak, kembang dan sisir. Mukanya bulat telur dan segar kemerahan tanda kesehatan berkat hawa yang bersih dan sinar matahari.

   Matanya menyinarkan kebodohan yang murni dan mulutnya yang agak terbuka karena keheranan itu memperlihatkan empat buah gigi atas yang kecil dan rapi putih mengkilap. Tubuhnya padat dan nampak berisi karena setiap hari otot-otot itu bergerak untuk bekerja seperti biasanya perawan gunung.

   Resi Harimurti menelan air liurnya seperti seorang kelaparan melihat nasi putih mengepul hangat, atau seperti seekor harimau kelaparan melihat kelinci muda yang gemuk. Pikirannya membayang-bayangkan segala kenikmatan nafsu berahi sehingga makin bangkitlah gairahnya. Nafsu apa pun juga, terutama nafsu berahi, selalu timbul dari pikiran. Kalau seorang pria, tua mau pun muda, yang sehat dan wajar, melihat seorang wanita muda merasa tertarik dan suka, hal itu sudah merupakan suatu kewajaran. Seperti halnya orang akan tertarik melihat sesuatu yang indah dan yang mempunyai daya tarik tersendiri, seperti bunga-bunga, kupu-kupu, pemandangan alam, bulan, dan sebagainya.

   Apalagi karena secara alamiah memang ada daya tarik pada diri wanita terhadap pria, maka wajarlah kalau seorang pria yang melihat seorang wanita, apalagi yang cantik dan muda, lalu merasa tertarik dan suka dengan apa yang dilihatnya. Akan tetapi, hal ini adalah wajar dan tidak ada jahat atau buruknya,seperti kita melihat bunga, melihat keindahan alam dan sebagainya. Kalau pikiran masuk dan mencampuri peristiwa itu, barulah menjadi rusak keadaannya dan menjadi jahat atau buruk akibatnya. Pikirannya membayangkan semua pengalaman sendiri,atau yang didengar dari lain orang, tentang kenikmatan yang dapat direguk bersama wanita yang dipandangnya itu, dan bersama bayangan-bayangan itu datanglah gairah nafsu berahi! Dan kalau nafsu berahi sudah menguasai batin,segala perbuatan dilakukan dengan membuta, yang ada hanya keinginan untuk menikmati seperti apa yang dibayangkannya itu.

   Demikian pula halnya dengan Resi Harimurti orang yang sudah terbiasa membayangkan segala kesenangan duniawi, terutama sekali kesenangan bermain cinta dengan wanita, baik secara suka rela maupun secara paksa seperti yang sudah biasa dilakukannya. Melihat perawan gunung ini, timbullah gairah berahinya.

   "Eh, Gendhuk yang manis, cah ayu, kenapa kau menjerit? Sampai kaget aku!"

   Katanya dengan wajah penuh kemarahan.

   "Saya yang kaget... saya kira tadinya bukan manusia..."

   Perawan itu berkata dan kini tangan yang menutupi mulut itu turun menekan ke atas sebuah di antara bukit kembar yang sebelah kiri. Gerakan ini membuat jantung Harimurti berdebar karena dia merasa seolah-olah tangannyalah yang menjamah dada itu.

   "Bukan manusia, habis kau kira apa, Nini?"

   "Saya kira tadinya... celeng yang mau menyeruduk saya!"

   "Ha-ha-ha! Celeng (babi hutan)? Kalau ada celeng sebesar dan setua ini, betapa akan alot dagingnya! Ha-ha-ha!"

   Gadis itu pun tersenyum sehingga nampak sederet gigi yang putih rata.

   "Ahh, tadi saya tidak melihat jelas, Kakek..."

   "Kakek? Wah, sembarangan saja kau menyebut orang. Aku belumlah begitu tua, cah ayu. Dan aku adalah Resi Harimurti, seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit. Dan kau menyebutku Kakek?!"

   Dara itu kelihatan terkejut dan matanya terbelalak lebar, mengingatkan Resi Harimurti akan mata seekor kelinci berbulu putih yang manis.

   "Ah, kiranya Paduka... bangsawan...?"

   Tanyanya takut-takut.

   "Ha-ha-ha, aku priyayi, aku priyayi agung, bangsawan besar yang tinggi pangkatnya, mulia kedudukannya dan kaya raya!"

   Perawan dusun itu makin ketakutan dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.

   "Harap Paduka mengampuni hamba..."

   Katanya lirih.

   "Tentu... tentu...! Siapa bisa marah kepada seorang ayu manis seperti engkau?"

   Dan Harimurti lalu duduk pula di atas rumput tebal di dekat perawan itu, tangannya langsung mengelus dagu.

   "Aihhhh...!"

   Dara itu menjerit lirih dan mengusap dagunya seolah-olah baru saja terbakar api.

   "Aahh, aku priyayi agung dari Mojopahit. Apakah engkau tidak senang melayani aku, cah ayu?"

   Dara itu mengangkat muka memandang dengan mata terbelalak, ketika Resi itu mendekatkan mukanya, dia membuang muka dengan ketakutan.

   "Hamba... hamba takut..., hamba adalah seorang pencari kayu yang kemalaman. Hamba mau pulang... nanti Ayah dan Ibu mencari-cari hamba..., disangkanya hamba di..."

   "Diseruduk celeng?"

   Harimurti menggoda dan gadis itu mau tidak mau tersenyum.

   Melihat senyum ini, Harimurti tidak kuat lagi dan seperti seekor harimau buas saja, dia menerkam, memeluk gadis itu dan mencium mulut itu dengan ganas. Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin dia melawan tenaga Sang Resi yang amat kuat dan rontaannya itu menambah gairah hati Sang Resi sehingga pelukannya menjadi makin ketat.

   "Aduhhh... perut dan dada hamba sakit tertekan itu..."

   Setelah mulutnya dilepaskan gadis itu terengah-engah dan mengeluh. Baru teringatlah Harimurti bahwa di pinggangnya terdapat banyak macam benda keras. Keris pusaka Kolonadah yang terbungkus kain kuning, gagang pecut dan gagang kipas yang kesemuanya menonjol dan keras. Tentu saja menyakitkan perut dan dada perawan itu.

   "Ha-ha-ha, aku sampai lupa membawa senjata-senjata ini!"

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Katanya dengan suara agak gemetar karena nafsu berahinya sudah memuncak setelah dia memeluk tubuh yang mengkal dan menciumi mulut yang lunak itu. Dikeluarkannya tiga macam senjata itu dan dara itu memandang dengan mata terbelalak.

   "Barang-barang aneh yang paduka bawa..."

   Katanya lirih dan makin heran di samping rasa takut dan tegang yang membayang di wajahnya.

   "Ha-ha-ha, ini adalah pusaka-pusaka ampuh, cah ayu. Lihat... prakk!"

   Kipas itu digerakkan dan sebuah batu sebesar tangan pecah-pecah!

   "Dan ini, lihat betapa hebatnya pecutku!"

   Dia menggerakkan pecutnya.

   "Tarrr... bruukkk...

   "

   Sebatang pohon yang dicambuknya tumbang. Dara itu pucat wajahnya dan memandang dengan mata terbelalak makin lebar.

   Melihat ini, Harimurti tertawa.

   "Apalagi ini!"

   Dia menyingkapkan kain kuning sehingga nampak keris pusaka Kolonadah yang mengeluarkan sinar aneh.

   "Kalau sekali memasuki perut, akan hancur lebur tubuh orang itu. Maka, kau tahu sekarang bahwa selain priyayi agung, aku pun seorang yang memiliki kesaktian hebat, maka jangan kau menentang kehendakku, manis. Kau layanilah aku, cah ayu."

   Harimurti perlahan-lahan meletakkan semua senjata di atas rumput di dekatnya, kemudian perlahan-lahan pula dia mulai membuka pakaiannya sendiri, dipandang dengan mata terbelalak oleh perawan itu.

   "Ha-ha-ha, jangan kau kira hanya celeng saja yang pandai menyeruduk, aku pun bisa. Lihat!"

   Dia menerkam lagi dan memeluk gadis itu yang tidak mampu mengeluarkan suara saking takutnya, bahkan tidak lagi meronta ketika Harimurti menarik kain dan kembennya.

   Pada saat itu, tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan meloncat ke tempat itu dan sekali sambar saja, dua orang itu telah bergerak, yang satu menghantam ke arah Harimurti dengan suling hitam, yang ke dua menyambar bungkusan kuning keris pusaka Kolonadah.

   "Wuuuuttt...!"

   Suling hitam menyambar ke arah kepala Harimurti yang sedang lengah karena diamuk nafsu berahi yang sedang memuncak. Akan tetapi berkat latihan puluhan tahun, dia mendengar suara mereka dan cepat serta otomatis lengannya menangkis sinar hitam yang menyambar ke arah kepalanya.

   "Dukkk...!!"

   Si Penyerang itu mengeluh dan terhuyung ke belakang lalu meloncat pergi menyusul Si Muka Hitam yang sudah melarikan Kolonadah.

   "Eh, keparat jahanam!"

   Resi Harimurti terkejut sekali karena melihat bahwa bungkusan kain kuning telah lenyap dari situ. Cepat dia meloncat bangun, mengenakan kembali pakaiannya sejadi-jadinya kemudian lari mengejar.

   Gerakannya memang cepat sekali dan kini dia lari sambil mempersiapkan kipas dan cambuk di tangannya. Karena cepatnya Sang Resi berlari seperti terbang saja, dia sudah berhasil menyusul Si Peniup Suling yang tadi menyerangnya.

   "Jahanam, hendak lari ke mana kau?"

   Bentaknya dan pecutnya yang panjang itu menyambar sambil mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil.

   "Plak-plak-tranggg...!!"

   Berkali-kali Si Peniup Suling menangkis sampai akhirnya dia terhuyung dan sulingnya hampir terlepas dari tangannya.

   

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini