Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 21


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Bukan aku yang mengambil Kolonadah...!"

   Teriak Si Pemegang Suling.

   "Heh, Resi cabul! Mau minta kembali Kolonadah? Enaknya, ini dia sudah berada di tanganku!"

   Terdengar suara di belakangnya. Resi Harimurti yang sedang mendesak Si Pemegang Suling Hitam yang memegang keris dengan tangan kanan itu mengacung-acungkan bungkusan kain kuning di tangan kirinya, dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan tubuhnya mencelat ke depan, langsung dia menyerang Si Muka Hitam itu dengan pecut dan kipasnya!

   "Kembalikan pusaka itu!"

   Bentaknya akan tetapi serangannya lebih cepat daripada bentakannya. Hebat bukan main serangannya itu dan biar pun Si Muka Hitam berhasil menangkis pecut dengan kerisnya dan meloncat mundur untuk mengelak, namun tetap saja hawa dari kipas itu membuat dia terjengkang dan jatuh bergulingan di atas rumput.

   "Mampus kau!"

   Resi Harimurti membentak dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba Si Muka Hitam itu mengayun tangan kirinya dan melemparkan bungkusan kuning itu ke kiri.

   "Sambut ini...!"

   Teriaknya dan Resi Harimurti cepat menoleh. Ketika dia melihat Si Pemegang Suling menyambut bungkusan kuning itu dan lari, dia marah sekali dan tanpa memperdulikan lagi Si Muka Hitam, dia sudah mencelat dan mengejar Si Pemegang Suling. Dia marah sekali kepada mereka berdua, akan tetapi untuk saat itu, yang terpenting adalah menghalangi mereka melarikan Kolonadah. Setelah dia berhasil merebut kembali Kolonadah, baru dia akan membunuh mereka seorang demi seorang.

   Si Pemegang Suling itu lari cepat sekali, akan tetapi Resi Harimurti lebih cepat lagi gerakannya dan sebentar saja dia sudah hampir dapat menyusulnya. Akan tetapi tiba-tiba Si Pemegang Suling melemparkan bungkusan kuning itu ke arah semak-semak sambil berkata.

   "Sambutlah!"

   "Kresekkk...!"

   Bungkusan kuning itu masuk ke dalam semak-semak tanpa ada yang menyambutnya. Melihat ini, giranglah hati Resi Harimurti dan dia pun cepat menubruk ke semak-semak itu untuk mendahului kalau-kalau ada orang lain yang akan mengambil bungkusan itu.

   "Wuuuttt... crott... aduhhh, keparat!"

   Resi Harimurti masih sempat mengerahkan aji kekebalannya akan tetapi tetap saja keris yang menyambut tubrukannya dari dalam semak-semak itu telah menancap dan melukai pundaknya. Biar pun hanya merobek beberapa senti ke dalam dagingnya, namun cukup panas dan nyeri, akan tetapi lebih nyeri lagi rasa hatinya ketika dia melihat Si Muka Hitam meloncat ke luar dari semak-semak tadi sambil membawa bungkusan kuning Kolonadah! Kiranya mereka itu sengaja mempermainkan! Si Muka Hitam itu telah menanti dalam semak belukar dan menyambut tubrukannya dengan keris ditusukkan. Untung tadi dia masih sempat miringkan tubuh dan mengerahkan aji kekebalan, kalau bukan dia, tentu telah menggeletak dengan keris menembus ulu hati!

   "Bedebah!"

   Makinya dan dengan kepala pening saking marahnya dia sudah mengejar Si Muka Hitam yang lari ke atas sebuah lereng. Dia mengejar terus akan tetapi kemarahannya membuat dia terengah-engah. Hatinya girang melihat Si Muka Hitam juga makin lambat larinya dan ketika tiba di tepi jurang, hampir dia dapat menyusulnya.

   "Hei, sambut ini, kawan!"

   Teriak Si Muka Hitam sambil melempar bungkusan kain kuning ke bawah jurang!

   "Celaka...!"

   Resi harimurti berseru dan cepat dia menjenguk ke bawah jurang.

   Dilihatnya dengan girang bahwa bungkusan itu tertahan oleh sebatang pohon yang tumbuh di lereng tebing jurang itu dan tampak dari atas keris pusaka Kolonadah menancap pada batang pohon sedangkan kain kuning itu tersangkut di ranting pohon.

   Bukan main girang hatinya yang penting adalah keris pusaka Kolonadah lebih dulu, pikirnya dan dengan hati-hati namun cepat dia menggunakan kesaktiannya untuk menuruni tebing yang curam itu. Dengan hanya bergantungan pada akar-akar pohon dan batu-batu karang, akhirnya dapat juga dia tiba di pohon itu, mencabut keris dan membungkusnya kembali cepat-cepat, menyelipkan di pinggang dan menutupkannya dengan jubah, kemudian tergesa-gesa dia kembali ke atas dengan hati lega akan tetapi juga dengan hati panas sekali.

   "Sekarang aku akan bunuh kalian anjing-anjing keparat!"

   Dia memaki setelah tiba di atas tebing. Akan tetapi tidak nampak lagi bayangan dua orang yang mempermainkannya itu. Dia berteriak-teriak menantang, memaki-maki dan semua perbendaharaan kata-kata makian terlontar keluar dari mulutnya. Namun tidak ada orang menjawab. Lalu dia teringat kepada perawan itu dan tersenyum. Masih ada obat kekecewaanku, pikirnya dan timbul kembali gairahnya ketika dia teringat kepada perawan tadi. Cepat dia lari ke tepi hutan akan tetapi ternyata dara itu pun telah lenyap. Yang ada hanya seikat kayu yang tadi dibawa oleh perawan itu. Bekasnya pun tidak lagi, entah ke mana menghilangnya. Tentu telah lari pulang ketakutan, pikirnya dengan penuh sesal.

   Sialan! Perawan yang sudah begitu menurut, seumpama domba tinggal menyembelih, seumpama makanan telah dikepal tinggal nyaplok, akhirnya gagal terlepas! Dan pundaknya terluka, nyeri dan panas rasanya. Sialan benar! Keparat dua orang itu, pikirnya. Awas, sekali waktu aku akan mendapatkan kalian dan jangan tanya lagi tentang dosamu! Sambil bersungut-sungut Resi Harimurti mengeluarkan buntalan kain kuning dan membukanya.

   "Heiii...!!"

   Dia terlonjak kaget, sekali lagi memandang penuh ketelitian, kemudian dengan kemarahan meluap dia membanting keris itu. Memang mirip Kolonadah akan tetapi jelas bukan.

   "Krakk!"

   Keris itu patah dua karena dibanting menimpa batu. Kalau Kolonadah, tidak mungkin patah, paling-paling batunya yang akan hancur.

   "Bedebah, keparat jahanam!"

   Dia memaki-maki, mengepal-ngepal tinju, membanting kaki, akan tetapi kepada siapa kemarahannya harus ditimpakan? Dua orang itu sudah lenyap.

   Akan tetapi, hatinya masih penasaran dan sampai keesokan harinya, Resi Harimurti baru berhenti mencari-cari di sekitar tempat itu. Dua orang laki-laki itu lenyap seperti ditelan bumi, lenyap bersama Kolonadah, dan juga perawan dusun itu lenyap pula. Dan pundaknya makin nyeri karena tidak diobati, malah agak membengkak. Celaka! Sialan!

   "Mereka tentu orang-orang Lumajang,"

   Pikirnya karena ketika mencari-cari mereka, dia lewat di tempat di mana dia membunuh Ki Ageng Palandongan, akan tetapi mayat kakek itu pun sudah lenyap. Tidak ada jalan lain baginya kecuali pulang ke Mojopahit untuk membuat laporan kepada Resi Mahapati dan berobat.

   Ke manakah hilangnya mayat Ki Ageng Palandongan yang mengherankan hati Resi Harimurti? Sesungguhnya, Ki Ageng Palandongan belum mati ketika ditinggalkan oleh Resi Harimurti yang tergesa-gesa karena ingin cepat-cepat membawa pergi keris pusaka Kolonadah. Memang hebat sekali hantaman Resi Harimurti yang mengenai tengkuk Ki Ageng Palandongan dan membuatnya pingsan itu. Dia terluka di sebelah dalam sehingga muntah darah. Akan tetapi, tubuhnya yang kebal itu masih melindunginya sehingga dia belum tewas. Dan semangatnya yang amat besar dapat membuat dia menahan rasa nyeri yang luar biasa. Sambil setengah merangkak Ki Ageng Palandongan melanjutkan perjalanan setelah dia sadar. Dia tidak boleh mati, pikirnya, tidak boleh mati dulu sebelum menyampaikan berita tentang Kolonadah ke Lumajang! Dan Lumajang tidak begitu jauh lagi.

   Dalam keadaan amat sengsara itu, tiba-tiba muncul dua orang perajurit Lumajang yang bertugas menyelidik keadaan tapal batas antara Lumajang dan Mojopahit di sebelah selatan itu. Tentu saja mereka mengenal Ki Ageng Palandongan dan cepat menolongnya.

   "Ah, Ki Ageng, apakah yang telah terjadi?"

   Tanya mereka. Ki Ageng Palandongan tidak berbesar hati melihat dua orang perajurit itu. Mereka ini tidak boleh diandalkan untuk membantunya merampas kembali Kolonadah, karena mereka hanya perajurit biasa yang sama sekali bukanlah tandingan Resi Harimurti. Akan tetapi setidaknya mereka dapat membantunya agar cepat dapat menghadap ke Lumajang.

   "Cepat... bawa aku... ke Lumajang..., cepat dan jangan ditunda-tunda..."

   Katanya.

   Dua orang itu segera menggotongnya dan cepat pergi dari situ, maka tidaklah aneh kalau Resi Harimurti tidak menemukan "mayat"

   Ki Ageng Palandongan. Biar pun keadaannya parah, lukanya berat sekali, namun Ki Ageng Palandongan tidak mau berhenti dan mendesak dua orang itu agar bersi cepat membawanya sampai ke Lumajang. Akhirnya sampai jugalah mereka di Lumajang, akan tetapi keadaan Ki Ageng Palandongan sudah demikian payahnya sehingga dia harus diusung ketika dibawa ke dalam Kadipaten Lumajang.

   Pada saat itu, di Kadipaten Lumajang sedang diadakan pertemuan dan perundingan. Yang hadir dalam persidangan itu adalah Adipati Wirorojo sendiri yang didampingi oleh Aryo Pranarojo, beberapa orang bekas senopati Mojopahit yang dahulu membantu Ronggo Lawe dan Lembu Sora dan yang dapat lolos dari kematian dan melarikan diri ke Lumajang, dan di situ hadir pula seorang pemuda yang bertubuh tegap dan pendiam serta wajahnya serius sungguh pun usianya kurang lebih baru tujuh belas tahun. Pemuda ini adalah cucu dari Adipati Wirorojo sendiri, yaitu Kuda Anjampiani atau yang juga disebut Raden Turonggo. Mereka semua memperbincangkan berita kematian Progodigdoyo dan tentang keris pusaka Kolonadah yang kabarnya kini telah muncul dan membuat geger Tuban.

   Ketika mendengar berita dari para penjaga bahwa Ki Ageng Palandongan datang dalam keadaan sakit payah, terkejutlah semua orang. Apalagi ketika mereka melihat kakek itu diusung masuk ke persidangan. Semua orang merubungnya dan bertanya-tanya. Melihat keadaan Ki Ageng Palandongan demikian payah, Adiapati Wirorojo lalu menyuruh mundur semua orang dan memerintahkan pengawal untuk cepat memanggil ahli pengobatan.

   "Tak usah... Kakangmas Adipati... dengarkan baik-baik, saya... saya sudah berhasil memperoleh Kolonadah... akan tetapi di jalan... saya dihadang oleh Resi Harimurti... Kolonadah dirampasnya... dan saya... saya..."

   Napas kakek itu terengah-engah dan sukar sekali dia bernapas. Mendengar ini, Adipati Wirorojo menjadi merah mukanya.

   "Di mana dia? Adimas Palandongan, di mana Resi Harimurti kini...?"

   "Saya... bertemu di Pegunungan Kidul..."

   Dengan suara tersendat-sendat, mengap-mengap seperti ikan terdampar di darat, Ki Ageng Palandongan menceritakan sedapat mungkin tentang keris pusaka Kolonadah. Dia tidak dapat bercerita panjang lebar,hanya mengatakan bahwa keris itu sudah ada padanya dan sedang dibawanya dari Tuban ke Lumajang, akan tetapi di Pegunungan Kidul dia dihadang oleh Resi Harimurti, dia dipukul roboh dan keris pusaka dirampas. Dia tidak sempat bercerita tentang Bromatmojo, Empu Singkir dan yang lain-lain.

   "Harap... usahakan agar Kolonadah dapat diambil kembali... berbahaya kalau terjatuh ke tangan... orang... orang jahat..."

   Ki Ageng Palandongan tidak kuat bertahan lagi dan menghembuskan napas terakhir pada saat ahli pengobatan datang. Akan tetapi kakek tua renta yang pandai mengobati ini setelah memeriksanya hanya menarik napas panjang saja.

   "Sudah hebat dia dapat bertahan sampai beberapa hari,"

   Ujarnya. Jarang ada orang dapat bertahan hidup setelah menerima hantaman yang mendatangkan luka parah di bagian dalam tubuhnya."

   Lumajang berkabung dengan kematian Ki Ageng Palandongan. Setelah mengurus pembakaran jenazah sebagaimana mestinya, Adipati Wirorojo lalu mengadakan persidangan dengan para pembantunya yang dipercaya. Juga Aryo Pranarojo ikut pula bersidang dan hal ini memang agak aneh. Aryo Pranarojo adalah ayah Ki Patih Nambi yang kini masih menjadi patih di Mojopahit, namun jelas bahwa dia berpihak kepada Lumajang. Hal ini sebenarnya tidaklah aneh kalau diingat bahwa Aryo Pranarojo adalah seorang hulubalang yang amat setia semenjak Raja Kertanegara.

   Keadaan dalam istana Mojopahit sekarang tidak menyenangkan hatinya setelah Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana, yaitu Raden Wijaya yang perjuangannya dia bantu bersama-sama dengan Aryo Wirorojo yang kini menjadi Adipati Lumajang, jatuh ke dalam pengaruh isterinya yang dari Negeri Melayu. Kematian-kematian Ronggo Lawe dan Lembu Sora makin menghancurkan hati Aryo Pranarojo maka dia tidak dapat bertahan lagi tinggal di Mojopahit dan pindah ke Lumajang, sungguhpun puteranya masih menjadi patih di sana.

   "Sudah jelas bahwa Resi Harimurti adalah kaki tangan mereka yang mengabdi kepada keturunan Puteri Melayu,"

   Kata Adipati Wirorojo dalam persidangan itu.

   "Kalau keris pusaka Kolonadah terjatuh ke tangan Pangeran Pati, sungguh hal itu amat tidak baik. Bagaimanapun juga, kita harus dapat merampas kembali keris pusaka itu. Keris pusaka itu adalah milik anakku Si Ronggo Lawe, siapa pun juga tidak berhak memilikinya dan hanya akulah sebagai ayah Ronggo Lawe, yang berhak memutuskan kepada siapa pusaka itu harus diserahkan."

   Semua orang setuju dan agaknya mereka yang sudah merasa tidak senang kepada Mojopahit itu ingin sekali untuk menyusun kekuatan dan menggempur saja Mojopahit.

   "Sang Prabu sudah tidak dapat diberi ingat lagi, dan kekuasaan orang-orang Melayu makin mencengkeram Mojopahit. Hal itu tidak boleh dibiarkan saja, Kakang Adipati, dan sebaiknya kita gempur saja Mojopahit dan kita hukum orang-orang yang mendukung kekuasaan Melayu itu! Kita bebaskan Sang Prabu dari cengkeraman mereka dengan kekerasan!"

   Demikian kata Aryo Semi, seorang senopati yang sangat dekat dengan Lembu Sora dan kini juga berada di Lumajang.

   Hampir semua orang yang hadir membenarkan dan menyetujui pendapat Aryo Semi ini. Sudah terlampau lama mereka menahan kemarahan semenjak Ronggo Lawe gugur sampai sekarang, sudah hampir sepuluh tahun lamanya. Adipati Wirorojo mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat agar semua pembantunya diam. Lalu berkatalah dia dengan suara lantang, sepasang matanya mencorong dan biarpun sudah tua, ternyata Aryo Wirorojo masih mempunyai wibawa yang amat menakutkan sehingga semua orang mendengarkan dengan tekun dan hormat.

   "Para sahabat dan kawan seperjuangan, dengarlah baik-baik! Kita semua adalah bekas perajurit-perajurit yang mengabdi kepada Raden Wijaya, bahkan sebelum itu di antara kita yang tua-tua telah mengabdi kepada Sang Prabu Kertanegara! Raden Wijaya yang sekarang telah menjadi raja di Majapahit adalah junjungan kita,benar atau salah! Kita adalah para ponggawanya yang setia. Memang sudah menjadi tugas kita pula untuk selalu mengingatkan Sang Prabu daripada kekeliruan-kekeliruan tindakan, akan tetapi sampai mati pun aku tidak akan memberontak kepada Sang Prabu di Mojopahit! Dengarkah kalian semua? Sampai mati aku tidak akan memberontak terhadap Sang Prabu di Mojopahit dan siapa yang akan memberontak, berarti akan menjadi musuh Wirorojo!"

   Hebat bukan main ucapan ini dan semua orang berdiam, menahan napas. Lalu terdengarlah ucapan Aryo Pranarojo,

   "Apa yang diucapkan oleh Kakangmas Adipati Wirorojo adalah benar dan tepat. Kita bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka memberontak kalau keinginan kita tidak dipenuhi. Kalian hendaknya ingat ketika mendiang Ronggo Lawe memberontak karena tidak kuat menahan kemarahan hatinya. Bagaimana sikap Kakangmas Adipati Wirorojo? Apakah Beliau membela puteranya? Sama sekali tidak dan hal itu semata-mata membuktikan kesetiaannya yang luar biasa terhadap Sang Prabu. Oleh karena itu, lenyapkanlah semua pikiran hendak memberontak dan menggempur Mojopahit."

   "Kalau begitu bagaimana baiknya sekarang? Keris pusaka Kolonadah juga sudah terampas oleh mereka yang mengabdi kepada kekuasaan Melayu,"

   Kata Aryo Semi.

   "Memang keris pusaka itu harus dirampas kembali, akan tetapi harus dilakukan tanpa perang. Dengan demikian maka hal itu merupakan urusan pribadi, bukan urusan kerajaan! Dan untuk mencapai tujuan itu, kita harus menyebar penyelidik yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kesaktian karena kita tahu bahwa pihak mereka pun menggunakan orang-orang yang berilmu tinggi seperti Resi Harimurti dan yang lain-lain."

   "Bagus, memang semestinya begitulah,"

   Kata Aryo Wirorojo.

   "Akan tetapi ke mana kita harus mencari orang-orang yang sakti?"

   "Kita adakan sayembara adu kesaktian untuk memilih mereka!"

   Tiba-tiba terdengar usul seorang yang hadir. Usul ini diterima baik oleh Adipati Wirorojo yang segera berpaling kepada cucunya, Raden Turonggo.

   "Kulup, Turonggo, kuserahkan sayembara ini kepadamu. Engkau adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah menerima gemblengan, maka kaulah yang sepatutnya memimpin sayembara ini dan mengatur sebaik-baiknya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang sakti di seluruh daerah Lumajang. Umumkan kepada rakyat bahwa semua orang boleh mengikuti sayembara tanpa memandang kasta dan keturunan, dan bahwa siapa yang lulus akan diterima menjadi angagauta pasukan pengawal yang istimewa."

   Raden Turonggo menyembah.

   "Baik, Eyang Adipati."

   Lalu disusunlah panitia untuk penyelenggaraan sayembara itu yang dipimpin sendiri oleh Raden Turonggo, pemuda remaja yang gagah perkasa dan pendiam itu.

   Setelah berita sayembara itu disebar luas ke seluruh Lumajang, sampai jauh ke perbatasan dan ke pantai Laut Selatan, sebulan kemudian dimulailah sayembara itu. Lumajang kebanjiran orang-orang muda dan tua yang berdatangan dari segala penjuru untuk mencoba-coba memasuki sayembara itu.

   Raden Turonggo yang dibantu oleh banyak ahli-ahli keprajuritan telah mempersiapkan segala-galanya dan dengan cerdik pemuda remaja ini mengatur ujian-ujian bagi mereka yang memasuki sayembara. Karena yang dipilih adalah orang-orang sakti, maka ujian-ujian yang diadakan untuk para calon juga amat berat dan yang kiranya hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar memiliki aji kesaktian. Pertama, pengikut sayembara harus dapat mengangkat sebongkah batu sebesar kerbau yang beratnya kira-kira hanya akan dapat diangkat oleh enam orang laki-laki biasa saja! Melihat ujian pertama ini saja, sudah sebagian besar orang-orang yang berdatangan itu mundur teratur sebelum melangkah kepada ujian-ujian selanjutnya yang lebih berat.

   Ke dua, setelah pengikut sayembara lulus dalam ujian pertama, dia diharuskan menunggang seekor kuda yang liar dan belum jinak, kemudian melarikan kuda itu di atas jalan yang tidak rata sambil membawa gendewa dan anak panah. Di tepi jalan,amat jauh bagi ahli panah biasa, kira-kira seribu kaki jauhnya, dipasangi orang-orangan yang dapat digerakkan dengan tali dan dia harus dapat melepaskan tiga kali anak panah dari atas kudanya ke arah orang-orangan itu dan mengenai dengan tepat. Tentu saja orang-orangan itu digerak-gerakan dan dapat mengelak ke sana-sini!

   Ujian ini membuat para perajurit pasukan panah di Lumajang menjulurkan lidah mereka. Mana mungkin? Menunggang kuda liar saja sudah liar sudah sulit sekali, salah-salah bisa dibanting dan remuk tulang pinggulnya. Apalagi sambil memanah orang-orangan yang bisa mengelak dari jarak begitu jauh. Gila, pikir mereka. Tidak gila, karena sayembara ini bukan diperuntukkan mereka, melainkan orang-orang yang sakti mandraguna! Syarat ke tiga, setelah pengikut sayembara lulus dalam ujian pertama dan ke dua, dia harus mampu memetik buah kelapa yang digantungkan tinggi di ujung bambu tanpa memanjat bambunya dan sudah diperingatkan bahwa ketika dia berusaha memetik buah itu, akan ada pasukan anak panah menyerang dan tenghalang-halanginya. Lebih gila lagi, pikir mereka yang merasa tidak sanggup, itu berarti bunuh diri!

   Baru setelah pengikut sayembara lulus dari tiga macam syarat itu, dia dianggap lulus! Tiga syarat itu diadakan bukan semata-mata untuk mempersulit orang yang hendak mengikuti sayembara, namun sudah diperhitungkan masak-masak oleh Raden Turonggo. Syarat pertama adalah untuk menguji kekuatan orang. Syarat ke dua untuk menguji kepandaian menunggang kuda dan mainkan anak panah, dan syarat ke tiga untuk menguji kecekatan dan ketrampilan, juga daya tahan mereka terhadap ancaman bahaya. Semua itu memang diperlukan mutlak untuk orang-orang yang dapat dipercaya untuk menyelidiki dan merampas kembali pusaka Kolonadah! Dan apabila tiga syarat itu sudah dipenuhi, maka untuk menentukan tingkat, barulah di antara mereka yang lulus itu akan dipertandingkan untuk menentukan tingginya kepandaian mereka dan kedudukan mereka kelak!

   Alun-alun Lumajang telah dihias karena di alun-alun inilah diadakannya sayembara itu untuk memberi kesempatan kepada rakyat menonton pula. Semenjak pagi, alun-alun yang luas itu telah dibanjiri orang. Bukan hanya mereka yang ingin mengikuti sayembara, melainkan lebih banyak lagi adalah mereka yang ingin menonton! Tua muda laki perempuan hari itu meninggalkan pekerjaan masing-masing karena tidak mau ketinggalan menyaksikan sayembara yang amat hebat itu.

   Para perajurit yang menjaga, dengan teriakan-teriakan mereka menyuruh para penonton untuk jangan melanggar tali yang direntang membentuk lingkaran di tengah-tengah alun, juga mereka minta agar para penonton jangan berhimpit-himpitan,yang di depan duduk agar tidak menghalang yang berada di belakang. Semua penonton mentaati teriakan-teriakan ini, dan itu merupakan pertanda bahwa rakyat tidak perlu ditekan karena rakyat menghormat dan mencinta para petugas yang tidak pernah menindas mereka. Di sinilah letaknya kebijaksanaan Adipati Lumajang yang dapat mendidik para petugas pemerintah sedemikian rupa sehingga para petugas merupakan pelindung rakyat yang sesungguhnya.

   Hanya apabila petugas-petugas pemerintah sudah benar-benar merupakan pelindung rakyat, tidak pernah menggunakan kekerasan dan tidak suka menindas, menghadapi pelanggaran dengan keadilan yang bijaksana, maka tanpa diperintah pun rakyat akan sayang kepada mereka, dan rasa sayang karena mempunyai pelindung inilah yang membuat rakyat akan tunduk tanpa dipaksa, tertib tanpa ditekan.

   Sayang sekali bahwa Mojopahit pada waktu itu tidak terdapat ketertiban seperti yang diperlihatkan oleh sikap rakyat di alun-alun Lumajang itu. Mojopahit dilanda kekacauan dan ketidakpuasan. Semua ini disebabkan oleh kelalaian raja yang sudah sering sakit-sakitan itu, yang menimbulkan pertentangan sendiri di dalam istana antara isteri-isterinya, pertentangan yang menjalar sampai di antara ponggawa dan makin meluas di kalangan rakyat. Kekacauan ini timbul dari atas dan menjalar atau mempengaruhi yang berada di bawah. Selalu akan begitu keadaannya. Kalau yang di atas tertib, tentu yang di atas dapat mengawasi yang di bawah akan dapat mencontoh yang di atas. Kalau yang di atas kacau, yang di bawah lebih kacau lagi dan akibatnya, para petugas akan bersikap sewenang-wenang,bukan lagi menjadi pelindung rakyat, malah sebaliknya menjadi pengganggu rakyat dan kalau sudah begitu keadaannya, mana mungkin rakyat bersikap taat dan hormat?

   Ketaatan dan kehormatan yang diperlihatkan oleh orang-orang yang tertindas tentu saja hanyalah ketaatan palsu belaka yang timbul dari rasa takut. Dan dalam keadaan seperti itu, amatlah mudah bagi mereka yang hendak membangkitkan rasa tidak puas rakyat itu untuk memberontak. Mengapa hal yang jelas dan nyata ini tidak disadari oleh mereka yang berada di atas? Mereka hanya menyalahkan rakyat, tidak pernah meneliti keadaan diri sendiri. Hampir sama dengan seorang ayah yang selalu menyalahkan anak-anaknya,tidak penurut, pemberontak, dan sebagainya.

   Padahal, sikap anak-anak seperti itu adalah akibat dari kesalahan Si Ayah sendiri! Kalau ayahnya tidak ada cinta kasih kepada anak-anaknya, kalau sewenang-wenang, kalau menekan, tentu diam-diam Si Anak tidak taat dan bahkan mungkin sekali membenci. Jangan salahkan anak-anaknya,kenalilah diri sendiri sehingga kita dapat melihat kekotoran-kekotoran diri sendiri. Kalau diri sendiri sudah bersih, kalau ada cinta kepada anak-anak,tentu anak-anak itu tanpa ditekan tanpa diperintah akan taat dan cinta kepada orang tuanya. Demikian pula, kalau atasan ada cinta kasih kepada bawahan, kalau atasan bersih tindakannya, tentu berwibawa dan bawahan akan selalu mentaati dan menyayanginya, dan bawahan itu akan bersikap demikian bijaksananya pula kepada yang lebih bawah lagi dan seterusnya sampai kepada petugas-petugas terendah terhadap rakyat jelata! Ini pasti dan jelas! Jadi, ketertiban tidak dapat diciptakan dengan jalan kekerasan, dengan jalan penekanan dan melalui rasa takut yang ditanamkan di hati rakyat! Ketertiban HARUS dimulai dari diri sendiri lebih dulu karena keadaan di luar itu selalu mencerminkan keadaan di dalam. Kalau di dalam tidak tertib, maka keluarnyapun tentu menimbulkan ketidaktertiban.

   Para penonton bersorak sorai menyambut munculnya Sang Adipati Wirorojo yang didampingi Aryo Pranarojo dan para pembesar lainnya. Setelah Sang Adipati duduk,maka majulah barisan panjang terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang yang dipimpin oleh seorang ksatria yang muda remaja dan gagah perkasa, yaitu Raden Turonggo sendiri. Juga barisan panjang yang berjalan satu demi satu ini disambut sorak sorai karena mereka itulah adanya calon-calon pengikut sayembara! Raden Turonggo memimpin barisan aneh yang terdiri dari bermacam-macam orang ini lewat di depan panggung tempat duduk eyangnya untuk memberi hormat, kemudian membawa mereka langsung ke tengah alun-alun di mana mereka disuruh duduk di atas bangku-bangku yang sudah disediakan. Bangku-bangku ini nampak banyak sekali yang kosong.

   Melihat ini Sang Adipati Wirorojo berbisik kepada Aryo Pranarojo yang duduk di sampingnya.

   "Adimas Aryo, kenapa begitu sedikit yang ikut masuk sayembara? Hanya kurang lebih tiga puluh orang?"

   "Hanya tiga puluh tiga orang, Kakangmas Adipati. Tadinya yang mendaftarkan ada seratus orang lebih, akan tetapi ketika mereka datang dan melihat tiga syarat itu, sebagian besar mundur teratur. Betapa pun juga, nama mereka sudah ada dalam daftar, kalau sewaktu-waktu kita membutuhkan pasukan, mereka boleh dipanggil. Agaknya yang tiga puluh tiga orang ini tentu orang-orang yang memiliki kedigdayaan, Kakangmas Adipati, buktinya mereka tidak mundur ketika melihat tiga macam syarat yang amat berat itu."

   "Mudah-mudahan begitu, kita benar-benar membutuhkan orang-orang pandai,"

   Kata Sang Adipati sambil menarik napas panjang. Semalam dia sudah berunding berdua saja bersama Raden Turonggo cucunya, bahwa apabila mereka berhasil mendapatkan kembali keris pusaka Kolonadah, maka akan mereka ikhtiarkan agar keris itu dapat disimpan oleh seorang di antara isteri-isteri Sang Prabu keturunan Sang Prabu Kertanegara. Dengan demikian diharapkan agar keris pusaka itu kelak dapat menjadi pegangan Raja Mojopahit berdarah Sang Prabu Kertanegara. Akan tetapi hal ini menjadi rahasia mereka berdua saja, bahkan kepada Aryo Pranarojo sekali pun Sang Adipati tidak memberitahukan tentang rahasia itu.

   Raden Turonggo nampak sibuk sekali, dibantu oleh belasan orang perwira yang bertubuh tegap-tegap dan gesit-gesit, tanda bahwa para pembantunya itu pun merupakan orang-orang yang cukup tangkas. Raden Turonggo sendiri biar pun masih belum dewasa benar, namun sudah cukup berwibawa dan dia menjadi incaran dara-dara yang banyak pula berada di situ menjadi penonton. Nama Raden Turonggo dihormati setiap orang dan dikagumi setiap orang dara Lumajang karena pemuda ini selain tampan dan gagah perkasa, juga amat ramah dan baik sikapnya terhadap semua orang,juga sopan dan tidak pernah menggoda wanita.

   Atas isyarat pemuda itu, seorang perwira yang berdiri di atas panggung,memberitahukan dengan suara nyaring bahwa ujian pertama akan dimulai, yaitu pengangkatan batu sebesar kerbau itu. Pemberitahuan ini disambut oleh suara berisik karena semua orang bicara sendiri dengan hati tegang, membicarakan batu besar itu yang agaknya belum tentu dapat terangkat oleh enam orang sekalipun.

   Mulailah mereka menaksir-naksir dan memilih-milih di antara tiga puluh tiga orang yang duduk berderet di atas bangku-bangku itu, memilih jagoan masing-masing dan mulai pulalah orang bertaruh! Pertaruhan adalah permainan yang digemari orang sejak jaman dahulu dan agaknya takkan pernah dapat lenyap selama orang masih menonjolkan keinginannya untuk senang sendiri. Permainan ini amat berbahaya karena sekarang dituruti akan merupakan kebisaan yang sukar dilepaskan,bahkan akan mencengkeram seseorang melebihi candu! Hanya orang yang menaruh belas kasihan kepada orang lain sajalah yang enggan bertaruh karena kesenangan yang didapat oleh si pemenang adalah kesenangan yang didasarkan kesusahan orang lain!

   Akan tetapi ketika orang pertama telah dipanggil dan melangkah maju ke arah batu besar yang terletak di tengah alun-alun yang luas itu, semua suara terhenti dan keadaan menjadi sunyi sekali. Semua mata mengikuti langkah kaki peserta pertama ini dan banyak yang merasa berdebar-debar jantungnya karena tegang.

   Orang pertama ini adalah seorang laki-laki yang tubuhnya gempal pendek, dengan tengkuk seperti banteng sehingga nampaknya kuat sekali, usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan dia menghampiri batu itu dengan sikap tenang. Setelah tiba di dekat batu dia berhenti, menggosok-gosok kedua telapak tangannya, kemudian membungkuk dan memegang batu besar itu. Terdengar dia berteriak keras dan tiba-tiba saja dia menggerakkan kedua lengannya dan terangkatlah batu itu di atas kepalanya! Seluruh otot di lengan dan tengkuknya menonjol seperti ular dan mukanya merah, matanya agak melotot, namun dia kuat membawa batu itu berjalan keliling satu kali di dalam lingkaran putih di sekeliling batu yang sudah ada di situ, lalu dia menurunkan batu itu yang jatuh berdebuk di dekat kakinya.

   Tepuk sorak menyambut keberhasilan Si Tegap Pendek ini dan dia pun membungkuk ke arah panggung Adipati, lalu mengikuti seorang perwira yang membawanya ke tempat terpisah, duduk di atas panggung untuk menanti giliran dalam ujian ke dua. Dengan sehelai kain diusapnya sedikit peluh dari lehernya dan dia memandang ke arah orang ke dua yang sudah melangkah maju dengan wajah berseri.

   Orang kedua ini tubuhnya seperti raksasa, tinggi besar, dua kali lebih besar daripada orang pertama tadi. Kedua lengannya juga besar-besar dan berbulu sehingga menyeramkan, akan tetapi wajahnya ramah dan tersenyum-senyum malu ketika para penonton bersorak menyambutnya. Ketika dia tiba di dekat batu,penonton hening kembali dan mengikuti gerak-gerik raksasa itu penuh kegembiraan dan ketegangan. Banyak orang bertaruh untuk raksasa ini, bahwa dia akan dapat mengangkat batu

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   itu dengan mudah tanpa mengeluarkan peluh dan bahwa dia lebih kuat dari pada Si Pendek tadi. Batu itu memang terangkat ke atas, akan tetapi seluruh tubuh raksasa itu menggigil, kaki dan lengannya tergetar hebat, matanya melotot dan akhirnya dia tidak tahan lagi.

   Batu itu terpaksa dia lepaskan ke samping sehingga jatuh berdebuk di atas tanah. Dia mengap-mengap sebentar,kemudian seperti baru sadar ketika penonton menyambut kegagalan ini dengan sorak mengejek dan tertawaan. Dia lalu menjura ke arah panggung tempat Sang Adipati,lalu meninggalkan tempat itu, menghilang di antara penonton karena tentu saja kegagalan pertama ini berarti telah gugur dalam sayembara itu. Namun, namanya telah dicatat oleh petugas sehingga kalau sewaktu-waktu Lumajang membutuhkan tenaganya, dia dapat dipanggil.

   Memang terjadi banyak keanehan dalam ujian pertama ini. Banyak di antara mereka yang kelihatan sebagai laki-laki yang bertubuh kuat dan tegap, gagal mengangkat batu besar itu, atau yang berhasil mengangkat ke atas kepala, tidak kuat membawanya berkeliling seperti yang disyaratkannya. Akan tetapi sebaliknya, ada pula orang-orang yang kelihatan lemah, kurus kering dan pucat, ternyata berhasil mengangkat dengan mudah dan membawanya berkeliling. Jelaslah bagi para penonton bahwa kesaktian tidak dapat diukur dengan besar dan tegapnya tubuh, seperti halnya kekuatan otot yang kasar.

   Ketika tiba giliran seorang yang berwajah tampan, gerak-geriknya halus dan sikapnya agung melangkah maju, semua orang memandang dengan penuh kagum. Pemuda seperti ini tentu masih berdarah bangsawan, tentu seorang kesatria seperti halnya Raden Turonggo sendiri memandang penuh perhatian dan menduga-duga darimana asal-usul pemuda tampan yang tenang ini. Pemuda itu menghampiri batu besar, lebih dulu dia menjura dengan hormat ke arah panggung Sang Adipati,kemudian membungkuk, memegang batu itu dan sekali mengerakkan tangan, batu itu telah terangkat ke atas kepalanya!

   Dia melukakan ini begitu mudah kelihatannya,seolah-olah batu itu ringan saja dan membawa berkeliling dengan langkah perlahan dan tidak tergesa-gesa. Ketika dia menurunkan batu, dia tidak melemparkan seperti yang lain, melainkan menurukannya dengan perlahan-perlahan tidak menimbulkan suara. Tepuk tangan dan sorak sorai bergemuruh menyambut kekuatan hebat ini dan kembali Si Pemuda menjura ke arah panggung di mana Sang Adipati dan para ponggawanya juga ikut bertepuk tangan.

   "Perhatikan pemuda itu, Dimas Aryo. Dia bukan orang sembarangan,"

   Kata Sang Adipati dan Aryo Pranarojo mengangguk karena dia pun mengenal seorang ksatria yang sakti.

   Selain pemuda ini, ada seorang lain yang juga menarik perhatian semua orang. Dia seorang laki-laki yang tubuhnya kurus tinggi, mukanya pucat seperti orang kurang makan, mulutnya cemberut terus dan ketika menghampiri batu itu, dia seperti orang tidak bersemangat sama sekali. Akan tetapi begitu dia mengangkat batu,kelihatan batu itu seperti sebuah gentong saja, demikian ringan dan dibawanya berkeliling lalu diletakkannya kembali, menjulang ke arah panggung dan mengikuti perwira yang membawanya ke tempat tunggu ujian ke dua. Dia sama sekali tidak tersenyum ketika disambut sorak sorai, masih saja merenggut seperti seorang anak kecil yang sedang ngambek!

   Ada pula beberapa orang yang berhasil, banyak yang tidak, akan tetapi yang paling menarik dalam ujian pertama ini adalah peserta terakhir. Peserta terakhir ini masih amat muda, akan tetapi juga luar biasa tampan, bahkan lebih tampan daripada pemuda tampan tadi dan bahkan lebih ganteng lagi daripada Raden Turonggo! Dan usianya tentu paling banyak s.a dengan Raden Turonggo, kalau tidak lebih muda lagi karena tubuhnya lebih kecil, kedua lengannya halus seperti lengan anak yang tidak bertenaga! Semua orang menduga bahwa tentu bocah ini seorang anak bangsawan atau hartawan yang manja. Mana akan kuat mengangkat batu itu? Andaikata kuat pun, banyak bahayanya akan kejatuhan. Di antara para penonton, tidak ada seorang pun yang berani menjagoi pemuda remaja ini, akan tetapi mereka semua memandang dengan khawatir. Seorang pemuda setampan Arjuno seperti itu tentu saja menarik perhatian semua orang, terutama sekali para dara yang menonton sehingga mereka menahan napas ketika melihat pemuda itu dengan lenggang seenaknya menghampiri batu.

   Melihat pemuda remaja ini tersenyum-senyum, seolah-olah sama sekali tidak khawatir untuk mengangkat batu sebesar itu, perhatian penonton makin tertarik dan kini mereka merasa suka kepada pemuda yang tersenyum-senyum manis itu. Para dara yang menonton menekan dada mereka yang seperti akan copot melihat senyum itu dan di antaranya ada yang menjerit,

   "Angkatlah...!"

   Pemuda itu menjura ke arah panggung dan sejenak dia menyapu ke sekeliling. Kemudian, dia memejamkan matanya, mulutnya berkemak-kemik dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring,

   "Haiiiiiittt!"

   Nyaring sekali bentakan ini,mengejutkan semua orang dan ternyata dia telah mencongkel batu itu dengan kakinya dan batu sebesar kerbau bunting itu terlontar ke atas, lalu diterimanya dengan satu tangan saja, yaitu tangan kiri, sedangkan tangan kanan dipakai untuk bertolak pinggang! Tepuk tangan menggegap-gempita dan sorak-sorai seperti hendak memecahkan istana kadipaten. Orang berlonjak-lonjak saking kagumnya, tidak menanti sampai pemuda itu membawa batu tadi berkeliling dan mmang istimewa pemuda yang satu ini atau peserta yang terakhir ini. Dia tidak hanya membawa batu itu berkeliling satu kali melainkan tiga kali!

   Dan semua ini dilakukan dengan gerak-gerik jenaka dan gembira, sama sekali tidak kelihatan hendak menyombongkan diri dan dalam hal kegembiraan ini, sikapnya sungguh sama sekali terbalik dari sikap pemuda tinggi kurus muka pucat yang selalu cemberut tadi! Para penonton seperti kesetanan! Mereka bersorak-sorak dan bahkan ada dara-dara yang menangis saking kagumnya dan sekaligus jatuh cinta! Ketika pemuda itu menaruh batu dengan cara istemewa, yaitu melemparkan batu ke atas, kemudian ketika batu itu melayang turun diterima dengan kakinya dan digulingkan begitu saja seenaknya, para penonton menjadi makin gaduh.

   Sampai lama setelah pemuda itu sudah duduk di tempat penantian, orang-orang masih bersorak-sorai.

   "Hemm, ingin sekali aku tahu siapa gerangan pemuda itu..."

   Adipati Wirorojo juga kagum sekali.

   Aryo Pranarojo mengerutkan alisnya.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dia tentu keturunan orang pandai, murid seorang yang maha sakti, akan tetapi sikapnya yang seperti anak kecil itu sungguh sembrono sekali... orang seperti dia bisa menggagalkan tugas yang amat penting."

   Ketika dia hendak duduk, pemuda tampan sebagai peserta terakhir itu memandang kepada pemuda tampan yang gerak-geriknya halus tadi, mereka saling bertukar senyum, akan tetapi pemuda yang selalu merengut tadi, matanya seperti mengeluarkan api karena dia amat memperhatikan peserta terakhir itu. Demikian pula dua orang muda lain yang telah terdahulu lulus, dua orang pemuda yang juga tampan dan yang memiliki wajah mirip seperti kembar, saling berbisik dan kadang-kadang melirik ke arah peserta terakhir.

   Di antara tiga puluh tiga orang yang mengikuti ujian pertama, yang lulus hanyalah delapan belas orang. Lima belas orang telah gugur dalam ujian mengangkat batu sebesar kerbau bunting itu! Dan kini, delapan belas orang itu bersiap-siap untuk mengikuti ujian ke dua, yaitu menunggang kuda liar sambil memanah orang-orangan. Untuk keperluan ini, telah dipersiapkan lima ekor kuda liar dan orang-orangan itu telah dipasang pula di bagian yang agak jauh dari penonton dan di belakangnya dipasangi gunung-gunungan alang-alang agar anak panah yang nyasar tidak sampai mengenai penonton.

   Semua orang merasa ngeri ketika melihat lima ekor kuda itu. Kuda-kuda yang besar dan kuat, akan tetapi memang belum dijinakkan sehingga ketika dituntun masuk mereka itu berjingkrak-jingkrak dan meringkik-ringkik. Terutama sekali seekor yang bulunya hitam, sungguh liar dan hampir saja penuntunnya kena digigit pundaknya, kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan dua orang lagi maju membantunya, baru si Hitam itu dapat ditundukkan, dipegangi kendalinya, namun dia masih saja meronta-ronta. Perwira yang bertugas memberi pengumuman menyerukan bahwa ujian ke dua akan dimulai. Para peserta akan maju satu demi satu dan diperbolehkan memilih seekor di antara lima ekor kuda itu! Mendengar semua ini penonton ramai pula bertaruh siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

   "Aku bertaruh lima lawan satu bahwa peserta yang terakhir, Sang Arjuno tadi yang akan keluar sebagai juara!"

   Terdengar suara nyaring seorang penonton, terdengar pula oleh para peserta dan kembali peserta yang tampan halus itu menoleh ke arah peserta terakhir dan mereka sama-sama tersenyum. Si Muka Cemberut makin cemberut lagi. Akan tetapi karena semua orang pun menduga demikian, tidak ada yang berani melayani tantangan itu.

   "Aku bertaruh bahwa di antara mereka tidak akan ada yang memilih kuda hitam!"

   Ada pula yang bertaruh. Ramailah para penonton itu sebelum ujian ke dua dimulai karena sedang dipersiapkan gendewa-gendewa dan anak-anak panah yang juga boleh dipilih oleh para peserta. Hanya para dara saja yang semua memandang ke arah peserta terakhir sambil melirik-lirik dan tersenyum-senyum, sungguhpun tidak kurang pula yang memandang ke arah peserta yang tampan halus karena peserta ini yang lebih cocok dengan selera mereka. Memang sama-sama tampan, akan tetapi peserta terakhir itu memang luar biasa sekali tampannya, hanya pemuda halus itu lebih jantan. Kalau boleh dipakai perbandingan, pemuda halus itu seperti Raden Gatotkaca sedangkan peserta terakhir itu seperti Raden Arjuno. Sama-sama tampannya, akan tetapi kalau yang seorang berpotongan ksatria perkasa, yang ke dua berpotongan kesatria... petualang asmara!

   Gong dibunyikan nyaring sebagai tanda bahwa ujian ke dua akan dimulai karena Raden Turonggo telah memberi isyarat siap. Si Pendek bertengkuk seperti banteng itu segera maju dengan tegap dan langkahnya tenang ketika dia menghampiri lima ekor kuda yang dipegang erat-erat kendalinya oleh beberapa orang tukang kuda.

   Dia memilih kuda putih. Tukang kuda mengangguk dan menyeret kuda putih itu ke depan, melewati garis sebagai tempat pemberangkatan dan Si Pendek itu lalu memilih sebatang gendewa berikut tiga batang anak panah seperti yang diisyaratkan. Dengan sigap dan membuktikan bahwa dia terlatih, dia mengikatkan tempat anak panah di punggungnya, dan mengalungkan gendewa di lehernya. Kemudian dia menghampiri tukang kuda itu, mengambil alih kendalinya dan dengan cekatan dia meloncat ke atas punggung kuda putih dan menyentak-nyentak kendalinya.

   "Hyeeeehhhh...!!"

   Kuda putih itu meringkik dan meloncat ke atas, bukannya lari ke depan dengan cepat melainkan berloncat-loncatan sambil membongkokkan punggungnya, menggoyang-goyang tubuhnya untuk melontarkan penunggang yang duduk di atas punggungnya itu. Akan tetapi Si Pendek mengempit perut kuda dan tidak mau turun, kedua kaki seperti kaitan baja mengempit tubuh kuda di kanan kiri,jari-jari kakinya mencengkeram, kedua tangan memegang kendali kuda dan tubuhnya mendoyong ke kanan kiri, muka belakang, naik turun, akan tetapi seperti seekor lintah menempel di kulit, dia tidak dapat dilontarkan oleh kuda liar itu. Para penonton bersorak-sorak karena sekali ini pertunjukan itu memang menegangkan dan juga lucu. Kuda liar berbulu putih itu seperti menjadi gila, meringkiki-ringkik,berusaha membalikkan lehernya yang panjang untuk dapat menggigit pengganggunya,punggungnya melengklung seperti punggung onta, pantatnya diangkat tinggi-tinggi ketika dia meloncat dengan kaki belakang, atau kadang-kadang merendah ketika kaki depannya yang meloncat dan kuda itu seperti berdiri di atas kedua kakinya.

   Namun Si Pendek itu masih tetap menempel di punggung kuda, bahkan kini dia menarik-narik kendali dengan keras sehingga kuda liar itu merasa kesakitan dan larilah dia ke depan! Para penonton bersorak memuji karena hal itu berarti Si Pendek itu telah berhasil mengalahkan kuda liar itu. Semua mata mengikuti larinya kuda yang lewat di jalan yang sudah digariskan, kemudian setelah tiba di tempat yang diberi tanda bahwa dari situ dia harus melepaskan anak panah ke arah orang-orangan, dia cepat memasang sebatang anak panah kepada gendewanya.

   Untuk dapat melakukan hal ini, tentu saja dia harus melepaskan kendali kudanya,tangan kiri memegang gendewa dan tangan kanan memegang gagang anak panah. Dia menarik tali gendewanya, akan tetapi pada saat itu, kuda putih yang merasa betapa kendalinya terlepas, lalu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, tepat pada saat Si Pendek itu melepaskan anak panahnya.

   "Singgg...!"

   Anak panah itu meluncur ke atas!

   "Ahhh... bukkkk!"

   Dan orang pendek bertengkuk seperti banteng itu terlempar dari punggung kuda dan terbanting ke atas tanah!

   Para penonton bersorak dan tertawa-tawa, mentertawakan Si Pendek yang dengan wajah kecewa dan mulut bersungut-sungut terpaksa meninggalkan gelanggang karena dia dianggap tidak lulus setelah mengalami kegagalan itu. Dia menyumpah-nyumpah kuda putih, menggosok-gosok pantatnya dan meninggalkan tempat itu dengan agak terpincang jalannya. Namun, sebagai seorang yang telah lulus dalam ujian pertama mengangkat batu tadi, tentu saja namanya sudah dicatat pula dan dia setingkat lebih tinggi daripada mereka yang gagal dalam ujian pertama.

   Dua orang lagi gagal pada permulaannya ketika mereka secara berturut-turut dilemparkan jatuh dari atas punggung kuda masing-masing, dan dua orang lagi biar pun seperti Si Pendek tadi berhasil menundukkan kuda liar, namun gagal pula ketika melepas anak panah, tidak mengenai sasaran sampai tiga kali karena kuda mereka tetap binal sehingga mereka tidak dapat menggunakan busur mereka dengan baik.

   Melihat kegagalan berturut-turut itu, Bromatmojo bertukar pandang dengan Joko Handoko. Tentu saja pemuda tampan seperti Arjuno yang menggegerkan para penonton dengan demonstrasi kesaktian hebat ketika mengangkat batu besar tadi adalah Sulastri atau Bromatmojo, sedangkan pemuda tampan dan gagah serta halus gerak-geriknya itu adalah Joko Handoko. Roro Kartiko tidak ikut memasuki sayembara karena selain puteri ini ngeri untuk mengangkat batu sebesar kerbau bengkak itu, juga dia ngeri kalau harus menunggang seekor kuda liar. Pula, dia tidak biasa menyamar sebagai pria dan tidak mungkin dia menyamar sebagai Sriti Kencana, sedangkan kalau maju sebagai seorang wanita pun tentu akan janggal dan hanya menjadi pusat perhatian saja. Maka dia tidak ikut sayembara sungguh pun tentu saja dia berada di antara penonton yang berjubel itu. Geli hatinya melihat lagak Bromatmojo dan diam-diam dia merasa terharu dan juga malu sendiri ketika dia melihat betapa perawan-perawan yang menonton pada saat itu, jelas memperlihatkan sikap tergila-gila kepada Bromatmojo. Teringatlah dia betapa dia pun tadinya jatuh hati kepada "pemuda"

   Setampan Arjuno itu, dan itu merupakan cinta kasihnya yang pertama, cinta kasih yang gagal tentu saja!

   Yang menjadi perhatian Bromatmojo dan Joko Handoko di antara semua peserta sayembara hanya tiga orang muda. Pertama adalah pemuda tinggi kurus yang bermuka muram dan cemberut itu karena mereka tahu bahwa pemuda itu memiliki kesaktian tersembunyi yang hebat. Selain Si Tinggi Kurus ini, juga dua orang pemuda tampan yang dilihat dari air muka dan pakaiannya, jelas bahwa mereka tentulah kakak beradik. Wajah mereka begitu mirip dan serupa malah, hanya bentuk tubuh mereka yang berbeda, yaitu yang satu agak lebih besar dan lebih tegap, juga lebih jangkung daripada yang kedua. Anehnya, selain wajah mereka serupa benar, juga gerak-gerik mereka, senyum mereka, pandang mereka, semua sama! Akan tetapi, dua orang muda yang tampan dan masih muda sekali itu ternyata tadi telah mampu mengangkat dan membawa batu besar itu berkeliling tanpa kelihatan berat.

   Ketika tiba giliran pemuda tampan yang tubuhnya lebih besar itu, dia dan temannya yang berwajah sama lalu menghampiri perwira yang mengatur bagian ujian menunggang kuda, bicara bisik-bisik dengan perwira itu. Perwira itu kelihatan bingung, lalu membawa mereka menghadap Raden Turonggo.

   "Maafkan saya, Raden. Dua orang peserta ini hendak mengajukan suatu permohonan kepada Paduka mengenai ujian menunggang kuda dan memanah,"

   Kata perwira itu kepada Raden Turonggo.

   Pemuda ini mengerutkan alisnya.

   "Peraturan sayembara telah ditentukan, semua peserta telah diberi tahu syarat-syaratnya, mengapa masih hendak mengajukan permohonan lagi?"

   Berkata demikian, Raden Kuda Anjampiani atau Raden Turonggo itu memandang kepada dua orang muda tampan itu.

   Dua orang pemuda tampan itu maju dan berbisik hormat, namun tidak menjilat, dan pemuda yang lebih besar tubuhnya berkata.

   "Harap maafkan kami, Raden. Hendaknya Paduka ketahui bahwa kami berdua adalah saudara kembar dan kami selalu menghadapi hal-hal sukar berdua. Dengan berdua, kami, terutama Adik saya ini mendapatkan semangat dan keberanian. Menghadapi ujian menunggang kuda liar itu cukup mengerikan Adik saya, maka kami mohon agar kami dapat diperbolehkan mengikuti ujian ini berbareng."

   Raden Turonggo mengerutkan alisnya.

   "Seorang laki-laki tidak akan takut menghadapi bahaya apa pun, apa lagi menunggang kuda liar!"

   "Akan tetapi saya... saya bukan seorang laki-laki..."

   Orang kedua yang lebih kecil menjawab.

   "Ahhh...?"

   Raden Turonggo bertanya dan matanya terbelalak memandang kedua orang pemuda tampan itu.

   "Kami saudara kembar, saya laki-laki dan dia perempuan."

   

   "Wanita? Kenapa memasuki sayembara?"

   Tanya Raden Turonggo.

   "Apakah ada pengumuman bahwa wanita dilarang?"

   Dara yang menyamar sebagai pria itu menuntut.

   "Ahhh... tidak, tapi..."

   Raden Turonggo menjadi bingung, apalagi sepasang mata dara itu bersinar-sinar penuh kemarahan.

   "Maafkan, Raden, Dia selalu tidak mau ketinggalan, apa pun yang saya lakukan dia tentu ikut."

   Raden Turonggo menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. Seorang dara remaja sudah dapat mengangkat batu itu, sudah cukup hebat. Kini hendak memasuki ujian ke dua dan merasa agak ngeri menunggang kuda liar. Wajarlah.

   "Baik, kalian boleh memasuki ujian ke dua ini berbareng. Akan tetapi hanya itu saja, dan syarat lulus tetap seperti apa yang telah diumumkan."

   "Terima kasih, Raden."

   Mereka berdua tersenyum girang lalu keduanya berlari ke tempat di mana lima ekor kuda itu berkumpul, dipegangi oleh para tukang kuda yang kewalahan mencegah lima ekor kuda liar itu mengamuk. Raden Turonggo lalu cepat memeriksa daftar para peserta dan membaca nama mereka. Gendana dan Gendini! Hemm, tentu nama samaran, pikirnya. Nama-nama itu hanya menunjukkan bahwa mereka adalah saudara kembar dan mereka datang dari pantai selatan. Hemm, mereka ini harus diawasi karena mencurigakan, pikir Raden Turonggo. Terdengar sorak-sorai dan dia pun cepat memandang ke arah tempat ujian. Dia melihat betapa kakak beradik itu telah berada di atas punggung dua ekor kuda. Gendana menunggang kuda putih dan Gendini menunggang kuda berbulu dawuk (abu-abu). Dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi.

   Dia melihat betapa dua orang kakak beradik itu dengan tenang tetap duduk di atas punggung kuda yang sudah berdiri itu dan menepuk-nepuk punggung kuda masing-masing,bibir mereka berkemak-kemik. Tahulah dia bahwa kakak beradik itu ternyata menguasai ilmu mantram untuk menundukkan kuda dan ternyata dugaannya benar karena tidak lama kemudian, dua ekor kuda liar itu menjadi tenang seperti kuda jinak saja. Setelah kedua ekor kuda itu diam biarpun para penonton masih bersorak-sorai memuji, sorak riuh-rendah yang cukup hebat untuk membuat kuda jinak sekalipun menjadi ketakutan, dua orang kakak beradik itu baru menggerakkan tali kendali dan dua ekor kuda liar itu meloncat ke depan dengan cepatnya.

   Kakak beradik itu ternyata memang ahli-ahli menunggang kuda. Mereka membalapkan kuda mereka memutari lapangan dan biar pun sudah melewati batas di mana mereka harus melepaskan anak panah kepada orang-orangan yang dijadikan sasaran, namun mereka belum menggunakan anak panah mereka. Mereka ingin agar dua ekor kuda yang mereka tunggangi itu benar-benar tunduk lebih dulu karena kalau tidak demikian,di waktu mereka memanah dan melepaskan kendali, ada bahayanya kuda itu meronta dan menggagalkan pelepasan anak panah seperti yang terjadi pada beberapa orang peserta terdahulu. Oleh karena itu, sampai dua kali mereka memutari lapangan itu tanpa melepaskan anak panah.

   Baru pada putaran ke tiga, setelah kuda mereka mulai mantap larinya, dua orang kakak beradik itu mempersiapkan busur dan anak panah mereka yang sejak tadi telah mereka kalungkan di pundak. Ketika kuda mereka lari melewati orang-orangan itu, dari tempat yang sudah diberi tanda, mereka mengincar dan melepaskan anak panah mereka dengan cekatan. Terdengar bunyi mendesir dan dua batang anak panah itu meluncur dengan cepat dan menancap di tubuh orang-orangan itu, di perut dan di dada! Terdengar kembali sorak dan tepuk tangan memuji. Sampai tiga kali dua orang kakak beradik ini melarikan kuda mereka melewati orang-orangan itu dan tiga batang anak panah mereka semua menancap di tubuh orang-orangan.

   Sambutan para penonton mengegap gempita karena mereka itulah merupakan peserta-peserta pertama yang berhasil dalam ujian ke dua. Mereka turun dari kuda masing-masing dan para tukang kuda cepat memegangi kendali dua ekor kuda yang kembali menjadi liar setelah terlepas dari pengaruh aji penyirepan kuda kakak beradik itu dan perwira yang bertugas lalu menyambut mereka ke tempat tersendiri untuk menanti sampai ujian ke dua itu berakhir. Kembali beberapa orang telah gagal, ada yang gagal pada saat menunggang kuda,ada pula yang gagal dengan anak panahnya. Kegagalan mereka ini disambut sorak-sorai ditertawakan oleh para penonton dan mereka bergegas meninggalkan lapangan, ada yang menyelinap di antara penonton untuk menyaksikan kelanjutan sayembara itu, ada pula yang langsung pergi meninggalkan tempat itu karena merasa kecewa dan juga malu atas kegagalan mereka.

   Ketika tiba giliran Joko Handoko untuk mengikuti ujian ke dua ini, banyak penonton menyambutnya dengan sorak-sorai karena pemuda ini banyak pula menarik rasa simpati penonton dengan gerak-geriknya yang halus dan sopan serta wajahnya yang membayangkan kejantanan dan kegagahan. Dengan langkah tenang Joko Handoko menghampiri kuda berbulu putih dan memberi isyarat kepada pemegang kendali kuda bahwa dia memilih kuda itu. Setelah dia mengambil sebuah gendewa dan tiga batang anak panah tanpa memilih lagi, dia lalu memegang kendali kuda dan sekali melompat dia telah duduk di atas punggung kuda putih. Kuda ini sudah beberapa kali ditunggangi orang dan hal ini membuat dia makin ketakutan dan marah, makin liar. Maka begitu dia merasa punggungnya dicengklak orang, dia meringkik keras dan meloncat dengan kaki depan ke atas.

   

Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini