Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 23


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Brakkkk!!"

   Meja di depannya pecah oleh tamparan tangan Resi Mahapati. Mukanya menjadi merah, keruh dan metanya jalang, giginya berkerot menahan kemarahan.

   "Celaka, Kakang Resi Harimurti! Peraturan Andika sungguh menambah kebingungan hatiku! Kenapa kita begini sial?"

   Gerutunya sambil memandang kepada Resi Harimurti yang duduk di depannya, sedangkan Lestari cepat menghampiri dan merangkul pundaknya, menghiburnya.

   "Kakangmas, sabarlah. Kemarahan hanya akan mengeruhkan hati dan pikiran, sebaliknya ketenangan akan memungkinkan kita berpikir dengan baik dan mencari jalan keluar dari segala kesukaran."

   "Jalan keluar yang mana?"

   Resi Mahapati menghardik, tak sabar.

   "Sebulan yang lalu aku dipanggil menghadap oleh Gusti Ratu Sri Indreswari dan di situ, bersama Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet, aku ditegur, dicaci-maki, karena sampai sekarang aku belum bisa mendapatkan keris pusaka Kolonadah yang mereka inginkan. Terpaksa aku mohon Beliau bersabar dan aku mohon waktu tiga bulan. Sekarang, sebulan telah lewat dan kini datanglah Resi Harimurti menceritakan bahwa Kolonadah terampas orang-orang Lumajang! Siapa tidak menjadi bingung?"

   "Adimas Resi Mahapati, harap Andika maafkan saya. Sebetulnya saya sudah berhasil membunuh Ki Ageng Palandongan dan merampas keris pusaka, akan tetapi siapa kira saya telah dipermainkan dan keris pusaka itu mereka rampas secara curang. Kalau mereka tidak menggunakan tipu daya, tidak mungkin keris pusaka itu dapat mereka rampas! Selain itu, saya masih ragu-ragu apakah benar dua orang itu adalah orang-orang Lumajang dan hal ini harus kita selidiki lebih dulu. Betapapun juga, saya akan menyelidiki dan demi para dewa, saya pasti akan merampas kembali pusaka itu!"

   Kata Resi Harimurti dengan marah dan ia memang masih mendongkol sekali kalau mengingat akan peristiwa itu.

   "Akan tetapi, baik yang merampas itu orang Lumajang atau bukan, waktunya sudah mendesak sekali, Kakang Resi Harimurti. Tinggal dua bulan lagi dan kalau sampai tiba waktunya aku belum dapat menyerahkan pusaka itu kepada Gusti Ratu, hemmm....entah apa yang akan terjadi dengan diriku. Tentu kepercayaan Beliau kepadaku akan berkurang atau bahkan akan lenyap."

   Harimurti mengerutkan alisnya.

   "Saya berani menanggung bahwa kelak keris itu pasti akan dapat saya temukan, akan tetapi kalau waktunya ditentukan, dua bulan lagi, hemm.....mana mungkin saya berani menjamin? Bagaimana kalau belum berhasil? Ahh, janjimu terhadap Gusti Ratu itu sungguh berat, Adimas Resi Mahapati."

   "Hemm, sudah kujanjikan kepada Beliau dan sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Pusaka itu lenyap ditelan bumi setelah secara tak terduga-duga terdengar berita bahwa pusaka itu terjatuh ke tangan Ki Ageng Palandongan dan Andika mengejarnya, Andika berhasil merampasnya akan tetapi... ternyata hilang kembali! Pendeknya, bagaimana pun juga, dalam waktu sebulan duabulan ini, Kolonadah harus sudah berada di tanganku! Lestari, panggil adikmu Tejo ke sini!"

   Resi Mahapati yang sedang bingung dan marah itu kini bahkan bersikap kasar kepada selirnya yang tercinta sehingga Lestari menjadi kaget dan cepat-cepat wanita itu pergi sendiri untuk mencari adiknya, tidak menyuruh pelayan.

   Setelah Lestari pergi, Resi Mahapati berkata kepada Harimurti.

   "Kakang Resi Harimurti. Amat penting sekali agar sebelum dua bulan pusaka itu dapat kuserahkan kepada Gusti Ratu Sri Indreswari dan Pangeran Kolo Gemet karena kalau sampai gagal, tentu aku akan kehilangan kepercayaan Beliau. Padahal, hanya melalui Beliau sajalah maka cita-cita kita akan tercapai."

   Sesi Harimurti hanya mengangguk-angguk dan dia merasa makin menyesal mengapa dia sampai dapat tertipu oleh dua orang itu yang dia tahu kini tentu sengaja mempergunakan perawan dusun itu untuk membuat dia lengah! Dia kini hanya dapat menyesal dan mendongkol, mengepal tinju dan memaki-maki di dalam hatinya.

   "Adimas Sutejo,"

   Kata Resi Mahapati setelah pemuda itu muncul bersama kakaknya.

   "Kini tiba saatnya bagi Adimas untuk membuktikan dharma baktimu kepada Mojopahit! Gusti Pangeran Pati telah memerintahkan kepadaku untuk mendapatkan keris pusaka Kolonadah dan memberi waktu kepadaku selama dua bulan saja. Padahal, menurut penuturan Kakang Resi Harimurti, kerispusaka itu kini berada di tangan orang-orang Lumajang."

   Sutejo mengerling ke arah Resi Harimurti. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak senang kepada Resi Harimurti ini, akan tetapi karena ternyata bahwa Resi ini membantu kakak Iparnya, Resi Mahapati yang merupakan seorang ponggawa setia dari Mojopahit, maka dia harus menanam rasa tidak sukanya itu.

   "Bukankah kabarnya keris itu berada di tangan Ki Ageng Palandongan?"

   Tanya Sutejo dengan sikap tenang.

   "Memang benar, dan aku telah merempas pusaka itu dari tangannya,"

   Kini Resi Harimurti yang menjawab.

   "Ketika mendengar bahwa keris itu terampas olehnya dari tangan Empu Singkir, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya perhitunganku tepat, dia mengambil jalan selatan dan di Pegunungan Kidul aku berhasil menyusulnya. Kami bertempur dan aku berhasil merobohkannya dan merampas Keris Kolonadah. Akan tetapi musuh dua orang yang tidak kukenal, akan tetapi kuyakin meraka tentulah orang-orang Lumajang, dan dengan menggunakan tipu daya curang mereka berdua akhirnya dapat merampas pusaka itu dari tanganku."

   "Hemmm, bagaimana mungkin mereka dapat merampas pusaka itu dari tangan seorang sakti seperti Andika?"

   Sutejo bertanya dengan pandang mata penuh selidik.

   Wajah Harimurti menjadi merah.

   "Aku.....tertidur di dalam hutan saking lelahku,dan di dalam tidur itulah aku kehilangan keris pusaka itu. Mereka mencurinya dan aku melakukan pengejaran. Tentu keris pusaka itu dapat kurampas kembali kalau mereka tidak melakukan tipu muslihat curang. Mereka melemparkan keris itu dan tentu saja aku tidak mengejar lagi melainkan mencari keris yang dilemparkan ke dalam jurang. Ketika itu aku mendapatkan keris itu, ternyata keris itu adalah keris palsu, bukan Kolonadah dan ketika aku naik dari jurang, mereka telah lenyap."

   "Jelas bahwa mereka itu tentulah orang-orang Lumajang. Siapa lagi kalau bukan orang-orang Lumajang yang tahu tentang pusaka Kolonadah? Karena itu, Adimas Sutejo, waktunya sudah amat mendesak, Gusti Pangeran hanya memberi waktu dua bulan, maka kuharap Adimas dapat membuktikan dharma bhaktimu terhadap Mojopahit dan membantu Kakak Iparmu dari tugas berat ini. Kau bersama Kakang Resi Harimurti pergilah ke Lumajang untuk menyelidiki dan merampas kembali pusaka itu. Adimas Sutejo."

   Sutejo mengerutkan alisnya yang tebal, lalu menghela napas dan menjawab.

   "Dengan senang hati saya akan menempuh bahaya demi membela dan berbakti kepada Mojopahit,saya kira tidaklah mungkin untuk bisa menemukan keris pusaka itu di Lumajang dalam waktu sesingkat itu. Pertama, dua orang yang merampas keris dari tangan Paman Resi Harimurti itu belum dikenal siapa orangnya. Ke dua, andaikata benar mereka itu orang-orang Lumajang, bagaimana mungkin mencari sebatang keris di antara penduduk Lumajang yang tentu puluhan ribu rumah banyaknya? Ke tiga,andaikata keris itu terjatuh ke tangan Sang Adipati di Lumajang, saya kira lebih sukar lagi karena di sana terdapat banyak orang sakti. Mana mungkin kami berdua akan dapat mencuri atau merampas yang tentu dijaga dengan kuat oleh orang-orang sakti? Bukan saya berkeberatan untuk menempuh bahaya, akan tetapi kita harus memperbandingkan kemungkinan dan hasil-hasilnya yang dapat dicapai. Bukankah kalau dalam waktu dua bulan kami belum berhasil, berarti gagal usaha kita ini,Kakangmas Resi?"

   Resi Mahapati mengerutkan alisnya dan memegangi jenggotnya, mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Aku mengerti. Adimas. Akan tetapi jalan apa lagi yang dapat kutempuh? Karena sudah kehabisan akal maka aku minta bantuanmu,Adimas Sutejo."

   "Kalau memang itu jalan satu-satunya, tentu saja saya akan berangkat, Kakangmas. Akan tetapi saya tidak berani menjamin akan berhasil! Dalam waktu dua bulan."

   Tiba-tiba Lestari berkata nyaring.

   "Mengapa harus menempuh jalan yang sukar yang sedikit sekali kemungkinanya berhasil kalau ada jalan yang jauh lebih mudah dan lebih baik daripada itu?"

   Meraka bertiga memandang kepada wanita cantik itu dan wajah Resi Mahapati berseri penuh harapan.

   "Diajeng Lestari, istriku yang jelita.....lekas katakanlah kepadamulah aku mengantungkan harapanku, lekas katakan, jalan apakah yang lebih mudah itu?"

   Lestari tersenyum penuh kebanggaan. Akan tetapi di depan adiknya dan Resi Harimurti, dia merendah dan berkata.

   "Sebetulnya sederhana saja dan baru terpikir olehku ketika kau mendengar cerita Sang Resi Harimurti tadi. Kalau dia dapat tertipu dengan keris palsu, mengapa kita tidak menggunakan itu untuk menyenangkan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran Pati?"

   "Keris palsu?"

   Sutejo berseru. Resi Mahapati mengerutkan alisnya, penuh kekecewaan.

   "Ah, mana mungkin hal itu dilakukan? Kakang Resi Harimurti sendiri telah mendapatkan keris palsu itu segera mengenalnya, apalagi Gusti Ratu dan Gusti Pangeran. Kalau mereka itu tahu bahwa yang kuserahkan adalah keris palsu, tentu tidak akan lama kepala ini tinggal di leherku."

   "Memang tidak mungkin dilakukan hal itu."

   Kata pula Resi Harimurti.

   "Keris pusaka Kolonadah tidak bisa sembarangan saja dipalsukan. Gusti Ratu dan terutama Gusti Pangeran Pati tentu akan mengenalnya."

   "Dan pula, berdosa sekali untuk mengelabui Gusti Ratu dan Gusti Pangeran,"

   Sutejo berkata karena dia sama sekali tidak merasa setuju dengan usul mbakayunya (kakak perempuannya) itu. Melihat tiga orang laki-laki itu semua menyatakan tidak setuju, Lestari tidak menjadi kecil hati, sebaliknya dia malah tersenyum lebar, manis sekali, sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu bersinar-sinar.

   "Tentu saja aku akan bodoh sekali kalau menganjurkan pemalsuan begitu saja. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan sembarangan pemalsuan, bahkan tidak boleh disebut pemalsuan kalau yang membuat keris ke dua yang serupa segala-galanya dengan Kolonadah itu adalah pencipta Kolonadah sendiri."

   "Apa maksudmu, Mbakayu...?"

   Sutejo berseru kaget.

   "Bukankah Kolonadah itu kabarnya dibuat oleh Empu Supamandrangi yang bertapa di puncak Gunung Bromo? Nah, daripada susah payah mencari Kolonadah yang belum diketahui dengan pasti berada di mana, bukankah jauh lebih mudah mendatangi Empu Supamandrangi untuk dibuatkan sebuah keris yang serupa benar dengan Kolonadah dan menyerahkan keris itu kepada Gusti Ratu?"

   "Aaahh.....ha-ha-ha.... engkau memang hebat! Engkau istri yang cantik dan bijaksana, sungguh.....ha-ha-ha, mengapa aku begitu bodoh dan tidak terpikirkan olehku hal ini sebelumnya? Aduh, terima kasih Diajeng Lestari, terima kasih! Ha-ha,bagaimana pendapatmu, Kakang resi? Hebat bukan siasat istriku tercinta ini?"

   Harimurti sejenak memandang kagum kepada Lestari, kemudian mengangguk-angguk dan menjawab.

   "Saya kira tidak ada akal yang lebih baik daripada itu, Adimas Resi. Memang tepat sekali."

   "Tidak, saya tidak setuju!"

   Tiba-tiba Sutejo berkata.

   "Kita sebagai Kawula-kawula (hamba) Mojopahit yang setia bagaimana mungkin akan menipu Gusti Ratu Pangeran?"

   Resi Harimurti melotot akan tetapi Resi Mahapati mengedipkan matanya kepadanya, lalu berkata kepada Sutejo,

   "Ha-ha-ha, Adimas Sutejo. Tidak mengherankan kalau Andika beranggapan demikian karena Andika masih muda, berdarah panas dan belum pandai menggunakan akal yang halus. Tentu saja kami pun tidak setuju untuk menipu Gusti Ratu, bahkan kami akan menghalangi siapa saja yang akan menipu Beliau dengan keris di tangan! Akan tetapi kita sama sekali tidak akan menipu Beliau, Adimas. Renungkan baik-baik. Beliau minta waktu hanya dua bulan dan kalau samai dua bulan aku belum dapat menyerahkan Kolonadah, tentu Beliau akan merasa berduka sekali dan marah kepadaku. Maka, penyerahan keris buatan Empu Supamandrangi juga yang mirip dengan Kolonadah, sama sekali bukan untuk menipu, melainkan untuk meredakan kedukaan dan kemarahan Beliau. Tentu saja kita masih akan terus berusaha mencari Kolonadah yang asli, dan kalau pusaka itu sudah terdapat oleh kita, tinggal menukarkannya saja, bukan?"

   "Andika Sutejo yang baik, kalau engkau tidak setuju dengan akal itu, apakah engku lebih suka melihat Kakak Iparmu menerima kemarahan Gusti Ratu dan menerima hukuman?"

   Kata Lestari kepada adiknya.

   Sutejo menarik napas panjang dan dia memang dapat melihat kebenaran semua ini,akan tetapi hatinya masih merasa berat.

   "Kalau memang demikian yang Andika sekalian anggap baik, terserah, akan tetapi berat bagi saya ikut pergi ke puncak Bromo. Empu Supamandrangi adalah guru dari sahabatku yang baik, yaitu Bromatmojo. Mana bisa aku ikut membujuknya membuat Kolonadah palsu....? Bagaimana kalau Beliau menolak? Aku tidak mungkin harus memaksanya."

   Kembali Resi Mahapati berkedip kepada Lestari dan Resi Harimurti, lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata dengan ramah.

   "Adimas Sutejo, jangan salah mengerti. Tidak ada paksaan dalam hal ini. Kalau Empu Supamandrangi benar seorang pertapa yang suci, seorang yang setia, tentu dia tidak akan menolak permintaan kita, demi untuk kebaikan Mojopahit. Dan pula, ada satu hal yang amat penting mengenai diri sahabatmu yang bernama Bromatmojo itu, Adimas, dan aku yakin Andika belum mengetahuinya."

   Seketika Sutejo timbul gairahnya dan dengan penuh semangat dia memandang Kakak Iparnya itu dan bertanya.

   "Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi dengan dia?"

   "Baru saja ada pelaporan dari anak buah Kakang Gagaksona bahwa sahabatmu itu telah melindungi istri Progodigdoyo dan anak-anaknya yang melarikan diri ke Lumajang. Sahabatmu itu malah telah membunuh Kakang Gagaksona dan Klabang Curing serta banyak prajurit dan kini dia dan keluarga Progodigdoyo tentu telah berada di Lumajang."

   Akan tetapi berita ini tidak mengejutkan hati Sutejo.

   "Hemm, saya kira hal itu tidak aneh. Adi Bromo tentu saja membela mereka karena kedua orang anak dari Progodigdoyo itu adalah orang-orang yang baik."

   "Tapi mereka adalah anak-anak yang telah berdosa, Adimas Sutejo!"

   Kata Resi Mahapati.

   "Mereka pun harus dihukum!"

   "Saya tidak setuju dengan hukum itu, Kakangmas Resi. Yang bersalah boleh dihukum, akan tetapi keluarganya yang tidak bersalah, tidak semestinya menerima hukuman pula."

   Resi Mahapati menarik napas panjang.

   "Mungkin Andika benar... akan tetapi tidak sayangkah andika melihat sahabat baik Andika itu menyeberang ke Lumajang dan membantu pihak pemberontak? Tidak sayangkah hati Andika melihat dia menentang Mojopahit sebagai seorang pemberontak dan pengkhianat?"

   "Memang sayang sekali, akan tetapi apa dayaku, dia berhati keras...."

   Kata Sutejo dengan suara menyesal.

   "Nah, sayang sekali, bukan? Memang sayang kalau seorang seperti dia, murid Empu Supamandrangi, kini membantu pemberontak. Apalagi karena dia itu seorang wanita, seorang dara remaja....."

   Sutejo terkejut dan memandang kepada Resi Mahapati dengan mata terbuka lebar.

   "Apa maksud Andika....?"

   Resi Mahapati tersenyum.

   "Hanya seorang pemuda seperti Andika yang masih polos, jujur dan belum berpengalaman saja yang mudah dikelabui, Adimas. Akan tetapi banyak orang-orang yang berpengalaman ketika bertemu dengan sahabatmu itu segera mengetahui bahwa dia sebenarnya adalah seorang dara remaja yang menyamar sebagai seorang pemuda."

   "Ah, tidak mungkin......! Biar pun dia amat tampan..... akan tetapi.... ah, kalau dia pria, tentu dia tidak akan bohong kepadaku. Dan dia....ah, tidak mungkin!"

   Sutejo tidak melanjutkan kata-katanya yang hendak menceritakan betapa Bromatmojo telah memperlihatkan "Kejantanannya"

   Dengan sikapnya yang mata keranjang dan suka menggoda wanita.

   "Siapa yang lebih tahu kalau bukan Gurunya, Adimas? Mengapa Andika tidak sekalian menanyakan hal itu kepada gurunya, Empu Supamandrangi? Dan kalau Empu itu mendengar bahwa Andika sahabat baik dari muridnya, tentu dia akan suka membuatkan keris itu demi kepentingan Mojopahit."

   Sutejo menjadi bimbang dan akhirnya, setelah dibujuk-bujuk oleh Resi Mahapati dan Lestari, dia pun menyerah dan pada keesokan harinya, berangkatlah Resi Harimurti bersama Sutejo menuju ke timur, ke Gunung Bromo. Dia terdesak oleh bujukan Resi Mahapati bahwa semua yang dilakukannya itu adalah demi kepentingan Mojopahit, demi perjuangan! Tidaklah mengherankan kalau Sutejo dapat terbujuk.

   Betapa semenjak sejarah berkembang sehingga kini, kita selalu tertipu dengan kata-kata indah yang berupa slogan kosong, yaitu perjuangan! Di setiap penjuru dunia di mana terjadi perang,baik perang melawan bangsa lain, perang saudara, perang agama, atau perang antar suku, selalu terdengar slogan kosong yang berbunyi indah itu berdengung:Perjuangan! Dan betapa kita semua, tua muda, terpelajar mau pun buta huruf,seperti mabok kepayang oleh keindahan kata-kata ini, meninggalkan rumah,meninggalkan sawah, meninggalkan pekerjaan, untuk membunuh atau dibunuh yang dinamakan orang: Perjuangan! Berjuang demi kerajaan! Berjuang demi bangsa, demi negara, demi agama, dan sebaginya lagi. Berjuang demi rakyat! Demikianlah yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin. Benarkah semua itu? Benarkah perjuangan, perang bunuh-membunuh,semua itu dilakukan demi bangsa, demi agama, demi rakyat? Kalau kita mau meneliti jalannya sejarah, maka siapa saja yang mau membuka mata melihat kenyataan akan dapat melihat bahwa sesungguhnya tidak demikianlah kenyataannya.

   Kata-kata perjuangan demi ini dan itu yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin itu pada hakekatnya adalah demi kepentingan mereka itu, kepentingan para pemimpin itu sendiri, atau juga demi politik pemerintah yang pada hakekatnya juga terdiri dari kelompok pemimpin pula. Sudah sejak sejarah berkembang terbukti nyata bahwa setiap peperangan yang didengung-dengungkan sebagai perjuangan itu, hasilnya selalu sama. Kalau kalah, para pemimpin itu jatuh dan menyeret rakyat yang menjadi korban perang dan korban pihak yang kalah.

   Kalau menang, para pemimpin itulah yang terangkat setinggi langit dan memperoleh kemuliaan. Rakyat yang tadinya menjadi alat untuk meraih kemuliaan itu dengan dalih perjuangan? Cukup mendapatkan "kepyuran"

   Hadiah, seperti segenggam beras diseberkan untuk ayam-ayam bodoh, sesudah itu, sudahlah! Rakyat pula yang menjadi korban perang, baik kalah maupun menang, dengan korban nyawa anggota keluarga, harta benda dan kadang-kadang kehormatan.

   Akan tetapi mengapa kita, rakyat, begitu bodoh dan seperti dapat dilihat dalam sejarah, perang yang diselimuti kata-kata perjuangan itu berulang terus? Mengapa? Begitu bodohkah rakyat di dunia ini dipermainkan oleh sekelompok orang-orang yang dinamakan pemimpin, yang tidak lain hanya berambisi besar, yang mengejar kesenangan diri pribadi melalui kedudukan, kekuasaan, harta benda, atau nama besar belaka? Yang demi pengejaran semua itu, tidak segan-segan menyeret rakyat ke dalam api peperangan? Kalau kita mau mengenal diri sendiri, akan nampaklah bahwa hal ini adalah karena kita merasa diri sendiri kosong, hampa, tidak berarti. Oleh karena itu kita mencari sesuatu yang lebih berarti, yang akan dapat "mengangkat"

   Diri pribadi kita ke tempat yang lebih berarti, melalui partai, melalui perkumpulan, melalui negara,melalui bangsa, melalui agama.

   Dan untuk meraih nilai yang lebih tinggi ini maka kita mengesampingkan diri pribadi sendiri, kita menyamakan diri dengan bangsa, negara, dan sebagainya. Dan di dalam semua itu TERDAPAT KESENANGAN! Inilah sebabnya! Kalau begitu, agaknya tidak akan pernah mungkin ada perdaimaian di dunia ini! Tidak mungkin perang berakhir! Kapankah dunia ini akan menjadi tempat yang aman damai tanpa perang untuk seluruh manusia, di mana selain tidak ada perang juga tidak ada permusuhan, dan manusia hanya mementingkan kesejahteraan seluruh manusia di dunia yang merata dan tidak ada lagi kelaparan dan penindasan?

   Agaknya kalau sudah tidak ada pemimpin-pemimpin yang mementingkan diri pribadi,sudah tidak ada orang perorangan, atau kelompok yang mengejar-ngejar kekuasaan melalui kedudukan , harta, kepandaian dan lain-lain, kalau sudah tidak ada perpecahan-perpecahan yang melenyapkan nilai manusia, kalau yang menjadi faktor utama dan terpenting adalah manusia, bukan agama, bukan politik, bukan negara,bukan bangsa, bukan kedudukan atau harta, kepandaian atau kekuasaan, barulah mungkin bicara tantang perdamaian.

   Selama nilai manusia sendiri tenggelam,teruruk oleh perpecahan-perpecahan yang lebih dipentingkan seperti agama, politik, bangsa, dan sebegainya itu, sudah tentu saja akan selalu timbul pertentangan, permusuhan, iri hati, kebencian, yang kesemuanya terkumpul lalu meletus menjadi perang. Dan itu tentu saja berlaku untuk seluruh manusia di dunia, karena kalau sudah benar-benar manusia yang menjadi faktor utama, maka sebutan bangsa dan lain-lain itu tidak ada pengaruhnya lagi bagi kehidupan.

   Dua orang cantrik itu terheran-heran melihat Sang Empu bangun dan duduk dengan mata masih terpejam, kemudian berkata perlahan.

   "Cantrik, apakah kalian berdua masih ingat kepada muridku Sulastri?"

   Dua orang cantrik itu saling pandang. Tentu saja mereka ingat, karena gadis lincah murid pertapa ini selama empat tahun berada di situ dan mereka berdua adalah penghuni dusun di lereng Bromo dan sudah mengenal dara itu. Mereka baru saja menjadi cantrik melayani Empu Supamandrangi, semenjak kepergian Sulastri dari situ.

   "Hamba ingat, Sang Empu!"

   Jawab seorang di antara mereka.

   "Kalau begitu ingat baik-baik, jika ada terjadi sesuatu kelak di pertapaan ini, kalian pergi carilah Sulastri."

   "Ke mana hamba harus mencarinya?"

   "Ke Mojopahit, Tuban, atau Lumajang....."

   Setelah berkata demikian, Empu Supamandrangi merebahkan diri kembali dan tidur pulas, seolah-olah dia tadi hanya mimpi saja.

   Dua orang cantrik itu saling pandang dan merasa heran. Sudah tiga pekan Sang Empu menderita sakit. Tadi mereka sedang bekerja di ladang ketika mereka seperti mendengar suara Empu Supamandrangi memanggil meraka. Bergegas mereka memasuki kamar Sang Eampu hanya untuk mendapatkan kakek itu tidur nyenyak! Dan tiba-tiba kakek itu bangun duduk dengan mata terpejam dan mengatakan pesan itu kepada mereka!

   Memang terjadi perubahan di pondok pertapaan Empu Supamandrangi semenjak Sulastri meninggalkannya. Dahulu, kakek ini sudah biasa hidup menyendiri. Akan tetapi semenjak Sulastri menjadi muridnya dan adanya gadis itu merupakan cahaya cerah dalam kehidupannya, lalu gadis itu pergi turun gunung, Empu Supamandrangi seringkali merasa kesepian! Pula, dia merasa bahwa usianya sudah amat tua, hidup tentu tidak akan lama lagi dan daripada dia membawa semua pengertiannya itu lenyap bersama kematiannya lebih baik dia tinggal-tinggalkan kepada orang lain agar dapat diamalkan. Oleh karena itu, dia lalu mengambil dua orang cantrik dari penghuni dusun yang berada di lereng gunung dan mereka ini selain menjadi cantrik yang mempelajari soal-soal kebatinan, juga bertugas melayaninya.

   Beberapa hari kemudian setelah pagi hari itu Sang Pendeta meninggalkan seperti orang mimpi, keadaan kesehatan Empu Supamandrangi berangsur sembuh dan biar pun tubuhnya masih lemah, namun dia sudah dapat turun dari pembaringan dan berjalan-jalan. Pesan itu tidak lagi disinggung-singgung, dan sudah hampir terlupa oleh dua orang cantrik itu yang menganggap bahwa mungkin Sang Pendeta itu hanya bermimpi.

   Akan tetapi pada suatu senja, muncullah dua orang tamu di depan pondok Sang Pertapa. Ketika dua orang cantrik itu mendengar bahwa mereka datang dari Mojopahit, dari kota raja dan hendak bertemu dengan Sang Empu, bergegas mereka melaporkan kedatangan dua orang tamu itu kepada Empu Supamandrangi.

   Kakek ini cepat membereskan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menyambut dua orang yang mengaku datang dari Mojopahit itu. Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang kakek berpakaian resi dan seorang pemuda yang amat gagah perkasa, dia cepat menyambut dengan hormat, mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu dan menyuruh cantrik mengambil minuman.

   "Sungguh merupakan kehormatan besar bagi saya menerima kunjungan tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi juga merupakan hal yang mengejutkan dan mengherankan karena tempat yang sunyi ini jarang sekali didatangi tamu,"

   Empu Supamandrangi berkata sambil menatap tajam wajah pemuda itu setelah mengerling kepada kakek berpakaian resi.

   "Siapakah Andika berdua, dari mana dan ada keperluan apakah datang berkunjung ke pertapaan yang sunyi ini?"

   Resi itu tersenyum lebar dan menjawab.

   "Harap Andika maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Saya adalah Resi Harimurti dan dia ini adalah Sutejo. Kami berdua sengaja datang karena diutus oleh Adimas Resi Mahapati dari Mojopahit. Kiranya Andika mengenal nama Adimas Resi Mahapati."

   Empu Supamandrangi mengerutkan alisnya yang sudah hempir putih semua itu.

   "Resi Mahapati? Hemm, saya teringat nama itu.... kalau tidak salah, seorang Resi Kerajaan Mojopahit dan menjadi seorang punggawa, bukan? Akan tetapi....biar pun saya sudah dengar tentang dia, saya tidak mengenalnya secara pribadi dan seingat saya, tidak ada urusan antara dia dan saya...."

   "Memang sebenarnyalah demikian, Saudara Empu Supamandrangi. Akan tetapi kami diutus oleh Adimas Resi Mahapati sebagai ponggawa setia dari Kerajaan Mojopahit yang menerima perintah dari Gusti Ratu Sri Indreswari dan Gusti Pangeran Pati sendiri."

   "Ah, begitukah?"

   Empu Supamandrangi memandang dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak.

   "Sungguh makin menakjubkan sekali. Ada urusan penting apakah gerangan maka kerajaan teringat kepada seorang tua seperti aku, Sang Resi?"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Begini persoalannya, Saudara Empu. Sudah lama sekali Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet menginginkan keris pusaka Kolonadah."

   Dia berhenti sebentar dan memandang kepada kakek yang mengangguk-angguk itu.

   "Dan karena sampai kini keris pusaka itu belum juga berhasil didapatkan untuk dihaturkan kepada Gusti Pangeran, maka Adimas Resi Mahapati mohon bantuan Saudara Empu."

   Empu Supamandrangi mengerutkan alisnya. Dia sudah mengutus muridnya, Sulastri,untuk menyerahkan keris pusaka itu kepada Pangeran Kolo Gemet, mengapa sampai kini belum juga pusaka itu diterima oleh Sang Pangeran?

   "Kalau keris pusaka itu lenyap dan belum bisa didapatkan, bagaimana saya dapat menolong, Sang Resi?"

   Tanyanya.

   "Karena Andika adalah pencipta keris pusaka Kolonadah, maka kini untuk meredakan kedukaan dan kemarahan Gusti Pangeran, Resi Mahapati minta bantuan Andika agar suka membuatkan sebatang keris yang sama dengan Kolonadah untuk diberikan kepada Gusti Pangeran."

   "Ahhh.....!"

   Empu Supamandrangi tertegun, lalu menggelengkan kepalanya.

   "Hal itu tidak mungkin saya lakukan! Kolonadah tidak boleh dipalsukan begitu saja! Keris itu adalah sebuah pusaka kerajaan yang mengandung daya mujijat...."

   "Hendaknya Andika ingat bahwa keris ini adalah untuk meredakan kedukaan Gusti Ratu Sri Indreswari dan puteranya, Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet."

   Akan tetapi Empu Supamandrangi menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Sungguh bukan pertanda baik untuk mempermainkan ratu dan Pangeran Pati, dan sungguh lebih tidak baik lagi untuk memalsukan Kolonadah...."

   "Akan tetapi ini merupakan perintah dan kepentingan Mojopahit, Saudara Empu!"

   Suara Resi Harimurti sudah berubah kaku karena hatinya mengkal melihat kekerasan hati kakek yang menolak itu.

   "Apakah harus saya katakan bahwa Andika membangkang perintah dan tidak mau berbakti kepada Mojopahit, bahkan menentang Mojopahit?"

   Sang Empu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas dan menggeleng kepala.

   "Sama sekali tidak! Wahai.... betapa mudahnya sekarang ini orang dikatakan menentang dan membangkang kerajaan!"

   Dia menarik napas panjang.

   "Bukan sekali-kali saya menentang dan menolak Sang Resi, akan tetapi karena itu bukanlah jalan yang baik. Seharusnya keris Kolonadah yang asli itulah yang harus dihaturkan kepada pangeran."

   "Apakah Andika tahu bagaimana harus memperoleh kembali Kolonadah yang hilang?"

   "Ah, mana saya tahu? Saya telah mengutus murid saya untuk mencari keris itu dan menyerahkan kepada Pangeran Pati, akan tetapi...."

   Dia termangu-mangu karena merasa heran mengapa muridnya itu belum berhasil.

   "Maaf, Eyang Empu. Apakah Eyang maksudkan Bromatmojo?"

   Tiba-tiba Sutejo yang sejak tadi mendengarkan saja bertanya.

   Empu itu membelalakkan mata, memandang kepada Sutejo dengan mata tajam dari bawah alisnya yang putih.

   "Orang muda, Andika mengenal murid saya?"

   "Bukan hanya mengenal, Eyang, bahkan menjadi sahabat baik! Bahkan kami berdua telah berhasil mendapatkan keris pusaka Kolonadah itu, akan tetapi ketika keris itu kami titpkan kepada Empu Singkir, keris itu lenyap dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Kemudian keris itu dapat diperoleh kembali oleh paman Resi ini dari Ki Ageng Palandongan, akan tetapi telah dirampas kembali oleh orang-orang yang sampai kini belum kami ketahui siapa. Mungkin orang-orangnya meraka yang hendak memberontak terhadap Mojopahit. Sedangkan Adi Bromo......eh, maksud saya murid Eyang.....yang selama ini menyamar sebagai pemuda tampan..."

   "Ha-ha, memang dia bocah nakal sekali! Paling suka menyamar sebagai pria, akan tetapi Sulastri adalah anak cerdik. Tentu dia akan bisa mendapatkan kembali keris pusaka itu."

   Sutejo menjadi bengong, jantungnya bedebar keras dan matanya terbelalak memandang kakek itu. Tadi dia memancing, dan ternyata benar bahwa Bromatmojo adalah seorang gadis yang bernama Sulastri! Dan mengakunya dahulu nama aslinya Sulastomo!

   "Eh, kau kenapa, orang muda?"

   Empu Supamandrangi bertanya.

   "Tidak apa-apa, Eyang..... hanya.....eh, Adi Bromo itu..... tidak pernah mengaku bernama Sulastri..."

   Sampai di sini Sutejo tidak membuka mulut lagi, masih bedebar jantungnya dan membayangkan Bromatmojo yang mata keranjang terhadap wanita itu! Pantas saja menggodanya dan sengaja menciumi wanita, bersikap mesra terhadap wanita. Kiranya semua itu hanya untuk menggodanya!

   "Bagaimana, Sudara Empu? Keris pusaka Kolonadah sudah lenyap dan tentu kami akan terus mencari sampai kembali ke tangan kami. Akan tetapi sementara ini, Adimas Resi Mahapati ingin meredakan kedukaan dan kemarahan Gusti Pangeran dengan keris buatan saudara Empu juga, yang serupa dengan Kolonadah. Tentu saja kalau Kolonadah sudah kembali ke tangan kami, akan segera kami haturkan kepada Gusti Pangeran sebagai pengganti sementara itu."

   Empu Supamandrangi menundukkan kepalanya dan berpikir. Dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, dan dapat menilai orang. Resi yang duduk di depannya ini bukan seorang manusia yang baik, penuh diliputi hawa nafsu yang berkobar-kobar.

   Juga dia dapat menduga bahwa resi itu mempunyai kesaktian tinggi. Apalagi pemuda itu! Biar pun masih muda, namun pemuda yang datang bersama resi itu jelas merupakan murid seorang yang amat sakti, dan pemuda itu biar pun tidak dapat dia katakan seorang yang berwatak buruk, namun sekali ini datang sebagai pengemban tugas kerajaan. Kalau dia berkeras, menolak, sudah pasti akan timbul keributan dan dia yang baru saja sembuh dari sakit harus mengukur dulu sampai di mana kekuatan kedua lawan ini sebelum mengambil keputusan.

   Setelah menarik napas panjang. Empu Supamandrangi lalu berkata.

   "Resi Harimurti,karena memang perintah yang Andika bawa itu datang dari Mojopahit dan demi kepentingan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran Pati, sudah tentu saja saya sebagai rakyat kecil tidak berani untuk menolak. Akan tetapi, membuat keris seperti Kolonadah bukan hal yang main-main dan harus menggunakan bahan yang khas. Baiknya saya masih mempunyai bahan Tosan aji (baja mulia) yang dulu saya pergunakan untuk membuat Kolonadah. Namun ada satu hal yang tidak dapat saya paksakan untuk membuat keris itu kalau syaratnya tidak dapat dipenuhi, Sang Resi."

   "Hemm, apakah syarat itu? Tanya Resi Harimurti.

   "Tosan aji ini bukan sembarang besi atau baja dan seolah-olah mempunyai naluri yang kuat. Dia memberi tanda apakah dia mau dibentuk menjadi keris ataukah tidak, tanda yang merupakan syarat yaitu apabila dia dapat ditekuk, itu tandanya bahwa dia rela dibentuk menjadi keris. Akan tetapi apabila tidak dapat, apa pun yang akan kita lakukan, dia tidak mungkin bisa dibentuk menjadi keris."

   "Hemm, keluarkan tosan aji itu hendak kulihat!"

   Kata Resi Harimurti yang percaya penuh bahwa dia akan mampu menekuk besi itu. Berapa sih kuatnya sepotong besi? Terbungkuk-bungkuk Empu yang sudah tua itu meninggalkan ruangan tamu dan memasuki kamarnya.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Harimurti kepada Sutejo.

   "Bagaimana pendapatmu, Sutejo. Apakah dia akan membohongi kita?"

   Sutejo menggeleng kepalanya.

   "Kurasa tidak, Paman Resi. Dia tidak bohong dan kita harus percaya kepadanya dan mencoba apakan tosan aji itu dapat ditekuk atau tidak. Kita tidak dapat melawan kekuatan alam."

   Jawaban ini tidak memuaskan hati Resi Harimurti, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa lagi karena Empu Supamandrangi telah datang kembali membawa sebuah bungkusan kain kuning yang panjangnya ada satu kaki lebih.

   "Inilah tosan aji itu, Sang Resi,"

   Katanya sambil meletakkan bungkusan di atas meja dan membukanya. Tampaklah kini sepotong besi yang kelihatannya biasa saja, hanya bersinar agak kehijauan. Empu Supamandrangi maklum bahwa dalam keadaan lemah seperti sekarang, dia tidak akan mampu menekuk baja itu, bahkan dalam keadaan sehat sekali pun hanya dengan mengerahkan seluruh tenaganya saja dia akan dapat menekuknya. Maka dia mempergunakan kekuatan tosan aji itu untuk menguji kepandaian dua orang tamunya. Kalau mereka mampu menekuk baja itu, berarti dia tidak akan mampu melawan mereka dan dia harus mentaati permintaan mereka.

   "Ah, inikah, Saudara Empu? Kalau begitu, coba Andika menekuknya."

   Empu Supamandrangi menggeleng kepala.

   "Tosan aji ini seperti hidup dan mempunyai pengertian. Dia hanya memandang kepada orang yang menghendaki dia menjadi keris. Kalau, dia setuju, biar pun yang menghendakinya itu anak kecil, dia akan dapat ditekuk oleh anak itu. Sebaliknya, kalau dia tidak mau, biar yang menghendakinya itu orang yang bertenaga besar, kiranya tidak akan kuat menekuknya."

   Resi Harimurti memandang potongan besi itu dengan mata mengejek.

   "Jadi kalau kami berdua yang menghendaki, harus kami berdua yang menekuknya?"

   "Begitulah."

   "Hemm, apa sih anehnya besi semacam ini? Berapa sih kekuatan besi seperti ini? Empu Supamandrangi, kami bukanlah anak-anak kecil yang bodoh dan dapat dipermainkan."

   "Resi Harimurti, kalau orang-orang yang memiliki kesaktian seperti Andika berdua tidak mampu menekuknya, apalagi saya seorang tua, bagaimana mungkin saya akan dapat memaksa tosan aji ini menjadi keris? Cobalah dan lihat apakah dia rela atau tidak dibentuk pusaka."

   Sambil tertawa Resi Harimurti mengambil potongan besi itu dan dia merasa betapa besi itu dingin sekali, dingin dan berat. Akan tetapi, mengandalkan kesaktiannya sendiri, dia tetap tersenyum, lalu memegang besi itu di kedua ujungnya dengan dua tangan, kemudian dia mengerahkan aji kesaktiannya, mengumpulkan tenaga saktinya kemudian menekuk potongan besi itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa besi itu kuat bukan main dan seperti

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   terdapat tenaga mujijat di dalamnya yang menahan tenaga tekukannya. Potongan besi itu tidak dapat ditekuknya!

   "Ehhh....??"

   Dia berseru heran dan penasaran, kemudian dia mengerahkan pula seluruh tenaganya, kedua kakinya memasang kuda-kuda sehingga dia hampir berjongkok, kemudian mengerahkan tenaga dari pusar yang naik ke dalam kedua lengannya, menjalar ke dalam tangannya dan jari-jari tangannya, lalu dia memusatkan tenaga itu dan kembali berusaha menekuk potongan besi itu.

   "Heeggghhh....!"

   Dari tenggorokannya keluar suara dari tenaganya yang membocor keluar, namun tetap saja potongan besi itu kaku tak dapat ditekuknya!

   "Uhhhh!"

   Dia merasa malu, penasaran dan juga marah. Hampir saja dia membuang potongan baja itu saking malu dan marahnya, akan tetapi Sutejo cepat mengulurkan tangannya dan berkata.

   "Paman Resi, biarkan saya mencobanya."

   Mendengar ini, dengan muka merah Resi Harimurti tidak jadi membuang besi itu dan menyerahkannya kepada Sutejo, lalu duduk dengan wajah muram dan menggunakan tangan mengusap keringat di dahinya, matanya mengerling ke arah Empu Supamandrangi dengan marah.

   "Jangan kecil hati Sang Resi. Andika tidak dapat membekuknya itu berarti bahwa Andika tidak berjodoh."

   "Biar saya mencobanya, Eyang Empu, siapa tahu saya yang berjodoh,"

   Kata Sutejo dan karena pemuda ini maklum bahwa tosan aji itu merupakan benda mujijat yang mempunyai kekuatan mujijat pula.

   Maka dia tidak mau main-main dan begitu dia hendak mulai membekuk tosan aji itu, lebih dulu dia memegang tosan aji itu dengan kedua tangan, mengangkat tinggi di atas ubun-ubun kepalanya sebagai tanda penghormatan, kemudian dia menyembah ke arah Empu Supamandrangi, dan barulah dia memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, lutut agak ditekuk, kemudian dengan kedua tangan memegang kedua ujung besi itu, dia menggerakkan lengannya mula-mula lurus ke depan, lalu membuat lingkaran ke atas dan tiba-tiba ditarik ke arah ulu hatinya, diam sejenak, memejamkan mata, bibirnya bergerak membaca mantera kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang menggetarkan ruangan itu sambil mengerahkan tenaga menekuk potongan besi. Empu Supamandrangi memandang dengan mata terbelalak, dan Resi Harimurti memandang kagum ketika melihat betapa potongan besi itu ternyata telah dapat ditekuk oleh Sutejo! Pemuda itu dengan tenang dan tersenyum lalu meletakkan besi yang sudah melengkung itu ke atas meja, lalu duduk kembali.

   "Aha, kiranya tosan aji itu berjodoh dengan Sutejo!"

   Kata Resi Harimurti, memuji sambil menutupi rasa malunya karena dia tadi tidak kuat menekuknya. Dengan mengatakan berjodoh, maka berarti bahwa dia bukan kalah kuat oleh pemuda itu, melainkan besi itu yang tidak berjodoh dengan dia dan tidak mau ditekuk olehnya!

   Dengan pandang mata masih menatap wajah Sutejo, Empu Supamandrangi berkata lirih.

   "Benar....memang berjodoh dengan dia...."

   Kemudian tiba-tiba dia bertanya kepada Sutejo, dengan suara mendesak.

   "Anakmas Sutejo, ada hubungan apakah antara Andika dengan Kakang Panembahan Ciptaning?"

   Terkejutlah Sutejo mendengar pertanyaan ini, apalagi ketika dia melihat betapa sinar mata kakek itu mencorong penuh selidik.

   "Beliau adalah Guru saya, juga Eyang Guru saya karena dahulu, mendiang Ayah saya Lembu Tirta adalah murid Beliau. Bagaimana Eyang Empu dapat mengetahuinya?"

   Sepasang mata tua itu terbelalak dan mulut ompong itu tersenyum.

   "Aihh, kiranya engkau putera Lembu Tirta dan murid Kakang Panembahan Ciptaning? Tentu saja aku mengetahui karena aku mengenal gerakanmu tadi, orang muda. Gurumu itu sahabat baikku. Andaikata aku tahu bahwa engkau adalah muridnya tadi, tentu saja aku tidak akan ragu-ragu lagi......ah, Anakmas Sutejo, mengingat akan persahabatan antara Gurumu dan aku, maukah engkau berjanji kepadaku?"

   Sutejo meresa kagum dan suka kepada kakek ini, apalagi mengingat kakek ini adalah Guru Bromatmojo.

   "Tentu saja, Eyang Empu. Katakanlah, apa pesan Eyang itu?"

   "Kelak, aku titip Sulastri muridku kepadamu, Kulup. Kau amat-amati dia, karena dia amat muda.... kau bimbinglah dia. Maukah kau berjanji?"

   Berdebar rasa jantung Sutejo dan terbayanglah wajah tampan yang nakal dan suka menggodanya itu, yang kini terbayang sebagai wajah seorang dara jelita yang kenes. Dia mengangguk-angguk.

   "Saya berjanji, Eyang. Dan sebelum Eyang pesan pun, dia adalah seorang sahabat saya yang akrab."

   "Syukurlah, Kulup. Nah, lega sekarang hatiku. Resi Harimurti, kini tidak ragu-ragu lagi untuk membuatkan keris itu, keris yang akan serupa benar dengan Kolonadah."

   "Berapa lama kiranya dapat selesai?"

   Tanya Resi Harimurti.

   "Tiga hari tiga malam cukuplah. Dan Andika berdua tentu saja boleh tinggal di sini menjadi tamuku. Bocah cantrik.....?"

   Empu Supamandrangi yang kini tiba-tiba kelihatan gembira dan tangkas itu berteriak. Dua orang cantrik yang berada di luar itu bergegas datang dan menyembah.

   "Kau bersihkan kamar-kamar untuk para tamu dan engkau cepat membuat api di puputan."

   Dua orang cantrik itu menyembah dan cepat pergi untuk mengerjakan perintah guru mereka.

   Selama tiga hari Sutejo dan Resi Harimurti tinggal di pertapaan itu. Sutejo tinggal di puncak yang indah itu, dan setiap hari dia pergi menikmati pemandangan alam di sekeliling puncak sambil membayangkan betapa selama empat tahun Bromatmojo berada di tempat ini, berguru kepada Empu Supamandrangi. Kalau tidak pergi berjalan-jalan, dia membantu para cantrik bekerja di ladang dan kalau malam dia lebih senang tidur bersama cantrik sambil membicarakan keadaan Sulastri yang dikenal oleh cantrik sebagai murid Empu Supamandrangi ketika mereka belum menjadi cantrik, dan tidak pernah Sutejo tidur bersama Resi Harimurti. Dia memang tidak suka kepada resi itu dan kalau dia terpaksa bekerja sama adalah karena mereka sama-sama melakukan tugas yang diperintahkan oleh kakak iparnya, Resi Mahapati.

   Pada hari itu, karena merupakan hari terakhir dan menurut janji Empu Supamandrangi keris akan jadi pada hari itu, Sutejo kembali pergi berjalan-jalan sampai jauh meninggalkan pondok dan menuju ke puncak dekat kawah Bromo yang amat dasyat, mengerikan dan mempesonakan. Dia hendak menikmati keadaan di sekitar tempat itu pada hari terakhir ini sebelum dia meninggalkan gunung ini. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka akan terjadi hal yang amat hebat di dalam pondok pertapaan Empu Supamandrangi.

   Karena pada hari ke tiga itu merupakan hari terakhir di mana Sang Empu menyempurnakan keris itu dengan duduk bersamadhi, kemudian menghaluskan keris itu dengan pijatan-pijatan jari-jari tangannya, maka bantuan cantrik tidak diperlukan lagi dan mereka itu sejak tadi telah sibuk di ladang.

   Selagi Sang Empu duduk bersila dalam keadaan samadhi, keris yang serupa benar dengan Kolonadah itu di pangkuannya, dengan kaki berjingkat masuklah Resi Harimurti ke dalam kamar Sang Empu. Biarpun dia masuk dengan perlahan-lahan,namun Empu Supamandarngi dapat mengetahui kedatangannya dan kakek ini membuka matanya lalu memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.

   Melihat kakek itu sudah sadar dari samadhinya, Resi Harimurti tersenyum dan berkata.

   "Maaf, Empu Supamandarngi, karena hari yang dijanjikan telah tiba dan saya ingin segera melihat hasil pekerjaan Andika, maka saya tidak sabar lagi menanti dan masuk ke sini untuk melihat keris itu."

   "Masuklah, Sang Resi dan duduklah. Memang keris ini sudah jadi, tiada ubahnya seperti Kolonadah, akan tetapi tentu saja memiliki daya dan hawa yang berbeda. Kolonadah adalah sebuah keris pusaka yang diperuntukkan raja-raja, dan pembuatannyapun memakan waktu bertahun-tahun. Biar pun keris ini serupa dengan Kolonadah, namun hanya serupa luarnya belaka. Betapa pun juga, karena terbuat dari tosan aji yang mujijat, sebahan dengan Kolonadah, maka hanya boleh berada di tangan yang berjodoh saja. Oleh karena itu, melihat bahwa yang berjodoh adalah Sutejo, maka saya hanya menyerahkan kepada Sutejo untuk dibawa ke Mojopahit dan diserahkan kepada Pangeran pati."

   Resi Harimurti tentu saja merasa mendongkol sekali, akan tetapi dia pura-pura tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Memang benar sekali apa yang Andika katakan, Saudara Empu."

   "Selain dari itu, keris ini tidak boleh dinyatakan sebagai Kolonadah, tidak boleh menjadi keris palsu. Amat tidak baik membohongi Pangeran Pati. Sebaiknya diserahkan kapada Beliau dengan terus terang mengatakan bahwa keris ini untuk sementara sebagai pengganti Kolonadah yang masih dicari-cari. Jangan sekali-kali dipakai untuk membohongi keluarga Sang Prabu di Mojopahit."

   Hati Resi Harimurti makin mendongkol. Mana mungkin begitu? Justru kehendak Resi Mahapati adalah untuk membohongi pangeran agar keris ini dianggap Kolonadah. Sementara itu, Kolonadah yang asli kalau sudah dapat mereka peroleh, tentu tidak akan mereka berikan kepada siapa pun, melainkan akan disimpan oleh Resi Mahapati sendiri!

   Agaknya Empu Supamandrangi dapat menduga pikiran dan isi hati Resi Harimurti, maka dengan napas terengah-engah karena merasa lemah sekali, dia berkata.

   "Kalau sampai terjadi keris ini dipakai sebagai pemalsu Kolonadah, aku sendiri yang akan melaporkan ke Mojopahit, Sang Resi."

   Resi Harimurti mengangguk-angguk, lalu tersenyum dan berkata.

   "Tentu akan kami taati semua pesanmu, Empu Supamandrangi. Sekarang, bolehkah saya memegang keris itu sebentar?"

   "Tentu saja boleh."

   Empu Supamandrangi menyerahkan keris itu kepada Resi Harimurti.

   Resi Harimurti bangkit berdiri dan menghempiri Sang Empu, mengulurkan tangan mengambil keris itu, diamatinya sebentar, lalu berkata sambil tersenyum.

   "Apakah benar keris yang Andika buat selama tiga hari ini merupakan keris yang ampuh, Empu Supamandrangi?"

   "Hemm, biarpun tidak seampuh Kolonadah, namun saya kira jarang ada keris pusaka yang akan mampu menandinginya."

   "Boleh kucoba?"

   "Coba? Coba bagaimana?"

   "Coba kepadamu!"

   Secepat kilat Resi Harimurti menusukkan keris itu ke ulu hati Empu Supamandrangi. Sang Empu kaget sekali, akan tetapi karena tubuhnya amat lemah, tubuh yang baru saja sembuh lalu diperas tenaganya untuk membuat keris pusaka itu, dia terlambat mengelak dan "cresssssss......!!"

   Keris pusaka itu menancap tepat di ulu hatinya sampai ke ganggangnya!

   "Uuhhhhh..... uhhhh....."

   Empu Supamandrangi terjengkang di atas pembaringannya, tangan kiri mendekap gagang keris yang menancap di ulu hatinya, telunjuk kanan menuding ke arah Resi Harimurti, matanya terbelalak dan terdengar kata-katanya.

   "....Resi Harimurti... terkutuk kau dan keris ini..... kau akan lebih tersiksa dari pada aku menghadapi kematianmu... dan... dan keris ini.... akan mendatangkan malapetaka bagi pemegangnya.... uhhh...."

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kepala Sang Empu terkulai dan nyawanya melayang.

   Resi Harimurti menoleh ke kanan kiri, lega bahwa perbuatannya tidak ada yang menyaksikan. Dia lalu cepat menghampiri mayat Sang Empu, memaksa tangan kanan Empu Supamandrangi menggenggam gagang keris, kemudian dia berteriak-teriak.

   "Tolooong! Sang Empu membunuh diri.....!!"

   Teriakannya terdengar oleh dua orang cantrik dan mereka cepat-cepat lari ke dalam pondok dan memasuki kamar itu. Mereka terbelalak, berlutut dan menangisi kakek yang menggeletak tak bernyawa di atas pembaringannya itu, dengan tangan kanan masih menggenggam gagang keris yang menancap di ulu hatinya. Ketika Sutejo disusul oleh seorang cantrik dan diberitahu, dia terkejut setengah mati dan cepat dia lari ke pondok meninggalkan cantrik yang memberitahukannya.

   Dia terbelalak memandang mayat Empu Supamandrangi, lalu menoleh kepada Resi Harimurti dan bertanya.

   "Paman Resi, apakah yang telah terjadi?"

   Resi Harimurti menutupi mukanya dan menggeleng-geleng kepala, lalu menarik napas panjang.

   "Aahh".., mengapa seorang pertapa yang sudah menjadi arif bijaksana masih tidak mampu mengendalikan perasaannya? Ah, Sang Empu Supamandrangi,sungguh bodoh sekali tindakan Andika ini......! Sutejo, ternyata Empu Supamandrangi amat keras hati dan keras kepala. Ketika aku masuk hendak minta lihat keris, dia menyatakan bahwa dia membuat keris ini karena terpaksa dan sebelum sempat aku mencegahnya, dia telah membunuh diri dengan keris ini."

   Sutejo mengerutkan alisnya dan memandang lagi kepada mayat Empu Supamandrangi.

   "Hemmm, mengapa begitu? Mengapa? Dan apa artinya Andika mengatakan bahwa dia keras hati dan keras kepala, Paman Resi?"

   "Ah, tidak dapatkah kau menduga, Sutejo? Sebenarnya dia tidak suka dan tidak setuju membuat keris itu, sebetulnya di dalam hatinya dia memberontak terhadap Mojopahit, seperti yang jelas diperihatkan oleh muridnya pula, sebetulnya dia tidak rela membuatkan keris ini untuk Mojopahit, hanya karena dia tidak berani menolak, maka dia melakukannya dengan terpaksa, kemudian setelah keris itu jadi,dia mengotori keris dengan darahnya sebagai pernyataan tidak setuju dan dia membunuh diri untuk menyatakan penyesalannya."

   "Hemmm..."

   Sutejo masih mengerutkan alisnya, akan tetapi biar pun dia tidak dapat menerima begitu saja dugaan Resi Harimurti, dia melihat bukti bahwa Empu Supamandrangi memang membunuh diri, maka dia lalu melangkah keluar dengan hati tidak enak.

   Resi Harimurti lalu mencabut keris dari ulu hati Sang Empu. Tidak mudah dia melakukan ini, seolah-olah keris itu ada yang menahan dari dalam dada kakek itu, sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya barulah keris itu tercabut dan ternyata ujung keris itu berwarna hitam oleh darah! Betapa pun Sang Resi mencoba untuk membersihkannya, namun tetap saja darah hitam itu melekat di ujung keris. Resi Harimurti dan Sutejo membantu dua orang cantrik itu mengurus pembakaran jenazah Empu Supamandrangi dan sesuai dengan pesan Sang Empu di waktu hidupnya, abunya lalu ditaburkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah selesai, Resi Harimurti dan Sutejo meninggalkan puncak gunung itu.

   "Paman Resi Harimurti, saya tidak ikut kembali ke Mojopahit,"

   Kata Sutejo setelah mereka tiba di kaki Gunung Bromo.

   Resi Harimurti memandang tajam.

   "Dan kenapa, Sutejo?"

   "Pertama, saya tidak mau ikut mencampuri penipuan itu, menyerahkan keris yang palsu kepada Gusti Ratu. Dan ke dua saya akan menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang asli. Ke tiga sesuai dengan pesan Kakangmas Resi Mahapati,saya akan mencari Sulastri untuk saya bujuk agar jangan membantu pemberontak, sesuai pula dengan pesan mendiang Eyang Empu Supamandrangi agar saya mengamat-amati muridnya itu."

   Tadinya, mendengar alasan pertama dari pemuda itu, Resi Harimurti mengerutkan alis dengan hati tidak senang, akan tetapi ketika mendengar alasan berikutnya,dia mengangguk dan berkata.

   "Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini. Mudah-mudahan Andika akan berhasil baik dalam tugas itu, Sutejo."

   Berpisahlah mereka. Resi Harimurti manuju ke barat dan Sutejo menuju ke timur,ke Lumajang.

   "kakangmas Murwendo, kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, aku lebih baik mati saja, Kakangmas...."

   Murwanti menangis dalam rangkulan kakak kembarnya.

   Murwendo mengelus rambut adiknya yang ikal mayang itu, menghiburnya.

   "Hemm, jangan begitu mudah putus asa seperti anak kecil, Adikku. Aku tidak menyalahkan engkau, memang Joko Handoko seorang pemuda yang pantas menerima cinta kasihmu dan aku yakin bahwa Ayah dan Ibu juga tidak akan berkeberatan mempunyai mantu seperti dia dan Roro Kartiko....."

   "Ehh....?"

   Murwanti kini melepaskan diri dari rangkulan kakaknya dan memandang wajah kakaknya dengan muka merah dan air mata membasahi pipi.

   "Apa, Kakangmas? Roro Kartiko.....? Kalau begitu engkau..... engkau...."

   Dan gadis itu tertawa dalam tangisnya, menertawakan kakaknya yang ternyata tanpa sengaja telah membuka rahasia hatinya pula.

   Karena sudah terlanjur, Murwendo mengangguk dan menarik napas panjang.

   "Agaknya karena kita saudara kembar, maka perasaan kita pun sama, Adikku. Kita sama-sama mencintai kakak beradik itu, engkau mencintai Joko Handoko dan aku tergila-gila kepada Roro Kartiko semenjak pertama kali melihat dia meloncat naik ke atas panggung itu. Dia hebat, Diajeng Murwanti."

   Murwanti kelihatan gembira! Ternyata kakaknya mengalami hal yang sama.

   "Aku girang sekali, Kakangmas. Memang dia seorang wanita yng hebat. Akan tetapi....."

   Gadis itu mengerutkan alisnya.

   "Bagaimana kalau.... kalau mereka tidak membalas cinta kita?"

   Murwendo dan Murwanti adalah dua orang kakak beradik yang semenjak kecil tidak pernah dikecewakan, segala yang dikehendaki terpenuhi belaka.

   "Hemm, lupakah engkau bahwa kita adalah putera-puteri rama yang menjadi raja di Puger? Kita harus berterus terang, menyatakan cinta kasih kita kepada mereka dan membujuk mereka untuk menikmati hidup mulia dan bahagia bersama kita di Puger. Mereka adalah orang-orang pelarian dari Mojopahit, pengungsi yang menumpangkan hidup di Lumajang, kalau mereka mendengar bahwa kita adalah putera raja di Puger, dan mereka menjadi mantu-mantu raja di Puger, hidup mulia dan terhormat, tentu mereka akan merasa girang."

   "Akan tetapi...aku melihat mereka itu bukanlah orang-orang biasa, Kakangmas. Mereka berkepandaian tinggi dan bersikap agung. Bagaimana kalau mereka menolak?"

   "Menolak? Ha-ha-ha! Menolak kehendak kita? Diajeng Murwanti, pernahkah kehendak kita tidak terpenuhi dan pernahkah ada orang berani menolak kehendak kita? Ha-ha-ha, Diajeng, jangan khawatir, kalau benar mereka menolaknya, kita masih dapat menggunakan kekerasan."

   Tiba-tiba Murawanti juga tertawa dan sikapnya berubah, tidak lagi penuh kekhawatiran seperti tadi. Kakak beradik kembar itu berangkulan dan tertawa girang, saling berciuman seperti orang-orang gila. Wajah mereka pun berubah beringas dan memang ada sesuatu yang aneh pada diri kakak beradik kembar ini.

   

Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini