Kemelut Di Majapahit 24
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Mereka adalah putera dan puteri raja di Puger yang masih ada hubungannya darah dengan kerajaan Blambangan. Semenjak kecil, kakak dan adik kembar ini dimanja dan sudah biasa semua kehendak mereka dipenuhi belaka oleh ayah bunda mereka.
Bahkan, terjadi hubungan yang aneh dan bahkan mesum dan kotor antara mereka, namun semua itu tidak mendapat tentangan dari siapa pun! Orang-orang yang mengenal mereka sebagai saudara kembar yang tampan dan cantik, yang bersikap sopan dan menarik, tentu akan terkejut dan terheran-heran kalau menyaksikan sikap mereka pada saat itu di dalam kamar Murwanti.
Beberapa hari kemudian, Murwendo dan Murwanti berhasil mangajak Joko Handoko dan Roro Kartiko untuk mengadakan pertemuan di dalam taman di istana Lumajang. Mereka memang sudah menjadi sahabat-sahabat baik, rekan-rekan sepekerjaan di istana dan biarpun Joko Handoko dan Roro Kartiko merasa terheran-heran atas ajakan kakak beradik kembar itu, namun mereka tidak berkeberatan dan tidak menolak ketika dua saudara kembar itu mengundang mereka bertemu di dalam taman dan untuk membicarakan sesuatu yang penting.
Malam itu cuaca diterangi oleh sinar bulan yang lembut. Sinar keemasan memandikan taman dan menciptakan bayang-bayang lembut dari pohon-pohon yang warnanya menjadi serba menguning. Tidak ada angin bersilir, daun-daun pohon diam tak bergerak seperti sudah tidur pulas, akan tetapi di dalam keheningan itu penuh dengan suara kutu-kutu walang atogo, yaitu segala macam belalang dan jengkerik serta binatang serangga lain yang hidup dan berdendang di waktu malam.
Namun suara yang riuh rendah itu, yang menghidupkan suasana, tidak mempengaruhi keheningan, bahkan melengkapi keheningan itu sendiri karena suara-suara itu tercangkup di dalamnya. Biar pun tidak ada angin bersilir, namun hawanya sejuk sekali, mendekati dingin, sungguhpun dari tanah di bawah rumput-rumput keluar hawa yang hangat. Ketika Joko Handoko dan adiknya, Roro Kartiko tiba di taman, ternyata kakak beradik kembar itu telah menanti di situ, duduk di atas bangku panjang di dalam taman, di dekat kolam ikan mas yang bermain-main di antara daun-daun teratai merah. Melihat kedatangan mereka, Murwendo dan Murwanti cepat bangkit dan mempersilahkan mereka berdua untuk duduk.
"Ah, sungguh girang sekali hati kami melihat Andika bedua sudi memenuhi undangan kami,"
Kata Murwendo sambil memandang kepada Roro Kartiko dengan sepasang mata yang bersinar-sinar.
Mereka duduk berhadapan, Murwendo dan Murwanti berjajar di sebuah bangku, sedangkan Joko Handoko dan Adiknya duduk di bangku ke dua, di depan mereka. Joko Handoko tersenyum. Selama di mengenal kakak beradik kembar ini, memang dia melihat betapa mereka mempunyai watak yang lincah jenaka dan selalu gembira.
"Murwendo, engkau dan adikmu sungguh aneh dan ada-ada saja. Ada urusan penting apakah gerangan maka kalian berdua mngundang kami untuk bertemu di taman sunyi ini?"
"Joko Handoko, aku..."
Murwanti terpaksa menghentika kata-katanya ketika kakaknya menyetopnya dengan memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut.
"Diajeng Murwanti, biarkan aku yang menjelaskan kepada mereka,"
Kata Murwendo.
Bibir yang merah itu cemberut, akan tetapi Murwanti lalu berkata sambil memandang kepada Joko Handoko dengan kerling memikat.
"Sesukamulah."
"Begini, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko.... kami berdua hendak memperkenalkan diri kepada kalian."
Roro Kartiko memandang dengan bibir tesenyum.
"Eh, kalian ada apa sih? Kami berdua sudah cukup mengenal kalian kakak beradik kembar yang aneh selama beberapa pekan. Masa sekerang baru memperkenalkan diri?"
Murwendo tersenyum lebar, jantungnya jungkir balik melihat Roro Kartiko tersenyum semanis itu. Selama ia bertualang di kerajaan ayahnya, bermain-main dengan banyak wanita, belum pernah dia menemukan seorang wanita sehebat Roro Kartiko!
"Andika berdua belum tahu siapa sebenarnya kami. Ketahuilah, aku adalah Pangeran Murwendo dan ini adalah Adikku Puteri Murwanti, kami adalah putera dan puteri dari Rama Prabu Bandardento dari Kerajaan Puger di Pantai Laut Selatan!"
Setelah berkata demikian, dua orang kakak beradik itu memandang dengan sikap bangga.
Dan memang Joko Handoko dan Roro Kartiko terkejut dan terheran-heran mendengar pengakuan ini! Mereka memandang dengan mata terbelalak, dan Roro Kartiko hanya dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ahhhh.....!"
Joko Handoko mengerutkan alisnya.
"Sungguh aneh sekali Andika berdua, kalau benar kalian putera-puteri raja, mengapa memasuki sayembara? Dan apa pula artinya semua ini kalian ceritakan kepada kami kakak beradik!"
"Ha-ha-ha!"
Murwendo tertawa dan begitu pemuda tampan itu tertawa, Joko Handoko dan terutama sekali Roro Kartiko terkejut dan merasa ngeri. Sungguh jauh bedanya setelah pemuda itu tertawa bergelak seperti itu, menimbulkan suasana yang mengerikan.
"Ketahuilah, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko, kami kakak beradik jauh-jauh meninggalkan kerajaan kami dan merantau sampai ke Lumajang dengan meksud mencari jodoh! Dan di sinilah kami menemukan jodoh kami. Mengapa hanya kepada Andika berdua kami menceritakan dan membuka rahasia kami? Ha-ha, Diajeng Murwanti,jawablah, mengapa?"
"Karena aku menemukan jodohku di sini, karena aku mencintaimu, Joko Handoko,"
Jawab Murwanti.
"Dan aku jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali malihatmu meloncat ke atas panggung itu, Diajeng Roro Kartiko!"
"Ihhhh.....!!"
Roro Kartiko bangkit berdiri, wajahnya menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar kemarahan.
"Hemmm..... kalian..... sungguh aneh....!"
Joko Handoko juga menjadi merah mukanya dan memandang kepada kakak beradik kembar itu sambil meraba-raba dagunya. Betapa anehnya kakak beradik itu, menyatakan cinta demikian terang-terangan dan di waktu mereka berada berempat seolah-olah urusan yang hanya menyangkut rahasia hati dua orang itu boleh dibicarakan seperti hal-hal biasa saja di depan orang-orang lain!
"Joko Handoko.... Kakangmas Joko Handoko, aku sudah bersumpah bahwa kalau tidak menjadi jodohmu, aku.....aku lebih baik mati saja!"
Murwanti berkata lagi dan sepasang matanya memandang wajah pemuda itu penuh dengan kemesraan, penuh gairah dan seluruh air mukanya, dari tatapan pandang matanya, gerakan cuping hidungnya,kedua bibirnya yang terbuka sedikit dan tarikan bibirnya, semua membayangkan gairah nafsu yang panas!
"Dan aku pun demikan, Diajeng Roro Kartiko, Andika berdua, kakak beradik, telah menjadi pilihan hati kami berdua, kakak beradik kembar. Oleh karena itu, marilah Andika berdua ikut bersama kami, marilah kita menikmati hidup penuh kemuliaan, kehormatan dan cinta kasih di kerajaan kami. Engkau akan menerima kedudukan pangkat tinggi, Joko Handoko, dan engkau Diajeng Roro Kartiko, engkau akan menjadi seorang puteri mulia di sampingku, isteri pangeran dan kelak menjadi permaisuri raja kalau aku sudah menggantikan tahta kerajaan Ayahku. Kalian berdua akan kami angkat naik sampai ke tempat paling tinggi dan.... dan Ibu kalian boleh saja ikut dan menikmati pula kehormatan dan kemuliaan di Puger......"
Saking kaget, heran dan juga malu, kakak beradik dari Tuban itu sejenak tidak mampu bicara dan beberapa kali mereka hanya saling pandang.
"Kakangmas Joko Handoko, jangan berkata demikian.... aku sungguh mencintaimu, mencintai dengan seluruh jiwaku dan seluruh ragaku mencintaimu sampai ke setiap lembar rambut yang tumbuh di tubuhku..."
Joko Handoko mengkirik dan merasa serem.
"Cukuplah! Aku tidak mencintaimu, Murwanti."
Gadis itu terbelalak dan wajahnya seketika menjadi pucat, lebih pucat daripada sinar bulan di atas pupus daun jeruk yang tumbuh di dekat situ.
"Dan aku pun tidak mencintaimu, Murwendo!"
Kata pula Roro Kartiko dengan tegas dan lantang.
"Hemmmm......!"
Terdengar pemuda Puger itu mendengus.
"Kenapa, Kakangmas Joko Handoko? Kenapa? Aku diperebutkan oleh semua orang laki-laki di Puger! Semua pemuda menyembah-nyembah mengharapkan balasan cintaku. Dan aku hanya cinta kepadamu akan tetapi kau...."
"Aku tidak cinta kepadamu!"
Sambung Joko Handoko tegas.
"Diajeng Roro Kartiko, tidak kelirukah pendengaranku? Kau tidak mencintai aku,seorang pangeran mahkota.....?"
Murwendo juga bertanya dengan penuh penasaran.
"Tidak, sama sekali tidak!"
Jawab Roro Kartiko.
"Ahhhh.....!"
"Kakang..... Kakangmas Murwendo....uh-huuuu-hu....!"
Murwanti menubruk kakaknya dan mereka berangkulan dan bertangisan dengan penuh kesedihan. Melihat ini, Roro Kartiko mendekati kakaknya dan memegang tangan kakaknya,karena dia merasa serem dan juga kasihan. Mereka berdiri saling bergandengan tangan dan memandang kepada dua orang saudara kembar yang masih berangkulan dan bertangisan itu. Timbul rasa iba di dalam hati mereka.
"Sudahlah, Murwendo dan Murwanti. Harap jangan menangis dan terlalu bersedih. Cinta kasih tidak dapat dipaksakan....."
Kata Joko Handoko.
Murwanti melepaskan rangkulan kakaknya dan kini dia menghadapi Joko Handoko,memandang dengan sepasang mata basah.
"Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engaku tidak bisa mencintai seorang seperti aku, Kakangmas. Mengapa? Mengapa kau tidak bisa cinta kepadaku? Apakah karena kau sudah mencintai seorang wanita lain?"
Ditanya demikian, merah wajah Joko Handoko dan terbayanglah wajah Sulastri dalam pakaian pria yang amat tampan itu. Dan dia merasa kasihan kepada gadis Puger ini, lalu mengangguk dan berkata lirih.
"Benar, Murwanti."
"Aaahhh.....hu-hu-huuu....!"
Murwanti menangis lagi, sambil menjatuhkan dirinya duduk diatas bangku, kedua punggung tangan mengusap-usap air mata seperti seorang anak kecil merajuk dan menangis manja.
"Dan bagaimana dengan engkau, Diajeng Roro Kartiko? Mengapa kau tidak bisa mencintai seorang pangeran pati seperti aku? Apakah juga karena engkau telah mencintai seorang laki-laki lain?"
Tentu saja Roro Kartiko merasa marah dan malu sekali mendengar pertanyaan yang melanggar kesusilaan ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa pemuda Pugeritu sedang menderita kekecewaan dan kedukaan, dia pun hanya meniru saja kakaknya,mengangguk dan berkata.
"Benar."
"Ahhh....celaka.... kami kakak beradik yang celaka....."
Murwendo terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di dekat adiknya dan mereka berdua itu bertangis-tangisan lagi. Joko Handoko menyentuh lengan adiknya,memberi isyarat dengan mata dan mereka berdua lalu meninggalkan taman itu, meninggalkan kakak beradik kembar yang sedang bertangis-tangisan dengan sedihnya itu.
Murwendo dan Murwanti menangis dan tenggelam dalam kekecewaan dan kedukaan mereka sehingga tidak tahu bahwa telah lama Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan mereka, juga tidak tahu bahwa sejak tadi, ada bayangan orang yang mengintai dan mendengarkan semua yang terjadi di situ. Kini, setelah Joko Handoko dan adiknya sudah agak lama pergi,bayangan itu muncul dari balik semak-semak dan melangkah dengan tenang menghampiri kakak beradik kembar yang masih bertangis-tangisan itu.
"Kegagalan tidak cukup dengan ditangisi, melainkan harus diusahakan agar berhasil. Dan amat tidak enak melihat orang-orang gagah menangisi kegagalan!"
Murwendo dan Murwanti terkejut dan mereka cepat meloncat dan berbareng mereka menyerang dan menghantam bayangan orang yang berdiri di situ dan menegur mereka tadi.
"Plak! Plak!"
Kakak beradik kembar itu terhuyung ketika orang itu menangkis.
"Murwendo dan Murwanti, tenanglah, aku bukan musuh, melainkan kawan yang datang hendak membantu kalian."
"Harwojo....!"
Murwendo berseru kaget ketika mengenal siapa orangnya yang muncul dan mengejutkan mereka.
"Kau? Hendak membantu kami? Dengan cara bagaimana kau hendak membantu kami, kau yang seperti setan telah mengintip pebuatan orang lain?"
Murwanti menegur marah. Harwojo yangberwajah keruh itu tersenyum sedikit, namun senyum itu hanya sebentar saja karena wajahnya sudah menjadi keruh kembali, dengan alis dikerutkan.
"Kalian duduklah dan mari kita bicara."
Murwendo dan Murwanti yang merasa putus asa karena cinta mereka ditolak mentah-mentah itu lalu duduk bejajar dan Harwojo duduk di depan mereka.
"Jadi kiranya Andika berdua ini adalah putera-puteri Sang Prabu Bandardento di Puger?"
Tanya Harwojo dengan suara lirih.
"Harap Andika suka merahasiakan hal ini,"
Kata Murwendo.
"Jangan khawatir. Andika berdua dapat percaya kepada saya karena kita mempunyai kepentingan bersama dan harus saling bantu-membantu. Ketahuilah Pangeran....."
"Sementara ini sebut saja namaku Murwendo."
"Baik dan maafkan saya, Murwendo. Ketahuilah kalian berdua bahwa saya adalah seorang utusan dari kerajaan Mojopahit...."
"Ahhh......!"
Kakak beradik kembar itu memandang dengan mata terbelalak.
"Saya adalah orang kepercayaan dari Pangeran Pati Kolo Gemet di Mojopahit. Gusti Pangeran bersama Gusti Ratu yang mengutus saya untuk secara rahasia melakukan penyelidikan di Lumajang, karena saya adalah seorang pembantu rahasia yang tidak akan dikenal orang di sini."
"Hemm, kiranya begitu? Dan apa kehendakmu menghubungi kami?"
Murwanti yang kini tertarik hatinya melupakan kesedihannya, bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Saya diutus untuk menyelidiki hilangnya keris pusaka Kolonadah dan merampasnya kembali. Oleh karena itu, melihat bahwa Andika berdua adalah putera-puteri Kerajaan Puger yang tentu dapat mengerahkan pasukan untuk membantu saya melakukan penyelidikan, marilah kita saling membantu terlaksananya tugas saya dengan hasil baik, saya pun akan membantu Andika berdua untuk melaksanakan hasrat hati Andika berdua terhadap kakak beradik putera mendiang Bupati Tuban itu."
"Hemm, tentang keris pusaka, kiranya tidak akan sukar kalau kami mau melakukan penyelidikan, bahwa kami dapat menjanjikan bahwa kami tentu akan berhasil. Akan tetapi...."
"Benarkah itu, Murwendo? Tahukah engkau di mana adanya Kolonadah?"
Kakak beradik kembar itu saling pandang dan tersenyum.
"Jangan khawatir kataku, kami akan sanggup mencarikan pusaka itudan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi kami ingin mendengar dulu bagaimana Andika dapat membantu kami mendapatkan kekasih kami yang telah menolak cinta kasih kami itu. Dengan guna-guna?"
Kata Murwendo.
"Tidak, selain aku tidak pandai mengguna-guna, juga jangan memandang rendah orang-orang Tuban dalam hal guna-guna. Tidak akan berhasil kiranya kalau kalian menggunakan guna-guna, biarpun saya mendengar bahwa daerah Blambangan menjadi pusat orang-orang yang ahli dalam hal itu. Satu-satunya jalan untuk membawa mereka berdua ke Puger sehingga niat hati Andika berdua dapat terlaksana adalah menculik mereka!"
"Hemmm....."
Dua orang kakak beradik itu saling pandang.
"Saya dapat menduga bahwa tanpa bantuan saya pun Andika berdua tentu suatu saat akan melakukan hal itu. Akan tetapi ingat bahwa mereka berdua memilikiilmu kepandaian tinggi, apalagi karena di samping mereka ada Sulastri yang kepandaiannya lebih tinggi lagi, dan tentu saja, kalau Andika berdua tidak bekerja sama dengan saya, saya pun akan berpihak kepada mereka. Sebaliknya,kalau kita bekerja sama, Andika berdua dibantu oleh orang-orang Andika dapat menculik Joko Handoko dan adiknya, sedangkan Sulastri, serahkan saja kepada saya."
"Tapi dalam sayembara, engkau telah dikalahkan oleh Sulastri.
Harwojo tersenyum mengejek.
"Saya, Raden Harwojo adalah utusan Gusti Ratu yang dipercaya penuh, masa kalah oleh seorang wanita? Kalau saya kalah di waktu itu adalah karena saya sengaja mengalah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bagaimana,apakah Andika berdua setuju untuk bekerja sama dengan saya dan berjanji akan benar-benar menyerahkan Kolonadah kepada saya kalau Andika berhasil merampasnya?"
"Baik, Raden Harwojo,"
Kata Murwendo dan mereka lalu melanjutkan percakapan dengan bisik-bisik mengatur rencana. Dalam percakapan ini, secara terus terang Raden Harwojo mengatakan bahwa tugasnya di samping mencari dan merampas Kolonadah, juga menghancurkan atau setidaknya mengurangi kekuatan Lumajang.
"Karena Sulastri merupakan seorang kuat dan berbahaya, maka aku akan menundukkannya, membujuknya atau kalau perlu juga membunuhnya,"
Demikianlah katanya kepada kedua orang saudara kembar itu.
Demikianlah, suatu persekutuan yang berbahaya telah terjalin, persekutuan yang mengancam keselamatan Joko Handoko, Roro Kartiko, dan juga Sulastri. Bagi orang-orang seperti Murwendo, Murwanti dan Harwojo itu, tentu saja rencana mereka itu mereka anggap benar dan sudah tepat atau semestinya. Mereka bertindak demi mencapai kesenangan yang mereka idam-idamkan, dalam halnya dua saudara kembar itu tentu saja mengejar kesenangan dari kepuasan hasrat cinta yang tak lain hanyalah nafsu birahi belaka, sedangkan Raden Harwojo pada hakekatnya juga mengejar kesenangan melalui berhasilnya tugasnya, karena berhasilnya tugas ini tentu saja membuat dia dipuji oleh majikannya dan akan menerima ganjaran dan imbalan.
Segala bentuk penyelewengan dalam hidup selalu didorong atau diawali oleh pikiran yang mengenangkan segala macam pengalaman enak dan ingin mengulangnya di masa depan atau di masa mendatang. Kita lupa bahwa justru keinginan untuk mengejar atau mencapai sesuatu yang belum berada di tangan kita, sesuatu yang kita anggap lebih enak, lebih baik dan pendeknya lebih daripada yang ada sekarang, keinginan inilah yang menghancurkan nikmat hidup. Keinginan untuk mengejar sesuatu yang belum ada, sesuatu yang tak terjangkau oleh kekuatan kita,diselimuti dengan kata-kata indah seperti ambisi, cita-cita, dan lain sebagainya. Ada pula yang menganggap bahwa cita-cita ini yang mendatangkan kemajuan! Benarkah demikian? Dan apa yang kita maksudkan dengan "kemajuan"
Itu?
Mari kita membuka mata dan melihat! Tuhan telah memberi kenikmatan hidup secara berlimpah-limpah sehingga dalam segelas air putih pun terkandung kenikmatan. Air jernih itu mengandung manfaat teramat besar dan kenikmatan, merupakan nikmat hidup untuk meminumnya di waktu haus. Akan tetapi, di waktu tangan memegang segelas air jernih, lalu pikiran membayangkan es jeruk dan ingin memperolehnya padahal es jeruk itu belum ada dan tidak akan dapat kita adakan, maka, ketika itu juga lenyaplah kenikmatan dari air jernih itu. Lenyaplah nikmat hidup dalam segala sesuatu apabila pikiran ini menghendaki yang lain daripada yang ada.
Demikian pula dengan segala hal yang kita miliki, lahir maupun batin. Pikiran yang ditujukan untuk memperoleh sesuatu yang belum ada dianggap lebih sempurna daripada yang telah berada di tangan, melenyapkan keindahan dan kenikmatan dari yang telah kita miliki. Dan sekali kita menyandarkan diri kepada cita-cita,sampai kita mati pun kita tidak akan dapat menikmati sesuatu, nikmat hidup akan terus didesak minggir oleh kesenangan membayangkan kenikmatan sesuatu yang belum kita miliki.
Pejalan kaki tidak akan menikmati jalan kaki kalau dia menginginkan sepeda yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda tidak akan menikmati sepedanya kalau dia menginginkan sepeda motor yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda motor tidak akan menikmati sepeda motornya kalau dia menginginkan mobil, dan selanjutnya terus meningkat. Herankah kita kalau melihat orang-orang yang sudah muak dengan segala kendaraan itu lalu INGIN KEMBALI BERJALAN KAKI? Keinginan akan membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya, dan hidup kita menjadi hamba daripada nafsu keinginan yang tiada kenyangnya.
Tidak ingin bukan berarti menjadi malas dan acuh tak acuh. Sebaliknya malah! Segala sesuatu yang dilakukan tanpa memandang akan hasilnya, melainkan dilakukan karena kita mencintai pekerjaan yang kita lakukan itu, barulah nikmat hidup namanya! Karena cinta terhadap apa yang ada, tidak membayangkan hal-hal yang tidak ada, maka akan terciptalah hal-hal yang baru!
Karena cinta terhadap pekerjaan akan membuat kita tekun dan rajin. Sebaliknya kalau kita bekerja dengan tujuan mengejar uang misalnya, maka akan terjadilah penyelewengan-penyelewengan dalam bentuk korupsi, pencurian, penipuan, perjudian, pendeknya apa saja yang memungkinkan kita untuk cepet-cepat mendapatkan uang yang kita kejar-kejar itulah! Pernahkah ada orang besar dalam sejarah yang tadinya adalah orang yang bercita-cita menjadi orang besar? Kalau demikian, dia bukan orang besar namanya,melainkan mengejar kesenangan pribadi! Orang menjadi besar karena karyanya,bukan karena pengejaran sesuatu melainkan karena cintnya terhadap karyanya,karena cintanya itu melahirkan total dari perhatiannya.
Dapatkah kita hidup tanpa mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan yang hanya akan menyeret kita ke dalam kemaksiatan dan penyelewengan karena kita diperhamba oleh nafsu keinginan itu? Ini bukanlah berarti bahwa kita MENOLAK kesenangan. Tidak mengejar bukan berarti menolak! Dan apabila kita tidak mengejar, maka kesenangan itu terdapat disetiap saat, dan di dalam setiap hal! Kesenangan yang bukan merupakan pemuasan nafsu, karena pemuasan nafsu dalam bentuk apapun juga hanya akan menimbulkan kebosanan, pertentangan dan karenanya berakhir dengan kekecewaan dan kesengsaraan.
Setelah merasa yakin bahwa tiga di antara tiga di antara orang-orang muda yang menjadi orang-orang kepercayaan baru di Lumajang itu benar-benar dapat dipercaya,pada suatu hari Adipati Lumajang memanggil Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko dan kepada mereka ini diserahi tugas untuk menyelidiki Kolonadah dan kalau mungkin merampasnya kembali dari tangan Resi Harimurti atau siapa saja di Mojopahit yang telah merampasa keris pusaka itu.
"Kami tidak ingin memberontak, tidak ingin bentrok secara terbuka dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang kami junjung tinggi menduduki tahta kerajaan,"
Demikian antara lain Sang Adipati berkata.
"Akan tetapi Kolonadah harus dijaga agar jangan sampai terjatuh ke tangan Pangeran Kolo Gemet, seorang pangeran berdarah melayu. Maka kami mengutus kalian, dan boleh kalian membawa pasukan yang menyamar untuk menyelidiki ke Mojopahit dan berusaha mendapatkan Kolonadah itu."
Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko lalu menerima baik perintah ini dan mereka bertiga tidak membawa pasukan Lumajang, melainkan hanya membawa tujuh orang wanita para anggota Sriti Kencana. Setelah berpamit dan mohon doa restu dari Sariningrum, yaitu ibu dari Joko Handoko dan Roro Kartiko, berangkatlah tiga orang muda perkasa ini bersama tujuh orang anggota Sriti Kencana meninggalkan Lumajang. Sore hari itu, sepuluh orang utusan ini berhenti di sebuah hutan dekat perbatasan, di kaki Pegunungan Bromo sebelah timur untuk beristirahat dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena Ki Ageng Palandongan terbunuh oleh Resi Harimurti, maka jelaslah bahwa keris pusaka Kolonadah itu berada di tangannya, maka setelah tiba di Mojopahit kita harus mencari Resi Harimurti,"
Kata Roro Kartiko yang tidak lagi menyebut Sang Resi itu sebagai gurunya.
"Akan tetapi Resi Harimurti adalah pembantu dan orang kepercayaan Resi Mahapati,maka kurasa keris pusaka itu sudah berada di tangan Resi Mahapati. Sebaiknya kalau kita langsung melakukan penyelidikan ke istana Resi Mahapati,"
Kata Joko Handoko.
"Aku mengharap agar kalian suka mengesampingkan urusan dendam pribadi karena kita adalah utusan-utusan yang memikul tugas yang amat berat,"
Sulastri berkata sambil memandang kakak beradik itu berganti-ganti.
Joko Handoko menarik napas panjang.
"Harap Andika jangan salah mengerti, Diajeng Sulastri. Biarpun Ayah kami terbunuh di istana Resi Mahapati, namun kami sadar bahwa kematian Ayah adalah karena kesalahannya sendiri dan kami tidak menaruh dendam kepada siapa pun walau tentu saja kematian Ayah amat menyedihkan hati kami."
"Benar, Mbakyu Sulastri. Ketika kami bicara tentang Kolonadah dan Resi Mahapati,adalah dalam rangka tugas kita, sama sekali tidak mengandung maksud lain."
"Bagus, dan maafkan saya kalau begitu. Memang tidak keliru pendangan kalian bahwa keris pusaka itu hanya mungkin berada di antara dua orang, yaitu Resi Harimurti atau Resi Mahapati. Akan tetapi, kita harus berhati-hati dan sama sekali tidak boleh bertindak ceroboh. Di Mojopahit terdapat banyak sekali orang sakti. Resi Mahapati sendiri adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat,ditambah lagi ada Resi Harimurti di sana yang kalian sudah tahu betapa saktinya dia.
Dan jangan lupa, kini Kakang Tejo juga berada di sana. Inilah yang meragukan hatiku. Kakang Tejo amat sakti, aku sendiri tidak dapat menandinginya! Karena itu, kita harus dapat bekerja dengan hati-hati, menyelidiki secara menggelap jangan sampai bentrok dengan mereka sehingga urusan menjadi gagal. Kita melakukan penyelidikan dengan mengenakan pakaian dan topeng Sriti Kencana,dan hanya di waktu malam gelap saja. Kita mencari kesempatan dan saat yang tepat untuk turun tangan kalau sudah tahu benar di mana adanya keris pusaka itu."
Joko Handoko, Roro Kartiko dan tujuh orang anak buah Sriti Kencana itu menganggk-angguk tanda setuju.
"Awas....!!"
Tiba-tiba Sulastri meloncat berdiri dan membalikkan tubuh sambil mengepal tinju. Sembilan orang lainnya itu terkejut dan juga serentak mereka bangkit, mata mereka mencari-cari karena mereka belum tahu apa sebabnya Sulastri meloncat berdiri dengan tiba-tiba itu. Tangan meraka meraba gagang keris dan sikap mereka tegang.
Akan tetapi hati mereka mejadi tenang ketika mereka melihat siapa yang muncul dari balik pohin-pohon itu. Ternyata tiga orang yang kedatangannya telah dilihat atau didengar oleh Sulastri lebih dulu adalah Raden Harwojo, Murwendo dan Murwanti, tiga orang jagoan Lumajang yang menjadi rekan-rekan mereka pula. Sulastri segera melangkah maju menyambut mereka. Dia merupakan pemimpin rombongannya, maka dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik dia lalu menegur,
"Saudara-saudara Harwojo murwendo dan Murwanti bertiga, ada keperluan apakah Andika bertiga menyusul kami? Apakah Sang Adipati yang mengutus kalian?"
Raden Harwojo yang mukanya muram itu menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak, Sulastri. Kami bertiga tidak menyusul, melainkan sudah menanti di sini dan kami tidak diutus oleh Adipati Lumajang, melainkan kami ingin bicara dengan Andika bertiga atau lebih tepat, aku ingin bicara dengan Andika, sedangkan Murwendo dan Murwanti ingin bicara dengan Joko Handoko dan adiknya."
Sulastri memandang makin curiga.
"Harwojo di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, apa yang hendak kau bicarakan dan mengapa pula memilih waktu sekarang padahal sebelum ini banyak waktu di Lumajang?"
"Justeru sekaranglah waktunya yang tepat, Sulastri. Sebelum engkau terlambat dan menjadi seorang pemberontak dan pengkhianat aku ingin memperingatkan kepadamu bahwa amatlah tidak baik bagimu untuk memberontak terhadap Mojopahit dengan menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."
Terkejutlah hati semua orang, temasuk Sulastri. Dia menatap tajam wajah yang keruh itu dan berkata dengan suara marah.
"Harwojo! Apa yang kaukatakan ini? Kita adalah sama-sama seorang ponggawa Lumajang, mengapa engkau bicara tentang pemberontakan terhadap Mojopahit? Apakah engkau hendak mengkhianati Lumajang?"
"Hemm, aku bukanlah ponggawa Lumajang, Sulastri, melainkan seorang kawula Mojopahit, bahkan aku seorang utusan dari Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit! Oleh karena itu, aku meperingatkan agar engkau suka menghentikan kesesatanmu dan lebih baik membela Mojopahit daripada menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."
"Keparat! Kau berani membujukku seperti itu? Kau pengkhianat besar!"
Sulastri memberontak dan sudah siap menerjang. Akan tetapi Raden Harwojo mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan nyaring.
"Tahan, Sulastri! Lihatlah di sekelilingmu!"
Sulastri dan sembilan orang temannya menengok ke sekeliling dan berubah wajah mereka melihat bahwa tempat itu telah terkurung oleh puluhan orang perajurit yang dipimpin oleh dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Mereka itu seperti arca berjajar tanpa bergerak, dengan sikap yang mengandung penuh ancaman!
"Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba Murwendo berkata sambil tertawa.
"Diajeng Roro Kartiko,lihatlah betapa pasukanku telah siap untuk menyambut engkau dan kakakmu untuk pergi ke Puger. Marilah Diajeng, mari kita hidup penuh kebahagiaan di sana, engkau menjadi calon permaisuriku, ha-ha!"
Murwendo tertawa bergelak.
"Kakangmas Joko Handoko, aku mohon kepadamu, jangan engkau melawan. Marilah kulayani dengan cinta kasihku yang mendalam, Kakangmas!"
Murwanti juga berkata dengan sikap mesra dan sedikit pun tidak merasa malu memperlihatkan sikap itu di depan begitu banyak orang.
"Tidak sudi aku!"
Bentak Joko Handoko.
"Lebih baik mati!"
Seru Roro Kartiko.
"Hemm, ternyata kalian adalah pengkhianat-pengkhianat hina!"
Sulastri memaki marah.
"Adalah menjadi tugas kami untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat macam kalian!"
"Serbu......!!"
Dengan suara berbareng, Joko Handoko dan Roro Kartiko memberi komando kepada anak buahnya dan tujuh orang anggota Sriti Kencana itu bergerak tangkas membentuk lingkaran menghadap keluar untuk menyambut lawan yang amat banyak itu.
Sulastri sendiri sudah mencelat ke depan dan langsung saja mengirim pukulan Hasto Nogo yang amat ampuh kepada Harwojo. Pemuda dari Mojopahit ini cepat mengelak dan balas memukul dengan sama dasyatnya. Sulastri menangkis dan keduanya terdorong mundur, akan tetapi Sulastri terkejut karena kini dia merasa betapa tangkisan tangan Harwojo itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada ketika dia melawan Harwojo di atas panggung sayembara dahulu itu!
"Hemm, Sulastri, dulu aku sengaja mengalah kepadamu, akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak mau sadar akan kesesatanmu, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan,"
Kata Harwojo sambil mengelak dari sambaran tangan Sulastri dan membalas dengan tendangan kilat sehingga Sulastri harus mundur untuk menghindarkan tendangan itu.
"Keparat, manusia palsu! Engkaulah yang akan mampus di tanganku!"
Bentaknya sambil menerjang lagi.
Sementara itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko juga sudah menerjang maju dan Murwanti segera menyambut Joko Handoko, sedangkan Murwendo menyambut Roro Kartiko. Dua orang kakak beradik kembar itu hanya mengelak sana-sini sambil merayu sehingga dua orang muda dari Tuban itu menjadi makin muak dan marah, menyerang terus dengan sengit.
"Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, bantulah kami!"
Teriak Murwendo dan kini dua orang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang memimpin para perajurit itu meloncat maju membantu Si kembar itu.
"Akan tetapi tangkap saja, jangan sampai lukai mereka!"
Kata Murwanti.
"Semua perajurit maju!"
Teriak Murwendo.
"Tangkap sepuluh orang ini, jangan sampai mereka terluka!"
Kini pasukan yang jumlahnya mendekati seratus orang itu bergerak maju, dan dengan nekat tujuh orang anggota Sriti Kencana menyambut mereka mati-matian. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah dan dalam waktu singkat saja tujuh orang anggota Sriti Kencana telah dapat diringkus semua dan kaki tangan mereka diikat.
Joko Handoko dan adiknya mengamuk dengan keris mereka sehingga Murwendo dan Murwanti merasa kewalahan. Akan tetapi dua orang laki-laki setengah tua itu ternyata hebat sekali. Seorang di antara mereka yang bernama Padas Gunung memegang sebatang suling yang ampuh, sedangkan Pragalbo juga menggunakan kerisnya untuk menangkis serangan-serangan Roro Kartiko, sedangkan Murwendo dan Murwanti hanya membantu dan mencari kesempatan untuk meringkus orang yang mereka cinta tanpa melukai mereka. Betapa pun mereka berdua mengamuk dengan nekat, namun ketika keris mereka terlepas oleh tangkisan suling dan keris Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang kakak beradik ini akhirnya dapat diringkus pula dan diikat kaki tangan mereka.
"Murwendo, engkau sudah gila! Lepaskan aku!"
Joko Handoko meronta dan memaki.
Sambil tertawa Murwanti memeluknya dan mengelus dagunya.
"Tenanglah, wong bagus,kelak engkau akan berterima kasih kepadaku untuk kejadian ini."
Sementara itu, pertandingan antara Sulastri dan Harwojo masih berlangsung dengan hebat. Sulastri merasa penasaran sekali karena sedemikian jauh dia belum juga dapat merobohkan lawannya dan baru sekarang dia tahu bahwa memang Harwojo kini tidak dapat disamakan dengan ketika mereka bertanding di atas panggung dahulu itu gerakan pemuda berwajah muram ini kuat dan tangkas sehingga dapat mengimbangi serangan-serangannya walaupun dia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Betapa pun juga, ketika Sulastri mengerahkan Aji Turonggo Bayu sehingga tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, Harwojo menjadi sibuk juga dan dia lebih banyak menangkis untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan lawan itu daripada balas menyerang. Melihat bahwa dalam hal kecepatan saja dia lebih unggul, Sulastri yang cerdik tentu saja girang dan hendak menggunakan kecepatannya itu untuk meraih kemenangan. Dia menyerang terus dengan cepat dan mulailah dia mendesak lawan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras dan sebatang suling menyambar ke arah pundaknya. Sulastri terkejut, cepat mengelak dan kakinya melayang ke arah pemegang suling. Akan tetapi Padas Gunung, si Pemegang Suling itu, cepat mengelak dan sulingnya terus diputar untuk menyerang Sulastri dan membantu Harwojo. Padas Gunung maju atas perintah Murwendo.
(Lanjut ke Jilid 25)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
Pertempuran menjadi makin seru ketka Sulastri dikeroyok dua oleh Harwojo dan Padas Gunung. Namun dara perkasa ini tidak menjadi jerih. Sebaliknya malah,melihat betapa teman-temannya tertawan, dia menjadi marah sekali dan dicabutnyalah sebatang keris pemberian Adipati Lumajang. Maka mengamuklah Sulastri, dari mulutnya terdengar bentakan-bentakan nyaring dan gerakannya makin cepat sehingga biar pun dia dikeroyok dua namun tetap saja dia masih mampu mendesak Harwojo, bahkan pada suatu saat yang baik, tamparan tangan kirinya yang menyerempet bahu Padas Gunung membuat tokoh Puger terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
"Trik-trik-sringgg.....!!"
Bunga api berpijar ketika berkali-kali keris di tangan Sulastri bertemu dengan keris di tangan Harwojo yang menangkisnya. Pada saat itu, Padas Gunung yang menjadi marah telah menerjang lagi, sulingnya mengeluarkan bunyi mendesing ketika menyambar ke arah leher Sulastri. Gadis ini terkejut karena serangan yang datang dari samping itu cepat dan berbahaya sekali, maka dia menjatuhkan diri ke kanan, kakinya menendang untuk mencegah lawan mendesaknya. Akan tetapi pada saat itu, ada bayangan hitam yang lebar menyambar dan lain saat tubuh Sulastri telah tertutup oleh sehelai jala yang berwarna hitam. Jala ini dilepas oleh Pragalbo,laki-laki bermuka hitam, tokoh ke dua dari Puger. Pragalbo turun tangan membantu setelah diperintah oleh Murwendo pula yang melihat betapa hebatnya Sulastri biarpun sudah dikeroyok oleh dua orang namun masih tetap mengamuk dan membuat Padas Gunung terhuyung itu.
"Ihhhhh.....!!"
Sulastri membentak dan biarpun tubuhnya diselimuti jala itu, dia meronta dan kakinya menendang dari dalam jala.
"Desss......!!"
Pragalbo terpaksa mundur karena tendangan itu berbahaya sekali,dan Harwojo cepat menghantam dari belakang, menggunakan tangan kirinya, mengarah tengkuk Sulastri.
"Plakkk! Heiiiiittt....!!"
Sulastri berhasil mengkis pukulan itu dengan tangan kirinya sambil membalik, namun gerakannya terhalang oleh jala sehingga tetap saja pundaknya kena terpukul. Dia terhuyung dan menggunakan kerisnya untuk membabat jala. Akan tetapi pada saat itu, jala ke dua dilempar ke atas tubuhnya.
Sulastri meloncat namun kakinya terlibat jala dan ketika Pragalbo menarik tali jala dengan sentakan keras, tak dapat dicegah lagi tubuh dara itu terguling dan diringkus oleh jala. Harwojo menubruknya dan menekuk kedua lengan gadis itu ke belakang lalu membelenggunya, demikian pula Padas Gunung cepat mengikat kedua kaki Sulastri. Dara itu tidak dapat meronta lagi, seperti seekor harimau yang sudah terjebak di dalam jala dengan kaki tangan teringkus dan terbelenggu.
"Pengkhianat! Keparat-keparat berhati palsu! Jahanam.....!"
Sulastri memaki-maki,akan tetapi tidak mereka tidak memperdulikannya.
"Murwendo dan Murwanti, harap jangan melupakan janji kalian,"
Kata Harwojo kepada dua orang kakak beradik kembar itu.
"Jangan khawatir, Harwojo,"
Jawab Murwendo.
"Dan sekarang kami akan membawa mereka ke Puger."
"Pergilah, akan tetapi seperti yang kalian janjikan, kalian tidak boleh sekali-kali menyia-nyiakan mereka! Ingat, aku yang membantu kalian mencapai apa yang kalian idam-idamkan."
"Ha-ha-ha, perlukah engkau bertanya lagi? Kami berdua amat cinta kepada mereka. Dan bagaimana dengan dia? Akan kami bawa sajalah dia itu bersama ke Puger?"
Murwendo menunjuk ke arah Sulastri yang masih rebah terbelenggu di dalam jala.
Harwojo menggeleng kepala.
"Dia tidak masuk dalam perjanjian kita. Serahkan saja dia kepadaku."
"Hik-hik, agaknya engkau pun tidak mau ketinggalan dari kami, Harwojo. Selamat menikmati...."
"Ha-ha-ha, dia memang cantik jelita dan......"
"Cukup! Jangan kalian bicara yang bukan-bukan! Pergilah!"
Harwojo tiba-tiba menghardik dan dua orang kakak beradik kembar itu sambil tertawa-tawa lalu masing-masing memanggul tubuh Joko Handoko dan Roro Kartiko, meloncat ke atas punggung kuda yang sudah dipersiapkan oleh orang-orangnya dan tak lama kemudian,pergilah dua orang saudara kembar itu membawa semua tawanannya, diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo. Harwojo memandang mereka sampai mereka itu lenyap dan hanya meninggalkan debu yang memenuhi hutan yang mulai gelap itu. Kemudian dia duduk di atas rumput dekat Sulastri yang masih meringkuk dalam keadaan tak berdaya di dalam jala.
"Harwojo manusia keparat!"
Sulastri memaki dengan marah.
"Engkau curang, licik dan tak tahu malu! Hayo kau bebaskan aku dan kita boleh bertanding sampai salah seorang di antara kita mengeletak tanpa nyawa di sini kalau engkau memang jantan sejati! Atau kalau tidak, kau boleh cabut kerismu dan bunuh aku sekarang, dan aku kan mati sambil mengenangmu sebagai seorang manusia pengecut yang hina-dina!"
Harwojo menghadapi maki-makian Sulastri dengan tenang saja, hanya menarik menarik napas panjang dua tiga kali dan mengerling ke arah gadis itu dengan sikap tak acuh. Kemudian dia berkata setelah gadis itu dengan memaki-maki lagi.
"Sulastri, kalau aku tidak sayang kepadamu, apa kau kira saat ini engkau masih hidup?"
"Jahanam besar! Siapa yang haus akan sayangmu? Siapa yang takut mati? Kau mau bunuh aku lekas bunuh, aku tidak sudi minta-minta belas kasihanmu, pengkhianat keji!"
Harwojo menggeleng-geleng kepalanya.
"Engkau memang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh mengagumkan sekali bagi seorang wanita semuda engkau. Akan tetapi engkau masih muda, keras hati dan keras kepala, ceroboh dan nekat."
"Dan engkau seorang penjahat yang berhati palsu, laki-laki mata keranjang dan busuk!"
Alis pemuda itu berkerut dan ia cepat menoleh kepada gadis itu.
"Hemm, jangan samakan aku dengan orang macam Murwendo tadi! Jangan kira aku sayang kepadamu karena engkau seorang perawan cantik! Sama sekali tidak! Aku sayang padamu melihat kepandaianmu karena engkau akan menjadi seorang yang berguna bagi Mojopahit. Namun engkau telah tersesat, menghambakan diri kepada Lumajang,kepada sarang pemberontak."
"Dan kau sendiri? Phuh, muak aku mendengarnya!"
"Engkau memang bodoh akan tetapi keminter (berlagak pinter)! Aku adalah utusan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit, aku menyamar sebagai seorang peserta sayembara, untuk menyelidiki Lumajang, untuk mencari Kolonadah."
"Hemm.....dan kau menjerumuskan Joko Handoko dan Roro Kartiko ke dalam jurang kecelakaan, dan engkau menangkap aku.....!"
"Tentu saja. Tugasku untuk menghancurkan kekuatan yang mendukung Lumajang. Dan Joko Handoko bersama adiknya adalah pelarian-pelarian Mojopahit, anak-anak dari Progodigdoyo. Masih baik aku tidak membunuh mereka, dan aku melihat nasib mereka tidak akan sengsara di Puger sana. Dan kau.... hemm, aku hanya ingin agar engkau sadar daripada kesesatanmu, dan marilah kau ikut denganku ke Mojopahit,menghambakan diri kepada Mojopahit sehingga tidak akan percuma engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi."
"Tak usah kau pura-pura baik. Bebaskan aku dan mari kita bertanding secara jujur, ingin kulihat sampai di mana kedigdayaanmu, Harwojo!"
Pada saat itu, sebelum Harwojo sempat menjawab, terdengar suara nyaring.
"Adi Bromo, aku datang membantumu!"
"Kakang Tejo....!"
Harwojo sudah meloncat berdiri akan tetapi dia harus cepat membuang diri ke samping karena Sutejo telah menerjang dengan dahsyat. Harwojo membalik dan balas memukul, ditangkis oleh Sutejo dan terjadilah perkelahian yang hebat antara dua orang pemuda yang sama tangkas dan sama digdaya ini. Pukul memukul terjadi,tendang-menendang dan tampar-menampar, masing-masing mengeluarkan aji kesaktian mereka, desak-mendesak dan saling berusaha untuk merobohkan lawan. Sementara itu, malam mulai menggulung hutan itu dalam kegelapan. Namun mereka yang berkelahi tidak menghiraukan kegelapan dan biarpun pandang mata mereka tidak lagi dapat diandalkan dalam perkelahian itu, mereka yang merupakan orang-orang terlatih masih dapat mengandalkan ketajaman pendengaran dan perasaan mereka. Akan tetapi Harwojo yang menyangka bahwa lawannya adalah orang Lumajang dan karenanya membela diri mati-matian, akhirnya harus mengakui keunggulan lawan setelah dia mempertahankan diri selama seperempat jam perkelahian mati-matian di mana dia telah mengeluarkan segala ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Akhirnya, dalam keadaan lemas dan lelah sekali karena sebelumnya dia sudah harus bertanding melawan Sulastri yang juga tidak mudah dia robohkan, sebuah tamparan dari tangan kiri Sutejo mengenai lehernya dan dia terpenting roboh dalam keadaan setengah pingsan. Dia mencoba bangun, akan tetapi hanya berhasil bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening dan pandang matanya berkunang-kunang. Ketika Sutejo menghampiri, terdengar Sulastri berteriak,
"Kakang Tejo, jangan bunuh dia!"
Sutejo menoleh, tentu saja dia tidak mempunyai niat membunuh lawannya yang tangguh dan yang sudah dikalahkannya itu. Pemuda ini seperti kita ketahui datang dari Gunung Bromo di mana dia berpisahan dengan Resi Harimurti yang menuju ke barat, kembali ke Mojopahit. Sutejo menuju ke Lumajang dan kebetulan sekali ketika dia tiba di dalam hutan itu dan berniat untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di dalam hutan, dia mendengar suara yang amat dikenalnya, suara Bromatmojo yang lantang dan galak! Tentu saja dia merasa terkejut sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu tanpa memperdulikan kaki tangannya tergores-gores duri yang dilanggarnya karena hutan itu sudah diliputi kegelapan remang-remang.
Dan ketika dia melihat Bromatmojo rebah tak berdaya dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan digulung jala pula, tentu saja Sutejo menjadi marah dan dia lalu menyerang laki-laki yang berada di dekat Bromatmojo dan yang tadi dimaki-maki dan ditantang-tantang olehnya. Kini mendengar Sulastri berteriak mencegahnya agar dia jangan membunuh laki-laki itu, Sutejo cepat menghampiri Sulastri, menggunakan kerisnya untuk membabat jala dan belenggu kaki tangan sehingga gadis itu bebas dari ikatan.
"Siapakah dia.... Adi....Bromo?"
Sutejo memandang Sulastri yang masih seperti dulu, berpakaian seperti seorang pemuda tampan.
Kini setelah bebas, Sulastri teringat bahwa yang membebaskannya ini adalah Sutejo, bukan lagi Sutejo sahabatnya yang dahulu, melainkan Sutejo kaki tangan Resi Mahapati! Oleh karena itu, sikapnya berubah menjadi dingin, dan dengan suara kaku dia menjawab.
"Apakah engkau tidak mengenal dia? Dia bernama Harwojo dari Mojopahit!"
Sutejo menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal orang yang bernama Harwojo. Mengapa dia berada di sini dan engkau terbelenggu?"
Sulastri duduk di atas akar pohon, hatinya masih panas, panas terhadap Harwojo dan juga panas terhadap Sutejo yang kini telah berdiri di pihak musuhnya.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tanyalah sendiri kepadanya."
Sutejo merasa tidak enak mendengar suara Bromatmojo yang kaku itu, akan tetapi dia mendekati Harwojo yang sudah duduk dan tidak lagi menggoyangkan kepalanya karena kepeningan kepalanya sudah mereda.
"Kisanak, siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi..... Adi Bromatmojo?"
Harwojo mengangkat mukanya dan memandang wajah Sutejo yang kelihatan remang-remang tertimpa cahaya bulan yang mulai muncul itu dengan penuh kagum. Baru sekali ini dia bertemu lawan yang benar-benar tangguh, di samping Sulastri.
"Saya bernama Harwojo dan saya utusan dari Gusti Ratu Pangeran Pati di Mojopahit. Saya diutus untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang kabarnya berada di tangan orang-orang Lumajang. Dan kau siapakah, orang muda yang gagah perkasa?"
"Aku.... namaku Sutejo."
"Dan dia adalah adik ipar dari Resi Mahapati,"
Sulastri melanjutkan.
"Ahhh.....! Kiranya begitu?"
Harwojo berseru kaget.
"Maafkan aku karena aku tidak tahu siapa engkau maka aku menyerangmu, Kisanak. Pula, melihat Adi Bromo...."
Sutejo tidak melanjutkan kata-katanya.
"Aku meresa menyesal sekali harus menangkapnya, akan tetapi sungguh aku tidak berniat buruk terhadap dia, aku hanya hendak membujuk agar dia tidak membantu pemberontak. Karena kita belum saling mengenal, maka ketika engkau menyerang,aku tentu saja mengira engkau seorang ponggawa Lumajang pula yang belum kuketahui."
Sutejo menarik napas panjang.
"Kalau begitu tugas kita sama. Aku pun sedang menyelidiki Kolonadah dan hendak pergi ke Lumajang."
"Kalian ini hamba-hamba Mojopahit yang bodoh!"
Tiba-tiba Sulastri berkata dengan nada mengejek.
"Dan engkau Sutejo, engkau pun telah dibodohi orang dengan mudah! Kuberi tahu kalian bahwa Kolonadah tidak berada di Lumajang, melainkan berada di tangan orang Mojopahit!"
"Ah, mana mungkin....?"
Sutejo dan Harwojo berseru kaget.
"Memang kalian bodoh! Kalau sudah berada di Lumajang, perlu apa Adipati Wirorojo mengutus aku untuk menyelidikinya dan mencarinya di Mojopahit? Keris itu sudah berada di tangan Resi Harimurti! Tadinya memang keris pusaka itu dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan dari Tuban, untuk dibawa ke Lumajang. Akan tetapi di tengah jalan, Ki Ageng Palandongan diserang oleh Resi Harimurti!"
"Akan tetapi..... menurut Gusti Ratu, sampai sekarang tidak ada yang menyerahkan keris pusaka itu!"
Kata Harwojo.
"Hemm, kalau keris sudah berada di tangan Resi Harimurti, tentu diserahkan kepada Resi Mahapati, bukan kepada Sri Ratu!"
Kata Sulastri.
"Akan tetapi, Resi Mahapati adalah tangan kanan Gusti Ratu, dan Resi Mahapati juga belum menyerahkan keris pusaka itu,"
Bantah Harwojo.
"Dan menurut cerita Resi Harimurti, biarpun dia telah berhasil merampas keris dari tangan Ki Ageng Palandongan, akan tetapi orang-orang Lumajang telah berhasil merampas dari tangannya pula,"
Kata Sutejo.
"Aneh!"
Sutejo dan Harwojo berkata hampir berbareng dan ketiganya duduk termenung dengan bingung. Keris pusaka itu tidak berada di tangan Resi Harimurti seperti yang disangka oleh Sulastri, tidak juga berada di tangan Orang-orang Lumajang. Lalu di mana? Siapa yang merampasnya dari tangan Resi Harimurti?
"Apakah ada yang menyaksikan ketika keris itu dirampasnya dari tangan Resi Harimurti?"
Sulastri bertanya tanpa menujukannya kepada orang tertentu.
"Tidak,"
Sutejo menjawab dengan alis berkerut.
"Menurut penuturannya, dia seorang diri ketika keris itu dirampas orang-orang yang menggunakan akal mengeroyoknya."
"Huh,kalau begitu kalian dibohongi oleh Resi jahanam itu!"
Harwojo lalu bangkit berdiri.
"Maafkan saya...., kalau begitu saya harus cepat pulang ke Mojopahit untuk melaporkan hal ini........."
Baik Sulastri mau pun Sutejo tidak menjawab apa-apa, juga tidak mencegah ketika Harwojo meninggalkan tempat itu. Mereka berdua masih duduk berhadapan di atas tanah sampai lama setelah Harwojo tidak tampak lagi dan tidak terdengar suara apa-apa kecuali jangkerik dan belalang yang riuh rendah menghidupkan suasana yang sunyi di dalam hutan itu. Bulan sudah naik agak tinggi dan karena tempat mereka duduk merupakan tempat terbuka yang cukup luas, maka sinar bulan dapat menimpa tempat itu tanpa terhalang, mendatangkan penerangan yang cukup sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas.
"........Adi Bromo...."
Akhirnya suara Sutejo memecah kesunyian. Dia merasa canggung sekali kalau harus mengganti sebutan ini, sungguhpun kini dia sudah yakin bahwa "pemuda"
Yang berada di depannya ini adalah seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa.
Sulastri mengira bahwa Sutejo belum tahu akan rahasia pribadinya, dan teringat akan jurang yang memisahkan mereka karena pemuda ini membantu Resi Mahapati, dia lalu menjawab dengan sikap dingin dan suara kaku.
"Sutejo di antara kita tidak ada lagi hubungan persahabatan."
Wajah pemuda itu menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, kemudian dia berkata dengan suara yang bernada sedih.
"Adi Bromo, setelah segala yang kita alami bersama, mengapa....engkau bersikap seperti ini kepadaku? Tidakkah engkau sudi memaafkan aku, seandainya aku ada kesalahan terhadapmu?"
"Tidak perlu bicara tentang kesalahan dan masihkah engkau bertanya lagi mengapa aku bersikap begini, Sutejo? Lupakah engkau bahwa engkau dan aku berdiri di dua pihak yang bertentangan? Aku adalah musuhmu dan engkau adalah musuhku!"
"Adi Bromatmojo!"
Sutejo berkata sambil melangkah maju.
"Jangan kau berkat demikian. Malah kedatanganku ini sengaja hendak mencarimu. Hendak menyadarkan engkau telah menempatkan dirimu di dalam bahaya besar dan juga dalam penyelewengan yang kelak hanya akan membuatmu menyesal."
Sulastri mengerutkan alisnya.
"Hemm, engkau malah berani berkata seperti itu? Hendak menyadarkan aku? Dalam hal apakah?"
"Adi Bromo...."
Teringat bahwa yang diajaknya bicara dengan sebutan pria itu sebetulnya adalah seorang dara, Sutejo tidak berani lama-lama menentang wajah Sulastri dan ia melanjutkan sambil menunduk, dan hanya sekali-kali saja mengangkat muka memandang.
"Aku mendengar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada adipati di Lumajang, bahkan engkau sendiri tadi mengatakan bahwa engkau menjadi utusan Sang Adipati untuk mencari keris pusaka Kolonadah. Adi Bromo.....hendaknya engkau insaf dan menyadari bahwa engkau telah tersesat......"
Mendengar ucapan itu, otomatis kedua tangan Sulastri bergerak naik ke pinggangnya dan sepasang matanya memandang marah. Mulutnya tersenyum mengejek, senyum yang sudah amat dikenal oleh Sutejo, senyum yang akan keluar kalau temannya itu sedang mengkal hatinya.
"Aku? Tersesat? Memang aku menghambakan diri kepada Adipati Wirorojo, Adipati Lumajang. Tidak tahukah engkau siapa beliau? Beliau adalah seorang yang arif bijaksana, seorang pemimpin sejati. Kenapa kau berani mengatakan aku tersesat?"
"Ah, itulah salahnya, Adi Bromo. Engkau tidak sadar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada pemberontak."
"Sutejo jangan sembarangan menuduh. Adipati Wirorojo bukanlah pemberontak!"
"Memang belum memberontak, akan tetapi di sanalah ditampungnya semua orang yang memusuhi Mojopahit. Semua bekas pengikut Ronggo Lawe, pengikut Lembu Sora, semua pergi ke Lumajang, bahkan bekas-bekas perejurit mereka pun kini menjadi perajurit Lumajang. Apakah itu bukan suatu bukti bahwa Lumajang adalah sarang pemberontak?"
"Huh,hati dan pikiranmu memang sudah diracuni oleh Resi Mahapati, Sutejo! Maka wawasanmu juga ngawur! Telingaku sendiri yang mendengar ucapan keluar dari mulut Sang Adipati Lumajang baru beberapa hari yang lalu bahwa Beliau tidak ingin memberontak, bahkan tidak ingin bentrok dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang Beliau junjung tinggi itu menduduki tahta kerajaan. Akan tetapi Beliau tidak setuju kalau Kolonadah terjatuh ke tangan Pangeran Kolo Gemet. Dan engkau tahu siapa gerangan pangeran itu? Pangeran berdarah Melayu, dan Resi Mahapati justeru berhamba kepada Pangeran itu! Orang-orang Lumajang bukan berjiwa pemberontak, bahkan amat mencintai Mojopahit dan Sang Prabu. Hanya membenci para ponggawa Mojopahit yang jahat dan sewenang-wenang itu."
"Hemm, tentu saja mereka tidak mau mengaku, Adi Bromo. Tidak ada maling yang mengaku pencuri, tidak ada perampok mengaku begal, tidak ada orang bersalah mengaku tidak benar. Adipati Lumajang sudah mambuktikan dengan sikapnya yang tidak mau tunduk lagi kepada Sang Prabu di Mojopahit yang seharusnya ditaati oleh semua kawula Mojopahit yang setia."
"Kawula Mojopahit yang setia? Huh, kau anggap orang-orang macam Resi Mahapati dan Resi Harimurti itu orang-orang yang baik? Betapa engkau sudah buta!"
"Aku tidak peduli akan pribadi mereka, selama mereka tidak menggangguku dan tidak melakukan kejahatan di depan mataku karena kalau demikian halnya, tentu aku akan menentangnya. Aku harus setia kepada Mojopahit dan karena kulihat Resi Mahapati dan Resi Harimurti setia kepada Mojopahit, maka aku rela membantu. Coba Resi Mahapati memberontak terhadap Mojopahit, biar dia kakak iparku sendiri,sudah pasti akan kulawan. Karena itu, Adi Bromo, marilah engkau kembali ke jalan benar, jalan satria utama yang tidak akan keliru dalam menentukan langkah,membela yang benar dan setia kepada kerajaan. Mari kita bersama kembali dan kita melihat dengan mata sendiri siapa yang tidak benar, kita lawan bersama."
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo