Kemelut Di Majapahit 25
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Wah, sungguh engkau telah mabok, Sutejo! Mabok oleh bujuk rayu Resi Mahapati! Muak aku mendengar semua kata-katamu, kata-kata yang tentu telah diatur sebelumnya oleh Resi keparat itu! Nah, kita sekarang berhadapan sebagai musuh. Tidak perlu banyak cakap lagi, Sutejo. Engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati yang dibenci dan dimusuhi oleh Adipati Lumajang, dan aku adalah seorang pengawal dari Adipati Lumajang. Engkau berada di sini tentu sebagai mata-mata Resi Mahapati, maka hayo kita menentukan kebenaran melalui kepandaian. Kau sambutlah!"
Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang ke depan dan menyerang Sutejo dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa saktinya pemuda ini.
"Eh, eh, nanti dulu ....!"
Sutejo mengelak dan mundur ke belakang, menghindarkan diri dari sambaran tangan yang kecil namun mengandung hawa pukulan dan tenaga sakti yang ampuh itu.
"Sutejo, sudah jelas engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati dan aku adalah ponggawa Lumajang. Di antara kita terdapat permusuhan besar, dan dalam memperebutkan Kolonadah pun kita akan berhadapan sebagai musuh."
"Adi Bromo, nanti dulu, mari kita bicara dulu.....!"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sambutlah, atau minggatlah kau dari sini!"
Sulastri yang merasa amat kecewa dan penasaran melihat Sutejo berkukuh dalam pendiriannya membenarkan Resi Mahapati, sudah menerjangnya lagi dengan dahsyat dan sungguh-sungguh karena kekecewaan hatinya itu mendatangkan kemarahan besar.
Sutejo yang dikagumi, yang amat disukai, yang dianggap sebagai sahabat paling baik di dunia ini dan yang sedetik pun tidak penah dilupakannya, Sutejo telah mengecewakan hatinya dengan menjadi kaki tangan Resi Mahapati! Dan yang lebih mengecewakan hatinya lagi adalah kenyataan yang memaksa pemuda itu membantu Resi Mahapati yang dibencinya, yaitu bahwa pemuda itu adalah adik ipar dari Sang Resi itu. Inilah yang membuatnya kecewa dan marah sehingga kini dia menyerangnya kalang kabut untuk melampiaskan rasa penasaran dan kekecewaan hatinya.
Sutejo terkejut menghadapi serangan Sulastri karena dia maklum bahwa dara itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Dahulu, pernah temannya ini menyerang dan memaksanya berkelahi, dan bairpun murid dari Gunung Bromo ini amat sakti, namun dia masih dapat mengatasinya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat membendung semua serangan kilat itu dan balas menyerang. Akan tetapi, setelah kini tahu bahwa yang menyerannya ini adalah seorang dara, bagaimana dia tega untuk melawannya? Pula, rasa suka dan sayangnya kepada Bromatmojo yang tadinya dianggap sebagai sahabatnya yang terbaik, kini mengalami perubahan besar setelah dia tahu bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dia sendiri masih belum dapat menentukan apakah perubahan itu dan bagaimana kini perasaan hatinya terhadap Sulastri, akan tetapi yang sudah jelas tidak mungkin baginya untuk melawan Sulastri, apalagi mencoba untuk merobohkan dara ini! Maka dia pun hanya mengelak dan menangkis saja, dan tangkisan ini pun dilakukannya tanpa pengerahan tenaga sakti sepenuhnya karena dia khawatir kalau-kalau tangkisan yang keras akan melukai lengan atau tangan dara itu! Akan tetapi dia lupa bahwa Sulastri bukanlah seorang lawan yang sembarangan saja.
Bahkan dia yang telah memiliki kesaktian tinggi, dibandingkan dengan dara itu hanya menang sedikit saja. Oleh karena itu, mana mungkin dia mengadapi amukan Sulastri hanya dengan elakan dan tangkisan yang dibatasi tenaganya? Apalagi karena Sulastri, dara yang berhati baja itu, ketika malihat sikap Sutejo yang hanya mengelak dan menangkis, merasa dipandang rendah dan hina, maka serangan-serangannya menjadi semakin menghebat dan dara itu telah mainkan Ilmu Hasto Bairawa dan mengisi kedua tangannya dengan hawa sakti dari Hasto Nogo, terutama tangan kirinya yang setiap menyambar mengeluarkan suara bersiutan keras itu.
Sutejo masih tetap mengelak dan menangkis, akan tetapi ketika Sulastri mendesak,dia kalah cepat. Tamparan Hasto Nogo tangan kiri Sulastri menyusul serangan tangan kanannya yang tertangkis. Tangan kiri yang ampuh itu menyambar ke arah pelipis Sutejo. Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan tamparan itu masih mengenai pangkal lehernya dekat pundak kanan.
"Plakkk.... uhhh....!!"
Tubuh Sutejo terpelanting dan ia roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Yang terakhir kelihatan oleh Sutejo hanyalah wajah Sulastri yang berputar-putar, dengan sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak dan telinganya mendengar jerit tertahan, kemudian gelaplah semua baginya dan dia merasa betapa dia hanyut di air bengawan yang sedang banjir.
Tubuhnya seperti tersedot ke bawah dan tenggelam dan biarpun dia sudah berusaha untuk timbul ke permukaan, namun tetap saja dia tenggelam lagi. Pergulatan melawan air ini berjalan lama sekali dan agaknya kepalanya tertumbuk batu karena tiba-tiba terasa berdenyut-denyut nyeri bukan main.
Dia tidak kuat lagi dan menghentikan rontaannya, membiarkan dirinya hanyut terbawa air bengawan yang sedang banjir. Dia merasa dihanyutkan ke pinggir,napasnya terhenti dan rasa nyeri sudah hampir lenyap ketika dia mendengar suara sayup-sayup, suara orang memanggil-manggilnya. Karena dia mengenal baik suara itu, maka dia mengerahkan tenaga terakhir untuk mendengarkan, untuk melawan kekuatan dahsyat yng menyeretnya agar dia dapat menangkap kata-kata dari suara yang amat dikenalnya ini.
"Kakang Tejo.....! Kakang Tejo....!!"
Sutejo merasa berada di dalam sebuah jurang atau sumur yang amat dalam dan amat gelap. Akan tetapi suara itu mendorongnya, menariknya agar dia keluar dari jurang gelap itu. Dia seperti meraba-raba dalam gelap, hanya suara itu yang menjadi pedomannya keluar dari dalam kegelapan yang menelannya.
"Kakang Tejo... kau maafkan aku, Kakang...."
Sutejo merasa terheran-heran mendengar suara ini, suara yang disambung dengan isak tangis! Dia mengenal suara itu, tentu saja. Suara siapa lagi yang renyah itu kalau bukan suara Bromatmojo? Akan tetapi Bromatmojo menangis? Pemuda yang gagah perkasa itu, yang tidak mengenal takut, kini menangis terisak-isak? Aneh!
"Kakang Tejo....., jangan kau mati, Kakang......, kalau kau mati, aku pun tidak sudi hidup sendirian.........Kakang Tejo......!"
Tubuhnya diguncang-guncang dua tangan dan suara tangis itu makin menjadi.
Akan tetapi, dia teringat betapa Bromatmojo memusuhinya, menyerangnya dan menamparnya. Ingatan ini membuat hatinya sedih bukan main dan mengendurkan lagi semangatnya untuk bangkit dari kegelapan. Biarlah dia mati saja, pikirnya dan kembali dia ditelan kegelapan jurang itu.
"Kakang Tejo.....aduhh, Kakang..... bangunlah..... tidak tahukah engkau bahwa aku cinta padamu....? Kakang...."
Ucapan itu seperti halilintar menyambar dan menerangi jurang yang gelap itu!
Kini teringatlah dia bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dan apa yang diucapkan Sulastri tadi? Ah, dia tidak percaya! Akan tetapi, kini Sulastri menangis di atas dadanya, tidak mengguncang-guncang lagi dengan tangan, akan tetapi tubuh dara yang menangis itu sudah terguncang-guncang sehingga tubuhnya sendiri ikut terguncang pula.
"......aku cinta padamu, Kakang Tejo........... aku cinta padamu dan aku yang membunuhmu......"
Tangis itu makin mengguguk kini dan Sutejo merasa betapa muka yang halus itu melekat pada mukanya, betapa air membasahi pipinya. Air mata!
Sulastri menangis dan menciuminya! Kini gadis itu kembali menangis di atas dadanya. Dengan halus kedua tangannya mengusap kepala itu, dan terdengar pula suaranya,kedengarannya aneh bagi telinganya sendiri, karena suaraya gemetar.
".....jangan menangis....., jangan kau menangis....."
Sulastri mengangkat mukanya dari atas dada Sutejo, dengan kedua mata basah dan pipi kemerahan dia memandang wajah Sutejo.
"Kakang Tejo....."
Dia berseru girang bukan main.
"Kau.... kau..... tidak mati....??"
Sutejo membuka matanya. Kedua tangannya kini merangkul leher itu.
"Belum, Diajeng....... aku nyaris mati akan tetapi suaramu memanggilku kembali...."
"Kakang kau menggeletak dengan muka pucat, tak bernapas lagi, tadi aku yakin bahwa engkau tentu telah tewas..... ahhh, olah pukulan Hasto Nogo yang terkutuk......, betapa khawatir aku....."
"Jangan khawatir, Nimas. Aku tidak mati dan kau.....Diajeng Sulastri...."
"Ehh.....?"
Sulastri terbelalak.
"Kau....kau sudah tahu.... bahwa aku......"
Sutejo bangkit duduk dan kedua tangannya masih merangkul pinggang dan leher dara itu. Dia mencoba tersenyum.
"Aku.... telah menduganya.... eh, aku telah mengetahuinya..... Sulastri....aku... aku pun cinta kepadamu, Diajeng....."
"Apa....??"
Sulastri meronta dan melompat berdiri.
"Kau... kau... tadi mendengar semua kata-kataku?"
Mata itu terbelalak lebar sekali, mukanya menjadi pucat lalu merah sekali.
"Aku...... berada di jurang gelap..... tiba-tiba mendengar suaramu memanggil.....dan pernyataan cintamu......."
"Kau pura-pura mati! Kau.... ah, kau tak tahu malu.....! Kau menyalahgunakan penyesalanku, pura-pura mati dan memancing aku membuka rahasia hati.... saking menyesalku memukulmu.... ah, kau.... kau.....!"
Dara itu menangis lagi, menangis karena marah!
"Ah, Sulastri, tidak....... sama sekali tidak......! Aku memang hampir mati.... kiraku tentu mati kalau tidak ada engkau yang memanggilku...... Sulastri, aku.... cinta padamu, baru sekarang kusadari benar hal ini. Sulastri, ah, jangan kau memandang kepadaku dengan marah seperti itu...."
Dan sutejo bangkit berdiri akan tetapi dia terguling pula, kepalanya berdenyutan dan pandang matanya gelap,berkunang-kunang dan dia roboh seperti tadi. Kini pingsan kembali untuk ke dua kalinya.
Ketika Sutejo siuman kembali. Seketika dia teringat kepada Sulastri dan bangkitlah dia, menengok ke sana-sini akan tetapi tempat itu kosong, sekosong hatinya karena Sulastri tidak nampak di situ. Dirabanya pangkal lehernya dekat pundak itu dan ternyata bekas pukulan itu telah diberi obat dan dibalut. Siapa lagi kalau bukan Sulastri yang mengobatinya. Akan tetapi dia tidak ada lagi!
"Ah, Sulastri........, Sulastri.....!"
Dia mengeluh dan memanggil-manggil.
"Aku di sini, Kakang Tejo!"
Sutejo cepat bangkit berdiri, biar pun lehernya terasa agak nyeri namun dia tidak peduli dan dia menengok. Terbelalak dia memandang, terpesona ketika melihat seorang dara cantik jelita berdiri di bawah pohon, agaknya baru datang dan tangan kirinya membawa sesisir pisang yang sudah matang, tangan kanannya membawa kelapa muda. Bukan main cantiknya dara itu.
"Sulastri.....!!"
Mereka berdua melangkah dan saling menghampiri, pandang mata mereka melekat.
"Kakang Tejo, kau.... maafkan aku?"
Bibir itu berbisik dan mata itu masih sayu karena habis menangis.
"Sulastri, tentu saja. Kau tidak bersalah, bahkan sudah selayaknya aku kau pukul mati! Kau.... ah, Lastri..... betapa..... betapa cantiknya engkau.......!"
"Kakang, ini kucarikan pisang dan kelapa muda untukmu. Air kelapa muda ini baik sekali untuk cepat menyembuhkan bekas pukulan itu, Kakang...."
Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan itu semua dan kini dia sudah berdiri dekat di depan Sulastri dan merangkul pinggang dara itu, menariknya dekat-dekat dengan tubuhnya. Sepasang mata itu saling melekat, saling menyelami sedalam-dalamnya,seperti hendak saling menjenguk isi hati masing-masing.
"Nimas.... aku berterima kasih untuk pukulanmu ini....... kalau tidak begitu agaknya kita akan terus saling bermusuhan. Sulastri, betapa bodohnya aku selama ini. Aku selalu memikirkan diri sendiri, memikirkan kerajaan dan lain-lain yang sama sekali tidak ada artinya dibandingkan engkau. Semenjak engkau kukenal sebagai Bromatmojo engkau telah menjadi sebagian dari hidupku. Begitu Bromatmojo pergi dari sampingku, hidup terasa sunyi kosong tak berarti. Aku telah jatuh cinta semenjak aku mengenalmu sebagai Bromatmojo, Diajeng Sulastri! Hanya, tentu saja perasan itu terkekang dan terbentur oleh kenyataan bahwa engkau tadinya kusangka seorang pria. Kini ternyata engkau seorang wanita dan memang cinta kasih dan perasaan hatiku lebih awas daripada aku yang bodoh dan seperti buta."
"Dan engkau.... engkau memarahkan hatiku karena engkau memandang rendah wanita."
"Dan engkau juga memanaskan hatiku dengan bersikap ceriwis dan mata keranjang terhadap wanita yang kita jumpai."
"Kusengaja untuk menggodamu..... kau yang bersikap sebagai seorang pria yang tidak suka jatuh cinta kepada wanita......"
"Kemudian engkau cemburu terhadap Roro Kartiko!"
"Dan karena itu aku sengaja menjatuhkan hatinya, agar dia....jangan sampai jatuh cinta kepadamu, karena.... semenjak kita bertemu, Kakang, aku...... tidak ingin ada wanita lain yang kau cinta, kecuali aku....."
"Sulasri.....!"
Mereka berangkulan dan ketika Sutejo menciumnya, berjatuhanlah pisang dan kelapa itu dari kedua tangan Sulastri. Mereka tidak peduli, karena kini kedua tanganya merangkul leher pemuda yang sejak dahulu dicintainya itu.
Mereka lupa akan segala sesuatu, seperti diayun ke sorgaloka. Mereka saling mendekap, saling mencium dan saling membelai, sampai sesak napas mereka berciuman, seolah-olah tidak ingin lepas kembali. Sulastri tertawa kecil ketika Sutejo memondongnya, lalu berputaran seperti seorang anak kecil yang memperoleh mainan baru, kemudian pemuda itu jatuh terduduk di atas rumput bersama Sulastri yang dipangkunya. Sulastri tertawa,lalu meloncat bangun dan berlari. Sutejo juga tertawa dan mengejarnya. Mereka berkejaran di dalam hutan itu sampai bercucuran peluh mereka, kemudian Sulastri membiarkan dirinya berpegang dan mereka berdua kembali jatuh bergumul di atas rumput.
"Lihat keringatmu....!"
Sutejo berbisik dan mengusap keringat Sulastri dari leher dan dahinya.
"Engkau juga, Kakang,"
Bisik Sulastri. Mereka saling mengusap keringat masing-masing,dan tak lama kemudian Sutejo duduk bersandar pohon dan merasa amat berbahagia memandang wajah dara yang amat cantik manis dan yang kini rebah di atas pangkuannya itu. Dia mengelus rambut sinom yang melingkar di depan dahi Sulastri,membungkuk dan mencium sepasang alis yang hitam melengkung indah itu. Sulastri memejamkan matanya, dadanya berombak penuh kebahagiaan.
"Sulastri darimana engkau memperolah pakaian wanita ini?"
Tanya Sutejo dan kedua tangan mereka saling berpegangan, dua puluh buah jari tangan itu saling melingkar seperti bergelut.
"Semenjak berada di Lumajang, aku selalu membawa pakaian wanita, Kakang. Mereka semua sudah tahu bahwa aku wanita. Hanya engkau seorang yang belum tahu, akan tetapi ketika tadi aku mendengar kenyataan bahwa kau pun sudah tahu, aku cepat berganti pakaian."
"Mengapa?"
Sutejo mengelus rambut yang hitam panjang halus itu.
"Karena sejak dahulu, sejak kita bertemu, betapa besar keinginanku untuk muncul di depanmu sebagai seorang wanita, Kakang."
"Ahhh, dan engkau begini cantik jelita, begini ayu dan manis merak ati, begini kewes dan luwes....engkau seperti Dewi Komaratih......"
Sutejo mencium mulut yang terbuka kegirangan mendengar pujian itu. Sulastri menyambut ciuman itu sepenuh hatinya dan kembali mereka tenggelam di dalam alam asyik masyuk.
Kini Sulastri yang duduk bersandar pohon dan Sutejo rebah dengan kepalanya di atas pangkuan kekasihnya. Jari-jari tangan Sulastri yang lentik memijat-mijat leher yang dipukulnya tadi, penuh kasih sayang.
"Kakang, aku tidak mau berpisah lagi darimu."
"Jangan khawatir, aku pun tidak sudi meninggalkan engkau seorang diri, Dewiku. Sampai mati kita tidak akan saling bepisah lagi."
"Dan bagaimana dengan Mojopahit?"
Sulastri bertanya, alisnya berkerut khawatir.
"Ha-ha, kita telah bersikap bodoh. Apa peduli dengan Mojopahit atau Lumajang? Apa peduli dengan semua orang lain? Yang terpenting adalah kita berdua, Dewiku."
"Akan tetapi, Kakang......."
Sutejo bangkit dan mereka duduk berhadapan.
"Ada apakah, Diajeng?"
"Kita lalu akan ke mana?"
"Ke mana pun yang kau kehendaki, aku menurut, Sulastri. Akan tetapi sebaiknya kalau kita berdua membebaskan diri dari ikatan mereka agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman. Mari kita pergi saja, yang jauh....."
"Tidak mungkin, Kakang Sutejo. Kita harus menolong mereka."
"Siapa?"
"Joko Handoko dan Roro Kartiko."
"Mereka telah diculik oleh Murwendo dan Murwanti, dua orang kembar dari Puger itu."
Sulastri lalu menceritakan tentang pengalamannya ketika dia dan dua orang muda dari tuban bersama para anggota Sriti Kencana dikurung kemudian ditangkap oleh Pasukan Puger di bawah pimpinan Murwendo dan Murwanti.
Setelah mendengar penuturan itu, dengan alis berkerut Sutejo berkata.
"Sulastri, Dewiku, pujaan hatiku, sudahlah mari kita berdua jangan melibatkan diri dengan urusan orang lain. Mari kita berdua pergi dari sini dan menjauhkan diri dari semua urusan, Hidup berbahagia berdua saja, jauh dari semua keributan dan urusan,sayang."
Sulastri memandang wajah kekasihnya yang gagah dan tampan, yang amat dicintainya itu, dengan alis berkerut dan pandang mata aneh.
"Ah, Kakang Sutejo, apa yang telah terjadi denganmu? Mana jiwa satriamu dan mana watak gagahmu yang amat kukagumi itu? Tidak mungkin kita mebiarkan mereka tertawan dan terancam. Pula, tidaklah mungkin kita berdua menyendiri saja. Selama kita masih hidup, tentu kita akan berhubungan dengan orang lain dan tentu akan timbul persoalan, Kakang.
Dan kalau timbul persoalan, tentu kita akan menghadapinya sebagai orang-orang yang berjiwa satria. Sekarang melihat Joko Handoko dan Roro Kartiko tertawan oleh orang-orang Puger, bagaimana kita dapat tinggal berpeluk tangan saja?"
"Sulastri aku takut..... aku khawatir untuk kembali kepada waktu lampau, kepada hal-hal yang lalu. Mari kita tinggalkan ini semua dan mulai hidup baru, susana baru dan....."
"Sulastri...... ahh, Sulastri....!"
Dua orang itu terkejut dan cepat menoleh. Sutejo sudah meloncat bangun diikuti oleh Sulastri. Muka Sutejo pucat sekali karena kaget, apalagi ketika dia mengenal siapa yang datang itu. Akan tetapi Sulastri cepat lari menghampiri orang yang datang dan memanggilnya itu.
"Bukankah Andika.... Kakang cantrik dari Bromo....?"
Sulastri bertanya dan memandang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus itu.
Orang itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada Sutejo.
"Ada apakah Kakang Cantrik? Bagaimana Andika dapat tiba di tempat ini?"
"Aku sengaja mencarimu, Sulastri. Dengan susah payah aku mencarimu. Sebetulnya kami berdua yang mencarimu dan kami berpencar setelah tiba di Lumajang. Syukur bahwa aku dapat bertemu danganmu di sini Sulastri."
"Apa yang terjadi?"
Sulastri memandang dengan jantung berdebar, perasaan hatinya tidak enak melihat wajah cantrik itu dan melihat betapa cantrik itu memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh kebencian!
"Terjadi hal yang amat hebat, Sulastri. Guru kita, Eyang Supamandrangi, beberapa pekan yang lalu ini telah dibunuh orang!"
"Ehhh.......!!"
Sulastri menjerit dan memegang lengan cantrik itu.
"Eyang......dibunuh orang? Siapa? Mengapa?"
"Mau tahu siapa yang membunuh? Dia itulah seorang di antaranya! Dan mengapa? Tanya saja kepada kaki tangan Resi Mahapati itu! Orang Mojopahit sungguh kejam!"
Cantrik itu menudingkan telunjuknya kepada Sutejo dengan wajah pucat.
"Hemm, harap jangan menuduh yang tidak-tidak, Kisanak!"
Sutejo berkata tenang namun mukanya juga menjadi pucat dan dia memandang kepada Sulastri dengan wajah penuh kegelisahan.
"Menuduh yang tidak-tidak? Sutejo, beranikah engkau menyangkal? Siapa yang datang bersama Resi Harimurti ke pertapaan puncak Bromo? Hayo jawab, bukankah Andika yang datang bersama dia?"
Tanya cantrik itu sambil telunjuknya masih menuding, dipandang oleh Sulastri dengan wajah pucat sekali.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, sayalah orangnya,"
Jawab Sutejo tenang namun jantungnya berdebar penuh kekhawatiran.
"Kemudian Andika dan Resi Harimurti memaksa Eyang Supamandrangi untuk membuatkan Kolonadah palsu. Bukankah begitu?"
"Tidak memaksa, tapi...."
"Tidak memaksa? Kalau tidak dipaksa, mana mungkin Eyang Empu sudi membuatkan keris pusaka palsu? Kalian memaksa, bahkan ketika Eyang Empu Supamandrangi mengeluarkan tosan aji untuk ditekuk, Resi Harimurti tidak kuat menekuknya. Akan tetapi, Andika yang turun tangan menekuknya sehingga terpaksa Eyang Empu membuatkan keris Kolonadah palsu. Hayo jawab, tidakkah begitu?"
"Benar, saya yang menekuk tosan aji itu, akan tetapi Eyang Empu Supamandrangi tidak terbunuh, melainkan membunuh diri...."
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya di dalam hatinya dia masih curiga dan ragu-ragu untuk menerima kenyataan itu.
"Membunuh diri? Eyang membunuh diri?"
Sulastri menjerit, sedikit pun tidak peraya.
"Nah, siapa bisa percaya, Sulastri? Kami pun tidak percaya. Eyang adalah seorang manusia yang arif bijaksana, seorang pertapa yang sudah mencapai tingkat tertinggi, mana mungkin melakukan perbuatan rendah itu? Dia dibunuh! Ini sudah pasti, andaikata benar membunuh diri pun, kalianlah orang-orang Mojopahit yang menjadi pendorongnya! Kalian pura-pura tidak tahu, pura-pura berduka, orang-orang khianat dan jahat! Cantrik itu makin marah dan cepat dia menerjang dan menyerang Sutejo dengan keris terhunus. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, tubuh cantrik yang kurus itu terlempar dan kerisnya pun terlepas dari tangannya.
"Sutejo manusia keji!"
Tiba-tiba Sulastri menerjang dengan pukulan hebat ke arah Sutejo.
"Duk!"
Sutejo menangkis dengan keras sekali.
"Diajeng....! Nanti dulu, jangan...!"
Akan tetapi semua ucapannya percuma saja karena Sulastri sudah menyerangnya dengan ganas dan dahsyat sekali, menyerangnya sambil menangis.
"Tidak..... tidak, Nimas, tidak....! Aku tidak membunuhnya. Demi para Dewata aku tidak......."
"Cukup!"
Sulastri membentak dan memandang dengan mata merah.
"Siapa percaya kepada sumpahmu? Kalau benar engkau bersih, mengapa tadi engkau sama sekali tidak menceritakan tentang hal itu? Engkau mendatangi Eyang, memaksa membuat keris, sampai Eyang terbunuh...... hu-huk, engkau harus mati di tanganku, Sutejo!"
Dan kembali Sulastri menyerang sambil menangis.
"Sulastri..... aduh, Sulastri, aku cinta padamu..... lupakah engkau Nimas? Kita saling mencinta...."
"Cintamu palsu, sepalsu hatimu! Engkau tidak menceritakan peristiwa itu kepadaku,hal itu cukup menujukkan kepalsuanmu!"
Sulastri menyerang lagi dan ketika Sutejo menangkis, pemuda ini terhuyung ke belakang karena lehernya masih terasa nyeri dan tangannya belum pulih kembali.
"Aku.... aku... takut kalau hal itu mengganggu...."
Sutejo menghentikan kata-katanya karena merasa bahwa ucapannya itu salah dan tidak akan memperbaiki keadaan, dan kembali dia mengelak. Kini Sulastri tidak mau mendengarkan lagi, terus menyerang dan semua ucapan Sutejo tidak didengarnya lagi.
"Plak....brukkk....!"
Sutejo terpelanting dan cepat pemuda ini menggulingkan dirinya karena Sulastri sudah menyusulnya dengan tendangan maut. Maklumlah dia bahwa Sulastri marah sekali dan sungguh-sungguh hendak membunuhnya, maka dia merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Aduh, Sulastri....teganya engkau kepadaku....?"
Dia merintih dan meloncat sambil mengelak lagi.
"Tega? Siapa yang tega dan kejam? Engkau laki-laki palsu!"
Sulastri menerjang lagi dan kini Sutejo melompat jauh dan melarikan diri karena dia maklum bahwa kalu dia melanjutkan bertahan seperti itu, akhirnya dia akan terbunuh dan untuk melawan sungguh-sungguh, selain dia tidak mau, juga dalam keadaan masih terluka itu dia tidak akan menang melawan Sulastri. Pula, dia tidak merasa bersalah,tidak merasa membunuh Empu Supamandrangi dan kemarahan Sulastri itu hanya karena salah sangka belaka. Maka dia tidak ingin terbunuh, sekarang setelah dia tahu bahwa dia dan Sulastri saling mencintai, juga dia tidak ingin melihat Sulastri menjadi pembunuh. Biar pun hatinya terasa hancur, Sutejo cepat melarikan diri.
Sulastri yang sejak tadi menahan-nahan hatinya dan menyerang dengan air mata bercucuran, tidak mengejar, melainkan menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis terisak-isak. Cantrik itu menghampirinya dan berkata.
"Tidak perlu ditangisi lagi, Sulastri, kelak kita masih akan dapat membalas kamatian Sang Empu dan mencari Sutejo dan Resi Harimurti."
Mendengar suara cantrik itu, Sulastri terkejut, meloncat bangun dan menghadapi cantrik dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Mengapa kau datang? Mengapa kau ke sini!!"
Cantrik itu terkejut melihat mata yang terbelalak dan bercucuran air mata itu.
"Aku....aku.... eh, kau kenapa. Sulastri?"
Tanyanya bingung dan gagap.
Sulastri teringat bahwa sikapnya amat tidak sepatutnya, maka dia lalu menundukkan mukanya dan berkata.
"Kakang Cantrik, kau kembalilah ke Bromo. Biarkan aku sendiri, aku yang kelak membalaskan kematian Eyang Empu Supamandrangi, Pergilah...."
"Akan tetapi biar aku membantumu, Sulastri...."
"Tidak! Pergilah, lekas pergi jangan sampai aku menjadi marah!"
Tentu saja cantrik itu menjadi makin terheran-heran, dan sambil mengangguk-angguk dan bersungut-sungut pergilah dia meninggalkan gadis itu yang masih berdiri seperti patung. Setelah cantrik itu pergi, Sulastri mengambil buntalan pakaiannya dan sambil terisak-isak dia pun pergi dengan cepatnya dari tempat itu, menuju ke selatan karena dia mengambil keputusan untuk mencari dan menolong Joko Handoko dan Roro Kartiko. Kalau dia teringat kepada Sutejo, teringat akan pengalamannya yang mesra dan penuh madu asmara bersama Sutejo di dalam hutan itu, hampir dia tidak kuat melangkahkan kaki dan ada dorongan kuat agar dia lari kembali mencari Sutejo. Namun dia mengeraskan hatinya.
Jelas bahwa Sutejo bukanlah orang yang jujur, dan telah menjadi manusia jahat, kaki tangan Resi Mahapati yang tidak segan-segan membunuh Empu Supamandrangi untuk memaksa Empu itu membuatkan Kolonadah yang palsu. Dan itu masih belum hebat, yang amat menyakitkan hatinya lagi adalah bahwa setelah ikut membunuh atau menyebabkan kematian Empu Supamandrangi, Sutejo masih begitu tak tahu malu untuk membujuk rayu dia,bermain cinta dengan dia tanpa memberitahukan tentang keadaan Empu Supamandrangi yang telah dibunuhnya! Inilah yang amat menyakitkan hatinya, rasa sakit hati yang memaksa dia melupakan cintanya terhadap Sutejo.
Jelaslah bahwa sakit hati, dendam dan kemarahan tidak mungkin dapat bergandeng tangan dengan cinta kasih! Sakit hati dan dendam hanya mendatangkan kebencian dan di mana terdapat kebencian, tidak mungkin ada cinta kasih.
Cinta kasih bukanlah kebalikan daripada kebencian. Cinta kasih adalah cahaya yang bersinar-sinar,akan tetapi tentu saja cahaya cinta tidak dapat menerangi batin yang penuh dengan debu dan kotoran berupa sakit hati, dendam, dan kebencian.
Dan kebencian hanya akan mendatangkan derita dan kesengsaraan kepada batin sendiri! Bagi orang yang membenci, sudahlah jelas bahwa yang pertama kali menderita adalah dirinya sendiri. Setelah melihat kenyataan yang jelas ini, bahwa kebencian hanya mendatangkan deritadan kesengsaraan bagi diri sendiri, begitu bodohkah kita untuk melanjutkan kebencian yang merusak batin sendiri itu? Sayang bahwa Suastri belum melihat kanyataan itu, kebencianlah yang menjadi akibat sakit hati dan dendamnya, kebencian yang dipaksakan menutupi rasa cintanya, dan mulailah dara ini memasuki kehidupan penuh derita dan kesengsaraan batin ketika dia berlari-lari keluar masuk hutan sambil kadang-kadang menangis itu.
Peristiwa yang terjadi di dalam hutan itu, yang mengahancurkan kebahagiaan Sulastri, membuat dara itu seperti orang gila berlari-larian menyusup-nyusup hutan sambil menangis, ternyata juga mendatangkan akibat yang amat hebat bagi Sutejo. Pemuda ini semenjak berpisah dari Bromatmojo yang meninggalkanya di mojopahit, telah mulai merasa kehilangan kegembiraan hidupnya yang didapatkannya semenjak dia bersahabat dengan Bromatmojo. Kemudian, terjadi pergolakan dan konflik di dalam batinnya ketika dia melihat mbakayunya menjadi selir seorang seperti Resi Mahapati yang sebetulnya tidak disukainya. Akan tetapi oleh bujukan mbakayunya, satu-satunya orang yang dicintainya dan menjadi keluarganya, juga melihat kenyataan bahwa Mahapati setia kepada Mojopahit, maka Sutejo mengeraskan dan memaksa hatinya untuk membantu Mahapati.
Ketika dia mendengar bahwa Bromatmojo adalah seorang gadis, seketika dia sudah jatuh hati dan tahulah dia bahwa sesungguhnya dia jatuh cinta kepada Bromatmojo yang ternyata seorang gadis itu! Mulailah dia merasa bimbang dan berduka teringat bahwa Bromatmojo dan dia berpisah bukan sebagai sahabat. Ketika melihat kesempatan untuk mencari Bromatmojo, maka dia pun bersedia menemani Resi Harimurti mendatangi Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Akan tetapi sungguh di luar persangkaannya bahwa pertemuan itu berakhir dengan kematian Sang Empu yang masih meragukan hatinya. Dia curiga bahwa Harimurti yang membunuh Empu itu, akan tetapi karena tidak ada bukti, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Kemudian, pertemuannya dengan Bromatmojo yang disambung dengan perkelahian,kemudian dilanjutkan dengan pertemuan asyik masyuk yang dilanjutkan dengan pernyataan saling cinta yang penuh kemesraan antara dia dan Sulastri! Kebahagiaan yang berlimpah-limpah ini membuat Sutejo tidak ingin kembali lagi kepada hal-hal yang lalu, tidak ingin kembali ke Mojopahit, tidak ingin menghadapi urusan kerajaan dan dia tadinya ingin mengajak Sulastri pergi jauh,hidup baru dan tidak mengingat lagi hal-hal yang lampau. Akan tetapi, dia terlambat ketika muncul cantrik Gunung Bromo dengan ceritanya tentang kematian Empu Supamandrangi sehingga membuat Sulastri marah-marah dan menuduh dia sebagai seorang di antara pembunuh-pembunuh Empu Supamandrangi.
"Aduh, Sulastri....!"
Sutejo menjatuhkan dirinya di atas rumput di mana tadi dia dan Sulastri saling menumpahkan perasaan cinta kasih yang bergelora. Dia tidak menyalahkan Sulastri, tidak pula menyalahkan cantrik. Dia menyesali diri sendiri mengapa dia mendengarkan bujukan Resi Mahapati dan mbakayunya.
(Lanjut ke Jilid 26)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
"Sulastri......ah, aku telah menghancurkan hatimu, Sulastri....."
Sutejo mengeluh dan dia memeluk batang pohon yang tadi menjadi sandaran dara itu ketika Sulastri duduk dan memangku kepalanya. Membayangkan kemesraan yang terjadi antara dia dan Sulastri tadi, Sutejo tidak dapat menahan keluarnya air matanya.
Dia terguling dan lehenya yang masih nyeri itu menipa akar pohon. Sutejo rebah dalam keadaan setengah pingsan dan seperti mengigau menyebut-nyebut nama Sulastri! Tadi, dia tidak lari jauh. Hatinya tidak dapat bertahan untuk meninggalkan Sulastri, maka setelah dia mendapat kenyataan bahwa Sulastri tidak mengejarnya,dia berhenti dan tak lama kemudian, berindap-indap dia kembali ke tempat tadi dengan penuh harapan mudah-mudahan kemarahan Sulastri sudah mereda. Akan tetapi,ketika tiba di situ, dia hanya mendapatkan tempat sunyi dan kosong. Sulastri telah pergi, cantrik itu pun tidak kelihatan lagi, yang ada hanya bekas-bekas rumput rebah di mana dia tadi memangku dan dipangku Sulastri!
Akibat pukulan Hasto Nogo dari Sulastri yang mengenai pangkal lehernya memang belum sembuh benar dan kini ditambah dengan himpitan batin yang amat hebat, maka tidaklah mengherankan kalau Sutejo tak dapat bangun lagi dan terserang demam yang cukup hebat, membuat dia mengingau sepanjang malam!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua orang nampak memasuki hutan itu dan bercakap-cakap. Suara dua orang ini amat berbeda, seperti suara burung nuri dan burung gagak, yang satu halus merdu dan yang satu lagi parau dan kasar seperti gerengan harimau. Suara dua orang itu makin mendekati tempat Sutejo rebah dalam keadaan tidak sadar dan gelisah itu "Kakang Bandu, aku lapar sekali, Kakang."
Terdengar suara yang halus itu merengek dan seperti suara wanita yang manja dan bersikap kekanak-kanakan.
"Hemmm, di dalam hutan dan sepagi ini, mana mungkin mencari makanan, Sari?"
Terdengar suara parau besar itu menjawab.
"Ahhh, Kakang Bandupati, perutku lapar sekali, kakiku gemetar. Sejak kemarin siang kita tidak makan dan aku ingin sekali sarapan. Kalau belum sarapan aku tidak mau melanjutkan, Kakang. Biar aku tinggal di sini dan mati kelaparan di sini."
Suara halus itu merengek makin manja.
"Wah-waaahhh.......jangan kau rewel lagi, Sariwuni. Marilah kita maju sedikit lagi. Aku tadi mendengar suara kokok ayam hutan di depan. Kalau tidak ada buah-buahan di depan biar kutangkapkan ayam hutan dan kupanggang dagingnya untukmu. Adikku yang manis."
"Benarkah, Kakang? Aku sudah lapar sekali, kakiku lemas hampir tidak kuat melangkah."
"Kalau begitu, mari kugendong kau, Sari."
"Ah, tidak mau. Malu kalau kelihatan orang!"
"Hemm, di hutan sunyi begini mana ada orang!"
"Biar pun begitu aku tidak mau digendong, aku bukan anak kecil, Kakang. Kalau memang di depan ada ayam hutan, mari kita maju lagi."
Mereka kini sudah dekat sekali dengan tempat Sutejo rebah. Ternyata mereka adalah dua orang yang seperti juga suaranya, orangnya pun jauh berbeda. Yang seorang adalah wanita muda, dara yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun, wajahnya cantik dan kemerahan karena kelelahan, sepasang matanya tajam bersinar-sinar namun kadang-kadang mengandung kelembutan, dihias sepasang alis yang hitam kecil melengkung seperti dilukis, hidungnya kecil mancung dan mulutnya amat manis dengan bibir merah yang kelihatan seperti merajuk atau setengah mengejek terus, akan tetapi justeru di situlah terletak daya tariknya yang luar biasa, membuat wajah itu kelihatan menggemaskan yang mendatangkan rasa sayang, membuat orang gemas ingin mencubit, mencium! Tubuhnya agak kecil, pinggang tawon kemit, agaknya empat jari tangan kedua tangan seorang pria normal akan dapat melingkari pinggang itu. Karena pinggang yang kecil inilah maka pinggulnya kelihatan besar dan penuh, menonjol dan padat.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi besar, seperti raksasa, atau lebih pantas seperti Brotoseno atau Werkudoro, tinggi besar namun tegap dan gagah, wajahnya dihias kumis dan jenggot yang tumbuhnya bagus sehingga biar pun dia tinggi besar, namun dia kelihatan gagah dan tampan. Seperti juga wanita itu, laki-laki tinggi besar ini memiliki sepasang mata yang amat tajam bersinar-sinar, namun agak liar memandang ke sana-sini, dan kadang-kadang mengandung sinar yang kejam dan ganas.
Siapakah dua orang ini? Yang wanita demikian cantik manis seperti puteri keraton,akan tetapi yang laki-laki biar pun gagah perkasa dan tampan, begitu tinggi besar dan kasar seperti seorang raksasa. Mereka ini, seperti dapat diketahui dari percakapan mereka, adalah kakak beradik. Mereka bukanlah orang dusun atau orang gunung biasa saja, apalagi dari pakaian mereka pun dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya dan memiliki pakaian yang serba indah dengan hiasan kaki tangan dari emas permata. Dan sesungguhnyalah, mereka bukanlah orang-orang biasa saja, melainkan putera dan puteri dari majikan atau kepala, juga boleh dinamakan raja kecil, dari Pulau Nusabarung yang terkenal di Laut Selatan.
Atau mereka yang mengangkat diri sendiri sebagai raja kecil atau adipati, terkenal dengan nama sebutan Adipati Menak Dibyo, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh raksasa, brewok dan sakti mandraguna, seorang yang selain ahli dalam olah yuda, juga digdaya dan mahir pula bermain di dalam air samudra seperti seekor ikan saja. Adipati Menak Dibyo mempunyai seorang permaisuri dan beberapa orang selir yang cantik-cantik, namun dia hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Bandupati yang lahir dari permaisurinya dan Sariwuni yang lahir dari seorang selir. Dua orang kakak beradik yang berada di hutan itu adalah Bandupati dan Sariwuni.
Bandupati berusia dua puluh enam tahun, sedangkan Sariwuni baru berusia sembilan belas tahun. Mungkin karena dia wanita, dan merupakan puteri tunggal, juga anak bungsu, maka terhadap orang tua dan juga terhadap kakaknya, Sariwuni bersikap luar biasa manjanya. Dia memang disayang oleh Adipati Menak Dibyo, bahkan permaisuri Sang Adipati yang hanya mempunyai seorang putera seperti ayahnya, tinggi besar dan kasar, amat menyayang Sariwuni yang cantik jelita, kenes dan lincah jenaka itu. Tentu saja Bandupati yang hanya mempunyai satu-satunya saudara, amatlah sayangnya kepada adiknya ini dan sejak kecil, apa pun yang diminta oleh Sariwuni selalu dituruti belaka oleh Bandupati.
Demikianlah pada suatu hari, kurang lebih sebulan yang lalu, ketika kakak beradik itu seperti biasa sedang berperahu di sekitar Pulau Nusabarung, melihat para nelayang yang mencari ikan, timbul keinginan di hati Sariwuni untuk pergi merantau ke daratan Nusa Jawa yang nampak melintang panjang dan amat luasnya di sebelah utara itu.
"Jangang, Sari. Berbahaya sekali di sana. Banyak orang-orang sakti dan banyak pula orang jahat. Ayahnya selalu melarang kita untuk pergi ke daratan besar di sana."
"Akan tetapi, sejak kecil aku ingin sekali ke sana, Kakang. Sudah banyak dongeng-dongeng kudengar tentang kebesaran dan kehebatan Nusa Jawa, akan tetapi sampai sekarang belum juga aku melihatnya."
"Berbahaya sekali, Adikku."
"Aku tidak takut, Kakang! Apakah engkau takut? Kalau begitu apa perlunya sejak kecil kita digembleng oleh Ayah mempelajari segala macam aji kesaktian kalau kita hanya menjadi orang-orang penakut?"
"Aku tidak takut, hanya tidak berani, karena Ayah tentu melarangnya dan akan memarahi kita, Sari."
"Kalau begitu, jangan bilang-bilang kepada Ayah. Kita pergi dan setelah kita melihat-lihat sampai puas di sana, kita kembali lagi. Kita tidak mempunyai niat buruk, apa perlunya takut? Nanti kalau sudah kembali dan Ayah marah, biarlah Beliau marah kepadaku, aku yang bertanggung jawab!"
Mula-mula Bandupati tidak mau, akan tetapi setelah setiap hari ditangisi dan dibujuk-bujuk, bahkan adiknya itu merajuk dan mengatakan hendak pergi sendiri dan tidak akan sudi lagi bicara dengan Bandupati, terpaksa Bandupati memenuhi permintaan adiknya. Demikianlah, mereka berkemas dan membawa bekal secukupnya,kemudian mereka naik perahu meninggalkan Nusabarung pergi ke utara mendarat di pantai yang sunyi, menyembunyikan perahu mereka lalu mulailah mereka melakukan perjalanan ke utara.
Keadaan di sepanjang perjalanan mengecewakan hati Sariwuni,karena ternyata penuh dengan gunung dan hutan, sedangkan dusun-dusunnya kecil dan miskin, tidak ada bedanya dengan Nusabarung, bahkan tempat tinggalnya itu lebih bagus, rumah-rumahnya lebih besar. Maka dia merengek lagi dan mengajak kakaknya itu pergi ke Mojopahit karena dia banyak mendengar dongeng tentang Mojopahit yang katanya amat besar dan menakjubkan. Terpaksa Bandupati menuruti permintaan adiknya dan pada pagi hari itu sampailah mereka di dalam hutan di tapal batas antara Lumajang dan Mojopahit. Ketika mereka berdua melangkah menyusup di antara semak-semak belukar di dalam hutan itu, dengan rengekan Sariwuni yang bersambat lapar dan lelah, tiba-tiba mereka mendengar suara orang merintih atau mengeluh.
"Eh, Kakang ada orang di depan....."
Bisik Sariwuni.
"Ssssttt......!"
Bandupati yang selalu berhati-hati karena dia sudah mendengar betapa banyaknya orang sakti di daerah Mojopahit, memberi isyarat kepada adiknya agara tidak mengeluarkan suara. Mereka lalu berindap-indap menghampiri arah suara tadi mendatang.
Akhirnya mereka tiba di tempat di mana Sutejo masih rebah dengan gelisah, mengeluh dan dalam keadaan setengah sadar setengah tidak. Melihat itu, Bandupati memberi isyarat kepada adiknya untuk tinggal bersembunyi di balik semak-semak dan dia sendiri lalu berindap menghampiri. Sejenak dia melihat pemuda tampan yang mengeluh dengan mata terpejam itu, lalu di menyentuh pundak Sutejo sambil betanya,
"Kisanak, apakah yang terjadi denganmu? Apakah Andika sakit?"
Sutejo miringkan tubuhnya dan membuka matanya. Dalam keadaan setengah sadar, dia melihat seraut wajah yang menyeramkan dan sama sekali asing baginya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan langsung dia menghantam ke arah laki-laki tinggi besar seperti raksasa itu.
"Ehhhh.....!"
Bandupati terkejut bukan main melihat pemuda itu tiba-tiba meloncat dengan amat cepat dan sigap dan menyerangnya, apalagi ketika dia merasa betapa pukulan tangan pemuda itu didahului oleh angin yang berdesir tajam sekali. Cepat dia mengangkat lengannya menangkis.
"Desss.....!"
Tubuh Bandupati terpelanting jatuh bergulingan oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat melalui kedua tangan itu.
Melihat ini, Sariwuni depat meloncat untuk membantu kakaknya. Akan tetapi begitu Sutejo melihat munculnya Sariwuni, pemuda ini lalu menjadi lemas tubuhnya,menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan sikap memelas dan suara penuh permohonan dia berkata.
"Sulastri, pujaanku.......kau ampunilah aku, Sulastri.....!"
Tentu saja Sariwuni menjadi terheran-heran, terbelalak memandang dan menghentikan langkahnya. Dia melihat betapa pemuda tampan itu mengulurkan kedua tangan kepadanya, seperti akan memeluknya, dengan mata memandang penuh kasih sayang, penuh kemesraan, penuh harapan dan kedukaan.
"Sulastri.... aku bersalah.......ampunilah aku......"
Kata pula Sutejo seperti orang yang hilang ingatan.
Pada saat itu, Bandupati yang sudah bangkit dan menghampiri Sutejo dari belakang,cepat menggerakkan tangannya, memukul dengan tangan miring ke arah tengkuk Sutejo. Pemuda ini sedang terpesona oleh Sariwuni yang dalam pandangan matanya adalah Sulastri, maka dia sama sekali tidak mengelak maupun menangkis.
"Dukkk!"
Pukulan itu tepat mengenai tengkuknya dan Sutejo terguling roboh.
"Jangan, Kakang! Jangan bunuh dia!"
Sariwuni cepat berteriak ketika dia melihat kakaknya sudah hendak menghantam lagi ke arah tubuh yang sudah rebah pingsan itu.
Bandupati menahan tangannya dan memandang kepada adiknya dengan heran.
"Sari, dia berbahaya sekali. Kalau dia siuman, belum tentu kita akan dapat menandinginya. Serangannya tadi hebat bukan main, hampir tidak kuat aku menangkisnya."
Bandupati memandang kepada tubuh yang tidak bergerak itu.
"Lihat pukulanku yang hebat tadi pun hanya membuat dia pingsan, padahal jarang ada orang di dunia ini yang dapat menahannya, pukulanku tadi adalah pukulan maut. Sari, dia inilah satu di antara orang-orang sakti mandraguna seperti yang kita dengar dari dongeng. Banyak orang sakti seperti dia di Mojopahit. Sebaiknya dia dibunuh selagi pingsan....."
"Jangan, Kakang. Jangan, aku". entah mengapa, aku suka padanya. Dan kurasa aku dapat menguasainya. Tidakkah engkau melihat betapa dia tadi berlutut kepadaku dan memandangku dengan penuh kasih sayang?"
"Dia belum pernah mengenal kita. Sikapnya terhadapmu tadi menandakan bahwa dia telah kehilangan ingatannya."
"Justeru karena itulah maka aku akan dapat menguasainya, Kakang. Dia menganggap aku sebagai seorang wanita bernama Sulastri yang agaknya amat dicintainya. Kakang, bukankah kita amat membutuhkan orang sakti mandraguna seperti dia? Kalau kita ajak dia ke Nusabarung dan kalau aku dapat menguasainya, bukankah berarti kita mempunyai seorang pembantu yang amat berguna? Ayah tentu akan senang pula memperolah seorang pembantu yang memiliki kesaktian seperti dia. Dan dengan menggunakan akar Lalijiwo yang tentu kau bawa pula sebagai bekal di antara obat dan racun lainnya, akan lebih mudah kita menguasainya, bukan?"
Bandupati mengerutkan alisnya, akan tetapi seperti biasa, dia tidak dapat menolak keinginan hati adiknya.
"Aku tahu, melihat betapa pemuda ini amat gagah dan tampan, tentu hatimu telah tercuri olehnya, bukan?"
"Ah, Kakang Bandupati.....! Kau...."
Wajah yang cantik itu menjadi merah dan dara itu tersenyum simpul.
"Betapa pun juga, ada benarnya dalam omonganmu tadi, Sari. Memang tentu saja tenaga seperti dia amat berguna bagi kita, bagi kekuasaan Ayah. Apalagi mengingat akan ancaman dari Kadipaten Puger terhadap kita yang selalu ada. Memang kata-katamu tadi benar, kita sebaiknya menguasai orang ini sebagai pembantu kita."
Bandupati lau cepat mengeluarkan bungkusan dan memilih obat bubuk berwana kuning.
Setelah Sariwuni mencarikan airnya, bubukan itu dicampur dengan air lalu dengan paksa mereka cekokkan (masukkan) dalam mulut Sutejo yang terpaksa menelannya dalam keadaan setengah sadar. Ketika Sutejo siuman, dia membuka matanya dan mendaptkan dirinya rebah di atas rumput dan melihat wajah cantik itu berada di atasnya, sepasang mata yang bening itu memandangnya, dia berbisik.
"Diajeng Sulastri.....!"
"Kakangmas...."
Wanita itu tersenyum dan berkata mesra. Melihat ini, Sutejo menjadi girang sekali dan dia bangkit duduk, kepalanya agak pening dan wanita itu membantunya dan merangkul pundaknya.
"Diajeng, kau maafkan aku...?"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanyanya dengan suara gemetar.
Wanita itu yang bukan lain adalah Sariwuni, tersenyum lebar dan mengangguk.
"Tentu saja, Kakangmas. Aku girang sekali melihat Kakangmas telah sembuh dan sadar kembali..."
Sutejo mengerutkan alisnya dan menggunakan kedua tangan untuk meraba-raba tengkuk dan kepalanya, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa yang terjadi? Di mana aku? Kepalaku pening dan aku lupa segala...., Diajeng Sulastri, apa yang telah tejadi dengan aku? Aku hanya ingat bahwa aku telah bersalah kepadamu...."
"Sudahlah, Kakangmas. Aku tentu saja memaafkan segala kesalahanmu kepadaku. Engkau memang sakit dan aku merawatmu di sini. Apakah sekarang engkau ingin kembali? Ingatkah engkau siapa namamu, Kakangmas?"
Sutejo termenung, mengingat-ingat, lalu enggeleng kepala.
"Aku tidak ingat lagi,satu-satunya nama yang kuingat adalah namamu, Diajeng Sulastri......"
Sariwuni memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Coba kau ingat-ingat benar, Kakangmas, masa engkau tidak dapat ingat namamu sendiri? Setidaknya, coba ingat akan nama seorang pria."
Kembali Sutejo termenung, kemudian tiba-tiba dia berseru.
"Ah, aku ingat nama pria. Bromatmojo....!"
"Itukah namamu?"
Sutejo memandang bodoh.
"Aku tidak tahu, tidak ingat lagi."
"Satu-satunya nama pria yang kau ingat hanya Bromatmojo?"
Dia mengangguk.
Sariwuni berpikir. Dalam keadaan terpengaruh racun akar Lalijiwo, memang orang menjadi lupa segelanya, terhapus segala ingatannya, akan tetapi pemuda ini mengingat nama Bromatmojo. Siapa lagi kalau bukan namanya sendiri? Biasanya, nama sendiri yang paling dulu teringat atau yang sukar untuk terhapus dari ingatan.
"Memang itulah namamu, Kakangmas Bromatmojo!"
"Ahhh.....!"
Sutejo mengangguk girang, lalu memandang wajah Sariwuni.
"Diajeng, benar-benar kau memaafkan aku?"
Sariwuni mengangguk.
"Dan..... dan engkau masih cinta kepadaku, Diajeng Sulastri?"
Tiba-tiba sepasang pipi itu menjadi merah sekali, akan tetapi sambil tersenyum Sariwuni mengangguk pula. Sutejo lalu merangkul dan menarik tubuh dara itu ke dadanya.
"Diajeng....... betapa mulia hatimu, engkau sudi memaafkan aku dan bahkan masih mencintaiku. Hampir aku tidak dapat percaya karena aku berdosa besar kepadamu.........., maka harus kau buktikan bahwa engkau benar mencintaiku agar aku tidak ragu-ragu lagi, Diajeng...."
"Bukti? Bukti bagaimana....?"
Sariwuni agak menggigil dengan jantung berdebar ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan mendekapnya demikian mesra.
"Bukti ini....!"
Sutejo menunduk lalu mencium mulut Sariwuni dengan bibirnya, mencium dengan seluruh perasaan cintanya sehingga Sariwuni terkejut, gelagapan, akan tetapi akhirnya karena dia memang tertarik dan kagum sekali kepada pemuda itu, dia pun merasa bahagia sekali dan membalas ciuman Sutejo.
"Terima kasih, Diajeng.... engkau benar masih cinta kepadaku...."
Bisik Sutejo ketika bibir mereka saling berpisah. Sariwuni gelagapan, terengah-engah dan jantungnya berdebar, dadanya bergelombang,sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia melepaskan diri perlahan, lalu memandang pemuda yang telah menciumnya itu, pemuda yang secara tiba-tiba menjadi kekasihnya, dan dia merasa bahwa dia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda ini!
"Kakangmas Bromatmojo, coba katakan dosa apa yang Kau lakukan kepadaku."
Nada suaranya itu seperti orang menguji.
Sutejo mengerutkan alis mengingat-ingat, akan tetapi dia lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Aku tidak ingat lagi, Diajeng, hanya aku tahu bahwa aku telah berdosa besar kepadamu."
Sariwuni tertawa manis.
"Kalau begitu, lebih baik dilupakan sama sekali saja. Engkau sudah tidak ada dosa apa pun kepadaku, Kakangmas. Kita saling mencinta,bukan? Nah, orang-orang yang saling mencinta tidak ada dosa satu sama kepada yang lain. Akan tetapi coba ingat, apakah engkau masih siapakah aku? Siapakah kekasihmu yang kau sebut Sulastri ini? Dari mana asalnya, anak siapa?"
Sutejo menatap wajah yang cantik itu dan dia makin kagum. Wajah itu memang cantik sekali, kulit mukanya halus kemerahan, merah jambu yang amat mempesonakan, bibirnya merah, lebih merah daripada pipinya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya yang bernama Sulastri?
"Diajeng, jangan main-main!"
Kata Sutejo sambil merangkul dan mengecup bibir itu dan dia merasa betapa bibir itu bergerak menyambut ciumannya.
"Ehhh.....ahhh, nanti dulu, Kakangmas. Kau jawab dulu pertanyaanku tadi!"
Sariwuni menarik diri dan melepaskan rangkulannya dengan sikap manja, matanya bersinar-sinar penuh kebahagaiaan kerena memang baru pertama kali ini dia merasakan kegembiraan dan kebahagiaan yang membuat jantungnya berdebar tegang. Baru pertama kali ini dia diciumi seorang pria sehebat itu, semesra itu!
"Diajeng, jangan kau menggodaku,"
Sutejo berkata lagi, jari-jari tangannya saling belit dengan jari tangan gadis itu dan jari-jari mereka terasa getaran-getaran hangat yang menjalar sampai ke sudut hati mereka.
"Sudah terang bahwa engkau adalah Diajeng Sulastri, mengapa bertanya lagi? Dari mana asalmu dan anak siapa..... ini..... aku tidak tahu lagi, Diajeng. Akan tetapi pentingkah itu?"
"Ah, Kakangmas, sungguh kasihan sekali engkau, engkau sampai lupa akan semua itu......"
Akan tetapi pada saat itu, Sutejo tiba-tiba melepaskan diri dan meloncat berdiri, memandang dengan mata beringas kepada laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan brewok, siap untuk menyerang.
"Eh, nanti dulu, Kakangmas Bromatmojo! Apa kau lupa? Dia adalah Kakang Bandupati,dia Kakakku, apakah kau tidak ingat kepadanya?"
Teriak Sariwuni sambil memeluk pinggang Sutejo dari belakang. Sutejo mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, akan tetapi dia menjadi makin bingung.
"Kakakmu....?"
Bandupati yang baru kembali memanggul bangkai seekor kijang yang dirobohkannya, melemparkan bangkai kijang itu ke atas tanah, lalu tertawa tergelak dan melangkah maju menghampiri mereka.
"Ha-ha-ha, Adimas Bromatmojo! Lupakah engkau kepada Bandupati, calon kakak iparmu? Ha-ha-ha!"
Sutejo makin bingung, akan tetapi mendengar ucapan itu, cepat dia memberi hormat. Kiranya raksasa muda yang gagah ini adalah kakak dari kekasihnya, Sulastri. Jantungnya berdebar mendengar betapa raksasa itu mengatakan "calon kakak iparmu". Dia menoleh kepada dara itu dan melihat dara itu juga memandangnya sambil tersenyum lebar dan mengerling indah.
"Maafkan..... aku.... aku lupa semua...."
Sutejo berkata gagap.
Bandupati tertawa lagi.
"Memang engkau baru saja sembuh dari sakit, Dimas. Tenaglah dan kau menurut saja dalam perawatan Adikku......eh, Sulastri ini."
Bandupati segera menyeret kijangnya untuk dikuliti dan dipanggang dagingnya. Sariwuni mengajak Sutejo duduk di bawah pohon, menggandengnya dengan mesra. Mereka duduk berhimpit-himpitan di bawah pohon dan bicara dengan penuh kemesraan.
"Kakangmas, kasihan sekali bahwa engkau telah lupa segala. Kau dengarkan baik-baik. Agaknya engkau lupa bahwa kekasihmu ini mempunyai dua nama. Namaku yang sesungguhnya adalah Sariwuni, akan tetapi agaknya engkau lupa dan yang teringat hanya nama aliasku saja, yaitu Sulastri."
"Sariwuni......?"
Sutejo mengingat-ingat, akan tetapi nama itu seperti asing baginya.
"Kenapa namamu sampai dua, Diajeng?"
Sariwuni tersenyum dan nampaklah deretan gigi kecil-kecil rapi, membuat Sutejo ingin memeluk dan menciuminya lagi, akan tetapi Sariwuni yang tidak tahan lagi mengalami kemesraan yang hampir membuatnya hampir pingsan itu, dengan kedua tangannya menolak dada Sutejo dengan halus. Selamanya belum pernah dia bermesraan dengan pria, dan pengalamannya tadi sungguh membuat jantungnya terasa hampir pecah.
"Nanti dulu, Kakangmas. Dengarkan dulu semua keteranganku karena aku hendak membantumu mengingatkan segala tentang diriku. Aku mempunyai nama dua karena aku adalah seorang puteri Adipati."
"Kau....? Puteri adipati....? Ah, ya tentu saja, engkau puteri Adipati, Diajeng,"
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo