Kemelut Di Majapahit 26
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
Sutejo berkata, kaget dan bingung, akan tetapi membenarkan penuturan itu karena dia tahu bahwa dia memang sudah lupa segalanya!
"Agaknya engkau sudah lupa sama sekali akan keadaan diriku. Aku bernama Sariwuni,alias Sulastri yang kupergunakan dalam perjalanan keluar dari Nusabarung agar jangan dikenal orang. Akan tetapi setelah kita kini akan kembali ke Nusabarung,kau harus mulai menyebut namaku yang asli, yaitu Sariwuni."
"Ah, tapi bagiku lebih manis nama Sulastri, Diajeng,"
Kata Sutejo sambil membelai anak rambut yang melingkar-lingkar di tengkuk dara itu sehingga membuat semua bulu di tubuh dara itu meremang, geli dan nikmat.
"Biarpun begitu, akan luculah kalau di Nusabarung orang mendengar engkau menyebutku dengan nama asing itu. Kau sebutlah aku Sariwuni, Kakangmas."
"Baiklah, Diajeng Sariwuni. Nama apapun yang kaupakai, tetap manis bagiku,karena bagiku yang penting adalah orangnya, bukan namanya."
"Kakangmas Bromatmojo, tentu engkau lupa tentang Nusabarung dan tentang Ayah Bundaku, bukan?"
Sutejo menggeleng kepala.
"Aku tidak ingat sama sekali."
"Ayahku adalah Adipati Menak Dibyo, adipati di Nusabarung, sebuah pulau besar Laut Selatan. Orang tua kami hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Kakang Bandupati dan aku."
Sariwuni lalu menceritakan keadaan di Nusabarung, akan tetapi Sutejo hanya mendengarkan dengan setengah hati karena jari-jari tangan dan matanya lebih senang menjelajahi rambut di leher, lalu garis-garis dagu, pipi dan seluruh wajah yang cantik itu.
Bandupati memanggang daging kijang dan tak lama kemudian mereka bertiga makan daging kijang, beramah-tamah dan sebentar saja Sutejo telah mulai merasa biasa dan tak canggung lagi. Dia menerima begitu saja bahwa memang dia bernama Bromatmojo, dan dia bertunangan dengan Sariwuni dan kini dia bersama Sariwuni dan Bandupati sedang melakukan perantauan meninggalkan Nusabarung, bahwa mereka di tengah jalan bertemu orang-orang jahat, bertanding dan dia terpukul kepalanya sehingga pingsan dan kehilangan ingatannya, bahwa mereka kini akan kembali ke Nusabarung dan bahwa dia harus menurut saja dan menyerahkan diri di bawah perawatan kekasihnya, Sariwuni. Semua ini dia dengar dari Sariwuni dan tentu saja dia hanya menurut saja. Dengan Sariwuni atau Sulastri di sampingnya, apa pun yang dikehendaki oleh kekasihnya itu, akan dia lakukan! Yang dia tahu hanyalah bahwa dia telah berdosa besar kepada Sulastri dan bahwa di sekarang harus menebus dosanya itu dengan menaati semua permintaan dara itu.
Demikianlah, tanpa banyak kesukaran, Sariwuni dan Bandupati mengajak Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu kembali ke Nusabarung. Racun akar Lalijiwo mengandung khasiat melupakan ingatan orang dan bekerja selama satu bulan, dan sebelum lewat sebulan, Sutejo selalu diberi minum racun ini oleh Sariwuni melalui minuman atau makanan sehingga pemuda itu tak pernah mengingat kembali keadaannya sendiri. Sutejo terheran-heran ketika dia dibawa naik perahu oleh kakak beradik itu, akan tetapi dia hanya menyesalkan diri sendiri yang kehilangan ingatan dan menaruh kepercayaan penuh kepada mereka, terutama sekali kepada Sariwuni yang amat dicintainya.
Ketika mereka tiba di pualu Nusabarung, para atau anak buah pulau itu memandang dengan heran kepada Sutejo, akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani bertanya kepada putera dan puteri adipati. Sesampainya di istana kedipaten Bandupati mendahului adiknya masuk dan dengan singkat dia menceritakan tentang pemuda yang bernama Bromatmojo itu kepada ayah bundanya, betapa pemuda itu adalah seorang satria Mojopahit yang amat sakti dan betapa adiknya, Sariwuni,jatuh cinta kepada pemuda itu.
"Mereka saling mencintai, Kanjeng Romo, oleh karena itu, sebaiknya Diajeng Sariwuni dijodohkan dengan Bromatmojo."
"Hemm, begitu mudahnya?"
Adipati Menak Dibyo meraba jenggotnya. Adipati ini berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti Bandupati dan wajahnya keren.
"Aku harus melihatnya dulu dan dia harus diuji apakah benar-benar dia memiliki kesaktian. Aku harus melihat bukti bahwa calon mantuku bukanlah orang sembarangan."
Lalu dia menoleh kepada isterinya, yaitu permaisurinya, Ibu kandung Bandupati dan berkata.
"Yayi, harap suka menyuruh pelayan memanggil Ibunya Sariwuni menghadap".
Permaisuri lalu memerintahkan dayang untuk memanggil selir adipati yang cantik,yaitu Ibu kandung Sariwuni dan tak lama kemudian muncullah seorang wanita yang usianya hampir enam puluh tahun, namun dia cantik jelita dan kelihatan masih muda. Dia menyembah dengan hormat lalu disuruh duduk di dekat permaisuri.
Tak lama kemudian, Bandupati menjemput adiknya dan masuklah mereka bersama Sutejo yang kelihatan canggung dan bingung. Akan tetapi, dengan bisikan-bisikan Sariwuni yang memberi petunjuk, dia lalu bersama dua orang kakak beradik itu bersila, menyambah dengan hormat dan merasa kikuk sekali ketika tiga pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Ibunya Sariwuni dan permaisuri segera merasa suka dan tertarik kepada pemuda yang halus gerak-geriknya dan tampan itu. Adipati Menak Dibyo sendiri sebagai seorang sakti, dapat melihat bahwa di balik kehalusan itu tersembunyi tenaga yang hebat, maka dia juga merasa kagum dan ingin sekali mencoba kehebatan pemuda yang katanya saling jatuh cinta dengan puterinya yang terkasih itu.
Bandupati telah menceritakan kepada Ayah Bundanya bahwa pemuda itu, Bromatmojo, adalah seorang satria Mojopahit yang sudah tak berkeluarga lagi, hidup sebatangkara di tepi pantai Laut Selatan. Dan Sutejo juga sudah mendapatkan pesan dari kekasihnya bahwa dia adalah seorang yang hidup sebatangkara, dengan demikian tidak terjadi kejanggalan-kejanggalan ketika dia berhadapan dengan keluarga Adipati Nusabarung itu. Sang Adipati lalu cepat memerintahkan para jagoannya untuk menguji Sutejo di Alun-alun.
"Mengapa aku harus bertanding dengan meraka?"
Tanya Sutejo kepada Sariwuni ketika mereka mengundurkan diri setelah diberi tahu bahwa dia akan dipertandingkan dengan lima orang jagoan Nusabarung.
"Kakangmas. Ayahku adalah seorang sakti. Oleh karena itu, tentu saja dia ingin memperolah mantu yang memiliki kepandaian paling tinggi di Nusabarung ini. Dan kau tahu, banyak sekali orang muda yang ingin meminangku. Olah karena itu,pertandingan ini dimaksudkan oleh Ayah agar mereka semua yang merasa penasaran karena aku memilihmu sebagai calonku, terbuka mata mereka bahwa engkau adalah orang yang paling sakti di Nusabarung ini."
Sutejo mengerutkan alisnya. Sebenarnya dia tidak setuju dengan cara itu. Dia memang mencintai Sulastri atau Sariwuni, akan tetapi dia tidak ingin memperebutkan seorang gadis dengan menggunakan kekerasan.
"Kita sudah saling mencintai, mengapa harus memperdulikan orang lain, Diajeng? Andaikata aku tidak sakti, apakah engkau akan tidak mencintaiku lagi?"
Sariwuni merangkulnya dan merengek.
"Kakangmas, apakah kau tidak mau menyenagkan haitku? Kalau engkau tidak berani maju, betapa mereka semua akan mengejek aku! Aku ingin membanggakan kekasihku yang gagah perkasa. Pula, aku adalah puteri adipati, tentu saja Ayah ingin memiliki mantu yang digdaya. Kakangmas, aku majulah dan menangkan pertandingan ini demi cintamu kepadaku. Kau akan membuat aku bangga sekali, Kakangmas. Sebaliknya, kalau kau tidak berani, aku akan malu sekali, bisa mati saking maluku!"
Sutejo menarik napas panjang.
"Hemm, siapakah lima orang itu, Diajeng?"
"Mereka adalah lima jagoan Nusabarung yang disebut Lima Harimau Nusabarung. Mereka adalah senopati-senopati yang perkasa dan paling hebat adalah dua di antara mereka, Kakangmas. Engkau harus berhati-hati menghadapi mereka. Mereka adalah senopati-senopati dan merupakan orang-orang kepercayaan dari Kanjeng Romo Adipati dan tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kesaktian Kanjeng Romo sendiri."
"Apakah aku harus membunuh mereka?"
Tanya Sutejo dengan nada suara kesal.
"Jangan, Kakangmas. Mereka adalah pembantu-pembantu Kanjeng Romo, jadi bukan musuh kita. Mereka hanya bertindak sebagai penguji, akan tetapi tentu saja mereka berusaha untuk mengalahkanmu, kalau perlu membunuhmu. Kalau ada di antara mereka tewas dalam pertandingan itu, tentu tidak apa-apa dan sudah wajar. Hanya tentu saja Ayah akan merasa lebih kagum dan gembira kalau engkau bisa mengalahkan mereka tanpa membunuh mereka, Kakangmas. Dan aku minta agar engkau suka mengalahkan mereka tanpa membunuh, Kakangmas."
Sutejo mengangguk-angguk.
"Aku tahu, Diajeng. Engkau tentu tidak menghendaki aku membunuh orang tanpa dosa. Aku sendiri pun tidak mau membunuh orang. Akan tetapi seingatku....."
Dia mengerutkan alisnya.
"Bukankah kau sendiri memiliki kepandaian hebat, Diajeng?"
Sariwuni memandang tajam dan dia menduga bahwa dara yang bernama Sulastri itu agaknya juga memiliki kesaktian. Akan tetapi karena tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu sudah berubah dan mendapatkan kembali ingatannya, dia menjadi lega dan tersenyum.
"Tentu saja aku mempunyai sedikit kemampuan yang tidak dapat dibandingkan denganmu, Kakangmas. Akan tetapi, lima orang itu lebih pandai daripada aku. Hanya aku memeringatkan kepadamu agar kau berhati-hati terhadap penggabungan tenaga mereka, Kakangmas. Mereka itu memiliki keistimewaan, yaitu dapat menggabungkan tenaga dengan saling berpegang tangan. Hati-hatilah kalau melihat mereka sudah saling bergandeng tangan."
Sutejo mengangguk-angguk dan dengan hati besar dia lalu memasuki gelangang pertandingan yang sudah dipersiapkan di alun-alun. Di atas panggung nampak Adipati Menak Dibyo sendiri, didampingi Ibu kandung Bandupati dan Ibu kandung Sariwuni, duduk dengan wajah gembira seperti orang menonton pertunjukan yang menarik. Lingkaran telah dibuat di dekat bawah panggung, dan Bandupati yang mengatur tempat itu karena dialah yang bertugas menjadi wasit! Para ponggawa, pembesar-pembesar berkedudukan tinggi belaka di kadipaten atau kerajaan kecil Nusabarung, sudah berkumpul pula untuk menyaksikan kehebatan orang muda yang kabarnya menjadi calon suami Puteri Sariwuni. Banyak di antara mereka, terutama yang muda-muda dan yang belum berkeluarga, merasa iri dan ingin melihat sendiri apakah benar calon mantu adipati itu lebih hebat daripada mereka.
Dan memang mereka harus mengakui bahwa tidak ada seorang pun di Nusabarung,kecuali mungkin Sang Adipati sendiri, yang akan mampu menandingi lima orang jagoan itu sekaligus. Bahkan Pangeran Bandupati sendiri, yang memiliki kesaktian cukup hebat, tidak akan mungkin dapat menandingi lima orang jagoan itu kalau mereka maju bersama mengeroyoknya. Lebih dari tiga puluh orang ponggawa hadir dan menonton, di samping banyak sekali penduduk yang kebetulan dapat meninggalkan pekerjaan mereka, semua memenuhi alun-alun dan berjejal di seputar lingkaran di bawah panggung.
Dengan langkah tenang Sutejo memasuki lingkaran, disambut oleh Bandupati yang tersenyum ramah. Sutejo memberi hormat dengan sembah ke arah panggung dan disambut dengan tangan terangkat oleh Sang Adipati, sedangkan ibu Sariwuni tersenyum ramah karena ibu ini merasa suka kepada pemuda ini, merasa rela kalau anaknya menikah dengan pemuda Mojopahit ini. Daia sendiri berasal dari daratan utara, dari daratan Mojopahit dan semenjak kecil dia diculik oleh orang Nusabarung dan menjadi anak orang Nusabarung itu sampai kecantikannya menarik hati Sang Adipati dan dia diangkat menjadi selir. Maka, tentu saja dia akan merasa bahagia sekali kalau puterinya menjadi isteri satria Mojopahit, apalagi melihat pemuda itu memang tampan dan halus, tidak seperti para muda di Nusabarung yang sikap dan bicaranya kasar.
Atas perintah Bandupati yang memberi isyarat dengan tangan, masuklah lima orang jagoan Nusa barung itu ke dalam lingkaran. Semua penonton menahan napas menyaksikan perbedaan antara satria Mojopahit itu dengan lima orang ini. Mereka adalah orang-orang yang tinggi besar, kelihatan kokoh kuat dan pemuda Mojopahit itu hanya setinggi pundak mereka! Akan tetapi, Sutejo merasa tenang dan lega ketika melihat calon-calon lawannya. Mereka itu boleh jadi bertubuh tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat bertenaga, namun jelas bahwa mereka itu hanya orang-orang yang mengandalkan kekuatan otot-otot belaka, tidak memiliki kedigdayaan yang tersembunyi di balik kulit tubuh yang halus. Andaikata yang muncul itu adalah orang-orang yang kelihatan lemah, tentu Sutejo akan menjadi lebih waspada dan hati-hati.
"Dimas Bromatmojo,"
Kata Bandupati.
"Atas kehendak Kanjeng Romo, Andika harus menghadapi pengeroyokan lima orang jagoan kami ini. Mereka akan berusaha sungguh-sungguh untuk mengalahkah Andika, Dimas, maka berhati-hatilah."
Sutejo mengangguk dan berkata.
"Kakangmas Bandupati, apakah yang menjadi tanda bagi pihak yang kalah?"
"Pertama, kalau sampai terlempar keluar dari lingkaran dapat berarti kalah. Ke dua, kalau sampai terluka dan tidak dapat melawan lagi, dan ke tiga, tentu saja kalau menggeletak tak bernyawa lagi. Dan andaikata Andika terluka atau tewas dalam ujian ini, mereka tidak akan dipersalahkan karena wajarlah kalau terluka atau tewas dalam pertandingan adu kedigdayaan ini, Dimas. Oleh karena itu, kalau Andika merasa tidak kuat melawan sebaiknya meloncat keluar dari lingkaran."
Sutejo mangangguk-angguk, lalu berkata.
"Aku sudah mengerti dan silakan dimulai!"
Bandupati memberi tanda dan oangeran ini lalu melangkah keluar dari lingkaran yang dibuat dengan lawe merah itu. Dia berdiri di luar lingkaran untuk mengamati jalannya pertandingan. Dengan tenang Sutejo berdiri menghadapi lima orang lawannya. Kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya tergantung lepas namun setiap lebar syarat berdenyut-denyut penuh perasaan, siap untuk menggerakkan semua anggota tubuh untuk melindungi diri dan menyerang. Sutejo memang telah kehilangan ingatannya, telah lupa nama sendiri dan lupa segala,akan tetapi kesaktiannya yang dipejarinya sejak dahulu, telah mendarah daging pada dirinya sehingga ilmu ini sama halnya dengan kalau dia berjalan, bicara dan lain pergerakan lagi, sudah secara otomatis tanpa menggunakan ingatan lagi. Tentu saja dia sudah lupa akan nama-nama ilmu itu, sungguhpun ingat, menggerakkan dan mengerahkan secara otomatis pula.
Lima orang raksasa itu tidak memandang rendah lawan mereka. Sebagai senopati-senopati yang sudah banyak pengalaman, mereka mengenal kedigdayaan, mereka mengenal kedigdayaan orang-orang daratan utara yang biarpun kecil kelihatan lemah, namun memiliki kesaktian luar biasa. Sudah sering mereka bertemu dengan orang-orang seperti itu, maka kini menghadapi Sutejo, mereka tidak berani memandang rendah. Melihat pemuda itu sudah berdiri siap, lima orang jagoan ini lalu bergerak mengepungnya, dua orang di depannya, dan yang tiga orang di kanan kiri belakangnya. Sutejo sama sekali tidak bergerak, hanya bola matanya saja yang bergerak melirik ke kanan kiri sedangkan gerakan orang yang berada di belakangnya dia ikuti dengan pendengarannya.
Tiba-tiba dua orang yang di depannya membentak nyaring dengan suara gerengan seperti harimau dan bentakan itu agaknya merupakan aba-aba bagi kawan-kawannya karena serentak mereka itu menerjang ke depan, menyerang Sutejo dari empat penjuru. Namun pemuda itu sudah siap. Dia maklum bahwa dalam keadaan terkurung,kalau lima orang pengeroyok itu malakukan sergapan secara mendadak dan berbareng,sukar baginya untuk melindungi dirinya, maka cepat dia menggenjotkan kedua kakinya ke atas tanah dan pada saat lima orang lawannya bergerak menyergapnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas seperti kilat menyambar cepatnya dan tahu-tahu dia sudah berjungkir balik ke belakang dan turun di luar kepungan itu!
"Ehhh......?"
"Ahhhh.....!!"
"Mana dia.....?"
Lima orang raksasa itu hampir saja saling bertumbukan dan mereka terkejut karena pemuda yang mereka keroyok itu tiba-tiba lenyap. Demikian cepatnya gerakan Sutejo tadi ketika meloncat sehingga yang nampak oleh mereka hanya bayangan berkelebat dan tahu-tahu orangnya sudah lenyap. Tentu saja orang yang tadi berada di depan Sutejo, kini melihat pemuda itu yang telah berdiri di belakang pengeroyok yang tadi menyerangnya dari belakang, maka mereka berdua cepat menerjang diikuti oleh tiga orang kawan mereka. Melihat mereka berlima kini menyerbu dari depan semua dan tentu saja tidak mingkin bagi mereka untuk melakukan serangan secara berbareng, mulailah Sutejo menggerkkan kaki tangannya, mengelak, menangkis dan membalas serangan mereka dengan temparan-tamparan dan tendangan-tendangan yang terkendali tenaganya karena dia tidak ingin membunuh mereka.
Terdengar suara plak-plak-buk yang cukup keras ketika tamparan-tamparan dan tendangan-tendangannya yang dilakukan dengan kecepatan kilat itu mengenai sasaran. Kecepatan pemuda itu tak dapat ditandingi oleh lima orang jagoan yang saking besarnya tidak mampu bergerak gesit itu, dan biarpun Sutejo telah mengendalikan tenaganya dan tidak menggunakan seluruh kesaktiannya, namun tamparan-tamparan itu cukup untuk membuat pingsan seorang lawan yang tangguh.
Akan tetapi lima orang itu hanya terpelanting saja dan dengan cekatan mereka sudah meloncat bangkit kembali karena tamparan dan tendangan itu hanya membuat mereka pening sebentar dan kini mereka sudah mengamuk lagi, menyerang Sutejo kalang-kabut seperti harimau-harimau buas. Serangan mereka dibarengi gerengan-gerengan menyeramkan.
Sutejo terkejut juga. Baru dia tahu bahwa lima orang lawannya itu memiliki kekebalan yang cukup kuat. Kini penyerangan mereka yang dahsyat, ganas dan membabi buta itu membuat dia agak kewalahan. Terpaksa dia mengelak dan mengandalkan kecepatan gerakannya, menyelinap di antara mereka sambil manangkis dan mengelak, namun selalu manjaga agar jangan sampai dia terdesak keluar dari lingkaran yang ditandai lawe merah. Hebatnya, lima orang itu terus mendesaknya,bahkan ada yang menggunakan cara berguling-guling di atas tanah untuk mengejarnya dan lengan-lengan mereka yang berbulu dan panjang itu menyambar dari bawah untuk menangkap kakinya, tentu dengan maksud diseret atau dibanting dan dilempar keluar dari lingkaran!
Tiba-tiba dua orang di antara mereka mendapat kesempatan untuk menubruk Sutejo dari depan. Dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan membentuk cakar harimau, mereka menubruk dari kanan kiri secara berbareng. Sutejo tidak dapat mengelak ke belakang karena di belakangnya, hanya dalam jarak dua meter,terdapat lingkaran dan kalau dia meloncat ke belakang, ada bahayanya, dia keluar dari ringkaran dan dianggap kalah. Kanan dan kiri sudah terjaga oleh dua orang lawan pula. Maka dia menggunakan kecepatanya pula, mendahului penyerang yang datang dari kanan dengan tendangan kakinya, sedangkan kedua tangannya menyambut kedua lengan penyerang dari kiri, lalu tubuhnya diputar miring dan dengan pengerahan tenaga dia membanting penyerang itu ke samping.
"Dukk!"
Bresss....!!"
Dua orang raksasa itu mengeluh, yang seorang memegangi perutnya yang tertendang, sedangkan yang dibanting itu bangkit duduk dan menggoyang-goyangkan kepala karena dunia berpusing di depan matanya! Namun, tiga orang yang lain sudah menyerang lagi sehingga Sutejo kembali sudah berloncatan dan mengelak ke sana-sini dengan sigapnya, kemudian dia pun membalas dengan tamparan berturut-turut,sekali ini menambahi tenaganya dan tiga orang itu terpelanting pula dan mengaduh-aduh. Tamparan tangan Sutejo terasa panas sekali bagi mereka.
"Aarrgghhhhh.....!!"
Seorang di antara mereka meloncat dan mengeluarkan gerengan hebat yang seolah-olah menggetarkan bumi yang berada di sekitar tempat pertandingan itu. Dan agaknya gerengan ini pun merupakan aba-aba bagi kawan-kawannya karena kini mereka menggunakan sebelah lengan untuk saling merangkul pinggang dan dengan cara demikian, mereka berlima begerak maju, sebelah lengan lagi dilonjorkan dan tangan mereka disatukan di depan dengan telapak tangan dibuka dan diarahkan kepada Sutejo. Lima buah tangan yang besar siap untuk mendorong pemuda itu dengan kekuatan dahsyat yang dipersatukan.
Sutejo merasa heran sekali melihat cara mereka menghadapinya. Dia tidak merasa gentar karena dengan cara maju bersama seperti itu, dia tidak perlu lagi menjaga diri dari serangan kanan kiri maupun belakang, maka dia pun melangkah maju memapaki dan ketika lima buah tangan itu bergerak mendorongnya, dia mengelak sedikit saja dan menggerakkan lengannya menangkis.
"Desss.....!"
Hampir Sutejo berteriak saking kagetnya karena tiba-tiba dia terpelanting! Para penonton yang menjagoi lima orang itu kini untuk pertama kalinya tersenyum.
Mereka sudah datang lagi, dengan saling rangkul dan melangkah maju berbareng seperti seekor kelabang yang aneh, sebelah lengan mereka diluruskan dengan tangan menjadi satu, menghampiri Sutejo, agaknya hendak mendorong pemuda itu atau memaksanya keluar dari lingkaran. Sutejo melirik ke arah panggung di mana duduk pula Sariwuni di samping ayah bundanya. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Teringatlah Sutejo akan peringatan dara yang dikenalnya sebagai Sulastri atau Sariwuni itu, tentang lima orang yang dapat menyatukan tenaga. Dia merasa penasaran. Memang dirasakannya ketika bertemu dengan tangan mereka tadi dalam tangkisannya, betapa dari tangan itu mengalir keluar tenaga yang amat kuat dan yang membuatnya terpelanting. Akan tetapi, hal itu hanya dapat terjadi karena di sama sekali tidak menduganya sehingga dia terkejut dan tidak siap sebelumnya. Kalau dia mengerahkan tenaga kesaktiannya, belum tentu dia kalah.
Melihat lima orang itu sudah maju lagi dengan sikap mengancam, Sutejo juga melangkah maju menyambut dan mengerahkan aji kesaktiannya yang amat hebat, yaitu Aji Kolo Cokro. Ketika dia menggosok kedua tangannya, dari kedua telapak tangannya mengepul uap! Kemudian dia menghadapi para musuhnya dengan kedua kaki terpentang dan segera menyambut tangan-tangan lima orang yang disatukan itu dengan kedua tangannya yang mengepulkan uap.
"Plak! Plak!"
Dua telapak tangannya bertemu dengan dua telapak tangan lawan yang dibantu oleh tiga telapak tangan lain itu. Kembali dia merasa betapa dari telapak tangan mereka menyambar tenaga dahsyat, namun sekali ini dia sudah siap dan cepat dia mengerahkan tenaganya untuk menentang.
Terjadi dorong-dorong dan biarpun tidak nampak oleh mata, namun semua orang tahu bahwa sekarang telah terjadi adu tenaga sakti yang amat hebat. Sutejo mendapat kenyataan bahwa lima orang itu memang benar hebat sekali setelah menyatukan tenaga mereka! Dia merasa betapa tenaga saktinya bertemu dengan tenaga yang kokoh kuat seperti gunung karang, dan dorongan yang amat hebat yang menghimpitnya itu, namun dia maklum bahwa menggunakan kekuatan untuk memaksa mereka mundur kiranya merupakan hal yang amat sukar. Tentu saja dia dapat membagi tenaganya dan menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan kepada mereka,akan tetapi hal itu akan berbahaya sekali bagi mereka, mungkin dapat menewaskan dan dia tidak ingin membunuh seorang pun di antara mereka.
Sutejo mencari akal, tidak seperti lima orang itu yang mati-matian mengandalkan kekuatan mereka untuk bertahan dan untuk menang. Mereka diam-diam juga terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka amat panas dan betapa tenaga mereka bertemu dengan tenaga mujijat yang keluar dari telap tangan pemuda itu. Namun mereka merasa penasaran dan tidak percaya kalau mereka akan kalah kuat, maka mereka mengerahkan pula seluruh tenaga mereka untuk mendorong.
Tiba-tiba Sutejo menggerakkan jari-jari tangannya dan kalau tadi mereka beradu telapak tangan, kini bagaikan dua ekor ular, kedua lengan Sutejo meluncur dan kedua tangannya menangkap pergelangan tangan orang pertama, mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring dan menggetarkan jantung, tubuhnya merendah lalu kakinya bergerak sehingga tubuhnya miring dan kedua tangannya yang tadi mendorong dan mempertahankan, secara tiba-tiba sekali berubah menjadi daya tarik dengan betotan mendadak dan amat kuat.
Lima orang itu sedang mengerahkan seluruh tenaga mereka mendorong, maka ketika kini tidak ada perlawanan yang menentang tenaga dorong mereka, bahkan Sutejo menggunakan kekuatan sakti untuk membetot, tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka tertarik ke depan! Sutejo menyentakkan dan melepaskan pegangannya dan..... seperti daun-daun kering tertiup angin, dan mengeluarkan suara seperti bata runtuh, lima orang itu terdorong ke depan dan roboh tunggang-langgang keluar dari lingkaran lawe merah yang menjadi putus keterjang tubuh mereka!
Tepuk tangan nyaring dari atas panggung memecahkan kesunyian dan ketegangan yang mengikuti robohnya lima orang itu. Tepuk tangan Sariwuni memancing tepuk tangan dan sorak-sorai semua orang yang menyatakan kekagumannya kepada Sutejo yang merak kenal sebagai Raden Bromatmojo! Lima orang itu merangkak bangun, mengaduh-aduh karena baru sekarang mereka melihat betapa lengan tangan mereka merah sekali dan bengkak-bengkak akibat pengaruh Aji Kolo Cokro yang amat panas. Pangeran Bandupati menghampiri Sutejo dan menyatakan kemenangan pemuda ini dengan mengangkat lengan pemuda ini ke atas yang pula oleh sorak-sorai para penonton.
Adipati Menak Dibyo girang bukan main, girang dan kagum. Diam-diam dia mengakui bahwa agaknya di sendiri belum tentu akan mampu menandingi pemuda itu. Dengan adanya pemuda seperti ini di sampingnya, apalagi sebagai mantunya, tentu dia tidak takut lagi menghadapi musuh-musuh sakti. Terbayang sudah di depan matanya betapa dia akan dapat membasmi musuh besarnya, yaitu Kadipaten Puger di seberang!
Demikianlah, pertunangan antara Raden Baromatmojo dan Puteri Sariwuni diumumkan,dan semenjak hari itu, Sutejo hidup sebagai Raden Bromatmojo dan calon mantu adipati, dan dia masih belum ingat akan keadaannya sebelum dia bertemu dengan Sariwuni dan sebelum lewat setengah bulan, Sariwuni tidak pernah lupa untuk mencampurkan akar Lalijiwo dalam hidangan tunangannya.
Kita tinggalkan dulu Sutejo yang seolah-olah hidup sebagai seorang manusia baru dengan nama Raden Bromatmojo, dan satu-satunya orang yang masih diingatnya adalah Sulastri yang ditemukan dalam diri Sariwuni, dan bahwa dia mencintai Sulastri, bahwa dia bersalah terhadap Sulastri dan dia harus menaati semua kehendak Sulastri untuk menebus dosanya. Baru sekarang dia "tahu"
Bahwa Sulastri juga bernama Sariwuni, puteri Adipati Nusabarung! Mari kita mengikuti perjalanan Sulastri yang asli, atau Bromatmojo yang tulen.
Dengan muka agak pucat, wajah muram dan mata merah karena banyak menangis, tubuh agak kurus karena kurang tidur dan kurang makan, Sulastri melakukan perjalanan seorang diri ke selatan, menuju ke Kadipaten Puger untuk menyusul dan menolong dua orang sahabatnya yang tertawan, yaitu Joko Handoko dan Roro Kartiko. Perjalanan ini amat melelahkan dan amat sukar melaui pegunungan kapur yang memanjang dari timur ke barat, memalui hutan-hutan liar yang penuh pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar.
Kalau teringat kepada Sutejo, bermacam perasaan menyakitkan hatinya. Dia mencinta Sutejo, dan hatinya sakit karena duka bahwa dia terpaksa harus berpisah dari pria yang dicintainya itu. Penyesalan dan kekecewaan memenuhi hatinya ketika teringat betapa Sutejo telah diperalat oleh Mahapati sehingga pemuda itu sampai hati untuk membantu Mahapati menyebabkan kematian gurunya. Padahal,gurunya yang pertama, Ki Jembros, juga tewas di tangan Mahapati yang mengeroyoknya. Kini Gurunya ke dua yang amat disayangnya pula, Empu Supamandrangi, juga mati di tangan orang-orang Mahapati. Dan Sutejo mambantu Mahapati! Hal ini amat menyakitkan hatinya.
Akan tetapi ketika dia tiba di tepi daerah Kadipaten Puger, melihat penduduk dusun-dusun yang termasuk wilayah Puger, dia melupakan penderitaan batinnya sendiri karena perhatiannya kini tertuju untuk menyelamatkan Joko Handoko dan Roro Kartiko. Bagaimanakah keadaan mereka, pikirnya. Bagaimanakah sesungguhnya keadaan kakak beradik yang telah tertawan oleh dua orang kakak beradik kembar dari Puger itu? Seperti telah kita ketahui, Joko Handoko dan Roro Kartiko, juga tujuh orang anggota Sriti Kencana, semua tertawan oleh pasukan ang dipimpin oleh Murwendo dan Murwanti, kakak beradik kembar dari Puger itu.
Mereka itu tergila-gila kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko dan setelah berhasil manawan dua orang muda ini dan tujuh orang wanita anggota Sriti Kencana, Murwendo dan Murwanti lalu bergegas pulang ke selatan, ke Kadipaten Puger yang terletak di pantai Laut Selatan. Setelah pasukan tiba di Puger, Murwendo dan Murwanti langsung membawa tawanan mereka ke dalam istana kadipeten, menghadap ayah mereka dengan wajah berseri. Mereka menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul itu ke atas lantai dalam keadaan terbelenggu, lalu berlutut menyembah kepada ayah dan ibu mereka.
Raja di Puger, memandang dengan mata terbelalak kepada kedua orang anaknya,demikian pula permaisurinya. Raja ini usianya sudah enam puluh tahun, rambutnya putih dan gerak-geriknya halus. Permaisurinya berusia empat puluh lima tahun, masih cantik jelita dan seperti juga suaminya, wanita ini halus gerak-geriknya. Para pengawal dan pelayan yang berada di ruangan itu juga memandang dengan terheran-heran ketika putera dan puteri raja itu datang memanggul seorang dara dan seorang pemuda yang cantik dan tampan. Sang Prabu Bandardento, Raja Puger itu, sudah mengenal keadaan putera-puterinya.
Raja yang cukup bijaksana ini maklum bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada dua orang anak kembar ini. Melihat kedatangan mereka membawa tawanan, Sang Prabu lalu cepat memberi isyarat kepada semua pengawal dan pelayan untuk meninggalkan ruangan itu. Para pengawal dan pelayan menyembah dan cepat keluar dari situ, meninggalkan Sang Prabu dan permaisurinya berdua saja menghadapi Murwendo, Murwanti dan dua orang tawanan itu. Setelah semua orang pergi, barulah Sang Prabu bangkit dari kursinya.
"Apa artinya ini? Darimana kalian berdua dan siapa yang kalian bawa sebagai tawanan ini?"
Di dalam suaranya Sang Prabu Bandardento terkandung kemarahan dan teguran.
"Kanjeng Romo, ini adalah Roro Kartiko, calon mantu Paduka,"
Kata Murwendo.
"Dan ini adalah Joko Handoko, juga calon mantu Paduka, Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu,"
Sambung Murwanti sambil meraba pundak Joko Handoko yang rebah miring dan tidak mampu bergerak karena kaki tangannya terbelenggu. Sang Prabu saling pandang dengan permaisurinya, alisnya berkerut dan jantungnya terasa perih. Kedua orang anak kembarnya itu sudah mendekati kegilaan, pikirnya. Sakit sekali perasaannya kalau diingat. Dia tidak pernah mempunyai keturunan.
Permaisurinya yang belasan orang selirnya tidak pernah ada yang mempunyai keturunan. Hanya seorang selir saja yang mempunyai keturunan, yaitu melahirkan anak kembar ini! Akan tetapi, selir itu meninggal dunia ketika melahirkan Si Kembar ini, dan Sang Prabu tahu bahwa anak kembar ini bukanlah keturunannya! Si kembar ini lahir karena selir itu mengadakan hubungan rahasia, berzina dengan seorang juru taman. Seorang yang rendah dan hina! Namun, untuk menjaga kehormatan, diam-diam Sang Prabu menyuruh pengawal membunuh juru taman itu. Kini pembuat aib itu, baik yang wanita maupun pria, telah mati semua hingga dia dapat menerima Si Kembar sebagai anaknya!
Betapa dia sayang kepada dua orang anak kembar itu karena Sang Prabu tidak pernah dapat menikmati perasaan seorang ayah. Dilupakannya kenyataan bahwa Si Kembar itu bukan darah dagingnya. Disayang dan dimanja oleh Sang Prabu,permaisuri dan semua selir, dua orang kembar
(Lanjut ke Jilid 27)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
malah menjadi rusak! Ataukah mungkin sudah terdapat dalam darah mereka?
Mula-mula Sang Prabu hanya melihat gejala buruk itu ketika melihat anak kembar itu bersikap kejam dan keras terhadap ponggawa dan pelayan. Apalagi setelah mereka mepelajari ilmu kedigdayaan, mereka suka bertindak sewenang-wenang. Hanya terhadap Sang Prabu saja mereka tunduk dan taat, akan tetapi mereka tidak lagi tunduk kepada ibu-ibu mereka, apalagi kepada para ponggawa!
Akhirnya kenyataan yang amat pahit mulai manusuk hati Sang Prabu ketika Beliau menerima bisikan dari para pengawal penyelidik bahwa Murwendo dan Murwanti mengadakan hubungan sebagai suami isteri! Dua orang anak kembar itu telah mulai dewasa, telah melakukan perjinaan! Hal ini sungguh merupakan pukulan berat bagi raja itu. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menghadapi keadaan itu. Menegur mereka? Peristiwa itu sudah terjadi, sudah terlanjur. Marah-marah?
Kalau umum mengetahui, akan menimpa aib dan noda yang lebih hebat lagi daripada noda yang ditimbulkan oleh selirnya yang berzina dengan juru taman dahulu! Didiamkan saja? Juga makan hati! Diam-diam raja ini menderita tekanan batin dan rasa sayangnya terhadap dua orang anak kembar itu mulai menipis. Biarpun dua orang anak kembar itu kini menjadi seorang pemuda dan seorang dara yang berwajah tampan dan cantik, namun dia tahu benar bahwa watak mereka amat tidak baik, selain kejam juga rendah dan hina.
Hanya ada satu hal yang merupakan hiburan besar di dalam hati Sang Prabu bahwa dua orang anak itu bukanlah keturunannya. Dan selain dia sendiri, yang tahu akan hal itu hanyalah permaisurinya, dan tentu saja orang-orang kepercayaannya, yaitu pengawal-pengawal pribadinya yang dua orang, Si Sulung Hitam Padas Gunung dan Si Demit Kinang Pragalbo. Kedua orang tokoh Puger inilah yang dulu disuruhnya membunuh juru taman dan mereka berdua itulah yang tahu akan rahasia Murwendo dan Murwanti.
Ketika Sang Prabu melihat dua orang anak kembar itu pulang membawa dua orang tawanan, dia terkejut dan merasa tidak senang. Dan jawaban mereka bahwa pemuda dan dara yang ditawan itu merupakan calon-calon mantunya, membuat wajahnya menjadi merah sekali. Betapa tidak tahu aturan adanya dua orang anaknya ini!
Mana mungkin mencari jodoh sendiri dengan paksa itu, seperti dua orang liar,tanpa minta dulu pendapat dan perkenannya. Ingin Sang Prabu membentak-bentak marah, akan tetapi dia menahan diri, hanya bertepuk tangan membari isyarat kepada pengawal. Cepat sekali pengawal kepala datang memasuki kamar itu dan menghadap Sang Prabu.
"Cepat panggil Padas Gunung dan Pragalbo ke sini!"
Teriak Sang Prabu suaranya jelas mengandung kemarahan. Pengawal itu cepat berlalu memenuhi perintah Sang Prabu yang segera duduk kembali dan memandang ke arah dua orang tawanan itu sambil mengelus jenggot.
Harus diakuinya bahwa pemuda tawanan itu tampan dan gagah, sedangkan dara itu pun cantik dan seperti puteri istana. Makin tidak enaklah rasa hatinya Melihat keadaan mereka, tentu pemuda dan dara itu bukan orang-orang sembarangan di Mojopahit dan perbuatan dua orang anaknya itu berarti menanam bibit permusuhan hebat dengan Mojopahit. Perbuatan yang amat berbahaya! Dia melihat betapa Murwendo mengusap rambut di dahi tawanan wanita itu dengan mesra, dan melihat sianr mata penuh kebencian dari dara tawanan itu yang cepat membuang muka. Demikian pula, pemuda yang menjadi tawanan itu membuang muka ketika Murwanti mengelus pundaknya dengan sikap mesra dan tak tahu malu. Betapa jauhnya sikap sepasang tawanan itu dengan sikap dua orang anaknya!
Padas Gunung dan Pragabo, dua orang tokoh Puger yang memiliki kepandaian tinggi itu, kini sudah datang menghadap. Sang Prabu memandang kepada mereka dengan sikap marah, kemudian terdengar dia membentak.
"Padas Gunung dan Pragalbo! Apa saja yang kalian lakukan bersama Pangeran dan Puteri? Mengapa kalian menawan dua orang muda ini?"
Padas Gunung yang bermuka kuning itu tidak dapat bicara dan hanya menunduk dengan sikap bingung dan dia menyerahkan jawabannya kepada Pragalbo yang memang lebih pandai bicara daripada dia. Namun, menghadapi junjungannya yang sedang marah itu, Pragalbo juga kelihatan gugup dan dia cepat menyembah lalu berkata.
"Mohon beribu ampun apabila hamba berdua melakukan hal yang tidak berkenan di hati Paduka, Gusti. Sesungguhnya, hamba berdua dan pasukan hanya melaksanakan perintah dari Gusti Pangeran dan Gusti Puteri. Pemuda dan gadis ini, juga tujuh orang wanita lain yang menjadi anak buah mereka, adalah orang-orang Lumajang,dan karena Gusti Pangeran dan Gusti Puteri menghendaki, maka hamba berdua terpaksa lalu menangkap mereka dan...."
"Hayo cepat lepaskan belenggu kaki tangan mereka!"
Sang Prabu menghardik marah dan hatinya menjadi makin khawatir mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang Lumajang! Dia sudah mendengar bahwa Lumajang kini tidak tunduk kepada Mojopahit,dan hal ini amat menguntungkan Puger, karena Lumajang dapat menjadi perisai atau benteng yang akan dapat menghadang gerakan Mojopahit kalau-kalau kerajaan itu hendak meluaskan wilayah ke timur. Sebelum Mojopahit berkesempatan menyerbu Puger, haruslah lebih dulu membobolkan pertahanan Lumajang. Oleh karena itu, sungguh tidak baik untuk menanam permusuhan dengan Lumajang.
Mendengar perintah yang dikeluarkan dengan bentakan marah ini, dua orang pengawal yang juga menjadi senopati itu cepat menghampiri dua orang tawanan itu. Murwendo dan Murwanti juga tidak berani menghalangi dan mereka mundur dan duduk bersimpuh sambil memandang kepada dua orang tawanan itu dengan sinar mata penuh kemesraan. Setelah dibebaskan dari belenggu, Joko Handoko dan Roro Kartiko menggosok-gosok pergelangan tangan dan kaki mereka yang terasa sakit setelah kini darahnya berjalan lancar kembali. Kemudian Joko Handoko memandang kepada raja yang berambut putih dan bersikap agung itu. Dia segera menyembah, diikuti oleh adiknya yang seperti juga kakaknya merasa lega bahwa raja itu kiranya tidaklah sejahat kakak beradik kembar itu.
Melihat sikap pemuda dan dara itu, Sang Prabu Bandardento menjadi makin kagum dan makin keras dugaannya bahwa memang mereka ini bukan orang sembarangan. Yang jelas mereka itu tahu akan susila, maka dengan suara halus dai lalu bertanya kepada Joko Handoko,
"Orang muda, maafkanlah perlakuan yang tidak patut dari putera dan puteri kami. Sebelum mendengar keterangan dari pihak putera-puteri kami, lebih baik dulu kami mendengar darimu, siapakah engkau dan gadis ini, dan bagaimana sampai menjadi tawanan anak-anak kami?"
Karena Joko Handoko maklum bahwa dia berhadapan dengan raja yang bijaksana dan berkuasa di Puger, dia menyembah lagi sebelum menjawab.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hamba bernama Joko Handoko dan ia ini adalah adik kandung hamba yang bernama Roro Kartiko. Mendiang ayah hamba berdua adalah bekas bupati di Tuban yang karena menentang Mojopahit telah terhukum mati dan hamba berdua bersama ibu hamba telah mengungsi ke Lumajang dan....."
"Maksudmu Bupati Ronggo Lawe?"
Tanya Raja Puger itu.
"Bukan, Sri Baginda. Mending Ayah hamba adalah pengganti Beliau dan bernama Progodigdoyo. Kini hamba berdua tinggal di Lumajang dan telah diterima menjadi perwira pengawal oleh Sang Adipati di Lumajang."
"Pengawal Lumajang? Hemmm..."
Hati Raja itu menjadi makin khawatir.
"Lalu bagaimana Andika berdua sampai tertawan oleh pasukan kami?"
Joko Handoko bukan orang bodoh. Raja ini adalah ayah dari dua orang kembar yang aneh itu, maka mengadu kepada raja ini merupakan hal yang sia-sia belaka,sungguh pun raja ini kelihatan bijaksana dan halus. Dia menjadi serba salah dan bingung juga, akan tetapi dengan hati-hati pemuda ini lalu menjawab.
"Maaf, Sri Baginda, sesungguhnya hamba berdua juga masih merasa heran. Berdua saudara Murwendo dan Murwanti, yang baru sekarang hamba ketahui adalah putera-puteri Paduka tadinya adalah rekan-rekan hamba setelah mereka berhasil pula memasuki sayembara dan diangkat menjadi perwira pengawal seperti hamba. Akan tetapi,selagi hamba berdua dan teman-teman hamba yang sedang melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Sang Adipati Lumajang, mereka berdua mengajak hamba untuk ikut ke Puger. Hamba dan adik hamba menolak dan mereka menggunakan paksaan sehingga terjadi perkelahian. Hamba berdua dikeroyok dan tertawan."
Wajah Sang Prabu Bandardento menjadi merah. Dia merasa malu sekali atas perbuatan dua orang putera kembarnya itu. Akan tetapi, membebaskan dua orang muda ini pun tidak baik karena tentu mereka akan kembali ke Lumajang dan Adipati Lumajang tentu akan marah dan memusuhi Puger kalau mereka mendengar bahwa perwira-perwiranya diganggu oleh Puger, apa lagi kalau mendengar bahwa putera-puteri Puger telah menyelundup ke Lumajang dan menjadi penggawal. Tentu akan menimbulkan sangkaan yang tidak baik.
Maka dia lalu berkata kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko dengan suara yang halus namun tegas.
"Dua orang putera kami telah melakukan kekasaran terhadap Andika berdua, harap Andika berdua tidak menaruh dendam. Setelah Andika berdua barada di sini, kami menganggap Andika berdua sebagai tamu-tamu terhormat dan kami minta sukalah kiranya Andika berdua menjadi sahabat-sahabat putera-puteri kami dan mengajarkan kesusilaan dan kebajikan kepada mereka."
"Tapi, Kanjeng Romo, hamba ingin menikah denga Roro Kartiko!"
Tiba-tiba Murwendo berkata.
"Hamba juga, kawinkan hamba sekarang juga dengan Joko Handoko, Kanjeng Romo!"
Kata Murwanti.
"Diam....!!!"
Sang Prabu Bandardento membentak, marah dan malu bukan main.
"Awas, kalian tidak boleh menggunakan paksaan! Padas Gunung dan Pragalbo, aku perintahkan kalian untuk mengawasi dan menjaga agar pangeran dan puteri tidak memaksa dan mengganggu dua orang tamu kita dan tujuh orang pengiring mereka itu! Murwendo dan Murwanti, perjodohan tidak boleh dipaksakan. Kalau memang mereka berdua ini suka menjadi jodohmu tanpa paksaan, aku akan merasa senang dan bangga sekali mempunyai mantu seperti mereka. Akan tetapi, kalau kalian melakukan paksaan dan kotor, aku sendiri akan menentangmu!"
Setelah berkata demikian, Sang Prabu membubarkan persidangan dan Joko Handoko bersama Roro Kartiko dipersilakan keluar oleh Padas Gunung dan Pragalbo. Dua orang kakak beradik ini terkejut dan bingung, akan tetapi mereka tidak diberi kesempatan untuk membantah lagi. Maka mereka terpaksa untuk sementara menerima nasib, karena bagaimana pun juga, keputusan raja itu membuat mereka terlepas daripada ancaman saudara kembar itu.
Mereka diperbolehkan bebas di Puger dan diberi rumah pemondokan yang cukup baik bersama tujuh orang anak buah Sriti Kencana, namun mereka maklum bahwa untuk lolos dari tempat itu adalah tidak mungkin karena siang malam mereka selalu diawasi. Murwendo dan Murwanti memang tidak berani melanggar pantangan ayah mereka.
Mereka berdua tidak berani menggunakan paksaan, apalagi karena mereka berdua maklum bahwa Joko Handoko dan Roro Kartiko bukanlah orang-orang lemah yang dapat dipaksa begitu saja. Dahulu pun kalau tidak ada bantuan Padas Gunung dan Pragalbo, tidak mungkin mereka mampu menawan kakak beradik yang membuat mereka tergila-gila itu. Sekarang, dua orang tawanan itu telah menjadi tamu-tamu yang terhormat dan bebas, bahkan diawasi selalu oleh Padas Gunung dan Pragalbo yang mereka tahu amat setia kepada ayah mereka sehingga dua orang tokoh yang juga menjadi guru-guru mereka itu tentu tidak akan segan-segan menentang mereka untuk mentaati perintah junjungan mereka kalau mereka berdua berani mengganggu Joko Handoko dan Roro Kartiko.
Murwendo dan Murwanti merasa penasaran sekali, namun mereka hanya dapat menimbun rasa kekecewaan mereka di dalam hati saja. Mereka berdua bersikap manis dan berusaha memikat hati dua orang muda itu dengan cara halus, akan tetapi Joko Handoko dan Roro Kartiko sama sekali tidak pernah mau melayani mereka setiap kali dua orang saudara kembar itu muncul, Joko Handoko dan adiknya tentu meninggalkan mereka dan mengunci diri dalam kamar masing-masing,sedikit pun tidak mau bicara dengan mereka! Hal ini tentu saja membuat Murwendo dan Murwanti merasa tersiksa sekali.
Dan kalau sudah begini, yang menjadi bulan-bulan kemarahan mereka tentulah para abdi yang melayani mereka, dipukul, ditendang dan dimaki hanya karena kesalahan yang kecil saja. Dan untuk menghibur diri dari kekecewaan, kakak beradik kembar ini saling menumpahkan rasa rindu dan tergila-gila mereka itu satu kepada yang lain, dan makin berlarut-larutlah hubungan gelap, perjinaan yang amat mencemarkan Kadipaten Puger antara dua orang kakak beradik kembar yang agaknya mempunyai kelainan batin ini.
Sesungguhnya hidup ini sempurna, menjadi tidak sempurna karena kita sendiri yang membuatnya. Sesungguhnya hidup ini bahagia, menjadi tidak bahagia karena kita menganggapnya demikian. Sesungguhnya kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita,melainkan kitalah yang meninggalkannya untuk mengejar bayangannya! Mengapa kita tidak pernah menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagai sesuatu kewajaran, menghadapinya tanpa sorak kemenangan atau keluh kekalahan? Selalu kita nilai dengan keuntungan atau kerugian sehingga tentu saja menimbulkan kepuasan atau kekecewaan, kesukaan atau kedukaan. Dan terseretlah kita ke dalam lingkaran setan yang tiada putusnya, tenggelamlah kita ke dalam gelombang suka duka, di mana dukanya lebih banyak daripada sukanya, di mana apa yang dinamakan kebahagiaan hanya kadang-kadang saja bercahaya seperti kilat di musim hujan yang selalu penuh awan gelap.
Bagi seorang biasa yang melihat Sang Prabu Bandardento sebagai seorang yang paling berkuasa dan paling mulia di Puger, tentu menganggapnya sebagai ukuran tertinggi orang yang hidup bahagia. Akan tetapi apa kenyataannya bagi Sang Prabu Bandardento sendiri? Tidak ada bedanya dengan orang-orang yang paling miskin di puger. Tetap saja dilanda kecewa dan kedukaan. Hal-hal yang dianggapnya sebagai sumber bahagia oleh orang-orang kecil, seperti kekayaannya, kekuasaannya kini sama sekali tidak dirasakan sebagai keadaan berbahagia oleh raja yang sudah memiliki semua itu semua! Dan demikian pula keadaan kehidupan kita semua!
Kita melihat orang lain yang memiliki kelebihan daripada kita sebagai orang yang berbahagia, akan tetapi kenyataanya tidak demikian karena orang yang kita anggap beahagia itu pun akan meliah orang lain dan menganggap orang lain itu berbahagia sedangkan dia tidak! "Mengapa demikian?"
Karena kesalahan yang satu ini kita miliki bersama, yaitu kesalahan membayang-bayangkan selalu bahwa kebahagiaan berada DI SANA, sama sekali tidak pernah meneliti dan menyelidiki keadaan DI SINI atau saat ini!
"Ah, kami merasa kuat bertanggung jawab atas perpisahan dua pasang merpati,"
Kata Sang Prabu Bandardento kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko pada suatu senja ketika dia dan permaisurinya memanggil dua orang kakak beradik itu dalam taman sari.
"Kami akan berusaha untuk mendatangkan tunangan-tunangan kalian, Joko dan Roro. Katakanlah, siapakah tunangan kalian itu?"
Wajah Joko Handoko dan Roro Kartiko menjadi merah sekali mendengar pertanyaan ini. Mereka saling pandang dan dalam sinar mata mereka berdua, kakak beradik ini sama-sama mengerti bahwa untuk menghindarkan diri dari harapan Sang Prabu untuk menjodohkan mereka dengan Si Kembar, memang sebaiknya kalau mengaku saja rahasia hati mereka secara terbuka. Joko Handoko maklum pula akan isi hati adiknya, maka dia lalu menyembah dan berkata.
"Harap Paduka maafkan karena hamba berdua pun tidak tahu di mana mereka sekarang. Akan tetapi kalau Paduka ingin mengetahui, pujaan hati hamba itu adalah seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Sulastri."
"Hemm, Sulastri? Dan dia pun gagah perkasa seperti Roro?"
Tanya Sang Permaisuri.
"Seperti hamba? Ah, hamba tidak ada seperempatnya!"
Kata Roro Kartiko. Sulastri adalah murid dari puncak Bromo, murid Empu Supamandrangi...."
"Ahh.....!"
Adipati Puger itu kelihatan terkejut sekali.
"Pantas dia gagah perkasa......, dan di manakah dia sekarang, Joko Handoko?"
Pemuda itu menarik napas panjang.
"Hamba tidak tahu, Gusti. Ketika itu, dia dan hamba berdua sedang diutus oleh Adipati Lumajang untuk menyelidiki pusaka ke Mojopahit, akan tetapi muncul pasukan dari Puger dan hamba berdua ditawan....."
"Menyelidiki pusaka? Pusaka apakah itu?"
"Keris pusaka Kolonadah...."
"Ahhh....!"
Kembali Sang Prabu Bandardento berseru kaget dan mengangguk-angguk,lalu dia bertanya kepada Roro Kartiko.
"Dan Engkau, Nini? Siapakah pujaan hatimu itu, yang membuatmu tidak mau menerima cinta kasih Murwendo?"
Roro Kartiko terkejut dan dia menundukkan mukanya.
Kedua pipinya menjadi kemerahan, bibirnya tersenyum malu-malu dan beberapa kali bibir itu bergerak,namun tidak mampu mengeluarkan suara! Melihat ini, Sang Prabu Bandardento tertawa bergelak dan Sang Permaisuri berkata.
"Ah, tentu saja dia malu untuk mengaku."
"Joko Handoko, Andika sajalah yang menceritakan, siapa pujaan hati Adikmu itu? Apakah dia juga seorang yang sakti mandraguna? Agaknya di mojopahit banyak sekali orang-orang muda yang digdaya."
"Sesungguhnyalah, Gusti. Pria yang menjadi pujaan Roro adalah seorang pemuda yang kesaktiannya bahkan melebihi kesaktian Sulastri. Namanya adalah Sutejo, putera dari mendiang Senopati Mojopahit yang bernama Lembu Tirta,"
Kata Joko Handoko.
"Hebat! Dan Murid siapakah dia?"
"Kalau tidak salah, dia adalah murid Panembahan Ciptaning...."
"Pertapa di lereng Gunung Kawi? Hebat sekali.... luar biasa....! Dan di mana dia sekarang?"
Dengan alis berkerut karena kecewa mengenang sahabatnya ini, Joko Handoko berkata.
"Dia menjadi hamba di Mojopahit."
"Ah, sayang.... kalau dia berada di sini, juga Sulastri itu...."
Tiba-tiba Adipati itu menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba muncul beberapa orang pengawal yang tugasnya menjaga di sekitar tamansari.
"Harap Paduka mengampuni hamba kalau hamba mengganggu...."
Kata seorang di antara mereka dengan napas terengah-engah. Pada saat itu, Sang Prabu Bandardento, Permaisuri dan dua orang muda itu telah pula mendengar suara ribut-ribut yang terdengar di sebelah depan istana kadipaten.
"Apa yang terjadi, pengawal?"
Tanya Sang Prabu Bandardento dengan sikap tenang.
"Di pendapa istana ada seorang wanita mengamuk, dia digdaya sekali, banyak pengawal yang sudah roboh dan sekarang Ki Padas Gunung dan Ki Pragalbo sedang berusaha menandinginya, Gusti."
"Diajeng, kau kawal Gusti Puteri ke dalam, biar aku melihat siapa pengacau itu!"
Kata Joko Handoko yang kemudian berkata pula kepada Sang Prabu Bandardento.
"Harap Paduka suka menanti saja di dalam, hamba akan menangkap pengacau itu."
Sang Prabu Bandardento mengagguk dan tersenyum girang menyaksikan sikap pemuda itu. Lalu dia bersama permaisuri memasuki istana dari pintu belakang, dikawal oleh Roro Kartiko dan beberapa orang pengawal. Setelah mengawal raja dan permaisuri sampai ke dalam dengan selamat, Roro Kartiko juga cepat lari keluar untuk membantu kakaknya menangkap pengancau.
Apakah yang terjadi di luar? Ketika itu, malam telah mulai tiba dan lampu-lampu di sekitar istana kadipaten telah dinyalakan oleh para perajurit penjaga. Akan tetapi, ketika dua orang perajurit sedang sibuk memasang lampu besar yang tergantung di tengah ruangan pendopo, tiba-tiba ada sinar hitam menyambar.
"Pyarrrr....!!"
Lampu itu pecah berantakan terkena sabitan batu hitam yang menyambar tadi. Dua orang perajurit itu terkejut bukan main dan ketika mereka melihat ada bayangan orang melompat masuk ke ruangan pendopo, mereka terkejut dan cepat menyerang.
"Maling!"
Teriak mereka, akan tetapi teriakan mereka itu terhenti di tengah karena dua kali tamparan yang amat cepat datangnya membuat tubuh mereka terpelanting dan mereka roboh pingsan seketika!
Para perajurit penjaga lainnya mendengar suara pecahnya lampu penerangan itu dan melihat pula robohnya dua orang teman mereka. Cepat mereka berlari-larian menuju ke ruangan pendopo itu dan di situ, di dalam cuaca yang remang-remang, nampak berdiri sesosok tubuh manusia ramping dan terdengar suara halus seorang wanita yang berteriak nyaring.
"Murwendo dan Murwanti, keluarlah kalau kalian memang gagah!"
Mendengar wanita itu menantang pangeran dan puteri, tentu saja par perajurit yang jumlahnya tujuh orang itu cepat menerjang dengan marah. Akan tetapi wanita itu menggerakkan kaki tangannya dan para pengeroyoknya roboh terpelanting ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya tubuh mereka. Kini para pengawal yang mendengar suara ribut-ribut, berlarian keluar dan sebentar saja lebih dari dua puluh orang perajurit pengawal mengurung pendopo itu.
"Pengacau gila, hayo kau menyerah sebelum mampus dalam pengeroyokan kami!"
Bentak seorang perwira pengawal.
Wanita itu berdiri sambil bertolak pinggang di tengah ruangan, memandang kepada para pengepung dan melihat betapa beberapa orang yang sudah dia robohkan itu terseret keluar, lalu dia berkata.
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo