Kemelut Di Majapahit 27
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
"Babo-babo, majulah semua orang Puger kalau Si Kembar pengecut Murwendo dan Murwanti tidak berani menandingi aku!"
Tentu saja para pengawal menjadi marah dan mereka serentak maju, kini dengan keris dan tombak karena mereka menganggap wanita ini seorang pengacau yang amat berbahaya dan yang mengencam keselamatan pangeran dan puteri. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat dan pandang mata pengeroyok menjadi kabur. Cuaca remang-remang itu membantu kecepatan gerakan wanita itu yang seolah-olah pandai menghilang dan tahu-tahu para pengeroyok di sebelah kirinya mawut diterjang oleh tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan kakinya sebelum mereka sempat menggerakkan senjata mereka. Teriakan-teriakan terdengar disusul robohnya mereka dan senjata mereka beterbangan berjatuhan di atas lantai. Para pengeroyok mendesak maju dari belakang, akan tetapi, tiba-tiba wanita itu membalikkan tubuh dan tangannya bergerak. Sebatang tombak yang telah dirampasnya menyambar dan membabat dari samping.
"Des-des-plakk!"
Tiga orang rubuh dan tangkai tombak itu patah-patah, kemudian wanita itu melanjutkan amukannya dengan gerakan yang amat kuas tangkas dan cepat. Gerakannya seolah-olah di pandai terbang, seperti seeekor burung srikaan menyembari kupu-kupu dan setiap kali tangannya bergerak manampar, tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting. Dalam waktu singkat saja lebih dari sepuluh pengeroyoksudah roboh! Akan tetapi, lebih banyak lagi perajurit pengawal datang dan sebagian di antara mereka membawa obor sehingga ruangan pendopo yang luas itu kini menjadi terang benderang.
Para pengawal terkejut dan heran bukan main bercampur kagum ketika sinar obor menerangi wajah dan tubuh wanita yang mengamuk itu. Ternyata yang mengamuk itu adalah seorang dara yang amat cantik dan masih muda belia! Akan tetapi, beberapa orang pengawal yang dulu ikut dalam pasukan yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo, mengenal dara itu dan mereka berseru.
"Dia orang Lumajang!"
Dara perkasa itu memang Sulastri adanya. Dengan hati tertekan penderitaan yang amat berat, Sulastri manuju ke Puger dan melakukan penyelidikan. Dari penduduk dia mendengar bahwa Adipati Puger, yang berjuluk Sang Prabu Bandardento, adalah seorang raja yang amat bijaksana dan baik. Akan tetapi menurut berita itu,putera Sang Prabu yang kembar tu, Pangeran Murwendo dan Puteri Murwanti, memang terkenal sebagai orang-orang muda yang aneh dan kadang-kadang suka melakukan hal-hal yang tidak terpuji, bahkan mendekati kekejaman. Tentu saja dia tidak dapat benyak memancing berita tentang kejahatan saudara kembar itu.
Akan tetapi dia mendengar pula akan adanya tawanan-tawanan yang kini bereda di istana, kabarnya di antara para tawanan terdapat seorang pemuda dan seorang gadis yang dikabarkan akan menjadi mantu-mantu raja! Mendengar ini, tidak syok lagi hati Sulastri bahwa memang Joko Handoko dan Roro Kartiko yang dicarinya berada di situ,menjadi tawanan istana agaknya. Dia merasa penasaran dan marah sekali. Andaikata Sulastri tidak sedang dihimpit kedukaan dan kekecewaan berhubung dengan adanya peristiwa Sutejo yang amat mengecewakan hatinya, agaknya dia akan bersikap hati-hati dan akan berusaha menolong kawan-kawannya itu dengan cara yang lebih halus. Akan tetapi, kedukaan dan kekecewaan membuat dia menjadi nekat.
Dia seperti orang yang tidak peduli lagi akan nasibnya, tidak peduli lagi ada bahaya mengancamnya. Dengan marah dia malam itu juga lalu menyerbu istana kadipaten dan menantang-nantang kepada Murwendo dan Murwanti! Pengeroyokan para pengawal tidak membuat dia menjadi gentar, bahkan dia mengamuk dan merobohkan banyak pengawal dengan menggunakan kegesitan dan ketangkasannya.
Betapa pun juga, dia tidak hendak menumpahkan rasa marah dan bencinya kepada para pengawal yang dia tahu hanya merupakan alat-alat belaka, maka dia tidak mau menyebar maut dan hanya merobohkan mereka dengan tenaga terkendali agar tidak ada yang tewas oleh tendangan atau pukulannya. Biarpun demikian, karena kedua tangannya mengandung aji kesaktian Hasto Nogo, maka setiap kali ada yang terkena sentuhan jari tangannya tentu terpelanting dan kalau tidak pingsan, tentu sedikitnya patah tulang atau salah urat, membuat mereka tidak dapat melanjutkan pengeroyokan lagi.
Dengan Aji Hasto Nogo di jari-jari tangannya dia mainkan Ilmu Silat Hasto Bairowo, dengan kecepatan seperti kilat menyambar-nyambar tubuhnya bergerak ke sana-sini dan kedua lengan yang sudah menjadi kebal oleh aji kesaktian itu, dia pergunakan untuk menangkis patah tombak-tombak dan memangkap keris-keris lawan yang kemudian dilemparkan begitu saja ke atas lantai. Para pengeroyoknya menjadi panik dan gentar sekali menghadapi wanita muda yang demikian saktinya, seolah-olah bukan manusia yang mereka hadapi melainkan seorang dewi kahyangan yang mempergunakan kesaktiannya yang mujijat!
"Tahan! Mundur semua!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah dua orang laki-laki di ruangan pendopo itu. Mereka ini bukan lain adalah Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang senopati dan tokoh yang paling kuat dari Kadipeten Puger. Para pengawal tentu saja cepat mundur dan memberi jalan kepada dua orang ini dengan hati lega karena mereka semua tahu bahwa hanya dua orang senopati ini sajalah yang kiranya dapat menandingi dara yang mengamuk ini.
Sulastri menghentikan gerakannya dan memandang. Dia segera mengenal dua orang laki-laki itu dan dia menjadi marah sekali. Itulah dua orang laki-laki yang membantu Murwendo dan Murwanti dan yang mengerahkan pasukan menawan Joko Handoko dan Roro Kartiko dan tujuh orang anak buah Sriti Kencana. Dia memandang penuh perhatian. Yang seorang memegang sebatang suling hitam, kulitnya kuning dan mukanya berbentuk bulat telur. Orang ke dua bermuka hitam berbentuk persegi,matanya berseri dan pinggangnya terselip sebatang keris panjang.
"Hemm, aku mengenal kalian!"
Sulastri menudingkan telunjuknya ke arah hidung mereka.
"Kalian adalah kaki tangan Murwendo dan Murwanti yang pengecut, mengandalkan pengeroyokan dan menawan teman-temanku. Hayo suruh Murwendo dan Murwanti keluar menerima hajaran kaki dan tanganku. Kalau tidak berani, cepat bebaskan Joko Handoko dan Roro Kartiko bersama tujuh orang anak buah mereka. Kalau tidak, hemm,........ Kadipaten Puger akan kubikin rata dengan Bumi!"
Hebat sekali tantangan dan ancaman itu, juga terdengar amat sombong dan semua itu terdorong oleh kemarahan Sulastri. Kemarahannya terhadap Sutejo ditumpahkan semua kepada orang-orang Puger maka tentu saja apa yang diucapkannya itu sudah tidak terkendali lagi olehnya. Padas Gunung dan Pragalbo adalah dua orang tokoh Puger yang berkepandaian tinggi.
Karena merasa bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja mereka tadi meresa malu dan tidak senang menyaksikan betapa para pengawal mengeroyok seorang dara muda, sungguhpun dari gerakan gadis itu mereka dapat menduga bahwa gadis itu memang hebat sekali. Apalagi setelah mereka mengenal gadis itu bukan lain adalah seorang di antara pengawal-pengawal Adipati Lumajang yang pernah mereka saksikan sepak terjangnya. Akan tetapi, mendengar tantangan dan ancaman Sulastri, mereka menjadi marah sekali.
"Bocah sombong! Kaukira aku takut padamu?"
Bentak Padas Gunung yang tak pandai bicara.
Akan tetapi Pragalbo tersenyum lebar.
"Ha-ha-ha, bocah yang bermulut lancang. Kau seperti seekor anak harimau yang baru pandai mengaum. Berani benar kau menyombongkan diri di Puger, seolah-olah di sini tidak ada yang jantan. Ketahuilah, Kakang Pads Gunung ini, dan aku Pragalbo, adalah banteng-banteng dari Puger, maka lebih baik kau menyerah dan kami hadapkan Sang Adipati daripada engkau sampai roboh terluka. Sungguh kami berdua akan merasa malu kalau harus melawan bocah yang masih ingusan!"
Sulastri membelalakkan matanya dan membanting kaki kanannya, tanda bahwa dia marah bukan main disebut bocah ingusan. Sepasang matanya yang lebar itu seolah-olah hendak menelan dua orang itu.
"Keparat! Aku Sulastri tidak takut menghadapi celeng-celang macam kalian. Jangankan hanya kalian berdua, biar kelian kerahkan seluruh perajurit Puger, aku tidak akan mundur setapak!"
"Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat memecahkan Gunung Bromo dan melangkahi Gunung Mahameru saja! Langkahmu seperti Srikandi! Coba, hendak kulihat apakah benar-benar engkau segagah Srikandi!"
Padas Gunung yang sudah tak dapat menahan kemarahannya itu sudah menerjang ke depan, menggerakkan suling hitamnya menusuk ke arah ulu hati Sulastri.
"Hehh!"
Sulastri membentak dan menggerakkan tubuhnya miring sambil menangkis dengan lengan kirinya. Melihat dara muda itu berani manangkis suling hitamnya,diam-diam Padas Gunung tersenyum mengejek. Rasakan sekarang, pikirnya dan dia mengerahkan tenaganya. Sulingnya itu terbuat dari baja hitam yang keras sekali,dapat mematahkan keris pusaka yang ampuh, maka kini tentu lengan anak perempuan itu akan patah karena berani menagkis suling hitamnya.
"Dukkk!"
Padas Gunung kaget setengah mati. Bukan saja lengan dara itu tidak apa-apa,malah tangannya manjadi gemetar dan hampir saja sulingnya terlepas karena tangan itu seperti lumpuh terserang tenaga sakti yang menggetar dari lengan lawan. Dia tidak tahu bahwa kedua tangan Sulastri telah terisi oleh Aji Trenggiling Wesi, yaitu ilmu kekebalan yang dahulu diwariskan oleh Ki Jembros! Dan sebelum dia tenang kembali dari kagetnya, Sulastri sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah dada. Padas Gunung terkejut dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kaki yang menyambar seperti kilat itu hanya dengan cara melempar tubuh ke belakang!
Dia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan sehingga dia terhindar dari tendangan kilat, namun pakaiannya menjadi kotor terkena debu dan mukanya menjadi merah sekali karena dalam segebrakan saja hampir dia roboh oleh dara ini! Karena merasa malu, dia menjadi marah bukan main. Teriakan panjang mengiringkan gerakannya menyerang dengan menggunakan suling hitamnya dan memang Padas Gunung bukan seorang lawan yang lemah. Sulingnya berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar hitam itu terdengar suara melingking nyaring. Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat luar biasa.
Sulastri yang maklum akan keampuhan senjata lawan dan kesaktian laki-laki itu,cepat mengerahkan ajinyayang disebut Turonggo Bayu sehingga tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandangan banyak orang saking cepatnya sehinga kalau tadinya Padas Gunung menyerang dengan pengerahan segala macam ilmunya, kini oleh kecepatan Sulastri, dia berbalik menjadi terdesak hebat. Sedemikan cepatnya gerakan dara itu sehingga dia sama sekali tidak memperoleh kesempatan sedikit pun untuk membalas menyerang. Beberapa kali dia terhuyung-huyung kerena desakan Sulastri dan bahkan satu kali pundaknya terserempet tamparan Hasto Nogo sehingga dia memekik kesakitan dan mukanya menjadi pucat.
Melihat ini, Pragalbo memekik panjang dan terjun ke dalam medan laga. Kerisnya merupakan sinar kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sulastri. Dara ini cepat meloncat ke belakang mengelak dan mengejek.
"Huh, sudah kuketahui bahwa orang-orang Puger hanya merupakan sekelompok pengecut kecil yang bermulut besar.
Majulah semua, hayo keroyoklah!"
Dia membentak dan kini mengamuk, bukan hanya gerakannya yang amat cepat,namun kini tangannya juga melakukan serangan bertubi-tubi sehingga Pragalbo dan Padas Gunung kembali terdesak biarpun mereka maju berbareng!
Tiba-tiba terdengar bentakan.
"Hayo keroyok! Bunuh dia, bunuh!"
Mendengar teriakan ini Sulastri meloncat ke belakang dan memandang. Bangkit kemarahannya ketika dia melihat Murwendo dan Murwanti sudah berdiri dengan keris terhunus di tangan, akan tetapi ketika dia hendak menyerbu, Padas Gunung dan Pragalbo sudah menghadang dan menyerangnya lagi sehingga kembali dia mengamuk dengan kemarahan yang semakin meluap ketika dia melihat dua saudara kembar itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan.
"Diajeng Sulastri.....!"
Dan berkelebatanlah bayangan Joko Handoko yang meloncat ke tengah ruangan itu.
"Tahan, Padas Gunung dan Paman Pragalbo......!"
"Bunuh perempuan ini! Bunuh...!"
Kembali Murwanto berseru.
"Mbakayu Sulastri....!"
Terdengar suara wanita menjerit dan muncullah Roro Kartiko meloncat ke dalam kepungan itu dan memeluk Sulastri.
"Kakangmas Joko! Diajeng Roro! Kalian selamat....?"
Sulastri girang bukan main sambil memeluk Roro Kartiko.
"Bunuh pengacau ini! Joko Handoko dan Roro Kartiko, mundur kalian!"
Terdengar Murwendo membentak lagi sambil mengacungkan kerisnya demikian pula Murwanti yang memandang kepada Sulastri dengan penuh kebencian.
"Jangan ganggu dia!"
Joko Handoko berseru.
"Aku akan membelanya!"
"Dan aku akan melawan mati-matian!"
Kata pula Roro Kartiko.
Kini tiba orang itu sudah berdiri saling membelakangi, membentuk pertahanan segi tiga dengan sikap gagah, kedua tangan terkepal dan mata mereka bersinar-sinar penuh kemarahan. Mereka bertiga maklum bahwa keadaan mereka gawat sekali. Mereka telah dikepung dan terancam bahaya maut. Namun, mereka tahu bahwa lebih baik mati daripada menyerah kepada dua orang kembar yang gila itu. Dan kakak berdik dari Tuban itu tidak rela membiarkan Sulastri celaka sendiri. Kalau perlu,mereka akan mati bersama! Terutama sekali Joko Handoko yang mencintai Sulastri,tentu saja siap untuk mengorbankan apa saja, nyawa kalau perlu, demi membela dan melindungi wanita perkasa yang dicintanya itu.
"Akan tetapi Andika belum tahu apakah akan demikian mudah saja Andika dapat membuat aku tidak berdaya, Sulastri. Jangan mengira bahwa Andika akan mudah saja manawanku. Aku tidak selemah Padas Gunung dan Pragalbo!"
Sulastri mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Adipati ini mencobanya saja,menyerang dengan kata-kata.
"Hemm, hal itu harus dibuktikan dulu."
"Andika juga tidak memperhitungkan siasat dan kecerdikanku. Lihat saja!"
Tiba-tiba Adipati itu menekan ujung meja dan tiba-tiba saja kursi yang didudukinya meluncur ke belakang dan lenyap di belakang sebuah pintu yang cepat tertutup kembali. Tentu saja Sulastri terkejut bukan main, akan tetapi Joko Handoko dan Roro Kartiko yang sudah mengenal Adipati itu, tidak menjadi heran atau kaget. Pintu terbuka kembali dan kursi yang diduduki Adipati itu meluncur datang lagi mendekati meja.
"Ha-ha-ha, bukankah mudah saja aku menyelamatkan diri? Dan belum Andika lihat ini pula!"
Dia bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba semua pintu yang jumlahnya ada lima buah di ruangan itu terbuka dan muncullah lima orang dari masing-masing pintu, berjumlah dua puluh orang perajurit bersenjata lengkap dan dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo sendiri! Mereka itu sudah siap membela Sang Adipati dan kini mereka semua memandang kepada adipati itu dengan tegang.
Akan tetapi Sang Prabu Bandardento tertawa dan melambaikan tangan kepada dua orang senopati yang juga bertugas sebagai pengawal itu.
"Ha-ha, mundurlah dan tarik kembali pasukanmu. Ini hanya main-main saja!"
Dua orang tokoh Puger itu kelihatan lega dan mereka memberi isyarat. Semua perajurit itu tanpa mengeluarkan mundur dan lenyap dari pintu-pintu itu dan daun pintu tertutup kembali.
"Nah, lihatlah Sulastri. Bukankah tidak akan mudah bagimu andaikata kami menggunakan perangkap?"
Sulastri tertegun dan diam-diam harus mengakui bahwa memang sukar sekali baginya untuk menyelamatkan diri. Tidak disangkanya bahwa Adipati Puger demikian cerdiknya. Dia menarik napas panjang dan berkata.
"Hamba tidak mengira bahwa Paduka adalah seorang Adipati yang amat bijaksana dan juga amat cerdik. Hamba mengaku kalah."
"Ha-ha-ha, jangan Andika merendahkan diri, Nini. Aku amat suka kepada orang-orang muda gagah perkasa dan baik budi. Aku telah menganggap bahwa Joko Handoko dan Roro Kartiko selain sebagai tamu agung, juga sebagai keluarga sendiri. Dan sekarang, Andika sebagai tunangan Joko Handoko telah datang, sungguh baik sekali......"
"Apa.....???"
Sulastri berseru dengan mata terbelalak.
Muka Joko Handoko menjadi merah sekali dan cepat dia berkata.
"Diajeng Sulastri, harap kau suka maafkan aku dan terserah kalau kau anggap aku tidak tahu malu, aku siap menerima kemarahan dan hukuman darimu. Ketahuilah, aku dan Adikku ditawan oleh Murwendo dan Murwanti dan mereka berdua itu hendak memaksa kami berdua menjadi jodoh mereka. Kami menolak dan kepada Sang Adipati tidak dapat membohong, maka dengan terus terang aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan Murwanti karena aku telah mempunyai seoerang dewi pujaan, seorang yang kucintai sepenuh jiwa ragaku. Orang itu adalah Andika sendiri, Diajeng Sulastri. Aku tahu bahwa aku tidak berharga, akan tetapi..... aku tidak dapat berbohong dan...."
"Mbakayu Sulastri, kakangmas Joko Handoko telah berkata dengan terus terang. Seperti juga aku telah membuka rahasia hatiku bahwa aku hanya dapat berjodoh dengan Kakangmas Sutejo...."
"Ahh....??!"
Kembali Sulastri terbelalak dan mukanya berubah menjadi pucat. Sang Prabu Bandardento cepat menengok ke kanan dan semua orang juga menengok.
Dari sebuah pintu muncullah Murwendo dan Murwanti. Mereka memberi hormat kepada Ayah mereka dan memandang kepada tiga orang muda itu dengan mata beringas, terutama kepada Sulastri. Akan tetapi ayah mereka sudah cepat mempersilahkan dua orang muda itu duduk, lalu menegur.
"Kalian berdua datang tanpa kupanggil, ada keperluan apakah gerangan?"
Murwendo cepat memandang ke arah tiga orang muda itu dan Murwanti melirik ke arah Ayahnya sambil cemberut. Lalu terdengar Murwendo berkata.
"Kanjeng Romo,bukankah saya dan Diajeng Murwanti putera dan puteri Kanjeng Romo sendiri?"
Adipati Puger itu mengerutkan alisnya dan matanya menatap tajam wajah puteranya, penuh selidik, lalu menegur.
"Murwendo, ucapan apakah yang keluar dari mulutmu ini? Tentu saja kalian berdua adalah putera dan puteriku. Pernahkah aku menyangkal akan hal itu?"
"Paduka memang tidak pernah menyangkalnya, akan tetapi Paduka bersikap lebih manis kepada mereka ini daripada terhadap kami berdua! Paduka bercengkerama dengan mereka bertiga ini seolah-olah kami berdua yang menjadi orang luar!"
Murwendo menyatakan rasa penasaran hatinya.
"Benar, Kanjeng Romo memang tidak suka kepada kita, Kakangmas!"
Murwanti juga berkata dengan bibir cemberut.
Adipati itu menarik napas panjang.
"Memang demikianlah anak-anakku. Aku selalu tidak suka kepada yang busuk dan jahat. Mereka bertiga ini adalah ornag-orang yang gagah perkasa dan patut dipuji. Jangankan kalian sebagai anak-anakku, biarpun diriku sendiri, kalau jahat dan busuk, tentu aku tidak akan menyukainya."
"Kenapa Kanjeng Romo menganggap kami busuk? Kami ingin menikah dengan Roro Kartiko dan Joko Handoko, apakah itu jahat dan busuk? Mengapa Ayah tidak memenuhi permintaan anak sendiri dan melindungi mereka?"
Murwendo mendesak.
"Sepatutnya Kanjeng Romo mendukung kehendak kami ini kalau Kanjeng Romo ingin melihat anak-anak sendiri berbahagia. Akan tetapi Kanjeng Romo malah menghalangi!"
Murwanti juga menuntut.
"Dan kalau memang tidak boleh menikah dengan kami,mengapa mereka tidak dilepas kembali saja, akan tetapi malah diagung-agungkan di sini? Bukankah itu membuat kami berdua merasa panas dan menderita?"
"Atau sebaiknya mereka dibunuh saja karena telah membikin kecewa hati kami! Akan tetapi Ayah memperlakukan mereka lebih manis daripada kami!"
Murwendo kembali menyerang.
Diserang bertubi-tubi oleh kedua orang anaknya itu, Sang Prabu Bandardento menjadi pucat. Di dalam hatinya dia ingin menjerit bahwa dia membenci mereka, bahwa dia muak terhadap mereka karena ulah mereka sendiri, karena dua orang kakak beradik kembar itu telah berbuat hina, telah berjina sendiri. Ingin dia membuka rahasia bahwa mereka bukanlah anak-anaknya, bukan darah dagingnya, melainkan hasil perjinaan selirnya dengan Ki Juru Taman! Akan tetapi tak mungkin dia melemparkan noda dan aib itu di depan semua orang yang hanya akan mencemarkan nama keluarganya sendiri. Dia menarik napas panjang berkali-kali sedangkan Sulastri, Roro Kartiko dan Joko Handoko hanya mendengarkan dengan hati tegang sambil bersiap-siap kalau-kalau hasil teguran-teguran dua orang kembar itu akan mendatangkan akibat buruk bagi mereka.
Akhirnya Sang Prabu Bandardento berkata sambil memandang tajam kepada dua orang anaknya itu.
"Murwendo dan Murwanti! Sikap kalian ini saja menunjukan betapa kalian berdua adalah orang-orang yang bersikap durhaka terhadap orang tua, akan tetapi dengarlah engapa aku bersikap menentang niat kalian mengawini Joko Handoko dan Roro Kartiko! Sudah kukatakan bahwa aku tidak suka melihat kalian memaksa mereka menjadi jodoh kalian. Kalau mereka dengan suka rela menjadi jodoh,aku akan merasa beruntung sekali. Akan tetapi, jodoh hanya dapat dilakukan secara suka rela oleh kedua pihak berdasarkan cinta, dan aku tahu bahwa mereka tidak dapat berjodoh dengan kalian karena mereka tidak mencintai kalian, karena mereka telah mempunyai pujaan hati masing-masing yang mereka harapkan menjadi jodoh mereka. Joko Handoko dan Roro Kartiko sampai ke Puger karena tindak kekerasan kalian maka untuk menebus kesalahan kalian itu, aku bersikap baik terhadap mereka dan menganggap mereka sebagai tamu agung. Hal itu adalah wajar, bukan?"
"Memang wajar, akan tetapi wajarkah kalau Kanjeng Romo juga menerima wanita pengacau ini sebagai tamu yang dihormati dan yang boleh beramah-tamah dengan Kanjeng Romo? Padahal baru saja dia hampir membunuh belasan orang pengawal kita!"
Murwendo membantah sambil menuding ke arah Sulastri. Namun Sang Prabu Bandardento tenang saja menghadapi serangan puteranya itu.
"Murwendo, jangan menuruti panasnya hati dan pikirlah baik-baik, karena panasnya hati hanya akan mengeruhkan pikiran dan mengacaukan pertimbangan. Nini Sulastri ini adalah seorang dara perkasa, murid Sang Empu Supamandrangi dari Puncak Bromo yang arif bijaksana, maka segala tindakannya tentu mempunyai dasar yang kuat. Dia memang datang menyerbu ke Puger, akan tetapi tindakannya itu hanya menjadi akibat daripada perbuatan kalian yang sesat, yang telah menculik Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dia datang dengan niat menolong dua orang muda yang menjadi sahabat baiknya. Tentu saja dalam penyerbuan itu terjadi pengeroyokan oleh para pengawal dan dia terpaksa merobohkan belasan orang pengawal. Akan tetapi, tidak ada seorang pun pengawal yang tewas, padahal akan mudah saja dia menewaskan para pengawal kalau dikehendakinya! Selain itu, dia adalah dewi pujaan Joko Handoko, dara yang dicintainya, maka sudah sepatutnya kalau dia datang menolong mereka......"
"Keparat! Kalau begitu dia harus mampus!"
Tiba-tiba Murwanti memekik dan meloncat ke depan, mencelat dari kursinya dan dengan keris terhunus dia menyerang Sulastri yang masih duduk di kursinya dan memandang dengan sikap tenang saja.
"Wuuuuttt..... plakkk.... dessss.......!!"
Tubuh Murwanti terpelanting ketika Sulastri sambil duduk menangis serangan kerisnya dan balas menampar. Murwanti terbanting ke atas lantai dengan keras, kerisnya terlampar jauh. Melihat ini, Murwendo sudah bangkit dan mencabut kerisnya.
"Murwendo! Murwanti! Jangan kurang ajar kalian! Hayo kalian duduk kembali dan jangan bergerak!"
Sang Prabu Bandardento menghardik dan dua orang kembar itu duduk kembali dengan muram dan mata memandang penuh kebencian kepada Sulastri.
"Kanjeng Romo, lebih baik Kanjeng Romo sekarang membunuh kami berdua saja!"
Tiba-tiba Murwanti berkata dan menangis terisak-isak. Murwendo juga mengusap air matanya.
"Ah, kalian benar-benar amat tak tahu diri!"
Sang Prabu Bandardento juga menjadi marah.
"Kanjeng Romo amat tidak adil terhadap kami. Kanjeng Romo lebih percaya kepada tiga orang yang asing ini. Padahal siapa tahu mereka ini adalah mata-mata Lumajang yang menyelidiki keadaan kita? Siapa tahu kalau mereka itu hanya membohong saja? Kami berdua melihat sendiri betapa antara mereka hanya ada persahabatan biasa, akan tetapi kini tiba-tiba saja mereka mengaku bahwa antara Joko Handoko dan Sulastri ada hubungan cinta. Kami tidak percaya kalau tidak ada bukti! Kanjeng Romo, kalau memang benar bahwa Sulastri adalah pujaan hati Joko Handoko mereka harus membuktikannya dengan menikah di sini! Kalau tidak, kami tidak percaya dan kami terpaksa akan menyiarkan berita keluar istana kadipaten bahwa Kanjeng Romo bersikap tidak adil terhadap kami berdua dan lebih membela orang-orang luar seperti mereka ini!"
Sulastri terkejut sekali mendengar ini. Ingin dia turun tangan menghajar dua orang kembar itu, akan tetapi dia teringat kepada dua orang sahabatnya dan kepada Sang Adipati, maka dia menahan sabar.
Adipati Puger juga terkejut, akan tetapi dia lalu berpikir. Memang amat memalukan kalau sampai dua orang anaknya itu menyiarkan berita yang tentu akan dilebih-lebihkan di luar istana. Dan memang bukan niatnya untuk memanjakan tiga orang muda dari luar itu. Sikapnya yang baik itu hanya berdasarkan kebijaksanaan dan berhati-hati karena dia tidak mau bermusuhan dengan Kadipaten Lumajang yang besar dan kuat. Tantangan Murwendo untuk mengawinkan Joko Handoko dengan Sulastri tidak ada buruknya. Tentu mereka yang bersangkutan tidak akan keberatan dan baginya ada dua keuntungan. Pertama, dia akan menunjukkan kepada anak kembar itu bahwa tidak ada niat memanjakan luar dalam hatinya. Ke dua, dia kan berjasa bagi mereka berdua dan berarti berjasa pula bagi Lumajang yang kelak mendengar akan hal itu.
"Baiklah! Aku akan membuktikan bahwa mereka ini adalah orang-orang muda gagah perkasa yang tidak sudi menipu dan bebohong seperti kalian! Joko Handoko dan Nini Sulastri, kuharap Andika berdua tidak menolak untuk merayakan pernikahan di Kadipaten Puger ini, dan aku sendiri yang akan menjadi wali kalian!"
Wajah Joko Handoko menjadi merah sekali dan wajah Sulastri menjadi pucat.
Melihat ini, tiba-tiba Murwanti berkata.
"Lihat, Kanjeng Romo. Mereka itu membohong! Lihat wajah perempuan itu yang menjadi pucat, tanda bahwa dia membohong dan dia tidak mau menikah dengan Joko Handoko!"
Joko Handoko mengangkat muka memandang dan Sulastri juga memandang kepadanya.
Tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah sekali dan dua titik air matanya hampir keluar karena dia teringat kepada Sutejo. Akan tetapi, mendengar serangan Murwanti itu, cepat dia berkata sambil menunduk.
"Terserah kepada Paduka....."
Jawaban itu mengejutkan Murwanti dan menggirangkan hati Joko Handoko dan Roro Kartiko. Bahkan Roro Kartiko lalu merangkul dan menciumi pipi Sulastri dengan mata basah air mata!
"Bagaimana, Joko Handoko? Andika belum menjawab. Setujukah?"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Sang Prabu Bandardento.
"Hamba.... setuju, Gusti."
"Ha-ha-ha, lihat anak-anakku. Tidak ada apa-apa yang perlu dicurigai. Dan pernikahan itu akan segera diresmikan dan dirayakan, dan aku akan memberi hadiah yang amat berharga, yang tentu akan menggirangkan sepasang mempelai. Joko Handoko dan Nini Sulastri, tahukah kalian hadiah apa yang akan kuberikan kepada kalian? Ha-ha, tentu kalian tidak akan dapat menerkanya. Aku akan menghadiahkan keris pusaka Kolonadah kepada kalian."
"Ehhh......??!!"
Seruan ini keluar dari tiga buah mulut, yaitu mulut Sulastri,Joko Handoko, dan Roro Kartiko.
"Ha-ha-ha, tentu kalian merasa heran, bukan? Ketahuilah bahwa keris pusaka itu berhasil dirampas oleh Padas Gunung dan Pragalbo dari tangan Resi Harimurti, setelah Resi Harimurti membunuh Ki Ageng Palandongan di tengah jalan, tidak jauh dari batas wilayah Puger. Keris pusaka itu berada ditanganku, dan tersimpan di dalam kamar pusaka Puger. Akan tetapi, pusaka itu akan kuhadiahkan kepada sepasang mempelai dan kalian bertiga setelah itu boleh kembali ke Lumajang membawa keris pusaka Kolonadah dan menghaturkannya kepada Adipati Aryo Wirorojo di Lumajang disertai salam hormatku."
Tiga orang muda perkasa itu saling pandang dan diam-diam mereka merasa girang karena tidak mereka sangka-sangka bahwa mereka akan begitu mudah mendapatkan kembali keris pusaka itu. Akan tetapi Murwendo dan Murwanti makin marah, makin keruh wajah mereka dan mereka lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah mohon diri dengan sikap kaku dari ayah mereka!
Tiga orang muda itu pun diperkenankan mengundurkan diri dan Sulastri diperkenankan untuk berdiam di satu kamar bersama Roro Kartiko. Setelah tiba di dalam kamarnya, Roro Kartiko merangkul dan menciumi Sulastri dengan penuh kebahagiaan.
"Aduhh, Mbakayu Sulastri....., betapa bahagia rasa hatiku. Ingatkah engkau betapa dulu aku tergila-gila kepadamu sebagai Bromatmojo? Aku mengharapkan manjadi isterimu dan aku cinta kepada.......Bromatmojo. Akan tetapi ternyata engkau adalah Mbakayu Sulastri dan sekarang bahkan engkau akan menjadi isteri Kakangmas Joko Handoko, menjadi kakak iparku! Betapa gembira rasa hatiku dan terima kasih kepadamu, Mbakayu Sulastri.... eh, Mbakayu.... ehh, kenapa kau? Kenapa kau menangis.......?"
Roro Kartiko terkejut sekali melihat Sulastri, dara perkasa yang amat gagah dan sakti itu, yang amat dikaguminya semenjak dahulu menyamar sebagai pria, kini menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya di atas bantal dan menangis tersedu-sedu! Dia cepat merangkulnya dan mengguncang-guncang pundaknya,akan tetapi Sulastri tetap menangis terisak-isak karena dara ini sedang membiarkan semua ganjalan hatinya mencair dan membanjir keluar dari air matanya.
Semua ganjalan hatinya sejak perpisahannya dengan Sutejo selama ini ditahan- tahannya. Kesedihan yang dideritanya yang tak pernah dapat dikeluarkan sebagai pencurahan di depan siapa pun, hanya ditanggungnya secara diam-diam, dan hanya dapat managisi kekecewaannya secara diam-diam pula, kini mendapatkan kesempatan di depan Roro Kartiko. Pertahanan itu bobol dan air kedukaan yang sudah hampir meluber itu kini ambrol dan membanjir tak dapat dibendung lagi. Dia menangis, mengguguk seperti seorang anak kecil.
Duka timbul dari perasaan iba diri. Makin diingat, makin nyata nampak betapa dirinya patut dikasihani, betapa dirinya amat menderita, bahkan segala macam peristiwa duka yang dulu-dulu bermunculan dan teringat semua sehingga menambah besar rasa iba diri itu. Demikian pula dengan Sulastri. Ketika dia manangis itu,ketika dia teringat betapa hancur hatinya karena perpisahannya dengan Sutejo,karena melihat pemuda itu melakukan hal-hal yang amat menyakitkan hatinya,teringatlah dia akan keluarganya yang sudah tidak ada, teringat akan Mbakayunya,dan guru-gurunya, yaitu Ki Jembros dan Empu Supamandrangi yang keduanya mati karena kejahatan Resi Mahapati. Teringat betapa dia kini sebatangkara, tanpa masa depan yang baik, dan kini di bahkan terpaksa akan menikah dengan Joko Handoko! Tentu saja dia tidak membenci Joko Handoko yang diketahuinya merupakan seorang sahabatnya, sahabat mereka, yaitu dia dan Sutejo! Akan tetapi, mana mungkin dia menjadi isteri orang lain selama dia tahu bahwa hatinya masih tetap mencintai Sutejo?
Melihat Sulastri menangis begitu sedih, mengguguk seperti anak kecil, Roro Kartiko maklum bahwa dia harus mendiamkan dulu sahabatnya itu. Dan mendengar serta melihat tangis menyedihkan itu, dia tidak dapat menahan pula air matanya.
Dipeluknya dan diusapnya rambut kepala Sulastri dan kadang-kadang dia mengusap air matanya sendiri. Pada dasar batin manusia memang terdapat cinta kasih yang suci. Setiap orang akan merasa terharu dan ikut pula bersedih kalau menyaksikan orang lain dalam duka cita yang hebat. Air mata kita sukar ditahan karena rasa haru menggerogoti hati kita kalau kita melihat pemandangan yang menyedihkan,melihat penderitaanorang lain. Sebaliknya, sukar pula bagi kita untuk menahan senyum kalau kita mendengar atau melihat orang orang lain tertawa gembira. Kita mempunyai dasar watak yang seperti itu, gembira kalau melihat orang lain berbahagia, dan terharu kalau melihat orang lain menderita. Bukankah itu cinta kasih namanya? Sayang, sinar kasih yang hanya tinggal sedikit ini akhirnya lenyap sama sekali tertiup oleh loba, tamak dan angkara murka dari si aku yang terlalu mementingkan diri pribadi sehingga perasaan yang amat suci itu tidak nampak lagi, berubah menjadi perasaan gembira melihat orang lain menderita dan iri hati melihat orang lain bahagia!
Setelah mereda tangis Sulastri, akhirnya Roro Kartiko bertanya halus.
"Mbakayu Sulastri, kita adalah antara orang sendiri, setidaknya, aku adalah sahabatmu, bukan? Kita sudah sering berjuang bahu-mambahu dan bantu-membantu, sama-sama terancam bahaya maut. Maka, kiranya sudah sepantasnya kalau engkau memberi tahu kepadaku mengapa engkau begini berduka, Mbakayu? Ataukah hal itu merupakan rahasia bagimu? Setidaknya, katakanlah apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?"
Sulastri mengusap air matanya dan terisak, dada dan pundaknya berguncang, mukanya agak pucat dan kedua matanya merah. Bantal yang dipakai menyembunyikan muka tadi sudah basah semua. Akhirnya berhenti juga tangisnya dan dengan kekuatan batinnya, dia membuat dirinya tenang kembali. Dipandanginya Roro Kartiko dan berkatalah dia dengan suara serak.
"Diajeng Roro, aku hanya membuat engkau dan kakangmas Joko Handoko kecewa dan berduka saja."
Roro Kartiko mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang agak pucat dengan rambut kusut namun makin nampak kecantikannya yang wajar itu, lalu memegang tangan Sulastri. Mereka duduk berdampingandi atas pembaringan itu.
"Mbakayu Sulastri, sudah kukatakan tadi bahwa kita adalah sahabat-sahabat yang akrab dan baik, yang patut membagi suka-duka, bukan? Apakah kau kira kami kakak beradik akan senang kalau melihat kau berduka? Tidak, katakanlah saja, Mbakayu, seperti jamu yang pahit, hal-hal yang tidak menyenangkan lebih baik dikatakan terus terang, daripada dipendam dalam hati."
Sulastri menarik napas panjang.
"Ketahuilah, Diajeng Roro, aku tidak mungkin dapat menikah dengan kakakmu, akan tetapi.... aku tahu pernikahan itulah yang akan menyelamatkan kita bertiga, yang memungkinkan kita bertiga lolos dengan selamat dari tempat ini."
Pengakuan ini amat mengejutkan hati Roro Kartiko, juga amat menyakitkan hatinya karena dara itu maklum betapa Kakaknya menaruh hati cinta yang mendalam terhadap Sulastri. Akan tetapi, dia
(Lanjut ke Jilid 28)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 28
tidak memperlihatkan hal itu pada wajahnya yang tetap tanang ketika dia bertanya.
"Kalau boleh aku mendengar, mengapa engkau tidak dapat menikah dengan Kakangmas Joko, Mbakayu?"
Biarkan Roro Kartiko bersikap tenang dan biasa, namun pandang mata Sulastri yang tajm dapat melihat kekecewaan membayang di ujung bibir dan pandang mata dara itu,maka dia menarik napas panjang, menunduk dan menjawab lirih,
"Aku..... aku tidak cinta kepadanya, Diajeng. Engkau juga tahu, aku....aku mencintai orang lain, mana mungkin aku menjadi isterinya? Aku tidak mungkin menjadi isterinya, akan tetapi pernikahan itu sajalah yang dapat menyelamatkan kita bertiga. Aku menjadi bingung sekali, Diajeng Roro Kartiko."
Hening sejenak. Sulastri tahu bahwa pengakuannya itu memukul dan menyedihkan hati Roro Kartiko yang tadi kelihatan begitu gembira mendengar keputusan Adipati Puger. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa ada hal lain yang menghancurkan hati Roro Kartiko pada saat itu. Roro Kartiko membuang muka untuk menyembunyikan matanya yang terasa panas dan air matanya memenuhi rongga matanya.
Jantungnya seperti ditusuk keris beracun. Tadinya dia melihat cahaya harpan amat indah bagi kakaknya dan bagi dia sendiri. Memang dia pernah mendengar pengakuan Sulastri bahwa dara itu mencintai Sutejo dan hal ini kadang-kadang membuat hatinya perih kalau dia mengenangkan Sutejo sebagai pria yang menarik hatinya dan sekaligus menjatuhkan hatinya, sebagai pengganti Bromatmojo. Akan tetapi, Sulastri tidak pernah lagi membicarakan Sutejo dan perpisahan mereka membuat dia menduga-duga penuh harapan bahwa hubungan cinta kasih antara Sulastri dan Sutejo telah putus.
Apalagi, melihat kemungkinan pernikahn Sulastri dan Kakaknya. Semua begitu indah, begitu tepat! Akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja Sulastri mengatakan bahwa dia tidak mencintai kakaknya, melainkan mencintai orang lain. Siapa lagi kalau bukan Sutejo?
"Ahhhh...!"
Tiba-tiba Roro Kartiko menjerit dan meloncat berdiri, lalu berlari. Sulastri kaget bukan main mendengar jerit ini. Cepat dia mengankat muka memandang dan melihat Roro Kartiko sudah berlari hendak keluar dari dalam kamar itu.
"Eh, Diajeng Roro....!!"
Dia meloncat bangun dan memanggil.
"Aku....aku harus memberi tahu kepada Kakangmas Joko...!"
Roro Kartiko berkata tanpa menoleh dan dari suaranya Sulastri maklum bahwa dara itu menangis. Dia lalu membanting dirinya di atas pembaringan, menelungkup dan termenung. Dia sudah mengecewakan hati Roro Kartiko, pikirnya, dan tentu Joko Handoko akan merasa lebih kecewa lagi. Akan tetapi,memang jamu itu pahit, benar Roro Kartiko, pikirnya. Lebih baik berterus terang sehingga jelas semua daripada memendam perasaan di dalam hati. Biarlah Joko Handoko minun jamu pahit, mendengar bahwa dia tidak membalas cinta pemuda itu karena telah mencintai pemuda lain.
Penjelasan itu ada baiknya bagi Joko Handoko. Akan tetapi, mereka harus menikah! Kalau tidak sudah pasti Murwendo dan Murwanti tidak akan diam begitu saja, tentu akan membunuh mereka bertiga dengan alasan bahwa mereka bertiga membohong dan mungkin benar mata-mata Lumajang seperti yang dituduhkan. Dan kalau mereka menolak untuk menikah, Sang Adipati Puger tentu juga kehilangan kepercayaannya.
Memberontak dan berusaha meloloskan diri? Agaknya akan sukar sekali dan membahayakan, apa lagi kalau dia harus melindungi Joko Handoko, Roro Kartiko,dan tujuh orang anggota Sriti Kencana! Tidak mungkin dia menghadapi dan melawan orang sekadipaten Puger! Ah, dia merasa betapa hancur hati Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dia tadi tidak dapat mengelak lagi dan terpaksa mengakui bahwa orang yang dia cintai adalah Sutejo! Pengakuan yang sekaligus menghancurkan hati kakak beradik itu karena kakanya mencintai dia dan adiknya mencintai Sutejo! Adakah suatu kebetulan yang lebih kejam daripada ini? Sulastri termenung.
Dia sendiri merasa betapa hancur hatinya karena cinta gagal, bukan karena Sutejo tidak membalas cintanya, sama sekali tidak. Akan tetapi cinta di antara mereka juga hancur karena perbuatan Sutejo yang telah membantu Mahapati dan membunuh gurunya,Empu Supamandrangi! Dia sendiri merasakan penderitaan cinta gagal, dan kini dialah yang menjadi penyebab gagalnya cinta dalam hati Joko Handoko dan Roro Kartiko! Tiada yang lebih manis daripada cinta Seperti madu di waktu dua hati berpadu Dan tiada aral apa pun datang mengganggu Dunia terasa bagaikan surga! Tiada yang lebih pahit daripada cinta Seperti empedu di waktu du hati berpisah Menjadi permainan antara cinta dan benci Dunia terasa bagaikan neraka!
Mata yang sudah merah itu kembali digenangi air mata. Di sudut hatinya terasa benar oleh Sulastri betapa dia amat mencintai Sutejo, betapa bahagianya ketika dia dipeluk dan saling berciuman dengan pemuda itu, betapa ingin hatinya untuk terus berdampingan dengan Sutejo, tidak pernah terpisah lagi sampai mati. Akan tetapi, pikirannya tidak dapat melepaskan ingatan bahwa Sutejo membantu musuh yang membunuh Empu Supamandrangi, bahwa Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati. Iangatan ini membuat dia amat menyesal dan benci kepada Sutejo.
Perasaannya yang mencinta dihantam oleh pikirannya yang mendatangkan benci! Tak lama kemudian dia mendengar langkah-langkah kaki. Cepat dia bangkit dan mengeringkan air matanya, lalu membereskan pakaian dan rambutnya. Akan tetapi kedua tangan yang baru membereskan rambut itu terlepas lagi ketikadia melihat bahwa yang muncul adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko! Jantungnya terasa perih seperti tertusuk keris pusaka ketika dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat dan wajah muram, sedangkan Roro Kartiko jelas kelihatan merah-merah kedua matanya, bekas tangis.
Sulastri bangkit berdiri, sejenak mereka bertiga saling berpandangan tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Sulastri yang memaksa mulutnya mengeluarkan kata-kata dengan suara gemetar dan lirih.
"Kakangmas Joko Handoko, harap kau suka memaafkan saya......"
Lalu disambungnya sambil menatap Roro Kartiko,
"Roro,maafkanlah aku...."
Ucapan itu seperti air dingin menyiram hati dua orang kakak beradik itu. Joko Handoko seperti baru sadar dan cepat dia berkata.
"Ah.... tidak... tidak...! Akulah yang tidak tahu diri, aku dan Adikku yang seperti buta, tidak mengetahui bahwa engkau dan Sutejo saling mencinta. Aku datang bukan untuk mengungkit kembali soal itu, Diajeng, biarlah kesalahan ini dipendam saja agar tidak menimbulkan luka-luka di hati. Aku datang untuk membicarakan tentang.... eh, maksud Sang Adipati. Setelah keadaannya begini, jelas bahwa tidak mungkin engkau.... menikah dengan aku...."
"Duduklah, Kakangmas Joko Handoko dan Diajeng Roro,"
Sulastri berkata, sikapnya tenang kembali. Mereka duduk di atas kursi-kursi yang berada di kamar itu,kemudaian Sulastri memandang mereka dan berkata.
"Kurasa, tidak ada pilihan lain bagi kita. Dua orang kembar yang gila itu jelas hendak menjerumuskan kita, dan Sang Adipati sengaja menikahkan kita untuk menangkis tuduhan mereka. Kalau kita menolak, sudah pasti dua orang gila itu akan menang dan kita akan terancam malapetaka. Untuk menggunakan kekerasan, kurasa percuma saja karena tidak mungkin kita dapat melawan perajurit-perajurit kadipaten yang amat banyak. Jadi, jalan satu-satunya untuk dapat menyelamatkan diri kita dan akhirnya lolos dari sini, adalah.... memenuhi keinginan Sang Adipati, kita....eh, menikah dan menerima kembali Kolonadah, bayangkan betapa mengejutkan kenyataan ini, kemudian kita dapat lolos dengan aman."
Joko Handoko mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.
"Diajeng, engkau tentu cukup maklum bahwa Joko Handoko bukanlah seorang manusia rendah macam itu,yang hanya untuk menyelamatkan secuil nyawa ini akan sudi melakukan kerendahan itu. Sampai mati pun aku tidak akan mungkin suka untuk mengkianati Dimas Sutejo dan engkau..."
"Ah, engkau tidak mengkhianati siapa-siapa, Kakangmas Joko. Aku yang menghendaki ini, dan pernikahan kita itu hanya pura-pura saja, untuk mencari kesempatan lolos dari sini dengan aman!"
Sulastri membantah.
Joko Handoko tetap menggeleng kepalanya.
"Biarpun demikian, kalau kita sudah dinikahkan secara resmi, hal itu tentu akan merupakan pukulan hebat bagi Dimas Sutejo yang kelak akan menjadi jodohmu, Diajeng...."
"Tidak! Dia tidak akan menjadi jodohku! Dia....dia musuhku....!"
"Ihhh.....!"
Roro Kartiko menjerit.
"Bukankah dia cinta kepadamu, Mbakayu Sulastri?"
"Dia boleh cinta, akan tetapi aku... aku benci padanya! Aku ingin membunuhnya!"
"Eh,eh... bagaimana pula ini?"
Joko Handoko terbelalak.
"Mbakayu Sulastri...."
Roro Kartiko memandang dengan khawatir, takut kalau-kalau kedukaan membuat dara perkasa itu berubah ingatan! "Ingalah, tadi engkau mengatakan bahwa engkau mencintai Kakangmas Sutejo dan....."
"Memang, kami saling mencinta, memang aku tidak bisa menikah dan menjadi isteri orang lain, akan tetapi aku... aku juga membencinya, ingin membunuhnya. Dia musuh besarku, dia telah membunuh Eyang Empu Supamandrangi!"
Sulastri mengepal tinju dan matanya menyinarkan api kemarahan.
Joko Handoko dan adiknya saling pandang dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Agaknya antara engkau dan Dimas Sutejo selalu ada ketegangan-ketegangan, tentu ada kesalahpahaman dalam hal itu, Diajeng....."
"Sudahlah, hal ini adalah urusan dia dan aku, Kakangmas Joko. Tidak perlu engkau merasa tidak enak kepada musuhku Sutejo itu! Kita melakukan upacara pernikahan, biarpun diresmikan, agar kita dapat lolos dari sini, dan terutama sekali bagiku agar kalian dan tujuh orang anak buah kalian dapat diselamatkan. Tentang pernikahan itu, bagi kita hanya pura-pura, kita tidak sungguh-sungguh menjadi suami isteri.... eh, maafkan, Kakangmas."
Sulastri menyambung ketika melihat Joko Handoko memejamkan mata dengan wajah pucat. Setiap kata dalam ucapan Sulastri bagaikan tikaman keris di ulu hatinya terasa olehnya.
Joko Handoko menarik napas panjang.
"Kalau begitu kehendakmu, terserah, Diajeng."
"Hanya pernikahan pura-pura, Kakangmas."
Joko Handoko makin pucat.
"Aku tahu, Diajeng, dan jangan khawatir, aku selalu ingin melihat engkau bahagia."
"Maaf, aku hanya ingin agar di kemudian hari tidak terjadi keributan mengenai pernikahan pura-pura ini. Diajeng Roro menjadi saksinya,"
Kata Sulastri. Roro Kartiko hanya mengangguk lemah.
Ruangan pendopo yang luas dari istana Kadipaten Puger terhias meriah. Suara gamelan yang dipukul berirama menyambut datangnya para tamu yang membanjiri pendopo itu. Tamu-tamu ini terdiri dari pembesar-pembesar dan penduduk terhormat di Puger, untuk menghadiri perayaan pesta pernikahan antara Joko Handoko dengan Sulastri sebagai tamu-tamu kehormatan Sang Adipati yang oleh Sang Prabu Bandardento sendiri dianggap sebagai keluarga dan diresmikan pernikahan mereka di bawah perwalian dan restu Sang Prabu sendiri!
Setelah melakukan upacara pertemuan pengantin, sepasang pengantin itu duduk bersila di atas panggung yang disediakan untuk mereka, didampingi oleh Roro Kartiko dan tujuh orang anggota Sriti Kencana. Mereka tidak mau saling berjauhan dalam peristiwa ini, selalu siap menghadapi apa pun. Sulastri menunduk dan menahan air matanya karena kembali dia teringat kepada Sutejo dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau dia dapat bersanding sebagai pengantin bersama Sutejo, kalau saja Sutejo tidak membunuh Empu Supamandrangi! Dan Joko Handoko juga duduk dengan anteng, hatinya terasa perih sekali karena semua kebahagiaan yang tentu akan mengayunkannya ke sorgaloka ini ternyata hanyalah pura-pura belaka! Para tamu memuji ketampanan pengantin pria dan kecantikan pengantin puteri, juga kecantikan Roro Kartiko dan anak buahnya, terutama sekali Ayu Kunti dan Cempaka.
Setelah upcara pertemuan pengantin selesai dan pengantin sudah duduk bersanding di atas panggung yang terhias dengan kembar mayang dan segala hiasan pengantin,mulailah pesta yang meriah. Setelah minuman-minuman keras memasuki perut melalui tenggorokan yang lahap, mulailah terdengar suara tertawa-tawa dan suasana menjadi lepas dan bebas, menjadi gembira. Sang Adipati sendiri juga tertawa-tawa gembira karena tercapailah hasil kecerdikannya. Peristiwa ini tentu akan menyenangkan Lumajang dan tanpa banyak kesukaran dia telah dapat menaklukkan hati orang-orang Lumajang, berarti menghindarkan musuh yang berbahaya!
Murwendo dan Murwanti tidak hadir dalam pesta pernikahan itu. Akan tetapi Sang Prabu Bandardento tidak peduli, dia dapat menduga bahwa dua orang kembar itu tentu tidak senang hati mereka, akan tetapi biarpun mereka itu adalah anak-anaknya,dia tidak mungkin dapat membela mereka yang salah. Bahkan teringat kepada mereka,hati Sang Prabu menjadi tidak senang dan kecewa. Betapa akan bahagianya kalau anak-anaknya itu bukan Murwendo dan Murwanti, melainkan Joko Handoko dan Roro Kartiko! Kalau saja Sang Prabu Bandardento tahu apa yang dilakukan oleh dua orang anaknya itu! Kalau saja dia tahu apa yang telah terjadi selama beberapa hari ini, semenjak penyerbuan Sulastri!
Sudah beberapa bulan lamanya, seorang selirnya yang bernama Retno Sami, seorang wanita berusia hampir tiga puluh tahun yang cantik manis, tergila-gila kepada Murwendo. Sebagai seorang selir yang ke sekian kalinya, apalagi seorang selir dari seorang Adipati yang sudah setua Sang Prabu Bandardento, yang dalam hal pengumbaran nafsu sudah banyak berkurang, tidak bergairah lagi, tentu saja seorang wanita muda seperti Retno Sami itu menjadi kehausan seperti seekor ikan kekurangan air. Tidak ada pelayan pria di kaputren, dan semenjak terjadinya peristiwa aib, hubungan perjinaan yang terjadi antara selir raja dan juru taman, kini bahkan juru taman pun seorang wanita! Satu-satunya pria yang dapat memasuki kaputren hanyalah Pangeran Murwendo, maka anehkah kalau selir ini tergila-gila kepada pemuda yang memang tampan, gagah dan kuat ini? Murwendo juga bukan seorang yang berbatin teguh.
Biarpun Retno Sami adalah seorang "ibu"
Baginya, seorang ibu tiri, namun bujuk rayu yang keluar dari pandang mata, gerak bibir dan suara wanita itu menggerakkan hatinya, membangkitkan berahinya. Apalagi ketika Retno Sami membisikkan bahwa dia mengetahui rahasia dari saudara kembar itu! Segera Murwendo dan Murwanti menarik "ibu"
Ini menjadi sekutu mereka dan tentu saja, sebagai imbalannya, Murwendo menuruti hasrat hati wanita itu dan sudah sejak beberapa bulan ibu itu menjadi kekasihnya, berbuat jina dengan dia dan disetujui pula oleh Murwanti! Bahkan di antara tiga orang manusia yang dikuasai oleh nafsu ini, terjadilah perbuatan-perbuatan yang amat kotor dan mereka bertiga sudah biasa tidur sekamar di mana terjadi hal-hal yang sukar dibayangkan dapat terjadi di antara mereka! Tentu saja tidak ada seorangpun selir lain yang berani membocorkan rahasia ini karena perbuatan itu memungkinkan mereka dibunuh oleh Murwendo dan Murwanti.
Retno Sami inilah yang membocorkan rahasia kelahiran Murwendo dan Murwanti sehingga dua orang saudara kembar itu tahu bahwa sesungguhnya mereka bukanlah keturunan Sang Prabu Bandardento, bahwa Ibu mereka telah meninggal ketika melahirkan mereka, dan betapa "ayah"
Mereka yang sesungguhnya adalah seorang juru taman yang telah dibunuh atas perintah Sang Prabu Bandardento!
Hal itu masih dapat dimengerti olah kakak beradik kembar ini. Akan tetapi ketika Sang Prabu menolak kehendak mereka mengawini Joko Handoko dan Roro Kartiko, timbullah kebencian mereka terhadap orang yang selama ini mereka anggap sebagai ayah kandung itu. Mereka merasa dikesampingkan, dan merasa bahwa sesungguhnya adipati itu tidak sayang kepada mereka. Dan mulailah timbul keinginan mereka untuk memberontak, menggulingkan Sang Adipati untuk merampas kekuasaan, dengan Murwendo menjadi raja dan Murwanti menjadi permaisurinya, Retno Sami menjadi selirnya! Pikiran yang gila memang bagi orang waras!
Maka diam-diam kakak beradik kembar ini, dibantu oleh Retno Sami, menghubungi Menak Srenggo, yaitu kakak misan dari Retno Sami yang menjadi senopati di Puger, mengepalai pasukan yang cukup besar jumlahnya. Persekutuan dibentuk dan Menak Srenggo yang dapat terbujuk untuk diangkat sebagai patih kelak, telah berhasil mengumpulkan lima ratus orang perajurit bawahannya untuk dipergunakan sewaktu-waktu.
Kemudian, saat yang dinanti-nanti itu telah tiba, yaitu pada saat pernikahan antara Joko Handoko dan Sulastri! Dan sebelumnya, Murwendo dan Murwanti telah berhasil memasuki gedung pusaka dan membunuh lima orang penjaga yang tidak menyangka sesuatu, kemudian Murwendo mengambil keris pusaka Kolonadah yang dianggapnya sebagai keris pusaka calon raja!
Para tamu sedang makan minum dengan gembira ketika tiba-tiba di luar pendopo terdengar suara riuh rendah. Karena pendopo di malam perayaan itu amat terang, tentu saja dari dalam memandang keluar amat gelap sehingga semua orang yang terkejut itu tidak segera tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, Padas Gunung dan Pragalbo sudah meloncat bangun dan memandang keluar. Joko Handoko, Sulastri, Roro Kartiko dan tujuh orang wanita Sriti Kencana juga sudah siap.
Sulastri adalah seorang wanita perkasa yang cepat dapat menguasai keadaan, maka mendengar suara ribut-ribut di luar disusul pekik-pekik kesakitan tanda bahwa di luar terjadi pertempuran itu, dia dengan cepat berbisik kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko.
"Kalian berdua dibantu oleh tujuh orang anak buahmu harap melindungi Sang Adipati!"
Dara perkasa ini maklum bahwa dalam keadaan apa pun di daerah Puger itu, satu-satunya orang yang dapat melindungi mereka hanyalah Sang Adipati, oleh karena itu keselamatan Sang Adipati amatlah penting bagi mereka.
Agaknya Joko Handoko dan Roro Kartiko juga mengerti akan maksud hati Sulastri itu, apalagi karena memang dua orang kakak beradik ini merasa suka sekali kepada Sang Adipati yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik.
"Bunuh! Bunuh mata-mata Lumajang......"
Terdengar teriakan-teriakan dan kini para penyerbu itu sudah memasuki pendopo. Para tamu menjadi panik dan bubar! Pekik kesakitan terdengar di sana sini dan kini tampak oleh Sulastri bahwa yang menyerbu itu adalah Murwendo dan Murwanti, diikuti oleh banyak sekali perajurit, ratusan orang banyaknya!
Padas Gunung dan Pragalbo sudah cepat lari mendekati Sang Adipati dan Permaisuri, para selir menjerit kecuali tentu saja Retno Sami yang diam-diam tersenyum penuh harapan. Akan tetapi Sang Adipati dan keluarganya telah dikelilingi dan dijaga oleh Joko Handoko, Roro Kartiko dan tujuh anggota Sriti Kencana yang berdiri dengan gagah dan siap sedia!
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo