Kemelut Di Majapahit 29
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
Ketika Ki Patih Nambi memasuki ruangan dalam, dia disambut oleh tangis isterinya dan tangis Dyah Wulandari. Mendengar keponakan ditangkap, tentu saja isteri Ki Patih merasa khawatir dan berduka sekali. Demikian pula Dyah Wulandari, karena dara cantik jelita ini sejak kecil telah mengenal Sarjitowarman dan setelah menjadi tunangannya, dia jatuh cinta kepada pemuda calon suaminya itu. Ki Patih Nambi duduk dengan penuh kegelisahan, lalu dia menceritakan usul yang disampaikan oleh Ki Durgakelana tadi.
Mendengar ini, Dyah Wulandari lalu bangkit dan berkata.
"Kalau begitu, saya akan menghadap Gusti Pangeran, Kanjeng Paman!"
Wajah yang cantik itu agak pucat dan kedua pipinya basah air mata.
"Akan tetapi....ah, hatiku khawatir kalau aku menghadap Beliau, Wulan!"
Kata Ki Patih.
"Apa yang dikhawatirkan?"
Isterinya membantah.
"Kalau memang hanya itu jalannya untuk membebaskan Warman, biarlah Wulan pergi menghadap. Sudah selayaknya seorang calon isteri membuktikan darma baktinya kepada suami."
"Akan tetapi..... Gusti Pangeran itu terkenal mata keranjang dan......"
"Ahhh, mana dia berani mengganggu keponakan Paduka?"
Akhirnya setelah Wulandari dan isterinya mendesak, Ki Patih Nambi menyetujui juga, melepaskan keponakannya itu pergi dengan diantar oleh seorang dayang tua,dengan hati tidak enak. Akan tetapi dia masih berharap bahwa Sang Pangeran tidak akan berani mengganggu dara itu dan memandang kepadanya. Ketika Wulandari dan dayang yang mengantarnya tiba di istana Pangeran Kolo Gemet,dia segera dipersilakan masuk dan seketika tiba di ruangan dalam, dayang itu tidak diperkenankan masuk terus dan Dyah Wulandari diantar oleh pengawal sampai ke depan sebuah kamar yang pintunya tertutup.
"Kanjeng Gusti Pangeran menanti di dalam kamar ini, harap Andika masuk saja,"
Kata Ki Sarpo Kencono yang menjaga di depan kamar itu bersama Ki Warok jinggo.
Keduanya menyeringai penuh arti dan dyah Wulandari merasa seram terhadap dua orang kakek raksasa yang kasar dan buruk rupa itu. Maka dia lalu membuka daun pintu dan bergegas memasuki kamar itu. Sebuah kamar yang besar sekali.
"Klik!"
Dyah Wulandari terkejut dan menengok, kiranya daun pintu itu telah ditutupkan kembali oleh tangan-tangan raksasa di luar tadi. Dia membalik lagi dan memandang ke dalam kamar.
Kamar itu besar dan mewah sekali, juga berbau harum seperti kamar pengantin. Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang amat indah bertilam sutera merah muda yang tersulam bunga-bunga kuning dan daun-daun hijau. Lantainya terhias permadani tebal dan semua perabot kamar itu merupakan benda-benda yang mahal dan indah. Di atas sebuah meja dekat pembaringan tersedia minuman-minuman dalan guci dan cawan-cawan terbuat daripada emas dan perak. Pendeknya, belum pernah selama hidupnya Dyah Wulandari melihat kamar semewah dan seindah itu biarpun kamar-kamar di istana kepatihan juga merupakan kamar-kamar yang mewah bagi ukuran rakyat biasa. Akan tetapi Wulan jadi tidak begitu memperhatikan segala keindahan itu.
Jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan, kegelisahan dan ketakutan dan kedua kakinya menggigil, tidak lagi dapat digerakkan ketika dia melihat seorang pemuda dengan pakaian sarung tipis menyelimuti tubuhnya yang telanjang, sedang duduk di atas pembaringan itu. Pemuda itu bukan lain adalah Sang Pangeran Kolo Gemet yang memandang kepadanya dengan mulut tersenyum dan sepasang mata yang seolah-olah menelannya bulat-bulat!
"Ahhh... Si Dewi Kahyangan...... Dyah Wulandari! Akhirnya kau datang juga kepadaku, bocah denok ayu?"
Sang Pangeran bangkit berdiri dan menyambutnya dengan kata-kata yang membuat Wulandari makin ketakutan itu.
Saking takutnya, Wulandari tidak dapat lebih lama lagi berdiri, dia lalu mendeprok dan duduk di atas lantai sambil menyembah.
"Mohon.... mohon belas kasihan Paduka, Gusti...."
Dia berkata dengan suara gemetar.
"Ah, jangan begitu, cah ayu. Jangan duduk di bawah, mari kita duduk di sini dan bicara dengan baik dan enak. Marilah....."
Sang Pangeran menggapai.
Wulandari memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketakutan lalu menggeleng kepala dan berkata lebih lirih.
"Hamba.... hamba.....biar hamba duduk di sini saja........"
"Ah mana bisa begitu? Tidak enak bicara begini. Marilah, sayang kita bicara sambil duduk di sini. Marilah!"
Pangeran Kolo Gemet menghampiri dara itu yang menggigil ketakutan, memegang tangannya dan menariknya berdiri. Karena takut, Dyah Wulandari terpaksa bangkit berdiri. Sukar kakinya melangkah, akan tetapi dengan sikap halus dan mesra pangeran itu menggandengnya dan merangkul pinggangnya, menarik ke depan dan diajak menghampiri pembaringan yang lebar dan indah itu.
"Nah, duduklah di sini dan mari kita bicara seenaknya."
Dia memaksa Dyah Wulandari duduk di tepi pembaringan. Pembaringn itu lunak dan halus, akan tetapi terasa oleh dara itu seperti ada bara api membakar pinggulnya atau ada ujung-ujung keris tajam menusuk pinggulnya ketika dia duduk sehingga duduknya mepet di sudut dan hanya menempelkan pinggulnya di tepi pembaringan, mukanya menunduk, sebentar pucat sebentar merah, jantungnya berdebar-debar sehingga terdengar olehnya bunyi debur jantungnya yang makin mengencang.
Melihat dara itu ketakutan, Pangeran Kolo Gemet melepaskan pegangan tangannya,kemudian dia pun duduk di samping dara itu, bertanya dengan halus.
"Diajeng Wulandari yang manis, yang cantik jelita, yang membuat aku seperti gila dalam beberapa hari ini, sungguh aku merasa kejatuhan bulan melihat engkau masuk ke dalam kamarku. Diajeng, sekarang katakanlah, apa yang membawa Diajeng datang ke sini menemui aku? Apakah karena engkau merasakan desakan rindu hatiku, jeritan hatiku setiap malam di waktu aku bermimpi dan bertemu denganmu?"
Dyah Wulandari merasa kepalanya pening karena jantungnya yang berdebar keras itu sehingga semua ucapan itu seperti terdengar amat jauh baginya. Kata-kata yang amat asing baginya, kata-kata rayuan yang belum pernah didengarnya semula.
Bahkan tunangannya sendiripun Sarjitowarman, belum pernah mengeluarkan kata-kata merayu seperti itu. Sarjitowarman hanya menyampaikan rasa cinta kasihnya melalui senyum dan pandang mata, Sarjitowarman! Untuk tunangannya itulah dia kini berada di kamar ini! Teringat akan tunangannya yang ditangkap, timbul pula keberanian di hati Wulandari dan kini dia mengangkat muka, memadang wajah pangeran yang tampan dan mengerikan baginya itu.
"Pangeran..."
Dia berhenti lagi, kerongkongannya terasa tersumbat ketika dia melihat pandang mata pemuda itu demikian liar dan seperti hendak menelanjanginya,maka dia terpaksa menundukkan mukanya lagi.
"Hamba datang menghadap Paduka karena hamba hendak mengajukan permohonan....."
"Ah, gembira sekali hatiku bahwa orang seperti engkau suka minta sesuatu dariku, Diajeng Wulandari. Permintaan apakah itu?"
"Hamba mohon agar Paduka suka mengampunkan.... Kakangmas Sarjitowarman. Dia bukanlah mata-mata Lumajang, Pangeran. Dia datang ke mojopahit karena memang mempunyai keperluan pribadi, yaitu..... untuk mengunjungi hamba. Hamba adalah tunangannya, calon isterinya, maka sudah sepantasnya kalau dia kadang-kadang untuk mengunjungi hamba, dan juga mengunjungi Kanjeng Paman Nambi, karena Kakangmas Sarjitowarman adalah keponakan dari Kanjeng Bibi. Maka, hamba mohon kebijaksanaan dan belas kasihan Paduka, sudilah kiranya Paduka membebaskan Kakangmas Sarjiowarman."
Setelah berbicara, dara itu merasa tenang dan dapat bicara dengan lancar.
"Ah, tentu saja.... tentu saja....! Dengan senang hati aku akan menolongmu dan memenuhi permintaanmu. Apa lagi baru permintaan seringan itu, biar engkau minta bulan pun akan kulaksanakan, Diajeng Wulandari. Akan tetapi tentu saja tidak ada kebaikan tanpa dibalas, dan aku yakin engkau adalah seorang yang mengenal budi."
Dara itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Terima kasih atas kebijaksanaan Paduka. Budi Paduka tidak akan hamba lupakan selama hidup..."
"Ah, tidak perlu begini, manis. Aku cinta padamu asal engkau bersikap manis dan suka melayaniku dengan suka rela dan manis, kuanggap budi ini sudah cukup terbalas. Marilah, sayang, aku cinta padamu.... ah, betapa rinduku kepadamu, Wulandari."
Pangeran itu mendekat dan merangkul.
"Ihhhh"..!"
Dyah Wulandari menjerit kecil.
"Jangan..... jangan, Kanjeng Pangeran, jangan.....!"
Dia meronta dan bangkit berdiri lalu melangkah mundur, dadanya berombak, mukanya pucat dan matanya terbelalak, seperti mata seekor kelinci menghadapi seekor harimau yang akan menubruknya dan mencabik-cabik dagingnya.
Alis pangeran itu berkerut.
"Wulandari, baru saja kau mengakatakan bahwa sampai mati kau tidak akan melupakan budiku, akan tetapi sekarang agaknya sudah kau lupakan!"
Aku cinta padamu dan aku ingin engkau melayani cintaku dengan suka rela tanpa paksaan..... Diajeng, percayalah, aku sungguh tergila-gila kepadamu....."
Pangeran itu menghampiri, menangkap pergelangan tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya lalu mendekatkan mukanya hendak mencium.
"Tapi.... tapi hamba akan menjunjung tinggi Paduka sebagai seorang sesembahan yang bijaksana....... bukan untuk bersikap seperti.... itu....."
"Wulandari, pemuda Lumajang itu mestinya harus mati, akan tetapi demi melihatmu aku suka mengampuninya dan mengembalikan nyawanya kepadamu. Dan untuk pengganti nyawanya, aku hanya minta agar engkau suka melayaniku dengan manis budi. Bukankah itu sudah adil? Aku cinta padamu dan aku ingin engkau melayani cintaku dengan suka rela tanpa paksaan..... Diajeng, percayalah, aku sungguh tergila-gila kepadamu....."
Pangeran itu menghampiri, menangkap pergelangan tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya lalu mendekatkan mukanya hendak mencium.
"Tidak... eh, jangan.... ampunkan hamba... jangan......!"
Wulandari meronta-ronta,dan sukar bagi pangeran itu untuk dapat mencium bibirnya karena dara itu mengelak terus dan mendorong-dorong sehingga akhirnya Pangeran Kolo Gemet melepaskan rangkulannya. Mukanya menjadi merah, matanya liar dan napasnya mendengus-dengus, tanda bahwa dia marah dan nafsu berahinya sudah membuat matanya galap.
"Engkau menolak? Sungguh-sungguh engkau berani menolak cintaku?"
Wulandari menangis terisak-isak dan menjatuhkan dirinya di atas lantai, menyembah-nyembah.
"Ampunkan hamba, Gusti..... hamba akan menjunjung Paduka sebagai seorang sesembahan yang bijaksana, yang pemurah, akan tetapi jangan Paduka menghendaki yang itu.... karena hamba sudah bertunangan, hamba sudah mempunyai seorang calon suami...."
"Kalau begitu kau ingin melihat tunanganmu itu mampus?"
"Ampun, Gusti.... ampunkan hamba, ampunkan dia.... demi para dewata yang agung, ampunkan hamba dan dia...."
Wulandari meratap.
"Wulandari, jawablah pertanyaanku yang terakhir ini. Maukah engkau melayaniku dengan suka rela? Kalau mau, ke sinilah dan duduklah di pembaringan ini. Kalau tidak mau jawab saja sejujurnya!"
Suara Pangeran itu lantang dan penuh kemarahan.
Dyah Wulandari menyembah, suaranya tergagap karena terganggu tangisnya.
"Ampunkan....hamba.... hamba....... tidak mungkin dapat melakukan hal itu, biar sampai mati sekalipun...., harap Paduka suka mengampuni hamba..."
"Keparat!"
Pangeran Kolo Gemet lalu bertepuk tangan tiga kali dan daun pintu kamar itu terbuka cepat dari luar dan dua orang kakek raksasa itu sudah meloncat ke dalam. Mereka memandang kepada Sang Pangeran, hatinya merasa lega melihat Sang Pangeran tidak apa-apa hanya kelihatan marah, lalu mereka memandang kepada dara yang menangis dan berlutut di atas lantai itu.
"Bawa mata-mata Lumajang itu ke sini!"
Bentak Pangeran Kolo Gemet dengan penuh kegeraman.
"Baik, Gusti Pangeran!"
Jawab Warak Jinggo dan dia lalu meloncat keluar,sedangkan Sarpo Kencono masih berdiri di situ.
"Sarpo Kencono siapkan tali untuk meringkus mata-mata itu!"
Sarpo Kencono menyembah lalu keluar dari dalam kamar. Seluruh tubuh Dyah Wulandari menggigil penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia maklum bahwa dia telah membikin marah pangeran, dan dia tidak dapat membayangkan apa yang hendak dilakukan oleh pangeran itu kepada tunangannya.
Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki menghampiri pintu kamar dan muncullah Warak Jinggo yang mendorong tubuh Sarjitowarman memasuki kamar, diikuti Sarpo Kencono yang membawa tali. Kedua tangan pemuda Lumajang itu sudah dibelenggu ke belakang tubuhnya, mukanya pucat dan rambut serta pakaiannya kusut awut-awutan. Ketika dia melihat bahwa Dyah Wulandari berada di dalam kamar itu,berlutut sambil menangis, dia terkejut bukan main.
"Diajeng....!"
Teriaknya lirih tertahan karena Warak Jinggo sudah menekan pundaknya sehingga dia menjatuhkan diri berlutut.
"Kakangmas....!"
Dyah Wulandari juga menjerit lalu menangis sesenggukan.
"Ikat dia di tiang pojok itu kuat-kuat, hadapkan ke sini!"
Sang Pangeran membantak dan dua orang pengawalnya lalu menyeret tubuh Sarjitowarman ke pojok di mana terdapat tiang besar berukir indah, kemudian dengan kasar pemda itu ditelikung pada tiang itu. Tali yang kuat dan panjang itu dilibat-libatkan tubuhnya dari kaki sampai ke dada sehingga pemuda itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi, hanya memandang ke arah tunangannya dengan penuh kekhawatiran.
Sementara itu, Dyah Wulandari menangis makin hebat, mencoba untuk lari menghampiri tunangannya, akan tetapi Pangeran Kolo Gemet menghadang dan mendorongnya sehingga dara itu terhuyung dan jatuh ke atas pembaringan. Dia cepat turun lagi dan menyembah-nyembah sambil menangis sesenggukan.
"Gusti Pangeran, Paduka boleh menyiksa hamba, boleh membunuh hamba, akan tetapi janganlah Paduka mengganggu Diajeng Wulandari!"
Sarjitowarman berteriak dengan marah, matanya terbelalak berapi-api ditujukan kepada Pangeran Kolo Gemet. Pangeran itu meloncat dan menampar pipi pemuda itu.
"Plakkk!"
Dan darah mengalir dari ujung bibir yang pecah.
"Tutup dan ikat mulutnya yang lancang dengan kain agar tidak mampu mengeluarkan suara!"
Bentak Sang Pangeran dengan geram. Warak Jinggo lalu mempergunakan sehelai kain hitam untuk mengikat mulut Sarjitowarman sehingga pemuda itu kini selain tubuhnya terbelenggu, juga mulutnya tertutup ikatan yang erat sehingga sama sekali tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang masih dapat memandang dengan marah.
"Sekarang keluarlah kalian, jaga di depan pintu, jangan perkenankan siapapun masuk ke kamar ini!"
Dua orang kakek itu saling pandang, tersenyum lalu menyembah dan mengundurkan diri ke luar kamar, menutupkan daun pintu dan menjaga di luar kamar itu. Pangeran Kolo Gemet lalu menghampiri Dyah Wulandari yang masih berlutut sambil menangis itu.
"Nah, Wulandari, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih bersikeras tidak mau memenuhi permintaanku?"
"Ampunkan, Gusti..... hu-hu-huhhh....... ampunkan hamba berdua...., lebih baik Paduka bunuh saja hamba berdua..... hu-huhhhhh......."
Dara itu menangis tersedu-sedu.
Kolo Gemet menjadi semakin penasaran dan marah.
"Baik, kalau begitu kaulihat dia ini tersiksa!"
Dengan langkah lebar dia menghampiri Sarjitowarman yang terbelenggu di tiang.
"Brettt......!"
Sekali renggut, robeklah baju pemuda itu sehingga dadanya nampak telanjang. Pangeran Kolo Gemet lalu mencabut kerisnya.
"Aku akan membunuhnya perlahan-lahan di depan matamu. Lihat baik-baik.....!"
Pangeran itu lalu menggunakan ujung kerisnya menggurat kulit dada pemuda itu. Darah mengucur dari luka memanjang dan Sarjitowarman memejamkan mata menahan nyeri, hanya alisnya saja yang berkerut.
"Pangeran......!"
Dyah Wulandari yang tadi memandang terbelalak, kini menjerit dan menubruk kaki pangeran itu, menyembah-nyembah.
"Ampunkan dia.... ampunkan hamba.... demi para Dewata Yang Agung ampunkan dia....."
Pangeran Kolo Gemet tersenyum mengejek.
"Ampun? Mudah saja, manisku. Tentu saja aku akan mengampunkan kalian kalau saja engkau tidak keras kepala seperti itu. Nah, kau duduklah di pembaringan itu, hentikan tangismu dan bersiaplah untuk melayaniku dengan manis."
"Tapi.... tapi..."
"Apa kau ingin melihat dadanya kurobek-robek?"
Pangeran itu membentak dan dengan muka pucat Dyah Wulandari lalu bangkit dan melangkah manuju ke pembaringan, akan tetapi tiba-tiba dia menoleh dan memandang kepada Sarjitowarman Pemuda ini tidak mampu bersuara atau bergerak, akan tetapi dia masih dapat menggeleng-gelengkan kepalanya, memberi isyarat yang jelas agar tunangannya itu tidak memenuhi kehendak Sang Pangeran.
"Hamba......hamba tidak dapat....."
Akan tetapi kata-kata itu terhenti dan berubah menjadi jeritan lalu dia lari dan menubruk kaki pangeran itu ketika ujung keris itu kini dengan gerakan kasar dan marah menyambar dan mencoret-coret di atas dada yang telanjang itu sehingga dada itu kini belepotan darah dengan guratan-guratan merah malang melintang.
"Engkau masih berani membantah?"
Pangeran itu membentak.
"Baik... baik.... Gusti, akan tetapi jangan...... jangan siksa dia....."
Dengan ketakutan dan hati penuh kengerian melihat tunangannya disiksa seperti itu, Dyah Wulandari lalu setengah berlari menuju ke pembaringan dan duduk di situ dengan mata terbelalak dan muka pucat ketakutan terdengar rintih tangis Dyah Wulandari bersama rintih yang keluar dari kerongkongan Sarjitowarman yang hanya dapat memejamkan matanya rapat-rapat, akan tetapi air matanya menetes membasahi kedua pipinya.
"Ha-ha-ha, nah, begitu baru baik dan manis."
Dia lalu menyimpan kerisnya dan memandang wajah Sarjitowarman.
"Dan kau! Berani benar kau ya? Nah, untuk keberanianmu itu, hendak kulihat apakah engkau cukup berani untuk menonton apa yang akan terjadi!"
Sepasang mata Sarjitowarman kini memandang tanpa mengenal takut, tanpa rasa hormat, dan dia seolah-olah hendak mencekik pangeran itu dengan pandang matanya. Akan tetapi pangeran Kolo Gemet hanya tertawa lalu dengan langkah lebar menghampiri pembaringan.
"Gusti.... jangan.... jangan....!"
Keluhan Wulandari itu makin menghebat keika pangeran itu menubruknya sehingga dia roboh terjengkang dan terlentang di atas pembaringan dan dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun tentu saja dia kalah tenaga dan dia pun agaknya takut kalau-kalau pangeran itu akan menyiksa tunangannya lagi. Akhirnya, keluhannya itu berubah menjadi jeritan-jeritan menyayat hati, kemudian di dalam kamar itu hanya terdengar rintih tangis Dyah Wulandari bersama rintih yang keluar dari kerongkongan Sarjitowarman yang hanya dapat memejamkan matanya rapat-rapat, akan tetapi air matanya menetes membasahi kedua pipinya.
Selama sehari itu, berkali-kali Dyah Wulandari roboh pingsan dan kalau tidak pingsan, terdengarlah rintihan dan tangisnya, keluhan dan sambatnya minta mati akan tetapi yang hanya dijawab dengan suara ketawa dan bujuk rayu Sang Pangeran.
Karena asyik dengan pelampiasan nafsu-nafsu kotornya, Sang Pangeran tidak tahu betapa di luar pintu muncul Resi Mahapati yang berbisik-bisik dengan dua orang kakek pengawalnya, dan Resi Mahapati mengangguk-angguk tersenyum puas ketika mendengar suara rintihan-rintihan yang mengenaskan dari Dyah Wulandari di dalam kamar itu. Lalu kakek itu cepat meninggalkan istana pangeran dan bergegas mengunjungi kepatihan, di mana Patih Nambi masih menanti kembalinya keponakannya dengan hati gelisah.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Patih Nambi menerima kunjungan Resi Mahapati yang kelihatan gugup dan gelisah itu dengan hati tidak enak. Dan sebelum Ki Patih dapat bertanya, Resi Mahapati telah mendahuluinya dengan suara gugup.
"Celaka, Adimas Patih! Paduka harus cepat-cepat bertindak, kalau tidak maka
celakalah....."
Biasanya, menghadapi segala macam persoalan, Ki Patih Nambi selalu bersikap tenang, akan tetapi sekarang karena hatinya sejak pagi tadi sudah gelisah memikirkan Dyah Wulandari yang tak kunjung pulang, dia menjadi pucat mendengar ini.
"Kakang Resi Mahapati! Apakah yang telah terjadi?
"Saya baru saja mendengar bahwa keponakan Paduka, Dyah Wulandari, telah ditangkap oleh Sang Pangeran!"
Ki Patih Nambi mengerutkan alisnya. Dia memang sudah mengkhawatirkan hal ini,akan tetapi dia ingin mendengar lebih banyak dari resi yang dia tahu memiliki hubungan akrab dan dekat dengan Sang Pangeran itu.
"Apa dosanya, Kakang Resi? Keponakan saya itu hanya pergi menghadap Sang Pangeran untuk mohon dibebaskannya tunangannya."
Resi Mahapati menarik napas panjang, kelihatan bingung dan khawatir sekali.
"Saya sendiri hanya mendengar dari para pengawal Gusti Pangeran bahwa keponakan Paduka itu di tangkap dan dituduh membantu mata-mata dari Lumajang. Saya harap Paduka cepat-cepat pergi mendatangi pangeran untuk menolong keponakan Paduka itu, Dimas Patih."
Ki Patih Nambi adalah seorang yang bijaksana. Dia tahu bahwa kalau dia menuruti nasihat ini, dia hanya akan membuat suasana menjadi tambah panas dan keruh.
Dia menggeleng kepalanya.
"Gusti Pangeran berhak untuk menahan siapa pun yang dia curigai, Kakang Resi. Saya tidak berhak mencampuri, biarpun hal ini menyangkut urusan keponakan saya sendiri."
"Apa?"
Resi Mahapati terbelalak.
"Paduka maksudkan bahwa Paduka akan tinggal berpeluk tangan saja mendengar keponakan Paduka terancam? Ahh..... saya kira....ah,maafkan, kalau begitu tidak ada artinya saya bersusah payah melaporkan kepada Paduka..."
"Bukan begitu, Kakang Resi. Saya berterima kasih sekali atas pemberitahuan Andika ini, akan tetapi saya hanya dapat mengharapkan kebijaksanaan Kanjeng Gusti Sinuhun. Mendatangi Sang Pangeran sendiri hanya akan menimbulkan suasana yang makin panas saja."
"Ah, benar sekali, Adimas Patih! Sebaiknya sekarang juga Paduka pergi melapor kepada Sang Prabu!"
Akan tetapi Ki Patih Nambi kembali menggelengkan kepalanya.
"Tidak sekarang, Kakang Resi, saya tidak berani mengganggu Sang Prabu di waktu hampir malam begini. Biarlah besok pagi saya akan mohon kebijaksanaan Sang Prabu."
Resi Mahapati mengangguk-angguk kemudian meninggalkan kepatihan. Di dalam hatinya dia merasa girang sekali. Biar pun pada lahirnya patih itu tidak kelihatan menaruh dendam, namun dia tahu bahwa di dalam hatinya tentu Ki Patih Nambi merasa sakit hati sekali. Tunggulah kau, Nambi, pikirnya, tunggulah sampai kau mendengar sendiri betapa keponakanmu telah diperkosa oleh Sang Pangeran! Dia menggosok-gosok kedua tangannya, membayangkan bentrokan antara Ki Patih Nambi dan Pangeran Kolo Gemet dan kalau hal itu terjadi, makin terbukalah kesempatan baginya untuk mengangkat diri sendiri memperoleh kedudukan patih yang diidam-idamkannya.
Keputusan Ki Patih Nambi untuk menunda permohonannya kepada Sang Prabu sampai besok pagi itu memperpanjang penderitaan batin Dyah Wulandari. Dia tidak berdaya dan dipermainkan sepuasnya oleh Pangeran Kolo Gemet dan sehari semalam, itu dia tidak pernah dilepaskan oleh Sang Pangeran. Kalau Dyah Wulandari mengalami penderitaan dan penghinaan yang lebih hebat menimpa jasmaninya, adalah Sarjitowarman yang mengalami sisaan batin amat hebatnya.
Pemuda ini harus melihat dan mendengar semua penderitaan kekasihnya, penghinaan yang paling hebat yang dapat diderita oleh seorang wanita. Biarpun dia dapat memejamkan matanya agar tidak melihat kekasihnya meronta-ronta seperti seekor kelinci yang dicabik-cabik oleh seekor harimau buas, namun dia tidak dapat menutupi telinganya dan terpaksa harus harus mendengarkan rintihan dan ratap tangis yang terulang-ulang keluar dari mulut dara yang tidak berdaya itu.
Kalau selama sehari semalam itu Sang Pangeran mau melapaskan Dyah Wulandari sebentar saja, tentu dara itu akan menggunakan kesempatan ini untuk membunuh diri dengan cara apa pun. Akan tetapi, pangeran itu sama sekali tidak pernah mau melepaskannya. Dan pada keesokan harinya, dalam keadaan tertidur, pangeran itu memeluknya erat-erat dan setiap kali Wulandari bergerak hendak melepaskan diri, pelukannya makin diperkuat. Hari telah agak siang ketika Sang Pangeran terbangun karena pintu kamar itu diketok orang dari luar. Dia bangkit duduk, memandang kepada Dyah Wulandari yang menangis terisak-isak ketika dia melepaskan pelukannya.
"Manis, sudah jangan menangis Aku cinta kepadamu, Wulandari. Engkau telah menjadi milikku, dan aku akan membebaskan dia itu."
Dyah Wulandari tidak menjawab, hanya menutupi mukanya dengan bantal dan menangis sesenggukan. Ketukan pintu terulang dan Sang Pangeran turun dari pembaringan, mengenakan pakaiannya sambil berseru.
"Siapa?"
"Hamba, Gusti. Ada utusan dari Gusti Sinuwun untuk paduka."
Pangeran Kolo Gemet mengerutkan alisnya dan tanpa membuka pintu dia bertanya dari dalam.
"Ada urusan apakah? Hayo katakan saja dari luar!"
Terdengar suara lain, bukan suara Warak Jinggo yang tadi.
"Ampun, Gusti Pangeran. Hamba diutus oleh Kanjeng Gusti Sinuhun yang minta agar Paduka suka datang menghadap sekarang juga di ruang persidangan di mana Kanjeng Gusti Sinuhun menanti Paduka."
"Hemm baik, aku segera pergi. Warak Jinggo, kau masuklah!"
Pintu terbuka dan Warak Jinggo memasuki kamar itu, melirik ke arah Sarjitowarman yang masih terbelenggu di tiang dalam keadaan lemas lahir batinnya, kemudian melirik ke arah Dyah Wulandari yang masih menangis di atas pembaringan dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Kau ikat kaki tangan wanita itu agar dia jangan lari atau melakukan hal yang buruk, akan tetapi awas, jangan sakiti dia dan jangan ganggu dia, dia adalah kekasihku!"
Warak Jinggo menyembah, lalu menghampiri pembaringan, Dyah Wulandari yang sudah kehabisan tenaga itu diam saja ketika kaki dan tangannya diikat dengan hati-hati oleh kakek itu, menggunakan ikat pinggang dara itu sendiri yang berada di atas lantai di bawah pembaringan. Setelah berganti pakaian dan membereskan rambutnya,pangeran itu lalu meninggalkan kamar dan memesan kepada Warak Jinggo agar menjaga dua orang tawanan itu dengan hati-hati. Kemudian dia lalu pergi menghadap Sang Prabu, dikawal oleh Sarpo Kencono bersama Ki Dugakelana yang juga sudah datang pagi itu untuk menghadap Sang Pangeran seperti biasa setiap hari.
Ketika Sang Pangeran tiba di ruang persidangan, dia melihat Sri Baginda lengkap dengan para pengawal telah berada di situ. Yang membuat hatinya merasa tidak enak adalah ketika dia melihat hadirnya Ki Patih Nambi di situ. Ki Patih duduk bersila dengan kepala tunduk dan wajah muram. Heran dia melihat Resi Mahapati juga hadir pula di situ. Dia tidak tahu bahwa Sang Resi itulah yang menemani Ki Patih menghadap ayahnya untuk melaporkan perbuatannya! Setelah melihat pangeran itu menghadap, Sang Prabu mengerutkan alisnya, lalu dia menegur.
"Puteraku, apakah artinya pelaporan dari Patih Nambi bahwa Andika telah menangkap keponakannya yang bernama Dyah Wulandari?"
Pangeran itu menyembah lalu berkata.
"Harap Kanjeng Rama ketahui bahwa Dyah Wulandari telah membela seorang mata-mata Lumajang yang hamba tangkap. Karena itu, hamba menganggap bahwa Dyah Wulandari itu membantu mata-mata, keadaannya mencurigakan dan perlu ditahan pula untuk pemeriksaan lebih lanjut."
"Hemm, siapakah orang yang kau anggap mata-mata Lumajang itu?"
Tanya Sang Prabu.
"Namanya Sarjitowarman, Kanjeng Rama."
"Sarjitowarman adalah keponakan luar dari Ki Patih Nambi, dan Dyah Wulandari masih keponakannya sendiri. Mereka bukan mata-mata Lumajang, dan pula, tidak ada permusuhan, tidak ada persoalan antara Mojopahit dan Lumajang, maka bagaimana kau mengatakan ada mata-mata dari sana? Ki Patih Nambi telah menanggung bahwa dua orang keponakannya itu sama sekali bukan mata-mata, oleh karena itu kuperintahkan kepadamu agar kau suka membebaskan mereka berdua sekarang juga. Mengerti?"
Pangeran Kolo Gemet terkejut. Tak di sangkanya ayahnya akan marah dan tahulah dia bahwa ayahnya mempunyai kepercayaan besar sekali terhadap Ki Patih Nambi. Maka dia tidak berani membantah. Betapapun juga, dia telah dapat mencapai maksud hati dan keinginannya, dia telah berhasil menguasai diri Dyah Wulandari selama sehari semalam. Dia telah merasa puas!
"Baiklah, Kanjeng Rama. Hamba akan menjalankan perintah Paduka sebaiknya."
Pangeran itu menyembah, bangkit dan hendak pergi, akan tetapi Sang Prabu berkata lagi kepadanya dengan suara lantang.
"Pangeran, hayo kau minta maaf kepada Ki Patih atas perlakuanmu terhadap para keponakannya!"
Pangeran Kolo Gemet mengerutkan alisnya, akan tetapi dia lalu tersenyum dan membungkuk kepada Ki Patih Nambi sambil berkata.
"Paman Patih Nambi, saya harap Paman suka memaafkan saya atas apa yang saya lakukan terhadap Sarjitowarman dan Dyah Wulandari, Paman Patih!"
Ki Patih Nambi cepat memberi hormat dan berkata.
"Tidak apa, Gusti Pangeran. Semua kejadian itu terjadi karena kesalahpahaman, tentu saja hamba sudah melupakan semua itu dan sudah merasa girang dan berterima kasih kalau Paduka sudi membebaskan mereka berdua."
"Benarkah Paman Patih tidak akan menaruh hati dendam kepada saya karena urusan itu?"
"Ah, mana berani hamba menaruh dendam. Pula, perbuatan Paduka itu hanya terdorong oleh keinginan menyelamatkan kerajaan. Hamba tidak akan menaruh hati dendam, Gusti Pangeran."
"Paduka baik sekali, Paman Patih, dan saya amat berterima kasih atas kebijaksanaan Paduka itu."
Sang Prabu girang sekali mendengar percakapan antara patihnya dan puteranya itu, dia mengangguk-angguk dan memberi ijin dengan isyarat tangan ketika puteranya berpamit mengundurkan diri. Sang Prabu lalu membubarkan persidangan dan yang pulang dengan hati penasaran dan kecewa adalah Resi Mahapati. Semua jerih payahnya ternyata telah gagal! Dia tidak membakar api permusuhan dan dendam di antara patih dan pengeran. Mereka telah maaf-maafkan dan menyatakan tidak menaruh dendam di depan Sang Prabu sendiri!
Betapa pun juga hati Resi Mahapati masih penasaran dan dia cepat menghubungi Ki Durgakelana untuk selalu memberi kabar kepadanya mengenai perkembangan urusan itu lebih jauh. Dengan wajah murung dia lalu pulang ke rumah, menanti berita dari Durgakelana. Dan pada sore hari itu dia mendengar berita yang mengejutkan dari Ki Durgakelana tentang dua orang keponakan Ki Patih Nambi itu. Apakah yang telah terjadi?
Ternyata bahwa setelah menerima perintah dari ayahnya, Sang Pangeran tidak berani membangkang, apalagi dia telah mendapatkan maaf dari Ki Patih di depan ayahnya, di depan Sang Prabu bahwa Ki Patih tidak akan menaruh dendam dan telah memaafkannya. Betapapun juga, biar dia tidak dapat menahan Dyah Wulandari, namun dia telah menikmati gadis itu selama sehari semalam sepuasnya!
"Bebaskan mereka dan antarkan mereka pulang dengan kereta ke kepatihan, serahkan kepada Paman Patih,"
Demikian perintahnya kepada Warak Jinggo ketika pangeran itu kembali ke istananya. Ketika dibebaskan dari belenggu, Sarjitowarman yang lemas lahir batinnya itu terguling roboh. Dyah Wulandari menjerit dan lari menubruk kekasihnya itu, menangis tersedu-sedan. Sarjitowarman hanya menghela napas perlahan-lahan,menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya, kemudian dia merangkul tunangannya dan memapahnya keluar dari istana itu memasuki kereta yang sudah dipersiapkan.
"Tenanglah, Diajeng....betapapun juga kita telah bebas...."
"Aduh, kakangmas... akan tetapi aku..... aku.....ah, lebih baik aku mati saja..."
"Bukan salahmu, Diajeng. Mari kita hadapi semua ini bersama..."
Pemuda itu pun tidak dapat bicara banyak karena dia maklum betapa hebat penderitaan lahir batin dari kekasihnya itu.
"Kakangmas....!"
Dyah Wulandari menangis tersedu-sedu dalam pelukan tunangannya.
Makin hancur rasa hatinya melihat tunangannya itu bahkan menghiburnya, padahal dia tahu betapa tunangannya itu terhina secara hebat sekali, dipaksa menyaksikan ketika dia diperkosa dan dipermainkan oleh pangeran jahanam itu. Setibanya kereta itu di gedung kepatihan, Dyah Wulandari turun dan sambil terisak-isak dia lari terhuyung-huyung ke dalam gedung, langsung memasuki kamarnya. Ki Patih Nambi beserta isterinya dan keluarganya merasa terkejut sekali, dan Ki Patih segera bertanya kepada Sarjitowarman yang masih berlepotan darah bajunya.
"Apakah yang terjadi, Sarjitowarman?"
Pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, mukanya pucat dan terengah-engah menahan tangisnya, kemudian dengan suara tersendat-sendat dia berkata.
"Saya.... saya..... tidak dapat bercerita di sini... Kanjeng Paman...."
Ki Patih Nambi maklum bahwa tentu telah terjadi sesuati yang amat hebat. Dia cepat maju dan membuka baju pemuda itu. Para wanita itu menjerit ketika melihat dada yang penuh luka gurat-guratan itu dan Ki Patih Nambi lalu menarik tangan Sarjitowarman, diajaknya pemuda itu memasuki kamarnya karena keponakannya itu tidak dapat bercerita di depan banyak anggota keluarganya.
Setelah mereka tiba di dalam kamar dan Ki Patih menutupkan daun pintu, patih itu berkata.
"Nah, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi."
Dengan suara terputus-putus dan diseling tangisnya, Sarjitowarman lalu menceritakan kepada pamannya itu betapa dia ditawan oleh pangeran, kemudian betapa dia dibawa ke sebuah kamar di mana dia diikat pada tiang, ditutup mulutnya dan disiksa oleh pangeran untuk memaksa Dyah Wulandari, kemudian betapa tunangannya itu diperkosa, dihina dan dipermainkan selama sehari semalam oleh pangeran itu di depan matanya! Sarjitowarman mengakhiri ceritanya itu sambil menangis dan berkata.
"Kanjeng paman.... harap Kanjeng Paman jangan menyalahkan Diajeng Wulan.... dia sudah menderita hebat sekali, Kanjeng Paman... dan jangan sampai berita ini terdengar oleh siapa pun, biarlah saya yang akan mencuci aib yang menimpanya, saya akan segera mengawininya...."
"Bedebah....!"
Ki Patih Nambi mengepal tinju dan mengatupkan giginya kuat-kuat sampai terdengar bunyi giginya berkerotan. Matanya terbelalak merah penuh kemarahan terhadap Pangeran Kolo Gemet, akan tetapi alisnya segera berkerut ketika dia teringat akan janjinya memaafkan pangeran itu. Janjinya memaafkan dan tidak mendendam yang telah diucapkan di depan Sang Prabu sendiri! Dia tidak berdaya lagi!
Tiba-tiba terdengar jerit melengking dari kamar sebelah dalam. Ki Patih Nambi terkejut bukan main dan dia segera meloncat dan lari ke dalam, diikuti oleh Sarjitowarman. Terdengar tangis riuh-rendah di kamar Dyah Wulandari. Ketika Ki Patih meloncat masuk, dia berdiri terpaku dengan mata terbelalak, memandang isteri-isterinya dan para keluarga merubuh tubuh yang menggeletak di atas pembaringan itu, tubuh yang sudah tidak bergerak lagi, tubuh Dyah Wulandari yng terlentang dengan sebatang cundrik menancap di ulu hatinya. Dara itu telah tewas dengan jalan membunuh diri, suduk selira {menusuk diri sendiri}. Darah masih mengalir dari dadanya, darah yang dimaksudkan untuk mencuci darah kehormatannya yang menodainya akibat perkosaan yang dilakukan oleh Sang Pangeran!
"Diajeng Wulan.....!!"
Sarjitowarman menubruk mayat itu, meratap tangis dan dengan beringas tangannya menyambar keris di dada kekasihnya, mencabutnya dan hendak ditusukannya di dadanya sendiri. Akan tetapi dengan sigapnya, Ki Patih Nambi sudah menangkap lengannya, merampas keris dan berkata dengan suara berwibawa,
"Sarjitowarman! Seorang ksatria pantang membunuh diri! Apakah engkau bukan ksatria? Bukan laki-laki?"
Sarjitowarman yang masih dipegang lengannya itu hendak meronta, lalu menoleh dan melihat wajah pamannya, mendengar ucapan itu, dia menjadi lemas.
"Paman....!"
Dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis, merangkul kedua kaki pamannya.
Ki Patih Nambi memejamkan matanya, menahan napas memulihkan kembali ketenangannya, lalu dia meraba kepala pemuda itu dan berkata.
"Sarjitowarman,kurasa Wulandari telah melakukan hal yang benar dan patut dihormati. Dia tidak ingin menyiksamu dengan kenangan buruk itu maka dia melakukan suduk salira agar kau terlepas dari ikatanmu bersama dia. Kalau dipikirkan dengan masak-masak,memang sebaiknya begitu, karena sebagai seorang puteri, tentu saja peristiwa itu akan menghantui kehidupannya selanjutnya. Sekarang, sebaiknya engkau pulang ke Lumajang agar tidak terjadi sesuatu atas dirimu."
"Tidak, Kanjeng Paman, saya ingin menunggui jenazah Diajeng Wulandari sampai selesai pemakamannya."
"Jangan, Warman. Aku merasa tidak enak, dan tentu ada ekornya semua peristiwa ini. Sebaiknya
(Lanjut ke Jilid 30)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
kalau engkau malam ini juga pulang ke Lumajang."
Dengan suara sayau karena bercampur tangis, isteri Sang Patih, yaitu bibi dari Sarjitowarman berkata.
"Betapa kejamnya kalau memaksa dia pulang sekarang Kakangmas. Biarlah dia menunggu jenazah Wulan semalam ini dan besok pagi-pagi dia berangkat ke Lumajang. Saya kira kalau hanya semalam ini tidak akan terjadi sesuatu."
Akhirnya Ki Patih yang merasa kasihan sekali kepada pemuda itu, menyetujui dan pemuda itu diperkenankan menjaga jenazah kekasihnya itu di dalam kamar, membakar dupa dan duduk bersamadhi.
Demikianlah berita yang didengar oleh Resi Mahapati. Tentu saja pembawa berita itu hanya memberitakan bahwa Dyah Wulandari telah mati membunuh diri dan bahwa Sarjitowarman besok pagi-pagi akan kembali ke Lumajang. Juga bahwa di kepatihan tidak terjadi hal-hal lain, tidak nampak sikap marah atau sakit hati berhubung dengan peristiwa itu. Di samping terkejut mendengar berita itu, perasaan girang yang mula-mula terasa di dalam hatinya berubah menjadi kekecewaan ketika mendengar bahwa Ki Patih agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh peristiwa kematian keponakannya itu.
Celaka, dia telah gagal menanam bibit permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran. Bahkan kini Sang Pangeran tentu merasa menyesal sekali atas perbuatannya itu dan merasa amat berterima kasih bahwa Ki Patih tidak memperpanjang urusan itu. Juga Sang Prabu sendiri tentu makin memuji kesetiaan dan kebijaksanaan KI Patih Nambi. Gagallah usahanya memburukkan nama Ki Patih. Kemurungannya karena kegagalan itu dibawanya ke dalam kamarnya malam itu. Lestari, seperti biasa menyambut suaminya dengan ramah dan sikap yang menarik.
Ketika dia melepaskan jubah luar suaminya yang duduk di kursi, mencuci kakinya yang berdebu, dia melihat sikap suaminya yang murung. Lestari tersenyum. Mudah saja baginya untuk melenyapkan kemurungan suaminya yang tua ini. Dia lalu memperlihatkan sikap manja, lalu duduk di atas pangkuan Resi Mahapati dan merangkul lehernya. Kehangatan tubuhnya merayap keluar dan mempengaruhi Resi Mahapati yang segera memeluk selirnya terkasih yang amat pandai merayu dan menyenangkan hatinya itu, mengambung pipi halus itu dengan penuh kasih sayang.
Melihat gairah sudah timbul di dalam hati Sang Resi, Lestari lalu bartanya manja.
"Kakangmas Resi, awan mendung apakah gerangan yang menggelapkan matahari kegembiraan Paduka? Wajah Paduka muram, pandang mata Paduka penuh geram, urusan apakah gerangan yang menyusahkan hati dan memusingkan pikiran Paduka?"
Sang Resi menarik napas panjang dan jari-jari tangan yang tadi menelusuri leher wanita muda cantik itu berhenti karena gairahnya lenyap lagi ketika dia teringat akan kegagalannya.
"Aahhh....., hasil baik dan memuaskan yang hampir tercapai tangan telah gagal hanya karena sikap pengecut KI Patih Nambi."
Mendengar ini, Lestari menjadi tertarik sekali.
"Patih Nambi? Ada apakah, Kakangmas?"
Resi Mahapati lalu menceritakan tentang siasat yang telah diaturnya bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono untuk memancing permusSang Resi menarik napas panjang dan jari-jari tangan yang tadi menelusuri leher wanita muda cantik itu berhenti karena gairahnya lenyap lagi ketika dia teringat akan kegagalannya.
"Aahhh....., hasil baik dan memuaskan yang hampir tercapai tangan telah gagal hanya karena sikap pengecut KI Patih Nambi."
Mendengar ini, Lestari menjadi tertarik sekali.
"Patih Nambi? Ada apakah, Kakangmas?"
Resi Mahapati lalu menceritakan tentang siasat yang telah diaturnya bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono untuk memancing permusuhan antara Sang Pangeran dan Ki Patih Nambi, melalui diri Dyah Wulandari yang dikorbankan kepada Sang Pangeran. Dia menceritakan semua hasil siasatnya yang sudah hempir berhasil, betapa Dyah Wulandari telah menjadi korban nafsu pangeran dan diperkosa oleh pangeran di depan mata tunangannya, keponakan dari isteri Ki Patih. Pendeknya, telah terjadi hal-hal yang pasti akan membangkitkan kemarahan dan dendam di hati Ki Patih sehingga dapat diharapkan akan timbul peristiwa hebat antara Ki Patih dan pangeran yang akan menjatuhkan kedudukan Ki Patih sehingga dia memperoleh lowongan dan kesempatan baik sekali.
"Akan tetapi, Patih Nambi ternyata penakut dan pengecut. Keponakannya telah dipermainkan orang, diperkosa kehormatannya sampai sehari semalam, bahkan lalu membunuh diri. Akan tetapi dia tidak mau melakukan apa-apa, bahkan di depan Sang Prabu dia telah memaafkan Sang Pangeran. Dengan begini, derajat Ki Patih akan meningkat di mata pangeran dan Sang Prabu! Siasatku tidak menjatuhkannya, bahkan mengangkatnya! Celaka!"
Lestari turun dari atas pangkuan resi itu, lalu mengambilkan minuman untuk Sang Resi. Setelah menaruh minuman di atas meja, dia lalu duduk di tepi pembaringannya yang selalu dijaga dan dirawat sehingga nampak bersih selalu, bersih dan menyenangkan, berbau harum. Memang pembaringan inilah merupakan modal utama dari Lestari dalam menjatuhkan hati resi tua itu!
"Kakangmas Resi, mengapa Kakangmas menjadi murung? Kegagalan itu terjadi akibat kesalahan dan kelengahan Paduka sendiri!"
Resi Mahapati memandang wajah selirnya itu dengan alis terngkat, lalu alisnya dikerutkan dan matanya memancarkan kemarahan.
"Tari, apa yang kaukatakan itu? Engkau tidak menghibur hatiku yang sedang kecewa dan susah, malah engkau mengejekku?"
"Maaf, Kakangmas. Mana berani Lestari yang mencintai Kakangmas dengan sepenuh jiwa raga ini mengejek Paduka? Sama sekali saya tidak mengejek, hanya memperingatkan Kakangmas yang sekali ini memang salah dan lengah."
"Hemm, coba jelaskan di mana letak kesalahan dan kelengahanku?"
"Kakangmas lengah karena Kakangmas telah melupakan saya. Kakangmas mengatur rencana dan menjalankan siasat sendiri tanpa saya. Itulah letak kesalahan Kakangmas sehingga mengalami kegagalan!"
"Ahh.....! Akan tetapi bukan maksudku untuk melupakanmu, sayang. Aku tahu akan kecerdikanmu dan betapa sudah banyak engkau berjasa dengan siasat-siasatmu yang berhasil dan amat hebat. Akan tetapi, urusan dengan Ki Patih Nambi adalah urusan kami kaum pria dan aku sudah mengatur siasat bersama siasat bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono."
"Yang ternyata gagal, bukan? Hemm, orang-orang seperti Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono itu hanyalah orang-orang kasar yang hanya pandai menggunakan otot dan kaki tangan untuk membunuh orang, mana bisa mempergunakan otak? Sekarang setelah Paduka gagal, apa yang dapat mereka lakukan dan bagaimana pula siasat mereka?"
Resi Mahapati menghampiri selirnya, duduk di samping selirnya dan merangkulkan lengannya ke pundak selirnya itu.
"Manisku, apakah engkau mempunyai siasat baru? Apakah engkau mempunyai akal untuk menebus kegagalanku ini?"
Dengan sikap manja dan "jual mahal"
Lestari melepaskan dirinya, bangkit dan melangkah menjauhi Sang Resi dengan langkah lemah gemulai sehingga nampak buah pinggulnya yang manari-nari ketika dia melangkah meninggalkan resi itu, membuat Sang Resi yang tak pernah merasa bosan terhadap Lestari itu menelan ludahnya.
Lalu Lestari membalikkan tubuh, berpegang kepada sandaran kursi dan memandang suaminya itu.
"Apakah Paduka mau berjanji bahwa semenjak saat ini, Paduka tidak akan pernah meninggalkan saya dalam mengatur siasat Paduka menghadapi musuh-musuh Paduka? Ingatlah, hanya Lestari yang setia dan yang dapat membantu Paduka dan hendaknya Paduka tidak lupa bahwa semenjak semula kita berdua telah bekerja sama demi tercapainya cita-cita Paduka."
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik-baik, sayang.... maafkan aku bahwa aku telah meninggalkanmu dalam siasat memancing permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran yang ternyata gagal total itu! Sekarang, aku berjanji akan selalu mengajakmu serta, Lestari. Maaf, aku telah lupa dan selalu memandang rendah kepadamu."
Lestari menghampiri suaminya, lalu merangkul leher suaminya itu dan mencium mulut yang sebagian tertutup kumis tebal itu.
"Ah, Kakangmas, saya hanyalah isterimu yang setia, yang selalu akan berusaha demi untuk tercapainya cita-cita Paduka..."
"Cita-cita kita berdua, sayang. Sekarang ceritakan, apakah siasatmu itu untuk menembus kegagalanku?"
"Kakangmas, karena tadinya Paduka hanya mengatur siasat bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono saja, maka sekarang saya minta agar meraka bertiga Paduka panggil ke sini agar mereka mendengarkan siasat saya dan selanjutnya agar mereka itu tunduk kepada perintah saya seperti juga kepada perintah Paduka."
Resi Mahapati mengerti akan maksud permintaan selirnya ini. Tentu karena tadinya ditinggalkan, kini Lestari ingin agar terpandang dan dihormati oleh tiga orang pembantunya itu.
"Adinda Tari, permintaanmu tidak mungkin dapat dilaksanakan semua. Ki Durgakelana dapat kupanggil, akan tetapi Warak Jinggo dan Sarpo Kencono kini menjadi pengawal-pengawal pribadi Sang Pangeran, tidak mungkin meninggalkan pangeran. Akan tetapi mereka adalah anak buah Ki Durakelana, sehingga kehadiran KI Durgakelana sudah cukup mewakili meraka."
"Kalau begitu, biarlah dia saja yang dipanggil bersama Resi Harimurti yang menjadi pembantu utama Paduka, Kakangmas Resi."
"Baiklah, memang semestinya demikian sehingga kita dapat berkumpul dan saling bertukar pikiran sehingga rencana kita menjadi lebih masak. Besok akan kupanggil mereka berdua."
"Bukan Besok, Kakangmas, melainkan sekarang juga! Siasat saya harus dijalankan sekarang dan besok tentu sudah akan terlambat."
"Ah, begitukah?"
Resi Mahapati segera memanggil dua orang pembantunya yang setia, yaitu Reksosuro si jangkung bermata juling dan Darumuko. Si Bibir Tebal. Mereka ini lalu diperintahkan untuk mengundang Resi Harimurti dan Ki Durgakelana agar mereka datang malam ini juga.
Tak lama kemudian, muncullah dua orang tokoh yang diundang itu dan mereka diterima oleh Resi Mahapati dan Lestari di ruangan tamu di mana telah disediakan minuman dan makanan untuk mereka. Melihat bahwa yang menyambut kedatangannya adalah Resi Mahapati yang ditemani oleh selir muda yang cantik menggiurkan itu, Resi Harimurti dan juga Ki Durgakelana memandang dengan wajah berseri. Dua orang kakek ini memang selalu merasa gembira kalau berhadapan dengan seorang wanita muda yang cantik, apalagi berhadapan dengan Lestari yang denok ayu itu.
Setelah saling memberi hormat, Resi Harimurti berkata sambil tersenyum lebar.
"Ah, tumben sekali Adi Resi Mahapati mengundang saya datang melam-malam begini."
"Benar, saya pun terkejut ketika Darumuko datang menyampaikan undangan Adimas Resi yang tiba-tiba, tentu ada urusan yang amat penting untuk dibicarakan,"
Sambung Ki Gurdakelana sambil menyandarkan tongkatnya yang hitam panjang bengkok-bengkok seperti ular itu di dinding belakang tempat dia duduk.
"Memang saya memanggil Kakang berdua untuk berunding setelah kita mengalami kegagalan dalam urusan Ki Patih,"
Kata Resi Mahapati.
"Ki Patih Nambi memang pengecut sehingga dihina seperti itu dia diam dan enak saja,"
Kata Ki Durgakelana yang ikut menyesal behwa semua kesukaran yang mereka lakukan itu tidak behasil menyalakan api permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran.
"Ah, setidaknya peristiwa itu telah merupakan pukulan hebat kepada Ki Patih yang begitu menjila-jilat terhadap Sang Prabu,"
Kata Resi Harimurti.
"Kakang Resi, pukulan itu tidakah penting karena yang kita kehendaki adalah permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran agar mempengaruhi kedudukan Ki Patih. Sekarang, setelah kita sama sekali gagal, bahkan peristiwa itu telah mengangkat derajat Ki Patih dalam mata Sang Pangeran dan Sang Prabu, apakah Andika berdua mempunyai siasat lagi untuk dapat dipergunakan menebus kegagalan kita itu?"
Resi Harimurti mengertkan alisnya dan menundukkan muka. Ki Durgakelana menggosok-gosok kedua tangan. Mereka merasa tidak enak dan akhirnya mereka berdua saling pandang lalu menggeleng kepala.
"Saya tidak mempunyai siasat lain, Adimas Resi,"
Kata Ki Durgakelana.
"Saya pun belum menemukan jalan yang baik, Adi resi,"
Kata Resi Harimurti.
"Nah, kalau begitu, hendaknya Andika berdua suka mendengarkan siasat yang akan diatur oleh selirku ini, isteriku yang tersayang ini!"
"Ahhh....., begitukah?"
Harimurti dan Durgakelana berseru hampir berbareng dan mereka kini memandang wajah yang manis itu penuh perhatian dan kekaguman.
"Paman Resi Harimurti dan Paman Durgakelana, saya telah mendengar akan semua kegagalan dari suami saya, Kakangmas Resi Mahapati. Kegagalan itu terjadi karena rencana yang mentah, dan juga karena Kakangmas Resi telah lupa untuk mengajak saya dalam perundingan itu. Setelah mendengar akan semua peristiwa itu, saya hanya melihat suatu jalan untuk menebus kegagalan itu sehingga apa yang tadinya gagal menjadi berhasil baik sekali. Kalau siasat saya ini dijalankan dengan baik, maka saya kira Ki Patih tidak akan dapat menahan kemarahannya lagi dan pasti terjadi pertikaian dan permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran."
"Hebat! Siasat bagaimanakah itu?"
Resi Harimurti tertarik sekali dan diam-diam dia merasa betapa untungnya Resi Mahapati memilikiselir yang begini denok montok,ayu dan cerdik, sedangkan Ki Durgakelana juga memandang bengong.
"Diajeng Tari, kekasih hatiku, lekas ceritakan apa siasat itu, sudah berdebar jantungku ingin mendengarnya."
"Menurut penuturan Paduka tadi, keponakan Ki Patih itu telah suduk selira membunuh diri, bukan?"
"Benar demikian, sayang."
"Dan pemuda yang bernama Sarjitowarman itu besok pagi akan kembali ke Lumajang, dengan demikian Ki Patih menghabiskan perkara itu dan tidak akan menuntut sesuatu?"
"Benar, dan itulah yang mengesalkan hatiku."
"Kalau begitu, mengapa tidak kita atur agar hatinya menjadi semakin sakit dan memaksanya untuk melakukan tindakan terhadap Sang Pangeran sehingga permusuhan di antara mereka terjadi juga?"
Resi Mahapati saling pandang dengan Resi Harimurti dan Ki Durgakelana. Kemudian Resi Mahapati berkata.
"Kalau bisa begitu, alangkah baiknya. Akan tetapi apalagi yang dapat kita lakukan?"
Lestari tersenyum.
"Hal itu mudah saja dilakukan. Menurut pendapat saya, sudah pasti sekali pemuda itu menaruh hati dendam yang amat hebat kepada Sang Pangeran, hanya dia tidak dapat berbuat sesuatu karena tidak terdapat kesempatan, maka dia mengalah dan menurut nasihat pamannya, yaitu Ki Patih, untuk kembali ke Lumajang tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi, kalau besok pagi-pagi dia pergi ke Lumajang, lalu seorang di antara Paduka dapat menemuinya, menghasut dan memanaskan hatinya, mengatakan bahwa Paduka ikut merasa sakit hati dan penasaran,dan menunjukkan bahwa terbuka kesempatan baik bagi pemuda itu untuk melampiaskan dendam dan sakit hatinya untuk membunuh Sang Pangeran, untuk membalas kematian tunangannya, saya rasa pemuda itu tidak akan menolak kesempatan yang amat baik itu."
Resi Mahapati dan dua orang pembantunya masih tidak mengerti dan mereka memandang dengan heran.
"Mana mungkin hal itu dilaksanakan?"
Resi Mahapati berkata penuh keraguan.
"Untuk menghasut pemuda itu, tentu saja amat mudah dan memang sudah pasti bahwa dia menaruh dendam sakit hati yang amat hebat terhadap Sang Pangeran. Akan tetapi tentu dia segera akan melihat bahwa hal itu tidak mungkin."
"Mengapa tidak mungkin?"
Lestari mempermainkan anak rambutnya yang berjuntai ke bawah, di atas dahinya yang berkulit halus dan berbentuk indah.
"Kalau diusahan dengan cerdik, tentu mungkin saja memberi kesempatan agar pemuda itu dapat bertemu dengan Sang Pangeran berdua saja dan memberi kesempatan kepadanya untuk menyerang Sang Pangeran."
"Eh, apa maksudmu?"
Resi Mahapati terbelalak memandang selirnya dengan kaget.
"Kau..... kau... mengusulkan agar pemuda itu membunuh Sang Pangeran?"
Lestari tersenyum, seperti seorang dewasa tersenyum menghadapi kebodohan seorang anak kecil.
"Kakangmas Resi, saya belum gila dan tak begitu bodoh untuk mengusulkan hal seperti itu."
"Akan tetapi kau tadi.... sudahlah, Nimas, coba kaubeberkan sejelasnya siasatmu itu dan jangan membuat kami menjadi bingung,"
Kata Resi Mahapati.
"Begini, Kakangmas. Kita hasut pemuda itu sehingga dia mau melakukan percobaan untuk menyerang dan membunuh Sang Pangeran, besok pagi-pagi kalau dia hendak pergi meninggalkan Mojopahit. Dan di samping itu, kita harus dapat membujuk Sang Pangeran, tentu saja melalui Paman Warak Jinggo dan Paman Sarpo Kencono, agar Sang Pangeran suka keluar dari istana pagi hari besok dan berada di dalam tamansari seorang diri saja. Dengan demikian, tentu Sarjitowarman itu akan mencoba untuk menyerang dan membunuh Sang Pangeran. Nah, pada saat itu, Sarjitowarman ditangkap dengan tuduhan menyerang dan hendak membunuh Sang Pangeran. Kalau Sang Prabu mendengar ini, tentu Beliau tidak akan sangsi lagi bahwa Sarjitowarman memang mata-mata Lumajang dan kalau keponakannya melakukan dosa seperti itu, bukankah pamannya, Ki Patih, juga akan terbawa-bawa? Dengan berhasilnya siasat itu, bukankah kegagalan Kakangmas dapat tertebus dan berbalik menjadi suatu hasil yang amat gemilang di mana Ki Patih menjadi rusak namanya oleh perbuatan keponakan isterinya itu dan Kakangmas sekalian berjasa karena mencegah Sang Pangeran terbunuh dan berhasil menagkap mata-mata yang hendak membunuh Sang Pangeran?"
Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo