Kemelut Di Majapahit 30
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
"Ahhh.......!"
Ki Durgakelana berseru kagum.
"Akal yang hebat....!"
Seru Resi Harimurti.
Resi Mahapati meloncat dari kursinya, langsung merangkul leher kekasihnya dan hendak menciumnya tanpa memperdulikan dua orang pembantunya itu, akan tetapi Lestari menolak dengan dorongan tangannya. Melihat wajah isterinya cemberut, Resi Mahapati membatalkan niatnya lalu duduk kembali sambil berkata.
"Hebat! Engkau memang hebat, Diajeng hebat sekali! Takkan pernah terpikirkan olehku siasat sehebat itu. Benar-benar luar biasa!"
Resi Mahapati mengepal tinjunya.
"Dan sekali ini pasti akan berhasil!"
"Nanti dulu, Adi Resi,"
Kata Resi Harimurti kepada Resi Mahapati.
"Memang harus saya akui bahwa siasat itu amat halus dan hebat, dan tentu akan berhasil baik. Akan tetapi ada suatu hal yang membuat saya bersangsi, yaitu bagaimana caranya membuat Sang Pangeran dapat berada seorang diri di dalam taman besok pada hari,pagi-pagi itu?"
"Benar, hal itu sukar juga,"
Kata Ki Durgakelana sambil menggosok-gosok dahinya.
"Kanjeng Pangeran biasanya bangun dari tidur setelah matahari naik tinggi, dan tentu saja beliau tidak pernah pergi ke taman sendirian saja."
Mendengar ucapan dua orang pembantunya itu, Resi Mahapati mengerutkan alisnya dan menoleh kepada selirnya yang terkasih, bertanya.
"Nah, kalau sudah begini, bagaimana, Lestari?"
"Ah, hal itu mudah saja, Kakangmas Resi. Gusti Pangeran harus dapat dibuat agar besok di taman, dan saya kira untuk tugas ini, Paduka sendirilah yang paling tepat untuk melaksanakannya. Kalau Paduka malam ini menghadap Sang Pangeran, mengatakan bahwa Paduka melihat adanya perasaan dendam di hati Sarjitowarman, betapa pemuda itu mengeluarkan ancaman untuk membunuh beliau, dan Paduka nasihati beliau untuk bertindak sebagai umpan agar pemuda itu berani mencoba untuk menyerang beliau kemudian dia ditangkap basah."
Sang Resi mengangguk-angguk dan berkata perlahan,
"Hemm, hal itu memang dapat dilaksanakan....., tentu dapat...."
"Bagus kalau begitu, Kakangmas. Nah, sekarang tinggal membagi-bagi tugas saja. Seorang bertugas menghadang Sarjitowarman besok pagi-pagi untuk menghasut pemuda itu. Siapakah yang ditugaskan untuk ini?"
Tanya Lestari.
"Saya dapat melakukannya,"
Kata Ki Durgakelana.
Lestari menggeleng kepalanya.
"Kalau Paman Durgakelana yang melakukannya, mungkin tidak akan berhasil baik. Paman telah dikenal sebagai pengawal Gusti Pangeran, maka kalau Paman yang menghasut, tentu pemuda itu menjadi curiga dan menduga akan perangkap yang sengaja diatur. Tidak, sebaiknya bukan Paman melainkan seorang yang tidak dikenal oleh pemuda itu, seorang yang dapat diterima kalau menyatakan bahwa dia juga merasa penasaran dan marah terhadap Sang Pangeran."
"Kalau begitu biarlah saya yang melakukan tugas itu,"
Kata Resi Harimurti.
"Pemuda itu tidak mengenal saya."
"Saya kira itulah yang terbaik,"
Kata Lestari menganggu-angguk.
"Akan tetapi, sebaiknya kalau Kakang Resi Harimurti menyamar. Kalau kelak pemuda itu setelah tertangkap lalu mengaku dan menyeret Kakang Resi sebagai penghasutnya, maka Sang Prabu akan menaruh curiga dan dapat menduga adanya siasat yang diatur ini,"
Kata Resi Mahapati.
"Hal itu memang benar sekali dan membuktikan bahwa Kakangmas Resi memang cerdik bukan main,"
Lestari memuji.
"Kemudian setelah tugas menghasut pemuda itu akan dilakukan oleh Paman Resi Harimurti dan tugas membujuk Sang Pangeran dilakukan oleh Kakangmas Resi Mahapati sendiri, maka tugas untuk menangkap pemuda itu di waktu dia menyerang Sang Pangeran sebaiknya dilakukan oleh Paman Durgakelana, Paman Warak Jinggo, dan Paman Sarpo kencono."
"Ha-ha-ha, untuk menghadapi seorang pemuda seperti dia itu, seorang di antara kami bertiga saja sudah cukup,"
Kata Ki Durgakelana sambil tertawa.
"Akan tetapi dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati, Paman. Sebaiknya kita dapat yakin bahwa pemuda itu harus dapat ditangkap hidup-hidup agar dia dapat mengaku bahwa memang dia bermaksud membunuh pangeran. Itulah pokok persoalan yang kita hendak pergunakan untuk memukul Ki Patih,"
Kata Lestari dan kembali tiga orang kakek itu merasa kagum bukan main.
Setelah berunding masak-masak, maka pada malam itu juga Resi Mahapati pergi mengunjungi Sang Pangeran dan mohon untuk menghadap. Resi Mahapati adalah tangan kanan Pangeran Kolo Gemet, maka tentu saja sewaktu-waktu dia boleh saja datang menghadap, apalagi untuk menyampaikan hal yang amat penting lebih mudah lagi baginya karena pengawal-pengawal pangeran itu adalah anak buahnya sendiri, yaitu Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Sebelum menjumpai pangeran itu Resi Mahapati lebih dulu menemui dua orang kakek pengawal ini dan secara singkat menceritakan tentang siasat yang akan dilaksanakan besok pagi dan minta agar dua orang itu suka berunding dengan Ki Durgakelana.
Memang perhitungan Lestari tepat sekali. Karena mendengar pelaporan dari mulut Resi Mahapati sendiri bahwa Sarjitowarman menaruh dendam sakit hati dan bermaksud membunuhnya jika ada kesempatan, Sang Pangeran percaya dan menjadi marah sekali.
"Si keparat itu! Biar kusuruh pasukan menangkapnya sekarang juga!"
Bentak Pangeran Kolo Gemet sambil bangkit dari tempat duduknya dan mengepal tinju.
Akan tetapi Resi Mahapati cepat mengakat kedua tangan ke atas.
"Harap Paduka suka bersabar, Gusti Pangeran. Menangkapnya adalah mudah, akan tetapi mana buktinya bahwa dia hendak membunuh Paduka? Dia harus diberi kesempatan dulu, dan kita harus dapat menangkap basah pemuda pemberontak itu."
"Hemm, apa maksudmu, Paman Resi?"
"Sarjitowarman hanya menyebar desas-desus untuk menyatakan sakit hatinya terhadap Paduka, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat melaksanakan ancamannya itu karena tidak mungkin ada kesempatan baginya untuk menyerang Paduka. Oleh karena itu, sebaiknya Paduka membuka kesempatan itu agar dia berani turun tangan menyerang Paduka......"
"Resi Mahapati apa maksudmu?"
Pangeran itu bertanya dengan terkejut sehingga suaranya membentak-bentak.
"Ampunkan hamba, Gusti Pangeran. Itulah satu-satunya jalan untuk menangkap orang yang membenci Paduka. Paduka bertindak sebagai umpan agar dia berani melakukan perbuatan terkutuk itu, dan tentu saja pengawal-pengawal Paduka yang sakti telah siap untuk menangkapnya apabila dia berani melakukan penyerangan. Dengan demikian, dia akan tertangkap basah dan untuk menghukumnya tentu tidak akan ada larangan dari Kanjeng Gusti Sinuhun."
Sang Pangeran mengangguk-angguk dengan alis berkerut.
"Akan tetapi.... apakah tidak berbahaya itu, Paman?"
"Ah, tidak, Gusti Pangeran. Sebelumnya, kita memberi tahu kepada Ki Durgakelana,Warak Jinggo dan Sarpo Kencono agar mereka bersembunyi dan bersiap melindungi Paduka dan menangkap pemuda itu. Selain itu tentu hamba sendiri juga selalu menjaga agar jangan sampai Paduka terancam bahaya.
Kalau pemuda itu didiamkan saja, berarti Paduka selalu terancam bahaya, sebaliknya kalau dia diberi kesempatan sehingga berani turun tangan, hamba dan teman-teman akan menangkapnya dan kalau dia sudah dihukum mati, berarti Paduka terbebas daripada ancaman bahaya maut."
Kembali Sang Pangeran mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana caranya untuk membuka kesempatan agar dia mau turun tangan itu, Paman Resi?"
Sang Resi menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik.
"Besok pagi-pagi sekali sebaiknya Paduka berada di tamansari seorang diri dan...."
Resi itu berbisik-bisik mengatur siasat yang didengarkan oleh pangeran itu dengan penuh perhatian sambil mengangguk-angguk.
Pagi itu sunyi sekali. Cuaca masih gelap karena sang surya belum nampak,sungguhpun langit di timur mulai terang dan kokok ayam jantan saling bersautan menggugah semua mahluk yang telah beristirahat dan tidur semalam. Jalan-jalan masih sunyi karena mereka yang baru saja terbangun masih segan meninggalkan rumah. Di jalan yang sunyi itu, di luar pintu gerbang kepatihan, berjalan seorang pemuda. Wajahnya muram, pandang matanya sayu dengan sepasang mata yang membengkak kemerahan bekas tangis, kedua pipinya pucat, rambutnya kusut dan pakaiannya kumal. Langkahnya satu-satu dan lesu, sama sekali tidak bersemangat.
Pemuda ini adalah Sarjitowarman yang dengan hati berat meninggalkan kepatihan,meninggalkan jenazah kekasihnya yang masih membujur di atas pembaringan. Atas nasihat Ki Patih, suami bibinya, dia terpaksa harus meninggalkan Mojopahit secepat mungkin di pagi hari itu agar jangan sampai terjadi hal yang berlarut-larut dengan pangeran. Pangeran iblis! Demikian hatinya mengumpat dan dia mengepal tinju. Dadanya yang penuh luka guratan keris yang dilakukan oleh pangeran pada kemarin dulu, masih terasa perih, akan tetapi lebih perih lagi rasa hatinya mengingat akan semua hal yang telah dilakukan oleh pangeran itu kepada mendiang Dyah Wulandari, kekasih dan tunangannya yang kini telah membunuh diri untuk mengakhiri kehidupan penuh iab dan noda! Pangeran keparat! Pangeran iblis! Demikian bisik hatinya dengan penuh geram.
Para penjaga pintu gerbang di timur membiarkan pemuda ini lewat tanpa mengganggunya karena mereka telah menerima perintah dari Ki Patih untuk membiarkan keponakan Ki Patih itu keluar dari pintu gerbang, kembali ke Lumajang. Berita tentang pemuda ini yang ditangkap oleh pangeran, tentang tunangannya,yaitu keponakan Ki Patih yang telah mati membunuh diri, tentu saja telah terdengar oleh mereka, maka ketika pemuda itu lewat, para penjaga memandang dengan sinar mata mengandung perasaan iba, sungguhpun di antara mereka ada pula yang tersenyum mengejek.
Setelah tiba di luar benteng Mojopahit, Sarjitowarman lalu mempercepat langkahnya. Ingin di cepat-cepat sampai di Lumajang di mana dia dapat menumpahkan perasaan hatinya kepada ayah bundanya dan kepada semua tokoh di Lumajang. Ingin dia menceritakan siapa saja di Lumajang tentang kekejaman dan kejahatan pangeran iblis itu! Lumajang harus bangkit dan memberontak terhadap pangeran laknat calon Raja Mojopahit itu!
Akan tetapi ketika dia tiba di tepi sungai, dia menghentikan langkahnya karena hatinya tertarik oleh alunan suara orang yang bertembang dengan suara yang memilukan. Suara seorang laki-laki yang bertembang dengan tembang Asmaradana,suaranya jelas terdengar di pagi hari itu dan karena tertarik, Sarjitowarman menghentikan langkahnya lalu memperhatikan kata-kata dalam tembang itu. Tembang itu mengandung kata-kata yang memilukan dan suar orang itu seperti mengandung isak tangis, sesuai benar dengan keadaan hatinya di saat itu.
"Duhai para Dewata di Suralaya dengarlah ratapan hambamu ini Hyang Komajaya Dewa Asmara Sang Hyang Wisnu Dewa Kebijaksaan Hyang Jagat Girinata Dewa Keadilan mengapa hamba mengalami siksa ini? Kekasih terbunuh, Si Laknat bebas dari hukuman duhai Hyang Yamadipati Dewa Maut cabutlah nyawa hamba untuk menghentikan derita!"
Sarjitowarman terkejut. Betapa tepatnya isi tembang itu dengan keadaan dirinya! Demikianlah bisikan hatinya semenjak kemarin, semenjak dia menagisi kematian Dyah Wulandari! Dia cepat menghampiri dan akhirnya dia melihat penembang, seorang kakek tua berpakaian seperti seorang nelayan sedang duduk seorang diri di bawah pohon, di tepi sungai memegang tangkai pancing memancing ikan! Melihat kedatangan pemuda itu, kakek ini menancapkan gagang pancingnya dan bangkit berdiri. Tubuhnya kurus jangkung dan pandang matanya tajam.
"Maaf, Paman, kalau saya mengganggu. Pamankah tadi yang bertembang?"
Tanya Sarjitowarman sambil membungkuk. Kakek itu memandang kepada Si Pemuda dengan penuh perhatian, lalu mengangguk.
"Benar, mengapakah orang muda?"
"Kalau saya boleh bertanya, siapakah orang yang mengeluh dalam nyanyian itu, Paman?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Ah, siapa yang mengeluh seperti itu? Entah berapa banyak di dunia ini yang mengeluh seperti itu? Akan tetapi, aku menembang menggambarkan keluhan Dyah Anggraini yang menangisi kematian suaminya, Sang Prabu Palgunadi yang tewas dalam pertempuran melawan Sang Arjuna karena perebutan wanita itu."
Sarjitowarman tentu saja pernah mendengar cerita tentang Dyah Anggraini itu.
Memang cocok. Dyah Anggraini, isteri Sang Prabu Palgunadi digoda dan di rayu oleh Sang Arjuna, akan tetapi isteri yang setia itu tidak mau melayani, lalu melaporannya kepada suaminya. Terjadi perang tanding antara dua orang sakti itu dan akhirnya Sang Palgunadi tewas. Sang Arjuna melanjutkan niatnya yang buruk mengejar Dyah Anggraini. Akhirnya wanita ini membunuh diri pula dan nyawanya melayang bersama-sama nyawa suaminya ke Sorgaloka.
"Paman, mengapa Paman menembangkan tangis Dyah Anggraini itu di pagi hari seperti ini?"
"Ah, pertanyaanmu aneh sekali, orang muda. Aku menembang karena iseng, karena sunyi, akan tetapi mungkin juga karena aku tahu betapa banyaknya orang yang terlanda malapetaka dalam cinta mereka, yang membuat cinta meraka terputus. Dan betapa banyaknya terjadi di dunia ini perbuatan sewenang-wenang tanpa dapat dibalas oleh korbannya."
Mendengar betapa suara kakek itu menjadi gemetar dan melihat mata itu basah air mata, Sarjitowarman makin tertarik.
"Paman, agaknya Paman sendiri juga tertimpa malapetaka seperti itu?"
Kakek itu menarik napas panjang, lalu mengangguk.
"Di waktu aku masih muda, kekasihku dirampas oleh lurah dusun kami, dipaksa menjadi selirnya. Kekasihku tak dapat lama bertahan dan mati karena sakit beberapa bulan kemudian, meninggalkan aku yang hidup merana. Aku berhasil menuntut balas dan membunuh lurah jahanam itu."
"Kalau begitu, mengapa Paman kelihatan masih penasaran?"
"Aah, urusan pribadiku memang telah terbalas. Akan tetapi semenjak itu, aku melihat betapa banyaknya terjadi peristiwa yang sama tanpa si Korban mampu membalas. Seperti misalnya Pangeran Pati yang sekarang ini, kabarnya suka sekali mengganggu wanita. Hal itu membuat hatiku seperti dibakar dan ditusuk. Kalau saja aku masih muda, tentu akan kubunuh pangeran itu, akan tetapi aku sudah tua dan.... heii, kau kenapa, orang muda?"
Sarjitowarman tak dapat menahan tangisnya dan dia mengusap air matanya.
"Apakah daya kita, Paman? Aku pun menjadi korban pangeran itu, kekasihku.... kekasihku....."
Pemuda itu menangis lagi.
"Apa yang terjadi?"
Dengan suara tersendat-sendat, Sarjitowarman lalu menceritakan tentang kematian tunangannya oleh perbuatan keji Pangeran Kolo Gemet.
"Krekk!"
Gagang pancing itu patah di tangan kakek itu.
"Jahanam, memang sudah banyak kudengar tentang dia. Orang muda, mengapa engkau diam saja? Engkau masih muda dan kuat! Kalau aku menjadi engkau, sudah kucekik batang leher pangeran itu!"
"Paman, apakah dayaku? Seperti juga Paman, aku tidak berdaya. Apa yang dapat kulakukan terhadap seorang seperti pangeran itu yang selalu dikawal kuat?"
"Tidak selalu, orang muda. Tidak selalu! Dengar baik-baik, sudah lama aku menyelidiki karena aku membencinya. Aku mengintai dan melihat kebiasaan-kebiasaannya,maka aku tahu belaka bahwa pangeran itu suka sekali mengganggu wanita. Dia mempunyai kebiasaan untuk berjalan-jalan seorang diri saja di pagi hari dalam tamannya. Dan aku tahu pintu rahasia di antara semak-semak di belakang taman. Sudah kukatakan tadi, andaikata aku masih muda, tentu sudah kucekik dia! Mengapa engkau seorang pengecut yang membiarkan kekasihnya dihina sampai membunuh diri seperti itu?"
"Paman!"
Sarjitowarman bangkit semangatnya dan membentak, mukanya merah. Lalu disambungnya.
"Maukah engkau menjadi petunjuk jalan bagiku?"
"Untuk membunuh dia? Tentu saja! Sekaranglah saatnya yang baik sekali. Mari kuantar engkau sampai dapat berhadapan sendiri dengan dia di taman yang sunyi." "Baik, Paman. Marilah dan sebelumnya terima kasih saya haturkan,"
Kata Sarjitowarman penuh semangat.
Mereka kembali ke kota raja melalui pintu gerbang timur dan para penjaga yang sudah mengenal Sarjitowarman ketika berangkat tadi, hanya memandang heran akan tetapi tidak berani menegur atau mengganggu. Kakek nelayan itu pun berjalan sambil tunduk, akan tetapi setelah melewati penjagaan, dia mengajak pemuda itu bergegas menuju ke istana pangeran. Dengan jalan memutar lewat belakang, benar saja kakek itu dapat membawa Sarjitowarman ke dalam taman melalui sebuah pintu tersembunyi di antara semak-semak. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman dan tak lama kemudian kakek itu berbisik.
"Sssttttt....... lihat itu....."
Sarjitowarman memandang dan jantungnya berdebar tegang. Benar saja! Dia melihat Sang Pangeran berjalan-jalan seorang diri di dalam taman, kemudian pangeran itu duduk di depan kolam ikan, termenung memandangi ikan-ikan yang berenang di dalam kolam. Sarjitowarman mengepal tinjunya ketika dia melihat musuh besarnya itu. Menurut gejolak nafsunya, ingin dia sekali tubruk mencekik leher pangeran itu.
Melihat sikap pemuda itu, kakek nelayan itu lalu menyentuh lengannya.
"Sst, sekaranglah saatnya untuk turun tangan, orang muda. Akan tetapi kasihanilah aku,aku orang tua yang tidak berdaya, aku harus pergi dulu dari sini."
Sarjitowarman yang sudah dikuasai nafsu amarah itu hanya mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa kakek ini yang telah membantunya dan memberi jalan, jangan sampai terlambat kalau usahanya gagal. Kakek itu menyelinap pergi di antara kegelapan pagi itu dan setelah melihat kakek itu menyingkir. Sarjitowarman lalu berindap-indap menghampiri tempat pangeran itu duduk seorang diri. Dengan tangan gemetar pemuda ini mencabut kerisnya, kemudian dia meloncat ke depan sambil membentak,
"Manusia keji, terimalah pembalasanku!"
Dia langsung menyerang dengan menusukkan kerisnya ke arah leher Sang Pangeran yang masih duduk termenung itu.
Akan tetapi, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat dan Sarjitowarman merasa betapa tubuhnya terlempar ke belakang, terpelanting dan terhuyung ke atas tanah sebelum kerisnya menemui sasaran. Dia terkejut bukan main, melompat bangun dan melihat pangeran itu pun sudah bangkit berdiri dan di dekat pangeran itu terdapat tiga orang kakek yang berada di tempat itu entah sejak kapan. Sarjitowaran sudah menjadi mata gelap, maka tanpa memperdulikan tiga orang kakek itu, tanpa menyelidiki mengapa tubuhnya tadi dapat terlempar seperti terdorong oleh angin yang dahsyat, dia telah meloncat lagi dan menyerang Sang Pangeran dengan kerisnya.
"Hemm, pemberontak rendah!"
Terdengar Ki Durgakelana membentak, sedangkan dua orang kakek yang lain menjaga di kanan kiri pangeran, hanya menonton sambil tersenyum lebar.
"Plak! Brukkk......!"
Serangan Sarjitowarman ke arah pangeran itu dihalangi oleh Ki Durgakelana yang menggunakan tangan kiri menangkis dari samping disusul tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak pemuda itu, membuat Sarjitowarman kembali terpelanting ke atas tanah.
Kini terbukalah mata Sarjitowarman. Maklumlah dia bahwa usahanya gagal dan keselamatannya terancam. Dia tidak akan mungkin mampu membunuh Sang Pangeran,tidak mungkin pula melarikan diri. Melawan pengawal-pengawal yang sakti itu pun percuma saja. Dia akan tertangkap dan akan mengalami siksaan dan penghinaan lagi. Mati baginya bukan apa-apa, apalagi kini tunangannya telah tiada, akan tetapi dia tidak mau tertangkap dan tersiksa. Digerakkannya keris itu menusuk ke arah ulu hatinya sendiri.
"Plak! Desss.....!!"
Kerisnya terpental dan Sarjitowarman kembali terpelanting dalam keadaan pingsan. Ki Durgakelana yang dapat bergerak cepat sekali itu telah mencegah pemuda ini membunuh diri dan memukulnya roboh pingsan, lalu cepat membelenggunya.
Pangeran Kolo Gemet berdiri memandang tubuh Sarjitowarman. Mukanya merah dan dia marah sekali.
"Si Bedebah! Berani sekali menyerang aku! Paman Durgakelana, bunuh saja jahanam ini!"
Ki Durgakelana cepat menyembah.
"Maaf, Kanjeng Gusti Pangeran. Hamba kira mudah saja membunuh anjing ini, akan tetapi apakah hal itu bijaksana? Harap Paduka ingat bahwa dia ini adalah keponakan Ki Patih Nambi, dan mengingat akan apa yang terjadi kemarin dulu antara Paduka dengan dia ini dan Ki Patih, tidak baiklah kiranya kalau dia dibunuh begitu saja di sini. Tentu hal itu akan menimbulkan dugaan buruk di dalam hati Ki Patih. Sebaiknya kalau keparat ini diseret ke pangadilan di mana dia akan mengakui semua perbuatannya sehingga tidak ada kecurigaan di pihak Ki Patih bahwa Paduka sengaja membunuh dia tanpa dosa."
Pangeran Kolo Gemet mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa semua ini sudah diatur, dan bahwa ucapan Ki Durgakelana itu adalah ucapan yang dihafalnya dari Resi Mahapati.
Gegerlah keluarga istana dan juga keluarga kepatihan
ketika mendengar berita bahwa pagi hari tadi, hampir saja Sarjitowarman membunuh Sang Pangeran! Ki Patih Nambi yang mendengar bahwa keponakannya itu ditangkap dengan tuduhan hendak membunuh Sang Pangeran, menjadi terkejut setengah mati dan bergegas mendatangi ruangan pengadilan istana di mana pemuda itu sedang diperiksa dan diadili. Persidangan itu dihadiri oleh Sang Prabu sendiri, juga Sang Pangeran, para pembesar seperti Resi Mahapati dan para nayaka praja. Persidangan yang mendapatkan perhatian penuh oleh para pembesar karena peristiwa itu benar-benar menggegerkan. Sang Pangeran hampir terbunuh oleh keponakan isteri Ki Patih!
Semua orang memandang kepada Ki Patih ketika Patih Nambi memasuki persidangan, menyembah kepada Sang Prabu lalu mengambil tepat duduk. Pangeran Kolo Gemet membuang muka dan Sang Prabu juga melontarkan pandang mata penuh selidik kepada Ki Patih yang menundukkan mukanya yang agak pucat. Sarjitowarman melihat ini semua dan tiba-tiba saja dia dapat menduga akan hal yang sebenarnya. Pamannya telah tersudut oleh perbuatannya itu! Teringatlah dia akan kakek nelayan yang membangkitkan semangatnya untuk membunuh Sang Pangeran.
Kini mengertilah dia bahwa memang ada pihak yang hendak menjerumuskan dia. Bukan, bukan dia yang menjadi sasaran pihak yang mengutus orang menyamar sebagai kakek nelayan itu, pihak yang mengatur agar Sang Pangeran kelihatan sendirian saja di taman padahal diam-diam di situ terdapat pengawal-pengawal sakti yang melindunginya. Jelaslah kini bahwa Sang Pangeran itu kelihatan sendirian dipergunakan sebagai umpan untuk memancingnya. Bukan dialah yang menjadi sasaran pihak itu, melainkan pamannya, Ki Patih! Akan tetapi tidak mungkin dia menuduh yang bukan-bukan kepada pihak yang tidak diketahuinya siapa itu, karena tidak ada bukti. Yang jelas terbukti, dia hendak membunuh pangeran. Dia harus berhati-hati,harus tidak melibatkan pamannya!
"Siapkah yang menyuruhmu mencoba untuk melakukan pembunuhan atas diri Gusti Pangeran?"
Terdengar lagi pertanyaan dari hakim yang berwenang memeriksanya. Sarjitowarman berlutut di atas lantai dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang.
"Tidak ada siapa pun yang menyuruh hamba melakukan itu,"
Jawab Sarjitowarman dengan suara tegas.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ingat, kalau dosamu itu hanya sebagai pesuruh saja, maka akan jauh lebih ringan hukumannya. Maka sebaiknya engkau mengaku terus terang,"
Kata pula hakim sambil melirik ke arah tempat duduk Ki Patih. Tentu saja hakim ini telah lebih dulu dihubungi oleh Resi Mahapati maka berusaha untuk melibatkan diri Ki Patih.
"Katakan sejujurnya, siapa yang membujukmu, siapa yang memberimu semangat, dan siapa yang menyuruhmu? Apakah ada yang menyuruhmu dan yang mejadi sebab dari perbuatanmu itu?"
"Memang ada yang menjadi sebabnya, ada yang menyuruh hamba melakukan hal itu."
Tiba-tiba pemuda itu berkata dan suasana di dalam ruangan itu menjadi berisik karena para pendengarnya menjadi terkejut sekali. Hamir semua mata kini ditujukan ke arah Ki Patih Nambi yang juga mengangkat mukanya, memandang sebentar ke arah Sarjitowarman dan ketika melihat betapa semua orang memandangnya, Ki Patih menundukkan mukanya lagi.
"Ha, benarkah demikian? Nah, ceritakanlah dengan jelas, apa sebabnya dan siapa yang menyuruhmu."
Hening sejenak. Semua orang menahan napas dan memasang telinga penuh perhatian.
Keheningan yang mencekam sekali, di mana setiap orang seperti dapat mendengar bunyi degup jantungnya sendiri. Pemuda yang berlutut itu mengangkat mukanya, memandang kepada Sang Pangeran dengan sinar mata penuh kebencian,kemudian dia berkata, suaranya tegas dan lantang sekali, sedikitpun tidak gemetar padahal semua mata memandangnya dan dia berada di dalam ruangan yang dihadiri oleh semua pembesar Mojopahit, bahkan Sang Prabu sendiri juga hadir.
"Yang menyuruh hamba adalah perasaan dendam sakit hati yang meracuni batin hamba! Hamba disuruh oleh perasaan benci yang mendalam terhadap Sang Pangeran, karena dendam sakit hati terhadap perbuatannya yang telah dilakukannya kepada hamba dan mendiang tunangan hamba, Dyah Wulandari. Hamba hendak membunuh Sang Pangeran untuk membalas kematian Diajeng Wulandari. Itulah sebabnya!"
Kembali suasana menjadi berisik karena jawaban itu sama sekali jauh daripada dugaan semua orang yang hadir. Resi Mahapati dan kaki tangannya merasa kecewa sekali mendengar jawaban ini. Hakim yang telah dipengaruhi Sang Resi itu masih mencoba untuk mendesak Sarjitowarman.
"Ah, mana mungkin hanya itu saja yang menggerakkan perbuatanmu yang jahat itu? Andika adalah seorang dari Lumajang! Sudah pasti ada orang atau pihak lain yang menyuruhmu untuk melakukan percobaan pembunuhan itu. Lebih baik Andika mengaku saja terus terang di depan Kanjeng Gusti Sinuhun dan para pembesar yang hadir!"
Sarjitowarman mengangkat mukanya dan memandang ke kanan kiri dengan sinar mata penuh ketabahan, lalu menatap wajah hakim itu dan menjawab lantang.
"Agaknya ada pihak yang hendak mendorong dan mendesak hamba untuk mengakui hal-hal yang tidak semestinya! Akan tetapi pihak ini harp jangan mimpi untuk dapat mencapai maksudnya yang keji. Hamba adalah seorang laki-laki sejati, berani berbuat berani bertanggung jawab. Hamba tidak disuruh oleh siapa pun, Hamba mencoba untuk membunuh Sang Pangeran karena dendam pribadi. Sekarang hamba telah ditangkap, silahkan kalau hendak menghukum hamba. Akan tetapi janganlah hamba didorong untuk mengakui hal-hal yang bukan-bukan!"
Ucapan yang dikeluarkan dengan nada lantang dan marah kembali membuat mereka yang hadir tertegun. Sang Prabu sendiri diam-diam merasa kagum dan diam-diam merasa menyesal mengapa puteranya membuat gara-gara dengan menangkap pemuda ini dan tunangannya sehingga terjadi peristiwa ini. Akan tetapi tentu saja Sang Prabu tidak mau menyalahkan dan merendahkan puteranya sendiri dalam persidangan itu.
Sinar mata Resi Mahapati yang ditujukan kepada pembesar yang mengadili pemuda itu memandang tajam ke arah hakim. Hakim agaknya menerima isyarat pandang mata itu, maka untuk yang terakhir dia mendesak lagi.
"Sarjitowarman! Mungkin Andika merupakan kaki tangan yang setia dari mereka yang menyuruhmu melakukan perbuatan itu, akan tetapi bagi Mojopahit Andika adalah seorang pengkhianat, seorang kaki tangan pemberontak. Namamu akan menjadi rusak dan seluruh keluargamu akan akan tertimpa bencana oleh perbuatanmu itu! Akan tetapi kalau Andika mengaku siapa yang menyuruhmu, pengadilan akan mempertimbangkan dosamu dan mengajukan permohonan kepada Kanjeng Gusti Sinuhun untuk meringankan hukuman!"
Wajah Sarjitowarman menjadi merah sekali. Dia marah bukan main karena dia melihat komplotan yang ingin sekali menyeret nama pamannya di dalam persidangan ini, di depan kehadiran Sang Prabu, maka dia lalu membentak dengan suara nyaring.
"Paduka hendak memaksa hamba mengaku? Nah, harap Paduka sekalian yang hadir di sini sudi mendengarkan pengakuan hamba ini. Yang menyuruh hamba melakukan percobaan pembunuhan terhadap diri Sang Pangeran bukan lain adalah......... Paduka sendiri!"
Dia menudingkan telunjuknya kepada hakim itu! Tentu saja hakim menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak, kemudian mukanya berubah merah ketika mendengar suara ketawa ditahan dari beberapa orang yang hadir.
"Andika melakukan fitnah pula!"
Bentaknya dan dengan lancar dan dengan suara lantang dia lalu membacakan hukuman bagi Sarjitowarman. Hukuman mati tentu saja. Semua orang ramai membicarakan persidangan itu setelah persidangan dibubarkan, Sang Prabu dan pangeran telah lebih dulu meninggalkan sidang, kemudian orang hukuman itu diseret pergi untuk menerima hukuman yang dijatuhkan atas dirinya yang diterimanya dengan senyum karena Sarjitowarman merasa yakin bahwa kematiannya berarti bahwa dia akan bertemu kembali dengan tunangannya.
"Maafkan saya, Kakang Resi. Akan tetapi saya tidak mau lagi membicarakan urusan Sajitowarman yang telah berdosa terhadap Gusti Pangeran dan telah menjalani hukuman mati. Saya kira memang sebaiknya begitu."
Ki Patih Nambi berkata sambil mengerutkan alisnya, memandang kepada tamunya, Resi Mahapati yang duduk di depannya.
"Akan tetapi, Adimas Patih. Siapa lagi kalau bukan kita yang memikirkan keadaan di Mojopahit? Apakah kita kan membiarkan saja calon raja kita melakukan penyelewengan-penyelewengan itu? Sang Pangeran memang telah bersikap keterlaluan,bukan hanya kepada Paduka dan keponakan Paduka, bahkan terhadap puteri-puteri istana beliau melakukan penghinaan. Kabarnya malah beliau bersikap kurang baik terhadap saudara-saudara tirinya, yaitu puteri-puteri keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara, yaitu Gusti Puteri Sri Gitarya dan Gusti Puteri Dyah Wiyat...."
"Cukup, Kakang Resi!"
Kini Ki Patih bangkit berdiri dengan alis berkerut dan pandang mata marah.
"Saya tidak mau lagi melayani percakapan seperti ini! Ketahuilah, Kakang Resi, bahwa saya adalah seorang ponggawa yang setia, yang bersedia mengorbankan apa saja, sampai keluarga dan nyawa saya, untuk mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana dan tidak ada apa pun di dunia ini yang akan membuat kesetiaan saya terguncang!"
Wajah Resi Mahapati menjadi merah sekali. Dia cepat minta maaf lalu berpamit pergi meninggalkan kepatihan. Hatinya merasa kecewa dan mendongkol sekali. Sia-sia saja semua usahanya selama ini. Siasat selirnya yang dijalankan dengan amat baik itu, yang mangakibatkan terhukumnya keponakan isteri Ki Patih, hukuman mati, ternyata tidak pernah mengguncangkan hati Ki Patih yang amat setia kepada Sang Prabu! Jadi percuma sajalah semua itu. Dia tetap tidak dapat mengadu domba antara Ki Patih dan Sang Pangeran! Dengan murung dia pulang ke gedungnya sendiri. Dia mulai putus harapan. Jelaslah bahwa kesetiaan Ki Patih tidak mungkin dapat dia guncangkan. Sebaliknya mencari kesalahan Ki Patih untuk dilaporkan, untuk menghasut hati Sang Prabu atau Sang Pangeran, juga sukar sekali karena memang patih itu amat setia dan tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat dijadikan bahan hasutan.
Lestari menyambut kedatangan resi itu dengan manis dan selir itu segera mengerti akan kemurungan suaminya. Dia sudah mendengar bahwa siasatnya dijalankan dengan baik, akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa tentu siasat yang dijalnkan dengan baik itu ternyata tidak mengakibatkan hasil yang mereka idam-idamkan, yaitu permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran. Dia kini menduga pula, dari wajah suaminya yang muram, bahwa usaha suaminya menghasut dan memanaskan hati Ki Patih tentu gagal pula.
"Apakah Ki Patih tidak dapat dibakar hatinya?"
Tanyanya perlahan sambil mendekati resi itu. Resi Mahapati menggeleng kepala dengan kening berkerut.
"Dia tidak mungkin dapat dihasut dan mencari kesalahannya pun amat sukar. Dia berlindung kepada kesetiaannya terhadap Sang Prabu maka menjadi kebal dan sukar sekali diserang."
"Kalau dia sukar ditembus, mengapa tidak mengalihkan sasaran saja, Kakangmas?"
Kata Lestari tersenyum.
Kakek itu mengangkat muka memandangnya.
"Maksudmu?"
"Kita alihkan kepada sasaran yang lebih lunak, yaitu Sang Pangeran. Kalau Sang Pangeran sudah dapat paduka kuasai dan pengaruhi, tentu apa pun yang paduka minta akan dilaksanakan olehnya."
"Akan tetapi, hubunganku dengan Sang Pangeran sudah cukup baik, beliau, bahkan Kanjeng Gusti Puteri sudah menaruh kepercayaan besar kepadaku."
"Masih belum cukup, Kakangmas. Saya kira, kita harus mempergunakan kelemahan Sang Pangeran untuk benar-benar menundukkan beliau itu. Beliau adalah calon raja,maka alangkah akan baiknya dan menguntungkan kalau Paduka dapat menguasai sepenuhnya. Saya kira, jalan satu-satunya adalah menyerang kelemahannya, yaitu terhadap wanita."
Resi Mahapati mengangguk-angguk. Memang tepat sekali, pikirnya. Mengapa dia tidak memikirkan hal ini? Kalau Sang Pangeran dapat ditundukkan oleh seorang wanita, tentu segala permintaan wanita itu akan diturutinya belaka! Dan satu-satunya wanita yang akan mampu melakukan hal ini adalah Lestari! Selirnya yang tercinta!
Dia mencintai Lestari, akan tetapi dia lebih cinta kepada cita-citanya. Terbayang di benaknya betapa Lestari mempermainkan pangeran sampai Sang Pangeran tunduk benar-benar di bawah telapak kaki wanita yang dia tahu amat hebat dalam menyenangkan hati pria ini. Mungkin saja Lestari akan berhasil sedemikian jauhnya sehingga kelak dapat mengangkat diri menjadi permaisuri kalau Sang Pangeran telah menjadi raja!
"Ah, benar sekali!"
Tiba-tiba Sang Resi berseru girang dan dia memandang kepada selirnya itu dengan wajah berseri mata bercahaya.
"Itulah jalan satu-satunya,dan engkau tentu suka melakukannya untuk aku, Lestari!"
Wanita yang usianya dua puluh enam tahun namun masih kelihatan muda dan cantik manis itu memandang kepada Resi Mahapati dengan mata terbelalak, setengah dibuat-buat karena sesungguhnya otaknya yang cerdik sudah dapat menduga-duga apa yang dimaksudkan oleh suaminya, akan tetapi dia bertanya.
"Apa yang Paduka maksudkan, Kakangmas Resi?"
"Maksudku tidak lain adalah agar engkau sendiri yang melakukan pendekatan kepada Sang Pangeran dan berusaha untuk menundukkan hatinya dengan kejelitaanmu, Lestari."
Sepasang mata yang jeli itu terbelalak makin lebar, mulut yang berbibir merah dengan rongga mulut lebih merah lagi itu terbuka, lalu kedua tangannya menutupi muka itu.
"Ohhhh.... oh, uhhhhhhuuuuuuhhh......!"
Dan wanita itu menangis sesenggukan!
"Kakangmas..... uh-huuuuh....... Paduka kejam sekali...., sudah tahu bahwa saya adalah milik Paduka, jiwa raga ini adalah milik Paduka........ mengapa Paduka menyuruh saya melakukan hal itu..... hu-huuu, nyuruh saya melakukan hal itu menandakan bahwa Paduka tidak lagi mencintai saya......"
Resi Mahapati cepat merangkul wanita itu. Hatinya girang bukan main karena sikap wanita itu jelas membuktikan betapa besar cinta wanita ini terhadap dirinya! "Tenanglah, manis, tenanglah kekasih hati pujaanku. Ingatlah bahwa untuk mengangkat derajat kita berdua engkau harus berani berkorban sedikit."
"Sedikit kata Paduka? Sedikitkah itu kalau saya harus merendahkan diri merayu Sang Pangeran kemudian menyerahkan diri saya kepadanya? Ah, Paduka minta terlalu banyak dari saya...."
"Tidak, tidak, Lestari. Ingatlah bak-baik. Engkau memang harus menggunakan kecantikan dan keindahan tubuhmu, akan tetapi aku tahu bahwa hatimu tetap milikku! Nah, sedikit pengorbanan itu apa artinya kalau dibandingkan dengan hasilnya?"
"Paduka mengingat kepentingan sendiri saja. Berarti Paduka tidak lagi cinta kepada saya."
"Siapa bilang begitu? Justeru aku minta kepadamu melakukan hal itu adalah karena besarnya cintaku kepadamu, Lestari. Dengar baik-baik. Kalau engkau berhasil menundukkan hatinya, dan aku yakin engkau pasti akan berhasil, bukankah kelak engkau ada harapan untuk diangkat menjadi permaisuri kalau beliau telah menjadi raja? Nah, bukankah hal itu akan mengangkat dirimu ke tempat yang paling tinggi bagi seorang wanita? Lebih tinggi dari semua wanita di Mojopahit? Dan tentu saja, kalau engkau sudah menjadi permaisuri, mudah saja bagimu mengulurkan kepadaku, menarik aku ke
(Lanjut ke Jilid 31)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31
atas kursi kepatihan, bahkan lebih tinggi lagi!"
Memang sesungguhnya hati Lestari sudah girang sekali dengan usul itu, maka kiranya tidak usah dibujuk pun dia sudah setuju sekali. Hanya dia berpura-pura saja untuk membuat Sang Resi makin percaya dan makin cinta kepadanya. Setelah berhasil membalas dendam atas kematian ayah bundanya terhadap diri Progodigdoyo dan melampiaskan dendamnya pula kepada para ponggawa Mojopahit yang dibencinya semua, kini timbul nafsu lain dalam diri Lestari yang telah menjadi hamba dari nafsu kebencian itu.Dia ingin memperoleh kedudukan tertinggi agar dapat menguasai semua orang yang dibencinya!
Tentu saja, sebagai selir yang tercinta dari Resi Mahapati, dia tak berani mendekati Sang Pangeran, namun dia sudah lama tahu bahwa jalan satu-satunya untuk mencapai cita-cita itu hanyalah mendekati Pangeran Pati itu, dan tadi dia sudah memancing-mancing dan memberi jalan untuk melakukan pendekatan kepada Sang Pangeran. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa resi itu akan memperkenan dia, bahkan menyuruh, untuk merayu sendiri Sang Pangeran. Hal itu sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan hatinya. Memancing teri memperoleh kakap namanya!
Maka bujukan-bujukan Sang Resi itu hanya menambah kebesaran hatinya karena kepura-puraannya telah behasil pula mengelabui mata Sang Resi yang menganggap wanita ini amat mencintainya dan telah menerima tugas dengan hati "berat". Maka mereka lalu mengatur rencana untuk mulai menjebak Sang Pangeran ke dalam perangkap yang mereka atur bersama.
Tentu saja perangkap ini dipasang dengan kerja sama para pembantu resi itu, terutama sekali Resi Harimurti, Ki Durgakelana, Ki Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Empat orang kakek inilah yang membantu terlaksananya siasat itu karena mereka mempunyai kepentingan yang sama dengan Resi Mahapati, yaitu memperoleh kedudukan setinggi-tingginya di Mojopahit kelak setelah Pangeran Kolo Gemet naik tahta.
Demikianlah pada suatu pagi, dengan diantar oleh tiga orang kakek pengawal,yaitu Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, Pangeran Pati itu pergi berburu ke hutan di dekat kota raja. Hutan ini memang merupakan hutan yang istimewa diperuntukkan keperluan Sang Prabu kalau pergi berburu. Rakyat tidak boleh berburu di hutan ini, bahkan banyak binatang dari luar sengaja dilepas di dalam hutan ini untuk kesenangan raja sekeluarganya.
Setelah matahari naik tinggi dan berhasil merobohkan seekor kijang dengan anak panahnya, atas bujukan para pengawal itu, Sang Pangeran pergi ke sebuah telaga di tepi hutan untuk beristirahat di tempat yang teduh dan nyaman itu, dengan maksud untuk mandi karena menyusup-nyusup ke dalam semak belukar tadi membuat tubuh menjadi penat dan juga gatal-gatal.
Ketika mereka tiba di tepi telaga, dari jauh Ki Durgakelana sudah berbisik kepada Sang Pangeran sambil menuding ke depan, ke pinggir telaga.
"Ah, Gusti Pangeran..... harap suka memeriksa ke sana itu.... agaknya Paduka telah didahului orang yang mandi di telaga..."
"Ah, benar! Dan dia seorang wanita....!"
Kata Ki Warak Jinggo.
"Wanita muda yang mandi seorang diri di telaga! Jangan-jangan dia itu peri....!"
Kata pula Sarpo Kencono.
Sang Pangeran tertarik sekali, lalu dia berkata.
"Kalian tunggu di sini, biar aku yang mendekati dan melihat siapa dia."
Sikap pangeran itu seperti tadi ketika dia melihat bayangan kijang dan hendak merobohkannya sendiri kijang itu. Tiga orang kakek itu menyembah lalu duduk di bawah pohon tak jauh dari telaga itu sambil saling lirik dan mengulum senyum penuh arti.
Berindap-indap Sang Pangeran menghampiri telaga. Dari jauh dia memang melihat seorang wanita muda sedang mandi berkecipung di pinggir telaga. Di mana air telaga yang jernih itu dalamnya hanya sampai di dada. Ketika tiba di tepi telaga, dia melihat tumpukan pakaian wanita itu dan jantungnya berdebar. Wanita itu mandi telanjang bulat! Dan makin berdebar lagi jantung pangeran muda yang mata keranjang ini melihat rambut yang hitam panjang dan halus, kulit yang kuning bersih dan bentuk tubuh yang padat menggairahkan.
Akan tetapi dia belum melihat wajah orang itu karena wanita itu berdiri di dalam air membelakanginya Setelah puas menikmati keindahan bentuk tubuh dan kulit punggung dan leher yang kuning langsat dan halus itu, Sang Pangeran mendehem. Wanita itu terkejut,membalikkan tubuhnya dan..... Sang Pangeran terpesona! Dia memandang dengan mata terbelalak penuh kegum, menikmati kecantikan wajah itu dan keindahan dada yang tidak tertutup itu. Sejenak wanita itu seperti berubah menjadi patung, agaknya saking kagetnya melihat ada seorang laki-laki muda di tepi telaga, di dekat pakaiannya, lalu agaknya dia teringat dan cepat membenamkan tubuhnya ke dalam air sampai sebatas lehernya. Mukanya berubah merah sekali menambah keayuannya.
Sampai lama barulah Sang Pangeran mampu mengeluarkan suara yang agak gemetar.
"Aihhh, siapakah Andika? Bidadarikah? Perikah? Siapakah Andika, wanita cantik jelita,yang telah mendahului aku yang hendak mandi di telaga?"
Sepasang tangan dengan jari-jari yang meruncing terpelihara muncul dari dalam air, lalu membuat sembah ke arah pangeran, dan terdengar suara yang halus lembut dan merdu.
"Hamba mohon Paduka sudi mengampunkan hamba, Kanjeng Gusti Pangeran. Karena hamba tidak tahu bahwa Paduka hendak mandi di sini, maka hamba berani lancang turun mandi."
Sang Pangeran tersenyum bangga.
"Ha-ha, Andika telah mengenal aku, manis?"
"Hamba adalah kawula Mojopahit, tentu saja mengenal Paduka Kanjeng Gusti Pangeran yang mulia."
Wanita muda itu berhenti sebentar, mengerling dengan manis sekali, lalu berkata lagi.
"Akan tetapi Paduka belum menyatakan bahwa Paduka mengampuni hamba......"
Kembali pangeran itu tersenyum.
"Tidak, engkau harus dihukum!"
Wanita itu membelalakkan matanya yang lebar dan bagus, kelihatan takut.
"Harap Paduka sudi mengampuni hamba....... karena hamba tidak sengaja....."
"Engkau harus dihukum berat! Ha-ha, jangan takut, sayang, engkau terlalu cantik untuk dihukum. Pula, apa salahnya engkau mandi di sini? Aku pun hendak mandi, apa salahnya kita mandi bersama?"
Setelah berkata demikian, Sang Pangeran tanpa malu-malu dan tanpa ragu-ragu lagi lalu menanggalkan pakaiannya di tepi telaga itu, menumpuk pakaiannya di dekat tumpukan pakaian wanita itu. Melihat ini, wanita muda itu memalingkan mukanya dan tidak berani memandang. Baru setelah mendengar bunyi air ketika pangeran itu turun ke dalam telaga, dia menoleh dan berkata dengan suara memohon,
"Gusti harap...harap perkenankan hamba keluar dulu...."
"Eh, apa salahnya kita mandi bersama?"
"Jangan Gusti....... hamba.... hamba...."
"Kau kenapa?"
"Hamba malu...."
"Malu? Malu kepada siapa?"
"Hamba takut...."
Pangeran itu masih muda dan masih hijau, maka melihat sikap ini, dia makin tertarik dan dia sudah mendekat, lalu memegang lengan Lestari yang pura-pura meronta dan menjauhkan diri, akan tetapi tidak cukup kuat sehingga lengannya masih terpegang oleh tangan pangeran itu.
"Bocah ayu, engkau malu dan takut kepada siapa? Kepadaku?"
Lestari mengerling dengan manisnya lalu menundukkan mukanya, senyum malu-malu yang membuat wajahnya menjadi semakin menarik.
"Paduka..... Paduka adalah seorang Pangeran dan hamba..... hamba takut berdosa....."
Pangeran itu sudah menarik lengan Lestari dan dicobanya untuk merangkul leher itu.
"Jangan malu-malu, jangan takut. Aku adalah Pangeran Pati, aku berkuasa dan tidak akan ada orang yang berani menggangguku atau mengganggumu. Aku cinta padamu, manis. Siapakah namamu?"
"Hamba..... hamba Lestari...."
"Ah, namamu semanis wajahmu."
Pangeran itu mendekatkan mukanya dan mencium.
"Hamba..... hamba takut...."
Lestari mengelak dan miringkan mukanya, akan tetapi tidak cukup jauh sehingga membiarkan bibir pangeran itu menyentuh sedikit ujung bibirnya yang lembut dan basah. Dia sudah berpengalaman dan banyak menerima ajaran dari Resi Mahapati tentang permainan cinta. Dia tahu bahwa memberi sedikit-sedikit dengan sikap jinak-jinak merpati merupakan bahan bakar yang amat baik untuk makin mengobarkan api nafsu berahi. Tentu saja kalau menolaknya sama sekali juga berbahaya, dapat memadamkan api yang mulai menyala itu. Kalau memberinya terlalu murah dan mudah, akan menimbulkan kebosanan. Pengatahuan ini sekarang dipraktekannya atas diri pangeran yang masih hijau itu. Dan memang hasilnya baik sekali. Sang Pangeran yang hanya dapat menyentuh sedikit ujung bibir Lestari, menjadi bergairah.
"Jangan takut, cah ayu. Aku tidak akan membikin sudah padamu, aku cinta padamu,manis."
Pangeran itu membujuk lagi dan merangkul.
"Benarkah, Gusti? Benarkah Paduka cinta kepada hamba? Kalau begitu jangan.... jangan di sini, Gusti. Hamba bukanlah wanita rendah dan murahan..... kalau memang Paduka cinta kepada hamba, hamba..... hamba bersedia melayani Paduka dengan segala senang hati. Hamba suka menyerahkan jiwa raga hamba kepada Paduka junjungan hamba, akan tetapi bawalah hamba ke istana Paduka, jangan di sini....."
Lestari meronta halus.
Pangeran itu membelalakkan matanya, lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, aku senang sekali. Itulah yang amat baik."
Dia lalu mencium dan kini Lestari menggunakan kepandaiannya membalas ciuman itu sehingga Sang Pangeran makin tergila-gila.
"Marilah kita naik ke darat dan kita berangkat pulang ke.... kamarku...."
Pangeran itu menggandeng tangan Lestari dan mereka keluar dari dalam air. Sang Pangeran makin kagum dan makin tergila-gila ketika dia melihat wanita itu mengenakan pakaian dengan gaya yang amat memikat, malu-malu akan tetapi juga menantang. Setelah mereka berdua berpakaian, Sang Pangeran lalu memanggil dua orang pengawalnya dan tergesa-gesa dia mengajak Lestari yang diboncengnya naik kuda pulang ke istananya. Dua orang pengawalnya itu, Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono, pura-pura tidak mengenal Lestari, sungguhpun mereka berdua girang sekali bahwa siasat yang dilakukan oleh Lestari itu telah berhasil dengan amat baik.
Setelah berada di dalam kamar istana pangeran, Lestari mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menjatuhkan hati Sang Pangeran. Dia berhasil baik sekali karena pada keesokkan harinya, setelah semalam lamanya dipermainkan oleh Lestari, Sang Pangeran benar-benar telah terpikat sehingga dia menyatakan bahwa Lestari diangkat sebagai selirnya terbaru. Akan tetapi, Lestari tiba-tiba menangis sehingga pangeran itu terkejut dan heran.
Dipeluknya wanita itu dan dihiburnya.
"Ah, kenapa engkau menangis Lestari? Apakah engkau tidak senang menjadi selirku, setiap hari berdampingan dengan aku di dalam kamar ini?"
Lestari merangkul pinggang pangeran itu dan menangis di atas dada orang muda itu.
"Mohon Paduka sudi mengampuni hamba..... sebenarnya hamba....hamba adalah selir dari seorang resi...."
Sang Pangeran terkejut, akan tetapi mempererat rangkulannya.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh?? Resi mana? Siapa dia?"
"Dia adalah Resi.... Resi Mahapati......"
Bukan main kagetnya Sang Pangeran mendengar nama ini. Rangkulannya terlepas dan dia bergerak mundur di atas pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu. Wajah itu agak pucat, air matanya membasahi pipi, rambutnya masih kusut bekas belaiannya semalam. Tubuh itu demikian padat dan bagus bentuknya, dengan kulit yang halus dan putih kuning.
Jantung Sang Pangeran berdebar tegang. Selir Resi Mahapati? Sejenak timbul kecurigaannya.
"Lestari, benarkah engkau selir dari Paman Resi Mahapati?"
Wanita itu mengangguk dan menghapus air matanya dengan ujung kain.
"Kalau begitu..... mengapa engkau tidak berada di istana Paman Resi, melainkan di dalam hutan itu, mandi di telaga? Dan kenapa engkau tidak mengaku demikian sebelum kubawa ke sini?"
Di dalam pertanyaan pangeran ini terkandung kecurigaan besar.
Lestari terisak, kelihatan bersedih sekali.
"Paduka.... Paduka tidak tahu.... betapa hamba menderita batin yang hebat semenjak menjadi selir Sang Resi...."
Sang Pangeran mengerutkan alisnya. Ini merupakan berita baru baginya! "Eh, apa yang telah terjadi, Nimas? Apakah dia berlaku kejam kepadamu?"
Wanita itu mengeleng kepalanya, lalu menjawab sambil menunduk.
"Baru beberapa bulan semenjak hamba diambil sebagai selir, dia..... dia... jatuh sakit...."
"Eh? Sepanjang pengetahuanku, Paman Resi tidak pernah sakit, melainkan sehat saja. Apa maksudmu?"
"Tubuhnya memang sehat dan tidak kelihatan sakit, Gusti, akan tetapi.... dia.... sakitnya itu....eh..."
Lestari masih mengeluarkan air mata, akan tetapi bibirnya menahan senyum malu-malu dan dia menundukkan mukanya. Tentu saja Sang Pangeran menjadi makin tertarik dan heran. Dia lalu merangkul wanita yang telah membuatnya tergila-gila semalam itu dan mencium pipinya yang masih basah air mata.
"Lestari, jangan takut-takut, jangan malu-malu. Katakanlah segalanya kepadaku dan aku akan menolongmu sedapat mungkin. Apa sebenarnya yang terjadi antara engkau dan Paman Resi?"
"Ampun, Gusti..... dia itu terkena penyakit dan..... dia tidak lagi dapat melakukan tugas sebagai seorang suami.... dia....eh, dia telah menjadi lemah....."
"Ahh......?"
Sang Pangeran terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia tertawa bergelak dan mencubiti paha dan pipi wanita itu, lalu merangkul menciumi sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, sudah berapa lama semenjak itu sampai sekarang?"
"Sudah bertahun-tahun, Gusti, maka dapat Paduka bayangkan betapa saya merasa tersiksa dan menderita...."
"Ha-ha-ha! Kau bocah nakal! Pantas saja engkau begitu..... begitu kehausan semalam!"
"Ah, Pangeran....!"
Lestari menyembunyikan mukanya dengan sikap malu-malu.
"Kiranya begitukah? Dan.... mengapa pula engkau berada di dalam hutan itu?"
"Begini, Gusti. Hamba dalah seorang anak yang dahulu biasa hidup di dusun dan suka bermain-main di dalam hutan. Hamba suka menyendiri dalam hutan dan mandi sepuasnya untuk menghibur hati hamba. Karena hutan itu hamba tahu tidak boleh dimasuki orang lain, maka hamba berani memasukinya dan mandi seorang diri di dalam telaga."
"Tanpa pengawal dan pengiring?"
"Hamba sudah biasa ketika kecil bermain-main seorang diri di hutan."
"Dan Paman Resi boleh saja kau pergi sendirian, bahkan sampai semalam tidak pulang?"
"Ahhh..... semenjak dia.... sakit itu, dia tidak lagi memperdulikan hamba, Gusti. Agaknya kalau hamba pada suatu hari menggeletak mati di depan kakinya pun ia tidak akan tahu atau peduli. Hamba diberi kebebasan seluasnya, dan biarpun dia tidak pernah berlaku buruk terhadap hamba, namun hamba tidak diperdulikannya lagi. Oleh karena itu, hamba berani ikut dengan Paduka kemarin ke istana Paduka ini."
"Bagus, kalau begitu engkau tidak usah kembali ke sana. Engkau tinggal di sini sebagai selirku yang tercinta!"
Lestari menggeleng kepalanya.
"Hamba kira hal itu tidaklah baik, Gusti. Hamba tahu betapa baiknya hubungan antara Paduka dengan Kakangmas Resi, maka janganlah kiranya soal diri hamba yang tidak berharga ini akan menjadi pemisah atau penghalang hubunga baik itu."
"Akan tetapi katamu tadi, Paman Resi sudah tidak peduli lagi kepadamu."
"Benar, akan tetapi sebetulnya dia mencintai hamba, Gusti. Dan semua orang tahu bahwa hamba adalah selirnya yang dahulu amat dicintainya. Maka, apabila hamba pindah ke sini ikut dan mengabdi Paduka, tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat bagi kehormatannya dan dapat mengganggu kesetiaannya kepada Paduka. Oleh karena itu, hamba mohon pertimbangan dan kebijaksaan Paduka agar hamba diperkenankan pulang ke gedung Kakangmas Resi."
Pangeran itu mengerutkan alisnya.
"Lestari, apakah kau tidak cinta kepadaku?"
Ditanya demikian, tiba-tiba Lestari menjatuhkan diri menelungkup dan menyembunyikan mukanya di atas pangkuan pangeran itu sambil menangis.
"Aduh Pangeran......., tidak terasakah oleh Paduka betapa hamba telah menyerahkan seluruh jiwa raga hamba kepada Paduka semalam? Tidak terasakah oleh Paduka getaran cinta kasih hamba kepada Paduka? Hamba rela.... mati demi untuk Paduka yang hamba junjung tinggi, hamba puja-puja dan hamba cinta. Belum pernah hamba mencinta seorang pria seperti terhadap Paduka."
Pangeran itu tersenyum dan mengelus rambut halus di atas pangkuannya.
"Kalau begitu, mengapa engkau memperdulikan benar bagaimana Paman Resi akan tersinggung kalau kau tinggal di sini?"
Lestari bangkit duduk kembali dengan muka basah.
"Gusti, Paduka salah tampa! Hamba sama sekali bukan memikirkan kepentingan Sang Resi, melainkan kepentingan Paduka sendiri! Sang Resi adalah pembantu dan orang kepercayaan Paduka, kalau sampai terjadi rasa tidak enak, maka Padukalah yang menderita rugi. Andaikata dia bukan orang kepercayaan Paduka yang setia, ah, tentu saja hamba tidak sudi kembali ke sana, lebih baik mati hidup di sini bersama Paduka!"
Pangeran itu lalu mencium bibir yang pandai mengeluarkan kata-kata dengan lancar dan menyenangkan itu.
"Akan tetapi, cah ayu, kalau engkau kembali ke sana..... apakah kau tega membiarkan aku merindukanmu setiap hari?"
Lestari menggunakan ujung jari-jari tangannya mengusap dagu pangeran itu.
"Sudah hamba katakan tadi bahwa Sang Resi tidak lagi memperdulikan hamba, maka dia tentu tidak akan marah mendengar hamba.... eh, di sini bersama Paduka. Maka,biarpun hamba masih tinggal di sana, setiap waktu Paduka..... eh, rindu kepada hamba, apa sukarnya? Paduka tinggal menyuruh pengawal Paduka menjemput hamba,dan hamba akan datang berlarilari memenuhi panggilan Paduka dengan hati penuh kerinduan!"
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo