Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 31


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



"Benarkah begitu? Paman Resi tidak akan berkeberatan?"

   "Hamba tanggung, Gusti. Dia memang sudah tidak membutuhkan hamba lagi, dan kiranya dia akan merasa senang sekali kalau hamba melayani Paduka yang juga menjadi junjungannya. Percayalah kepada hamba."

   Sang Pangeran merasa girang sekali dan dia lalu menyuruh Ki Warak Jinggo untuk mengawal Lestari pulang ke gedung Resi Mahapati, mempergunakan keretanya sendiri Sama sekali Sang Pangeran tidak tahu betapa setibanya di rumah, Resi Mahapati memuji-muji kepandaian Lestari dan dia menuntut agar Lestari menceritakan semua pengalaman selirnya itu ketika melayani Sang Pangeran!

   Lestari adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Dia bukan hanya berhasil menundukkan hati pangeran, bahkan dengan siasatnya jinak-jinak merpati dia telah benar-benar membuat hati Sang Pangeran tergila-gila. Dia tahu bahwa kalau mau tinggal di istana, lebih banyak lagi harapannya untuk mempermainkan pangeran dan mencari kedudukan yang lebih baik. Akan tetapi dia tahu bahwa Sang Pangeran masih amat muda, dan kalau dia berada di situ, berarti dia terlalu banyak memberi kesempatan kepada Sang Pangeran untuk bercinta dengannya. Hal ini terdapat bahayanya, yaitu bahaya kebosanan. Sebaliknya, kalau dia tetap tinggal di gedung Resi Mahapati, berarti bahwa tidaklah semudah itu Sang Pangeran memuaskan hasrat hatinya sehingga Sang Pangeran akan selalu kehausan. Makanan yang diberi sedikit-sedikit akan selalu terasa enak dan lezat, akan tetapi kalau diberikan terlalu banyak dapat membosankan, demikian pendapat Lestari. Selain itu, dia juga belum mau kehilangan pengaruh dan kekuasaan Sang Resi yang dapat diboncengnya.

   Kini, ketika Sang Resi menuntut kepadanya agar dia menceritakan semua pengalamannya ketika dia melayani Sang Pangeran, Lestari bersungut-sungut dan merangkul leher resi tua yang masih kuat itu.

   "Aahhh, kalau tidak demi Paduka, mana saya sudi melakukannya?"

   Dan dia pun menangis!

   Memang Lestari berbakat sekali untuk bermain sandiwara. Air matanya dapat dipanggilnya secara tiba-tiba.

   "Hushhh, kenapa menangis? Aku tahu bahwa engkau telah melakukan semua itu demi untukku, manis, dan aku berterima kasih sekali. Sudah, jangan menangis dan ceritakan bagaimana engkau melayani dia."

   "Ahh, kalau tidak ingat betapa saya dapat tugas melaksanakan perintah Paduka, tentu saya sudah menangis karena merasa tersiksa sekali di depan beliau, Kakangmas."

   "Ehh? Kenapakah? Apakah dia berlaku kasar? Apakah dia kejam terhadapmu?"

   "Sama sekali tidak! Sebaliknya malah. Kalau dia kasar, setidaknya saya tidak akan begitu menderita. Akan tetapi, sangat lemah. Beliau seorang pemuda yang masih hijau dan ingusan dibandingkan dengan Paduka yang kuat dan berpengalaman. Ah, saya kecewa sekali....."

   Tentu saja hati Sang Resi menjadi bangga dan senang.

   Demikianlah, dengan pandainya Lestari dapat mengambil hati kedua pihak. Di depan pangeran, dia mengatakan bahwa Resi Mahapati adalah seorang kakek yang sudah mati gairahnya,sebaliknya di depan Sang Resi dia mengatakan bahwa Sang Pangeran adalah seorang pemuda hijau yang masih ingusan dan mengecewakan! Di depan Sang Resi dia memmuji kakek ini, di depan Sang angeran di memuji-muji pemuda itu. Dan itulah kelemahan setiap orang pria! Kalau seorang pria sudah dipuji-puji oleh wanita kekasihnya bahwa dia adalah seorang yang kuat dan memuaskan, kepala pria itu menjadi sebesar gentong kosong dan apa pun yang dikehendaki oleh kekasihnya itu pasti akan ditaati! Hanya wanita bodoh sajalah yang mencela "kejantanan"

   Kekasihnya atau suaminya! Kalau setiap orang wanita mengidamkan pujian kecantikannya dan "awet mudanya", maka sebaliknya setiap orang pria mengidamkan pujian tentang "kejantanannya"

   Mulailah Lestari menanam bibit kekuasaannya melalui diri Sang Pangeran, makin mendekati tujuannya yang terakhir, yaitu kekuasaan di kerajaan Mojopahit!

   Pada keesokan harinya, Sang Pangeran yang sudah tergila-gila kepada Lestari itu sengaja mengunjungi Resi Mahapati untuk melihat keadaan. Begitu bertemu, Sang Resi menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan kehormatan sehingga legalah hati Sang Pangeran. Dan ketiak mereka berdua saja tanpa ada orang lain, Sang Resi berkata lirih.

   "Hamba girang sekali mendengar laporan Lestari bahwa Paduka telah berjumpa dengan dia dan bahwa Paduka berkenan memberi kehormatan kepadanya untuk menghibur hati Paduka."

   Betapa pun halusnya ucapan itu, wajah Sang Pangeran menjadi merah juga. Akan tetapi hatinya girang mendengar ucapa yang sama sekali tidak mengandung kemarahan itu, maka dia menjawab.

   "Sesungguhnyalah, hati saya yang amat tertarik oleh Lestari, Paman. Saya akan merasa berterima kasih sekali kalau Paman suka merelakan dia untuk kadang-kadang ke istana saya untuk....eh, melayani saya....."

   Sang Resi membungkuk-bungkuk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.

   "Tentu......, tentu sekali, dengan segala kerendahan dan kerelaan hati, Gusti. Sebetulnya....... hem, Lestari itu adalah sudah seperti...... anak hamba sendiri. Kapan saja Paduka membutuhkan, dia boleh pergi menghadap Paduka dan hamba akan merasa terhormat sekali."

   Tentu saja Sang Pangeran merasa girang dan menganggap bahwa resi itu benar-benar amat setia kepadanya! Dan memang inilah yang dikehendaki oleh resi itu. Dia harus dapat memikat hati pangeran pati, calon raja ini, karena hanya melalui pangeran inilah jalan satu-satunya baginya untuk mencapai kedudukan tertinggi!

   Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana jatuh sakit! Memang beberapa tahun ini kesehatan Sang Prabu terus-menerus terganggu dan keadaannya lemah sekali. Semenjak pemberontakan yang dilakukan oleh Adipati Ronggo Lawe, maka Sang Prabu terus-menerus mengalami tekanan batin secara bertubi-tubi dalam beberapa tahun ini.

   Mula-mula pemberontakan Ronggo Lawe, disusul matinya Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang, lalu dilanjutkan dengan pemberontakan Lembu Sora, Juru Demung, Gajah Biru dan banyak para senopatinya dahulu terkenal gagah dan setia. Hal ini membuat hati Sang Prabu menjadi tertekan dan prihatin. Semua itu ditambah lagi dengan kenyataan betapa dalam keluarganya sendiri terjadi perpecahan yang biarpun dilakukan secara diam-diam namun makin menghebat saja. Perpecahan antara para isterinya dan kedua pihak tentu saja menarik para pengikut masing-masing sehingga diam-diam terjadi pula perpecahan antara ponggawa dan senopati. Hal ini membuat Sang Prabu merasa prihatin sekali kesehatannya makin lama makin mundur.

   Setelah Sang Prabu jatuh sakit, kemelut di Mojopahit makin terasa. Kini persaingan dan permusuhan itu behkan mulai nampak secara terang-terangan. Kadang-kadang terjadi bentrok secara tebuka antara pengikut golongan Sri Indreswari, yaitu Dyah Dara Petak ibu Pangeran Pati Kolo Gemet di satu fihak dan pengikut golongan para isteri Sang Prabu dari keturunan Sang Prabu Kertanegara di lain Fihak. Bahkan kedua fihak sudah menyebar mata-mata untuk saling menyelidiki kelemahan dan kalau mungkin kesalahan masing-masing.

   Sementara itu, Sang Pangeran sendiri makin dalam tenggelam ke dalam pelukan dan rayuan Lestari yang telah menjadi kekasihnya hampir satu tahun lamanya. Wanita itu pandai sekali merayu.

   "jual mahal"

   Sehingga ada kalanya sampai beberapa minggu dia tidak melayani panggilan Sang Pangeran dengan bermacam-macam alasan sakit dan sebagainya, padahal semua itu dilakukan dengan sengaja untuk membuat Sang Pangeran menjadi semakin terbakar! Bau yang busuk sukar sekali untuk ditutup-tutupi, seperti juga keharuman tentu akan semerbak sampai jauh. Perbuatan buruk mau pun baik, lambat laun tentu akan ketahuan orang juga, betapapun hendak ditutup-tutupi oleh yang melakukannya.

   Demikian pula hubungan antara pangeran dan selir Resi Mahapati, lambat laun diketahui orang dan bukan merupakan rahasia lagi. Berita itu terdengar sampai di telinga Sri Indreswari, ibu dari Pangeran pati itu. Segera Sang Ibu memanggil puteranya dan memberinya nasihat.

   "Puteraku, ingatlah akan kedudukanmu sebagai seorang Pangeran Mahkota, sebagai calon raja! Mengapa engkau menyeret nama baikmu serendah itu? Kalau engkau ingin dihibur seorang atau lebih banyak lagi wanita, apa sukarnya bagimu untuk mencari wanita-wanita yang muda lagi cantik jelita? Mengapa harus selir Sang Resi yang kaupilih? Sang Resi Mahapati adalah seorang di antara mereka yang setia kepada kita!"

   Pangeran itu mengerutkan alisnya. Bagaikan seorang panghisap madat, dia sudah kecanduan terhadap rayuan maut Lestari sehingga tak mungkin dia dilepaskan dari kesenangan itu.

   "Akan tetapi, Kanjeng Ibu. Paman Resi sendiri sudah merelakan Lestari kepada saya."

   Betapapun sangat Sang Puteri membujuk puteranya, namun sia-sia belaka. Maka setelah mereka sampai berbantahan, akhirnya Sang Puteri berkata.

   "Puteraku, engkau bukan anak-anak lagi, tentu sudah dapat berpikir sampai matang akan semua persoalan dan dapat mawas diri, dapat mengerti keadaan yang gawat dalam di kerajaan kita. Tidakkah engkau tahu betapa fihak sana sedang mati-matian berusaha untuk mencari-cari kesalahanmu? Bukankah kita harus menjaga agar kedudukanmu jangan sampai terguncang?"

   "Ah, Ibu mengapa terlalu mengkhawatirkan yang bukan-bukan? Kanjeng Rama Prabu sudah mengangkat saya menjadi Pangeran Pati. Sudah jelas diterima oleh semua menteri dan ponggawa bahwa saya yang kelak akan menggantikan beliau. Selain itu, juga Kolonadah telah berada di tangan kita, maka apalagi yang perlu kita khawatirkan?"

   Ibunya menarik napas panjang.

   "Itulah, puteraku yang selalu mendatangkan was-was di dalam hati Ibumu ini. Baru saja yang mendengar pelaporan seorang petugas yang kuutus menyelidiki ke Lumajang sebelum Sang Resi Mahapati menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada kita, dan tahukah engkau apa yang dilakukannya?"

   Pangeran itu memandang ibunya dengan mata penuh pertanyaan.

   "Laporan apakah mengenai keris pusaka ini, Kanjeng Ibu?"

   Tangan kiri pangeran itu meraba keris di pinggangnya.

   "Bahwa keris pusaka Kolonadah masih dicari-cari oleh kadipaten Lumajang, bahwa mungkin saja keris yang didapatkan oleh Resi Mahapati itu adalah keris pusaka yang palsu."

   "Palsu....?"

   Sang Pangeran mencabut kerisnya dan mengamatinya dengan penuh perhatian.

   "Kemungkinan besar begitu, dan engkau harus menanyakan hal ini sebenar-benarnya kepada Sang Resi. Kalau benar demikian, kita harus berusaha mendapatkan yang asli, agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang Lumajang. Nah, kau lihat, betapa banyak dan pentingnya persoalan yang kita hadapi dan sekarang Kanjeng Ramamu sedang menderita sakit agak parah, bagaimana engkau hanya bersenang-senang dengan selir orang saja dan menjadi buah tertawaan para kawula?"

   Dengan mengacung keris pusaka Kolonadah yang selama ini dianggapnya asli itu, Sang Pangeran berkata menantang.

   "Siapa berani menertawakan saya dan Lestari? Akan dihirup darahnya oleh Kolonadah!"

   "Pangeran!!"

   "Maaf, Kanjeng Ibu. Tentang keris ini, saya tidak percaya bahwa ini adalah pusaka yang palsu. Pusaka ini amat ampuh dan mempunyi wibawa yang kuat sehingga tidak ada sebuahpun pusaka lain di kerajaan yang mampu menandingi getarannya yang amat kuat. Dan andaikata benar bahwa ada lagi yang aslinya, sebelum yang asli didapatkan orang, inilah yang asli, Ibu! Betapapun juga, sewaktu-waktu saya akan menanyakannya kepada Paman Resi."

   Demikianlah, dengan hati berduka Dyah Dara Petak atau Sri Indreswari, isteri Sang Prabu yang berasal dari tanah Melayu ini segera menghubungi dua orang pengawal pribadinya. Dia mengambil keputusan bahwa selir resi itu, yang mempermainkan puteranya dan membuat puteranya tergila-gila, harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini! Puteranya terlalu penting untuk merendahkan diri sedemikian rupa bersama seorang wanita yang menjadi selir Resi Mahapati itu!

   Jalan satu-satunya hanyalah melenyapkan wanita itu! Akan tetapi dia tidak mau pula menghadapi resiko bahwa perbuatan itu akan membuat puteranya merasa sakit hati, atau membuat Resi Mahapati tidak senang hatinya. Oleh karena itu, dia memesan kepada dua orang pengawal pribadinya itu, yang amat setia dan yang mengawalnya semenjak dia dahulu dibawa dari tanah Malayu oleh senopati Kebo Anabrang ke Mojopahit, agar pelaksanaan itu diserahkan kepada segerombolan orang yang biasa bekerja sebagai penjahat-penjahat di laur kota raja. Dengan demikian maka tidak akan ada yang menyangka bahwa dialah yang bersembunyi di balik layar usaha pembunuhan itu.

   Tentu saja dua orang pengawal ini melakukan tugas yang diperintahkan itu sebaik-baiknya. Mereka telah menyebar mata-mata untuk menyelidiki Sang Pangeran dan Lestari sehingga mereka dapat mengetahui semua setiap panggilan yang dilakukan oleh Sang Pangeran, dan bagaimana caranya wanita itu datang memenuhi panggilan. Segala persiapan untuk melaksanakan tugas itu telah diatur sebaik-baiknya dan dua belas orang jagoan yang biasanya berkeliaran di dalam hutan-hutan di sebelah barat tapal batas Mojopahit, orang-orang kasar yang tidak tahu menahu tentang urusan kerajaan, hanya melakukan apa saja kalau diberi hadiah besar, telah siap untuk melakukan penghadangan dan pembunuhan atas diri Lestari.

   "Ha-ha-ha! Untuk membunuh seorang perempuan muda dibutuhkan tenaga kami dua belas orang?"

   Suro Bargolo berkata sambil tertawa bergelak ketika mendengar permintaan seorang utusan dua pengawal Sri Indreswari. Utusan ini tentu saja sama sekali tidak tahu akan urusannya, hanya menerima perintah saja dari atasannya dan dalam jaman sekalut itu, perintah membunuh orang, siapa saja, tidak menimbulkan keheranan dan harus dilaksanakan tanpa banyak bertanya! Suro bargolo adalah seorang warak yang memiliki kepandaian dan kekuatan luar biasa, disegani oleh semua orang. Dia bersama sebelas orang anak buahnya, merupakan dua belas orang yang dianggap sebagai raja-raja dalam hutan-hutan itu.

   Baru melihat bentuk tubuh dan wajah saja, orang sudah merasa gentar terhadap warok ini. Suro Bargolo berusia empat puluhan tahun, pakaiannya sederhana, serba hitam, dengan celana sebatas betis, baju sederhana dan ikat pinggang yang amat besar dari lawe merah. Di pinggangnya selalu terselip sebatang golok yang amat tajam mengkilap. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, otot-ototnya menonjol di lengan, leher dan dadanya terbuka, dada yang dihias bulu lebat. Mukanya berkulit hitam kasar, matanya lebar dan mulutnya selalu menyeringai lebar dan sikapnya memandang rendah kepada siapapun juga!

   "Suro Bargolo,"

   Kata utusan itu yang sudah mengenal kepala jagoan ini.

   "Pekerjaan itu tidaklah semudah yang kau kira. Perempuan muda yang harus dibunuh itu, pada besok pagi-pagi akan lewat dalam kereta di jalan raya dalam kota raja. Dan jangan kira bahwa dia tidak akan dikawal! Sedikitnya tentu ada seorang atau dua orang pengawal yang berkepandaian tinggi. Nah, apakah kau sanggup?"

   "Ha-ha-ha, sanggup atau tidak tergantung dari imbalan pekerjaan itu!"

   Tanpa banyak cakap, utusan itu membuka sebuah buntalan yang terisi emas dan perak berkilauan! Sepasang mata Suro bargolo terbelalak dan teman-temannya juga mengilar ketika melihat harta sebanyak itu. Mereka akan dapat minum arak, makan segala yang mahal-mahal, dan bermain perempuan sepuas-puasnya sampai beberapa hari lamanya kalau harta itu dibagi-bagi untuk mereka!

   "Ha, kalau begitu boleh!"

   Kata Suro Bargolo sambil mengulur tangan meraih ke arah buntalan itu. Utusan itu memegang tangannya dan berkata dengan suara tegas.

   "Suro Bargolo, engkau sudah mengenal siapa aku! Aku mewakili pengawal-pengawal dari kerajaan! Maka kalau sampai engkau dan teman-temanmu melanggar janji dan tidak sampai berhasil, tentu tempat ini akan diobrak-abrik oleh pasukan-pasukan kerajaan dan mereka tidak akan berhenti sebelum dapat menggantung kalian dua belas orang sampai mampus!"

   "Ha-ha-ha! Kapankah Suro Bargolo melanggar janji? Pasti beres! Sekarang ceritakan semua penjelasannya."

   Utusan itu lalu menceritakan semua, betapa wanita yang akan dijadikan korban itu pada saat tertentu akan melalui jalan ini, kemudian melalui jalan itu menuju ke arah istana pangeran.

   "Nah, di tempat yang sunyi di sini, kalian dapat turun tangan,"

   Akhirnya dia berkata.

   Suro Bargolo memeluk buntalan emas dan perak itu, didekapnya di dadanya yang lebar.

   "Baik, cukup jelas. Jangan khawatir, semua akan beres. Akan tetapi sebuah pertanyaan lagi."

   "Tanyalah!"

   "Perempuan muda itu.... heh-heh, bolehkah kalau sebelum kubunuh, kubawa dulu ke dalam hutan? Ha-ha, tahu sendiri kawan, dia merupakan hadiah tambahan bagi kita yang kesepian!"

   "Ha-ha-ha!"

   Semua anak buah Suro Bargolo tertawa-tawa dan saling siku. Utusan itu mengerutkan alisnya dan bangkit berdiri berkata tak acuh.

   "Sesuka kamulah, pokoknya, wanita itu harus mati, kalau sampai gagal, tahu sendiri!"

   Dia lalu pergi meninggalkan dua belas orang kasar itu sambil meludah. Memang pada hari itu Lestari menerima panggilan Sang Pangeran dan mereka sudah berjanji bahwa besok pagi-pagi sekali Lestari akan naik kereta menuju ke istana pangeran seperti biasa. Karena kini mulai terdengar desas-desus tentang hubungan mereka, maka semalam Lestari sudah berunding dengan Resi Mahapati bahwa dia akan minta "ditarik"

   Ke dalam istana pangeran. Waktu bagi Sang Pangeran untuk naik tahta sudah semakin dekat, dan dia harus sudah "siap-siap"

   Di samping pangeran itu kalau Sang Pangeran naik tahta menjadi raja sehingga dia akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi Sang Pangeran agar memberi kedudukan setinggi-tingginya kepada Sang Resi.

   Pagi-pagi sekali, Lestari sudah berdandan sebaik-baiknya, berkemas sehingga rambutnya yang hitam halus dan panjang itu mengkilap karena bersihnya, berbau harum karena sari bunga, dan dia mandi mandi air mawar sehingga kulitnya menjadi makin halus dan berbau harum pula. Melihat ini, Resi Mahapati hampir saja tidak kuat bertahan dan dia sudah memeluk selirnya dan membelainya. Lestari cemberut dan menolak tubuh resi itu sambil berkata.

   "Ingat, saya akan berangkat menemui pangeran, apakah Paduka ingin agar saya mengecewakan Beliau? Kelak masih banyak waktu bagi kita untuk bersenang-senang, Kakangmas Resi."

   Resi Mahapati sadar dan dia menjauh.

   "Sudah banyak orang membicarakan hubunganmu dengan Sang Pangeran,"

   Katanya sambil memandang jauh ke luar jendela kamar itu.

   "Bahkan sudah ada yang secara halus menyindir-nyindir aku. Maka memang sebaiknya kalau engkau tinggal di sana. Dan pagi ini lebih baik tirai keretamu kaututup saja, tidak perlu kelihatan ada pengawal. Kusirnya saja biar diganti oleh seorang pengawal yang dapat dipercaya, untuk menjaga keselamatanmu."

   "Baiklah, Kakangmas, terserah kepada Paduka. Lagi pula, di kota raja ini, siapa sih yang akan mengganggu saya? Mereka mengenal saya sebagai selir Paduka, hal itu saja sudah membuat orang merasa gentar untuk mengganggu saya apalagi kalau diketahui bahwa saya....."

   Lestari tidak melanjutkan.

   Resi Mahapati mengangguk-angguk.

   "Semua orang tahu engkau kekasih Gusti Pangeran, siapa berani mengganggumu? Kau benar, biarlah Darumuko saja yang menggantikan kusir kereta dan mengawalmu!"

   Darumuko segera dipanggil menghadap. Perwira setia yang sejak dahulu membantu Resi Mahapati ini merasa girang ketika ditugaskan untuk menggantikan kusir kereta dan mengantarkan Lestari ke istana pangeran. Dari para kusir dia memperoleh keterangan bahwa setiap kali kusir mengantar Lestari ke istana pangeran, tentu mereka dan para pengawal memperoleh hadiah yang cukup banyak dari Sang Pangeran. Dan kini, dia harus mengantar, menjadi kusir sekaligus menjadi pengawal. Dia sudah membayangkan betapa banyaknya hadiah yang akan diterimanya. Semua hadiah akan diborongnya! Bibirnya yang tebal sudah menjilat-jilat lidahnya sendiri, matanya yang liar makin kocak dan mukanya yang bulat itu berseri-seri. Setelah kereta disiapkan di depan gedung, Lestari memasuki kereta dan berangkatlah kereta itu, ditarik oleh dua ekor kuda, diikuti pandang mata Resi Mahapati yang mengepal-ngepal tinjunya. Pengorbanan yang dilakukannya amat besar.

   Dia merelakan selirnya yang amat dicintainya itu menjadi permainan Sang Pangeran. Kadang-kadang dia merasa cemburu dan panas hatinya, akan tetapi semua ini dapat ditekan dengan bayangan kedudukan tinggi yang akan diperolehnya sebagai hasil pengorbanan selirnya itu. Diam-diam dia merasa "kasihan"

   Kepada Lestari yang harus "menderita"

   Dalam pelukan pangeran yang masih ingusan itu!

   Memenuhi pesan Resi Mahapati, Darumuko menjalankan kereta itu lambat-lambat saja agar tidak menarik perhatian orang, dan tirai di jendela dan pintu kereta ditutup rapat-rapat agar Lestari tidak nampak dari luar. Ketika kereta meluncur melalui jalan sunyi di sebuah tikungan, dari depan nampak sepasukan perajurit yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seragam. Seorang di antara mereka mengangkat tangan ke atas memberi tanda kepada Darumuko agar kereta dihentikan.

   "Siapa kalian? Ada apa?"

   Darumuko menegur sambil menahan kendali kudanya. Orang tinggi besar yang memimpin pasukan perajurit itu tidak menjawab, melainkan dengan sigapnya meloncat dan telah duduk di sebelah Darumuko, di atas bangku depan.

   "Kami adalah pasukan pengawal Gusti Pangeran, diutus untuk menjemput. Gusti Pangeran menanti di luar kota."

   Tanpa menanti jawaban lagi, laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bukan lain adalah Suro Bargolo ini merampas kendali dan mecambuk kuda, membelokkan kereta ke kiri, diikuti oleh sebelas orang anak buahnya yang mengiringkan kereta dengan naik kuda. Tentu saja semua ini sudah diatur oleh utusan Sri Indreswari yang menyediakan kuda dan pakaian pengawal untuk mereka.

   Darumuko merasa bingung, akan tetapi menghadapi para pengawal pangeran, tentu saja dia tidak berani banyak membantah, sungguhpun diam-diam dia merasa penasaran mengapa pengawal-pengawal pangeran bersikap begini kasar-kasar terhadapnya. Akan tetapi segera dia teringat bahwa pada saat itu dia bertugas sebagai kusir, maka tentu saja kerbau-kerbau ini menganggap dia sebagai kusir biasa, bukan seorang perwira pengawal jagoan dan kepercayan Resi Mahapati!

   Para penjaga pintu gerbang barat juga tidak mengganggu ketika mereka melihat pasukan yang berpakaian sebagai pengawal-pengawal pangeran itu melarikan kereta bersama Darumuko yang dikenalnya. Kereta dilarikan kencang dan ketika kereta memasuki sebuah hutan, dari dalam kereta terdengar bentakan Lestari.

   "Heii, bagaimana ini? Ke mana kereta ini dibawa?"

   Darumuko juga menoleh ke kiri dengan pandang mata penuh pertanyaan.

   "Apakah artinya ini? Di mana Kanjeng Gusti Pangeran?"

   Mendengar pertanyaan Darumuko ini, Lestari menjadi makin terkejut. Dibukanya tirai jendela dan melihat bahwa mereka telah berada di dalam hutan, ia berseru.

   "Eh, aku dibawa ke mana?"

   "Ha-ha-ha, mungkin ke sorga, mungkin juga ke neraka, manis!"

   Kata Suro Bargolo sambil tertawa bergelak dan meloncat turun dari atas bangku depan kereta setelah kereta itu dihentikan. Juga sebelas orang temannya sudah meloncat turun dari atas kuda masing-masing sambil tertawa-tawa. Darumuko terkejut bukan main. Cepat dia bangkit berdiri dan membentak dengan suara nyaring.

   "Kalian bukan pasukan Kanjeng Gusti Pangeran!"

   "Ha-ha-ha,baru sekarang kau mengetahuinya? Terlambat, kawan, terlambat!"

   Suro Bargolo tertawa sambil memelintir kumis yang tebal.

   "Heiii, kalian jangan main-main! Apakah kalian tidak tahu siapa aku?"

   Darumuko membentak pula dengan marah, matanya yang lebar itu melotot.

   "Ha-ha-ha, engkau kusir berbau tahi kuda!"

   Jawab seorang anak buah Suro Bargolo sehingga kembali mereka tertawa-tawa geli, menudingkan telunjuknya ke arah mua Darumuko yang memang kelihatan lucu pada saat itu. Darumuko merasa heran, kaget,khawatir dan marah menjadi satu.

   "Hu-hu-huh, lihat, bibirnya sudah berubah menjadi bibir kuda!"

   "Matanya seperti mata monyet ketakutan!"

   "Eh, lihat lututnya sudah menggigil!"

   Ejekan-ejekan ini membikin Darumuko menjadi marah. Dengan sigap dia meloncat turun dari atas kereta dan berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, lalu menggunakan tangannya untuk menumbuk-numbuk dadanya sendiri.

   "Buk-buk-buk! Kalian tidak tahu siapa aku, ya? Akulah Darumuko, jagoan tanpa tanding, pengawal kepercayaan Sang Resi Mahapati! Kalian tidak tahu sudah beberapa ratus orang yang telah roboh menjadi korban pukulan dan keris pusakaku? Hayo cepat kalian berlutut minta ampun sebelum aku menghancurkan kepala kalian semua!"

   Akan tetapi orang-orang itu hanya tertawa-tawa, agaknya sikap dan lagak Darumuko itu nampak amat lucu bagi mereka, seolah-olah mereka melihat seorang pelawak sedang beraksi di atas panggung.

   "Eh, kalian masih nekat? Tahukah, kalian siapa Sang Resi Mahapati? Beliau adalah tangan kanan Sang Pangeran, dia adalah kepercayaan Sang Prabu!"

   Kini Suro Bargolo tertawa bergelak dan melangkah maju menghadapi perwira itu.

   "Ha-ha-ha, tidak perlu engkau menggunakan nama Sang Prabu atau Sang Pangeran, juga Sang Resi Mahapati untuk menakut-nakuti kami, kerbau dungu! Aku Suro Bargolo tidak takut kepada siapapun juga!"

   Darumuko dalah seorang yang biasa bertindak keras, biasa ditakuti orang lain, biasa ditaati perintahnya oleh orang-orang bawahannya, maka dia menjadi makin marah.

   "Babo-babo, keparat! Kau sudah bosan hidup kiranya!"

   Bentaknya dan dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju, menghantam ke arah dada yang telanjang, bidang dan di tumbuhi rambut itu dengan sekuat tenaganya. Darumuko adalah seorang perwira yang sudah banyak mengalami pertempuran, dan sedikitnya di telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tenaga yang terlatih. Maka dalam hantamannya terkandung kekuatan yang cukup berbahaya dan dia sudah memastikan bahwa seperti biasa, pukulannya tentu akan meremukkan tulang-tulang iga orang yang dihantamnya. Akan tetapi, sambil menyeringai, Suro Bargolo sama sekali tidak mengelak dan menerima pukulan itu dengan dada dibusungkan.

   "Bukkk....!"

   Hantaman itu dengan kerasnya melanda dada Suro Bargolo dan akibatnya keduanya terkejut setengah mati.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suro Bargolo yang tadinya mengira bahwa Darumuko hanyalah seorang kusir biasa saja, terkejut ketika merasa betapa pukulan itu cukup antep dan membuat dia sampai terhuyung ke belakang. Di lain pihak, Darumuko yang sudah merasa yakin akan meremukkan tulang dada orang tinggi besar itu, menyeringai ketika pukulan itu membuat tangannya terasa panas dan sakit-sakit karena dada orang itu amat keras seperti baja!

   "Uhhh........keparat!"

   Suro Bargolo memaki.

   "Hemm, aku agaknya kuat juga, ya? Nah, makanlah pusakaku ini!"

   Darumuko sudah melolos kerisnya, akan tetapi Suro Bargolo juga sudah mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Ketika Darumuko menerjang ke depan, Suro Bargolo juga menubruk dan mengayun goloknya.

   "Cring...... tranggg....!!"

   Bunga api berpijar dan keduanya meloncat ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing yang tergetar hebat oleh pertemuan tadi. Ternyata senjata mereka tidak rusak dan keduanya lalu saling menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang amat seru, dan mulailah Darumuko merasa gelisah. Kiranya lawannya ini amat tangguh. Baru seorang ini saja sudah sukar dikalahkan, apalagi kalau lainnya maju. Akan tetapi, para anak buah Suro Bargolo tidak ada yang maju. Kalau tidak ada aba-aba dari pemimpin mereka,mereka tidak berani maju dan kini mereka hanya menonton sambil tertawa-tawa.

   "Mampuslah!"

   Darumuko berteriak dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, didahului kerisnya yang menyerang dengan dahsyat. Sesungguhnya demikian dahsyat dan gerakan- nya cukup cepat sehingga mengejutkan Suro Bargolo. Kepala gerombolan penyamun ini terkejut, menangkis dengan goloknya, akan tetapi terjangan hebat itu membuat dia terjengkang dan roboh. Kesmpatan ini dipergunakan oleh Darumuko untuk menubruk ke depan dengan keris ditusukkan.

   "Wuuuuttt.... desss..... aughhh....!!"

   Tubuh Darumuko terpelanting, kerisnya mencelat dan dia roboh dengan kepala pecah kena disambar senjata kolor {ikat pinggang} dari lawe yang merupakan senjata ampuh dari Suro Bargolo itu. Ketika tadi dia terjengkang dan melihat lawan menubruknya, Suro Bargolo sudah memutar kolornya dan memapaki tubuh lawan dengan sabetan kolor yang tepat mengenai kepala lawan dan memecahkan kepala itu. Darumuko roboh dan tewas seketika.

   "Ha-ha-ha, anjing macam ini berani melawan Suro Bargolo!"

   Kepala gerombolan itu menyombong dan menyimpan goloknya, membereskan kolornya. Kemudian, diikuti oleh para anak buahnya, dia menghampiri kereta dengan penuh kegembiraan. Lestari sejak tadi mengintai dari dalam kereta dengan tubuh menggigil. Melihat sikap belasan orang kasar itu, dia merasa ngeri sekali dan tahulah dia telah dilarikan oleh gerombolan yang kasar dan ganas seperti sekelompok binatang buas.

   Maka, ketika melihat Darumuko melawan kepala gerombolan, dia merasa agak lega. Dia tahu bahwa Darumuko adalah orang kepercayaan Resi Mahapati yang telah memiliki kepandaian tinggi, maka dia mengharapkan Darumuko akan berhasil menundukkan dan mengusir mereka. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya dan gelisahnya ketika dia melihat Darumuko roboh dan tewas, sedangkan kini tiga belas orang itu sambil menyeringai lebar menghampiri kereta! Wanita lain dalam keadaan seperti itu tentu akan menangis atau mungkin bisa pingsan. Akan tetapi Lestari adalah seorang wanita yang amat cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat mepergunakan kecerdikannya, dia tentu akan celaka, akan mengalami nasib yang amat mengerikan, penghinaan yang lebih hebat daripada maut sendiri.

   Terperanjatlah Suro Bargolo dan anak buahnya ketika mereka menghampiri kereta tiba-tiba saja tirai pintu kereta itu terbuka dan muncul seorang wanita yang membuat mereka terbelalak penuh kagum. Bahkan mereka seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang berdiri di ambang pintu kereta itu, yang menghadap dan memandang mereka dengan sikap agung, dengan sinar mata penuh wibawa, dengan mulut yang tersenyum manis sekali.

   "Aduhai..... demi para dewata! Bidadarikah kiranya......?"

   Suro Bargolo berseru kagum setelah dia mampu mengeluarkan suara.

   "Bukan main cantiknya...."

   "Mau akan mampus sepuluh kali setelah mendapatkannya!"

   "Yang begini disuruh bunuh? Gila!"

   "Sayang donggg....!"

   Sejenak Lestari membiarkan orang-orang itu terpesona dan mengagumi wajahnya dan bentuk tubuhnya, kemudian dia menggerakkan tangan kanan ke atas dan berkata,suaranya amat halus dan merdu, akan tetapi juga mengandung bujukan di samping mengandung ancaman dan amat berwibawa pula,

   "Kisanak, hendaknya kalian ketahui bahwa aku adalah kekasih dari Gusti Pangeran. Oleh karena itu, harap kalian jangan menggangguku, karena kalau kalian melakukan hal itu, Gusti Pangeran tentu akan menjadi marah sekali dan akan mengirim pasukan yang kuat untuk menghukum kalian. Sebaliknya, kalau kalian suka mengantar aku kembali dengan selamat sampai ke istana Gusti Pangeran, kalian akan menerima hadiah yang amat besar."

   Lestari sengaja hendak mempergunakan nama Sang Pangeran untuk menakut-nakuti mereka. Akan tetapi yang dihadapinya adalah gerombolan orang-orang kasar yang tidak pernah merasa takut kepada siapapun juga selama mereka berada di dalam hutan yang menjadi tempat kekuasaan mereka itu. Sejenak mereka mendengarkan, akan tetapi kemudian mereka tertawa-tawa. Sikap mereka amat mengejutkan hati Lestari.

   "Aduh wong ayu....! Pantas saja seorang seperti Sang Pangeran pun tergila-gila kepadamu, karena memang engkau amat cantik jelita, amat manis, denok montok,menarik dan menggairahkan. Ha-ha-ha! Sekarang engkau telah berada di tengah-tengah kami, engkau harus menjadi milik Suro Bargolo, ha-ha-ha! Aduhh, sungguh beruntung sekali aku mendapatkan wanita seperti ini....!"

   "Eh, jangan lupakan kami, Kakang Suro!"

   "Benar, harus dibagi rata!"

   "Kita sehidup semati, kelaparan sama diderita, kenyang sama dinikmati!"

   "Ha-ha-ha, kalian tunggu saja, sampai aku puas dan bosan, ha-ha!"

   Suro Bargolo kini melangkah maju dengan kedua lengan dibentangkan sehingga bukan hanya bulu dadanya yang nampak melainkan juga bulu-bulu yang tebal di bawah ketiaknya.

   "Mari kupondong, manis, mari kita bersenang-senang!"

   Wajah Lestari menjadi pucat. Akan tetapi dia masih mencoba untuk mengancam.

   "Engkau bernama Suro Bargolo? Suro Bargolo, ingatlah bahwa aku adalah selir dari Resi Mahapati! Engkau tentu sudah tahu betapa saktinya Resi Mahapati, bukan? Dan suamiku mempunyai banyak pembantu, di antaranya adalah Resi Harimurti dan banyak orang-orang sakti lain. Kau bebaskan aku, kalau tidak engkau tentu akan menyesal kelak....!"

   "Ha-ha-ha, lihat dia itu!"

   Suro Bargolo menunjuk ke arah mayat Darumuko.

   "Dia menggertak dan mengancamku menggunakan nama Sang Prabu sendiri. Akan tetapi aku tidak takut. Mari, jangan kau banyak gertak, manis. Mari kaulayani aku, kemudian anak buahku. Ha-ha, kami semua sudah mengilar dan rindu kepadamu. Ha-ha-ha!"

   Kini Lestari benar-benar merasa takut dan kehabisan akal. Matanya terbelalak dan bulu tengkuknya meremang. Orang yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam itu makin mendekat dan dalam jarak dua meter saja dia sudah mencium bau keringatnya yang apek seperti bau kambing bendot. Hampir dia pingsan saking ngerinya. Lalu sambil menjerit, Lestari meloncat turun dari pintu kereta dan berusaha untuk lari.

   "Ha-ha-ha, lari ke mana?"

   "Heh-heh-heh!"

   "Ha-ha-ha!"

   Lestari terkejut sekali. Suara ketawa itu berada di mana-mana dan ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata dia telah dihadang oleh anak buah Suro Bargolo yang mengejarnya dari belakang.

   "Lepaskan aku....!"

   Dia menjerit dan hendak menerobos ke depan, akan tetapi sepasang tangan yang kuat menangkap kedua lengannya, lalu dia didorong lagi ke belakang.

   "Aduh, kulit lengannya halussss..... heh-heh!"

   Kata orang yang tadi memegangnya. Lestari terhuyung, hendak lari ke kiri, namun dia ditangkap dan dipeluk oleh seorang anak buah lain yang mencium kepalanya dan mendorongnya lagi ke belakang,ke arah Suro Bargolo yang menghampiri sambil tertawa-tawa.

   "Wah, rambutnya wangi seperti kembang setaman.....!"

   Kata yang mencium rambutnya tadi sambil tertawa dan menyedot-nyedot hidungnya.

   Lestari seperti seekor kelinci di antara segerombolan harimau, terhuyung ke kanan dan dia didekap lagi oleh seorang laki-laki lain, dekapan kasar yang mengerayangi tubuhnya dan hidung yang berkumis tebal telah mencium kulit lehernya, membuat dia menjerit dan hampir saja dia pingsan.

   (Lanjut ke Jilid 32)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 32

   Dia didorong dan kini tubuhnya terlempar ke belakang, diterima oleh kedua lengan yang amat kuat, lengan Suro Bargolo yang segera memondongnya!

   "Aduhh, kulitnya sedap seperti kayu cendana......!"

   Kata orang yang mencium lehernya tadi.

   "Ha-ha-ha, kawan-kawan. Kalian sabarlah, biar aku lebih dulu menikmatinya. Baru kalian boleh mendapatkannya. Aku tanggung semua kebagian kalau tidak keburu dia....eh, mati! Ha-ha-ha!"

   Suro Bargolo memondong tubuh yang meronta-ronta itu dan membawanya masuk ke dalam sebuah pondok terbuat dari kayu dan bambu yang berdiri tidak jauh dari situ. Baru sekali ini selama hidupnya Lestari mengalami rasa ngeri yang sedemikian hebatnya. Dulu pernah dia mengalami rasa takut ketika rumahnya dibakar oleh Progodigdoyo, ketika dia dilarikan orang itu, kemudian ketika dia hendak diperkosa. Akan tetapi rasa takutnya ketika itu tidaklah sengeri sekarang ini. Dia maklum akan nasibnya. Dia akan dipermainkan dan diperkosa oleh kepala berandal ini, kemudian akan diserahkan kapada anak buahnya dan akan dipaksa harus melayani mereka. Dia takut sekali, wajahnya pucat matanya terbelalak. Masih dicobanya untuk menggunakan akal.

   "Suro Bargolo..... kasihanilah aku.... aku akan menyerahkan diri kepadamu, aku akan melayanimu dengan senang.... akan tetapi untukmu sendiri saja.... biar aku menjadi milikmu selamanya, biar aku menjadi hambamu.... jangan berikan aku kepada mereka...."

   Akan tetapi Suro Bargolo tertawa dan mencium mulut itu sehingga tidak dapat bicara lagi. Setelah melepaskan ciumannya, Suro Bargolo berkata.

   "Apa? Ha-ha-ha,engkau tidak boleh hidup terus manis. Dan aku selamanya membagi-bagi apa pun juga dengan para anak buahku yang setia."

   Habislah harapan Lestari ketika dia dipondong masuk ke dalam pondok itu dan dilemparkan ke atas sebuah pembaringan kayu yang kasar. Sambil tertawa bergelak, Suro Bargolo menanggalkan bajunya lalu menubruk ke atas pembaringan.

   "Jangan....! Ah, jangan....!!"

   Lestari meronta dan mempertahankan diri. Akan tetapi Suro Bargolo seperti seekor harimau menerkam kelinci. Sekali renggut saja robeklah pakaian Lestari dan semua perlawanan Lestari sia-sia belaka. Pukulan dan cakaran kuku tangan wanita itu sama sekali tidak dirasakannya dan dia sudah menekan tubuh Lestari ke atas pembaringan sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Keparat lepaskan dia!"

   Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan nampak seorang laki-laki muda bertubuh tinggi kurus berada di dalam pondok itu, mendekati pembaringan. Akan tetapi, Suro Bargolo yang sudah dimabok nafsu berahi itu tidak mendengar bentakan ini. Lestari hampir tidak kuat mempertahankan diri lagi, maka melihat berkelebatnya orang dia menjerit.

   "Tolong... tolonglah saya.....!"

   "Keparat busuk!"

   Orang itu membentak lagi dan tangannya diayun.

   "Desss....!"

   Tamparan itu keras sekali, mengenai tengkuk Suro Bargolo dan raksasa ini mengeluh, tubuhnya terpelanting ke bawah pembaringan. Dia nanar sejenak. Suro Bargolo memiliki kekebalan yang amat hebat. Kalau hanya tusukan dan bacokan senjata tajam saja belum tentu akan dapat memecahkan kulit dagingnya! Karena itulah maka ketika tadi dia dipukul oleh Darumuko, dia tidak menangkis melainkan mengandalkan kekebalannya. Tamparan yang baru diterimanya dari pemuda tinggi kurus itu hebat bukan main, dan tepat mengenai tengkuknya, akan tetapi dia hanya terpelanting saja biapun menjadi nanar sebentar.

   Sambil terisak dan terbelalak, Lestari bangkit duduk di atas pembaringan, berlutut dan menyambar kainnya yang tersobek tadi, lalu menutupi tubuhnya yang telanjang. Dia makin ketakutan dan merasa ngeri ketika melihat betapa Suro Bargolo kini sudah bangkit berdiri sambil mengeluarkan gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh pondok.

   "Jahanam, siapa kau berani mengganggu kesenangan Suro Bargolo?"

   Bentak kepala penyamun itu sambil menyambar goloknya yang tadi diletakkannya di atas lantai ketika dia menggulat Lestari.

   Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi agak kurus, wajahnya muram seperti orang berduka, sikapnya tenang sekali dan pandang matanya tajam. Menghadapi sikap mengancam raksasa itu, dia menjawab tenang,"

   Tak peduli siapapun juga aku, namun perbuatanmu yang jahat itu layak dihukum seberat-beratnya!"

   "Babo-babo keparat! Nyawamu seperti rangkap saja maka bicaramu demikian sombong. Makan golok ini!"

   Suro Bargolo menerjang dengan sambaran goloknya yang mengeluarkan suara berdesing, mengarah leher pemuda itu.

   Lestari menutupi muka dengan kedua tangannya, ngeri melihat betapa leher itu tentu akan putus dan darahnya akan muncrat-muncrat. Akan tetapi dia mendengar perkelahian berlangsung terus maka dibukanya lagi kedua matanya dan biarpun kedua tangan masih menutupi muka, namun dia mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dia melihat hal yang amat luar biasa. Bayangan pemuda itu berkelebatan seperti berubah menjudi banyak, dan betapapun golok itu berdesing menyambar-nyambar, namun tidak pernah dapat menyentuhnya! Tiba-tiba pemuda itu berseru keras, kakinya menendang dan tepat mengenai perut Suro Bargolo.

   "Bukkk!!"

   Tandangan yang keras sekali dan tepat mengenai perut, akan tetapi akibatnya Suro Bargolo hanya terhuyung dan dia tertawa, terus menerjang lagi dengan hebatnya.

   Pemuda itu terbelalak kaget, maklum bahwa lawannya memiliki kekebalan yang amat kuat, maka dia pun cepat mengelak dan mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri dari serangan golok itu yang selain ganas juga amat kuat. Diam-diam pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatannya pada telapak tangan kanannya, dan ketika dia melihat kesempatan baik,begitu golok itu menyambar dengan bacokan maut dari atas ke bawah, dengan maksud untuk membelah tubuhnya menjadi dua dari atas ke bawah, dia cepat miringkan tubuhnya ke samping kiri. Begitu tangan yang memegang golok itu berdesing menyambar di samping kanan tubuhnya, dia memutar tumit kakinya dan tangan kanannya menghantam dengan seluruh tenaganya dari atas ke bawah, mengarah pergelangan tangan kanan lawan yang memegang golok.

   "Dessss...... ahhhh! Syuuuuttt..... desss!!"

   Tubuh pemuda itu terlempar ke balakang seperti sehelai daun kering tertiup angin. Sedangkan Suro Bargolo menyeringai dan tangan kanannya tergantung seperti lumpuh. Kiranya ketika pergelangan tangan kanannya dihantam, pergelangan tangannya seperti dihantam palu godam dari baja yang amat berat sehingga goloknya terlempar dan dia berteriak, akan tetapi berbareng pada saat itu, tangan kiri kepala perampok ini sudah mengayun kolornya, senjata mautnya itu menyambar dada pemuda itu, membuat tubuh pemuda itu terjengkang dan terlempar keluar dari pintu pondok itu!

   "Keparat...... jahanam....!"

   Suro Bargolo memaki-maki karena marahnya. Tangan kanannya seperti lumpuh dan dengan kemarahan meluap dia mengejar, melompat keluar dari pintu pondok dengan tangan kiri mengayun-ayun kolornya yang ampuh itu.

   Sementara itu, dua belas orang anak buah Suro Bargolo tadinya menyeringai dan terkekeh-kekeh mendengar hiruk-pikuk di dalam pondok itu. Mereka membayangkan betapa kepala mereka itu sedang menggumuli wanita cantik tadi dan mereka mengira bahwa Si Wanita tadi tentu melawan agaknya maka terjadi pergumulan yang hiruk-pikuk.

   Mereka membayangkan segala penglihatan cabul yang membuat mereka terkekeh-kekeh dan mengeluarkan ucapan-ucapan kotor pula. Maka, dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati mereka ketika mereka melihat tubuh seorang pemuda tinggi kurus yang terlempar dari dalam pondok, terbanting ke atas tanah dan berguling-guling,kemudian disusul meloncatnya Suro Bargolo yang memutar-mutar kolornya dengan muka marah sekali!

   Ketika pemuda itu kena dihantam kolor, Lestari yang melihat pertempuran itu dengan menahan napas, mengeluarkan jerit ngeri. Dia mengira bahwa pemuda yang menolongnya itu tentu tewas pula seperti yang terjadi pada diri Darumuko,apalagi melihat pemuda itu terlempar keluar pondok dan dikejar oleh Suro Bargolo yang menyeramkan itu. Biarpun kedua kakinya menggigil dan napasnya sesak saking ngeri dan gelisahnya, Lestari memaksa dirinya turun dari pembaringan dan mengintai dari balik pintu, selain untuk melihat apa jadinya dengan pemuda itu,juga untuk mencari kesempatan melarikan diri selagi Suro Bargolo mengejar Si Pemuda yang terlempar keluar.

   Akan tetapi, tidak seperti yang dikhawatirkan oleh Lestari, biarpun dia telah terkena pukulan kolor yang ampuh itu dan sudah terlempar keluar, terbanting dan jatuh bergulingan, pemuda itu ternyata masih dapat melompat bangun lagi dengan sigapnya! Hanya mukanya yang muram itu kini berubah agak pucat, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar maut! Sesungguhnya, tingkat kepandaian pemuda ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Suro Bargolo yang kasar. Pemuda itu memiliki dasar ilmu pembelaan diri yang amat kuat, baik dan teratur. Hanya karena dia tidak mengira bahwa lawannya memiliki senjata kolor yang demikian ampuhnya, maka dia menjadi lengah dan terpukul senjata kolor yang merupakan senjata mujijat para warok, senjata yang bukan sembaranga karena senjata itu telah ditapai, di manterai, dan mengandung jimat-jimat yang mujijat!

   Betapapun juga, pemuda itu memang hebat. Lain orang, terkena hantaman simpul di ujung kolor pada dadanya seperti itu, tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi pemuda itu hanya terlempar saja dan merasa betapa dadanya ampek dan agak nyeri, namun dengan mengerahkan tenaga dari pusar dan menghirup hawa murni, dia dapat memulihkan lagi kekuatannya dan begitu lawannya amat marah itu menerjang dengan kolornya diayun mengarah kepalanya, pemuda yang juga marah itu sudah waspada dan dapat mengelak cepat.

   Suro Bargolo penasaran bukan main. Tangan kanannya masih lumpuh, mungkin patah tulangnya atau terlepas sambungan sendi tulangnya. Dia tadinya mengira bahwa tentu pemuda itu telah mampus dan dia mengejar keluar untuk menghancurkan kepala pemuda itu. Siapa kira, pemuda itu bangkit kembali dan bahkan mampu mengelak dari hantaman kolornya dengan mudah. Maka, dengan mata merah, cuping hidung berkembang-kempis, ujung mulut berbuih saking marahnya, bagaikan seekor kerbau gila dia mengamuk, menyerang dengan ganasnya.

   Pemuda itu juga sudah mengambil keputusan untuk mengadu nyawa. Begitu melihat lawannya menubruk, didahului sambaran kolor yang berubah menjadi segulung sinar merah, dia miringkan tubuhnya, secepat kilat tangan kanannya menyambar ujung kolor yang dibuat simpul besar itu, lalu dia meoncat dan....kolor itu membelit leher Suro Bargolo! Si Warak Sakti itu terkejut, meronta dan hendak merenggut kolornya, namun pemuda itu sudah membelitkan dua kali dan kini berada di belakang tubuhnya, menarik ujung kolor yang mencekik leher itu sekuat tenaganya!

   Tubuh Suro Bargolo meronta-ronta, kedua kakinya menyepak-nyepak, kedua tangannya tadinya hendak merenggut kolornya yang mencekiki leher, namun tak mungkin lagi karena kolor itu telah menggigit kulit lehernya maka kini kedua tangannya seperti dua ekor ular gila, bahkan tangan kanan yang lumpuh itu ikut juga bergerak, berusaha untuk mencengkeram ke arah lawannya yang berada di belakangnya. Namun, pemuda itu menarik dan terus menarik. Kolor itu mencekik makin dalam.

   Semua anak buah Suro Bargolo memandang dengan mata terbelalak, tercengang dan bingung. Kini muka Suro Bargolo menjadi merah sekali, matanya melotot sepeti hendak keluar dari rongga matanya, mulutnya terbuka dan mengeluarkan busa,lidahnya menjulur keluar, dari tenggorokannya keluar suara yang aneh. Cekikan makin menghebat, sekali lagi tubuh itu meronta keras untuk yang terakhir kali,sedemikian kuatnya tubuh itu meronta sampai pemuda itu terbawa dan keduanya jatuh teguling. Namun cekikan itu tidak pernah mengendur sedikitpun juga dan tubuh Suro Bargolo terkulai. Pemuda itu menarik lagi dengan pengerahan tenaga terakhir sampai terdengar "krekkk"

   Dari leher kepala perampok itu, tanda bahwa tulang tengkuknya patah! Tewaslah Suro Bargolo dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar! Pemuda itu bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari ujung bibirnya menetes darah. Kiranya dia telah mempergunakan seluruh tenaganya ketika mencekik tadi,padahal dia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat hantaman kolor.

   Kini, melihat kepalanya tewas, dua belas orang perampok itu berteriak-teriak dan bagaikan kerbau-kerbau gila terlepas mereka menerjang Si Pamuda yang masih terhuyung! Pemuda itu terkejut, cepat bergerak menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya terkena bacokan golok sehingga berdarah. Pemuda itu pulih kembali tenaganya karena marah, sekali dia menampar, penyerang ini roboh terpelanting goloknya terampas dan kini pemuda itu mengamuk! Dalam sinar golok yang tergulung-gulung, terdengar teriakan-teriakan dan berturut-turut robohlah empat orang pengeroyok! Manyaksikan kehebatan ini, para pengeroyok itu menjadi gentar dan mereka melangkah mundur.

   Pemuda itu berdiri tegak dengan golok berlumuran darah di tangannya, sikapnya gagah dan menyeramkan.

   "Hayo, majulah kalau kalian sudah bosan hidup! Kalau tidak, pergilah dan bawalah bangkai-bangkai ini dari sini! Hayo cepat!!"

   Sisa tujuh orang perampok itu maklum bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Kepala mereka yang amat sakti itu telah di bunuhnya, dan dalam beberapa gebrakan saja lima orang kawan mereka tewas pula. Maka mereka lalu membungkuk-bungkuk,menyeret mayat-mayat teman-teman mereka dan kepala mereka, lalu melarikan diri dari tempat itu. Pemuda itu masih berdiri tegak dengan golok berlumuran darah di tangan. Dia memandang sampai mereka itu kabur dan tak nampak lagi, barulah dia mengeluh,goloknya terlepas. Dia mencoba untuk melangkah, lalu mengeluh lagi, memegangi kepalanya yang menjadi pusing, lalu terhuyung dan roboh terguling!

   "Ksatria yang gagah perkasa..... ahh, pendekar yang berhati mulia......ohh, orang muda yang budiman....!"

   Pemuda itu membuka matanya. Mula-mula dia heran sekali melihat bahwa dia telah berada di atas pembaringan dalam sebuah pondok yang morat-marit keadaannya, dan ada lampu teplok remang-remang di sudut, lalu suara bisikan itu! Dan dia merasa ada jari-jari tangan yang lembut meraba dahinya, mengelus rambut kepalanya.

   "Kasihan orang muda yang gagah perkasa....."

   Kembali suara itu berbisik lembut dan kini jari-jari tangan itu membuka bajunya, mencuci luka di pundaknya dengan sehelai saputangan yang dibasahi air. Perih rasanya dan dia menyeringai,merintih lirih.

   "Aduhhh...."

   "Ah, engkau telah sadar? Syukurlah, ah, aku sudah takut kalau-kalau engkau mati...."

   Suara bisikan lembut itu mengandung isak.

   "Ya, Tuhan, terima kasih! Ternyata engkau masih hidup, pahlawanku, ksatria yang telah menyelamatkan hamba daripada malapetaka yang lebih hebat daripada maut....."

   Dan wanita itu menangis perlahan sambil masih mencuci luka itu. Kini wajah itu mulai nampak jelas tertimpa sinar redup lampu teplok. Wajah yang amat manis, amat cantik jelita. Wajah yang sudah lama dikenalnya dari jauh, yang sudah lama mendebarkan jantungnya, akan tetapi juga wajah yang telah lama membuatnya risau, membuatnya penasaran, membuatnya penuh penyesalan.

   "Cukup.... besarkah lukanya....?"

   Dia berbisik Wanita itu mengangguk.

   "Tidak berapa besar, akan tetapi darahnya mengalir terus....ah, aku khawatir sekali....."

   "Tolong carikan sarang laba-laba.... merupakan obat yang baik untuk sementara menghentikan darah....."

   Pemuda itu berkata lemah karena dadanya terasa sakit.

   Luka di pundaknya itu bukan apa-apa. Dia adalah seorang ksatria yang sudah sering bertempur, maka luka di kulit dan daging bukanlah apa-apa, dapat cepat sembuh. Akan tetapi luka akibat pukulan kolor tadi benar-benar hebat dan memerlukan pengobatan lebih teliti lagi. Dia lalu bengkit duduk dan bersila,mengatur pernapasan untuk menghirup sebanyak mungkin hawa murni, mengumpulkan di pusar dan kemudian mengerahkan tenaga dalam yang bangkit dari pusar. Hawa yang panas menjalar naik dan berputar-putar di dalam dadanya. Itulah cara pengobatannya yang pertama sementara wanita itu membawa lampu teplok dan mulai mencari sarang laba-laba dan mengumpulkannya di tangan yang berjari kecil-kecil mungil dan berkulit halus putih itu. Lestari sudah kembali lagi membawa sarang laba-laba yang merupakan kapas putih.

   Melihat pemuda itu duduk bersila, cepat dia mendekatkan lampu teplok dan berkata lirih.

   "Inilah obatnya....."

   "Tolong tutupkan pada luka dan balut....."

   Pemuda itu berkata singkat karena dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh banyak bicara. Kemudian dia mengatur kembali pernapasannya sementara Lestari lalu menaruh sarang laba-laba itu memanjang di atas luka yang masih meneteskan darah. Benar saja, begitu tertutup oleh benda seperti kapas itu, darah berhenti menetes dan dia lalu membalut pundak itu dengan robekan sabuk suteranya. Dibalutnya dengan hati-hati sekali dan dia kadang-kadang melirik ke arah wajah pemuda yang bersahaja dan tidak terlalu tampan, namun membayangkan kegagahan, membayangkan kedukaan, membayangkan sesuatu yang menimbulkan perasaan iba di dalam hati wanita itu,perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya.

   Setelah membalut, Lestari melihat betapa pemuda itu masih bersila, kedua matanya terpejam, alisnya berkerut, napasnya panjang-panjang. Dia tidak berani mengganggu, maklum bahwa pemuda itu adalah seorang yang sakti, mungkin sedang melakukan sesuatu yang bertalian dengan luka-lukanya. Dia sendiri tahu bahwa suaminya, Resi Mahapati, sama sekali tidak mau diganggu kalau sedang duduk bersila seperti itu, sedang bersamadhi. Lestari lalu menggodok air dengan alat-alat sederhana yang terdapat di dalam pondok itu.

   Akan tetapi, air sudah lama mendidih, apinya sudah lama padam dan air mendidih itu sudah lama menjadi dingin kembali, dan pemuda itu masih juga bersila seperti arca, sama sekali tidak bergerak. Bahkan tengah malam telah lewat dan pemuda itu masih juga duduk bersila di atas pembaringan. Melihat ini, Lestari merasa khawatir sekali. Didekatinya pemuda itu, dipandangnya dan dirabanya dahinya. Duduknya begitu diam! Begitu diam seperti arca, seperti... seperti mayat! Jantungnya berdebar tegang dan muka Lestari tiba-tiba pucat.

   

Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini