Kemelut Di Majapahit 36
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 36
Sutejo menjawab sambil memandang cawan yang dipegang oleh wanita itu.
"Ah, engkau menderita sakit yang cukup lama, Kakangmas. Sampai pernah engkau lupa segala-galanya, bahkan isterimu ini pun pernah kaulupakan. Obat ini telah menolongmu, sekarang minumlah, tentu pikiranmu yang bingung itu akan mejadi tenang."
Sutejo menerima cawan emas itu.
"Memang pikiranku agak bingung..."
Dia mengakui, lalu dia mengangkat cawan itu, ditempelkan di bibirnya dan hendak diteguk.
"Tringgg...!"
Tiba-tiba cawan yang dipegang oleh Sutejo itu terpental, terlepas dari pegangannya, jamunya tumpah, sebagian membasahi bajunya. Sutejo terkejut bukan main, memandang kepada cawan emas yang terbanting di atas lantai,mengeluarkan bunyi nyaring dan menggelinding sampai ke sudut ruangan itu. Lalu di memandang ke kiri, ke arah pintu, dengan mata terbelalak.
Sariwuni, Bandupati dan Menak Srenggo juga terkejut sekali. Mereka tadi melihat sinar putih menyambar dari kiri dan kini mereka kini juga menengok. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang kakek yang tua sekali, rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua, wajahnya membayangkan kesabaran dan kehalusan budi, pakaiannya sederhana sekali, dari kain berwarna kuning yang dilibat-libatkan tubuhnya, pakaian seorang pendeta atau pertapa, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu yang panjang. Sariwuni, kakaknya, dan pamannya memandang heran. Dari mana datangnya kakek ini?
Semenjak terjadi penyelundupan orang-orang Puger, penjagaan telah diperketat, bahkan Menak Srenggo sendiri yang memerintahkan kepada para perwira penjaga untuk mengerahkan pasukannya menjaga agar jangan sampai ada lagi mata-mata musuh dapat menyelundup masuk pulau. Akan tetapi tiba-tiba saja kakek ini muncul dan kemunculannya, juga sikapnya yang tenang itu membuat mereka bertiga tertegun dan sejenak mereka tidak dapat bergerak atau mengeluarkan kata-kata. Juga Sutejo tidak dapat berkata-kata dan tidak bergerak, padahal biasanya, setelah cawan berisi jamu dipukul jatuh dari tangannya seperti itu, sudah pasti dia akan bergerak menyambut penyerangnya. Dia pun seperti terpesona, pandang matanya lekat dan tidak dapat terlepas dari sinar mata kakek itu yang memandangnya penuh kasih sayang.
Akhirnya kakek itu yang bersuara, suaranya lirih namun jelas terdengar oleh mereka dan wajah yang lembut itu ramah sekali.
"Kulup, Sutejo, sudah terlalu lama engkau menderita sebagai akibat dari penyelewenganmu, aku kasihan kepadamu, maka jauh-jauh aku datang untuk menyelamatkanmu, kulup."
Mendengar ucapan itu, Sariwuni membentak nyaring.
"Darimana datangnya pengemis tua ini? Apa kau sudah bosan hidup?"
Wanita ini tiba-tiba saja merasa bahwa kehadiran kakek ini merupakan ancaman bagi Sutejo, atau lebih tepat, baginya, dan dia amat takut untuk kehilangan suaminya itu. Maka sambil membentak itu, dia sudah meloncat ke depan dan mencabut keris, lalu menusuk dada kakek itu.
"Cusss...!"
Keris di tangannya itu mengenai kulit daging dan rasanya menembus ke dalam. Akan tetapi mata Sariwuni terbelalak kaget ketika dia melihat kakek itu masih tetap tersenyum seolah-olah tidak merasakan apa-apa. Melihat keanehan itu, Bandupati dan Menak Srenggo juga menerjang dengan senjata pedang dan golok mereka. Mereka menusuk dan membacok.
"Wuttt, cap-capp!"
Pedang dan golok itu pun mengenai sasaran, akan tetapi sama sekali tidak mendatangkan bekas bacokan atau tusukan sungguhpun rasanya tidak seperti mengenai benda keras seperti kalau mengenai tubuh yang dilindungi kekebalan.
"Hemm, orang-orang muda. Menggunakan kekerasan berarti memancing kekerasan yang akan memukul diri sendiri,"
Kakek tua renta itu berkata dengan tenang ketika melihat tiga orang itu mundur-mundur dengan mata terbelalak.
Akan tetapi, tiga orang ini memang sudah biasa dengan kekerasan. Biarpun mereka dapat menduga bahwa kakek yang berdiri di depan mereka ini merupakan seorang manusia yang luar biasa, namun karena kakek ini dianggapnya menentang mereka,maka mereka kini sudah menerjang lagi dengan lebih hebat daripada tadi.
Kakek itu menghela napas dan tersenyum.
"Kalian memang keras kepala!"
Katanya dan sekali ini, begitu senjata mereka mendekati tubuh kakek itu, ada semacam hawa yang luar biasa kuatnya keluar dari tubuh kakek itu dan mendorong mereka sehingga mereka bertiga berteriak kaget dan terjengkang jatuh!
Melihat kakek itu merobohkan isterinya, kakak iparnya dan paman isterinya, Sutejo merasa bahwa dia berkewajiban untuk membela, maka dia lalu bergerak,dengan pekik dahsyat dia menerjang maju dan menghantamkan tangan kanannya ke arah dada kakek tua renta yang dia tahu memiliki kesaktian luar biasa itu.
"Plakk!"
Pukulan yang dilakukan oleh Sutejo itu hebat sekali karena orang muda ini mengerahkan seluruh kekuatannya, akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, kepalan tangannya seperti mengenai benda lunak dan tenaganya amblas seperti sepotong batu dilempar ke dalam air dan tangannya tergetar hebat, seperti melekat pada dada itu. Dan sebelum Sutejo dapat mengelak, tepat pada saat pukulannya mengenai dada lawan, kakek itu telah menggunakan tangan kanannya meraba dan mengusap muka Sutejo.
"Sutejo, pandanglah baik-baik, aku adalah Gurumu, Panembahan Ciptaning!"
Sutejo terbelalak. Setelah mukanya diusap, dia merasa seperti ada hawa dingin sekali diulaskan ke mukanya, rasa dingin yang memenuhi kepalanya dan terus menyusup ke dalam dadanya. Dia memandang kakek itu dan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut, menyembah dan bertanya dengan suara gemetar.
"Eyang Panembahan...!!"
Dia kini mengenal kakek itu, Panembahan Ciptaning, eyang gurunya, pertapa di lereng Gunung Kawi, kakek yang dulu menyelamatkannya dari dalam kobaran api yang membakar rumah ibunya dan yang selama bertahun-tahun mendidik dan menggemblengnya di lereng Gunung Kawi.
"Eyang., mengapa.. mengapa hamba menyerang Eyang...?"
Suaranya gemetar penuh penyesalan dan ketakutan. Ngeri dia memikirkan bagaimana dia tadi berani menyerang gurunya itu dengan aji pukulan yang dipelajarinya dari kakek ini!
"Sutejo, sayang sekali bahwa engkau melupakan pesanku dan telah menyeleweng, bukan hanya menghambakan diri kepada orang-orang yang tersesat seperti Resi Mahapati, akan tetapi juga engkau telah melanggar pesanku agar tidak melakukan pembunuhan. Kekerasan hanya akan mendatangkan kekerasan pula dan segala perbuatan sudah pasti akan mendatangkan hasil yang sama sifatnya dan akan menimpa diri sendiri. Karena perbuatanmu sendirilah maka engkau merasakan penderitaan sampai hampir dua tahun, ingatanmu hilang karena pengaruh racun. Karena melihat engkau sudah cukup terhukum, maka hari ini aku sengaja datang untuk menyelamatkanmu, Kulup."
Pada saat itu, Sariwuni, Bandupati dan Menak Srenggo sudah bangkit dan mendengar ucapan kakek itu, mereka terkejut bukan main. Apalagi Sariwuni, dia merasa kaget karena melihat suaminya agaknya sudah mendapatkan kembali ingatannya, maka untuk mencegah kakek itu bicara lebih jauh, dia sudah menerjang pula, diikuti oleh kakaknya dan pamannya.
"Heiiii..., jangan kurang ajar!"
Sutejo berseru ketika melihat tiga orang itu menyerang gurunya, atau juga kakek gurunya. Akan tetapi, kakek itu hanya tersenyum, membiarkan dirinya diserang dari belakang.
"Dess! Dess! Desss...!"
Serangan tiga orang itu mengenai tubuh Si Kakek aneh, akan tetapi akibatnya, tiga orang itu menjerit dan memegangi tangan masing-masing karena senjata mereka terlempar dan terlepas, sedangkan tangan mereka yang tadi memegang senjata terasa nyeri bukan main. Akan tetapi, memang mereka adalah orang-orang yang tidak biasa menerima kekalahan. Mereka masih merasa penasaran karena kakek itu sama sekali tidak membalas. Mereka berteriak dan menubruk maju,menyerang dengan kepalan tangan.
"Bukk! Bukk! Bukk!!"
Sekali ini, karena mereka memukul dengan tangan, akibatnya hebat. Pukulan-pukulan itu seperti membalik dan memukul diri mereka sendiri, membuat mereka tergelimpang dan roboh pingsan!
Sutejo memandang heran.
"Eyang... mereka... mereka ini siapa dan saya berada di mana...?"
"Selama hampir dua tahun ini, wanita ini kau anggap sebagai isterimu, dia itu kau anggap sebagai kakak iparmu dan yang ini adalah Menak Srenggo, kau anggap Pamanmu karena dia adalah saudara misan Menak Dibyo, Adipati di Nusabarung. Mereka berdua itu adalah putera dan puteri Adipati Nusabarung dan engkau berada di Nusabarung."
Sutejo terbelalak.
"Apa... apa yang telah terjadi dengan saya...?"
"Engkau selama ini tidak sadar, engkau berada di bawah pengaruh racun Lalijiwo. Baru-baru ini engkau malah menjadi senopati Nusabarung dan menyerang Kadipaten Puger."
Tiba-tiba Sutejo berseru.
"Sulastri...!"
Dia terkejut bukan main. Teringatlah dia akan Sulastri, dan Roro Kartiko, dan Joko Handoko...! "Ah, di mana Sulastri? Dan Joko Handoko? Dan... dan... ah, Roro Kartiko...?"
Dia memejamkan mata, karena kini dia membayangkan Roro Kartiko telah tewas!
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Mereka memang datang ke pulau ini, tadinya berniat menolongmu, Sutejo. Akan tetapi mereka tertawan, dan Roro Kartiko telah tewas oleh Sariwuni. Engkau harus menyelamatkan mereka dan hal itu dapat kau lakukan karena di sini engkau dikenal sebagai senopati dan mantu Sang Adipati."
"Saya... saya akan menolong mereka, eyang. Lalu selanjutnya, apa yang harus saya lakukan? Ah, kepala saya menjadi pening dan saya bingung sekali, Eyang..."
Kakek itu mengeluarkan dua butir obat pulung yang bundar dan macamnya seperti kotoran kambing.
"Kau telahlah ini untuk mengusir semua racun itu. Ingatlah, semua belum terlambat kalau kau suka mengubah sikapmu, Sutejo. Setelah engkau menyelamatkan mereka, jauhkanlah dirimu dari segala permusuhan dan perang. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Gunung Kawi, hidup tenang dan penuh damai bersamaku. Akan tetapi, segalanya terserah kepadamu Cucuku, karena nasib setiap orang berada di dalam genggaman tangannya sendiri. Dialah yang akan menentukan apa yang dilakukannya, dan kelakuannya sendirilah yang akan menentukan bagaimana keadaan selanjutnya. Nah, aku pergi, selanjutnya segala sesuatu tergantung dari dirimu sendiri."
"Eyang...!"
Sutejo berseru memanggil, akan tetapi kakek itu telah menghilang.
Hanya sejenak Sutejo termangu. Kini telah pulih kembali ingatannya dan telah kembali pula ketangkasannya sebagai seorang satria yang sakti dan cerdas. Tanpa ragu-ragu lagi ditelannya dua butir obat pemberian eyang gurunya itu, kemudian dia memandang kepada tiga orang yang masih pingsan itu. Kini teringatlah dia setelah tadi mendengar penuturan singkat dari eyang gurunya. Selama ini dia menganggap wanita ini sebagai isterinya, orang muda tinggi besar itu sebagai kakak iparnya dan kakek raksasa itu sebagai pamannya! Padahal dia tidak mengenal siapa mereka ini! Dan Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko telah mengalami bencana karena hendak menolongnya. Bahkan Roro Kartiko telah tewas! Ah, Roro Kartiko...! Sulastri...! Jantungnya berdebar. Dia harus menyelamatkan mereka.
Cepat dia meloncat dan mengikat kaki tangan tiga orang yang masih pingsan itu dengan ikat pinggang mereka sendiri, lalu menggunakan ujung baju mereka untuk menutupi mulut dan mengikatnya ke belakang kepala. Dia harus bekerja cepat. Dia adalah mantu adipati! Tentu mudah baginya untuk menolong mereka!
Dia lalu cepat menutupkan pintu ruangan itu dan keluar. Tentu saja dia ingat di mana adanya tempat tahanan, maka dengan sikap biasa dan tenang dia menuju ke tempat itu. Ketika para penjaga melihatnya, mereka semua memberi hormat dan tidak ada yang berani mencegah dia memasuki tempat itu. Bahkan seorang perwira memberi hormat dan berkata sambil tersenyum.
"Raden, mereka diam saja di sebelah dalam, tidak ada yang menimbulkan keributan. Eh..., Raden Bromatmojo, kalau... kalau boleh... harap paduka nanti hadiahkan seorang di antara mereka, wanita-wanita anggota Sriti Kencana itu, kepada saya... heh-heh."
Sutejo menahan keheranan dan kemarahannya. Dia disebut Raden Bromatmojo oleh perwira ini! Dan mendengar tentang disebutnya anggauta Sriti Kencana, dia menduga bahwa tentu ada di antara mereka yang tertawan pula. Dia dapat membayangkan. Tentu Joko Handoko dan Roro Kartiko menyelundup ke tempat ini dibantu oleh para anggautanya, dengan niat menolongnya. Juga dibantu oleh Sulastri tentu saja. Sulastri! Terakhir kalinya dia bertemu dengan Sulastri adalah di dalam hutan, ketika Sulastri marah-marah kepadanya, menuduhnya membunuh Guru gadis itu, yaitu Empu Supamandrangi!
"Keluarlah semua, aku harus membawa mereka keluar!"
Katanya singkat. Para perwira merasa heran, akan tetapi tidak ada yang berani menghalangi ketika Sutejo memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua berkumpul di luar dan saling bicara, menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh mantu adipati itu. Mereka semua merasa segan dan hormat kepada mantu adipati ini yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Dengan langkah lebar Sutejo memasuki kamar tahanan setelah pintunya dibuka dari luar. Dia melihat Sulastri dan jantungnya berdebar tidak karuan.
"Diajeng Sulastri...!"
Dia menahan jeritnya dan yang keluar hanyalah bisikan penuh keharuan melihat Sulastri rebah terlentang dalam keadaan terbelenggu itu. Sulastri mendengar bisikan ini dan membuka matanya. Ketika melihat bahwa yang memanggilnya adalah Sutejo, dia terbelalak. Kemudian teringatlah dia bahwa Sutejo sekarang bukanlah Sutejo dahulu lagi, melainkan suami Sariwuni yang telah kehilangan ingatan. Maka karena tidak ingin menghadapi siksaan batin lebih lama lagi, dia berkata dengan suara mengandung isak.
"Kau bunuhlah aku sekarang juga...!"
"Tidak... tidak...! Diajeng, lihatlah aku... aku kini sudah ingat lagi... berkat pertolongan Eyang Guru...!"
Sutejo lalu menghampiri dara itu dan mulai membuka ikatan kaki dan tangannya.
Sulastri yang tadinya sudah memejamkan matanya lagi, lalu membuka matanya,memandang terbelalak seperti tidak percaya. Akan tetapi dia melihat sinar mata yang lembut penuh duka itu, melihat dua titik air mata membasahi bawah mata pemuda itu, dan tak tertahankan lagi air matanya sendiri bercucuran. Setelah kaki tangannya terlepas, dia berbisik,
"Kakang Tejo...!"
Tanpa dapat dicegah oleh apapun juga, keduanya lalu saling tubruk dan saling merangkul! Rasa rindu yang bertahun-tahun terpendam, kini jebol dan Sulastri menangis mengguguk dalam pelukan Sutejo, terisak-isak dan hanya dapat menyebut nama pemuda itu berulang kali. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka kecuali menyebut nama masing-masing dengan suara penuh kemesraan, kerinduan dan cinta kasih yang amat besar. Seketika lenyaplah seluruh perasaan marah dan dendam, yang ada hanyalah cinta kasih yang mengharukan.
"Dimas Sutejo, engkau sudah ingat kembali? Syukurlah...!"
Suara ini adalah suara Joko Handoko. Mendengar suara ini, seketika Sulastri melepaskan pelukannya, merasa seolah-olah ada halilintar menyambar kepalanya karena dia teringat bahwa dia adalah isteri dari Joko Handoko! Dia melepaskan pelukan dan cepat dia menghampiri Ayu Kunti dan Cempaka untuk melepaskan ikatan kedua tangan mereka, sedangkan Sutejo juga cepat membebaskan kaki tangan Joko Handoko.
"Kakangmas Handoko, baru saja aku sembuh oleh pertolongan Eyang guruku. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mari kuantar kalian semua keluar dan kalian pura-pura tunduk kepadaku, sebagai tawanan-tawanan. Kita mencari perahu untuk lari dari pulau ini,"
Sutejo berbisik.
"Akan tetapi... Adikku... jenazah Adikku Roro Kartiko..."
Joko Handoko terisak.
"Aku sudah tahu bahwa Diajeng Roro Kartiko telah tewas. Berarti kita tidak dapat menolongnya lagi, Kakangmas. Maka biarlah nanti kalau kita kembali bersama pasukan, kita akan mencarinya. Sekarang, paling penting adalah agar kita dapat keluar dari pulau ini dengan selamat. Hayolah!"
Empat orang tawanan itu lalu berjalan keluar dengan kepala menunduk, digiring oleh Sutejo yang mengangkat muka dan mengangkat dada dengan gagahnya. Ketika mereka tiba di luar, para perwira dan penjaga memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Akan tetapi Sutejo segera berkata.
"Mereka telah tunduk kepadaku dan aku menjalankan perintah Kanjeng Rama Adipati untuk membawa mereka ke suatu tempat. Kalian semua harus tetap menjaga di sini, seorang pun tidak boleh meninggalkan tempat ini sampai ada perintah lain. Berjaga-jagalah terhadap musuh yang berusaha memasuki tempat ini dengan usaha mereka untuk menolong tawanan yang sudah kukeluarkan ini."
Para perwira mengangguk, dan Sutejo cepat menggiring empat orang itu keluar dan menghilang ke dalam kegelapan cuaca yang mulai remang-remang karena fajar mulai menyingsing di ufuk timur.
"Kami mempunyai perahu di pantai, dijaga oleh Ambar dan Tarmi,"
Kata Joko Handoko dan bergegas mereka pergi ke arah pantai itu. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan dua orang penjaga yang sedang meronda, akan tetapi tanpa banyak cakap lagi Sutejo merobohkan mereka, membuat mereka pingsan dan dia mengajak teman-temannya untuk mempercepat langkah. Ternyata perahu yang dijaga oleh Ambar dan Tarmi masih ada di tempat semula.
Kedua orang wanita pengikut Sriti Kencana itu bersembunyi di dalam semak-semak dan mereka berdua sudah merasa khawatir bukan main karena semalam suntuk teman-teman mereka tidak juga kembali, padahal fajar telah mulai mendatang. Kini dengan girang mereka melompat keluar melihat bayangan lima orang itu, akan tetapi mereka terkejut ketika melihat Sulastri dan Sutejo, dan mereka tidak melihat adanya Roro Kartiko. Mereka cepat bertanya, akan tetapi Joko Handoko menjawab.
"Tidak ada waktu banyak bicara, mari kita cepat pergi!"
Perahu didorong ke air, mereka meloncat dan mendayung perahu ke tengah, kemudian dengan bantuan layar terkembang, perahu meluncur cepat meninggalkan Nusabarung. Setelah perahu meluncur pergi, barulah hati mereka merasa lega, akan tetapi hal ini justru mengingatkan mereka kembali akan tewasnya Roro Kartiko dan hal-hal lain. Terdengar isak tangis dan ternyata Sulastri telah menangis lagi. Sutejo cepat duduk mendekati gadis itu, memegang lengannya dan berkata halus.
"Diajeng, sudahlah harap jangan berduka. Diajeng Roro Kartiko tewas sebagai seorang wanita gagah perkasa, dan selama hidup kita harus selalu teringat akan pengorbanan dan pembelaannya itu. Karena dialah maka kita dapat bertemu dan berkumpul kembali..."
Akan tetapi, mendengar ucapan ini, Sulastri bukannya terhibur, bahkan menangis makin sedih. Joko Handoko menghela napas dan hanya menundukkan muka, sedangkan empat orang anggauta Sriti Kencana saling pandang dengan bingung. Sikap Sutejo yang demikian mesra terhadap Sulastri mendatangkan perasaan tidak senang dan heran dalam hati mereka. Bagimana Sutejo berani bersikap demikian mesra dan lancang terhadap Sulastri, di depan suami mereka itu pula? Dan mengapa pula Joko Handoko juga kelihatan tidak peduli, bahkan berduka? Juga Ambar dan Tarmi terisak menangis ketika mendengar bahwa Roro Kartiko telah tewas dalam penyelundupan mereka ke pulau itu.
Sunyi di perahu. Yang terdengar hanyalah isak tangis para wanita, karena melihat Sulastri, Ambar dan Tarmi menangis, tak tertahankan lagi Ayu Kunti dan Cempaka juga terisak-isak. Hanya tinggal Joko Handoko dan Sutejo berdua yang diam, menundukkan muka dan tidak berkata-kata, semua tenggelam ke dalam kedukaan yang memberatkan hati. Namun, Joko Handoko tidak pernah lengah untuk mengemudikan perahu, sedangkan Ambar dan Tarmi yang pandai berlayar itu mengatur layar dengan cermatnya. Setelah matahari naik tinggi, dari jurusan daratan nampaklah banyak sekali perahu besar berlayar menuju ke Nusabarung.
"Itu adalah perahu-perahu kita!"
Joko Handoko berseru girang dan memang benar.
Setelah dekat, perahu-perahu besar itu ternyata adalah perahu-perahu yang membawa pasukan Puger. Seperti kita ketahui, para anggauta Sriti Kencana yang dipimpin oleh Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan Puger tanpa pamit, kemudian disusul pula oleh Sulastri. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah para dayang mengetahui hal itu dan dengan bingung mereka lalu melapor.
Mendengar pelaporan ini, tahulah Sang Prabu bahwa putera-puteri mereka tentu melakukan penyelidikan ke Nusabarung, maka pagi-pagi sekali Sang Prabu sendiri lalu memimpin pasukan besar, juga minta bantuan Maeso Pawagal untuk mengerahkan pasukan dari Lumajang, untuk melakukan penyeberangan ke Nusabarung untuk menyerbu musuh itu! Pertemuan antara Joko Handoko dan Sang Prabu Bandardento amat mengharukan. Sang Prabu Bandardento yang sudah tua itu tak dapat menahan linangan air matanya ketika mendengar akan tewasnya Roro Kartiko, puteri angkatnya yang amat disayangnya itu. Saking berduka, Sang Adipati menjadi marah sekali. Andaikata Roro Kartiko berada bersama mereka yang berhasil lolos dari Nusabarung, agaknya Sang Adipati akan membatalkan niatnya menyerbu Nusabarung. Akan tetapi mendengar bahwa puterinya tewas oleh orang-orang Nusabarung, dia lalu dengan marah memerintahkan armadanya melanjutkan pelayaran menuju ke Nusabarung!
Sutejo belum sempat banyak bicara dengan Sulastri karena mereka berdua tidak memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja. Namun, Sulastri melihat betapa sinar mata pemuda itu selalu ditujukan kepadanya dengan penuh kasih sayang,penuh rindu dan juga penuh penyesalan, membuat hatinya terharu sekali. Dia ingin bicara banyak dengan pemuda itu dan dia merasa makin terharu kalau mengingat bahwa Sutejo tentu belum tahu bahwa dia kini telah bersuami!
Di lain pihak, Sutejo yang melihat sinar mata Sulastri kadang-kadang ditujukan kepadanya, dapat menangkap kesedihan besar di dalam sinar mata wanita yang dicintanya itu. Dia pun ingin sekali bicara banyak dengan Sulastri, ingin mohon maaf dan ingin menjelaskan bahwa dia sungguh-sungguh tidak membunuh guru gadis itu, dan juga bahwa kalau benar dia telah menikah dengan puteri Adipati Nusabarung, hal itu terjadi karena dia telah kehilangan ingatan! Hatinya gelisah melihat betapa gadis itu masih memandang kepadanya dengan sinar mata penuh duka, seolah-olah banyak sekali hal-hal yang mengganjal di hati gadis yang amat dicintanya itu.
Nusabarung menjadi geger ketika secara tiba-tiba pasukan Puger yang besar sekali jumlahnya, dibantu pasukan Lumajang yang kuat, datang menyerbu pulau dan melakukan pendaratan di sepanjang pantai utara. Adipati Menak Dibyo, dibantu oleh Menak Srenggo dan putera-puterinya, sudah membantu para perwira melakukan penjagaan. Pagi tadi baru ada penjaga mengetahu"Itu adalah perahu-perahu kita!"
Joko Handoko berseru girang dan memang benar. Setelah dekat, perahu-perahu besar itu ternyata adalah perahu-perahu yang membawa pasukan Puger. Seperti kita ketahui, para anggauta Sriti Kencana yang dipimpin oleh Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan Puger tanpa pamit, kemudian disusul pula oleh Sulastri.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah para dayang mengetahui hal itu dan dengan bingung mereka lalu melapor. Mendengar pelaporan ini, tahulah Sang Prabu bahwa putera-puteri mereka tentu melakukan penyelidikan ke Nusabarung, maka pagi-pagi sekali Sang Prabu sendiri lalu memimpin pasukan besar, juga minta bantuan Maeso Pawagal untuk mengerahkan pasukan dari Lumajang, untuk melakukan penyeberangan ke Nusabarung untuk menyerbu musuh itu! Pertemuan antara Joko Handoko dan Sang Prabu Bandardento amat mengharukan.
Sang Prabu Bandardento yang sudah tua itu tak dapat menahan linangan air matanya ketika mendengar akan tewasnya Roro Kartiko, puteri angkatnya yang amat disayangnya itu. Saking berduka, Sang Adipati menjadi marah sekali. Andaikata Roro Kartiko berada bersama mereka yang berhasil lolos dari Nusabarung, agaknya Sang Adipati akan membatalkan niatnya menyerbu Nusabarung. Akan tetapi mendengar bahwa puterinya tewas oleh orang-orang Nusabarung, dia lalu dengan marah memerintahkan armadanya melanjutkan pelayaran menuju ke Nusabarung!
Sutejo belum sempat banyak bicara dengan Sulastri karena mereka berdua tidak memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja. Namun, Sulastri melihat betapa sinar mata pemuda itu selalu ditujukan kepadanya dengan penuh kasih sayang, penuh rindu dan juga penuh penyesalan, membuat hatinya terharu sekali. Dia ingin bicara banyak dengan pemuda itu dan dia merasa makin terharu kalau mengingat bahwa Sutejo tentu belum tahu bahwa dia kini telah bersuami! Di lain pihak, Sutejo yang melihat sinar mata Sulastri kadang-kadang ditujukan kepadanya, dapat menangkap kesedihan besar di dalam sinar mata wanita yang dicintanya itu. Dia pun ingin sekali bicara banyak dengan Sulastri, ingin mohon maaf dan ingin menjelaskan bahwa dia sungguh-sungguh tidak membunuh guru gadis itu, dan juga bahwa kalau benar dia telah menikah dengan puteri Adipati Nusabarung, hal itu terjadi karena dia telah kehilangan ingatan!
Hatinya gelisah melihat betapa gadis itu masih memandang kepadanya dengan sinar mata penuh duka, seolah-olah banyak sekali hal-hal yang mengganjal di hati gadis yang amat dicintanya itu Nusabarung menjadi geger ketika secara tiba-tiba pasukan Puger yang besar sekali jumlahnya, dibantu pasukan Lumajang yang kuat, datang menyerbu pulau dan melakukan pendaratan di sepanjang pantai utara. Adipati Menak Dibyo, dibantu oleh Menak Srenggo dan putera-puterinya, sudah membantu para perwira melakukan penjagaan. Pagi tadi baru ada penjaga mengetahui bahwa Menak Srenggo, Sariwuni dan Bandupati dibelenggu di ruangan itu dan ditutup mulut mereka. Setelah memperoleh pertolongan dan mereka itu bercerita kepada Sang Adipati Menak Dibyo tentang Sutejo yang memberontak, adipati ini marah sekali. Apalagi ketika menerima laporan bahwa Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu telah membawa pergi empat orang tawanan, Sang Adipati marah-marah dan segera memerintahkan para pengawal untuk mencari dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi hasil pengejaran itu adalah berita yang amat mengejutkan, yang dibawa oleh para pengejar itu bahwa kini armada yang amat besar telah datang menuju ke pulau mereka, yaitu pasukan-pasukan dari Puger! Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan. Penjagaan dilakukan serentak, dan ketika pasukan-pasukan Puger mendarat, mereka ini disambut hangat oleh para pasukan Nusabarung yang sudah membuat persiapan secara tergesa-gesa sehingga pada pagi hari itu, terjadilah perang campuh yang amat hebat di pantai Pulau Nusabarung! bahwa Menak Srenggo, Sariwuni dan Bandupati dibelenggu di ruangan itu dan ditutup mulut mereka. Setelah memperoleh pertolongan dan mereka itu bercerita kepada Sang Adipati Menak Dibyo tentang Sutejo yang memberontak, adipati ini marah sekali. Apalagi ketika menerima laporan bahwa Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu telah membawa pergi empat orang tawanan, Sang Adipati marah-marah dan segera memerintahkan para pengawal untuk mencari dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi hasil pengejaran itu adalah berita yang amat mengejutkan, yang dibawa oleh para pengejar itu bahwa kini armada yang amat besar telah datang menuju ke pulau mereka, yaitu pasukan-pasukan dari Puger! Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan. Penjagaan dilakukan serentak, dan ketika pasukan-pasukan Puger mendarat, mereka ini disambut hangat oleh para pasukan Nusabarung yang sudah membuat persiapan secara tergesa-gesa sehingga pada pagi hari itu,terjadilah perang campuh yang amat hebat di pantai Pulau Nusabarung!
Akan tetapi, kini semangat bertempur para pasukan Nusabarung menjadi menyempit,apalagi ketika mereka melihat betapa Sutejo yang tadinya menjadi landasan semangat mereka itu kini berpihak kepada musuh! Melihat Sutejo mengamuk di samping Sulastri, senopati wanita dari Puger yang hebat itu, merobohkan lawan dengan mudah saja, hati para perajurit Nusabarung menjadi kecil sekali.
Sariwuni dan Bandupati yang melihat betapa Sutejo kini berfihak kepada musuh,bertanding bahu-membahu bersama wanita perkasa yang menjadi senopati Puger,menjadi marah sekali. Dengan senjata di tangan mereka memapaki dua orang ini dan Sariwuni segera menudingkan telunjuknya kepada Sutejo.
"Kakangmas Bromatmojo! Aku adalah isterimu, apakah kini engkau hendak mencelakakan isterimu sendiri?"
Di dalam hatinya, Sutejo sudah marah sekali. Wanita ini sungguh tak tahu malu, pikirnya. Menguasai dirinya melalui racun Lalijiwo dan dalam keadaan lupa diri itu dia telah dibujuk untuk menjadi suaminya! Apalagi ketika di dalam perahu dia memperoleh kesmpatan mendengar penuturan singkat Joko Handoko betapa di dalam keadaan kehilangan ingatan itu dia mengaku bernama Bromatmojo dan Sariwuni mengaku kepadanya sebagai Sulastri, hatinya terasa sakit sekali! Wanita tak tahu malu ini mempergunakan kesempatan selagi dia tidak ingat apa-apa lagi, menggunakan cinta kasihnya terhadap Sulastri, wanita itu mengaku sebagai Sulastri sehingga dia mau saja dijadikan suaminya. Akan tetapi saking marahnya, dia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata, dan adalah Sulastri yang menjawab,
"Perempuan hina! Akulah yang bernama Bromatmojo, dan aku pula yang bernama Sulastri! Tanpa racun Lalijiwo, jangan harap kau akan dapat mempengaruhi lagi kepada Kakang Tejo. Akulah lawanmu, iblis betina!"
Dan Sulastri sudah menerjang maju, mengirim tamparan Hasto Nogo kepada Sariwuni.
Sekali ini Sulastri marah bukan main, kemarahan yang didasari oleh hati penuh cemburu bahwa wanita ini telah menggunakan namanya dan berhasil mempersuami Sutejo! Melihat adiknya terdesak oleh segebrakan serangan itu, Bandupati hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba Sutejo membentak dan sudah menyerangnya sehingga terpaksa Bandupati meninggalkan adiknya dan menghadapi terjangan Sutejo yang juga menyerang dengan kemarahan meluap-luap. Sementara itu, Menak Srenggo kembali telah berhadapan dengan Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang tokoh Puger yang amat membenci Menak Srenggo yang berkhianat itu. Sedangkan Adipati Menak Dibyo memperoleh lawan yang setingkat, yaitu Sang Prabu Bandardento sendiri yang selalu dibayangi dan dilindungi oleh Joko Handoko.
Hebat bukan main perang campuh yang terjadi di pantai Pulau Nusabarung itu. Makin lama, perang itu makin ke tengah pulau karena pihak Nusabarung terdesak dan terus mundur. Teriakan-teriakan mereka menggegerkan seluruh pulau. Burung-burung beterbangan dengan ketakutan, mengungsi ke pulau lain. Ombak Lautan Kidul juga ikut mengamuk dan mendebur dahsyat ke pantai selatan Pulau Nusabarung, seolah-olah Sang Ratu Kidul sendiri menjadi marah menyaksikan kekejaman manusia yang saling sembelih itu!
Pertandingan antara Sariwuni dan Sulastri berjalan singkat saja. Tidak sampai tiga puluh jurus, Sariwuni roboh terkena tamparan tangan kiri Sulastri. Tamparan itu tepat mengenai pelipisnya, tak tertahankan oleh Sariwuni dan wanita ini roboh dengan kepala retak, tewas seketika. Sebelum menghembuskan napas terakhir, dia memekik.
"Kakangmas Bromatmojo...!!"
Hampir bersamaan waktunya, Bandupati juga roboh, kena didorong dadanya oleh telapak tangan kanan Sutejo. Tidak ada luka di dadanya, namun getaran hawa sakti yang mendorong dada itu merusakkan isi dadanya dan Bandupati roboh tak berkutik lagi, juga tewas seketika.
Perang menjadi makin kacau. Setelah akhirnya Adipati Menak Dibyo juga roboh oleh Sang Adipati Puger, dan juga Menak Srenggo tidak kuat menghadapi keroyokan Padas Gunung dan Pragalbo, akhirnya roboh dengan leher berlubang dan dada berlubang terkena tusukan keris Pragalbo dan suling Padas Gunung, pasukan Nusabarung menjadi kacau-balau dan berserabutan melarikan diri. Akan tetapi, mereka terus dikejar oleh pasukan-pasukan Puger yang mulai melakukan pembasmian. Istana diserbu dan terjadilah pembunuhan besar-besaran yang amat mengerikan. Setelah Sang Prabu Bandardento melalui para perwiranya mengumumkan isyarat, barulah pembunuhan berhenti dan para sisa pasukan Nusabarung tunduk kepada Puger dan Sang Prabu Bandardento lalu mengangkat Padas Gunung untuk menjadi penguasa setempat di Nusabarung, sebagai hadiah atas jasa-jasa senopati yang sudah lama menghambakan diri di Puger itu.
Sang Prabu Bandardento menangisi jenazah Roro Kartiko yang masih berada di Nusabarung. Jenazah ini lalu diurus dengan penuh penghormatan, lalu dibakar sebagaimana mestinya, diiringkan tangis kakaknya dan semua keluarga kadipaten Puger. Juga Sulastri menangis terisak-isak, sedangkan Sutejo berdiri dengan kepala tunduk, mukanya pucat karena dia tahu bahwa Roro Kartiko tewas karena membela dia! Sampai saat itu dia tidak tahu bahwa sebenarnya Roro Kartiko diam-diam amat mencintanya, dan gadis itu seolah-olah putus harapan dan sengaja membelanya dengan taruhan nyawa setelah melihat kenyataan bahwa biarpun telah menjadi isteri kakaknya, Sulastri masih tetap mencinta Sutejo.
Setelah semua selesai, Sang Prabu Bandardento kembali ke Puger, menyerahkan kekuasaan atas Pulau Nusabarung kepada Padas Gunung yang dibantu oleh para perwira yang sudah takluk. Tentu saja kemenangan perang ini menghasilkan barang-barang berharga yang menjadi rampasan, termasuk puteri-puteri Nusabarung. Mereka ini dibawa keluar dari Nusabarung menuju ke Puger di mana, baik barang-barang berharga maupun para puteri dan wanita cantik itu akan dibagi-bagikan kepada mereka yang berjasa, tentu saja dimulai dari para perwira tinggi. Dan sudah barang tentu, orang Pertama yang berhak memilih adalah Sang Prabu Bandardento sendiri! Memang demikianlah yang menjadi kenyataan, yang terjadi semenjak dahulu sampai sekarang pun di dunia ini! Manusia saling bermusuhan, saling berperang hanya untuk memperebutkan keuntungan yang pada hakekatnya hanyalah kesenangan belaka yang berselubung, karena bukankah keuntungan itu berarti kesenangan? Keuntungan yang menyenangkan dan kerugian adalah menyusahkan.
Keuntungan berupa kedudukan,kehormatan, kemenangan, harta benda, puteri-puteri dan wanita-wanita rampasan yang menjadi syarat pemuasan kesenangan nafsu berahi, nama besar, dan sebagainya,yang semua itu menjamin datangnya kesenangan dan kepuasan. Tentu saja tidak ada orang atau bangsa yang mau melihat kenyataan ini, tidak ada yang mau mengatakan bahwa mereka berperang demi keuntungan atau kemenangan yang menjamin kesenangan. Mereka menyelimuti keuntungan itu dengan kata yang sudah makin menjadi kotor saja, yaitu kebenaran! Mereka berjuang demi kebenaran! Mereka berperang demi kebenaran! Sungguh merupakan lelucon yang sama sekali tidak lucu.
Bagaimana mungkin kebenaran diperebutkan dengan saling membunuh? Bagaimana mungkin kebenaran diperoleh dengan jalan saling bermusuhan? Bermusuhan, berperang,saling membunuh, ini sudah jelas tidak benar. Mana mungkin mencapai kebenaran melalui cara yang tidak benar? Yang jelas, setiap peperangan mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan,terutama bagi yang kalah, sedangkan pada akhirnya, yang menang menikmati kemenangan dan memperoleh kesenangan yang dinamakan kebenaran! Semua ini demikian jelas, demikian sederhana dan demikian mudah. Akan tetapi sungguh aneh. Semua manusia di dunia ini tidak mau melihatnya! Tidak mau memandangnya sebagai kenyataan hidup. Terjadilah kepincangan-kepincangan, kejanggalan-kejanggalan yang demikian nyata, namun sama sekali tidak dapat menyadarkan manusia daripada kepalsuan itu. Yang kalah dikutuk sebagai yang salah, yang menang dipuja sebagai yang benar.
Demikianlah kenyataan hidup manusia, di manapun juga tidak ada kecualinya. Semenjak jaman dahulu sampai sekarang pun, yang tetap berlaku adalah hukum rimba, yaitu siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar dan dia kuasa! Lihatlah di sekeliling kita, lihatlah di dunia ini. Hukum rimba yang liar,dan pada hakekatnya kita ini masih hidup di jaman purba, seperti binatang di dalam hutan. Hanya hukum rimba kita sekarang diperhalus, berselubung, terhias dengan segala macam peradaban, kebudayaan, politik, agama dan sebagainya. Namun pada intinya, masih jelas nampak hukum rimba itu. Tentu saja siapa pun boleh saja menyangkalnya, namun bagi siapa yang suka membuka mata dan telinga, melihat kenyataan hidup sehari-hari, tentu akan melihat kenyataan itu.
Dalam suasana gembira karena menang perang, akhirnya Sang Prabu Bandardento menerima mereka yang telah berjasa besar itu di dalam ruangan persidangan. Semua senopati yang telah berjasa hadir, tidak ketinggalan Pragalbo, Joko Handoko, Sulastri, Sutejo, dan para bekas anak buah Sriti Kencana yang kini kehilangan kepalanya itu.
Setelah memuji-muji kesetiaan dan kegagahan para senopatinya,akhirnya dengan muka sedih Sang Adipati berkata.
"Amat disesalkan bahwa kedatangan kita terlambat sehingga puteri kami tercinta, Roro Kartiko, telah menjadi korban dan tewas di tangan musuh. Akan tetapi, pengorbanannya itu tidak sia-sia karena pengorbanannya itu membawa kemenangan bagi Puger sehingga Nusabarung dapat kita taklukkan! Biarlah, kami takluk terhadap kehendak para dewata yang telah mengambil puteri kami. Kami masih mempunyai putera kami, Handoko dan mantu kami, Sulastri. Dengan adanya putera dan mantu kami ini, Puger akan selalu kuat dan jaya...."
"Ohhhh...!"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang terkejut mendengar suara ini dan mereka menoleh. Mereka melihat Sutejo menjadi pucat sekali mukanya dan pemuda itu menundukkan mukanya, tubuhnya gemetar seperti orang sakit.
"Anakmas Sutejo, Andika telah berjasa besar dan tanpa bantuan Andika, kiranya akan sukarlah menundukkan Nusabarung! Juga Andika yang telah menyelamatkan putera dan mantu kami... eh, Andika kenapakah, Anakmas?"
Seluruh tubuh Sutejo menggigil dan dia memejamkan matanya. Sulastri menoleh dan wanita ini menjadi pucat sekali, akan tetapi dia segera menundukan muka kembali, tidak berani memandang kepada Sutejo. Memang selama ini, belum pernah dia berani mengatakan kepada Sutejo bahwa dia telah menikah dengan Joko Handoko. Kini, mendengar disebutnya namanya sebagai mantu Sang Adipati, tentu saja Sutejo menjadi terkejut dan mengalami pukulan batin yang amat hebat. Joko Handoko maklum akan keadaan Sutejo ini, maka cepat dia menghampiri dan berkata kepada Sang Adipati,
"Kanjeng Romo, agaknya Dimas Sutejo kambuh kembali penyakitnya, karena memang selama ini dia kurang sehat, harap Kanjeng Romo suka memaafkannya dan biarlah hamba mengantarkannya ke dalam kamarnya."
Sutejo maklum bahwa dia bersikap tidak sopan, maka dia pun membungkuk dengan hormat tanpa berani mengeluarkan kata-kata, kemudian setelah melihat Sang Adipati mengangkat tangan tanda menyetujui, dia bangkit dan dipapah oleh Joko Handoko, pergi meninggalkan ruangan sidang dan menuju ke dalam kamarnya.
"Aduh, Adimas... Adimas Sutejo, Kau ampunkan aku..."
Setibanya di dalam kamar,Joko Handoko berkata dan memandang wajah pemuda yang duduk di atas pembaringan itu dengan hati penuh rasa iba. Sutejo yang tadinya memejamkan mata, kini membuka matanya, memandang kepada Joko Handoko. Mata itu seperti mata orang yang kehilangan semangat, layu dan sama sekali tidak ada gairah hidup lagi sehingga Joko Handoko merasa terkejut bukan main.
"Dimas Sutejo, harap kau suka maafkan aku, maafkan kami berdua..."
Kembali dia berkata dengan suara tersendat-sendat.
"Sudah semenjak kita bertemu, ingin aku menyampaikan hal ini kepadamu, akan tetapi... ah, ketika itu engkau masih belum sadar, dan kemarin... kemarin ini, aku tidak mendapatkan kesempatan dan... dan agaknya aku ngeri untuk menyampaikan kepadamu, Adimas...."
Joko Handoko lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya. Betapa dia merasa amat menyesal bahwa dia pernah menikah dengan Sulastri, pernikahan yang hanya mendatangkan kepahitan dan kedukaan di dalam hatinya, di dalam hati Sulastri, dan kini menghancurkan pula hati Sutejo.
Sunyi kembali dalam kamar itu setelah Joko Handoko mengeluarkan kata-kata itu. Sampai lama mereka hanya duduk diam, Joko Handoko masih menutupi muka dengan kedua tangannya, sedangkan Sutejo termangu-mangu memandang wajah yang ditutupi jari-jari tangan itu. Akhirnya terdengar dia berkata dengan suara halus, namun ketenangan sikapnya itu masih berlawanan dengan suaranya yang gemetar.
"Kakangmas Joko Handoko, mengapa engkau minta maaf kepadaku? Sudah sepatutnya kalau... kalau Diajeng Sulastri menjadi isterimu. Engkau kini adalah seorang putera adipati yang terhormat, engkau masih muda, tampan, sakti dan amat baik. Engkau patut menjadi suaminya, dan tidak ada yang harus disesalkan, Kakangmas... aku... aku malah ikut merasa girang bahwa kalian saling mencinta..."
"Tidak... ah, kalau saja demikian keadaannya, Dimas...."
Sutejo memandang tajam. Alisnya berkerut.
"Apa maksudmu, Kakangmas?"
Joko Handoko menurunkan kedua tangannya dan mukanya kini sama pucatnya dengan muka Sutejo, bahkan matanya basah, membuat Sutejo memandang khawatir dan heran.
"Kuakui saja bahwa memang aku amat mencinta Diajeng Sulastri, Dimas. Akan tetapi semenjak aku mengetahui bahwa dia mencinta dirimu seorang, aku sudah tahu diri dan tidak berani mengharapkan cintanya. Aku cinta padanya, sampai detik ini juga,akan tetapi dia... dia sama sekali tidak pernah mencintaku, Dimas. Hanya engkau seoranglah yang dicintanya sampai sekarang..."
Sutejo bangkit berdiri saking kagetnya mendengar pengakuan itu.
"Akan tetapi kalau begitu... mengapa... mengapa kalian menikah?"
Tanyanya dengan suara agak keras karena merasa penasaran.
Joko Handoko menarik napas panjang.
"Terjadi hampir dua tahun yang lalu, Adimas. Kami menikah karena terpaksa dan itu pun atas desakan Diajeng Sulastri yang tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan diri kami bertiga dari bahaya maut."
Joko Handoko lalu menceritakan pengalamannya bersama Roro Kartiko dan Sulastri, betapa mereka terancam maut di tangan saudara kembar Murwendo dan Murwanti dan betapa mereka melihat jalan keluar untuk menyelamatkan diri, yaitu pernikahan antara Sulastri dan Joko Handoko seperti yang dikehendaki oleh Sang Prabu Bandardento untuk menghadapi tuduhan Murwendo.
"Demikianlah, Dimas Sutejo. Dan sampai... sampai sekarang..., setelah hampir dua tahun lamanya, kami... kami berdua, sungguhpun semua orang menganggap kami suami isteri, akan tetapi kami... kami tidak pernah tidur sekamar... kami tidak pernah menjadi suami isteri dalam arti kata yang sesungguhnya. Aku bersumpah demi para Dewata, Adimas."
Sutejo makin terheran-heran dan alisnya berkerut makin dalam.
"Akan tetapi,mengapa kalian berdua begitu gila? Mengapa melakukan hal seperti itu hanya untuk menyelamatkan diri? Itu bukanlah perbuatan satria utama!"
"Maafkan aku, Dimas. Sesungguhnya, jalan itu kutempuh karena dua hal. Pertama, seperti kuceritakan tadi, kami menikah untuk menyelamatkan nyawa kami bertiga, ke dua, karena... karena aku hendak memberi peluang dan kesempatan kepada Adikku... ah, kasihan Adikku Roro Kartiko, agar... dia dapat melaksanakan apa yang menjadi cita-cita hidupnya...."
Sutejo memandang dan tidak mengerti.
"Apa maksudmu?"
"Dia cinta kepadamu, Dimas Sutejo. Adikku yang malang itu, setelah gagal cintanya terhadap... Bromatmojo, lalu dia mendapatkan kenyataan bahwa dia sesungguhnya mencintamu, Dimas. Dia cinta kepadamu, dan dapat kau bayangkan betapa hancurnya ketika dia mendengar pengakuan Sulastri yang hanya mencintamu seorang. Sama hancurnya dengan hatiku yang mendengar Sulastri mencintamu. Kami berdua kakak beradik seperti menerima kutukan Dewata, mungkin karena dosa-dosa Ayah kami. Aku ingin memberi peluang kepadanya. Kalau Sulastri menikah denganku dan akhirnya dapat belajar mencintaku, tentu terbuka kesempatan baginya untuk menjadi jodohmu. Akan tetapi... ahh, segala sesuatu berjalan serba tidak kebetulan dengan kami...."
"Ah, kenapa begitu? Kenapa kalian begitu bodoh...??"
"Semuanya telah terjadi, Dimas Sutejo. Aku pun menyadari kesalahan itu setelah terlanjur. Aku tahu bahwa cinta kasih di hati Diajeng Sulastri hanya untukmu, oleh karena itulah, maka malam tadi Diajeng Roro Kartiko dan aku nekat menyelundup ke Nusabarung dengan maksud untuk mengingatkanmu. Semua itu kami lakukan demi engkau dan demi Sulastri. Diajeng Kartiko bertindak demi untukmu, dan aku bertindak demi Diajeng Sulastri. Kami tahu bahwa kami telah bertepuk tangan sebelah, bahwa cinta kasih kami tidak terbalas, oleh karena itu, kami ingin mengisi sisa hidup kami untuk membahagiakan kalian berdua, orang-orang yang kami cinta. Akan tetapi, Diajeng Roro Kartiko telah mengorbankan nyawanya dan aku menyesal mengapa aku seorang yang masih hidup...."
Setelah berkata demikian, Joko Handoko lalu meninggalkan kamar itu dengan muka pucat dan langkah kaki terhuyung.
Sutejo tidak mencegahnya dan dia sendiri duduk termenung dengan hati bingung. Baru dia mengangkat muka ketika dia mendengar langkah kaki yang ringan dan merasa bahwa ada orang lain di situ. Kiranya yang berdiri di depannya adalah... Sulastri! Wanita ini tadi merasa tidak enak ketika melihat suaminya pergi bersama Sutejo. Dia khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak baik, maka diam-diam dia lalu berpamit dari depan ayah mertuanya dan cepat menyusul suaminya ke kamar itu. Dia masih dapat mendengarkan percakapan mereka yang terakhir dan dia pun merasa terharu sekali akan keadaan Joko Handoko dan Roro Kartiko. Memang telah diduganya hal itu, akan tetapi sungguh tak diduganya betapa rela hati kakak beradik itu demi cinta kasih mereka, cinta kasih yang murni, yang tidak mementingkan diri sendiri.
Sejenak kedua orang itu hanya berpandangan. Perlahan-lahan Sutejo bangkit berdiri tanpa mengalihkan pandang matanya dari mata Sulastri. Dua pasang sinar mata itu saling pandang, saling menyelami, saling bicara dan akhirnya terdengar Sulastri bertanya.
"Kau mau memaafkan kami?"
Sutejo seperti terkejut mendengar pertanyaan itu, lalu menundukkan mukanya dan menjawab lirih.
"Apa yang harus dimaafkan? Kalian tidak bersalah apa-apa, bahkan bertindak benar. Hanya sayang bahwa engaku menghancurkan hati Kakangmas Joko Handoko... dengan... dengan... menyia-nyiakan kasih sayangnya kepadamu..."
"Kakang Tejo!"
Sulastri berkata keras.
"Kau tahu bahwa kami hanya... pura-pura saja menikah! Mana bisa aku membalas cintanya?"
"Tidak mungkin! Sebelum kami menikah, kami telah saling berjanji bahwa pernikahan itu hanya pura-pura saja, hanya untuk menyelamatkan nyawa kami. Dia pun mengerti bahwa aku tidak sengaja untuk menghancurkan hatinya. Tak mungkin aku mencintanya, tidak mungkin aku mencinta pria lain, dan hal ini kau tentu sudah tahu!"
Sulastri berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, nadanya menyesal sekali.
"Tidak tahu bahwa engkau telah hidup mulia dan senang, menjadi mantu seorang adipati, menjadi senopati terhormat...."
"Diajeng Sulastri! Kau tahu bahwa aku tidak sadar melakukan itu semua! Bahwa aku berada dalam pengaruh racun Lalijiwo dan agaknya masih akan terus dalam keadaan seperti itu kalau tidak muncul Eyang Guru yang menyembuhkan aku!"
Sulastri menarik napas panjang.
"Aku tahu, Kakang Tejo. Aku tahu dan tentu saja aku juga tidak dapat menyalahkan kau. Kau lihat, banyak hal-hal terjadi di luar kemauan kita, terjadi tanpa kita sengaja, seperti halnya pernikahanku dengan Kakangmas Joko Handoko. Sekarang, apa yang hendak kaulakukan selanjutnya, Kakang Tejo?"
Hati Sutejo merasa terharu sekali, terutama mendengar sebutan "Kakang Tejo", sebutan yang hanya dapat keluar dari mulut dara ini. Begitu mesra, begitu sederhana, namun begitu menggugah perasaan hatinya!
"Aku tidak tahu, aku sudah kehilangan pegangan semenjak pertemuan kita yang terakhir itu. Diajeng Sulastri, apakah engkau masih membenciku dan menganggap aku membunuh gurumu, Eyang Empu Supamandrangi?"
Sulastri menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana, akan tetapi aku menduga bahwa tidak mungkin engkau mencampuri urusan khianat itu, dan aku sudah berhasil membunuh Resi Harimurti dalam pertandingan di Kahuripan. Aku sudah puas, karena aku mendapatkan perasaan bahwa dialah biang keladi kematian Guruku."
Sutejo mengangguk.
"Memang semua adalah akal yang diatur oleh Kakang Resi Mahapati yang ingin memperoleh sebatang keris pusaka Kolonadah tiruan untuk dihaturkan kepada Gusti Pangeran. Resi Harimurti memaksa Eyang Empu dan akhirnya Eyang Empu Supamandrangi membuatkan keris itu."
Sutejo lalu menceritakan tentang syarat menekuk bahan baja untuk keris itu yang dapat dilakukannya sehingga akhirnya Empu Supamandrangi mau membuatkannya.
"Ketika itu, aku sedang duduk seorang diri di puncak. Ketika aku turun, aku sudah melihat Eyang Empu menggeletak dengan keris di tangan menusuk dada sendiri. Nampaknya seperti membunuh diri. Akan tetapi aku pun merasa curiga, di dalam hatiku aku menduga bahwa tentu Resi Harimurti yang membunuhnya. Akan tetapi, tidak ada saksinya dan bukti menunjukkan pembunuhan diri, maka aku pun tidak dapat berbuat apa-apa kecuali membantu pengurusan jenazah Gurumu."
Teringat akan kematian gurunya, Sulastri menghapus beberapa titik air matanya dan berkata.
"Betapa banyaknya korban-korban yang jatuh akibat dari pertikaian antara keluarga raja di Mojopahit. Sampai-sampai orang-orang seperti Guru-guruku yang selama hidupnya mengasingkan diri dan tidak turut bermusuhan, menjadi korban pula. Keluarga-keluarga kita berantakan dan betapa banyaknya korban di antara rakyat jelata..."
Sutejo menarik napas panjang, teringat akan ucapan gurunya ketika hendak meninggalkan Nusabarung.
"Engkau benar, Diajeng dan kini aku teringat akan pertanyaanmu tadi apa yang akan kulakukan selanjutnya. Aku akan meninggalkan semua ini, meninggalkan semua peperangan, semua permusuhan, semua kekerasan, aku akan hidup sebagai petani di lereng Pegunungan Kawi, tidak mau lagi mencampuri urusan pertikaian di dunia."
Sulastri memandang dengan sinar mata mesra.
"Ah... Kakang Tejo, kau... kau bawalah aku... bersamamu!"
Di dalam sinar matanya itu timbul rasa cinta kasih yang mendalam, pengharapan yang setinggi gunung, bibir itu terbuka sedikit mengarah senyum namun terbayang pula kekhawatiran kalau-kalau pemuda itu menolak permintaannya. Dan memang penolakan itu tiba-tiba dengan langsung dan mengejutkan hatinya.
"Tidak...!! Sekali lagi tidak! Sama sekali tidak boleh!"
Sutejo berkata seperti orang berteriak marah sehingga Sulastri memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat sekali.
"Kau kira aku ini orang macam apa, Diajeng Sulastri? Engkau... engkau adalah isteri orang! Dan bukan orang biasa yang menjadi suamimu itu, melainkan Kakangmas Joko Handoko! Bagaimana engkau dapat menyuruh aku melakukan perbuatan sekeji itu, membawa isteri Kakangmas Joko Handoko? Ah, lebih baik aku mati saja!"
(Lanjut ke Jilid 37)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 37
"Akan tetapi... kami... kami tidak..."
"Apa bedanya? Diajeng Sulastri, lihatlah baik-baik. Engkau adalah isteri Kakangmas Joko Handoko, tidak perduli apa pun yang terjadi di antara kalian. Semua orang tahu belaka bahwa engkau adalah isterinya, dan engkau adalah anak mantu Sang Prabu Bandardento! Mana mungkin engkau pergi bersama aku? Ah, jangankan melakukannya, membicarakannya saja, bahkan memikirkannya saja sudah merupakan hal yang sama sekali tidak patut!"
Perlahan-lahan, air mata turun dari sepasang mata itu, membasahi kedua pipinya. Sulastri tidak terisak, melainkan menggigit bibirnya dengan hati seperti ditusuk-tusuk rasanya. Harapannya selama ini hancur berantakan seperti sebuah kendi jatuh dan pecah, isinya tumpah dan tak dapat diharapkan akan utuh kembali. Sutejo telah menolaknya! Menolaknya walaupun dia tahu bahwa pemuda itu masih amat mencintanya. Hal itu dapat diketahui dari pandang mata pemuda itu. Karena dia adalah isteri Joko Handoko! Untuk memperoleh keyakinan, maka sambil menahan rasa nyeri di hatinya, Sulastri bertanya, suaranya agak gemetar namun masih jelas terdengar satu-satu.
"Kakang Tejo, jawablah. Apakah engkau masih mencintaku seperti dahulu? Apakah engkau menolak karena engkau telah beristeri dan cintamu kepadaku telah menipis dan lenyap? Ataukah karena engkau merasa kecewa mendapatkan diriku telah menikah dengan orang lain, tanpa memperdulikan apa pun alasan pernikahanku itu? Jawablah agar tidak ada rasa penasaran yang akan mencekik dan membunuhku!"
Sutejo yang tadinya sudah menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan, kini bangkit berdiri lagi dan dengan suara sungguh-sungguh namun kering dan dingin dia berkata.
"Aku cinta padamu, Diajeng, aku cinta padamu semenjak dahulu sampai sekarang, sampai selama hidupku. Tentang aku sudah pernah beristeri dengan Sariwuni, hal itu terjadi di luar kemauanku, bahkan di luar kesadaranku sehingga sama sekali tidak pernah kuanggap. Apalagi sekarang dia telah meninggal, andaikata dia masih hidup sekalipun, aku akan memberontak terhadap pernikahan itu dan aku akan meninggalkannya, karena pernikahan seperti itu bukanlah pernikahan namanya! Berbeda dengan pernikahanmu. Apa pun yang menjadi alasannya, apa pun yang memaksa kalian menikah, namun kalian melakukannya dalam keadaan sadar. Pernikahan kalian itu adalah sah, dan disaksikan oleh orang-orang sekadipaten Puger! Karena itu, mana mungkin aku mementingkan diri sendiri saja, membawa kau pergi sehingga terjadi tiga hal yang amat mengerikan, pertama nama baikmu akan menjadi tercemar, nama keluarga Sang Adipati di Puger akan menjadi kotor dan rusak, sedangkan hati Kakangmas Joko Handoko akan menjadi hancur. Yang terakhir inilah yang aku tidak akan melakukannya, Diajeng, biar aku mati sekali pun. Mana bisa aku merusak hati Kakangmas Joko Handoko? Ah, kau mengajukan permintaan yang sama sekali tidak mungkin..."
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo